Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
tentang Tablet Rektal dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan
juga kami berterima kasih pada Bapak Drs. Sohadi Warya M.Si., Apt selaku Dosen
mata kuliah Teknologi Formulasi Sediaan Liquid dan Semi Solid yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Pendahuluan Sediaan Topikal dalam
Bentuk Semi Solid. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya.Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan
datang.

Bandung, 11 November 2018

Penyusun

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar isi
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
Bab II Isi

Bab III Penutup


3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Daftar Pustaka

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada zaman sekarang ini perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
berkembang pesat, begitu juga dengan dunia kefarmasian. Hal ini dapat dilihat dari
bentuk sediaannya yang beragam yang telah di buat oleh tenaga farmasis. Diantara
sediaan obat tersebut menurut bentuknya yaitu solid (padat), semisolid (setengah
padat) dan liquid (cair). Dengan adanya bentuk sediaan tersebut diharapkan dapat
memberikan kenyamanan dan keamanan bagi konsumen. Salah satu contoh sediaan
farmasi yang beredar di pasaran, Apotek, Instalasi kesehatan, maupun toko obat
adalah sediaan cair (liquid).
Sediaan topikal adalah sediaan yang penggunaannya pada kulit dan membran
mukosa dengan tujuan untuk menghasilkan efek lokal, contoh: lotio, salep, dan krim.
Pemberian topikal dilakukan dengan mengoleskannya di suatu daerah kulit,
memasang balutan lembab, merendam bagian tubuh dengan larutan, atau
menyediakan air mandi yang dicampur obat. Dalam bentuk liquid atau cairan dapat
digunakan sebagai kompres dan antiseptik, bahan aktif yang dipakai biasanya bersifat
astringen dan antimikroba. Dalam bentuk padat dapat berupa bedak, namun bedak
tidak dapat berpenetrasi ke lapisan kulit karena komposisinya yang terdiri dari
partikel padat. Sedangkan dalam bentuk setengah padat dapat berupa krim, gel, lotio,
pasta maupun salep dimana sediaan ini dapat berpenetrasi ke lapisan kulit dengan
prosedur pembuatan yang sedemikian rupa.
Dengan demikian pembuatan sediaan dengan aneka fungsi sudah banyak
digeluti oleh sebagian besar produsen. Sediaan yang ditawarkanpun sangat beragam
mulai dari segi pemilihan zat aktif serta zat tambahan, sensasi yang beraneka ragam,
hingga merk yang digunakan pun memiliki peran yang sangat penting dari sebuah
produk sediaan tersebut.

3
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendekatan rasional untuk formulasi topikal ?
2. Apa saja prinsip-prinsip dasar difusi melalui kulit ?
3. Apa saja metode-metode untuk studi absorpsi perkutan ?
4. Apa yang dimaksud basis, preservatif, antioksidan enhancer dan prototipe
formula ?

1.3 Tujuan
Tujuan penelitian yang ingin dicapai yaitu untuk memahami pendekatan
rasional untuk formulasi topical, mengetahui prinsip-prinsip dasar difusi melalui
kulit, mengetahui metode-metode untuk studi absorpsi perkutan, mengetahui
pengertian dari basis, preservatif, antioksidan dan enhancer.

4
BAB II
ISI

2.1 Pendekatan Rasional untuk Formulasi Topikal


Sediaan topikal adalah obat yang cara pemberiannya bersifat lokal, misalnya
tetes mata, salep mata, tetes telinga, salep, bedak, dll. Pemberian obat pada kulit
merupakan cara memberikan obat pada kulit dengan cara mengoleskan yang
bertujuan untuk mempertahankan hidrasi, melindungi permukaan kulit, mengurang
iritasi kulit atau mengatasi infeksi. Farmakokinetik sediaan topikal secara umum
menggambarkan perjalanan bahan aktif dalam konsentrasi tertentu yang diaplikasikan
padaa kulit dan kemudian diserap ke lapisan kulit, selanjutnya didistribusikan secara
sistemik. Mekanisme ini penting dipahami untuk membantu memilih sediaan topikal
yang akan digunakan dalam terapi dimana obat akan berpenetrasi ke dalam kulit.
Kulit merupakan organ tubuh yang penting yang merupakan permukaan luar
organism dan membatasi lingkungan dalam tubuh dengan lingkungan luar. Fungsi
kulit (Mutschler,1991) :
a. Melindungi jaringan terhadap kerusakan kimia dan fisika, terutama kerusakan
mekanik dan terhadap masuknya mikroorganisme.
b. Mencegah terjadinya pengeringan berlebihan, akan tetapi penguapanair
secukupnya tetap terjadi (perspiration insensibilis).
c. Bertindak sebagai pengatur panas denga melakukan kontriksi dandilatasi
pembuluh darah kulit serta pengeluaran keringat.
d. Dengan pengeluaran keringat ikut menunjang kerja ginjal, dan

