Anda di halaman 1dari 17

Sari Kepustakaan

ACC Supervisor
Div. Pulmologi Alergi Imunologi

Dept. Ilmu Penyakit Dalam Dr. Alwinsyah Abidin, SpPD-KP

Efusi Pleura Tuberkulosis


Hardi Edward Sibagariang, Alwinsyah Abidin, E. N Keliat, Zuhrial Zubir
Divisi Pulmonologi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran USU/RSUP H.Adam Malik Medan

1. PENDAHULUAN

1.1 Fisiologi Cairan Pleura


Pleura merujuk pada membran penutup yang menutupi organ-organ di dalam rongga dada.
Pleura dapat dibagi menjadi pleura parietal nonpulmonal dan visceral pulmonal. Dalam jarak 10-20
μm antar permukaan pleura terdapat cairan pleura dengan protein rendah yang merupakan hasil
ultrafltrasi dari mikrosirkulasi pleura. Pleura parietal meliputi dinding dada, diafragma, dan
mediastinum. Pleura visceral mencakup parenkim paru-paru dan fisura lobaris.1

Gambar 1. Tekanan yang mempengaruhi pembentukan cairan pleura.

Seperti pada gambar 1, keseimbangan net tekanan di pleura visceral adalah nol, sedangkan
tekanan net yang melewati pleura parietal adalah sekitar 6 cm H2O. Dengan demikian, kapiler pleura
parietal merupakan sumber utama pembentukan cairan pleura. Namun, dalam kondisi tertentu cairan
lebih mungkin berasal dari interstitium paru-paru yang melewati pleura visceral. Hipotesis bahwa
sedikit kontribusi dari pleura visceral dalam pembentukan cairan pleura; namun, hal ini belum
definitif dibuktikan pada manusia. Koefisien filtrasi pada pleura visceral lebih rendah dibandingkan

1
pleura parietal karena jarak yang lebih besar antara kapiler pleura visceral dan rongga pleura. Pada
pleur parietal, keseimbangan net lebih memungkinkan untuk pembentukan cairan.1
Diperkirakan sekitar 0.1-0.2 mL/kg cairan rendah protein biasanya dijumpai di antara lapisan.
Sel-sel terdapat dalam cairan pleura yang normal terutama makrofag, monosit, dan sel-sel mesothelial,
meskipun limfosit dan neutrofil juga dijumpai. Cairan pleura biasanya mengandung kurang dari 1000
sel/mL. Dalam keadaan sehat, cairan pleura adalah ultrafiltrasi yang berasal dari mikrovaskular baik
pleura visceral dan parietalis. Cairan memasuki ruang pleura karena gradien tekanan yang ada antara
interstitium pleura dan rongga pleura dengan kecepatan 0,01 mL/kg/jam. Oleh karena itu,
pembentukan cairan pleura ditentukan oleh gradien tekanan hidrostatik dan gradien tekanan onkotik.1

1.2 Efusi Pleura

Rongga pleura merupakan ruang antara pleura parietal yaitu menutupi dinding dada dan pleura
visceral yang meliputi paru-paru, mengandung beberapa mililiter cairan yang bertindak sebagai
pelumas antara 2 permukaan. Dalam keadaan normal 0,5 ml cairan pleura dibentuk setiap jam pada
manusia. Untuk mempertahankan volume konstan cairan dalam rongga pleura, cairan harus diabsorpsi
pada tingkat yang sama dengan yang terbentuk. Sistem limfatik pleura parietal merupakan jalur untuk
drainase cairan pleura. Dengan demikian pembentukan efusi pleura adalah dari kelebihan cairan
pleura dan atau dari ketidakmampuan sistem limfatik untuk mengeluarkan cairan yang diproduksi.
Cairan pleura terakumulasi ketika beban cairan intrapleural 30 kali dari keadaan normal. Akumulasi
patologis cairan dalam ruang ini disebut efusi pleura. Mekanisme yang menyebabkan efusi pleura
semuanya menghasilkan peningkatan produksi atau penurunan pengeluaran cairan pleura dan
mungkin terkait dengan perubahan hidrostatik kapiler, osmotik koloid intravaskular atau
ekstravaskuler, dan tekanan negatif intratoraks.1,2

1.3 Prevalensi
Prevalensi efusi pleura sedikit lebih dari 400/100.000 penduduk. Gagal jantung kongestif
adalah penyebab paling umum dari efusi pleura secara keseluruhan. Tabel 1 di bawah ini
menunjukkan penyebab paling umum dari efusi pleura.2
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara-negara
berkembang, mengakibatkan kematian hampir 1,5 juta orang tiap tahunnya. Meskipun sebagian besar
pasien dengan TB adalah TB paru, TB ekstraparu yang terutama mengenai kelenjar getah bening dan
pleura merupakan gambaran awal pada sekitar 25% pasien dewasa.1 Pleuritis TB adalah bentuk TB
ekstra paru yang paling sering, yang biasa ditemui dalam praktek klinis, terutama di daerah dengan
insiden tinggi infeksi TB.1,3 Hal ini penting untuk mempertimbangkan kemungkinan pleuritis TB pada
semua pasien dengan efusi pleura yang tidak terdiagnosis. Pleuritis TB dianggap terutama karena
reaksi hipersensitivitas terhadap protein TB dan jumlah kuman basiler dalam rongga pleura adalah
rendah.4

2
Tabel 1. Penyebab Efusi Pleura Paling Umum

Persentase pasien efusi pleura TB dari jumlah total kasus TB berkisar antara 14,3% dan 19,3%,
jauh lebih besar daripada di Amerika Serikat (3,6%), tetapi lebih rendah daripada di beberapa negara
Afrika, dimana lebih dari 20 % telah dilaporkan. Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan beragamnya
prevalensi TB di antara populasi umum, seperti kejadian efusi pleura TB mungkin diremehkan jika
hasil kultur cairan pleura negatif. Efusi pleura TB lebih sering terjadi pada laki-laki (63,5%), pada
pasien berusia 15-44 tahun (61,2%), dan pasien HIV-positif. Meskipun diduga insiden efusi pleura TB
yang lebih tinggi pada pasien imunokompeten dibandingkan pada mereka dengan gangguan imunitas
seluler, namun ini umumnya tidak terjadi. Di negara-negara dengan kejadian TB yang tinggi, usia
rata-rata pasien efusi pleura TB berkisar 32-34 tahun dan 70% berada di bawah usia 40 tahun. Di
Amerika Serikat, usia rata-rata pada presentasi adalah 49 tahun; hanya 50% dari pasien berada di

