Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM

ILMU TERNAK POTONG, KERJA DAN KESAYANGAN


DASAR- DASAR PENGUKURAN KINERJA TERNAK POTONG
KOMODITAS SAPI

Disusun oleh:
Rizki Syarah Setiawati
18/424597/PT/07649
Kelompok II

Asisten Pendamping : Ahmad Fahru Rozdi Qomaruddin

LABORATORIUM TERNAK POTONG KERJA DAN KESAYANGAN


DEPARTEMEN PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ternak potong adalah ternak atau hewan yang dipelihara yang kemudian
dipotong untuk diambil dagingnya. Tujuan dari budaya ternak potong itu sendiri
untuk menghasilkan daging. Susilorini (2008) menyatakan bahwa ternak potong
adalah jenis ternak yang dipelihara untuk menghasilkan daging sebagai produk
utamanya.
Ternak potong di Indonesia pada zaman dahulu digunakan sebagai alat
transportasi atau digunakan untuk membajak sawah. Kinerja ternak potong dapat
dilihat dari produktivitas daging pada tubuh ternak dengan biaya minimal seperti
pemberian pakan yang memiliki harga murah tetapi dapat meningkatkan proporsi
dan kualitas daging pada ternak. Ternak potong yang terdapat di Indonesia
didominasi oleh komoditas sapi dan sapi, disamping itu ternak potong lainnya
yaitu babi, kuda, domba, dan kelinci. Damara et al. (2016) menyatakan bahwa
kinerja ternak potong adalah kemampuan dalam melakukan kegiatan sesuai
dengan kapasitas yang dimiliki. Susilorini et al. (2008) menyatakan bahwa
komoditas ternak potong meliputi sapi potong, sapi potong, domba, babi, kerbau,
kelinci, dan kuda.
Syarat ternak potong adalah ternak harus memiliki jumlah proporsi daging
yang banyak dan besar dan memiliki kualitas daging yang baik dan tinggi.
Kualitas daging yang baik dapat dilihat dari keempukan atau kelunakan,
kandungan lemak atau marbling, warna, rasa dan aroma, dan kelembaban yang
berkaitan dengan adanya mikroorganisme pada daging. Rosyidi (2017)
menyatakan bahwa syarat utama ternak potong adalah tidak membahayakan jika
dipotong. Pemeriksaan awal sebelum ternak dipotong yang disebut pemeriksaan
ante-morten atau pre-mortem. Pemeriksaan tersebut akan diputuskan apakah
ternak diizinkan dipotong untuk konsumsi masyarakat atau tidak. Apabila hewan
tersebut sehat, akan diizikan dipotong tanpa syarat apapun. Jika pada
pemeriksaan menunjukan adanya penyakit tertentu, tetapi tidak begitu
berbahaya (masih dapat ditanggulangi), ternak akan diizinkan dipotong dengan
syarat. Ternak dapat ditolak untuk dipotong jika ditemui penyakit yang
membahayakan.
Tujuan Praktikum
Praktikum acara komoditas sapi bertujuan untuk mengetahui cara
melakukan handling sapi dengan baik dan benar dan dapat mengidentifikasi
bangsa sapi. Praktikum ini juga bertujuan untuk mengetahui data fisiologis dan
data vital dari api. Praktikum ini juga bertujuan untuk mengetahui cara penafsiran
umur dan berat badan sapi. Praktikum ini juga bertujuan untuk mengetahui
kinerja reproduksi dari sapi.

Manfaat Praktikum
Manfaat praktikum acara komoditas sapi antara lain mengetahui cara
handling sapi yang baik dan benar dan dapat mengidentifikasi bangsa sapi.
Manfaat lain dari praktikum ini yaitu mengetahui cara pengukuran dan standar
data fisiologis dan data vital dari sapi. Manfaat lain yang didapat dari praktikum
ini yaitu mengetahui umur dan berat badan sapi dengan cara penafsiran.
Praktikum ini juga bini juga bermanfaat untuk mengetahui kinerja reproduksi dari
sapi.
BAB II
MATERI DAN METODE

Materi
Handling Ternak
Alat. Alat yang digunakan dalam handling ternak sapi antara lain tali
keluh, tali leher, dan tali tuntun.
Bahan. Bahan yang digunakan dalam handling ternak sapi yaitu sapi PO
betina dan sapi Simpo jantan.
Identifikasi Bangsa Ternak
Alat. Alat yang digunakan dalam identifikasi bangsa ternak sapi yaitu
kamera.
Bahan. Bahan yang digunakan dalam identifikasi bangsa ternak sapi PO
betina dan sapi Simpo jantan.
Pengukuran Data Fisiologis
Alat. Alat yang digunakan dalam pengukuran data fisiologis sapi antara
lain termometer dan stopwatch.
Bahan. Bahan yang digunakan dalam pengukuran data fisiologis sapi PO
betina dan sapi Simpo jantan.
Pengukuran Data Vital
Alat. Alat yang digunakan dalam pengukuran data vital sapi antara lain
mistar ukur dan pita ukur, kamera, lembar kerja, alat tulis, dan stopwatch.
Bahan. Bahan yang digunakan dalam pengukuran sata vital sapi PO
betina dan sapi Simpo jantan.
Penafsiran Umur
Alat. Alat yang digunakan dalam penafsiran umur sapi yaitu kamera,
lembar kerja, dan alat tulis.
Bahan. Bahan yang digunakan dalam penafsiran umur sapi yaitu sapi PO
betina dan sapi Simpo jantan.
Penafsiran Berat Badan
Alat. Alat yang digunakan dalam pengukuran data fisiologis sapi antara
lain timbangan digital, kalkulator, mistar ukur, dan pita ukur.
Bahan. Bahan yang digunakan dalam pengukuran data fisiologis sapi PO
betina dan sapi Simpo jantan.
Pengukuran Kinerja Reproduksi
Alat. Alat yang digunakan dalam pengukuran data fisiologis sapi yaitu
kalkulator, lembar kerja, da alat tulis.
Bahan. Bahan yang digunakan dalam pengukuran data fisiologis sapi PO
betina dan sapi Simpo jantan.