5
e. Bertindak sebagai ala pengindera dengan reseptor yang dimilikinyayaitu
reseptor tekan, suhu dan nyeri.
Kulit terdiri atas:
a. Bagian ectoderm yaitu epidermis (kulit luar dan kelengkapannya (kelenjar,
rambut, kuku).
b. Bagian jaringan ikat, yaitu korium (kulit jangat).
Epidermis terdiri dari beberapa lapisan yaitu stratum corneum (lapisan
tanduk), stratum lucidum (lapisan keratohialin, hanya terdapat pada telapak kaki dan
tangan), stratum granulosum (lapisan bergranul) dan stratum germinativum (lapisan
yang bertumbuh), yang dapat dibagi lagi menjadi stratum spinosum (lapisan berduri)
dan stratum basal (lapisan basal). (Mutschler,1991).
Bagian atas kulit yang disebut stratum corneum terdiri atas sel tak berinti
yang disusun oleh brick (komponen selnya/korneosit) dan mortasr (kandungan lipid
interselular). Stratum cornemum dapat ditembus oleh senyawa obat atau zat kimia
yang diaplikasikan ke permukaannya disebut pemberian obat secara perkutan. Tujuan
pengobatan obat secara perkutandapat ditunjukkan untuk pengobatan lokal hanya
dipermukaan kulit atau pada jaringan yang lebih dalam seperti otot dan dapat pula
ditunjukkan untuk pengobatan sistemik.
Mekanisme kerja obat pemberian secara perkutan harus mampu berpenetrasi
kedalam kulit melalui stratum corneum, terjadi proses difusi pasif. Difusi dapat
terjadi melalui stratum corneum (jalur transdermal), atau dapat juga melalui kelenjar
keringat, minyak, atau melalui folikel rambut (jalur transapendagel/transfolikular).
Difusi pasif merupakan proses perpindahan masa dari tempat yang berkonsentrasi
tinggi ke tempat yang berkonsentrasi rendah.

2.2 Prinsip-Prinsip Dasar Difusi Melalui Kulit


Membran dalam kajian formulasi dan biofarmasi merupakan suatu fase padat,
setengah padat, atau cair dengan ukuran tertentu, tidak larut atau tidak tercampurkan
dengan lingkungan sekitarnya dan dipisahkan satu dan lainnya, umumnya oleh fase
cair. Dalam biofarmasi, membran padat digunakan sebagai model untuk mempelajari

6
kompleks atau interaksi antara zat aktif dan bahan tambahan serta proses pelepasan
dan pelarutan (Aiache, 1993).
Perlintasan dalam membran sintesis pada umumnya berlangsung dalam dua
tahap. Tahap awal adalah proses difusi zat aktif menuju permukaan yang kontak
dengan membran, dan tahap kedua adalah pengangkutan. Pada tahap difusi zat aktif
daya difusi merupakan mekanisme pertama untuk menembus daerah yang tidak
diaduk, dari lapisan kontak dengan membran. Tahap kedua adalah pengangkutan.
Tahap ini dapat dibagi atas dua bagian. Bagian yang pertama adalah penstabilan
gradien konsentrasi molekul yang melintasi membran sehingga difusi terjadi secara
homogen dan tetap. Bagian kedua adalah difusi dengan cara dan jumlah yang tetap.
Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi tidak berubah sebagai fungsi
waktu. Dalam hal ini diasumsikan interaksi zat aktif-pelarut dan pelarut-pelarut tidak
berpengaruh terhadap aliran zat aktif. Sebagian besar obat-obat yang diberikan
melalui kulit berpenetrasi dengan mekanisme difusi pasif (Aiache, 1993).
Difusi pasif merupakan bagian terbesar dari proses transmembran bagi
uumumnya obat. Tenaga pendorong untuk difusi pasif ini adalah perbedaan
konsentrasi obat pada kedua sisi membran sel. Menurut hukum difusi Fick, molekul
obat berdifusi dari daerah dengan konsentrasi obat tinggi ke daerah konsentrasi obat
rendah.

