Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorragic Fever (DHF)

adalah penyakit infeksi disebabkan oleh virus Dengue yang mengakibatkan

demam, nyeri otot, dan nyeri sendi serta disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,

dan trombositopenia. Penularan infeksi virus Dengue terjadi melalui vektor utama

Aedes aegypti L. dan vektor potensial melalui Aedes albopictus. Banyak faktor

yang mempengaruhi kejadian penyakit DBD ini, antara lain faktor host,

lingkungan (environment) dan faktor virusnya sendiri. Faktor host yaitu

kerentanan (susceptibility) dan respon imun. Faktor lingkungan (envinronment)

yaitu kondisi geografi (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angin,

kelembaban, musim dan kondisi demografi penduduk). Jenis nyamuk sebagai

vektor penular penyakit juga ikut berpengaruh. Faktor agent yaitu virus Dengue,

yang hingga saat ini telah diketahui ada 4 jenis serotipe yaitu Dengue 1, 2, 3 dan 4

(Zulkoni, 2010).

Penyakit Demam Berdarah Dengue di negara-negara wilayah tropis,

umumnya akan meningkat pada musim penghujan dimana banyak terdapat

genangan air bersih yang menjadi tempat yang sangat baik untuk berkembang

biaknya nyamuk Aedes aegypti L. tempat perindukan yang biasanya disenangi

nyamuk berupa bak mandi, pot bunga, kaleng, botol, drum, ban mobil bekas dan

lain-lain (Zulkoni, 2010).

1
Pencegahan penyakit DBD sudah banyak dilakukan dengan berbagai cara,

diantaranya dengan membasmi jentik-jentik nyamuk penyebab demam berdarah

tersebut. Pemberantasan larva merupakan kunci strategi pengendalian penyakit

demam berdarah diseluruh dunia. Penggunaan larvasida merupakan cara yang

paling umum digunakan oleh masyarakat untuk mengendalikan pertumbuhan

larva nyamuk demam berdarah tersebut.

Penggunaan insektisida sintetik sangat efektif untuk membunuh larva nyamuk.

Namun, penggunaannya secara kontinyu dapat menciptakan dampak yang negatif

seperti meningkatnya polusi lingkungan, serangga menjadi resisten, resurgen

maupun toleran terhadap pestisida (Kardinan, 2011).

Insektisida yang sering digunakan di Indonesia adalah abate (temephos).

Tetapi, penggunaan abate yang berulang dapat menambah resiko kontaminasi

residu pestisida dalam air, terutama air minum. Abate tidak digunakan secara oral,

sehingga tidak diharapkan keberadaannya di dalam air minum.

Menurut penelitian Rifani 2019 Daun cempedak (Artocarpus champeden)

memiliki kandungan metabolit sekunder seperti triterpenoid, steroid, senyawa

fenol, saponin, flavonoid dan tanin yang diduga kuat berpotensi dan dapat

digunakan sebagai biolarvasida. Penggunaan daun cempedak ini dikarenakan

ketersediaan bahan dialam yang cukup melimpah dan juga jarang dimanfaatkan

oleh masyarakat serta terbuang sia –sia, oleh karena itu pada penelitian kali ini

bertujuan untuk mengetahui aktivitas biolarvasida dan nilai LC50 dari ekstrak

etanol daun cempedak tersebut.

2
B. Rumusan Masalah

1. Apakah ekstrak etanol daun cempedak (Artocarpus champeden)

memiliki aktivitas biolarvasida terhadap larva nyamuk Aedes

aegypti L. ?

2. Berapakah nilai LC50 dari ekstrak etanol daun cempedak

(Artocarpus champeden) ?

C. Hipotesis

Ekstrak etanol daun cempedak (Artocarpus chempden) mengandung

berbagai metaolit sekunder yang diduga memiliki aktivitas biolarvasida

terhadadap larva nyamuk Aedes aegypti L.

D. Tujuan Penelitian

1. mengetahui aktivitas biolarvasida ekstrak etanol daun cempedak

(Artocarpus champedan) terhadap larva nyamuk Aedes aegypti L.

2. mengetahui nilai LC50 ekstrak etanol daun cempedak (Artocarpus

champeden) terhadap larva nyamuk Aedes aegypti L.

3
E. Manfaat Penelitian

1. Sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin

mengembangkan ekstrak etanol daun cempedak (Artocarpus

champeden) menjadi sediaan tertentu dan menjadi produk.

2. Sebagai sumber informasi bagi mahasiswa dan masyarkat tentang

manfaat daun cempedak (Artocarpus champeden) sebagai

biolarvasida alami dan ramah lingkungan.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Nyamuk Aedes aegypti L.

Demam Berdarah Dengue (DBD) atau bisa disebut juga dengue

haemorhagie fever (DHF) adalah penyakit yan disebabkan oleh suatu virus

Dengue Famili Flaviviridae dengan genusnya adalah Flavivieus RNA Togavirus.

