Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu penyakit akut dengan
manifestasi klinis perdarahan yang menimbulkan syok dan dapat berujung
kematian. Penyakit ini disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus
Dengue dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae, yang masuk ke dalam tubuh
manusia dengan perantara nyamuk. Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor
epidemi yang paling utama dikarenakan nyamuk Aedes aegypti mempunyai
daerah distribusi geografis yang luas. ( Afriani, 2012)
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh nyamuk Aedes aegypti perlu
dikendalikan. Bentuk pengendalian ini dapat dilakukan secara, mekanik,
biologi, kimia, atau perubahan sifat genetik. Pengendalian yang paling populer
adalah pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan insektisida karena
bekerjanya lebih efektif dan hasilnya cepat terlihat bila dibandingkan dengan
pengendalian biologis dan mekanik. Pengendalian secara kimiawi ini
kemudian dikembangkan dengan cara membunuh nyamuk khususnya pada
tahap larva menggunakan larvasida. (Adhli, 2010)
Temephos (abate) merupakan larvasida standard WHO yang digunakan di
seluruh dunia. Golongan larvasida ini mempunyai cara kerja menghambat
enzim cholinesterase baik pada vertebrata maupun invertebrata, sehingga
menimbulkan gangguan pada aktivitas syaraf karena tertimbunnya
acetylcholine menjadi cholin dan asam cuka sehingga bila enzim tersebut
dihambat maka hidrolisis acetylcholin tidak terjadi, namun hal ini mempunyai
dampak negatif antara lain pencemaran lingkungan, kematian predator,
resistensi serangga sasaran, dapat membunuh hewan piaraan, bahkan juga
manusia. (Adhli, 2010)
Mahkota dewa banyak digunakan untuk berbagai macam penyakit
diantaranya sebagai anti-diabetes, manfaatnya dapat di temui hampir di setiap
bagian tumbuhan, meliputi batang, daun, biji, daging dan kulit buah yang
didalamnya terkandung senyawa-senyawa alkaloid, saponin, flavonoid, resin,
tannin, polifenol, fenol, lignan, minyak atsiri dan sterol.(Tone, dkk, 2011).
Senyawa aktif dalam tanaman mahkota dewa yang diperkirakan memiliki
efek larvasida terhadap larva Aedes aegypti adalah saponin, flavonoid, dan
tanin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek mengetahui efektifitas
larvasida ekstrak daun mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap larva
nyamuk Aedes aegypti instar III.
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui efektivitas larvasida ekstrak daun mahkota dewa
(Phaleria macrocarpa) terhadap larva nyamuk Aedes aegypti instar III.
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
kemampuan berpikir mengenai manfaat daun mahkota dewa (Phaleria
macrocarpa) sebagai larvasida alami.
1.3.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan daun mahkota dewa (Phaleria
macrocarpa) dapat menjadi larvasida alami untuk membunuh larva
Aedes aegypti dalam upaya pencegahan penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nyamuk Aedes aegypti


2.1.1 Taksonomi Aedes aegypti
Urutan klasifikasi dari nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Uniramia
Kelas : Insekta
Ordo : Diptera
Subordo : Nematosera
Familia : Culicidae
Sub family : Culicinae
Tribus : Culicini
Genus : Aedes
Spesies : Aedes aegypti
(Djakaria S, 2004)

2.1.2 Morfologi Aedes aegypti


Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu mengalami
perubahan bentuk morfologi selama hidupnya dari stadium telur berubah
menjadi stadium larva kemudian menjadi stadium pupa dan menjadi
stadium dewasa

