Anda di halaman 1dari 8

Puisi adalah salah satu genre sastra yang tidak serta merta dapat dipahami dan dinikmati

secara instan. Penyebabnya adalah bahwa puisi menggunakan bahasa yang multi
dimensional. Di satu kesempatan bahasa yang dipakai dalam puisi adalah bahasa biasa
(ordinary language) yang bermakna literal. Pada tahap ini, puisi dapat dengan mudah
dipahami dan dinikmati oleh pembacanya. Akan tetapi dalam banyak kesempatan yang lain
puisi justeru menggunakan verse serta menggunakan berbagai macam majas (figurative
language). Verse adalah gaya bahasa klasik yang digunakan oleh segelintir kaum bangsawan
di Eropa dan tidak lazim dipakai oleh masyarakat awam. Persoalan ini diperumit oleh teramat
seringnya penyair menggunakan bahasa yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa seperti
kaidah semantis, fonologis, morfologis, sintaksis, dialektis, maupun kaidah grafologis.
Tulisan ini mengkaji problematika pemahaman puisi, khususnya puisi bahasa Inggris dan
menawarkan beberapa solusi dalam mengatasi kesulitan memahaminya. Di antara beberapa
kemungkinan solusi yang ada, parafrasa merupakan salah satu alternatif solusi yang menjadi
fokus pada kajian ini. Kegiatan parafrasa diawali dengan mengidentifikasi kata-kata kunci
(key words) yang terdapat pada puisi yang diparafrasa. Kata-kata kunci itu kemudian
dianalisa makna denotatifnya terlebih dahulu dan makna konotatifnya kemudian. Dari makna
konotatif inilah diperoleh gambaran mengenai maksud atau isi dari puisi tersebut. Dengan
parafrasa, puisi disederhanakan ke dalam bahasa prosa (prosaic language) yang lebih mudah
dicerna maknanya, yang pada gilirannya membantu pembaca untuk dapat menikmati puisi
yang diparafrasa tersebut.

Pendahuluan

Memahami puisi ibarat menembus kabut pagi. Kabut pagi yang indah itu selalu
menghadirkan kesamaran, keremang-remangan. Tak bisa secara mudah kita menebak apa
atau siapa yang berada di wilayah samar itu. Bahkan, jika kita tidak berhati-hati bisa jadi
akan menabrak sana-sini. Kabut yang indah itu acapkali juga membahayakan.

Keadaan seperti di atas tentunya tidak harus menjadikan kita bersikap skeptis. Dalam suasana
“remang” seperti itu dibutuhkan kepekaan dan keterampilan kita dalam mengurai kabut
tersebut. Mata telanjang tidak mampu menembus keremangan suasana puisi. Untuk
menembus keremangan itu dibutuhkan apa yang populer disebut oleh William Shakespeare
sebagai “mind’s eye” atau mata batin.

Banyak pembaca yang dengan mudah mampu memahami dan menikmati karya sastra prosa
akan menemukan kesulitan ketika diperhadapkan pada puisi. Puisi tidak dengan serta merta
dapat dicerna semudah kita mencerna isi surat kabar harian atau majalah-majalah, baik
majalah hiburan maupun majalah ilmiah sekalipun. Tidak semua puisi sulit dimengerti.
Beberapa diantaranya dapat dipahami isinya manakala kita baca untuk pertama kali. Ada juga
yang kita pahami setelah dua atau tiga kali kita baca, kendati untuk itu kita harus tetap
memperlakukannya berbeda dari karya sastra yang lain. Untuk memahami maknanya, puisi
mutlak dibaca dengan perlahan, dengan hati-hati, serta penuh ketekunan.

Mengapa puisi sulit untuk kita pahami? Sejatinya, puisi memiliki kekhasan yang tidak
dimiliki oleh karya sastra prosa. Bahasa puisi adalah verse bukan prose (bahasa biasa). Verse
adalah jenis bahasa puitis yang dulunya dipakai oleh kaum bangsawan (terutama di Eropa)
untuk mencitrakan perbedaan status mereka dengan rakyat jelata. Di samping itu, bahasa
puisi banyak mengalami penyimpangan dari kaidah-kaidah bahasa serta penggunaan ragam
majas (figurative language).