Virus ini memiliki empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3,

dan DEN-4. Selama ini secara klinis mempunyai tingkatan manifestasi yang

berbeda, bergantung dari serotype virus Dengue, Penyebab atau vektor virus

demam berdatah adalah nyamuk Aedes aegypti L. yang termasuk atau tergolong

kelas insekta. Sampai sekarang penyakit DBD telah menular dan melanda hampir

di seluruh wilayah Indonesia, dengan jumlah yang cukup banyak.

Nyamuk Aedes aegypti L. termasuk ke dalam ordo diptera. Saat ini penyakit

ini merupakan penyakit menular yang sering menimbulkan kejadian luar biasa di

Indonesia (Depkes RI, 2009). Penyakit ini menyerang semua orang dan dapat

menyebabkan kematian terutama pada anak-anak, serta sering menimbulkan

kejadian luar biasa atau wabah. Tempat yang paling disukainya adalah kamar-

kamar yang gelap serta lembab.

5
1. Taksonomi Aedes aegypti

Gambar 1. Nyamuk Aedes aegypti L. dan larva nyamuk Aedes aegypti L.


(Google, 2019).

Klasifikasi Aedes aegypti L. adalah sebagai berikut :


Domain : Eukaryota
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Diptera
Subordo : Nematocera
Family : Culicidae
Subfamily : Culicinae
Genus : Aedesp
Subgenus : Stegomya
Species : Aedes aegypti L. (Sudarto, 1972)

2. Morfologi Aedes aegypti L.

Secara umum nyamuk Aedes aegypti L. sebagaimana serangga lainnya

mempunyai tanda pengenal sebagai berikut :

a. Terdiri dari tiga bagian, yaitu : kepala, dada, dan perut

b. Pada kepala terdapat sepasang antenna yang berbulu dan moncong yang

panjang (proboscis) untuk menusuk kulit manusia/hewan lalu menghisap

daranhnya.

6
c. Pada dada ada 3 pasang kaki yang beruas serta sepasang sayap depan dan

sayap belakang yang mengecil berfungsi sebagai penyeimbang (halter)

(Sudarto, 1972).

d. Aedes aegypti L. dewasa berukuran kecil dengan warna hitam. Pada

bagian dada, perut, dan kaki terdapat bercak-bercak putih yang dapat

dilihat dengan mata telanjang. Pada bagian kepala terdapat pula

proboscis yang pada nyamuk betina dipakai untuk menghisap darah pada

manusia/hewan, sementara pada nyamuk jantan dipakai untuk menghisap

sari bunga. Terdapat juga palpus maksilaris yang terdiri dari 4 ruas yang

berujung hitam dengan sisik berwarna putih keperakan. Pada palpus

maksilaris Aedes aegypti L. tidak tampak tanda-tannda pembesaran,

ukuran palpus maksilaris ini lebih pendek dibandingkan dengan

proboscis. Sepanjang antenna terdapat diantara dua bola mata, yang pada

nyamuk jantan berbulu lebat (Plumose) dan pada nyamuk betina berbulu

jarang (pilose).

e. Dada nyamuk Aedes aegypti L. agak membengkok dan terdapat sculetum

yang berbentuk tiga lobus. Bagian dada ini kaku, ditutupi oleh scutum

pada punggung (dorsal), berwarna gelap keabu-abuan yang ditandai

dengan bentukan menyerupai huruf Y yang ditengahnya terdapat

sepasang garis membujur berwarna putih keperakan. Pada bagian dada

ini terdapat dua macam sayap, sepasang sayap kuat pada bagian

mesotorak dan sepasang sayap pengimbang (halter) pada metatorak.

Pada sayap terdapat saluran trakea longitudinal yang terdiri dari chitin

7
yang disebut venasi. Venasi pada Aedes aegypti L. terdiri dari vena kosta,

vena subkosta, dan vena longitudinal. Terdapat tiga pasang kaki yang

masing-masing terdiri dari coxae, trochanter, femur, tibia dan lima tarsus

yang berakhirsebagai cakar. Pada pembatas antara prothorax dan

mesothorax, dan antara mesothorax dengan metathorax terdapat stigma

yang merupakan alat pernafasan (Sudarto, 1972).

f. Bagian perut nyamuk Aedes aegypti L. berbentuk panjang ramping, tetapi

pada nyamuk gravid (kenyang) perut mengembang. Perut terdiri dari

sepuluh ruas terakhir menjadi alat kelamin. Pada nyamuk betina alat

kelamin disebut cerci sedangkan pada nyamuk jantan alat kelamin

disebut hypopigidium. Bagian dasar perut Aedes aegypti L. berwarna

hitam bergaris-garis putih, sedangkan pada bagian ventral serta lateral

berwarna hitam dengan bintik-bintik putih keperakan (Sudarto, 1972).