Keterangan:
Dq/Dt = Laju difusi
D = Koefisien difusi
K = Koefisien partisi
A = luas permukaan membran
h = tebal membran
Cs-C = perbedaan antara konsentrasi obat dalam pembawa dan medium
Difusi obat berbanding lurus dengan konsentrasi obat, koefisien difusi,
viskositas dan ketebalan membran. Di samping itu difusi pasif dipengaruhi oleh

7
koefisien partisi, yaitu semakin besar koefisien partisi maka semakin cepat difusi
obat.

2.3 Metode-Metode untuk Studi Absorpsi Perkutan


Absorpsi perkutan adalah masuknya molekul obat dari kulit ke dalam jaringan
di bawah kulit, kemudian masuk ke dalam sirkulasi darah dengan mekanisme difusi
pasif (Chien, 1987). Penyerapan perkutan merupakan gabungan fenomena
penembusan senyawa dari lingkungan luar ke bagian dalam kulit ke dalam peredaran
darah dan kelenjar getah bening. Istilah perkutan menunjukkan bahwa penembusan
terjadi pada lapisan epidermis dan penyerapan dapat terjadi pada lapisan epidermis
yang berbeda (Aiache, 1993).
Untuk memasuki sistem sistemik, tahapan pada absorpsi perkutan dapat
melalui penetrasi pada permukaan stratum corneum di bawah gradien konsentrasi,
difusi melalui stratum corneum, epidermis dan dermis, kemudian masuknya molekul
ke dalam mikrosirkulasi (Chien, 1987).
Penembusan molekul dari luar ke bagian dalam kulit secara nyata dapat terjadi
baik melalui penetrasi transepidermal maupun penetrasi transapendageal. Kulit
merupakan organ yang kemungkinan dapat merubah obat setelah penggunaan secara
topikal. Biotransformasi yang terjadi dapat berperan sebagai absorpsi perkutan
(Swarbrick dan Boylan, 1995).

a. Penetrasi Transepidermal
Sebagian besar obat berpenetrasi melintasi stratum corneum melalui ruang
intraselluler dan ekstraselluler. Pada kulit normal, jalur penetrasi obat
umumnya melalui (transepidermal), dibandingkan penetrasi melalui folikel
rambut maupun melewati kelenjar keringat (transappendageal). Pada
prinsipnya, masuknya penetran ke dalam stratum corneum adalah adanya
koefisien partisi dari penetran. Obat-obat yang bersifat hidrofilik akan
berpartisi melalui jalur transeluler sedangkan obat bersifat lipofilik akan
masuk ke dalam stratum corneum melalui rute interselluler. Jalur interselluler

8
yang berliku dapat berperan sebagai rute utama permeasi obat dan penghalang
utama dari sebagian besar obat-obatan (Swarbrick dan Boylan, 1995).

b. Penetrasi Transappendageal
Penetrasi melalui rute transapendageal adalah penetrasi melalui kelenjar-
kelenjar dan folikel yang ada pada kulit (Swarbrick dan Boylan, 1995). Pada
penetrasi transappendageal akan membawa senyawa obat melalui kelenjar
keringat dan folikel rambut yang berhubungan dengan kelenjar sebaseus. Rute
transappendageal merupakan rute yang sedikit digunakan untuk transport
molekul obat, karena hanya mempunyai daerah yang kecil (kurang dari 0,1%
dari total permukaan kulit). Akan tetapi, rute ini berperan penting pada
beberapa senyawa polar dan molekul ion yang hampir tidak berpenetrasi
melalui stratum corneum (Moghimi, et al, 1999).
Pada rute ini, dapat menghasilkan difusi yang cepat dan segera setelah
penggunaan obat karena dapat menghilangkan waktu yang diperlukan oleh
obat untuk melintasi stratum corneum. Difusi melalui transapendageal ini
dapat terjadi dalam 5 menit dari pemakaian obat (Swarbrick dan Boylan,
1995).