Problematika Pemahaman Makna Puisi

Puisi bersifat universal. Hampir dapat dipastikan bahwa semua etnik dan budaya di dunia ini
mengenal puisi. Bentuknya bisa saja bervariasi dan memakai penamaan yang berbeda-beda,
namun jenis bahasa yang dipakainya relatif sama yakni verse. Karena sifat universalitasnya,
maka seyogyanya puisi, darimanapun asalnya, dapat dipahami maknanya serta dapat
dinikmati oleh kalangan apa saja, sepanjang dia menguasai bahasa ke dalam mana puisi itu
ditulis.
Kenyataannya, kondisi tersebut di atas tidak dapat dijadikan sebagai pijakan teoritis dalam
memahami makna puisi. Ini disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor yang sangat dominan
adalah bahwa pada puisi terdapat berbagai ragam penyimpangan bahasa serta banyaknya
ragam majas yang sering digunakan.

1. Penyimpangan Bahasa
Penyimpangan bahasa dalam puisi merupakan hal yang biasa. Seringkali
penyimpangan ini justeru menjadi ciri khas seorang penyair atau sekelompok penyair
dalam suatu angkatan atau periode dalam sastra. Penyimpangan itu antara lain
meliputi: penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis,
penyimpangan morfologis, penyimpangan sintaksis, penyimpangan dialek,
penyimpangan register, penyimpangan historis, dan penyimpangan grafologis.
Penyimpangan yang pertama adalah bahwa puisi sering mengabaikan kaidah
sintaksis. Pola sintaksis dalam puisi dapat runtut seperti dalam prosa, namun tidak
jarang pula penyair menyusun pola yang lain sama sekali. Dengan demikian,
penafsiran makna hanya dimungkinkan dalam konsep pikiran saja karena kita terbiasa
menghadapi wacana yang dibangun dalam kesatuan sintaksis.
Kesatuan sintaksis dalam puisi dapat dibicarakan melalui baris (lines) dan bait
(stanza). Sebuah baris mewakili kesatuan gagasan penyair dan jika dibangun bersama-
sama baris-baris lain membangun kesatuan yang lebih besar. Bait puisi pada
hakikatnya identik dengan sebuah paragraf dalam prosa. Pada sebuah puisi terdapat
satu baris yang merupakan kunci gagasan. Terdapat satu atau beberapa bait yang
merupakan klimaks gagasan penyair. Melalui bait yang merupakan klimaks gagasan
penyair itu, dapat dijumpai tema atau amanat yang hendak disampaikan pada
khalayak pembaca atau penikmat puisi.
Suatu bentuk dalam puisi dipandang sebagai penyimpangan leksikal jika bentuk
tersebut mengalami penyimpangan makna secara leksikal. Hal ini ditandai oleh
adanya proses morfologi yang tidak umum atau masih problematik, kata bentukan
baru atau noelogisme, dan bentuk (kata) yang tanpa makna atau tidak ada dalam
kamus.
Suatu bentuk dipandang sebagai penyimpangan semantis jika bentuk atau struktur itu
tidak menunjuk pada makna denotatif (makna literal), melainkan makna konotatif.
Penyimpangan semantis terjadi dalam hubungan struktur kalimat, yaitu jika terdapat
penggabungan kata yang secara akal tidak dapat diterima. Akan tetapi hal tersebut
dapat ditemukan maknanya berdasar kriteria lain, yaitu makna yang bersifat
tambahan. Tinjauan penyimpangan semantis ditekankan pada makna yang
dikandungnya. Contoh: frasa “red rose” pada baris “My luv is a red rose” bermakna
konotatif. Secara literal makna frasa tersebut adalah “mawar merah”, namun makna
konotatifnya adalah bahwa kekasih yang disebut dalam kalimat diatas begitu cantik
sehingga menjadi idaman setiap orang.
