RUANG ICU
RSUD WANGAYA
Oleh :
NI PUTU TIYA CAHYANI
16.321.2521
5. Pathway (Terlampir)
6. Klasifikasi
Osteoartritis diklasifikasikan menjadi:
a. Tipe primer (idiopatik) tanpa kejadian atau penyakit sebelumnya yang
berhubungan dengan osteoartritis.
7. Gejala Klinis
a. Nyeri sendi
b. Hambatan gerak sendi
c. Nyeri bertahambah dengan aktifitas, membaik dengan istirahat, terasa
paling nyeri pada akhir hari, dan seiring dengan memburuknya penyakit
menjadi semakin parah, sampai pada tahap dimana pegerakan minimal
saja sudah menimbulkan rasa nyeri dan biasa menganggu tidur
d. Kekakuan paling ringan pada pagi hari namun terjadi berulang-ulang
sepanjang hari dengan periode istirahat
e. Krepitasi, rasa gemeretak (kadang-kadang dapat terdengar) pada sendi
yang sakit
f. Pembesaran sendi (deformitas)
g. Perubahan gaya berjalan
h. Tanda-tanda peradangan, tanda peradangan pada sendi (nyeri tekan,
gangguan gerak, rasa hangat yang merata dan warna kemerahan.
8. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan umum yang lengkap perlu dilakukan. Disamping menilai
adanya sinovial pada setiap sendi, perhatikan juga hal- hal berikut ini:
a. Keadaan umum: komplikasi steroid, berat badan.
b. Tangan: meliputi vaskulitasi dan fungsi tangan
j. Kaki: efusi lutut, maka cairan akan mengisi cekungan medial dan
kantong suprapatelar mengakibatkan pembengkakan diatas dan
sekitar patela yang berbentuk seperti ladam kuda dan efusi sendi
pergelangan kaki akan terjadi pembengkakan pada sisi anterior.
9. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan radiologi ( uuntuk indikasi inflamasi) dan cairan sinovial
dalam batas normal, pemeriksaan mikroskopis
b. Foto rontgen polos menunjukkan penurunan progresif massa kartilago
sendi sebagai penyempitan rongga sendi
c. Pemeriksaan zat besi dan kalsium
10. Penatalaksanaan
Pengelolaan OA berdasarkan atas sendi yang terkena dan berat ringannya
OA yang diderita. Penatalaksanaan OA terbagi atas 3 hal, yaitu :
1) Terapi non-farmakologis
a. Edukasi
Edukasi atau penjelasan kepada pasien perlu dilakukan agar
pasien dapat mengetahui serta memahami tentang penyakit yang
dideritanya, bagaimana agar penyakitnya tidak bertambah
semakin parah, dan agar persendiannya tetap terpakai.
b. Terapi fisik atau rehabilitasi
Pasien dapat mengalami kesulitan berjalan akibat rasa sakit.
Terapi ini dilakukan untuk melatih pasien agar persendiannya
tetap dapat dipakai dan melatih pasien untuk melindungi sendi
yang sakit
c. Penurunan berat badan
Berat badan yang berlebihan merupakan faktor yang memperberat
OA. Oleh karena itu, berat badan harus dapat dijaga agar tidak
berlebihan dan diupayakan untuk melakukan penurunan berat
badan apabila berat badan berlebihan.
2) Terapi farmakologis
Penanganan terapi farmakologis melingkupi penurunan rasa nyeri yang
timbul, mengoreksi gangguan yang timbul dan mengidentiikasi
manifestasi klinis dari ketidakstabilan sendi
a. Obat Antiinflamasi Non steroid (AINS), inhibitor
siklooksigenase-2 (COX 2), dan Asetaminofen untuk mengobati
rasa nyeri yang timbul pad OA lutut, penggunaan obat AINS dan
inhibitor COX-2 dinilai lebih efektif daripada penggunaan
asetaminofen. Namun karena risiko toksisitas obat AINS lebih
tinggi daripada asetaminofen, asetaminofen tetap menjadi obat
pilhan pertama penanganan rasa nyeri pada OA. Cara lain untuk
mengurangi dampak toksisitas dari obat AINS adalah dengan cara
mengpmbinasikannya dengan menggunakan inhibitor COX-2
b. Chondroprotective agent
Adalah obat-obatan yang dapat menjaga atau merangsang
perbaikan dari kartilago pada pasien OA. Obat-obatan yang
termasuk dalam kelompok obat ini adalah : tetrasiklin, asam
hialuronat, kondroitin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin C dan
sebagainya.