3. Siklus Hidup Aedes aegypti L.

Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti L. secara sempurna yaitu melalui

empat stadium, yang pertama yaitu telur, kemudian larva, pupa dan menjadi

nyamuk dewasa (Sudarto, 1972).

Setelah dua hari, telur menetas menjadi larva, selanjutnya kulit larva

mengelupas menjadi pupa dan selanjutnya berkembang menjadi dewasa.

Dari telur menjadi nyamuk dewasa dibutuhkan waktu sekitar 8 hari. Pada

tempat perindukan Aedes aegypti L. sering ditemukan Aedes albopictus.

8
Dapat diketahui bahwa masa inkubasi nyamuk berlangsung selama 6 hari

(Zulkoni, 2010).

B. Uraian Tumbuhan Cempedak

1. Taksonomi Tumbuhan Cempedak

Kingdom : Plantae
Subkingom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Urticales
Famili : Moraceae
Genus : Artocarpus
Spesies : Artocarpus champeden (Sumeru, 2006).

Gambar 2. Tumbuhan Cempedak dan Daun Cempedak


( Dokumentasi Pribadi, 2019).

2. Nama Daerah

Menurut Sumeru 2006, cempedak cukup terkenal di Indonesia bahkan

dunia dan daerah pedesaan. Cempedak adalah salah satu jenis tanaman

yang banyak ditanam di daerah tropis. Tanaman ini berasal dari India

9
bagian selatan yang kemudian menyebar ke daerah tropis lainnya

termasuk Indonesia.

3. Morfologi Tumbuhan Cempedak

a. Batang

Cempedak merupakan pohon yang selalu hijau (evergreen),

batangnya lurus dan silindris tetapi kadang-kadang persegi, tingginya

mencapai ±15 m2 dan diameter batang ± 40 cm3. Pada pangkal batang

terdapat benjolan-benjolan, di batang utama tumbuh rangting, daun dan

buah. Kulit kayunya berwarna abu-abu dan kadang kadang coklat ke

abu-abuan, tebalnya 2 – 3,5 cm3, jika batang dipotong atau dilukai akan

mengeluarkan getah yang berwarna putih (Mody dan Suhartati, 2013).

b. Daun

Berbentuk daun eliptik (elliptic) sampai bulat telur sungsang

(obovate),susunan berselang (alternate), panjang daun 5 – 25 cm3,

pangkal daun berbentuk pasak (cuneate) sampai budar (rounded),

pinggir daun rata (integer), tulang daun6 – 10 pasang yang letaknya

lateral dan agak melengkung kedepan (pinnate), tangkai 1 – 3 cm3,

ranting muda dan permukaan bawah daun berbulu halus (pubescent)

yang panjangnya ±3 mm (Mody dan Suhartati, 2013).

c. Bunga

Bunga bentuk tunggal biasanya muncul di ketiak daun, batang

cabang, batang utama hingga pangkal batang. Karangan bunga

berbentuk lonjong seperti gada memanjang dan berumah satu

10
(monoecious). Karangan bunga jantan berbentuk bongkol seperti

gelendong (silinder) berukuran 1 × 3 - 5,5 cm3, berwarna hijau pucat

atau kekuningan, bertangkai 3 - 6 cm. Bongkol jantan berbentuk

silinder berwarna kuning ke putih-putihan, gagang bunga panjang nya

3 – 6 cm, bongkol betina memiliki tangkai putik yang berbentuk

benang. Tanaman cempedak mulai berbunga pada umur 3 – 6 tahun,

jumlah bunga untuk setiap sincard bervariasi antara 1.400 – 5000

kuntum (Mody dan Suhartati, 2013). Bongkol betina terdapat di pucuk

yang keluar dari batang,sedangkan sebagian besar bunga jantan

terbentuk pada pucuk yang berdada di pinggiran tajuk (canopy). Hal ini

memudahkan terjadinya penyerbukan oleh angin, walaupun serbuk

sarinya lengket. Serangga akan berkunjung karena aroma bunga jantan,

serangga tidak mengunjungi bunga betina karena tidak bernektar.

Musim bunga tidak tergantung musim, dapat berbunga pada setiap saat,

di Semenanjung Malaysia pembungaan terjadi pada bulan Februari-

April atau Agustus - Oktober, di Pulau Jawa bagian barat pohon

cempedak umumnya berbunga pada bulan Juli - Agustus, dan di

Queensland Utara Australia cempedak berbunga pada bulan September

- Oktober (Mody dan Suhartati, 2013).