Penyimpangan fonologis terjadi manakala bentuk yang ada tidak memiliki makna
konvensional sebagaimana kata pada umumnya. Bentuk itu tercipta karena penyair
biasanya mementingkan rima (rhyme) yang berfungsi memperindah puisi. Oleh
penyair, bentuk itu dipandang sebagai kata, namun bentuk itu pada umumnya tidak
dijumpai dalam kamus.
Suatu bentuk dipandang sebagai penyimpangan morfologis jika bentuk tersebut tidak
lazim pemakaiannya. Ketidaklaziman itu disebabkan pembentukannya menyalahi
aturan bahasa atau bentukan kata-kata baru yang masih problematis.
Suatu bentuk dipandang sebagai penyimpangan sintaksis jika struktur tersebut tidak
lazim pemakaiannya dalam berbahasa secara normatif-formal. Ketidaklaziman itu
sering menimbulkan ambiguitas struktur dan makna. Misalnya: penyair tidak
menggunakan huruf kapital pada awal kalimat dan tanda titik pada akhir kalimat.
Penyimpangan dialek terjadi jika bentuk yang digunakan berupa dialek atau slang,
baik yang bersifat regional, usia, maupun sosial. Bentuk dialek juga mencakup bentuk
dari bahasa lain yang sifatnya non standar.
Penyimpangan register erat kaitannya dengan penyimpangan dialek, namun yang
dipermasalahkan adalah situasi pemakaiannya, atau bagaimana dan kapan suatu
bentuk liguistik dipergunakan dalam tindak berbahasa.
Dalam register dipermasalahkan banyaknya variasi menurut pemakaiannya maupun
pemakainya. Register disebut pula sebagai dialek profesi. Berdasarkan hal itu, register
meliputi ragam ilmiah, pers, periklanan, keagamaan, dan sebagainya. Di samping itu
juga termasuk sifat nada pengungkapan bahasa dalam suatu wacana, apakah bentuk
kolokial (colloquial langauge) atau formal (formal language), personal atau umum,
dan sebagainya.
Penyimpangan historis berkaitan dengan pemakaian kata-kata yang sudah tua dan
usang (archaic words). Jadi, suatu bentuk dikatakan sebagai penyimpangan historis
apabila kata atau bentuk archais tersebut dipakai pada puisi yang lebih kontemporer.
Penyimpangan grafologis mempermasalahkan penulisan bentuk dan struktur
linguistik, baik menyangkut penulisan huruf, kata, kelompok kata, frase, maupun
kalimat. Suatu bentuk dipandang sebagai penyimpangan grafologis jika bentuk atau
struktur tersebut penulisannya tidak sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku.
2. Majas (Figurative Language)
Majas dapat diartikan sebagai kekayaan bahasa seseorang, sastrawan maupun awam,
yang dimanfaatkan dalam berkomunikasi (lisan maupun tulisan) untuk mencapai
efek-efek tertentu, baik efek semantik maupun efek estetik.
Secara umum terdapat majas perbandingan, majas penegasan, majas sindiran, dan
majas pertentangan. Personifikasi, metafora, metonimi, eufimisme, hiperbola,
sinekdok dan allusio tergolong majas perbandingan. Sedangkan pleonasme, repetisi,
paralelisme, simetri, dan retoris termasuk majas penegasan. Yang dikategorikan majas
sindiran adalah ironi, sarkasme, dan sinisme, sementara majas pertentangan meliputi
paradoks dan antitesis.
Majas atau bahasa figuratif pada dasarnya adalah bentuk penyimpangan dari bahasa
normatif, baik dari segi makna maupun rangkaian katanya, dan bertujuan untuk
mencapai arti dan efek tertentu. Pada umumnya bahasa figuratif dipergunakan oleh
pengarang untuk menghidupkan atau lebih mengekspresikan perasaan yang
diungkapkan sebab kata-kata saja belum cukup jelas untuk menerangkan lukisan