Sebelum obat dapat memberikan efek, obat perlu dilepaskan dari basisnya
setelah obat kontak dengan stratum korneum maka obat akan menembus epidermis
dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik secra difusi pasif. Laju absorbsi melintasi kulit
tidak segera tunak tetapi selalu teramati adanya waktu laten. Waktu laten
mencerminkan penundaan penembusan senyawa kebagian dalam struktur tanduk dan
pencapaian gradien difusi (Syukri, 2002).
Absorbsi melalui kulit (permukaan) bila suatu obat digunakan secara topikal
maka obat akan keluar dari pembawanya dan berdifusi ke permukaan jaringan kulit.
Ada 3 jalan masuk yang utama melalui daerah kantong rambut, melalui kelenjar
keringat atau melalui jaringan keringa atau stratum corneum yang terletak dianara
kelenjar keringat dan kantong rambut (Lachman, 1989).

9
2.4 Basis, Preservative, Antioksidan, Enhancer dan Prototipe Formula
Dalam pembuatan sediaan setengah padat membutuhkan berbagai formulasi
agar terbentuk sediaan yang diinginkan. Formulasi-formulasi tersebut berupa zat aktif
dan zat tambahan. Zat aktif atau dikenaal API dalam bahasa inggris merupakan
senyawa kimia yang pada umumnya sintetik, yang digunakan dalam farmasetik
sebagai zat yang dapat mengobati baik dalam sediaan oral maupun topikal.
Sedangkan zat tambahan merupakan zat-zat yang digunakan untuk menyokong dan
melindungi zat aktif dari berbagai pengaruh buruk lingkungan selama proses
pennyimpanan. Beberapa komponen zat tambahan:
a. Basis
Basis terbagi menjadi empat macam, yaitu:
1. Tipe Lemak
Disebut juga hidrokarbon karena komponen utamanya petrolatum,
petrolatim putih, kining atau salep putih, minyak mineral. Basis ini
bersifat emolient, oklusif, dan mempertahankan bahan pada permukaan
untuk waktu yang lama.
2. Tipe Anhidrat
Disebut juga basis absorbsi karena mempunyai kemampuan untuk
menyerap air.
3. Tipe Emulsi
Basis emulsi dapat berupa A/M A atau M/A.
4. Tipe Larut Air
Sebagian besar adalah basis dari polietilen glikol tidak occlusive, tidak
greasi (tidak berminyak) dan dapat dicuci dengan air.

b. Preservative
Preservative atau pengawet ditambahkan pada sediaan semi padat untuk
mencegah kontaminasi, perusakan dan pembusukan oleh bakteri atau fungi
karena banyak basis salep yang merupakan substrat mikroorganisme.

10
Sifat presetvative yang ideal, yaitu :
1. Efektif pada konsebtrasi rendah
2. Larut pada konsentrasi yang diperlukan
3. Tidak toksik
4. Tidak mengiritasi konsentrasi yang digunakan
5. kompatibel dengan komponen bahan dalam formulasi dan dengan wadah
6. Tidak berbau dan berwarna
7. Srtabil pada spektrum yang luas
8. Stabil
Contoh pengawet yang digunakan: Senyawa-senyawa amonium kuarterner
(cetiltrimetil amonium bromida), senyawa-senyawa merkuri organik
(thimerosal), formaldehid, asam sorbid atau kalium sorbat, asam benzoat atau
natrium benzoat, paraaben (metil/propil), dan alkohol-alkohol.

c. Antioksidan
Antioksidan merupakan zat-zat yang digunakan untuk melindungi
sediaan dari pertumbuhan mikroba. Dalam penelitian antioksidan ini perlu
memperhatikan warna, bau, potensi iritan, toksisitas, stabilitas dan
kompatibilitas. Antioksidan yang dipergunakan berkisar antara 0,001-0,1%.
Contoh-contoh dari antioksidan adalah:
1. Tokoferol
2. BHA (butylated hydroxy ansole)
3. BHT (butylated hydroxy toluen)
4. Propil galat
5. Alkil galat.

d. Enhancer
1. Surfaktan
Surfaktan dibutuhkan sebagai emulsifying untuk membentuk sistem o/w
atau w/o, sebagai bahan pengsuspensi, thickening, cleansing, penambah