d. Buah

Buah cempedak bersifat semu majemuk (syncarp) berbentuk

silinder sampai bulat dengan ukuran panjang 10 - 15 × 20 - 35 cm3 dan

diameter 10-15 cm3. Buah cempedak termasuk unik, daging buahnya

11
mudah dilepas dari kulit buahnya dan tangkai buahnya meskipun masih

dikelilingi oleh dami buah. Daging buah adalah perhiasan bunga yang

membesar dan menebal, berwarna putih kekuningan sampai jingga,

rasanya manis dan aromanya. harum, bertekstur lembut, licin berlendir

dan agak berserat. Buah cempedak menyerupai nangka, namun

ukurannya lebih kecil, kulit lebih halus dan aromanya tajam antara

aroma nangka dan durian, getahnya lebih sedikit dibandingkan dengan

buah nangka. Buah muda berwarna hijau dan setelah tua berwarna

kekuningan atau kecokelatcokelatan sampai hijau kejinggaan. Buah

tertutup oleh duri-duri tumpul yang tersusun rapat, gagang buahnya

berukuran 5 - 6 cm, tebal kulit buah ±1 cm; berat buah 0,6 - 3,5 kg,

berat daging buah dan biji 25 - 30% dari berat buah Periode

pematangan buah cempedak 3 - 6 bulan, tergantung pada genotipe dan

iklim. Panen cempedak di Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten

Luwu, Luwu Utara dan Luwu Timur umumnya dilakukan pada bulan

Januari - April. Daging buah yang matang berwarna kuning, mudah

lepas dari dinding buah atau porosnya, konsistensinya lembut, rasa

manis. Berat daging buah segar bervariasi antara 0,1 - 1,2 kg dengan

kadar air 58 - 85%. Komposisi dari setiap 100 gram berat kering daging

buah mengandung protein 3,5 - 7,0 %, lemak 0,5 - 2,0%, karbohidrat

84,0 - 87,0 %, serat 5,0 - 6,0%, dan unsur abu 2,0 - 4,0% (Mody dan

Suhartati, 2013).

e. Biji

12
Setiap buah mengandung biji ± 98 butir, biji berbentuk lonjong

berukuran 27 x 17,2 x 13,7 cm3 (panjang x lebar x tebal) tetapi kadang-

kadang ada yang bulat pipih sampai bulat, warna putih keabu-abuan.

Kadar air biji segar 51,7 %, berat biji rata-rata 3,9 g atau ± 256 biji/kg,

setelah kering udara berat biji rata-rata 2,7 g atau ± 370 biji/kg.

Komposisi biji terdiri atas protein 10 - 13%, lemak 0,5 - 1,5%,

karbohidrat 77,0 - 81,0%, serat 4,0 - 6,0% dan abu 2,0 - 4,0 % (Mody

dan Suhartati, 2013).

4. Khasiat Tumbuhan

Daun cempedak yang mengandung berbagai metabolit sekunder

seperti: triterpenoid, steroid, senyawa fenol, saponin, flavonoid dan tanin

yang memiliki efek sebagai antioksidan (Halimatussa’diah dkk., 2014).

5. Kandungan Senyawa Kimia

Menurut Halimatussa’diah dkk., 2014 Daun cempedak yang

mengandung berbagai metabolit sekunder seperti triterpenoid, steroid,

senyawa fenol, saponin, flavonoid dan tanin, memiliki efek sebagai

antioksidan. Efek antioksidan ini terutama disebabkan oleh adanya

kandungan senyawa fenol. Senyawa fenol merupakan kelas utama

antioksidan yang berada dalam tumbuh-tumbuhan. Senyawa fenol dapat

meredam radikal bebas dengan menyumbangkan elektronnya melalui atom

hidrogen gugus hidroksil.

13
C. Kandungan Senyawa Metabolit Sekunder

1. Flavonoid

Flavonoid adalah salah satu senyawa metabokit sekuder alami

tanaman yang terbesar, terutama sebagai fenol, dalam kondisi bebas

maupun glikosida berkaitan. Struktur kimia flavonoid hanya berdasar

pada rangka karbon C6-C3-C6 yang memiliki suatu cincin piran atau

kroman yang membawa cincin benzene atau cincin aromatic kedua yang

posisi strategisnya pada C-2, C-3, atau C-4 (Kar, 2009). Aglikon

flavonoid terdapat dalam bentuk kombinasi glikosida dalam satu

tumbuhan, sehingga dalam menganalisis flavonoid lebih baik bila kita

memeriksa aglikon yang terdapat dalam ekstrak tumbuhan yang telah

terhidrolisis dari pada mengamati bentuk glikosidanya yang rumit

(Harborne, 1987).

2. Steroid

Steroid adalah turunan golongan senyawa triterpenoid. Steroid berasal

dari berbagai transformasi kimia dan triterpena yaitu lanosterol dan

saikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar

pembuatan obat. Golongan steroid ditemukan hampir pada semua jenis

tanaman mangrove. Golongan ini banyak mempunyai khasiat sebagai

anti inflamasi, anti radang, anti karsinogenik dan pengontrol diabetes

dalam fase uji klinis (Harborne, 1987).

14
3. Tanin

Menurut Harborne,1987 Tanin banyak sekali terdapat pada tumbuhan

berpembuluh, tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk polimer

yang tidak larut dalam air banyak mempunyai khasiat sebagai anti

inflamasi, anti radang, anti karsinogenik dan pengontrol diabetes dalam

fase uji klinis.