3
bawah 45 tahun, dan 30% lebih dari 65 tahun. Untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan ini, diduga
bahwa di negara-negara maju, efusi pleura TB adalah hasil dari reaktivasi, sedangkan di negara-
negara di mana efusi pleura TB muncul dalam populasi yang lebih muda adalah dari infeksi primer.16

2. PATOGENESIS
Hipotesis patogenesis efusi pleura primer TB saat ini adalah bahwa fokus kaseous subpleural di
paru-paru pecah ke dalam rongga pleura 6-12 minggu setelah infeksi primer. Antigen mikobakterium
memasuki rongga pleura dan berinteraksi dengan sel T yang sebelumnya sensitif terhadap
mikobakterium, menghasilkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan akumulasi cairan. Tampaknya
reaksi ini pada pleura menambah masuknya cairan ke dalam rongga pleura dengan meningkatkan
permeabilitas kapiler pleura terhadap serum protein, dan dengan demikian meningkatkan tekanan
onkotik dalam cairan pleura. Keterlibatan sistem limfatik mungkin juga berkontribusi terhadap
akumulasi cairan pleura. Selain itu, pleuritis limfositik menghalangi sistem limfatik pada pleura
parietal, yang mengarah ke penurunan drainase cairan pleura dari rongga pleura. Efusi pleura
merupakan hasil dari kombinasi peningkatan pembentukan dan penurunan drainase cairan pleura.
Gangguan pengeluaran protein dari rongga pleura telah dilaporkan pada efusi tuberkulosis manusia.
Hal ini diketahui bahwa bersihan protein dan cairan dari rongga pleura dilakukan oleh sistem limfatik
pada pleura parietal. Akses cairan pada sistem limfatik adalah melalui bukaan pada pleura parietal
yang disebut stomata. Jika proses difusi pleura parietal dipengaruhi pleuritis TB, maka kerusakan atau
obstruksi stomata bisa menjadi mekanisme penting yang mengarah pada akumulasi cairan pleura.4,5
Pada efusi pleura TB yang mana tidak dijumpai TB pada radiologis paru yang jelas, mungkin
sekuel infeksi primer 6-12 minggu sebelumnya atau mungkin dari reaktivasi TB. Di negara-negara
industri, diperkirakan bahwa kebanyakan efusi pleura disebabkan reaktivasi yang kemudian diikuti
oleh infeksi primer.4,6
Diyakini bahwa hipersensitivitas tipe lambat memainkan peran besar dalam patogenesis efusi
pleura tuberkulosis. Bukti dari peran hipersensitivitas meliputi: (i) Ketika protein TB disuntikkan ke
dalam ruang pleura marmut yang sensitif terhadap derivat protein yang dimurnikan, efusi pleura
eksudatif cepat berkembang. (ii) Ketika kelinci percobaan yang sensitif diberikan serum antilimfosit
serum, perkembangan efusi pleura menurun. (iii) Kultur mikobakteri dari cairan pleural dari
kebanyakan pasien dengan efusi pleura TB adalah negatif.4

3. MANIFESTASI KLINIS
Pleuritis TB biasanya muncul dengan gejala penyakit akut atau subakut. Gejala yang muncul
kurang dari 1 minggu pada 35% pasien dan muncul untuk kurang dari 1 bulan pada 71%. Gejala yang
paling sering adalah batuk (~70%), yang biasanya non-produktif, nyeri dada (~70%) yang biasanya
pleuritik, penurunan berat badan dan mudah lelah. Kebanyakan pasien dengan demam tapi sekitar

4
15% tanpa demam. Pasien dengan efusi pleura TB mungkin disertai sesak nafas jika dengan efusi
masif.4,6
Pada pemeriksaan fisik akan dijumpai penurunan volume taktil fremitus, pada perkusi dijumpai
beda, dan suara pernafasan berkurang atau menghilang sesuai kenaikan volume cairan efusi pleura.
Pekak beralih akan menghilang pada efusi pleura masif dan terlokulasi. Pada efusi pleura masif akan
dijumpai penurunan gerakan pernapasan dan dijumpainya tanda-tanda pergeseran mediastinum.9
Pasien dengan pleuritis TB cenderung lebih muda dibandingkan pasien dengan TB parenkim.
Di negara maju, efusi pleura TB muncul lebih sering pada pasien tua. Efusi pleuraTB dianggap
penyakit kaum muda dengan usia rata-rata 28 tahun, dibandingkan dengan 54 tahun untuk TB
parenkim. Oleh karena itu, TB pleura harus dipertimbangkan dalam setiap orang dewasa atau pasien
tua dengan efusi pleura unilateral.6,7
Pasien HIV(Human Immunodeficiency Virus)-positif dengan efusi pleura TB cenderung lebih
tua, lebih mungkin mendapat pewarnaan cairan pleura dan kultur yang positif untuk M. tuberculosis,
memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk biopsi pleura positif, dan menunjukkan insiden yang lebih
tinggi terjadinya perluasan penyakit. Pasien-pasien ini juga cenderung memiliki hasil tes tuberkulin
negatif, dan cairan pleura menunjukkan albumin yang rendah.7

4. DIAGNOSIS

Diagnosis definitif pleuritis TB adalah dijumpainya basil tuberkulosis dalam dahak, cairan
pleura, atau spesimen biopsi pleura. Diagnosis juga dapat ditegakkan dengan dijumpainya granuloma
pleura atau peningkatan kadar adenosine deaminase (ADA) atau gamma interferon (γ-IFN) dalam
cairan pleura.8

