Anda di halaman 1dari 12

Rumah Sejuta Ide

.:asmar abdullah’s personal blog: kumpulan artikel, esai, catatan, puisi dan fiksi:.

Pesona Malino, Dingin dan Bersejarah…


leave a comment »

BEBRAPA tahun silam, dua kelompok bertikai menyebabkan


Ambon dan Poso membara. Tapi hawa dingin Malino membuat delegasi kedua pihak
yang bertikai bisa bermufakat di daerah ini dalam Pertemuan Malino I dan II yang
menghasilkan Deklarasi Malino I dan Malino II. Konflik di Ambon dan Poso pun
mereda. Itulah secuil gambaran tentang sejarah Malino. Keindahan alam dan hawa
dingin daerah ini sudah terkenal sejak dulu, sehingga sering menjadi tempat
berlangsungnya pertemuan-pertemuan yang mengharuskan pesertanya tetap
ber-’kepala dingin’.

Malino saat ini merupakan salah satu daerah destinasi wisata unggulan di Sulawesi
Selatan. Seperti apa suasananya? Kalau Anda pernah pergi ke Puncak di Bogor, kira-
kira seperti itulah suasananya. Udaranya sejuk dan sangat dingin pada malam hari,
pemandangan alamnya indah, terutama di sekitar hutan pinus dan perkebunan teh.
Tapi akses jalan ke daerah ini sebagian masih memprihatinkan. Beberapa waktu lalu
saya dan mengunjungi daerah ini dan inilah laporan saya.

PERJALANAN dari Kota Makassar ke Malino butuh waktu sekitar dua jam. Hawa
sejuk cenderung dingin mulai terasa ketika memasuki kawasan hutan pinus yang
lebat. Penat akibat goncangan kendaraan selama satu jam lalu lantaran fasilitas jalan
yang kurang bersahabat, perlahan hilang tersapu udara dingin. Pemandangan alam
yang sangat alami membuat kepala yang sedikit pening jadi segar kembali.

Matahari baru saja terbenam, semburat cahaya merah masih terlihat di horison. Saya
teringat peristiwa lima belas tahun lalu, ketika saya baru diterima di Unhas. Senior-
senior memilih daerah ini sebagai lokasi bina akrab pasca Opspek. Itulah kali pertama
saya berkunjung ke daerah ini. Malino memang sering menjadi tempat kegiatan-
kegiatan kemahasiswaan. Bahkan, saat ini, meeting perusahaan mulai banyak digelar
di sini. Kunjunganku yang kedua kali ke daerah ini, sekitar dua tahun lalu dalam
rangka meliput kegiatan yang dilakukan operator selular Telkomsel. Pertemuan
bersejarah juga pernah mewarnai daerah ini, seperti yang saya tulis di awal catatan
saya yaitu pertemuan Malino I dan Malino II yang diprakarsai HM. Jusuf Kalla, yang
waktu itu masih menjabat Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
(Menkokesra).

Ini adalah kali ketiga saya ke Malino. Saya senang karena kondisinya tidak banyak
berubah, tetap asri dan lestari. Bagiku destinasi wisata, yang mengandalkan
keindahan alam dibiarkan apa adanya dan diminimalkan dari sentuhan modernitas.

Tepat pukul 19.00 WITA kami tiba di kota Malino dan langsung mencari penginapan
yang pas. Di sini, karena memang sejak awal diposisikan sebagai destinasi wisata,
fasilitas hotel cukup memadai. Untuk pengunjung berdompet tebal, bisa memilih
kamar yang harganya antara Rp. 300.000,- hingga Rp. 400.000,- per malam. Jika
ingin berhemat bisa memilih wisma yang harganya sekitar Rp. 200.000,- per malam.
Tapi jika membawa bekal pas-pasan, di sini juga tersedia penginapan sederhana yang
sewa kamarnya kurang dari Rp. 100.000,- per malam.