Gambar 1. Daur Hidup Aedes aegypti


(sumber : Aminah, NS. dkk, 2001)
Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan
ukuran nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus),mempunyai warna
dasar yang hitam dengan bintik putih pada bagian badannya terutama
pada bagian kakinya (Depkes RI, 2007).
a. Stadium telur Aedes aegypti
Seekor nyamuk betina rata-rata dapat menghasilkan 100 butir
telur setiap kali bertelur dan akan menetas menjadi larva dalam waktu
2 hari dalam keadaan telur terendam air. Telur Aedes aegypti berwarna
hitam, berbentuk ovale, kulit tampak garis-garis yang menyerupai
sarang lebah, panjang 0,80mm, berat 0,0010-0,015 mg. Telur Aedes
aegypti dapat bertahan dalam waktu yang lama pada keadaan kering.
Hal tersebut dapat membantu kelangsungan hidup spesies selama
kondisi iklim yang tidak memungkinkan (Depkes RI, 2007).
Pada umumnya nyamuk Aedes aegypti akan meletakan telurnya
pada suhu sekitar 20° sampai 30°C. Pada suhu 30°C, telur akan
menetas setelah 1 sampai 3 hari dan pada suhu 16°C akan menetas
dalam waktu 7 hari. Telur nyamuk Aedes aegypti sangat tahan
terhadap kekeringan (Sudarmaja JM dan Mardihusodo, 2009).
Pada kondisi normal, telur Aedes aegypti yang direndam di dalam
air akan menetas sebanyak 80% pada hari pertama dan 95% pada hari
kedua. Berdasarkan jenis kelaminnya, nyamuk jantan akan menetas
lebih cepat dibanding nyamuk betina, serta lebih cepat menjadi
dewasa. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas telur adalah
suhu, pH air perindukkan, cahaya, serta kelembaban disamping
fertilitas telur itu sendiri (Soedarto, 1992).
Gambar 2. Telur Aedes sp.
b. Stadium larva Aedes aegypyti
Larva nyamuk Aedes aegypti selama perkembangannya
mengalami 4 kali pergantian kulit larva instar I memiliki panjang 1-2
mm, tubuh transparan, siphon masih transparan, tumbuh menjadi larva
instar II dalam 1 hari. Larva intar II memiliki panjang 2,5 – 3,9 mm,
siphon agak kecoklatan, tumbuh menjadi larva instar III selama 1-2
hari. Larva instar III berukuran panjang 4-5 mm, siphon sudah
berwarna coklat, tumbuh menjadi larva instar IV selama 2 hari. Larva
instar IV berukuran 5-7 mmm sudah terlihat sepasang mata dan
sepasang antena, tumbuh menjadi pupa dalam 2-3 hari. Umur rata-rata
pertumbuhan larva hingga pupa berkisar 5-8 hari. Posisi istirahat pada
larva ini adalah membentuk sudut 450 terhadap bidang permukaan air
(Depkes RI, 2007).

(a) (b)
(c)
Gambar 3. (a)Larva Instar I; (b) Larva Instar II;
(c)Larva Instar III
(Sumber : Dept.Medical Entomology, 2000)
c. Stadium pupa Aedes aegypyti
Pada stadium pupa tubuh terdiri dari dua bagian, yaitu
cephalothorax yang lebih besar dan abdomen. Bentuk tubuh
membengkok. Pupa tidak memerlukan makan dan akan berubah
menjadi dewasa dalam 2 hari. Dalam pertumbuhannya terjadi proses
pembentukan sayap, kaki dan alat kelamin (Depkes RI, 2007).

