10-6
10-2
1 10-4
10-6
10-2
Fenol 0,1
10-4
10-6
10-2
1 10-4
10-6
10-2
10-6
10-2
1 10-4
10-6
Tabel III.2 Hasil Perhitungan Jumlah Koloni E.coli pada hari ke-1
Jumlah koloni berdasarkan disinfektan
Pengenceran Klorin Fenol Karbol
0,1 ml 1 ml 0,1 ml 1 ml 0,1 ml 1 ml
10-2 TNTC TNTC 154 0 105 34
10-4 77 TFTC 32 0 TFTC 0
10-6 64 48 TFTC 50 0 0
Tabel III.3 Hasil Perhitungan Jumlah Koloni E.coli pada hari ke-2
Jumlah koloni berdasarkan disinfektan
Pengenceran Klorin Fenol Karbol
0,1 ml 1 ml 0,1 ml 1 ml 0,1 ml 1 ml
10-2 TNTC TNTC TNTC 0 272 50
10-4 208 TNTC 82 0 TFTC TFTC
10-6 174 94 TFTC 78 0 0
Tabel III.4 Hasil Perhitungan Jumlah Koloni E.coli pada hari ke-3
Jumlah koloni berdasarkan disinfektan
Pengenceran Klorin Fenol Karbol
0,1 ml 1 ml 0,1 ml 1 ml 0,1 ml 1 ml
10-2 TNTC TNTC TNTC 0 279 57
10-4 238 TNTC 94 0 TFTC TFTC
10-6 218 168 TFTC 96 0 0
Tabel IV.2 Hasil perhitungan jumlah bakteri E.coli pada hari ke-2
Jumlah koloni berdasarkan disinfektan (CFU/ml)
Pengenceran Klorin Fenol Karbol
0,1 ml 1 ml 0,1 ml 1 ml 0,1 ml 1 ml
10-2 TNTC TNTC TNTC 0 27200 5000
Tabel IV.3 Hasil perhitungan jumlah bakteri E.coli pada hari ke-3
Jumlah koloni berdasarkan disinfektan (CFU/ml)
Pengenceran Klorin Fenol Karbol
0,1 ml 1 ml 0,1 ml 1 ml 0,1 ml 1 ml
10-2 TNTC TNTC TNTC 0 27900 5700
V. Analisis
Berdasarkan hasil praktikum yang tercantum pada Tabel IV.1, Tabel IV.2 dan Tabel
IV.3, secara umum didapatkan bahwa jumlah bakteri yang terdapat pada media cenderung
lebih sedikit pada dosis desinfektan sebesar 1 ml dibandingkan dosis desinfektan sebesar
0.1 ml untuk setiap jenis desinfektan. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada hasil
perhitungan bakteri pada hari ke-1 untuk desinfektan karbol. Dapat dilihat bahwa untuk
pengenceran 10-2 pada dosis 0.1 ml, jumlah bakteri yang terhitung adalah 105 dan pada dosis
1 ml didapatkan jumlah bakteri hanya 34. Menurut Reynolds dan Richards (1996), semakin
tinggi konsentrasi/dosis desinfektan yang digunakan, maka semakin sedikit waktu yang
dibutuhkan untuk membunuh bakteri. Maka, dapat disimpulkan hasil percobaan sesuai
dengan teori.
Selain itu, dapat dilihat bahwa setiap jenis desinfeksi memberikan hasil yang berbeda-
beda. Dapat dilihat bahwa desinfektan klorin tidak begitu efektif untuk digunakan karena
hasil yang didapatkan adalah bakteri yang terdapat pada cawan tetap banyak baik dengan
variasi dosis, juga dengan variasi waktu. Bahkan dapat dilihat bahwa data menunjukkan
jumlah bakteri melebihi 300 (TNTC) untuk pengenceran 10-2 pada dosis 0.1 ml maupun 1
ml pada hari ke-1, ke-2 dan ke-3. Sedangkan untuk desinfektan karbol, dapat dilihat bahwa
pada hari ke-1, ke-2 dan ke-2 untuk pengenceran 10-6, jumlah bakteri yang terdapat pada
cawan adalah 0. Hal ini menunjukkan bahwa karbol cukup efektif untuk membunuh bakteri
pada praktikum ini. Perbedaan hasil yang didapatkan dari berbagai jenis desinfektan dapat
terjadi karena setiap desinfektan memiliki komposisi dan karakteristik yang berbeda.