Metode
Handling Ternak
Metode yang dilakukan pada saat praktikum handling sapi adalah tali
keluh dan tali leher digenggam dengan satu tangan dari bagian samping sapi.
Siku tangan pelaksana handling ditekan ke arah leher sapi. Sapi dituntun dengan
menggunakan tali tuntun.
Identifikasi Bangsa Ternak
Metode yang dilakukan pada saat identifikasi bangsa sapi adalah jenis
kelamin, gelambir, punuk, tanduk, warna rambut, warna kuku kaki, dan profil
muka dari sapi diamati. Nomor identifikasi sapi diamati dan dicatat. Sapi difoto
secara parallelogram menggunakan kamera dan identifikasi dengan analisis
poster.
Pengukuran Data Fisiologis
Metode yang dilakukan pada saat pengukuran data fisiologis sapi adalah
frekuensi respirasi, temperatur rektal, dan frekuensi pulsus dihitung sebanyak
tiga kali masing-masing selama satu menit. Frekuensi respirasi dihitung dengan
cara punggung tangan ditempelkan pada bagian hidung sapi. Temperatur rektal
dihitung dengan cara termometer dimasukkan ke dalam rektum sapi. Frekuensi
pulsus dihitung dengan cara jari ditekan sedikit pada bagian pangkal ekor (arteri
caudalis).
Pengukuran Data Vital
Metode yang dilakukan pada saat pengukuran data vital sapi yaitu mistar
ukur dan pita ukur disiapkan. Lebar dada, dalam dada, lebar pinggul, tinggi
pinggul, tinggi gumba, panjang badan relatif, dan panjang badan absolut diukur
dengan menggunakan mistar ukur. Lingkar dada, lebar kepala, dan panjang
kepala diukur dengan menggunakan pita ukur. Lebar kepala diukur dengan pita
ukur jarak antara bagian terlebar dari kepala. Panjang kepala diukur dengan pita
ukur dari ujung moncong sampai pertengahan tanduk. Indeks kepala diperoleh
dengan cara lebar kepala dibagi panjang kepala kemudian dikali 100%.
Lingkar dada diukur dengan pita ukur dilingkarkan pada tulang rusuk 3
sampai 4 yang letaknya di belakang kaki depan. Lebar dada diukur dengan
mistar ukur antara tulang iga kanan dan kiri, tepat pada tulang rusuk 3 sampai 4
yang letaknya dibelakang kaki depan. Dalam dada diukur dengan mistar ukur
dari gumba sampai titik terendah dada ternak. Lebar pinggul diukur dengan
mistar ukur antara tube coxae kiri dan kanan bagian terlebar dari pinggul. Tinggi
pinggul diukur dengan mistar ukur secara vertikal dari bidang datar sampai titik
tertinggi pinggul titik pertengahan tube coxae. Tinggi gumba diukur dengan
mistar ukur dari bidang datar sampai titik tertinggi gumba atau titik terendah
punuk. Panjang badan relatif diukur dengan mistar ukur dari ujung sendi bahu
sampai proyeksi tube os ischii atau tonjolan tulang duduk membentuk garis
horizontal. Panjang badan absolut diukur dengan mistar ukur dari ujung sendi
bahu atau scapula humeralis sampai tube os ischii atau tonjolan tulang duduk
membentuk garis diagonal.
Penafsiran Umur
Metode yang dilakukan pada saat praktikum penafsiran umur sapi yaitu
umur sapi diperkirankan dengan melihat jumlah poel pada gigi seri sapi. Tangan
praktikan dimasukkan ke dalam mulut sapi melalui diastema sapi dan mulut sapi
didorong ke bawah. Gigi seri sapi diamati dan dihitung poel nya lalu diperkirakan
umurnya.
Penafsiran Berat Badan
Metode yang dilakukan dalam penafsiran berat badan sapi adalah lingkar
dada diukur dengan pita ukur. Panjang badan absolut diukur dengan
menggunakan mistar ukur. Hasil dari pengukuran lingkar dada dan panjang
badan absolut dimasukkan ke dalam rumus untuk dihitung hasilnya.
Pengukuran Kinerja Reproduksi
Metode yang dilakukan dalam pengukuran kinerja reproduksi sapi adalah
pengambilan data reproduksi. Data reproduksi dapat diperoleh dnegan melihat
recording yang ada di kandang. Data yang diamati meliputi: dewasa kelamin,
pertama kali kawin, siklus birahi/estrus, lama bunting, litter size, Post Partum
Mating (PPM), Post Partum Estrus (PPE), jarak beranak, service per conception
(S/C), berat lahir, umur sapih, dan berat sapih.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

Handling Ternak
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diketahui bahwa handling
adalah upaya yang diberikan atau dilakukan kepada ternak untuk
mengkondisikan ternak. Pengkondisian dilakukan agar mudah dikendalikan
tanpa melukai ternak tersebut dan peternaknya. Aan et al. (2017) menyatakan
bahwa manajemen handling merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh
manusia kepada hewan dengan tujuan mengendalikan hewan sesuai dengan
yang kita inginkan tanpa menyakiti hewan tersebut dan tanpa mencederai
pelaksana handling.
Handling sapi bertujuan untuk mempermudah mengendalikan sapi saat
dilakukan pengukuran data fisiologis dan vital sapi tersebut. Penanganan sapi
yang benar dapat mengurangi cidera dan mudah diberi perlakuan. Sujana (2017)
menyatakan bahwa handling adalah upaya penanganan yang dilakukan oleh
manusia kepada ternak dengan tujuan mengendalikan ternak dan
mempermudah penanganan seperti grooming ternak, pemotongan, dan
pemeriksaan kesehatan.
Handling sapi dilakukan dengan cara memasangkan tali keluh, tali leher,
dan tali tuntun. Tali keluh dan tali leher digenggam dengan menggunakan satu
tangan, lalu siku pelaksana handling ditekan ke arah leher sapi. Sapi dituntun
dengan menggunakan tali tuntun. Riyanto (2015) menyatakan bahwa
penanganan (handling) sapi diperlukan terutama ketika ternak akan dilakukan
perlakuan khusus sehingga ternak dibawa keluar kandang. Umumnya,
penanganan dilakukan dengan mengikat atau merobohkan sapi. Pengikatan sapi
juga biasanya dilakukan ketika sapi akan dituntun keluar kandang. Proses
handling pada saat praktikum berjalan dengan aik sehingga ternak dapat
dikendalikan Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil
praktikum sudah sesuai dengan literatur.

Identifikasi Bangsa Ternak


Berdasarkan praktikum identifikasi bangsa adalah suatu cara
mengelompokkan mahluk hidup berdasarkan kesamaan sifat atau ciari-ciri yang
dimiliki. Mutua dan Adam (2014) menyatakan bahwa identifikasi bangsa adalah
suatu pengelompokan individu maupun kelompok yang bertujuan mengetahui
asal-usul dari hewan tersebut berdasarkan data evolusi hewan tersebut.
Identifikasi ternak adalah upaya untuk membedakan antara ternak satu
dengan ternak lain dalam bangsa sama. Ternak dari satu bangsa cenderung
tumbuh dan berkembang dalam suatu sifat khas. Hartatik (2019) menyatakan
bahwa identifikasi ternak dilakukan untuk mengetahui studi keragaman genetik
dan jarak genetik.
Manfaat dari identifikasi ternak adalah untuk membedakan bangsa ternak
dan identitas suatu ternak dengan pemberian tanda pada ternak seperti nomor,
ear tag, stempel badan, dan tato. Ternak yang diamati perbedaanya merupakan
ternak dengan bangsa yang sama. Moningka (2016) menyatakan bahwa
identifikasi ternak adalah cara untuk mengetahui karakteristik ternak, berfungsi
untuk mempermudah membedakan jenis-jenis ternak.
Identifikasi bangsa bertujuan untuk membedakan antara bangsa satu
dengan lainnya. Cara membedakannya dapat dilihat berdasarkan kesamaan sifat
atau ciri-ciri yang dimiliki. Kurnianto (2009) menyatakan bahwa manfaat
identifikasi bangsa adalah memudahkan pengenalan terhadap ternak, terutama
recording, memudahkan manajemen pemeliharaan, serta mencegah terjadinya
inbreeding.
Metode yang dilakukan pada saat identifikasi bangsa sapi adalah jenis
kelamin gelambir, punuk, tanduk, warna rambut, warna kuku kaki, dan profil
muka dari sapi diamati. Nomor identifikasi sapi diamati dan dicatat. Kambing
difoto secara parallelogram menggunakan kamera. Frandz et al. (2012)
menyatakan bahwa pengidentifikasian bangsa pada ternak dapat dilakukan
dengan banyak metode, salah satu metode yang dapat digunakan yaitu metode
observasi langsung. Metode observasi langsung menggunakan pedoman
observasi berisi daftar data yang akan dicatat, seperti bangsa, jenis kelamin,
warna, dan ciri-ciri yang terlihat pada ternak. Berdasarkan praktikum yang telah
dilakukan, metode yang digunakan untuk identifikasi bangsa dan ternak saat
praktikum sesuai dengan literatur yang ada.
Metode yang dapat dilakukan dalam identifikasi ternak sapi yaitu temporer
dan permanen. Identifikasi ternak temporer merupakan metode yang bersifat
sementara, seperti pemasangan ear tag dan kalung. Identifikasi permanen
merupakan metode yang bersifat tetap, seperti branding dan tattoo . Kurnianto
(2009) menyatakan bahwa metode identifikasi ternak terdiri dari dua tipe, yaitu
secara permanen dan non permanen. Identifikasi permanen meliputi penusukan
daun telinga, pemberian tatto, dan pemberian nama. Identifikasi secara non
permanen meliputi pemakaian kalung di leher, pemakaian gelang kaki, serta
menandai dengan cat atau pewarna. Karakteristik sapi yang didapatkan saat
praktikum disajikan pada gambar di bawah.