Gambar 4. Pupa Aedes aegypyti


d. Nyamuk dewasa Aedes aegypti
Tubuh nyamuk dewasa terdiri dari 3 bagian, yatu kepala (caput),
dada (thorax) dan perut (abdomen). Badan nyamuk berwarna hitam
dan memiliki bercak dan garis-garis putih dan tampak sangat jelas
pada bagian kaki dari nyamuk Aedes aegypti. Tubuh nyamuk dewasa
memiliki panjang 5 mm. Pada bagian kepala terpasang sepasang mata
majemuk, sepasang antena dan sepasang palpi, antena berfungsi
sebagai organ peraba dan pembau. Pada nyamuk betina, antenna
berbulu pendek dan jarang (tipe pilose). Sedangkan pada nyamuk
jantan, antena berbulu panjang dan lebat (tipe plumose). Thorax terdiri
dari 3 ruas, yaitu prothorax, mesotorax, dan methatorax. Pada bagian
thorax terdapat 3 pasang kaki dan pada ruas ke 2 (mesothorax)
terdapat sepasang sayap. Abdomen terdiri dari 8 ruas dengan bercak
putih keperakan pada masing-masing ruas. Pada ujung atau ruas
terakhir terdapat alat kopulasi berupa cerci pada nyamuk betina dan
hypogeum pada nyamuk jantan (Depkes RI, 2007).
Nyamuk jantan dan betina dewasa perbandingan 1:1, nyamuk
jantan keluar terlebih dahulu dari kepompong, baru disusul nyamuk
betina, dan nyamuk jantan tersebut akan tetap tinggal di dekat sarang,
sampai nyamuk betina keluar dari kepompong, setelah jenis betina
keluar, maka nyamuk jantan akan langsung mengawini betina
sebelum mencari darah. Selama hidupnya nyamuk betina hanya sekali
kawin. Pada nyamuk betina, bagian mulutnya mempunyai probosis
panjang untuk menembus kulit dan penghisap darah. Sedangkan pada
nyamuk jantan, probosisnya berfungsi sebagai pengisap sari bunga
atau tumbuhan yang mengandung gula. Nyamuk Aedes aegypti betina
umumnya lebih suka menghisap darah manusia karena memerlukan
protein yang terkandung dalam darah untuk pembentukan telur agar
dapat menetas jika dibuahi oleh nyamuk jantan. Setelah dibuahi
nyamuk betina akan mencari tempat hinggap di tempat-tempat yang
agak gelap dan lembab sambil menunggu pembentukan telurnya,
setelah menetas telurnya diletakkan pada tempat yang lembab dan
basah seperti di dinding bak mandi, kelambu, dan kaleng-kaleng bekas
yang digenangi air (Hoedojo R dan Zulhasril, 2008).

Gambar 5. Nyamuk dewasa Aedes aegypyti


2.2 Larvasida Nyamuk
2.2.1 Definisi
Larvasida nyamuk adalah suatu zat kimiawi yang digunakan untuk
membunuh larva nyamuk. Beberapa larvasida juga efektif dalam
membunuh pupa dan nyamuk dewasa, tetapi sangat sedikit membunuh
telur ( WHO, 2003).
2.2.2 Syarat Larvasida
Banyak bahan kimia yang dapat membunuh larva, tetapi terdapat
syarat-syarat agar suatu bahan kimia dapat digunakan sebagai larvasida.
Suatu larvasida harus dipillih berdasarkan efikasinya, ekonomisnya, dan
keamannya pada pengguna dan organisme non-target. Karakterisitik dari
suatu zat kimia yang diinginkan untuk dapat menjadi larvasida yang
layak digunakan adalah sebagai berikut:
a. Toksisitas tinggi terhadap larva nyamuk
b. Kerja yang cepat dan persisten
c. Kualitas penyebaran yang baik di dalam air
d. Didapatkan dengan mudah dan biaya yang murah
e. Aman dan mudah untuk ditransportasikan dan digunakan
f. Efektif pada kondisi cuaca apa pun
g. Efektif secara primer terhadap larva dan kemungkinan terhadap
telur, pupa, dan nyamuk dewasa
h. Efektif pada jenis air apa pun dimana larva dapat tumbuh
(polusi, asam, basa, keruh)
i. Tidak toksik terhadap mahluk hidup non-target (manusia,
makanan, tumbuh-tumbuhan, ternak, ikan pemakan larva, dan
serangga air pemakan larva)
j. Efektif ketika diberikan dalam dosis yang rendah (WHO, 2003).
2.2.3 Klasifikasi dan Cara Kerja Larvasida
Larvasida nyamuk dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan senyawa
kimianya yaitu inorganik, organik alami, dan organik sintetik.
Pengklasifikasian lain dari suatu insektisida adalah berdasarkan caranya
memasuki tubuh serangga, dimana racun perut dimakan dan diabsorbsi
dari sistem pencernaannya; racun kontak berpenetrasi dari dinding
tubuhnya; dan racun pernafasan (fumigant) memasuki tubuh serangga
dari spirakel atau pori nafas (WHO, 2003).
Cara Kerja Larvasida menurut Amalia, 2015 sebagai berikut :
a. Racun kontak (Contact poisons)
Larvasida masuk kedalam tubuh larva melalui dinding tubuh larva
pada saat larva beristirahat di permukaan air dan terkena residu
larvasida.
b. Racun perut (stomach poisons)
Larvasida masuk kedalam tubuh larva melalui mulut larva dan
kemudian diserap oleh tubuh larva dan dapat menurunkan aktivitas
enzim pencernaan dan penyerapan makanan sehingga dapat
menghambat pertumbuhan larva dan berakhir dengan kematian bagi
larva.
c. Racun pernapasan (fumigants)
Larvasida masuk melalui saluran pernapasan atau permukaan
tubuh larva dan dapat menghambat proses pertumbuhan serangga dan
dapat menyebabkan larva mati.
2.2.4 Insektisida Temephos (Abate)
Nama Kimia Temefos :
O,O,O’O’-tetramethyl O,O’-thiodi-p-phenylene bis(phosphorothioate)
(WHO, 2O11).
Struktur kimia dari temefos adalah :