4.1. Analisa cairan pleura


Torakosintesis diagnostik diindikasikan pada pasien dengan efusi pleura yang signifikan
(ketebalan lebih dari 10 mm pada foto lateral dekubitus/ultrasonografi) yang tidak diketahui
penyebabnya. Aspirasi tidak dilakukan pada efusi bilateral dalam keadaan klinis sangat sugestif suatu
transudat, kecuali pasien yang gagal respon terhadap terapi.9,10,12 Tidaklah perlu untuk melakukan
radiografi dada secara rutin setelah torakosintesis kecuali dijumpai udara selama torakosintesis, batuk,
nyeri dada, atau sesak nafas memberat.10

Tabel 2. Kriteria Light’s Efusi Pleura Eksudatif

5
Penentuan sifat cairan pleura sebagai suatu eksudat atau transudat merupakan langkah penting
dalam analisis cairan pleura. Kriteria Light (Tabel 2) adalah sensitif untuk mengidentifikasi eksudat,
dengan sensitivitas 98% tetapi memiliki spesifisitas yang lebih rendah (74%). Tabel 3 di bawah
menunjukkan berbagai penyebab efusi pleura eksudatif dan transudatif.12,13
Cairan pleura TB biasanya berwarna kuning jernih, tetapi mungkin keruh atau serosanguinus.8
Cairan pleura dengan pleuritis TB adalah selalu eksudat. Kadar protein cairan pleura melebihi 5 g/dL
sering menunjukkan suatu pleuritis TB. Kebanyakan pasien dengan pleuritis TB memiliki lebih dari
50% limfosit dalam cairan pleura dan banyak dengan lebih dari 90%. Hanya 6,7% dari 254 pasien
dalam satu studi memiliki kurang dari 50% limfosit dalam cairan pleuranya. Pasien dengan durasi
gejala kurang dari 2 minggu lebih mungkin untuk memiliki leukosit dominan polimorfonuklear
dalam cairan pleura.4,8 Kadar glukosa cairan pleura pada efusi pleura TB dapat berkurang tetapi
biasanya hampir sama dengan serum, pH biasanya di atas 7.30, tetapi juga dapat menurun, kadar asam
lactate dehidrogenase (LDH) biasanya lebih tinggi dari kadar LDH serum.4

Tabel 3. Penyebab Efusi Pleura Eksudatif dan Transudatif

Salah satu ciri cairan pleura dari pasien dengan pleuritis TB adalah tidak banyak dijumpai sel-
sel mesothelial. Sel-sel mesothelial adalah sel-sel yang menutupi kedua pleura visceral dan parietal.
Cairan pleura transudatif mengandung banyak sel mesothelial. Namun, infiltrasi limfositik yang intens
dari pleuritis TB melingkupi kedua permukaan pleura dan mencegah sel-sel mesothelial memasuki
rongga pleura. Empat seri studi terpisah telah mengkonfirmasi bahwa cairan pleural dari pasien
dengan pleuritis TB jarang mengandung lebih dari 5% sel mesothelial. Namun tidak dijumpainya sel-
sel mesothelial bukanlah diagnostik suatu pleuritis TB, karena kondisi apapun dimana permukaan
pleura terlibat proses inflamasi secara luas akan dikaitkan dengan berkurangnya sel mesothelial di
rongga pleura. Pasien yang terinfeksi HIV dengan pleuritis TB mungkin memiliki sel mesothelial
pada cairan pleuranya. Tiga contoh pasien dalam satu laporan memiliki sejumlah besar sel-sel

6
mesothelial dalam cairan pleuranya. Masing-masing dari tiga pasien memiliki jumlah CD4 (cluster of
differentiation 4) dibawah 100 mm3 pada darah perifer.4

4.2 Studi Pencitraan


Gambaran radiografi toraks pada efusi pleura biasanya khas. Dari X-ray toraks posteroanterior
(PA) akan tampak gambaran efusi pleura dengan adanya sekitar 150-200 ml cairan pleura. Namun,
hanya 50 ml saja cairan pleura sudah dapat memberikan gambaran sudut kostofrenikus posterior yang
tumpul pada X-ray toraks lateral.3,4 Dengan pemeriksaan lateral dekubitus, efusi pleura mudah
terdeteksi dengan dijumpainya pergeseran cairan pleural bebas antara dinding dada dan batas bawah
paru-paru. Torakosintesis diagnostik aman ketika jarak pergeseran ini lebih dari 10 mm.12
Pada efusi pleura yang disebabkan oleh TB biasanya unilateral dan dapat bervariasi dalam
ukuran.6,7 Dalam satu seri penelitian, efusi menduduki lebih dari dua-pertiga dari hemitoraks pada
18%, antara sepertiga dan dua pertiga dari hemitoraks pada 47%, dan kurang dari sepertiga dari
hemitoraks pada 34%. Dalam studi lain, TB adalah penyebab utama ketiga dari efusi pleura masif
(12%) setelah keganasan (55%) dan pneumonia (22%). Sekitar 20% sampai 25% dari pasien dengan
efusi pleura TB bersamaan dengan penyakit parenkim yang tampak pada foto toraks. Jika CT Scan
toraks dilakukan, sekitar 86% akan disertai dengan kelainan parenkim. CT Scan dengan kontras akan
meningkatkan akurasi diagnostik dengan temuan terkait lesi parenkim dan limfadenopati. CT Scan
juga dapat mendeteksi komplikasi yang terkait dengan efusi pleura TB seperti; penebalan pleura,
kalsifikasi, efusi yang terlokulasi, empiema, dan fistula bronkopleural.7 Pada pasien tersebut, efusi
pleura hampir selalu di sisi infiltrat parenkim dan selalu menunjukkan penyakit parenkim aktif.4,6,7,12
Namun tidak ada hubungan yang jelas antara tingkat kerusakan parenkim dan peradangan pleura.3
Dalam keadaan perawatan intensif, sebagian pemeriksaan rontgen toraks dilakukan dengan
posisi AP supine, sehingga cairan pleura bebas tersebar dibagian posterior tergantung dari posisi
toraks pasien. Akibatnya efusi terlihat sebagai peningkatan opasitas hemithoraks dengan bayangan
pembuluh darah yang masih tampak pada posisi supine. Volume cairan pleura biasanya tidak sesuai
perkiraan pada foto rontgen toraks supine dan tampilan yang 'normal' tidak menghilangkan
kemungkinan adanya suatu efusi. 4
Melalui pencitraan menggunakan CT Scan efusi yang bebas dapat dengan mudah diidentifikasi,
tetapi harus diperhatiakan secara khusus tanda-tanda lokulasi, penebalan pleura atau adhesi dan efusi
masif sebagi tanda-tanda komprehensif yang mengganggu kinerja pernapasan. Terlepas dari
perubahan pleura, infiltrat paru, nodul, kelenjar lymph dan tanda-tanda sugestif TB lainnya seperti
enkapsulasi atau lesi kavitas harus dengan hati-hati diperiksa menggunakan pencitraan CT Scan.
Prevalensi lesi tuberkulosis perenkimal paru berdasarkan CT Scan pada populasi menunjukkan secara
signifikan lebih tinggi daripada yang sebelumnya dinilai hanya berdasarkan radiografi konvensional.14
Ultrasonography (USG) dengan frekuensi tinggi (5-7,5 MHz) memungkinkan perluasan
eksplorasi struktur dinding dada, diafragma dan mediastinum anterior sampai kedalaman penetrasi