a b
b

Gambar 1. Sketch sapi 1. Tampak samping kanan (a) samping kiri (b)

a b

c d
c

Gambar 2. Sapi 1. Tampak samping kanan (a), tampak samping kiri (b)
tampak depan (c), dan tampak belakang (d)
Sapi yang digunakan dalam praktikum yaitu sapi PO berjenis kelamin
betina dan sapi Simpo berjenis kelamin jantan. Sapi PO memiliki nomor
identifikasi P6, berwarna putih, bergelambir, berpunuk, bertanduk, dan rambut
kibas berwarna hitam. Sapi Simpo tidak memiliki nomor identifikasi, berwarna
belang coklat dan putih, bergelambir, memiliki warna putih di wajahnya, dan tidak
berpunuk. Fikar dan Ruhyadi (2010) menyatakan bahwa hasil persilangan sapi
Simpo dengan sapi Ongole yang dikenal dengan nama sapi Simpo Ongole
(Simpo). Sapi Simpo sudah tidak memiliki gelambir dengan rambut berwarna
merah bata, merah tua, hingga coklat muda. Ciri khas sapi Simpo yaitu adanya
warna putih berbentuk segitiga di antara kedua tanduknya.
Hartatik (2019) menyatakan bahwa sapi Peranakan Ongole mempunyai
ciri-ciri yaitu warna tubuh dominan putih sampai keabu-abuan, warna kaki dan
pantat berwarna putih keabu-abuan, bibir atas berwarna hitam, sedangkan bibir
bawah berwarna putih, warna hidung hitam, warna ekor putih dan bagian ujung
berwarna hitam, tanduk berwarna hitam, dan punuk atau gumba berwarna putih
keabu-abuan. Sapi Peranakan Ongole mempunyai bentuk tanduk meruncing,
melengkung ke arah belakang, kadang berupa bungkul, bentuk telinga panjang
dan menggantung, bentuk mata besar dan terang dengan kulit sekitar mata
berwarna hitam. Bagian gelambir pada sapi PO panjang menggantung dari leher
sampai belakang kaki depan. Hasil yang didapatkan sesuai dengan literatur yang
tersedia. Hasil yang didapatkan sudah sesuai dengan literatur yang tersedia.