Jelang malam, suasana di Malino sangat sepi. Hanya sedikit pintu rumah warga yang
masih terbuka. Dan begitu jarum jam menunjuk angka 9 (pukul 21.00 WITA),
sebagian besar warga sudah mematikan lampu dan bersiap untuk tidur. “Penduduk di
sekitar sini, memang cepat tidur kalau malam. Umumnya mereka adalah petani
penggarap sawah dan kebun,” ujar Andi Dendra, salah seorang warga.

“Sudah cepat tidur, udara dingin pula. Biasanya di daerah seperti ini, program KB
kurang berhasil,” kata Ary salah seorang kawan saya menimpali.

“O.. ya, memang benar. Di kampung ini banyak anak yang belum sekolah tapi sudah
punya dua adik,” jawab Andi Dendra yang juga salah seorang guru di daerah ini.
Sambil tertawa ia melanjutkan: “Ini adalah PR buat saya dan kawan-kawan untuk
memberikan pemahaman pada masyarakat tentang pentingnya mengatur jarak
kehamilan atau kelahiran anak”.

Malam itu sangat indah. Kawasan perbukitan yang lereng-lerengnya telah diubah
menjadi sawah bersusun, terlihat sangat indah di bawah sinar rembulan. Untuk
mengusir rasa dingin, kami menikmati jagung bakar yang dijajakan di depan hutan
pinus.

SELAIN hutan pinus, Malino memiliki banyak


obyek wisata, seperti air terjun Takapala, kebun teh Nitto, lembah Biru dan gunung
Bawakaraeng. Gunung Bawakaraeng adalah obyek kesayangan para pencinta alam di
sejumlah kampus yang ada di Makassar dan Sulsel pada umumnya.

Kebun teh Nitto kurang lebih sama dengan kebun teh yang ada di Puncak (Bogor).
Dikembangkan di kawasan perbukitan, ditata sedemikian rapi sehingga dari jauh
terlihat seperti jejeran garis-garis hijau yang tebal.
Air terjun Takapala tingginya sekitar 100 meter, terletak cukup jauh dari kota Malino.
Jalan menuju tempat ini cukup mendebarkan karena salah satu sisinya adalah jurang.
Air dengan volume yang sangat besar jatuh dari ketinggian 100 meter menimpa
bongkahan-bongkahan batu besar, menimbulkan suara gemuruh dan percikan yang
membentuk kabut tipis pada radius 20 meter, sungguh merupakan pemandangan yang
indah.

[ditulis ulang di Makassar tanggal 23 Februari 2009, sebelumnya telah diposting di


http://asmarabdullah.blogspot.com]
Traveling To Farm Of tea In Malino
Jump to Comments

Wisata Kebun Teh Malino yang Memukau

Memanjakan diri di kawasan pegunungan yang syarat dengan hawa dingin,


ditambah panorama alam dan deretan puncak kebun teh tersusun rapi, menampilkan
satu tontonan keindahan yang memukau dan sayang untuk dilewatkan.

Enjoy you self In Mountain area, cool, and beautifully of nature and farm of tea to
show beautiful.

Sepintas jika kita mendengar kata ‘Puncak’ langsung tertuju pada kebun teh
Bogor. Saat ini anda tidak perlu jauh-jauh untuk dapat menikmati panorama kawasan
hijau yang canti di kaki pegunungan. Karena kawasan puncak lengkap dengan
kesejukan dan wewangian aroma teh yang tak kalah indah dan memesonanya dapat
ditemukann di Malino. Perkebunan teh tersebut berada di desa Bulutan, jaraknya
sekitar 9 km dari kota Malino. Teh yang dihasilkan dari kebun dataran tinggi
moncong, Gowa ini merupakan hasil kerja sama dari Mitsui Norin Co. Ltd dan PT.
Dharma Incharcop Coy, sebagai share holder, dibawa bendera PT. Nittoh Malino Tea.