4. Saponin

Saponin adalah suatu senyawa yang memiliki bobot molekul tinggi

atau besar, tersebar dalam beberapa tumbuhan, merupakan bentuk

glikosida dengan molekul gula yang terikat dengan aglikon triterpen atau

steroid. Saponin larut dalam air, tidak larut dalam eter, dan jika

dihidrolisis akan menghasilkan aglikon (Hanani, 2015).

5. Ekstaksi

Ekstraksi atau penyarian merupakan proses pemisahan bahan dari

campurannya dengan menggunakan pelarut. Teknis ekstraksi sangat berguna

untuk pemisahan secara bersih dan cepat, baik untuk zat organik maupun

anorganik. Ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan cara ekstraksi tumbuhan

obat dengan menggunakan medium pengekstraksi (menstrum) yang tertentu dan

ukuran pertikel tertentu pula (Agoes, 2007).

Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut

dengan beberapa kali pengadukan atau pengocokan pada temperatur ruangan

(kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian

15
konsentrasi pada keseimbangan (Depkes RI, 2002). Maserasi dilakukan dengan

cara merendam serbuk simplisia kedalam cairan penyari. Cairan penyari akan

menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif

dan zat aktif tersebut akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara

larutan zat aktif di dalam sel dan luar sel, maka larutan yang paling pekat didesak

ke luar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi

antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Maserasi digunakan untuk penyari

simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah dalam cairan penyari, tidak

mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak

mengandung benzoin, tirak, dan lain-lain. Cairan penyari yang digunakan dapat

berupa air, etanol, air-etanol atau pelarut lain. Maserasi yang menggunakan air

sebagai cairan penyari perlu ditambahkan bahan pengawet yang diberikan pada

awal penyarian untuk mencegah timbulnya kapang. Keuntungan cara penyarian

dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana

dan mudah diusahakan. Kerugiannya pengerjaan maserasi lama dan penyariannya

kurang sempurna (Depkes RI, 1986).

Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara 1 bagian serbuk kering

simplisia dimasukkan ke dalam maserator, tambahkan 10 bagian pelarut. Rendam

selama 6 jam pertama sambil sekali-kali diaduk, kemudian diamkan selama 18

jam. Pisahkan maserat dengan cara pengendapan. Ulangi proses penyaringan

sekurang-kurangnya dua kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama.

Kumpulkan semua maserat, kemudian uapkan hingga diperoleh ekstrak kental.

Hitung rendemen yang diperoleh (Depkes RI, 2008).

16
Pada penyaringan dengan cara maserasi, perlu dilakukan pengadukan.

Pengadukan dilakukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk

simplisia, sehingga derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara

larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel tetap terjaga. Hasil penyarian

dengan cara maserasi perlu dibiarkan selama waktu tertentu untuk mengendapkan

zat-zat yang tidak diperlukan tetapi ikut terlarut dalam cairan penyari. Maserasi

dapat dilakukan modifikasi misalnya:

1. Digesti

Digesti adalah cara maserasi dengan menggunakan pemanasan lemah,

yaitu pada suhu 40-50°C. Cara maserasi ini hanya dapat dilakukan untuk

simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap pemanasan.

2. Maserasi Dengan Mesin Pengaduk

Penggunaan mesin pengaduk yang berputar terus menerus, waktu proses

maserasi dapat dipersingkat menjadi 6 - 24 jam (DepKes RI, 1986).

3. Remaserasi

Remaserasi merupakan dilakukannya pengulangan penambahan pelarut

setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (DepKes RI,

2000). Cairan penyari dibagi menjadi dua, seluruh serbuk simplisia

dimaserasi dengan cairan penyari pertama, sesudah mengendap dituangkan

dan diperas, dan ampas dimaserasi lagi dengan cairan penyari yang kedua

(DepKes RI, 1986).

17
4. Maserasi Melingkar

Metode maserasi dapat ditingkatkan atau diperbaiki dengan mengusahakan

agar cairan penyari selalu bergerak dan menyebar. Dengan cara ini penyari

selalu mengalir kembali secara berkesinambungan melalui serbuk simplisia

dan melarutkan zat aktifnya (DepKes RI, 1986).

5. Maserasi Melingkar Bertingkat

Pada maserasi melingkar penyarian tidak dapat dilaksanakan secara

sempurna, karena perpindahan massa akan berhenti bila keseimbangan telah

terjadi. Masalah ini dapat diatasi dengan maserasi melingkar bertingkat (DepKes

RI, 1986).

6. Abate

Adalah merupakan nama dagang dari temephos, adalah pestisida dari

golongan organofosfat. Dengan formula molekuler Abate merupakan pestisida yang

digunakan secara umum, mengandung produk yang sedikit beracun (EPA toxicity

clas III) (Raharjo, 2006).