Pengukuran Data Fisiologis


Data fisiologis adalah data yang menggambarkan kondisi fisiologis pada
ternak dari adaptasi penyesuaian ternak terhadap kondisi lingkungan. Data
fisiologis meliputi frekuensi respirasi, frekuensi pulsus, dan temperatur rektal.
Ghalem et al. (2012) menyatakan bahwa data fisiologis merupakan data yang
merefleksikan keadaan tata kerja dan beberapa sistem dan organ yang berperan
bagi tubuh secara keseluruhan.
Manfaat melakukan pengukuran data fisiologis yaitu umtuk mengetahui
keadaan ternak apakah ternak tersebut sehat atau sedang terganggu
kesehtannya. Ternak yang terganggu kesehatannya dapat diketahui dengan
pengukuran frekuensi respirasi, frekuensi pulsus, dan temperatur rektal. Ghalem
et al. (2012) menyatakan bahwa manfaat dari pengukuran data fisiologis yaitu
untuk mengetahui kondisi kesehatan ternak dan respon fisiologinya terhadap
lingkungan.
Temperatur rektal diukur dengan cara memasukkan termometer digital ke
dalam rektum sapi sampai terdengar suara yang menandakan pengukuran suhu
telah selesai lalu diulangi sebanyak tiga kali. Frekuensi respirasi diukur dengan
cara meletakkan punggung tangan pada bagian hidung sapi lalu dihitung jumlah
respirasi selama satu menit dan diulang sebanyak tiga kali. Frekuensi pulsus
diukur dengan cara menghitung denyut nadi pada arteri caudalis sapi yang
berada pada bagian pangkal ekor sapi lalu dihitung denyut nadinya selama satu
menit dan diulangi sebanyak tiga kali. Budisatria (2018) menyatakan bahwa
metode pengukuran data fisiologis dilakukan dengan melibatkan fisiologi ternak
seperti pernafasan, suhu rektal, dan pulsus. Hasil praktikum sesuai dengan
literatur.Hasil pengukuran temperatur rektal, frekuensi respirasi, dan frekuensi
pulsus disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengukuran data fisiologis sapi
Temperatur rektal (˚C) Frekuensi respirasi Frekuensi pulsus
Pengulangan (kali/menit) (kali/menit)
S1 S2 S1 S2 S1 S2
I 38,5 38,3 16 26 64 94
II 38,6 38,4 17 27 56 86
III 38,3 38,5 18 25 54 77
Rata-rata 38,4 38,4 17 26 58 85.67
Frekuensi Pulsus. Frekuensi pulsus merupakan banyaknya denyut
jantung dalam satu menit. Jantung merupakan organ pemompa darah ke seluruh
tubuh untuk kelangsungan hidup makhluk hidup. Rahman et al. (2016)
menyatakan pulsus adalah jumlah dari detakan jantung setiap menit. Utomo et al.
(2010) menyatakan bahwa pulsus sapi normal berkisaran antara 67,54 sampai
73,56 kali/menit.
Manfaat dari pengukuran frekuensi pulsus yaitu mengetahui kondisi
kesehatan ternak dan faktor yang memengaruhinya. Pengukuran frekuensi
pulsus juga dapat digunakan sebagai mekanisme pelepasan panas. Aditia et al.
(2017) menyatakan bahwa denyut jantung adalah mekanisme dari tubuh sapi
untuk mengurangi atau melepaskan panas yang diterima dari luar tubuh ternak.
Frekuensi pulsus juga bermanfaat untuk mengetahui kondisi dan metabolisme
ternak.
Frekuensi pulsus diukur dengan cara memegang pangkal ekor sapi
hingga terasa arteri caudalis-nya. Denyut nadi diukur selama satu menit dan
diulangi sebanyak tiga kali. Aditia et al. (2017) menyatakan bahwa metode
pengukuran frekuensi denyut jantung dilakukan dengan menghitung jumlah
denyut jantung pada pembuluh arteri di arteri caudalis.
Pulsus yang terukur pada sapi 1 lebih rendah dari pada rata-rata literatur
yang tersedia. Frekuensi pulsus pun ikut menurun karena sapi sedang tidak
beraktivitas. Pulsus yang terukur pada sapi 2 lebih tinggi dari pada rata-rata
literatur yang tersedia. Peningkatan aktivitas denyut nadi akan terjadi dalam hal
ini karena sapi merasa stres dan banyak bergerak. Aktivitas yang tinggi
menyebabkan tubuh memerlukan lebih banyak oksigen, sehingga jantung akan
memompa lebih cepat agar darah dapat dialirkan ke seluruh tubuh dengan lebih
cepat dan digunakan oleh sel-sel yang membutuhkan oksigen. Denyut jantung
yang meningkat akan menyebabkan frekuensi pulsus pun ikut meningkat.
Aktivitas yang rendah akan menyebabkan tubuh tidak memerlukan oksigen yang
banyak, sehingga jantung akan memompa darah dengan lebih pelan dan
frekuensi pulsus pun akan menurun.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan rata-rata pulsus
sapi 1 sebanyak 58 kali/menit dan sapi 2 sebanyak 85,67 kali/menit. Utomo et al.
(2010) menyatakan bahwa pulsus sapi normal berkisaran antara 67,54 sampai
73,56 kali/menit. Hasil yang didapatkan kurang sesuai dengan literatur yang
tersedia. Perbedaan frekuensi pulsus pada setiap hewan ternak bisa terjadi, hal
tersebut karena dipengaruhi beberapa faktor. Faktor yang memengaruhi
frekuensi pulsus yaitu umur, jenis kelamin, suhu lingkungan, ketinggian tempat,
dan stres. Panjono et al. (2009) menyatakan bahwa frekuensi pulsus dipengaruhi
oleh umur, jenis kelamin, berat badan, aktivitas, kondisi lingkungan, dan
kelembapan.
Frekuensi Respirasi. Frekuensi respirasi yaitu banyaknya jumlah
respirasi ternak yang dilakukan selama satu menit. Panjono et al. (2009)
menyatakan bahwa frekuensi respirasi adalah banyaknya respirasi yang
dilakukan ternak per satuan waktu. Utomo et al. (2010) menyatakan bahwa
kisaran normal laju respirasi pada sapi yaitu 25,12 kali/ menit sampai 28,52
kali/menit.
Manfaat yang didapatkan setelah melakukan pengukuran frekuensi
respirasi yaitu dapat mengetahui kesehatan ternak tersebut. Aditia et al. (2017)
menyatakan bahwa pengukuran frekuensi respirasi bermanfaat untuk
mengetahui kondisi dan metabolisme ternak. Isnaeni (2006) menyatakan bahwa
respirasi berfungsi sebagai parameter untuk mengetahui fungsi organ bekerja
normal atau tidak.
Frekuensi respirasi dihitung dengan cara menempelkan punggung
tangan pada bagian hidung ternak sehingga terasa hembusan nafasnya.
Pengukuran dilakukan selama satu menit dan diulangi sebanyak tiga kali. Aditia
et al. (2017) menyatakan bahwa metode pengukuran frekuensi respirasi
dilakukan dengan meletakkan punggung tangan di depan hidung ternak dan
dihitung hembusan nafasnya.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan rata-rata
frekuensi respirasi sapi 1 sebanyak 17 kali/menit, sedangkan sapi 2 sebanyak 26
kali/menit. Utomo et al. (2010) menyatakan bahwa kisaran normal laju respirasi
pada sapi yaitu 25,12 kali/ menit sampai 28,52 kali/menit. Frekuensi respirasi
yang didapat pada sapi 1 lebih rendah dari pada rata-rata literatur yang tersedia.
Hal tersebut dapat terjadi karena sapi sedang tidak beraktivitas sehingga
frekuensi respirasi pun ikut menurun. Aktivitas yang rendah menyebabkan tubuh
memerlukan lebih sedikit energi dan frekuensi respirasi pun akan ikut menurun
karena tubuh memerlukan lebih sedikit oksigen untuk digunakan dalam proses
metabolisme. Frekuensi respirasi yang didapat pada sapi 2 sudah sesuai dengan
literatur yang tersedia. Aktivitas tubuh berbanding lurus dengan energi yang
diperlukan oleh tubuh. Semakin tinggi aktivitas tubuh maka energi yang
dibutuhkan semakin banyak. Tubuh memerlukan oksigen untuk dapat
menghasilkan energi melalui proses metabolisme tubuh. Apabila aktivitas tubuh
sedikit, energi yang diperlukan tubuh juga tidak banyak, sehingga oksigen yang
diperlukan pun tidak banyak. Frekuensi respirasi berbanding lurus dengan
oksigen yang diperlukan oleh tubuh. Semakin banyak oksigen yang diperlukan
oleh tubuh maka frekuensi respirasi akan meningkat dan sebaliknya. Apabila
tubuh memerlukan sedikit oksigen maka frekuensi respirasi pun akan ikut
menurun. Hasil praktikum pada sapi 1 kurang sesuai dengan literatur sedangkan
pada sapi 2 sudah sesuai dengan literatur.
Perbedaan frekuensi respirasi pada setiap hewan ternak bisa terjadi, hal
tersebut karena dipengaruhi beberapa faktor. Frekuensi respirasi dipengaruhi
oleh umur, jenis kelamin, berat badan, aktivitas, kondisi lingkungan, dan
kelembapan. Aditia et al. (2017) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi
frekuensi respirasi adalah spesies sapi, umur, suhu lingkungan, dan konstruksi
kandang. Ifafah (2012) menyatakan bahwa denyut jantung berpengaruh pada
laju respirasi, jika denyut jantung normal, laju respirasinya juga normal dan
begitupun sebaliknya.
Temperatur Rektal Temperatur rektal adalah salah satu indikator untuk
mengetahui kondisi fisiologis ternak melalui suhu tubuh ternak tersebut.
Temperatur rektal merupakan indikator yang paling baik untuk mengetahui
kemampuan hewan dalam menjaga keseimbangan temperatur tubuh dan
merupakan parameter yang paling baik untuk menggambarkan suhu tubuh. Suhu
pada rektum murni berasal dari dalam tubuh, tidak bercampur suhu luar yang
menggambarkan homeostatis dalam tubuh ternak dan adaptasi penyesuaian
tubuh terhadap suhu luar. Nurmi (2016) menyatakan bahwa suhu tubuh dapat
diukur melalui suhu rektal, karena suhu rektal merupakan indikator yang baik
untuk menggambarkan suhu internal tubuh ternak. Aditia et al. (2017)
menyatakan bahwa suhu normal sapi pada daerah tropis berada pada kisaran 38
sampai 39,2 ºC.
Manfaat dari pengukuran suhu rektal yaitu dapat mengetahui kondisi
kesehatan ternak tersebut. Panjono et al. (2009) menyatakan bahwa pengukuran
temperatur rektal bermanfaat untuk mengetahui sejauh mana kondisi kesehatan
sapi. Palenik et al. (2009) menyatakan bahwa temperatur tubuh dapat digunakan
untuk mendiagnosa penyakit dan acuan menentukan status fisiologis seperti
masa estrus dan proses kelahiran.
Temperatur rektal diukur dengan cara memasukkan termometer digital ke
dalam rektum sapi hingga 2/3 bagian masuk ke dalam rektum. Termometer
didiamkan di dalam rektum sapi sampi terdengar bunyi yang menandakan bahwa
pengukuran suhu telah selesai. Aditia et al. (2017) menyatakan bahwa metode
pengukuran frekuensi respirasi dilakukan dengan meletakkan punggung tangan
di depan hidung ternak dan dihitung hembusan nafasnya, pengukuran frekuensi
denyut jantung dilakukan dengan menghitung jumlah denyut jantung pada
pembuluh arteri di bawah ekor bagian tengah, dan pengukuran suhu rektal
dilakukan dengan memasukkan termometer ke dalam rektum sampai berbunyi.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan rata-rata hasil
pengukuran temperatur rektal sapi 1 dan 2 sebesar 38,4˚C. Aditia et al. (2017)
menyatakan bahwa suhu normal sapi pada daerah tropis berada pada kisaran 38
sampai 39,2 ºC. Hasil yang didapatkan sudah sesuai dengan literatur. Faktor
yang mempengaruhi temperatur rektal dari sapi yaitu aktivitas metabolism,
kelembaban lingkungan, aktivitas ternak, dan suhu lingkungan. Aktivitas yang
tinggi akan memerlukan energi yang tinggi pula. Energi didapatkan dari proses
metabolisme di dalam tubuh. Proses metabolisme dalam tubuh menghasilkan
panas yang akan menyebabkan temperatur rektal meningkat. Suhu lingkungan
dapat mempengaruhi temperatur rektal. Suhu lingkungan yang tinggi dapat
meningkatkan temperatur rektal ternak tersebut. Hasil praktikum telah sesuai
dengan praktikum.
Faktor yang mempengaruhi temperatur rektal dari sapi yaitu aktivitas
metabolism, kelembaban lingkungan, aktivitas ternak, dan suhu lingkungan.
Ghalem et al. (2012) menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi data fisiologis
ternak yaitu ukuran tubuh, pakan, umur, aktivitas, jenis kelamin, berat badan,
kondisi fisiologis, dan kondisi lingkungan. Aditia et al. (2017) menyatakan bahwa
perbedaan suhu rektal dipengaruhi faktor suhu lingkungan, kelembaban, dan
pergerakan angin.