7
~25 cm . Keunggulan spesifik USG adalah volumetry cairan yang lebih tepat daripada dengan rontgen
dada, lokalisasi septa yang lebih tepat, serta penebalan pleura bersama dengan fleksibilitas untuk
bedside diagnosis. Sebagai panduan saat intervensi seperti saat torakosintesis juga merupakan satu
keunggulan dari USG.14 USG toraks (TUS) akan mendeteksi keberadaan cairan pleural minimal 5-50
ml dan 100% sensitif untuk efusi pleura.12
Magnetic-resonance imaging (MRI) adalah sangat baik, namun tidak tersedia secara umum,
jarang diperlukan tetapi memiliki manfaat diagnostik diferensial dalam analisis dengan batas kritis
seperti membedakan antara proses infiltrasi inflamasi dengan destruksi pleura akibat keganasan.14

4.3 Pewarnaan dan kultur Mikobakterium


Salah satu tes yang sering diabaikan dalam diagnostik kerja pasien dengan efusi pleura yang
tidak terdiagnosis adalah pemeriksaan dahak untuk mikobakterium.4 Kultur mikobakterium dari dahak
spontan memiliki sensitivitas rendah dengan kisaran dari 0% sampai 30%. Dengan tidak adanya
infiltrasi paru, sensitivitas akan berada pada kisaran 4-7%. Namun, Conde et al. melaporkan hasil
yang lebih tinggi dari kultur mikobakteri (52%) dalam spesimen dahak. Bahkan pada pasien dengan
parenkim paru normal pada radiografi thoraks, hasil kultur dahak mendekati 55%. Oleh karena itu,
pada pasien dengan dugaan pleuritis TB adalah penting untuk mendapatkan sputum, bahkan tanpa
adanya keterlibatan parenkim.8

Pewarnaan rutin cairan pleura untuk mikobakterium pada individu imunokompeten tidak
diindikasikan karena hampir selalu negatif kecuali pasien dengan empiema tuberkulosis. Pewarnaan
harus dilakukan pada penderita imunokompromised. Gambaran mikroskopis BTA (bakteri tahan
asam) positif dari cairan pleura kasus pleuritis TB adalah kurang dari 10%, kecuali pada pasien yang
terinfeksi HIV dan TB empiema. Pewarnaan positif pada sekitar 20% dari orang HIV positif. Jika
jumlah CD4 perifer kurang dari 100 sel/mm3, sekitar 50% pasien akan memiliki BTA positif pada
cairan pleura. Namun, kultur cairan pleura untuk mikobakterium harus diperoleh pada pasien dengan
efusi pleura yang tidak terdiagnosis. Kultur mikobakterium cairan pleura juga memiliki sensitivitas
rendah dengan kisaran dari 12% - 70%, pada kebanyakan pasien pleuritis TB yang imunokompeten
kultur positif pada kurang dari 40%.4,6,8 Persentase limfosit dalam cairan pleura yang negatif adalah
berhubungan dengan probabilitas kultur efusi yang positif.8

4.4 Tes Kulit


Tes kulit tuberkulin kurang dipakai pada pasien yang diduga menderita pleuritis TB. Hal ini
terutama karena tes negatif tidak mengesampingkan diagnosis pleuritis TB. Dalam rangkaian 254
pasien di Spanyol, hanya 66,5% dari pasien memiliki tes kulit positif. Dalam seri lain di Hong Kong,
lebih dari separuh pasien yang diuji memiliki tes kulit negatif. Tes kulit adalah tes yang sangat
berguna jika hasil reaksinya positif. Masalah utama dengan tes kulit tuberkulin dalam efusi pleura TB
adalah bahwa hal itu sering negatif, setidaknya dalam 40-50% kasus. Namun, jika itu dilakukan

8
setelah minimal 8 minggu dari perkembangan gejala yang muncul, tes kulit tuberkulin menjadi
hampir selalu positif. Oleh karena itu, tes kulit tuberkulin berguna dalam situasi klinis berikut: jika
positif, sangat sugestif bahwa TB adalah etiologi dari efusi pleura; jika tetap negatif pada 8 minggu
setelah gejala muncul maka dapat digunakan untuk mengecualikan TB. Untuk diketahui bahwa pada
pasien dengan imunosupresi seperti HIV atau gizi buruk, tes kulit tuberkulin masih sering negatif.3,4