Menurut Dwidjoseputro (1978), desinfektan klorin hanya berkhasiat kuat dalam membunuh
bakteri dengan jumlah yang kecil, sedangkan fenol merupakan salah satu desinfektan tertua
yang diakui memiliki keefektifan yang tinggi. Selain itu, karbol merupakan nama lain dari
fenol. Menurut teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa, penggunaan desinfektan klorin
pada percobaan ini dapat menjadi kurang efektif karena jumlah bakteri yang tumbuh berada
pada konsentrasi tinggi.
. Selanjutnya, secara umum didapatkan juga bahwa semakin tinggi pengenceran,
semakin sedikit jumlah bakeri yang masih tersisa. Hal ini sesuai dengan teori, dimana
semakin besar pengenceran, maka jumlah koloni yang tersedia semakin sedikit. Namun,
dibeberapa data masih terdapat ketidaksesuaian, dimana di pengenceran lebih tinggi, jumlah
koloni yang tersisa justru semakin besar, dapat dilihat pada perhitungan hari ke-2 untuk
desinfektan fenol, didapatkan untuk pengenceran 10-2 dan 10-4 jumlah koloni yang terdapat
pada cawan adalal nol, namun jumlah ini meningkat menjadi 78 pada pengenceran 10-6.
Ketidaksesuaian ini dapat terjadi karena tidak aseptiknya tempat penyimpanan cawan,
sehingga dapat terjadi kontaminasi.
Dari hasil praktikum, dapat dilihat jugq bahwa semakin lama proses inkubasi, semakin
banyak jumlah mikroorganisme yang terdapat pada media. Menuut Budiyono dan
Sumardiyono (2013) semakin lama waktu kontak antara desinfektan dengan mikroba, maka
daya bunuhnya akan semakin besar. Hal ini menunjukkan hasil praktikum tidak bersesuaian
dengan teori karena pada waktu kontak atau waktu inkubasi 3 hari, jumlah mikroorganisme
justru semakin banyak. Ketidaksesuaian ini dapat terjadi karena tidak aseptiknya tempat
penyimpanan cawan, sehingga dapat terjadi kontaminasi.
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat berbagai faktor yang
mempengaruhi proses desinfeksi.
1. Konsentrasi desinfektan
Semakin besar konsentrasi desinfektan, maka semakin besar pula laju
desinfeksinya.
2. Jenis desinfektan
Desinfektan tiap jenisnya memiliki karakteristik dan komposisi tertentu yang
mempengaruhi keefektifannya dalam proses desinfeksi.
3. Waktu kontak
Waktu kontak adalah waktu yang diperlukan desinfektan untuk membunuh
mikroorganisme. Secara umum, semakin lama waktu kontak, maka daya bunuh
terhadap mikroorganisme akan semakin tinggi.
4. Mikroorganisme
Jenis dan jumlah mikroorganisme mempengaruhi kemampuan desinfeksi. Setiap
jenis mikroorganisme memiliki kepekaan yang berbeda terhadap desinfektan.
Selain itu, jumlah mikroorganisme yang besar akan memerlukan konsentrasi atau
dosis desinfektan yang besar pula.
5. Temperatur
Temperatur mempengaruhi desinfeksi karena peningkatan suhu akan mempercepat
kematian mikroorganisme.
VI. Kesimpulan
1. Mekanisme desinfeksi mikroba dalam air adalah sebagai berikut.
- Menghancurkan dinding sel
- Mengubah permeabilitas dinding sel
- Mengubah sifat koloid protoplasma
- Menghambat/merusak aktivitas enzim
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi desinfeksi adalah jenis dan konsentrasi desinfektan,
jenis dan konsentrasi mikroorganisme, waktu kontak dan temperatur.
3. Berdasarkan hasil praktikum, desinfektan karbol paling konsisten dalam menghambat
pertumbuhan bakteri dilihat dari penurunan jumlah bakteri untuk tiap kenaikkan
pengenceran. Penurunan jumlah bakteri juga ditunjukkan untuk peningkatan dosis dan
waktu kontak.
VII. Daftar Pustaka
Fair, Geyer dan Okun, D.A. 1968. Water and Wastewater Treatment Engineering
Volume 2. New York: John Wiley & Sons Inc.
Metcalf & Eddy. 1991. Wastewater Engineering, Treatment, Disposal, and Reuse 3rd
Edition. New York: McGraw-Hill.
Pelczar, Michael J dan Chan, E.C.S. 1998. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid I. Jakarta:
UI Press.
Hadi, Wahyono. 2005. Perencanaan Bangunan Pengolahan Air Minum. FTSP ITS
Surabaya.
Budiyono, dan Sumardiono, S,. 2013. Teknik Pengolahan Air. Yogyakarta: Graha Ilmu.