Pengukuran Data Vital


Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, pengukuran data vital
dilakukan untuk recording mengetahui ukuran tubuh ternak sesungguhnya. Data
vital adalah data statistik yang meliputi indeks bagian-bagian tertentu pada tubuh
ternak. Pengukuran data vital dapat berupa indeks kepala, lingkar dada, tinggi
gumba, tinggi pinggul, dan panjang badan.
Manfaat pengukuran data vital yaitu untuk mengetahui ukuran anatomi
tubuh ternak. Pengukuran data vital juga bermanfaat untuk mengetahui
abnormalitas tubuh ternak yang dilihat dari ukuran tubuhnya. Hartatik (2019)
menyatakan bahwa pengukuran data vital dilakukan untuk melihat abnormalitas
fisik ternak.
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan mistar ukur dan pita ukur.
Mistar ukur digunakan untuk mengukur tinggi pinggul, tinggi gumba, dalam dada,
lebar dada, lebar pinggul, panjang badan absolut, dan panjang badan relatif.
Trifena (2011) menyatakan bahwa tinggi gumba, tinggi pinggul, dan panjang
badan diukur dengan mistar ukur. Pengukuran dengan mistar ukur dilakukan
dengan cara memposisikan ternak sehingga ternak berada pada posisi
parallelogram atau tegak lurus dengan bidang datar. Panjang badan absolut
diukur dengan mistar ukur dari ujung sendi bahu sampai tonjolan tulang duduk
membentuk garis lurus. Panjang badan relatif diukur dengan mistar ukur dari
ujung sendi bahu sampai proyeksi tube os ischii atau tonjolan tulang duduk
membentuk garis horizontal. Santosa (2010) menyatakan bahwa panjang badan
diukur secara lurus dengan menggunakan tongkat ukur, yakni mulai dari siku
(humerus) sampai benjolan tulang tapis (tuber ischi).
Dalam dada diukur dengan mistar ukur dari gumba sampai titik terendah
dada ternak. Lebar pinggul diukur dengan mistar ukur antara tube coxae kiri dan
kanan bagian terlebar dari pinggul. Lebar dada diukur dengan mistar ukur antara
tulang iga kanan dan kiri, tepat pada tulang rusuk ketiga sampai keempat yang
letaknya dibelakang kaki depan. Tinggi pinggul diukur dengan mistar ukur secara
vertikal dari bidang datar sampai titik tertinggi pinggul titik pertengahan tube
coxae. Tinggi gumba diukur dengan mistar ukur. Pengukuran dari bidang datar
sampai titik tertinggi gumba atau titik terendah punuk. Trifena (2011) menyatakan
bahwa tinggi gumba, tinggi pinggul, dan panjang badan diukur dengan mistar
ukur.
Pita ukur digunakan untuk mengukur lingkar dada, lebar kepala, panjang
kepala, dan panjang telinga. Lingkar dada, lebar kepala, panjang kepala, dan
panjang telinga diukur dengan pita ukur. Trifena (2011) menyatakan bahwa
indeks kepala dan lingkar dada diukur dengan pita ukur. Lebar kepala diukur
dengan pita ukur jarak antara bagian terlebar dari kepala. Panjang kepala diukur
dengan pita ukur dari ujung moncong sampai pertengahan tanduk. Indeks kepala
diperoleh dengan cara lebar kepala dibagi panjang kepala kemudian dikali 100%.
Lingkar dada diukur dengan pita ukur dilingkarkan pada tulang rusuk ketiga
sampai keempat karena merupakan tulang rusuk sejati yang letaknya di
belakang kaki depan. Santosa (2010) menyatakan bahwa lingkar dada diukur
dengan menggunakan pita meter melingkari dada ternak tepat di belakang siku.
Perbedaan pengukuran data vital pada setiap hewan ternak bisa terjadi,
hal tersebut karena dipengaruhi beberapa faktor. Faktor yang memengaruhi
pengukuran data vital yaitu ketelitian, genetik, umur, dan kondisi lingkungan.
Victori et al. (2016) menyatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi
pengukuran data vital yaitu genetik, umur, dan sedikit pengaruh lingkungan.
Hartatik (2019) menyatakan bahwa bobot ternak dipengaruhi oleh sifat
perdagingan, perlemakan, perototan, karkas, isi perut, dan besarnya pertulangan
kepala, kaki, dan kulit. Umur dan jenis kelamin turut mempengaruhi bobot badan
dan ukuran ternak. Pengukuran data vital pada saat praktikum disajikan pada
gambar di bawah.
a b

c d

e f

Gambar 3. Pengukuran data vital menggunakan mistar ukur. Tinggi pinggul (a)
dalam dada(b), lebar dada (c), lebar pinggul (d), panjang badan absolute (e),
panjang badan relative (f), dan tinggi gumba (g).
a aa b