Arah menuju kebun teh yang memiliki luas lahan produksi mencapai 170 hektar ini,
selain menanjak dan berkelok-kelok, juga melintasi deretan lembah dan pegunungan
yang terlihat cantik dan memukau sepanjang jalan. Ini menjadi bukti keindahan
hamparan kebun teh yang tersusun rapi dan bernuansa alam asri nan sejuk, menjadi
salah satu daya tarik buat Anda dan keluargga tuk berkunjung.

Kawasan puncak pegunungan kebun teh merupakan salah satu alternatif


tujuan wisata yang banyak dipilih masyarakat, khususnya bagi orang-orang kota yang
sehari-hari disibukkan dengan rutinitas pekerjaan dan kebisingan suasana kota. Hanya
dengan melihat hamparan perkebunan teh yang elok hijau dari puncak bukit,
ditambah tingkah para pekerja yang sedang memetik teh kan membawa kedamaian
sekaligus ketenangan buat wisatawan.

Untuk bisa mencapai kawasan yang menurut rencana akan dijadikan kota
kembang ini. Anda harus menempuh jarak sekitar 70 kilometer dari Makassar. Waktu
tempuh sekitar 3 jam ini bias dengan menggunakan angkutan kota dari terminal
Sunguminasa, Gowa menuju pasar Malino membayar ongkos sebesar
Rp15.000/orang. Tiba di pasar Malino perjalanan kemudian dilanjutkan
menggunakan ojek dengan mengeluarkan biaya Rp5000. Mengingat menuju kawasan
perkebunan dengan tarif Pedesaan jurusan Malino, waktu tempuh kurang lebih 2-3
jam perjalanan dengan tarif Rp….bisa melihat secara langsung proses pembuatan teh
dari awal hingga akhir

Hamparan perkebunan eksotis keberadaan kebun teh menjadi sala satu daya
tarik pengunjung untuk melihat secara langsung proses pembuatan teh mulai dari
pemetikan sampai pengelolahannya. Semua dapat disaksikan Pesona Kota Malino,
yang terletak 90 km dari arah selatan Makassar merupakan suatu kawasan wisata
alam yang memiliki daya tarik menarik dan luar biasa. Tidak diragukan lagi, saat
anda berkunjung ke daerah ini, kesejukan terpanpan melalui pesona alamnya yang
indah.

Lokasi menuju kebun the dapat ditempuh dengan menggunakan dua alternatif u,
Untuk penginapan bersama keluarga Anda tidak perlu kuatir. Banyak pilihan tempat
menginap di kota ini, tentu saja dengan harga berfariasi dan dijamin memenuhi
dompet Anda. Seperti di pondokan Rp 80 ribu, di Bukit Indah Rp 150 ribu dan Hotel
Celebes Rp 200- 400 ribu per room. , ariel/yul
<!--[if !supportLineBreakNewLine]-->
<!--[endif]-->

Tempat Penginapan Di Malino

Nama Penginapan Alamat

Hotel Pinang Mas Jl.Posor Sinjai Malino

Villa Resorst Celebes Jl.Sultan Hasanuddin No.1

Wisma Lompobattang Jl.Gunung Lompobattang No.89

Penginapan sederhana Jl.Gunung Lompobattang No.90

Pondok Lembah Biru Jl.Pa’tene Malino

Bukit Indah Malino Jl.Endang No.20

Malino
Malino 1927

Malino dikenal sekarang ini sebagai tempat peristirahatan atau tempat wisata.
Sebelum muncul nama Malino, dulu rakyat setempat mengenalnya deengan nama
kampung ‘Lapparak’. Laparrak dalam bahasa Makassar berarti datar, yang berarti
pula hanya di tempat itulah yang merupakan daerah datar di puncak Gunung
Bawakaraeng. Malino dan Laparrak berada pada ketinggian antara 980-1.050 meter
di atas permukaan laut.

Kota Malino baru dikenal dan semakin popular sejak zaman penjajahan Belanda,
lebih-lebih setelah Gubernur Caron pada tahun 1927 memerintah di “Celebes on
Onderhorighodon” telah menjadikan Malino pada tahun 1927 sebagai tempat
peristirahatan bagi para pegawai pemerintah dan siapa saja dari pemerintah warga
kota Makassar (Ujung Pandang) sanggup dan suka membangun bungalow atau villa
di tempat sejuk itu.

