Anda di halaman 1dari 15

MODUL 1

MENGENAL ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAN


ARBITRASE

Sengketa dan Cara Penyelesaianya, Pengadilan, Alternatif Penyelesaian


Sengketa, Masalah Pengaturan APS, Faktor-faktor kesuksesan APS, Macam-
macam APS, Arbitrase

Pada dasarnya tidak seorangpun menghendai terjadinya sengketa dengan orang


lain. Tetapi dalam hubungan antar manusia atau kegiatan bisnis, masing-masing
pihak harus selalu siap mengantisipasi kemungkinan timbulnya sengketa yang dapat
terjadi setiap saat dikemudian hari. Terdapat beberapa macam cara penyelesaian
sengketa, yaitu pengadilan dan alternatif penyelesaian sengketa (APS) diluar
pengadilan.
Macam-macam APS antara lain adalah negosiasi dan mediasi. Negosiasi adalah
cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi (musyawarah) secara
langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya diterima oleh pihak
tersebut. Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak
ketiga yang netral, yangn tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan, yang
membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai
a. Dilakukanoleh ahli dibidangnya karena arbitrase menyediakan para pakar
dalam bidang tertetu yang menguasai persoalan yang disengketan sehingga
hasilnya (putusan arbitrase) dapat lebih dipertanggungjawabkan;
b. Kerahasiaan terjamin karena proses pemeriksaan dan putusannya tidak
terbuka untuk umum sehingga kegiatan usaha tidak terpengaruh.

Namun demikian, arbitrase juga memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut :


a. Hanya cocok untuk para pihak yang bona fide, artinya arbitrase tidak
bermanfaat bagi orang-orang yang tidak memmiliki kredibilitas dan integritas;
b. Adanaya ketergantung an mutlak pada arbiter, mengingat putusan majelis
abritase tidak dapat diuji lagi (putusan arbitrase bersifat final);
c. Tidak hanya legal predence atau keterikatan atas putusan-putusan arbitrase
sebelumnya(mengingat proses atau putusan arbitrase bersifat tertutup atau
konfidensial) sehingga menimbulkan kepastian hokum;
NAMA : YOHANES WAHYU WIBOWO
NIM : 030161804
KELAS : B

MODUL

ARBITRASE,MEDIASI DAN NEGOSIASI


MODUL 2
PENGERTIAN NEGOSIASI DAN TAHAP-TAHAPANNYA

Pengertian Negosiasi, CIri-ciri Negosiasi, Negosiator

Negosiasi merupakan komunikasi langsung yang didisain untuk mencapai


kesepakatan pada saat kedua belah pihak mempunyai kepentingan yang sama atau
berbeda. Terdapat beberapa situasi yang dapat diselesaikan melalui negosiasi, yang
dikenal dengan negotiation situations karena secara fundamental situasi tersebut
memiliki kesamaan karakteristik. Pada dasarnya, berhasil atau tidaknya suatu
sengketa diselesakan melalui negosiasi sangat dipengaruhi oleh siapa yang menjadi
negosiator. Untuk itu, negosiator perlu memenuhi sejumlah persyaratan sehingga ia
memiliki kemampuan untuk mencapai hasil negosiasi secara berdaya guna dan
berhasil guna. Oleh karena itu, banyak upaya untuk menentukan kriteria yang harus
dimiliki oleh negosiator, siapa yang seharusnya atau dapat menjadi negosiator yang
sukses. Misalnya, untuk dapat menjadi negosiator yang berhasil, seseorang harus
memenuhi sejumlah persyaratan seperti :
1. Berwawasandan berepengetahuan luas;
2. Berkepribadian mantap dan penuh percaya diri;
3. Bersikap simpatik, ramah dan atau sopan;
4. Disiplin dan memiliki prinsip;
5. Komunikatif;
6. Cepat membaca situasi dan jeli dalam menangkap peluang;
7. Ulet, sabar dan tidak mudah putus asa;
8. Akomodatif dan kompromis;
9. Berpiki positif dan optimis
10. Dapat mengendalikan emosi;
11. Berpikir jauh kedepan;
12. Dan memiliki selera humor.
Tahapan Negosiasi, Ketentuan-ketentuan Negosiasi, Mendefinisikan Isu atau
Persoalan, Penggabungan Beberapa Isu, Berkonsultasi dengan Pihak Lain,
Akhir Negosiasi
Negosiator perlu memperhatikan beberapa taha-tahap negosiasi sehingga sasaran
negosiasi dapat dicapai dalam waktu yang relative singkat dan dengancara yang
tepat. Tahapan-tahapan negosiasi yang secara umum sering dilakukan adalah :
1. Tahap persiapan;
2. Tahap tawaran awal;
3. Tahap pemberian konsesi;
4. Tahap akhir permainan.
Disamping itu, terdapat pertanyaan-pertanyaan awal yang penting yang perlu
dilakukan oleh negosiator dalam setiap negosiasi seperti membuat ketentuan-
ketentuan mengenai lokasi atau tempat bernegosiasi, periode waktu untuk
bernegosiasi, pihak lain yang mungkin terlibat dalam negosiasi, serta apa yang harus
dilakukan jika negosiasi gagal. Selanjutnya, negosiator mendefinisikan isu atau
persoalan, menggabungkan beberapa isu, mendefinisikan keinginan atau
kepentingan, berkonsultasi dengan pihak lain, dan akhinya membuat perjanjian
tertulis.
MODUL3
IMPLEMENTASI DARI NEGOSIASI