Gambar 4. Pengukuran data vital menggunakan pita ukur. Pengukuran lebar


kepala(a), pengukuran panjang(b), dan pengukuran panjang telinga(c).
Pengukuran data vital dilakukan pasa sapi 1 dan sapi 2. Pengukuran
dilakukan menggunakan pita ukur dan mistar ukur. Hasil pengukuran data vital
disajikan pada tabel berikut.
Tabel 2. Hasil pengukuran data vital
Parameter Sapi 1 Sapi 2
Tinggi pinggul 122,8 cm 138 cm
Tinggi gumba 122 cm 127 cm
Dalam dada 57,6 cm 64 cm
Lebar dada 34 cm 45,8 cm
Lebar pinggul 42,2 cm 47 cm
Panjang badan absolut 134 cm 151 cm
Panjang badan relative 133,6 cm 140,1 cm
Lingkar dada 163 cm 183 cm
Lebar kepala 23 cm 24 cm
Panjang kepala 45 cm 51 cm
Indeks kepala 51 % 47,05 %
Panjang telinga 32 cm 25 cm
Pengukuran yang menggunakan mistar ukur yaitu tinggi pinggul, tingi
gumba, dalam dada, lebar dada, lebar pinggul, panjang badan absolut, panjang
badan relative. Pengukuran yang menggunakan pita ukur yaitu lingkar dada,
lebar kepala, panjang kepala, dan panjang telinga. Hartatik (2019) menyatakan
bahwa sapi PO memiliki tinggi gumba 117,8±6,1 cm, panjang badan 124,3±11
cm, dan lingkar dada 147,3±7,5 cm. Susilawati (2017) menyatakan bahwa sapi
PO memiliki tinggi gumba 125,35 sampai 130,82 cm, tinggi pinggul 132,70
sampai 135,89 cm, panjang badan 132,11 sampai 141,51 cm, lingkar dada
157,73 sampai 167,78 cm, lebar dada 33,41 sampai 36,98 cm, lebar pinggang
42,51 sampai 45,50 cm, lebar kepala 18,78 sampai 19,54 cm, panjang kepala
45,40 sampai 46,93 cm, dan indeks kepala 0,36 sampai 0,44. Rerata ukuran
tubuh sapi Simpo yaitu lingkar dada 164,8±9,58 cm, tinggi gumba 124,6±5,36
cm, panjang badan 124,43±8,76 cm, tinggi pinggul 125,75±5,18 cm, dan indeks
kepala 0,48±0,07.
Hasil perhitungan indeks kepala sapi 1 maupun sapi 2 tidak sesuai
dengan literatur yang tersedia. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena umur
sapi yang berbeda dengan literatur yang tersedia, pakan yang diberikan pada
sapi saat praktikum berbeda dengan pakan yang diberikan pada sapi di literatur,
atau pertumbuhan sapi yang lebih lambat dibandingkan dengan literatur yang
tersedia. Berdasarkan hasil yang didapatkan saat praktikum, sebagian besar
pengukuran yang dilakukan pada sapi 1 dan sapi 2 sesuai dengan literatur yang
tersedia. Indeks kepala yang didapatkan pada sapi 1 sebesar 47,05%,
sedangkan pada sapi 2 sebesar 51,5%. Hasil perhitungan indeks kepala
kambing 1 maupun kambing 2 sesuai dengan literatur.

Penafsiran Umur
Penafsiran umur merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
memperkirakan umur suatu ternk berdasarkan ciri-ciri yang tampak. Penafsiran
umur penting dilakukan ketika suatu sapi tidak dilengkapi dengan catatan umur.
Yulianto dan Saparinto (2011) menyatakan bahwa secara alamiah masing-
masing makhluk hidup telah dilengkapi cara penandaan umur. Beberapa organ
sapi yang digunakan sebagai pendugaan umur, di antaranya berdasarkan
penilikan cincin tanduk dan penilikan gigi.
Penafsiran umur bermanfaat untuk mengetahui kisaran usia
sesungguhnya dari sapi. Yulianto dan Cahyo (2011) menyatakan bahwa
penafsiran umur bermanfaat untuk mengetahui kisaran usia sesungguhnya dari
sapi. Putra et al. (2014) menytatakan bahwa penafsiran berfungsi untuk
mengetahui berat badan sapi secara tidak langsung.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan penafsiran umur
menggunakan tiga metode yaitu penafsiran berdasarkan poel, putusnya tali
pusar, dan jumlah cincin tanduk. Penafsiran umur dengan melihat perkembangan
dan pergantian gigi seri serta terasahnya gigi seri (permanen). Yulianto dan
Saparinto (2011) juga menyatakan bahwa secara alamiah masing-masing
makhluk hidup telah dilengkapi cara penandaan umur. Ada beberapa organ sapi
yang digunakan sebagai pendugaan umur, di antaranya berdasarkan penilikan
cincin tanduk dan penilikan gigi. Hasil penafsiran umur dapat dilihat pada gambar
berikut.

a a b

Gambar 5. Penafsiran berat badan. Cincin tanduk(a) dan


gigi poel (b)
Penafsiran umur pada saat praktikum dilakukan dengan melihat gigi poel
sapi, dengan cara handling sapi lalu di buka mulutnya dengan cara memasukan
jari-jari tangan ke bagian diasterma mulut sapi atau ruang kosong diantara gigi
seri, dan diperoleh hasil sapi PO poel 4, yang berarti sapi berusia kurang lebih 3
sampai 3,5 tahun, dan sapi Simpo poel 1 yang berarti sapi berusia kurang lebih 1
tahun. Penafsiran umur juga dilihat dari cincin tanduk, untuk sapi Simpo tidak
ditemukan cicncin tanduk, sedangkan sapi PO ditemukan cincin tanduk. Yulianto
dan Cahyo (2011) menyatakan bahwa penafsiran umur pada sapi dilakukan
dengan penilaian gigi yang didasari oleh pergantian gigi seri, tali pusar, dan
cincin tanduk. Tingkat umur pada sapi yaitu 0 sampai 1,5 tahun gigi seri susu
belum tanggal, 1,5 sampai 2 tahun gigi seri susu tanggal 1 pasang, 2,5 sampai 3
tahun gigi seri susu tanggal 2 pasang, 3 sampai 3,5 tahun gigi seri susu tanggal
3 pasang, dan 3,5 sampai 4 tahun gigi seri susu tanggal 4 pasang. Hasil
praktikum sesuai dengan literatur. Pengukuran pada saat penafsiran umur sapi
disajikan pada gambar di bawah.