Temephos merupakan insektisida organofosfat non sistemik yang banyak

digunakan untuk mengontrol nyamuk dan lain lain. Biasa digunakan di kolam, danau,

dan rawa rawa. Juga bisa digunakan untuk membasmi kutu pada anjing dan kucing

juga kutu pada manusia. Temephos tersedia dalam sdiaan 50% emulsi konsentrat,

50% serbuk basah, dan bentuk granul yang mencapai 5% (Wartamedika, 2006).

18
Gambar 3. Struktur Kimia Temephos

Temephos merupakan senyawa murni berbentuk kristalin putih padat,

memiliki titik lebur 300C – 30,50C , tidak larut dalam air pada suhu 200C (kurang

dari 1 ppm). Larut dalam aseton, aseronitril, eter dan kebanyakan aromatic dan

klorinasi hidrokaarbon dan tidak larut dalam heksana. Produknya berupa cairan

kental berwarna cokelat. Mudah terdegradasi bila terpapar atau terkena sinar

matahari, sehingga kemampuan membunuh larva tergantung dari degradasi

tersebut (WHO, 1975).

Pestisida atau insektisida yang termasuk dalam golongan fosfat organik

memiliki cara kerja dengan menghambat enzim cholinesterase, sehingga

menimbulkan gangguan pada aktifitas syaraf karena tertimbunnya asetycholin

pada ujung syaraf tersebut. Hal ini lah yang mengakibatkan kematian. Jadi, seperti

senyawa golongan organofosfat lainnya, temephos juga bersifat anticholinesterase

(Wartamedika, 2006).

Serangga yang terpapar atau terkena fosfat organik akan terlihat ketidak

tenangannya, hipereksitasi, tremor dan konvulsi, kemudian kelumpuhan otot

(paralise). Namun demikian penyebab utama kematian pada serangga sukar

ditunjukkan, kecuali pada larva nyamuk yang kematiannya disebabkan oleh tidak

dapat mengambil udara untuk bernafas (Wwartamedika, 2006).

19
Metabolisme dari temephos yaitu gugus phosphorothioat (P=S) dalam

tubuh binatang diubah menjadi fosfat (P=O) yang lebih berpotensi sebagai

anticholinesterase. Larva dari Aedes aegypti L. mampu mengubah P=S menjadi

P=O ester lebih cepat dibandingkan lalat rumah, begitu pula penetrasi temephos

terhadap larva berlangsung dengan cepat dimana lebih dari 99% dari temephos

dalam medium diabsorbsi, abate diubah menjadi produk-produk metabolism,

sebgaian dari produk metabolic tersebut dieksresikan ke dalam air. Dosis Abate

yang diperlukan untuk membunuh larva nyamuk dalam air minum adalah 10

gram untuk 100 liter air (Watermedika, 2006).

7. Biolarvasida

Biolarvasida merupakan larvasida yang bahannya dibuat atau didapat dari

tumbuhan yang mengandung zat kimia (bioaktif) yang toksik atau bersifat racun

terhadap larva nyamuk namun kelebihannya adalah dapat mudah terurai

(biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman

bagi manusia. Biolarvasida bisa mempengaruhi pertumbuhan, tingkah laku,

perkembangan, kesehatan, perkembangbiakan, sistem hormon, sistem pencernaan,

serta aktivitas biologis lainnya sehingga berujung pada kematian. Menurut

Kardian 2002 biolarvasida juga bersifat selektif. Karena, dibandingkan larvasida

sintetik biolarvasida termasuk aman dan juga ramah lingkungan, karena

biolarvasida tidak berbahaya bagi manusia dan lingkungan.

20
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental. Penelitian yang

menggunakan metode eksperimental merupakan percobaan yang memiliki tujuan

untuk mengetahui suatu gejala/pengaruh yang timbul akibat perlakuan tertentu.

Penelitian ini memiliki beberapa tahap, pertama yaitu tahap penyediaan hewan uji

dan sampel, kemudian tahap pembuatan ekstrak etanol daun cempedak,

pembuatan larutan pereaksi, skrining fitokimia dan dilanjutkan dengan uji

biolarvasida. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Fitokimia & Farmakologi

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Samarinda (STIKSAM).

B. Objek Penelitian

Objek yang diamati adalah jumlah kematian larva nyamuk Aedes aegypt

menggunakan ekstrak etanol daun cempedak (Artocarpus champeden) dengan

orientasi dosis 0 ppm, 300 ppm, 400 ppm, 500 ppm dan 600 ppm.