4.5 Adenosine deaminase (ADA)


ADA merupakan enzim predominan T-limfosit, mengkatalisis konversi masing-masing
adenosin dan deooksiadenosin menjadi inosin dan deoksinosin.4,15 Sebuah meta-analisis dari 63 studi
yang terdiri dari 2.796 pasien dengan pleuritis TB dan 5297 dengan efusi non-TB melaporkan bahwa
sensitivitas dan spesifisitas ADA dalam diagnosis pleutisis TB masing-masing adalah 92% dan 90%.4
Aktivitas adenosine deaminase ditemukan lebih tinggi pada efusi pleura TB dibandingkan eksudat
lain; sensitivitas secara keseluruhan dalam diagnosis efusi pleura TB adalah 99% dan spesifisitas
93%.9. Kadar ADA cairan pleura juga meningkat pada pasien HIV bahkan dengan jumlah CD4 yang
sangat rendah. Nilai cut-off yang paling banyak diterima untuk ADA cairan pleura adalah 40 U/L.
Semakin tinggi kadarnya, semakin besar kemungkinan pasien dengan TB sedangkan kadar yang lebih
rendah maka lebih rendah kemungkinan pasien menderita TB.4
Penyakit utama selain TB yang menyebabkan ADA cairan pleura tinggi adalah empiema.
Sekitar 1/3 dari efusi parapneumonik dan 2/3 dari empiema memiliki tingkat ADA yang melebihi 40
U/L. Namun pleuritis TB dan efusi pleura parapneumonik mudah dibedakan dengan gambaran klinis
dan fakta bahwa efusi pleura parapneumonik memiliki leukosit polimorfonuklear yang dominan,
bukan limfosit yang khas pada efusi pleura TB. Kadar ADA cairan pleura yang tinggi kurang umum
dilaporkan pada keganasan (5%, terutama limfoma), penyakit menular (misalnya brucellosis, Q
fever) dan penyakit jaringan ikat seperti reumatoid artritis. Kadar ADA cairan pleura dapat digunakan
untuk mengeksklusikan diagnosis pleuritis TB pada pasien dengan efusi pleura yang tidak
terdiagnosis. Ferrer dan rekan mengikuti 40 pasien dengan efusi pleura yang tidak terdiagnosis dan
kadar ADA cairan pleura dibawah 43 U/L selama rata-rata 5 tahun dan melaporkan bahwa tidak ada
perkembangan TB. Efusi pleura limfositik bukan karena pleuritis TB biasanya memiliki kadar ADA
cairan pleura dibawah 40 U/L.4 Sebagai catatan ketika aktivitas ADA cairan pleura sangat tinggi (>
250 U/L), empiema atau limfoma harus menjadi pertimbangan pertama daripada TB.12

4.6 Gamma (γ) interferon


Kadar γ-interferon cairan pleura juga sangat efisien dalam membedakan TB dari efusi pleura
nontuberkulosis. γ-interferon adalah sitokin yang dilepaskan oleh CD4+ limfosit T yang diaktifkan,
yang meningkatkan aktivitas mikobakterisidal makrofag. Sebuah metaanalisis dari 22 studi yang
mencakup 782 pasien dengan TB dan 1.319 pasien dengan efusi pleura nontuberkulous menunjukkan
bahwa rata-rata sensitivitas uji γ-interferon adalah 89%, rata-rata spesifisitas adalah 97%. Nilai cut-off

9
point untuk γ-interferon tidak dapat ditentukan secara universal karena metode pemeriksaan
laboratorium yang berbeda-beda.4,6,16

4.7 Interferon-γ release assay (IGRA)


IGRA adalah tes vitro yang berbasis sel T yang mengukur pelepasan interferon-γ oleh sel T
sensitif dari darah perifer atau cairan pleura yang respon terhadap antigen yang sangat spesifik
Mikobakterium tuberkulosis seperti early secretory antigen (ESAT)-6 dan culture filtrate protein
(CFP)-10. Tes ini baik untuk mengidentifikasi pasien yang telah terinfeksi M. Tuberculosis, namun
kurang berguna dalam mengidentifikasi pasien dengan pleuritis TB. Sebuah penelitian baru
menunjukkan bahwa kadar γ-interferon cairan pleural jauh lebih unggul dari IGRA dalam hal baik
sensitivitas dan spesifisitas. IGRA tidak dianjurkan baik pada darah atau cairan pleura untuk
diagnosis pleuritis TB.4

4.8 Test Nucleic Acid Amplification (NAA)


NAA (polymerase chain reaction (PCR), ligase chain reaction) memperkuat sekuens asam
nukleat M. tuberculosis-spesifik dengan probe asam nukleat. Hal ini memungkinkan deteksi langsung
dari M. tuberculosis dalam spesimen klinis seperti cairan pleura dalam hitungan jam setelah sampel
diterima. Sebuah analisis data yang dikumpulkan dari 20 studi menilai penggunaan tes NAA cairan
pleura menyimpulkan bahwa tes ini menunjukkan spesifisitas yang cukup tinggi (97%), tetapi
umumnya sensitivitas yang buruk (62%).4
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa analisis NAA cairan pleural memiliki nilai yang lebih
tinggi untuk mengidentifikasi mikobakterium dibandingkan pewarnaan BTA dan kultur. Keuntungan
lain yang jelas berkaitan dengan fakta bahwa NAA menawarkan hasil positif atau negatif jauh lebih
cepat dibandingkan dengan kultur klasik yang bisa memakan waktu hingga 4-6 minggu.3 Sensitivitas
NAA dalam diagnosis pleuritis TB berkisar 20-81%, dengan spesifisitas berkisar 78-100%. Parameter
yang menentukan sensitivitas NAA mungkin jumlah basil dalam sampel cairan pleural yang
dianalisis, dan penggunaan rutin tidak direkomendasikan saat ini.5

4.9 Xpert MTB/RIF


WHO (World Health Organization) telah mengumpulkan data dari berbagai hasil penelitian
sampai Februari 2013 dimana digunakan hasil kultur cairan pleura sebagai standar referensi, diperoleh
hasil; sensitivitas Xpert MTB/RIF dibandingkan dengan kultur adalah 43,7% dengan spesifitas 98,1%
(17 studi, 1.385 spesimen); dan jika Xpert MTB/RIF diuji terhadap CRS (composite reference
standard; NAA selain Xpert MTB/RIF, histologi, pewarnaan, kultur, uji biokimia, gejala yang muncul
atau respon terhadap pengobatan dengan anti-TB) maka sensitivitasnya adalah 17,0% (7 studi, 698
spesimen) dengan spesifisitas 98,7% CRS.17,18
Penggunaan test Xpert MTB/RIF pada sampel cairan pleura adalah layak tetapi memiliki
sensitivitas rendah. Ada indikasi karena memiliki spesifisitas yang tinggi, namun harus diverifikasi