Penafsiran Berat Badan Commented [A1]: Pengertian


Manfaat
Penafsiran berat badan merupakan metode yang dilakukan untuk Metode
Hasil
memperkirakan berat badan ternak tanpa harus menimbang ternak tersebut. faktor
Rianto dan Purbowati (2011) menyatakan bahwa cara terbaik dan paling akurat
untuk menentukan berat ternak adalah dengan menimbangnya. Perdagangan
hewan yang mampu menduga berat badan ternak hanya dengan memegang
tebal tipisnya lemak punggung.
Manfaat mengetahui bobot badan yaitu mengetahui seleksi bibit,
penentuan tingkat pakan, menggambarkan kondisi ternak dan pemotongan
ternak. Bobot hidup berkorelasi positif terhadap ukuran-ukuran linear dimensi
tubuh antara lain lingkar dada, panjang badan, serta tinggi pundak atau tinggi
badan. Rianto dan Purbowati (2011) menyatakan bahwa manfaat dari penafsiran
berat badan ternak dapat mempermudah memperkirakan berat badan suatu
ternak tanpa harus menimbangnya menggunakan timbangan.
Metode yang digunakan pada saat praktikum untuk menafsir berat badan
adalah dengan menggunakan data vital yaitu lingkar dada dan panjang badan
absolute. Rumus yang digunakan adalah Sceiffer, Lambourne, Scrool, dan
Djagra. Rianto dan Purbowati (2011) menyatakan bahwa metode penafsiran
berat badan tubuh ternak merupakan hasil pengukuran dari proses tumbuh
ternak yang dilakukan dengan cara penimbangan. Bobot badan dapat diukur
melalui tinggi badan, lingkar dada, lebar dada. Pengukuran lingkar dada dan
panjang badan dapat memberikan petunjuk bobot badan seekor ternak. Rumus
penduga bobot badan ternak menggunakan lingkar dada yaitu Schoorl dan
Winter.
Berdasarkan praktikum yan telah dilakukan dapat diketahui berat badan
rill untuk sapi PO adalah 336,5 kg sedangkan sapi SimPO adalah 462 kg. Rianto
dan Purbowati (2011) menyatakan bahwa rata-rata bobot hidup sapi PO yaiu
314.26 kg dengan bias 13.04 kg atau 4.34 % berdasarkan ukuran linear tubuh
yaitu lingkar dada dan panjang badan absoulut sedangkan sapi simPO sekitar
441 kg. Berdasarkan praktikum dapat diketahui bahwa pengertian dan manfaat
penafsiran berat badan ternak telah sesuai dengana literatur.
Faktor yang memengaruhi adalah ketepatan data, fenotip sapi, dan
bentuk tubuh sapi. Perbedaan hasil pengukuran penafsiran berat badan dengan
rumus dan riil disebabkan oleh rumus yang digunakan tidak selalu sama untuk
setiap sapi. Karno (2017) menyatakan bahwa perbedaan perhitungan mahluk
hidup adalah wajar, karena bobot hewan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan,
yakni gelisah atau stress, banyak makan, banyak minum. Akibat buruk perlakuan
dan pengangkutan juga dapat menyebabkan susut tubuh 5 sampai 10 %.

Pengukuran Kinerja Reproduksi


Kinerja reproduksi merupakan kemampuan suatu ternak untuk
memberbanyak keturunannya yang dapat ditinjau dari berbagai aspek. Kinerja
reproduksi yang tinggi menyebabkan tingginya nilai produksi suatu ternak.
Affandy et al. (2002) menyatakan bahwa kinerja reproduksi adalah kemampuan
seekor ternak untuk bereproduksi dengan kualitas dan kuantitas tertentu.
Manfaat pengukuran kineja reproduksi yaitu untuk mengetahui
kemampuan suatu ternak dalam menghasilkan keturunannya. Kinerja reproduksi
ternak terkait kondisi dan status reproduksi pada ternak untuk melahirkan anak.
Panjono et al. (2015) menyatakan bahwa kinerja reproduksi adalah kemampuan
ternak menghasilkan sejumlah anak dalam kurun waktu tertentu.
Kinerja reproduksi meliputi umur pertama estrus, umur pertama kawin,
post partum estrus (PPE), post partum mating (PPM), service per conception
(S/C), lama siklus estrus, lama bunting, jarak beranak, litter size, umur sapi, berat
sapih, pertambahan berat badan prasapih, dan presentasi kematian prasapih.
Affandy et al. (2002) menyatakan bahwa kinerja reproduksi meliputi umur
pertama ternak betina estrus, post partum estrus, post partum matin, service per
conception, lama siklus estrus, lama bunting, jarak beranak, litter size, umur
sapih, berat sapih, pertambahan berat badan prasapih, presentase kematian
prasapih indeks reproduksi induk, dan indeks produktivitas induk.
Berdasarkan praktikum pengukuran kinerja reproduksi sapi didapatkan
bahwa umur pertama kali estrus yaitu 12 sampai 14 bulan, umur pertama kali
kawin antara 15 sampai 18 bulan, post partum estrus (PPE) 60 hari, post partum
mating (PPM) 90 hari, service per conception (S/C) 1 sampai 2 kali, lama siklus
estrus 21 hari, lama bunting 280 hari, jarak beranak antara 12 sampai 14 bulan,
litter size 1 ekor, umur sapih 3 sampai 4 bulan, berat sapih 80 sampai 100 kg,
pertambahan berat badan prasapih antara 0,5 sampai 1 kg, presentase kematian
prasapih 5%. Riyanto et al. (2015) menyatakan bahwa Post Partum Estrus (PPE)
pada ternak sapi yaitu berkisar antara 2,83 bulan sampai 4,29 bulan. Post
Partum Mating (PPM) yaitu berkisar antara 3,15 bulan sampai 4,5 bulan. Service
per conception (S/C) yaitu berkisar antara 1,25 kali sampai 1,65 kali. Jarak
beranak yaitu berkisar antara 13,75 bulan sampai 14,91 bulan. Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil praktikum sesuai dengan literatur
yang tersedia.
Faktor yang memengaruhi kinerja reproduksi yaitu pakan, kesehatan,
berat badan, aktivitas, iklim, dan umur. Affandy et al. (2002) menyatakan bahwa
faktor yang memengaruhi kinerja reproduksi yaitu pakan, kesehatan, berat
badan, aktivitas, iklim, dan umur. Kinerja reproduksi dapat ditingkatkan dengan
manajemen reproduksi yang tepat, pola perkawinan tepat, deteksi kebuntingan,
dan penanganan kelahiran.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan
bahwa sapi yang diidentifikasi bangsanya merupakan sapi PO dan Simpo.
Kondisi fisiologis sapi dalam keadaan relatif normal. Umur sapi Simpo berusia 1
tahun sedangkan sapi PO berusia 3 sampai 3,5 tahun, penafsiran berat badan
sapi adalah 372 kg dan sapi PO adalah 273 kg. Kinerja reproduksi kedua sapi
berjalan dengan normal. Faktor yang memengaruhi perbedaan data yaitu jenis Commented [A2]:

kelamin, suhu lingkungan, umur, bangsa ternak, dan ukuran tubuh. Commented [A3R2]: faktor