Gambar 6. Struktur Kimia Temephos (Abate)


Insektisida temefos adalah insektisida golongan organofosfat yang
sering digunakan untuk pengendalian larva Aedes aegypti di TPA dengan
konsenstrasi 1 ppm (1 gram temefos 1% dalam 10 liter air). Temefos
dikenal sebagai abate pada kalangan masyarakat. (Hoedojo dan Zulhasril,
2008)
Temefos merupakan insektisida golongan organofosfat. Keracunan
organofosfat pada manusia dapat menyebabkan gangguan pada sistem
neurologis, respiratorik, dan kardiovaskular yang dapat berakhir kepada
kematian.
2.3 Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa)
2.2.4 Klasifikasi tumbuhan
Menurut Herbarium Medanense (2015), mahkota dewa
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Phylum : Spermat hophyta
Subphylum : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Malvales
Subordo : Malvaceae
Genus : Phaleria
Spesies : Phaleria macrocarpa
2.2.5 Morfologi Tumbuhan
Tanaman mahkota dewa berbentuk perdu yang berumur tahunan.
Tinggi tanaman umumnya 1-3 m, tetapi ada yang bisa mencapai 5 m.
Kulit batang mahkota dewa berwarna coklat kehijauan, sementara
kayunya berwarna putih. Batangnya bulat dan bergetah dengan diameter
batang tanaman dewasa mencapai 15 cm. Tanaman ini akan
mengeluarkan bunga dan diikuti dengan munculnya buah setelah 9-12
bulan kemudian. Buahnya berwarna hijau saat muda dan menjadi merah
marun setelah berumur 2 bulan. Buahnya berbentuk bulat dengan ukuran
bervariasi mulai dari sebesar bola pingpong sampai sebesar buah apel.
Bagian tumbuhan yang digunakan adalah daun. Daun mahkota dewa
merupakan daun tunggal bentuknya lonjong, memanjang dan berujung
lancip dengan letak daun berhadapan, bertangkai pendek, ujung dan
pangkal runcing, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan licin,
warnanya hijau tua, panjang 7-10 cm,dan lebar 2-5 cm (Harmanto, 2001).
2.3.3 Kandungan Kimia Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa)
Tanaman mahkota dewa mempunyai beberapa kandungan zat kimia
diantaranya alkaloid, saponin, serta polifenol (Gotawa dkk., 1999). Zat
kimia pada daun mahkota dewa yang diduga dapat membunuh larva
Aedes aegypti salah satunya adalah saponin.
Saponin mempunyai fungsi hampir sama seperti deterjen yang dapat
merusak membran tubuh larva dan dapat menyebakan kematian pada
larva tersebut. Pengaruh saponin dapat menyebabkan gangguan pada
bagian luar tubuh larva ( Kutikula ) yaitu dapat menyebakan merusak
lapisan lilin yang melindungi larva dan menyebabkan larva kehilangan
banyak cairan,saponin juga dapat merusak larva melalui organ
pernapasan dan menyebabkan membran sel rusak dan menghambat
proses metabolisme dalam tubuh larva.
BAB III
METODOLOGI