Sebelum memasuki kota Malino, terdapat sebuah tembok prasasti di pinggir jalan
dengan tulisan: MALINO 1927. Tulisan tersebut cukup jelas dan seketika itu pula
dapat dibaca setiap orang yang melintas di daerah itu.

Malino 1927 bukan berarti Malino baru dikuasai Belanda pada tahun itu. Jauh
sebelumnya, Belanda sudah berkuasa di wilayah Kerajaan Gowa, terutama setelah
pasca Perjanjian Bungaya 18 November 1667.

Sejak zaman kerajaan, Malino atau Laparrak hanya terdiri dari hutan belantara, di
dalam wilayahnya terdapat beberapa anak sungai yang semuanya bermuara pada
Sungai Jeneberang.

Ada tempat wisata yang sejuk di Buluttana, seperti air terjun, juga dibangun tiga
rumah adat, yakni rumah adat Balla Jambua, Balla Tinggia dan Balla Lompoa. Di
tempat itu kondisi hawanya dingin dan sejuk dan sering dijadikan sebagai tempat
wisata.

Di puncak Bawakaraeng, kini menjadi objek wisata petualangan. Setiap saat banyak
wisatawan berdatangan untuk melakukan pendakian ke Puncak bawakaraeng. Mereka
lalu menancapkan bendera di puncak gunung itu. Menurut cerita, Malino selain
dijadikan sebagai tempat peristirahatan, juga menjadi tempat persembunyian bagi
para pejuang. Karena sejak Belanda masuk ke wilayah Kerajaan Gowa sudah terjadi
konflik, terutama pasca perjanjian Bungaya, dimana Belanda sudah berkuasa, rakyat
mengungsi ke wilayah itu.

Sejak tahun 1927, setelah Belanda secara resmi menjadikan Malino sebagai tempat
peristirahatan, maka kebijakan pemerintah Belanda saat itu adalah memberi
kesempatan pada orang asing baik Belanda maupun Cina untuk membangun
bungalow atau villa. Sedang penduduk setempat dilarang mendirikan rumah. Rumah
rakyat digeser masuk ke hutan atau lereng gunung, kecuali di sekitar pasar. Menurut
keterangan ibu Siti Saerah Dg Moming (Penilik Kebudayaan kantor Cabang Dinas P
& K Tinggimoncong) dan anak angkat dari Abd Rahman Dg Mile yang pernah ikut
Tuan Weydoman pada tahun 1930, Malino saat itu hanya berdiri beberapa bangunan
yakni Barugaya (Mess Pemda Tingkat I Propinsi Sulsel), Restoran, Pesanggrahan dan
MEPB (PLN sekarang).

Pada masa pemerintahan Jepang, Malino juga tak luput dari pengawasannya. Karena
tanahnya yang subur, maka Malino saat itu dijadikan sebagai daerah penghasil sayur
mayur untuk menutupi kebutuhan sayur para serdadu dan pekerja Jepang. Juga di
sepanjang jalan, banyak ditemui lubang-lubang perlindungan, sebagai tempat
penghadangan musuh. Juga banyak ditemui gudang senjata dan rumah sakit
Kaigumbioying dan markas tentara (SMP negeri Malino sekarang). Nama Malino
sebenarnya adalah nama sungai yang berhulu di Laparrak (Malino sekarang).

Sungai Malino dapat dilewati jika kita menuju kota Malino yang dihubungkan dengan
sebuah jembatan gantung Lebong. Sungai Malino airnya amat tenang seolah-olah
memberikan ketenangan dan kesejukan di hati, sesuai dengan namanya Malino yang
artinya amat tenang. Malino yang dibangun oleh pemerintah Belanda sesuai tempat
peristirahatan, memiliki hawa yang sejuk segar bahkan kadang kala terasa cukup
dingin dengan ketenangan. Keadaan alam dan lingkungan yang demikian itu sangat
cocok kiranya apabila tempat ini diberi nama Malino. Sejak itulah Lapparak berubah
nama menjadi Malino yang artinya amat tenang.