11
kelarutan, pembasah dan bahan pemflokulasi. Surfaktan yang biasa digunakan
yaitu surfaktan nonionik ( contoh ester polioksietilen), kationik (
benzalkonium klorida) atau anionik (contoh natrium dodesil sulfat). Surfaktan
yang dibutuhkan dalam sediaan semi padat tergantung pada tipe dari sediaan
tersebut misal krim, ointment, lotion dan lainnya. Fungsi surfaktan ini
tergantung nilai HLB (Hidrophyle-lipophyle balance). Surfaktan dengan HLB
tinggi bersifat hidrofil, sementara itu surfaktan dengan HLB rendah bersifat
lipofil.
2. Organic solvent
Digunakan untuk menurunkan tegangan permukaan. Bahan-bahan seperti
steril, miristil dan lauril alkohol yang merupakan surface active, dapat
digunakan untuk membantu pencampuran bagian hidrofobik dan hidrofilik
dalam suatu formula sehingga terbentuk suatu struktur yang homogen dari
sediaan semipadat dengan konsistensi tertentu. Senyawa-senyawa hidrofilik
seperti bentonit, veegum, PEG, juga dapat digunakan sebagai bahan
pembentuk matriks.

Peningkat penetrasi atau penetration enhancer merupakan zat


tambahan yang dapat membantu proses difusi zat aktif untuk masuk melalui
strstum korneum secara kimia. Sejumlah bahan dapat meningkatkan
penyerapan senyawa yang terlarut didalamnya, terutama pelarut aprotik
misalnya diimetil-sulfoksida (DMSO), dimetilasetamida (DMA), dan
dimetilformida (DMF). Ketiga senyawa tersebut, terutama DMSO secara in
vitro dapat mempercepat penembusan air, eserin, flusiolon asetonida. Secara
in vitro, hasil yang serupa diperoleh pada griseofulvin, hidrokortison dan
sejumlah senyawa lain. Pemakaian DMSO bahkan memudahkan penimbunan
steroida didalam stratum corneum. DMA kurang beracun dan kurang iritan
sedangkan DMSO memberikan efek seperti heksaklorofen.
Sebaliknya pada bahan pembawa yang klasik, bahan peningkat
penembusan dapat melintasi kulit. Meskipun bahan-bahan tersebut diserap,

12
namun tidak mempercepat perpindahan senyawa yang terlarut. Setiap bahan
dalam larutan berpindah dengan kecepatan tertentu dalam kulit. Pelarut-
pelarut higroskopik yang dipakai murni tanpa pengenceran atau larutan yang
sedikit diencerkan, secara pasti akan mengubah struktur lapisan tanduk :
disatu sisi menyebabkan pembengkakan sel dasar, dan di sisi lain terjadi
penggantian air yang terdapat dalam sel dasar.

e. Prototipe Formula
Prototipe adalah contoh awal, model, atau pelepasan produk yang dibangun
untuk menguji konsep atau proses atau bertindak sebagai hal yang harus
direplikasi atau dipelajari.

BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Sediaan topikal adalah obat yang cara pemberiannya bersifat lokal, contoh:
lotio, salep, dan krim. Pemberian topikal dilakukan dengan mengoleskannya di suatu
daerah kulit, sebagian besar obat-obat yang diberikan melalui kulit berpenetrasi
dengan mekanisme difusi pasif. Absorpsi pada kulit secara nyata dapat terjadi baik
melalui penetrasi transepidermal maupun penetrasi transapendageal.

1.2 Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami tentang
makalah yang kami buat mengenai pendahuluan tentang sediaan topikal. Menyadari
bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus
dan merinci dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber – sumber
yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.

13
Daftar Pustaka
Aiache, J.M. 1993. Farmasetika 2 Biofarmasi. Edisi ke-2. Penerjemah: Dr. Widji
Soeratri. Surabaya: Penerbit Airlangga University Press.

Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Edisi kelima. Penerjemah: Mathilda B Widianto.


Bandung: Penerbit ITB.
Chien Y. W. (1987). Novel Drug Delivery System 2nd New York, Marcel Dekker

Lachman L, Herbert A.L., Joseph L.K. (1989). Teori dan Praktek Farmasi Industri,
UI Press, Jakarta

Swarbrick, J. dan Boylan, J. 1995, Percutaneous Absorption, in Encyclopedia of


Pharmaceutical Technology, Volume 11, Marcel Dekker Inc., New York.

Syukri, 2002, Biofarmasetika, UII Press, Yogyakarta

Mighimi, H.R., Barry, B. W., and Williams, A.C. 1999. Stratum Corneum and Barrier
Permofance: A Model Lamellar Structural Approach, in Percutaneous Absorption:
Drugs, Cosmetics, Mechanism, Method-oligies, Bronaugh, R.L. and Maibach, H.I.,
Marcel Dekker, Inc., New York, NY

14

Anda mungkin juga menyukai