3.1 Metode Penelitian


Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode maserasi. Metode
maserasi adalah proses penyaringan simplisia menggunakan pelarut dengan
perendaman dan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperature
ruangan (kamar).
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi Poltekkes
Kemnkes Banjarmasin Jurusan Analis Kesehatan, proses ekstraksi daun
mahkota dewa (Phaleria macrocarpa). Penelitian dilakukan pada tanggal 10 –
16 Juni 2019 (7 hari).
3.3 Alat dan Bahan
3.3.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
a. Alat Untuk Preparasi Bahan Uji
1. Nampan plastik
2. Kain kasa
3. Gelas plastik
4. Pisau
5. Talenan
6. Kain lap bersih
b. Alat Untuk Pembuatan Larutan Uji
1. Neraca analitik
2. Toples kaca
3. Saringan
4. Gelas ukur 500 ml
c. Alat Untuk Uji Efektifitas
1. Pipet tetes
2. Gelas ukur 250 ml
3. Gelas plastik
4. Kertas label
5. Pipet ukur 10 ml
3.3.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu :
a. Daun mahkota dewa (Phaleria macrocarpa)
b. Larva Aedes aegypti instar III
c. Aquadest
d. Temephos (abate) 0,02 g
e. Hati ayam yang dikeringkan untuk makanan larva
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Pemilihan bahan uji
1. Dilakukan pemilihan bahan uji dengan mencari referensi pada
jurnal-jurnal.
3.4.2 Persiapan bahan uji
1. Dipetik daun mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) yang masih segar,
berwarna hijau dan tidak berlubang. Lalu dimasukka dalam kardus
yang sudah dilapisi koran.
2. Ditimbang daun yang telah dipetik sebanyak 1 kg.
3.4.3 Persiapan larva uji
1. Dipisahkan larva Aedes aegypti instar III dari pembiakan yang
sebelumnya telah dilakukan
2. Dimasukkan larva Aedes aedypti instar III tersebut ke dalam gelas
plastik baru .
3.4.4 Pembuatan ekstrak uji
1. Daun mahkota dewa yang telah dikumpulkan, dibersihkan
menggunakan lap bersih.
2. Ditimbang ulang daun mahkota dewa dengan neraca analitik sebanyak
500 g.
3. Dipotong-potong kasar daun mahkota dewa
4. Daun mahkota dewa yang telah dipotong-potong kasar kemudian
dimasukkan kedalam toples kaca
5. Diestraksi menggunakan metode maserasi dan menggunakan pelarut
aqdest dengan perbandingan 1:4.
6. Ekstraksi diaduk setiap jam 8 pagi dan 4 sore, pengadukan dilakukan
searah selama 5 menit tanpa jeda.
7. Potongan daun mahkota dewa direndam selama 24 jam.
8. Setelah direndam potongan daun dewa disaring, kemudian dari
saringan ini diperoleh hasil ekstrak daun mahkota dewa dengan
konsentrasi 100%
3.4.5 Pembuatan larutan konsentrasi ekstrak uji dan kontrol
1. Hasil ekstrak daun mahkota dewa yang telah disaring kemudian
dilakukan pengenceran sebagai berikut:
Tabel 1.
Pembuatan pengenceran ekstrak daun mahkota dewa
Konsentrasi Ekstrak Aqdest
Kontrol (+) abate 0,02 g - 200 ml
Kontrol (-) - 200 ml
10% 20 ml 180 ml
25% 50 ml 150 ml
50% 100 ml 100 ml
75% 150 ml 50 ml
100% 200 ml 0 ml
2. Diberikan label pada masing-masing gelas plastic sesuai dengan
konsentrasinya.
3.4.6 Uji biolarvasida
1. Dimasukkan secara bersamaan 10 ekor larva Aedes aegypti instar III
kedalam gelas plastik yag berisi konsentari ekstrak yang berbeda-
beda.
2. Gelas plastik yang telah berisi larva instrar III kemudian ditutup
dengan kain kasa.
3. Letakkan ditempat yang kering dan tehindar dari sinar matahari.
4. Biarkan selama 24 - 48 jam.
3.4.7 Pengamatan hasil
1. Setelah 24 jam, diamati larva instar III yang telah mati pada setiap
konsentrasi, kemudian catat hasil.
2. Kemudian diamkan kembali Selma 48 jam dan diamati kembali.
3.4.8 Pembuatan grafik efektivitas biolarvasida
1. Dari data hasil pengamatan larva instar III yang mati kemudian dibuat
grafik garis dengan sumbu x sebagai larva instar III yang mati dan
sumbu y sebagai konsentrasi ekstrak.
BAB IV
HASIL DAN PENGAMATAN