tersebut. Bahasa figuratif adalah bahasa yang mempergunakan kata-kata yang susunan
dan artinya sengaja disimpangkan dari susunan dan artinya yang biasa dengan maksud
mendapatkan kesegaran dan kekuatan ekspresi.
Caranya adalah dengan memanfaatkan perbandingan, pertentangan, atau pertautan hal
yang satu dengan yang lain, yang maknanya sudah diketahui oleh pembaca atau
pendengar.
Penggunaan bahasa figuratif tidak selamanya digunakan sendiri-sendiri, tetapi sering
dipergunakan secara bersama-sama dan dipadukan secara variatif. Keberhasilan
dalam memadukan jenis bahasa-bahasa figuratif sangat berpengaruh dalam penafsiran
dan penangkapan maknanya serta koherensi ekspresivitasnya, yang meliputi
pencurahan dan penghidupan ide, pengalaman jiwa dan rasa dalam kata, frase, atau
kalimat.
Di sisi penyair, penyimpangan bahasa normatif dan penggunaan majas dimaksudkan
agar pembaca atau pendengar dapat dengan mudah menikmati apa yang disuguhkan
oleh sang penyair tersebut. Namun dari sisi pembaca dan pendengar, hal tersebut
justeru membuat puisi relatif sukar untuk dipahami maknanya.
Puisi Bahasa Inggris
Sebagai bahasa asing, bahasa Inggris tentu menciptakan masalah tersendiri. Apalagi
bila kita memasuki konteks puisi. Tidak cukup dibebani untuk memahami bahasanya,
kita juga harus berkutat pada bagaimana menangkap makna puisi dengan segala tetek
bengeknya, termasuk dua persoalan yang di bahas di atas, yakni persoalan
penyimpangan bahasa dan penggunaan majas. Dengan kata lain, dibutuhkan energi
lebih (extra power) untuk memahami makna puisi bahasa Inggris.
Salah satu cara konvensional mengatasi persoalan di atas adalah dengan cara
menerjemahkan puisi tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Namun, tidak semua
metode penerjemahan dapat diterapkan pada puisi. Dalam puisi kita mengenal metode
phonemic translation, literal translation, metrical translation, verse-to-prose
translation, rhymed translation, free verse translation, and interpretation.
Setiap metode yang disebutkan di atas memiliki kelemahan-kelemahan. Tidak ada
satu metode pun yang dapat dipergunakan untuk menerjemahkan suatu puisi dengan
sempurna. Kendati demikian, metode Free Verse Translation (penerjemahan bebas)
relatif lebih sering dipakai. Dengan metode ini, penerjemah bisa mendapatkan
padanan yang akurat dalam bahasa sasaran. Tentu saja, kita tidak akan melihat rima
(Rhyme) dari puisi itu, sehingga dapat katakan bahwa hasil terjemahan puisi itu
secara semantik sama, akan tetapi secara fisik berbeda dari aslinya.
Parafrasa, Solusi Alternatif
Di samping penerjemahan puisi, cara lain yang dapat dilakukan untuk mempermudah
memahami makna puisi bahasa Inggris adalah dengan cara memparafrasa
(paraphrasing) puisi yang sedang di baca. Menurut Kennedy dan Gioia (1995),
parafrasa dilakukan dengan cara menulis apa yang diketahui pada puisi yang ada
dengan menggunakan kata-kata sendiri, mencantumkan ide-ide pokok, serta menulis
apa yang puisi itu isyaratkan. Langkah parafrasa berikutnya adalah dengan cara
membandingkan hasil parafrasa tersebut dengan puisi aslinya. Hasil parafrase bisa
jauh lebih panjang dari puisi aslinya, namun tidak lebih panjang dari suatu ringkasan
(summary).
Sebagai illustrasi bagaimana memparafrasa suatu puisi, kita amati puisi-puisi berikut
ini:

1. The Lake Isle of Innisfree


I will arise and go now, and go to Innisfree,
And a small cabin build there, of clay and wattles made
Nine bean-rows will I have there, a hive for the honey-bee
And live alone in the bee-loud-glade.

And I shall have some peace there, for peace come dropping slow,
Dropping from the veils of the morning to where the cricket sings;
There midnight’s all a glimmer, and noon a purple glow,
And evening full of the linnet’s wings.

I will arise and go now, for always night and day


I hear lake water lapping with low sounds by the shore;
While I stand on the roadway, or on the pavements gray,
I hear it in the deep heart’s core.
(William Butler Yeats)

Yeats menulis puisi di atas menyangkut penggambaran sebuah pulau di tengah danau
yang terletak di Irlandia bagian barat, di sebuah daerah di mana dia menghabiskan
masa kecilnya. Kendatipun nampak sederhana, namun puisi di atas jauh dari
kesederhanaan. Kita harus mencoba memahaminya dengan melibatkan pikiran.
Persoalan yang mungkin muncul ketika kita mencoba memparafrasa puisi di atas
adalah persoalan penyimpangan historis; di mana Yeats menggunakan beberapa kata
archais (usang). Sebagai contoh adalah penggunaan kata wattles, glade, dan linnet.
Apa sesungguhnya arti kata “wattles”, bahan pembuat tenda yang hendak didirikan di
tepi danau oleh Yeats. Namun itu bisa ditebak, bahwa “wattles” di sini adalah sejenis
rangka tenda yang terbuat dari tongkat atau sekumpulan ranting pepohonan. Kata
“glade” bisa berarti sebuah tempat terbuka dalam hutan, dan kata “linnet” bisa
disederhanakan menjadi kata “burung” karena pada penggambarannya binatang ini
memiliki sayap dan bisa terbang.
Setelah kata-kata archais di atas telah kita interpretasi, maka kita bisa memparafrase
puisi di atas seperti berikut ini: “ I am going to get up now, go to Innisfree, build a
cabin, plant beans, keep bees, and live peacefully by myself amid nature and beautiful
light. I want to, because I can’t forget the sound of that lake water. When I am in the
city, a gray and dingy place, I seem to hear it deep inside me.”
Dalam bahasa Indonesia, hasil parafrasa di atas kira-kira artinya seperti berikut ini:
“saya akan bangun sekarang, lalu pergi ke Innisfree, membangun tenda, menanam
kacang, memelihara lebah, dan hidup dengan damai berdampingan dengan alam dan
cahaya yang indah. Saya ingin sekali, dikarenakan saya tidak dapat melupakan suara
air di danau itu. Bila saya di kota, ditempat yang kacau dan kotor, suara-suara itu
terlalu dalam menusuk di hati saya.”

2. London
I wander through each chartered street
Near where the chartered Thames does flow
And mark in every face I meet
Marks of weakness, marks of woe

In every cry of every man


In every infant’s cry of fear
In every voice, in every ban
The mind-forged manacles I hear

How the chimney-sweeper’s cry


Every black’ning church appalls
And the hapless soldier’s sigh
Runs in blood down palace walls

But most through midnight streets I hear


How the youthful harlot’s curse
Blasts the new born infant’s tear
And blights with plagues the marriage hearse.

(William Blake)

Ada tiga kata kunci dari puisi di atas yang perlu dijelaskan sebelum kita
memparafrasa puisi itu secara keseluruhan. Tiga kata yang dimaksud adalah kata:
chartered, black’ning, and blasts (blights). Chartered (baris 1, 2) Makna Denotatif:
Established by a charter (a written grant or a certificate of incorporation); leased or
hired. (Indonesia = Dibangun oleh sebuah Charter, perusahaan, atau di sewakan).
Makna Konotatif: Defined, limited, restricted, channeled, mapped, bound by law;
bought and sold (like a slave); Magna Carta; charters given colonies by the King.
(Indonesia = terbatas, dibatasi oleh hukum, diperjualbelikan layaknya budak)
Black’ning (baris 10)
Makna Denotatif: Becoming black (Indonesia = menjadi hitam)
Makna Konotatif: The darkening of something once light, the defilement of
something once clean, the deepening of guilt; the gathering of darkness at the
approach of night. (Indonesia = Proses pengotoran apa yang selama ini bersih)
Blasts, blights (baris 15-16)
Makna Denotatif: Blast and blight mean “to cause to wither” or “to ruin and destroy”.
Both are terms from horticulture. Frost blasts a bud and kills it; disease blights a
growing plant. (Indonesia = Menyebabkan kehancuran)
Makna Konotatif: Sickness and death; gardens shriveled and dying; gusts of wind and
the ravages of insects; things blown to pieces; or rotted and warped. (Indonesia =
Penyakit dan kematian).
Dari analisa ketiga kata kunci kita dapat menulis parafrasa sebagai berikut:

“The street has mapped out for it the direction in which it must go. The Thames river
has laid down to it the course it must follow. Street and river are channeled,
imprisoned, enslaved (like every inhabitants of London). Every London church grows
black from soot and hires a chimney-sweeper (a small boy) to help clean it. This also
implies that by profiting from the suffering of child laborer, the church is soiling or
dirtying its purity. The harlot spreads the plague of syphilis, which, carried into
marriage, can cause a baby to be born blind. In a larger and more meaningful sense,
Blake sees the prostitution of even one young girl corrupting the entire institution of
matrimony and endangering every child.”
Terjemahan dari parafrasa di atas kurang lebih seperti berikut ini:
“Jalan-jalan sudah dipetakan berdasarkan arahnya masing-masing. Sungai Thames
ada di sana mengalir sebagaimana adanya. Jalan-jalan dan sungai telah tergadai
sebagaimana penduduk kota London. Setiap gereja di London semakin lama semakin
menghitam karena lumut dan menyewa anak kecil untuk membersihkannya. Dengan
mengambil keuntungan dari penderitaan anak itu, gereja sebenarnya telah mengotori
kesuciannya. Para pelacur menyebarkan penyakit sipilis, yang jika kelak terbawa
sampai ke pernikahan, akan melahirkan anak yang buta. Pelacuran telah menyebabkan
kehancuran keluarga dan membahayakan hidup setiap anak.”
Dari illustrasi di atas nampak bahwa kegiatan parafrasa puisi diawali dengan
mengidentifikasi kata-kata kunci (key words). Kata-kata kunci itu kemudian dianalisa
makna denotatifnya terlebih dahulu dan makna konotatifnya kemudian. Dari makna
konotatif inilah diperoleh gambaran mengenai maksud atau isi dari puisi tersebut.

Penutup
Disadari bahwa bahasa puisi (poetic language) bahasa Inggris memiliki beberapa
penyimpangan, baik penyimpangan yang bersifat leksikal, semantik, fonologis,
morfologis, sintaksis, dialektis, register, historis, maupun penyimpangan grafologis.
Para penyair melakukan penyimpangan-penyimpangan tersebut bukan tanpa alasan.
Dari aspek sintaksis misalnya, penyair pada umumnya melakukan penyimpangan itu
demi memenuhi suatu ritme (rhythm), rima (rhyme) dan / atau untuk memberi
tekanan tertentu pada bagian kalimat.
Parafrasa mengatasi penyimpangan-penyimpangan di atas dengan cara mengubah atau
mengonversinya ke dalam kaidah-kaidah bahasa prosa (prosaic language) yang baik
dan benar. Intinya, parafrasa adalah proses ‘menulis ulang’ bahasa-bahasa puisi
(poetic language) dengan cara yang lebih sederhana, jelas dan mudah dimengerti.
Namun ini tidak berarti parafrasa tidak memiliki kelemahan. Salah satu kelemahannya
adalah bahwa parafrasa cenderung bersifat personal, sehingga tidak semua pembaca
dapat meyakini keakuratan parafrasa tersebut. Kita dapat menulis parafrasa menurut
pemahaman kita sendiri. Terkadang, hasil parafrasa jauh menyimpang dari apa yang
dikehendaki oleh penulis puisi yang diparafrasa tersebut. Akan tetapi, paling tidak
parafrasa dapat menolong kita sebagai solusi alternatif dalam mengatasi kesulitan
memahami puisi bahasa Inggris yang tak kalah indah dan bermakna dari puisi bahasa
Indonesia.

Daftar Pustaka
Effendi, Dr.S. (2002). Bimbingan Apresiasi Puisi. Edisi Keempat. Jakarta: Pustaka
Jaya
Frederick, Juliana Tirajoh. (1988). English Poetry. An introduction to Indonesian
Students. Jakarta: Depdikbud
Hurford, Christopher. Ed. (1996). The Giant Book of Favourite Verse. London:
Magpies Book Ltd.
Kennedy, X.J & Dana Gioia. (1995). Literature: An Introduction to Fiction, Poetry,
and Drama, Sixth Edition. New York: HarperCollins Publishers
Perrine, Laurence. (1969) Sound and Sense: An Introduction to Poetry, Third Edition.
New York: Harcourt & Brace and World Inc.
Wallace, Robert. (1991). Writing Poems. Third Edition. New York: HarperCollins
Publishers

Anda mungkin juga menyukai