Setiap tamu yang berkunjung ke Malino akan merasa kesejukan dan ketenangan
tersebut. Pada masa pemerintah Belanda dahulu, Malino hanyalah merupakan satu
kampung gabungan Buluttana dan diperintah oleh seorang kepala kampung dengan
gelar Karaeng Buluttana. Buluttana termasuk Wilayah Distrik Parigi dengan pusat
pemerintah distrik yang berkedudukan di Tanete sampai pada tahun 1939. Kemudian
pada tahun 1939-1952 ibu kota distrik Parigi pindah dari Tanete ke Saluttowa, sekitar
10 km dari sebelah barat kota Malino.

Wilayah Distrik Parigi terdiri atas 6 (enam) buah kampung gabungan (desa) masing-
masing:

1. Kampung gabungan Jonjo diperintah oleh seorang kepala kampung gabungan


dengan gelar Anrong Guru Jonjo.

2. Kampung Gabungan Gantarang diperintah oleh seorang kepala kampung gabungan


dengan gelar Karaeng Gantarang.

3. Kampung Gabungan Buluttana, diperintah oleh seorang kepala kampung gabungan


dengan gelar Karaeng Buluttana.

4. Kampung Gabungan Longka, diperintah oleh seorang kepala kampung gabungan


dengan gelar Karaeng Longka.

5. Kampung Gabungan Manimbahoi, diperintah oleh seorang kepala kampung


gabungan dengan gelar karaeng Manimbahoi.

6. Kampung Gabungan Sironjong, diperintah oleh seorang kepala kampung gabungan


dengan gelar Karaeng Sironjong.
Malino merupakan bagian dari kampung gabungan Buluttana, ternyata kemudian
mengalami perkembanngan pesat dibanding Saluttowa sebagai ibukota / pusat
pemerintahan distrik. Karena Malino yang semula dijadikan sebagai tempat
peristirahatan, atas pertimbangan Pemerintah belanda pada tahun 1952, maka ibukota
distrik dipindahkan dari Saluttowa ke Malino.

Pemindahan ibukota distrik itu dilakukan dengan pertimbangan, bahwa Malino


memiliki keistimewaan sebagai tempat peristirahatan yang sejuk dan nyaman, juga
letaknya sangat strategis. Dalam perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun
1962, seiring dengan tuntutan dan perkembangan pemerintahan, di ujung Timur
Gowa, dibentuk satu distrik, namanya distrik Pao yang dibentuk dari 6 kampung
gabungan yakni:

1. Kampung Baringong

2. Kampung Tonasa

3. Kampung Pao

4. Kampung Suka

5. Kampung Balasuka

6. Kampung Mamampang

Kampung gabungan tersebut masing-masing diperintahkan oleh Gallarang. Namun


kedua distrik di daerah dataran tinggi itu pada tahun 1957 dibentuk Koordinatorschap
Gowa Timur yang berkedudukan di Malino. Koordinatorschap Gowa Timur meliputi
Parigi, inklusif Malino kota dan Tombolo Pao.

Pada tahun 1961, pemerintahan koordinatorschap ini dihapus sesuai dengan kebijakan
Pemerintah Republik Indonesia. Saat itu dilakukan reorganisasi pemerintahan distrik
menjadi kecamatan. Gowa saat itu terdiri dari 12 distrik, kemudian dilebur menjadi 8
kecamatan, yakni kecamatan Tamalate, Panakukkang, Bajeng, Palangga,
Bontomarannu, Tinggimoncong, Tombopulu dan Bontomarannu.