4.1 Data dan Hasil Pengamatan


 Data Pengamatan
Nama tanaman : Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa)
Berat : 500 gram
Jenis Pelarut : Aquadest
Volume Pelarut : 1000 ml
Perbandingan Ekstrak : 1 :4
Volume Ekstrak : 1420 ml
Warna Ekstrak : Hijau Kekuningan
Kekeruhan : Keruh
Aroma : Bau Menyengat

4.1.1 Persiapan bahan uji


Pemilahan daun mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) yang masih
segar, berwarna hijau dan tidak berlubang

Gambar 7. Pemilahan daun mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) yang masih


segar, berwarna hijau dan tidak berlubang
4.1.2 Persiapan larva uji

Gambar 8. Proses pemisahan larva instar III ke gelas plastik baru


4.1.3 Pembuatan ekstrak uji

Gambar 9. Pengumpulan daun Mahkota Dewa yang sesuai dengan kriteria dan
pembersihan daun Mahkota Dewa menggunakan lap bersih

Gambar 10. Proses penimbangan daun Mahkota Dewa yang telah dibersihkan
dengan menggunakan neraca analitik kemudian di potong daun Mahkota Dewa
secara kasar
Gambar 11. Proses pengadukkan ekstrak dengan sendok kayu searah jarum jam
dengan kecepatan sedang selama 5 menit kemudian diamkan selama 24 jam

Gambar 12. Penyaringan ekstrak daun mahkota dewa secara kasar dan halus
4.1.4 Pembuatan larutan konsentrasi ekstrak uji dan kontrol

Gambar 13. Persiapan pengenceran (Aquadest)

Gambar 14. Penuangan Abate dan Ekstrak daun Mahkota Dewa


dengan konsentrasi yang berbeda – beda
Gambar 15. Setelah pencampuran ekstrak daun Mahkota Dewa dengan
aquadest yang berbeda – beda konsentrasinya, kemudian di beri label
4.1.5 Uji biolarvasida

Gambar 16. Pemasukkan larva instar III yang telah disiapkan secara
bersamaan ke dalam larutan esktrak yang telah dibuat dengan berbagai
konsentrasi kemudian ditutup dengan kain kasa.
4.1.6 Pengamatan hasil
Pada Waktu Kontak 24 jam
Pada waktu Kontak 48 jam
 Tabel Pengamatan
Tabel 2.
Distribusi Kematian Larva Aedes Aegypti Instar III Dalam Waktu Kontak 24-48
Jam Dengan Ekstrak Daun Mahkota Dewa
Jumlah Larva Waktu Kontak
Konsentrasi
Sebelum Diuji 24 jam 48 jam
Kontrol (+) 10 ekor 10 ekor 10 ekor
Kontrol (-) 10 ekor 0 ekor 0 ekor
10% 10 ekor 2 ekor 2 ekor
25% 10 ekor 7 ekor 8 ekor
50% 10 ekor 10 ekor 10 ekor
75% 10 ekor 10 ekor 10 ekor
100% 10 ekor 10 ekor 10 ekor