10
dengan penelitian yang lebih besar, termasuk lebih banyak pasien dengan efusi pleura karena
penyebab lain selain TB. Sebelum digunakan lebih luas, maka metode pengumpulan, penyimpanan,
dan persiapan sampel cairan pleura perlu dioptimalkan untuk meningkatkan sensitivitas uji Xpert
MTB/RIF pada cairan pleura.19

4.10 Biopsi Pleura


Cara untuk diagnosis pleuritis TB yang telah dilaukan sejak lebih dari 50 tahun yang lalu
adalah dengan biopsi pleura memakai blind needle. Dijumpainya granuloma pada pleura parietal
menunjukkan suatu pleuritis TB, dan pewarnaan BTA tidak perlu dilakukan. Meskipun gangguan lain
termasuk penyakit jamur, sarkoidosis, tularemia dan pleuritis arthritis dapat menghasilkan pleuritis
granulomatosa, lebih dari 95% pasien dengan pleuritis granulomatosa adalah karena TB. Jika tidak
ada granuloma yang dijumpai pada biopsi, harus dilakukan pewarnaan BTA dan kultur untuk M.
Tuberculosis pada spesimen biopsi. Dalam salah satu penelitian terhadap 248 pasien dengan pleuritis
TB yang menjalani biopsi pleura, biopsi menunjukkan granuloma pada 198 pasien (80%), pewarnaan
BTA biopsi positif pada 64 pasien (25,8%) dan kultur jaringan biopsi positif pada 140 pasien (56%).
Dalam studi ini setidaknya salah satu dari tiga tes positif pada 227 pasien (91%). Jaringan pleura juga
dapat diperoleh dengan torakoskopi, tetapi torakoskopi biasanya tidak diperlukan untuk membuat
diagnosis pleuritis TB. Torakoskopi kadang-kadang diindikasikan ketika gambaran klinis yang
membingungkan. Jika pasien dengan pleuritis TB, torakoskopi akan menegakkan diagnosis dalam
hampir 100% kasus.4

5. PENDEKATAN DIAGNOSTIK YANG DISARANKAN


Gambar 2 menunjukkan pendekatan algoritmik untuk mendiagnosis pleuritis TB. Langkah
diagnostik pertama selalu mencakup pemeriksaan cairan pleura untuk studi biokimia dan mikrobiologi
serta pemeriksaan dahak untuk mikobakterium. Jika efusi pleura adalah eksudatif dan didominasi
limfosit dan sitologi negatif, ADA cairan pleura dapat digunakan sebagai tes skrining. 8 Jika ADA
cairan diatas 70 U/L dan cairan pleura memiliki rasio limfosit-to-neutrofil lebih besar dari 0,75,
diagnosis TB pleuritis hampir dapat ditegakkan. Jika ADA cairan pleura adalah antara 40 dan 70 U/L
dan pasien memiliki rasio limfosit-to-neutrofil lebih dari 0,75, dapat dibuat diagnosis dugaan pleuritis
TB. Dalam situasi ini, jika gambaran klinis pasien tidak khas untuk pleuritis TB, pertimbangan dapat
diberikan untuk melakukan biopsi pleura atau torakoskopi. Jika kadar ADA cairan pleura pasien di
bawah 40 U/L, diagnosis TB hampir tidak mungkin. Namun demikian, jika pasien memiliki gambaran
klinis yang khas pleuritis TB dan terutama jika cairan pleura memiliki persentase limfosit yang tinggi,
kemungkinan pleuritis TB dapat dievaluasi lebih lanjut dengan biopsi jarum pleura atau
torakoskopi.4,8

11
Gambar 2. Alogaritme pendekatan pleuritis TB

Salah satu keadaan dimana nilai cairan pleura ADA dapat diandalkan untuk membuat diagnosis
pleuritis TB adalah bahwa tidak ada hasil kultur yang didapat. Perlu dicatat bahwa kultur cairan
pleura positif TB pada 35%, sementara kultur biopsi pleura positif TB pada sekitar 55%. Oleh karena
itu, penambahan kultur biopsi hanya meningkatkan persentase keseluruhan kultur positif sebesar
20%.4

6. PENGOBATAN
Pengobatan pleuritis TB memiliki tiga tujuan: (i) untuk mencegah perkembangan selanjutnya
TB aktif, (ii) untuk meringankan gejala pasien, dan (iii) untuk mencegah perkembangan fibrotoraks.4

6.1 Kemoterapi
Perjalanan klinis alami efusi pleura TB yang tidak diobati ditandai dengan resolusi spontan
dalam 4 sampai 16 minggu dengan perkembangan selanjutnya menjadi TB paru aktif atau TB ekstra
paru pada 43-65% kasus selama beberapa tahun ke depan. Data ini menekankan bahwa pentingnya
diagnosa yang tepat dan pengobatan efusi pleura TB.7,16
Sesuai dengan pedoman saat ini, efusi pleura TB seperti juga TB paru, harus diterapi dengan 4
macam obat (isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol) selama 2 bulan, dan isoniazid dan
rifampicin lagi selama 4 bulan (2HRZE/4HR). Pengobatan standar untuk koinfeksi TB-HIV juga
adalah 2HRZE/4HR. Terapi yang diawasi langsung (DOT/directly observed treatment) dianjurkan.4,16
Dengan pengobatan, gejala-gejala pasien dan kelainan radiologi secara bertahap mereda. Pasien
menjadi tidak demam dalam waktu 2 minggu, namun peningkatan suhu dapat bertahan selama 2
bulan. Jika terapi torakosintesis dilakukan dan pada saat yang sama terapi antituberkulosis dimulai,