Atas kebijakan itu pula, distrik Parigi dan distrik Pao kemudian dilebur menjadi satu
kecamatan, namanya kecamatan Tinggimoncong. Tapi kemudian, dalam
perkembangan selanjutnya, pada tahun 1990 an, dengan alasan mempermudah
pelayanan, maka kecamatan Tinggimoncong dimekarkan lagi menjadi satu kecamatan
yakni kecamatan Parigi.
April 29, 2009
Categories: malino . . Author: mas bejo

Pesona Malino, Dingin dan Bersejarah


Oleh: Asmar, BTN Asal Mula Blok D4/06 - Makassar

BEBRAPA tahun silam,


dua kelompok bertikai menyebabkan Ambon dan Poso membara. Tapi hawa dingin
Malino membuat delegasi kedua pihak yang bertikai bisa bermufakat di daerah ini
dalam Pertemuan Malino I dan II yang menghasilkan Deklarasi Malino I dan Malino
II. Konflik di Ambon dan Poso pun mereda. Itulah secuil gambaran tentang sejarah
Malino. Keindahan alam dan hawa dingin daerah ini sudah terkenal sejak dulu,
sehingga sering menjadi tempat berlangsungnya pertemuan-pertemuan yang
mengharuskan pesertanya tetap ber-?kepala dingin?. Malino saat ini merupakan salah
satu daerah destinasi wisata unggulan di Sulawesi Selatan. Kalau Anda pernah pergi
ke Puncak di Bogor, kira-kira seperti itulah suasananya. Tapi akses jalan ke daerah ini
sebagian masih memprihatinkan, tidak seperti di Bogor. Perjalanan dari Kota
Makassar ke Malino butuh waktu sekitar dua jam. Hawa sejuk cenderung dingin
mulai terasa ketika memasuki kawasan hutan pinus yang lebat. Penat akibat
goncangan kendaraan selama perjalanan lantaran fasilitas jalan yang kurang
bersahabat, perlahan hilang tersapu udara dingin. Pemandangan alam yang sangat
alami membuat kepala yang sedikit pening jadi segar kembali. Karena memang sejak
awal diposisikan sebagai destinasi wisata, fasilitas hotel di Malino cukup memadai.
Untuk pengunjung berdompet tebal, bisa memilih kamar yang harganya antara Rp.
300.000,- hingga Rp. 400.000,- per malam. Jika ingin berhemat bisa memilih wisma
yang harganya sekitar Rp. 200.000,- per malam. Tapi jika membawa bekal pas-pasan,
di sini juga tersedia penginapan sederhana yang sewa kamarnya kurang dari Rp.
100.000,- per malam. Jelang malam, suasana di Malino sangat sepi. Hanya sedikit
pintu rumah warga yang masih terbuka. Dan begitu jarum jam menunjuk angka 9
(pukul 21.00 WITA), sebagian besar warga sudah mematikan lampu dan bersiap
untuk tidur. Malam itu sangat indah. Kawasan perbukitan yang lereng-lerengnya telah
diubah menjadi sawah bersusun, terlihat sangat indah di bawah sinar rembulan. Untuk
mengusir rasa dingin, Anda dapat menikmati jagung bakar yang dijajakan di depan
hutan pinus. Selain hutan pinus, Malino memiliki banyak obyek wisata, seperti air
terjun Takapala, kebun teh Nitto, lembah Biru dan gunung Bawakaraeng. Gunung
Bawakaraeng adalah obyek kesayangan para pencinta alam di sejumlah kampus yang
ada di Makassar dan Sulsel pada umumnya. Kebun teh Nitto kurang lebih sama
dengan kebun teh yang ada di Puncak (Bogor). Dikembangkan di kawasan
perbukitan, ditata sedemikian rapi sehingga dari jauh terlihat seperti jejeran garis-
garis hijau yang tebal. Dan Air terjun Takapala, wow... tingginya sekitar 100 meter!
Jalan menuju tempat ini mendebarkan karena salah satu sisinya adalah jurang. Air
dengan volume yang sangat besar jatuh dari ketinggian 100 meter menimpa
bongkahan-bongkahan batu besar, menimbulkan suara gemuruh dan percikan yang
membentuk kabut tipis pada radius 20 meter. Sungguh, sebuah pemandangan yang
indah....

Anda mungkin juga menyukai