4.1.7 Pembuatan grafik efektivitas biolarvasida

DISTRIBUSI KEMATIAN LARVA


JUMLAH KEMATIAN LARVA

25
20 10 10 10 10
15 8
10 10 10 10 10
7
5 2
2
0 0
10% 25% 50% 75% 100% Kontrol + Kontrol -
KONSENTRASI EKSTRAK

24 jam 48 jam

Gambar 17 . Distribusi Kematian Larva Instar III Pada Semua Konsentrasi


BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Simpulan yang diperoleh dari penelitian ini adanya efek larvasida
ekstrak daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap larva nyamuk
Aedes aegypti instar III. Konsentrasi daun mahkota dewa yang diperlukan
untuk membunuh 70 % - 100 % dari populasi larva uji Aedes aegypti dalam
rentng waktu 24 jam – 48 jam adalah 25 %, 50 %, 75% dan 100%.

5.2 Pembahasan
Hasil penelitian pada control positif (abate) waktu kontak 24 jam
ditemukan kematian larva 10 ekor atau semuanya. Berdasarkan Depkes
(2010) bahwa pengendalia yang paling sering digunakan saat ini adalah
pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan insektisida karena
memiliki efek kerja yang lebih efektif dan hasilnya cepat terlihat jika
dibandingkan dengan pengendalian biologis. Temephos (abate) merupakan
larvasida standard WHO yang digunakan di seluruh dunia. Mekanisme
kerjanya menembus dinding larva dan menginhibisi cholinesterase
sehingga menghambat impuls saraf larva. Temephos dapat menimbulkan
efek samping terhadap lingkungan dan organisme di sekitarnya. Pada
manusia, temephos juga dapat menginhibisi cholinesterase dan
mengoverstimulasi saraf sehingga menyebabkan mual, pusing,
kebingungan, dan pada konsentrasi yang sangat tinggi, dapat menyebabkan
paralisis dan kematian.. Hasil pengamatan pada konsentrasi 10% ekstrak
daun mahkota dewa waktu kontak 24 jam dan 48 jam didapatkan kematian
larva adalah 2 ekor. Hasil pengamatan pada konsentrasi 25% ekstrak daun
mahkota dewa waktu kontak 24 jam didapatkan kematian larva adalah 7
ekor dan dalam waktu kontak 48 jam didapatkan kematian larva adalah 8
ekor. Hasil pengamatan pada konsentrasi 50%, 75%, serta 100% ekstrak
daun mahkota dewa waktu kontak 24 jam dan 48 jam didapatkan kematian
larva adalah 10 ekor atau mati semua.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, yaitu persentase
kematian larva Aedes aegypti yang meningkat dengan semakin tingginya
konsentrasi ekstrak menunjukkan adanya efek toksik dari ekstrak daun
mahkota dewa terhadap larva Aedes aegypti. Pada kontrol negatif (0 ppm)
tidak terdapat kematian larva. Apabila terdapat kematian pada kontrol
negative dan persentase kematian diatas 10%, maka penelitian harus
diulangi.
Penelitian ini menggunakan larvasida nabati dari ekstrak daun
mahkota dewa (Phaleria macrocarpa). Beberapa senyawa aktif dalam daun
mahkota dewa yang diperkirakan memiliki efek larvasida terhadap larva
Ae.aegypti adalah Alkaloid, Saponin , Flavonoid dan Polifenol. Senyawa
alkaloid bekerja dengan cara menganggu sistem kerja saraf (neuromuscular
toxic) larva, menghambat daya makan larva dan bertindak sebagai racun
perut.16 Senyawa ini bersifat basa dan merupakan senyawa pola
Menurut Setyaningrum, senyawa aktif saponin memiliki efek kerja
menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva
sehingga dinding traktus digestivus larva menjadi korosif dan proses
metabolisme mengalami gangguan. Senyawa flavonoid bekerja dengan cara
menghambat makan dan bersifat toksis untuk serangga. Sedangkan senyawa
polifenol memiliki efek kerja sebagai inhibitor pencernaan serangga.
Timbulnya efek larvasida ekstrak daun mahkota dewa yaitu akibat senyawa-
senyawa aktif yang terkandung dalam daun mahkota dewa bekerja secara
resultan terhadap larva nyamuk Aedes aegypti.
Pada penelitian ini menggunakan pelarut aquadest. Aquadest
mampu menjadi pelarut yang digunakan dalam pembuatan ekstrak daun
mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) yaitu pada proses maserasi.
DAFTAR PUSTAKA