12
sebagian besar pasien menjadi tidak demam dalam waktu 5 hari. Waktu rata-rata untuk reabsorpsi
lengkap cairan pleura adalah sekitar 6 minggu, tetapi bisa sampai 12 minggu. Tidak ada alasan pasien
untuk selalu beristirahat di tempat tidur dan pasien perlu diisolasi hanya jika pemeriksaan dahak
positif kuman mikobakterium.4,6
Sekitar 50% dari pasien akan menyisakan penebalan pleura 6-12 bulan setelah memulai
pengobatan. Penebalan pleura dapat mengakibatkan pengurangan VC (vital capacity). Pada suatu
studi dijumpai FVC (forced vital capacity) kurang dari 80% dari prediksi pada akhir pengobatan TB
pada 8 dari 81 pasien (10%). Namun, dalam penelitian hanya dijumpai korelasi yang lemah antara
tingkat penebalan pleura dan pengurangan FVC. Insidensi sisa penebalan pleura ini sedikit lebih
umum pada pasien dengan glukosa cairan pleura yang rendah, nilai LDH dan sitokin cairan pleura
yang tinggi. Sisa penebalan pleura lebih umum jika efusi pleura awalnya terlokulasi.4,6
Mencoba untuk mengeluarkan semua cairan pleura tidak menunjukkan pengurangan jumlah
sisa penebalan pleura. Dalam sebuah studi dimana pada 61 pasien secara acak dilakukan drainase
sampai kurang dari 50 mL/hari atau sampai tidak ada drainase, sisa penebalan pleura pada dasarnya
identik pada kedua kelompok. Perlu dicatat bahwa durasi sesak nafas secara signifikan dipersingkat
dengan menggunakan pitgail drainase dengan rata-rata 4 hari dibandingkan 8 hari.6
Tingkat residu penebalan pleura pada pasien dengan efusi pleura yang terlokulasi dapat
dikurangi dengan pemberian fibrinolitik. Kwak dan rekan mengacak 43 pasien dengan efusi pleura
yang terlokulasi untuk menerima 100.000 IU urokinase setiap hari, diberikan melalui kateter pitgail,
dimulai saat drainase cairan pleura kurang dari 100 ml/hari dan diakhiri ketika jumlah cairan pleura
kurang dari 50 mL/hari, atau hanya terapi anti-TB. Mereka menyimpulkan bahwa lebar rata-rata
penebalan pleura adalah 0,46 cm pada kelompok urokinase dan 1.86 cm pada kelompok kontrol.6
Setelah memulai terapi anti-TB, dapat terjadi paradoks dimana perburukan terjadi pada
beberapa pasien.6,16 Dalam sebuah studi dari 61 pasien dengan terapi standar dengan INH, rifampisin,
pirazinamid, dan etambutol; 10 pasien (17%) memiliki peningkatan ukuran efusi setelah terapi
dimulai.6 Hal ini mungkin karena rebound kekebalan tubuh, dimana peningkatan imunitas seluler
setelah pengobatan bertepatan dengan beban antigen yang berlebihan akibat cepatnya lisis bakteri.6,16
Beberapa pasien dengan pleuritis TB dapat berkembang dengan nodul perifer selama pengobatan, dan
akan menghilang seiring dengan terapi anti-TB dilanjutkan.6
Selama pengobatan TB paru, efusi pleura dapat berkembang pada beberapa pasien. Satu studi
menemukan 29 pasien yang mengalami efusi pleura saat menerima kemoterapi untuk paru (16 pasien)
atau ekstra-paru TB (13 pasien). Efusi berkembang antara minggu ke-5 dan ke-8 dari kemoterapi
dimulai pada 13 pasien, antara minggu ke-9 dan minggu ke-15 pada 9 pasien, dan antara minggu ke-
13 dan minggu ke-25 pada 5 pasien. Menariknya, cairan pleura ditemukan eksudatif dalam semua
kasus, dan kultur untuk M. tuberculosis positif pada 4 pasien. Kebanyakan pasien respon dengan
rejimen kemoterapi yang sama tanpa interupsi.6

13
6.2 Kortikosteroid
Reaksi hipersensitivitas terhadap M. tuberkulosis yaitu dijumpainya pleuritis granulomatosa.
Kortikosteroid melalui kerja antiinflamasinya dapat mempercepat reabsorpsi cairan dan mencegah
perlengketan pleura selama penyembuhan. Tiga percobaan acak telah menyelidiki kemungkinan peran
tambahan kortikosteroid oral pada efusi pleura TB. Dengan dosis 0,75-1 mg/kg/hari digunakan untuk
jangka waktu berkisar antara 4 sampai 12 minggu. Resolusi awal gejala klinis dan tanda-tanda
termasuk demam, nyeri dada, dan sesak nafas diamati. Meskipun ada kecenderungan sisa cairan
pleura yang lebih sedikit pada akhir pengobatan, tidak ada perbedaan dalam perkembangan penebalan
pleura residual atau perlengketan pada tindak lanjut berikutnya. Fungsi paru-paru residual adalah
serupa antara kelompok steroid dan kelompok kontrol setelah pengobatan selesai.7
Peran kortikosteroid dalam pengobatan radang selaput dada TB masih kontroversial. Dalam dua
studi terkontrol di mana torakosintesis terapi dilakukan; tidak ada manfaatnya. Dalam sebuah studi di
mana terapi torakosintesis tidak dilakukan; durasi demam dan waktu yang dibutuhkan untuk
reabsorpsi cairan adalah berkurang. Pemberian kortikosteroid tidak mengurangi tingkat residu
penebalan pleura dan 6 atau 12 bulan setelah terapi.4,16 Dalam sebuah studi acak dari 197 pasien
dengan HIV terkait pleuritis TB, pemberian prednisolon dikaitkan dengan peningkatan risiko Kaposi
sarkoma. Sebuah tinjauan Cochrane baru-baru ini menyimpulkan bahwa ada data yang cukup untuk
mendukung rekomendasi berbasis bukti mengenai penggunaan kortikosteroid tambahan pada
penderita radang selaput dada TB.4,7
Pendekatan yang direkomendasikan untuk pasien dengan pleuritis TB adalah jika pasien
dengan gejala kilnis yang berat torakosintesis terapi dianjurkan. Jika pasien terus memiliki gejala-
gejala sistemik yang berat (demam, malaise, nyeri dada pleuritik) setelah torakosintesis terapeutikal,
pemberian 80 mg prednison setiap hari sampai gejala akut mereda dianjurkan. Setelah itu dosis
kortikosteroid diturunkan.4