Saran
Pelaksanaan praktikum Ilmu Ternak Potong, Kerja, dan Kesayangan
komoditas Domba berjalan lancar. Waktu pelaksanaan praktikum tidak berjalan
sesuai jadwal. Saran untuk praktikum berikutnya adalah meningkatkan efektifitas
waktu praktikum, baik dari praktikan maupun asisten jaga.
DAFTAR PUSTAKA
Aan, A., Y. R. Nugraheni, dan S. Nusantoro. 2017. Teknik handling dan
penyembelihan hewan qurban. Jurnal Pengabdian Masyarakat
Peternakan. 2(2): 84-97.
Aditia, E. L., A. Yani, dan A. F. Fatonah. 2017. Respons fisiologi ternak sapi bali
pada sistem integrasi kelapa sawit berdasarkan kondisi lingkungan
mikroklimat. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan.
5(1):23-28.
Affandhy, L. P. S., P. W. Prihandito, D. B. Wijono. 2002. Performa reproduksi dan
pngelola sapi potong induk pada kondisi peternakan rakyat. Seminar
Peternakan dan Veteriner push it bag. Bogor
Budisatria, G. S., Panjono, Dyah, M., A, Ibrahim. 2018. Sapi Peranakan Etawah:
Kepala Hitam atau Coklat.
Damara, V. V. A, dan M. J. Eliot. 2016. Horse Power in the World. UK
University.Australia
Fikar, S. dan D. Ruhyadi. 2010. Beternak dan Berbisnis Sapi Potong. PT
AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Ghalem, S., N. Khebichat, K. Nekkal. 2012. The Physiologi of Animal Respiration
Study of Domestic Animal. Article of Animal
Hartatik, T. 2019. Analisis Genetik Ternak Lokal. Gadjah Mada University Press.
Yogayakarta.
Ifafah, W.W. 2012. Hubungan Kondisi Fisiologis Domba Ekor Gemuk Jantan dan
Palatabilitas Limbah Tauge Sebagai Ransum Selama Penggemukan.
Skripsi Sarjana Perternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Karno, R. 2017. Hubungan umur dan jenis kelamin terhadap bobot badan sapi
bali di Kecamatan Donggo. Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Alauddin. Makasar.
Kurnianto, E. 2009. Pemuliaan Ternak. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Mutua, dan J. Adam. 2014. Identification of Living Things. Interna Publishing.
Jakarta.
Moningka. 2016. Penampilan reproduksi kedua betina pasca pacu di Desa
Pemotongan Raya Kecamatan Tompaso Barat Kabupaten Minahasa.
Jurnal Peyernakan. 36(2):432-446
Panjono, B. P. Widyobroto, B. Suhartanto, dan Endang B. 2009. Pengaruh
penjemuran terhadap kenyamanan dan kinerja reproduksi sapi PO.
Buletin Peternakan 33(1):17-22
Putra, W. P. B, Sumadi, dan T. Hartatik. 2014. Pendugaan bobot badan pada
sapi aceh dewasa menggunakan dimensi ukuran tubuh. JITP. 3(2):76-
80
Rahman, M. A., S. B. Komar, A. A. Yulianti. 2016. Kajian status faali kuda polo
sebelum dan sesudah dilatih di Nusantara Polo Club. Jurnal Peternakan.
5(4): 20-27.
Riyanto, J., Lutojo, dan D. M. Barcelona. 2015. Kinerja reproduksi induk sapi
potong pada usaha peternakan rakyat di Kecamatan Mojogedang. Sains
Peternakan. 13(2): 73-79.
Rosita, E., I. G. Permana, T. Toharmat, dan Daspal. 2015. Kondisi fisiologis,
profit darah, dan status mineral pada induk dan anak sapi PE. Buletin
Makanan Ternak. 102(1):9-18
Rosyidi, D. 2017. Rumah Potong Hewan dan Teknik Pemotongan Ternak Secara
Islami. UB Press. Malang.
Sujana, E. 2017. Handling Ternak Ruminansia. Direktorat Jendral Guru dan
Tenaga Kependidikan. Yogyakarta
Susilawati, T. 2017. Sapi Lokal Indonesia (Jawa Timur dan Bali). UB Press.
Malang.
Susilorini, T. E., M. E. Sawitri, dan Muharlien. 2008. Budidaya 22 Ternak
Potensial. Penebar Swadaya. Depok.
Trifena, B., I.G.S. dan Hartatik, T. 2011. Perubahan fenotip sapi Peranakan
Ongole, Simpo, dan LimPO pada keturunan pertama dan keturunan
kedua (backcross). Buletin Peternakan. 35(1): 11-16.
Utomo, B., D. P. Miranti, dan G. C. Intan. 2010. Kajian Termoregulasi Sapi Perah
Periode Laktasi Dengan Introduksi Teknologi Peningkatan Kualitas
Pakan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. Ungaran.
Victori, A., E. Purbowati, C. M. Sri Lestari. 2016. Hubungan antara ukuran-ukuran
tubuh dengan bobot badan sapi peranakan etawa jantan di Kabupaten
Klaten. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 26(1): 23-28
Yulianto, P. dan C. Saparinto. 2011. Penggemukan Sapi Potong Hari Per Hari 3
Bulan Panen. Penebar Swadaya. Depok.
LAMPIRAN

Perhitungan berat badan


Rumus Sceiffer
Sapi 1
2 2
L xG 52,662 x 163
W= = =2112 kg
300 300
336,5-2112
Kesalahan: 336,5
x 100%=5,276%

Sapi 2
2
L xG 59,44 x 72,042
W= = =681,1 kg
300 300
462-681,1
Kesalahan: x 100%=47,42%
462

Rumus Lambourne
Sapi 1
2
L xG 134 x 1632
W= = =328,43 kg
10840 10840
336,5-328,43
Kesalahan: x 100%=2,39%
336,5

Sapi 2
2
L xG 151 x 1832
W= = =466,49 kg
10840 10840
462-466,49
Kesalahan: 462
x 100%=0,97%

Rumus Scroll
Sapi 1
2
(G+22) (163+22)2
W= = =342,25 kg= (G+22)^2/100=
100 100

(163+22)^2/100=342,25 kg
336,5-342,25
Kesalahan: x 100%=1,7%
336,5

Sapi 2
2
(G+22) (183+22)2
W= 100
= 100
=420,25 kg= (G+22)^2/100=

(183+22)^2/100=420,25 kg= (G+22)^2/100= (183+22)^2/100=420,25


kg
462-420,25
Kesalahan: x 100%=9,04%
462
Rumus Djagra
Sapi 1
2 2
L xG 134 x 163
W= = =322,34 kg
11045 10840
366,5-322,34
Kesalahan: x 100%=13,12%
366,5

Sapi 2
2
LxG 151 x 1832
W= = =457,84 kg = L x G^2/11050= 151 x
11050 11050

183^2/11050=457,84 kg L x G^2/11050= 151 x 183^2/11050=457,84


kg L x G^2/11050= 151 x 183^2/11050=457,84 kg
462-457,84
Kesalahan: x 100%=1,08%
462

Anda mungkin juga menyukai