Adhli, Efek Larvasida Ekstrak Etanol Buah Mentah Mahkota Dewa (Phaleria
macrocarpa) Terhadap Larva Aedes aegypti.2010.vol. 2, no. 02 166-32

Aminah, N.S.,Sigit,S.,Partosoedjono,S.,Chairul. 2001. S. lerak, D. metel dan


E.prostata sebagai LarvasidaAedes aegypti. Cermin Dunia KedokteranNo. 131

Arfriani, Efektivitas larvasida Ekstrak Daun Sirsak Dalam Membunuh Jentik


nyamuk. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2012 vol. 7, No 02 : 258-60.

Department of Medical Entomology, ICPMR. 2000. Larvae Photographs.[Internet]


http://medent.usyd.edu.au/photos/aedes%20aegypti.htm. Diakses pada tanggal
24 Juni 2016 Pukul 16.00 WIB

DepkesRI. 2010. Perilaku Hidup Nyamuk Aedes aegypti Sangat Penting Diketahui
Dalam Melakukan Kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk Termasuk
Pemantauan Jentik Berkala.

Depkes RI. 2007. INSIDE ( Inspirasi dan Ide) Litbangkes P2B2 vol II : Aedes
aegypti Vampir Mini yang Mematikan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Depkes RI. Jakarta.

Djakaria, S. 2004. Pendahuluan EntomologiParasitologi Kedokteran Edisi Ke-3.


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 343 hlm

EPA.Temephos Facts. United States Environmental Protection Agency, Prevention P


and Toxic Subntances.2001

Gotawa, I. B. I. , Sugiarto, S. , Nurhadi, M. , Widiyastuti, Y. Wahyono, S. , Prapti,


I. J. 1999. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Jilid V. Departemen Kes. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta. Hal. 147-148.

Harmanto, N. 2001. Mahkota Dewa: Obat Pusaka Para Dewa. Agromedia Pustaka.
Jakarta.

Herbarium Medanense. (2015). Identifikasi Tumbuhan . Medan: Herbarium


Medanense Sumatera Utara
Hoedojo, R. dan Zulhasril. 2008. Insektisida dan Resistensi : Parasitologi
Kedokteran Edisi Ke-4.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
383 hlm

Iskandar A, Winarsih S, Endarto O. Uji Efek Larvasida Ekstrak Daun Mahkota Dewa
( Phaleria macrocarpa) terhadap Larva Culex sp. 2006

Setyaningrum E, Nariratri AS, Saftarina F, Kurniawan B. Uji Efektivitas Ekstrak Buah


Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa(Scheff.) Boerl) sebagai Larvasida
Terhadap Larva Aedes aegypyti Instar III. FK-UNILA. Lampung.2014.

World Health Organization. 2003. Prevention Control of Dengue and Dengue


Haemorage Fever.Regional Office for South East Asia. New Delhi

World Health Organization. 2011. Comperhensive Guidelines for Prevention and


Control of Dengue and Dengue Haemorrhagiz Fever. World Health
Organization, Regional Office for South-East Asia. 67 hlm.

Wullur AC, Schaduw J, Wardhani ANK. Identifikasi Alkaloid pada Daun Sirsak (
Annona muricata L.). Manado: Farmasi Poltekes Kemenkes. 2012.

Anda mungkin juga menyukai