6.3 Torakosintesis terapeutikal


Torakosintesis awal biasanya dilakukan untuk tujuan diagnosis, kecuali pasien dengan sesak
napas saat istirahat atau efusi pleura masif, dalam hal ini torakosintesis terapeutikal untuk
mengeluarkan sampai 1500 ml cairan diindikasikan.10 Tekanan darah bisa turun, dan re-ekspansi
edema dapat terjadi jika drainase terlalu cepat, sehingga untuk pasien usia lanjut khususnya, drainase
harus dijaga sampai maksimal 1000ml/jam dan 1000-2000 ml/hari. Bila menggunakan kateter besar
dipastikan bahwa tidak ada udara yang masuk ke rongga pleura ketika kateter dimasukkan, adalah
penting untuk memperhatikan kecepatan drainase. Saat cairan pleura terdrainase dan berkurang dan
paru-paru berkembang, pasien harus diingatkan bahwa prosedur tersebut kemungkinan akan memicu
batuk. Tanda vital harus diperiksa selama dan setelah drainase untuk memastikan bahwa kondisi
umum stabil.11

14
Morbiditas terkait dengan torakosintesis yang dilakukan oleh operator yang berpengalaman
adalah rendah. Komplikasi yang paling umum adalah reaksi vagal (10% -14%) dan pneumotoraks
(3% -8%). Rontgen dada tidak penting setelah torakosintesis kecuali bila komplikasi seperti
pneumotoraks dicurigai.2

7. KESIMPULAN
Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama di negara-negara
berkembang. Pleuritis TB merupakan TB ekstra paru yang paling sering, yang biasa ditemui dalam
praktek klinis, terutama di daerah dengan insiden tinggi infeksi TB, dimana persentase pasien efusi
pleura TB dari jumlah total kasus TB adalah berkisar antara 14,3% dan 19,3%.
Pleuritis TB biasanya muncul dengan gejala batuk yang biasanya non-produktif, nyeri dada
yang biasanya pleuritik, demam, penurunan berat badan, mudah lelah, dan sesak nafas jika dengan
efusi pleura masif. Diagnosis ditegakkan dengan adanya gejala klinis, disertai hasil pemeriksaan dari
analisa cairan pleura, studi pencitraan, pewarnaan dan kultur, test ADA, gamma interferon, IGRA,
NAA, Xpert MTB/RIF, dan biopsi pleura.
Pengobatan efusi pleura TB bertujuan untuk mencegah perkembangan selanjutnya TB aktif,
untuk meringankan gejala pasien, dan untuk mencegah perkembangan fibrotoraks. Pengobatan efusi
pleura TB adalah sama dengan pengobatan TB paru yaitu dengan regimen RHZE (2 bulan)/RH
(4bulan). Sementara peran kortikosteroid masih kontroversial. Torakosintesis terapeutikal dapat
dilakukan pada pasien dengan klinis sesak napas atau efusi dengan pleura masif.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Ali Juzar, Summer Warren R, Levitzky Michael G. Diseases of the Pleura. Pulmonary
Pathophysiology. Chapter 11. 3rd edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. New York. 2010.
Page:189-208.
2. Garrido Victoria Villena et al. Recommendations Of The Spanish Society Of Pulmonology And
Thoracic Surgery: Diagnosis and Treatment of Pleural Effusion. Arch Bronconeumol.
2006;42(7):349-72.
3. Botianu Petre, Botianu Alexandru-Mihail. The Challenge of Diagnosing Pleural Tuberculosis
Infection. Formatex. 2013.
4. Light Richard W. Update on tuberculous pleural effusion. Respirology. 2010; 15: 451–458.
5. Ferrer J. Pleural tuberculosis. European Respirology Journal. 1997; 10: 942–947
6. Cohen Leah A, Light Richard W. Tuberculous Pleural Effusion. Turk Thorac Jounal 2015; 16: 1-
9.
7. Gopi Arun, Madhavan Sethu M, Sharma Surendra K, Sahn Steven. Chest: March, 2007;131;880-
889
8. Jeon Doosoo. Tuberculous Pleurisy: An Update. Tuberculosis Respiratory Diseases 2014;76:153-
159.
9. Karkhanis Vinaya S, Joshi Jyotsna M. Pleural effusion: diagnosis, treatment,and management.
Dove Medical Press Ltd . Open Access Emergency Medicine 2012:4 31–52.
10. Light Richard. Pleural Effusion. N Engl J Med, Vol. 346, No. 25 June 20, 2002.
11. Sato Tetsuo. Differential Diagnosis of Pleural Effusions. JMAJ, September/Oktober 2006-Vol.
49, No 9.10.
12. Na Moon Jun. Diagnostic Tools of Pleural Effusion. Tuberc Respir Dis 2014;76:199-210.
13. Hooper Clare, Lee Y C Gary, Maskell Nick. Investigation of a unilateral pleural effusion in
adults: British Thoracic Society pleural disease guideline 2010. Thorax 2010;65(Suppl
2):ii4eii17. doi:10.1136/thx.2010.136978
14. Frank Wolfgang. Tuberculous Pleural Effusion. Tuberculosis - Current Issues in Diagnosis and
Management. Chapter 14. Available at: http://dx.doi.org/10.5772/54955
15. Trajman A et al. Novel tests for diagnosing tuberculous pleural effusion: what works and what
does not?. European Respiratory Journal 2008; 31: 1098–1106 DOI:
10.1183/09031936.00147507
16. Ferreiro Lucía, José Esther, Valdésc Luis. Review Tuberculous Pleural Effusion. Arch
Bronconeumol. 2014;50(10):435–443
17. Xpert MTB/RIF Implementation Manual Technical And Operational ‘How-To’: Practical
Considerations. GPS Publishing. France. World Health Organization 2014. Page: 7

16
18. Automated Real-Time Nucleic Acid Amplification Technology For Rapid And Simultaneous
Detection Of Tuberculosis And Rifampicin Resistance: Xpert MTB/RIF Assay For The Diagnosis
Of Pulmonary And Extrapulmonary TB In Adults And Children; Policy Update. GPS Publishing.
France. World Health Organization 2013. Pages: 19-20
19. Friedrich Sven , Groote-Bidlingmaier Florian, Diacon Andreas. Xpert MTB/RIF Assay for
Diagnosis of Pleural Tuberculosis. Journal Of Clinical Microbiology, Dec. 2011, p. 4341–4342
Vol. 49, No. 12

17

Anda mungkin juga menyukai