C. Sampel dan Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling, teknik ini

adalah pengambilan sampel yang dilakukan atas dasar pertimbangan peneliti yang

menganggap usur-unsur yang dikehendaki telah ada didalam sampel yang telah

diambil. Sampel pada penelitian ini adalah daun cempedak (Arctocarpus

21
champeden). Daun cempedak yang diambil memiliki beberapa kriteria

pertimbangan dari peneliti yaitu daun cempedak tua dengan warna hijau tua, daun

cempedak yang tidak cacat atau rusak.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas dari penelitian ini yaitu ekstrak etanol daun cempedak

dengan orientasi dosis 0 ppm, 300 ppm, 400 ppm, 500 ppm dan 600

ppm.

2. Variabel Terikat

Variabel terikat pada penelitian ini yaitu jumlah kematian larva

nyamuk Aedes aegypti L.

3. Variabel Kontrol

Variabel Kontrol pada penelitan ini adalah tempat pengambilan

sampel, jenis sampel, dan perlakuan terhadap larva nyamuk Aedes

aegypti L.

E. Definisi Operasional

1. Uji biolarvasida adalah uji aktivitas daya bunuh dengan

menggunakan bahan alami yang dapat dinilai dari konsentrasi LC50

nya.

2. Ektrak etanol daun cempedak merupakan ekstrak kental yang

diperoleh dengan menggunakan metode maserasi serbuk simplisia

daun cempedak dengan pelarut etanol 70%.

22
3. Larva nyamuk adalah Aedes aegypti instar III dan instar IV awal .

F. Teknik Pengumpulan Data

1. Alat dan Bahan Penelitian

a. Alat

Alat-alat gelas (Pyrex®), Batang pengaduk, blender (miyako®),

cawan porselen, corong kaca , jangka sorong, maserator

(Thermo®), toples kaca, gelas plastik, kertas saring, aluminium

foil, penangas air, kertas label, neraca analitik (Ohaus®), penjepit

kayu, tisu, spatel, pipet tetes, corong Buchner, lampu Bunsen,

tabung reaksi dan rak tabung reaksi.

b. Bahan Penelitian

Abate, daun cempedak, larva nyamuk Aedes aegypti L, kalium

iodide, bismuth nitrat, FeCl3 asal sulfat pekat, n-heksan, asam

asetat anhidrat, DMSO 1%, pereaksi Bouchardat, pereaksi

Dragendorf, pereaksi Mayer, serbuk magnesium,amil alcohol,

HCL 2N, aquadest, etanol 70%.

2. Prosedur Penelitian

a. Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah daun cempedak

yang sudah tua dengan warna hijau tua. Sampel diperoleh dari

tanaman cempedak yang tumbuh di Purwajaya, Loa Janan.

23
b. Determinasi Tanaman

Determinasi tanaman dilakukan di laboratorium Anatomi dan

Sistematika Tumbuhan, Fakultas Matematika dan Ilmu Penetahuan

Alam Universitas Mulawarman, Samarinda.

c. Pembuatan Simplisia

Daun cempedak tua dikumpulkan sebanyak 2 kg. lalu dilakukan

sortasi basah untuk memisahkan daun dari kotoran dan benda asing,

dicuci daun yang sudah disortasi dengan air mengalir untuk

menghilangkan tanah dan kotoran lainnya. Daun cempedak lalu

dirajang, kemudian dikeringkan dengan cara di angin-anginkan hingga

kering. Langkah selanjutnya adalah melakukan sortasi kering pada

daun cempedak yang sudah dikeringkan untuk memisahkan daun dari

bagian yang tidak diinginkan. Simplisia yang sudah kering dihaluskan

dengan menggunakan blender dan diayak dengan ayakan mesh 60

(DepKes RI, 2008).

d. Pembuatan Ekstrak

Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah

metode maserasi menggunakan pelarut etanol 70%. Sebanyak 200 g

serbuk daun cempedak dimaserasi dengan 2 L etanol 70%, kemudian

diaduk menggunakan maserator selama 2 jam. Maserat dan ampas

yang sudah dimaserasi disimpan selama 24 jam dalam wadah tertutup

24
dan dalam suhu ruangan, hasil maserasi kemudia disaring

menggunakan corong Buchner (DepKes RI, 2008).

Ekstrak cair yang diperoleh kemudian dipekatkan di atas penangan

air sampai diperoleh ekstrak kental daun cempedak. Hitung rendemen

yang diperoleh dengan menggunakan rumus :

𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ (𝑔𝑟𝑎𝑚)


%𝑟𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 = 𝑋100%
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙(𝑔𝑟𝑎𝑚)

(DepKes RI, 2000).

e. Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Daun Cempedak

Skrining fitokimia yang dilakukan terhadap ekstrak etanol daun

cempedak meliputi pemeriksaan senyawa alkaloid, flavonoid, tanin,

triterpenoid/steroid, dan saponin. Larutan ekstrak etanol dibuat terlebih

dahulu dengan cara ditimbang ekstrak etanol daun cempedak sebanyak

0,5 gram, lalu dilarutkan dengan etanol 70% sampai 10 mL di dalam

labu ukur 100 mL, lalu ditambahkan air suling sampai 100 mL (DepKes

RI, 1977).