3) Terapi pembedahan
Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk
mengurangi rasa sakit dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi
deformitas sendi yang menganggu aktivitas sehari-hari.
11. Terapi
Prinsip utama pengobatan penyakit osteoartritis adalah dengan
mengistirahatkan sendi yang terserang. Karena jika sendi yang terserang
terus digunakan akan memperparah peradangan. Dengan mengistiratakan
sendi secara rutin dapat mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan. Embidaian
bisa digunakan untuk imobilisasi dan mengistiratkan satu atau beberapa
sendi. Tetapi untuk mencegah kekakuan dapat dilakukan beberapa gerakkan
yang sistematis. Obat- obat yang digunakan untuk mengobati penyakit ini
adalah:
a. Obat anti peradangan non steroid, yang paling sering digunakan
adalah aspirin dan ibuprofen. Obat ini mengurangi pembengkakan
sendi dan mengurangi nyeri.
b. Obat slow-acting. Obat ini ditambahkan jika terbukti obat anti
peradangan non steroid tidak efektif setelah diberikan selama 2-3
bulan atau diberikan segera jika penyakitnya berkembang cepat.
c. Kortikosteroid, misalnya prednison merupakan obat paling efektif
untuk mengurangi peradangan dibagian tubuh manapun.
Kortikosteroid efektif digunakan pada pemakaian jangka pendek, dan
kurang efektif bila digunakan dalam jangka panjang. Obat ini tidak
memperlambat perjalanan pnyakit ini dan pemakaian jangka panjang
mengakibatkan berbagai efek samping., yang melibatkan hampir
setiap orang.
d. Obat Imunosupresif (contoh metotreksat,azatioprin, dan
cyclophosphamide) efektif unuk mengatasi artritis yang berat. Obat
ini menekan peradangan sehingga pemakaian kortikosteroid bisa
dihindari atau diberikan dengan dosis rendah.
6. Pengkajian psiko-sosial-spiritual
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yangdideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta responatau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam
keluargaataupun dalam masyarakat
7. Pemeriksaan fisik
B1 (Breathing) Pernapasan meningkat, dispneu, pergerakan dada
simetris, suara nafas normal tidak ada suara nafas tambahan seperti
stridor dan ronchi.
B2 (Blood) Hipertensi (kadang 3 kadang terlihat sebagai respons
terhadap nyeri/ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah), takikardia
(respon stress,hipovolemia). Penurunan/tak ada nadi pada bagian distal
yang cedera : pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena.
Pembengkakan jaringan atau massa hematoma pada sisi cidera.
B3 (Brain) hilang gerakan/sensasi, spasme otot. Bebas/kesemutan
(parestesis), deformitas local: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi,
krepitasi (bunyi berderit), spasme otot, terlihat kelemahan/hilangnya
fungsi, angitasi(mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas atau trauma
lain).
B4 (Bladder) Tidak ada kelainan sistem perkemihan
B5(Bowel) Tidak ada kelainan defekasi
B6 (Bone)
a. Edema, deformitas, krepitasi, kulit terbuka atau utuh,
ada/tidak adanya nadi di sebelah distal patahan, hematoma, kerusakan
jaringan lunak, posisi ekstremitas abnormal
b. Keadaan lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler À 5P yaitu
Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah :
1. Look (inspeksi) Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain :
a. Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi).
b. Cape au lait spot (birth mark).
c. Fistula
d. Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
e. Benjolan, pembengkakan, atau &ekungan dengan hal-halyang
tidak biasa (abnormal).
f. Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
g. Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2. Feel (palpasi) Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi
penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada
dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi
dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Hal yang perlu dicatat :
a. Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill time
b. Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atauoedema
terutama disekitar persendian
c. nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal). otot tonus pada waktu relaksasi atau
kontraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada
tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada
benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri
atau tidak, dan ukurannya.
3. Intervensi
No Nama diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer & Bare. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 3. Jakarta : EGC
Price & Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6.
Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media
Aesculapius
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta
Selatan : Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta Selatan : Dewan Pengurus Pusat PPNI