1. Uji Alkaloid

a. Pereaksi Mayer

Diambil sepuluh tetes filtrat ekstrak daun cempedak

dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan dengan 2

tetes pereaksi mayer menghasilkan endapan putih atau kuning hal

ini menunjukkan adanya senyawa alkaloid.

25
b. Peraksi Bouchardat

Diambil sepuluh tetes filtrat ekstrak daun cempedak

dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan dengan 2

tetes pereaksi Bouchardat menghasilkan endapan coklat sampai

kehitaman hal ini menunjukkan adanya senyawa alkaloid.

c. Pereaksi Dragendorf

Diambil sepuluh tetes filtrat ekstrak daun

cempedakdimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan

dengan 2 tetes pereaksi Dragendorf menghasilkan endapan merah

bata hal ini menunjukkan adanya senyawa alkaloid.

2. Uji Flavonoid

Sebanyak sepuluh tetes filtrat ekstrak daun cempedak dimasukkan

ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 2 tetes asam klorida pekat,

lalu ditambahkan serbuk magnesium dan amil alkohol, dikocok dan

diamati. Bila warna kuning, orange atau merah terbentuk pada lapisan

amil alkohol hal ini, menunjukkan bahwa terdapat senyawa flavonoid

pada ekstrak tersebut (Depkes RI, 1977).

3. Uji Saponin

Sebanyak sepuluh tetes filtrat ekstrak daun cempedak dimasukkan

ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 5 tetes air panas, dikocok

selama 15 menit. Diamati, bila terbentuk busa, ditambahkan 1 tetes

asam klorida 2 N, bila busa masih terbentuk permanen hal ini,

26
menunjukkan bahwa terdapat senyawa saponin pada ekstrak tersebut

(Depkes RI, 1977).

4. Uji Tanin

Sebanyak 10 ml filtrat ekstrak daun cempedak disaring dan

diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna, ambil 2 ml larutan

dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 2 tetes

larutan besi (III) klorida 1%. Diamati, bila warna biru atau hijau

kehitaman terbentuk hal ini, menunjukkan terdapat senyawa tanin

(Depkes RI, 1977).

5. Uji Triterpenoid/Steroid

Sebanyak 0,1 g ekstrak daun cempedak dimasukkan ke dalam

cawan porselin dan ditambahan n-heksan sebanyak 1-2 tetes lalu

diuapkan. Ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam

klorida pekat, maka akan timbul warna ungu atau merah kemudian

berubah menjadi hijau biru menunjukkan adanya steroid atau

triterpenoid (Depkes, 1977).

3. Uji Biolarvasida

Ekstrak etanol daun cempedak (Artocarpus champeden) dibagi dalam 4

konsentrasi yang dipakai dalam uji biolarvasida sesungguhnya yaitu dengan

orientasi dosis 300 ppm, 400 ppm, 500 ppm, 600 ppm dan 0 ppm sebagai

kontrol negatif. Pada penelitian ini, digunakan kontrol positif dan kontrol

negatif. Kontrol negatif digunakan air hujan. Kontrol positif yang digunakan

27
adalah abate sebagai pembanding aktifitas larvasida ekstrak etanol daun

cempedak . Cara kerja dalam uji biolarvasida adalah :

a. Disiapkan larva nyamuk Aedes aegypti instar III dan instar IV awal

sebanyak 20 larva.

b. Disiapkan 6 gelas plastik , 1 gelas plastik berisi kontrol positif, 1 gelas

plastik berisi kontrol negatif dan 4 gelas plastik berisi ekstrak etanol daun

cempedak dengan orientasi dosis.

c. Gelas plastik yang berisi ekstrak dalam berbagai konsentrasi di tambahkan

larva nyamuk Aedes aegypti L. sebanyak 20 larva.

d. Didiamkan selama 24 jam.

e. Dihitung jumlah larva yang mati.

f. Diulang setiap perlakuan sebanyak 5 kali.

g. Besarnya LC50 dihitung dengan analisis probit.

Parameter Uji yaitu banyaknya larva yang mati ataupun larva yang tidak

mampu naik kepermukaan dihitung jumlah seluruhnya. Larva yang mati

dengan tanda tidak bergerak sama sekali yaitu tidak mampu naik kepermukaan

air bila disentuh dan selalu tenggelam, tubuh kaku, menghitam, memanjang

bahkan ada yang tubuhnya hancur (Soedarto,1980).

28
G. Analisis Data

Uji statistic yang digunakan menggunakan Statistical Product and Service

Solutions (SPSS) dan dilakukan uji LSD (Least Significance Difference)

yangbertujuan untuk melihat perbedaan data jumlah kematian larva nyamuk antara

kelompok uji. Selanjutnya digunakan metode analisa probit untuk mengetahui nilai

LC50 dari ekstrak etanol daun cempedak (Artocarpus champeden).

29

Anda mungkin juga menyukai