Strategi dan Teknik Negosiasi


Negosiasi menghendaki kemampuan untuk menyampaikan posisi yang diinginkan
dengan jelas dan menggunakan berbagai alasan untuk mendukung posisi tersebut.
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah menetapkan secara akurat tujuan dari
negosiasi sebagai berikut: tuiuan sering (atau keinginan) bukanlah tujuan, tujuan
yang ditetapkan sering berhubungan dengan tujuan pihak lain, adanya batas (limit)
dalam penentuan suatu tujuan, dan tujuan yang efektif harus konkret (spesifilk)dan
terukur (measurable). Setelah memahami bagaimana menentukantujuan, perlu
dipahami tentang strategi. Strategi negosiasi dapat digunakan untuk mengendalikan
hubungan kekuatan, memanipulasi informasi, menjaga hubungan atau interaksi
dengan para pelaku aaupelaku atau mitra bernegosiasi. Terdapat tiga strategi utama
terkait dengan hubungan tawar-menawar yang merupakan perilaku negosiasi, yaitu:
strategi bersaing, strategi berkompromi, strategi berkolaborasi (kerjasama).
Selanjutnya, beberapa teknik dapat dilakukan oleh negosiator untuk memperkuat
posisinya.

Pengertian Etika, Masalah Etik dalam Negosiasi, Tipologi Taktik Kecurangan,


Pembenaran atas Kecurangan pada Negosiasi
Etika dalam bernegosiasi merupakan hal yang sangat penting. Etika pada dasarnya
adalah standar sosial mengenai apa yang benar dan apa yang salah dalam situasi
tertentu, atau proses untuk menentukan standar tersebut. Banyak pihak telah
mencoba untuk menentukan beberapa standar terkait dengan etika. Setiap
pendekatan bernegosiasi menunjukkan perbedaan yang fundamental atas alasan-
alasan etis. Alasan-alasan tersebut adalah: end-result ethics (etika hasil akhir), rule
ethics (etika peraturan), social contract ethics (etika kontrak sosial), dan personalistic
ethics (etika pribadi). Etika dalam bernegosiasi dapat bersifat subyektif. Pilihan
penggunaan cara bernegosiasi sangat tergantung pada masing-masing orang
(negosiator). Artinya keputusan untuk menggunakan salah satu pendekatan sangat
dipengaruhi oleh motivasi negosiator, serta persepsinya atas kelayakan cara (strategi
atau taktik) tersebut.
Terdapat beberapa tipologi taktik kecurangan, antara lain: pengeliruan, pemalsuan,
penyesatan, dan menggertak. Di samping itu, terdapat 7 (tujuh) alasan pembenaran
untuk melakukan kecurangan dalam bernegosiasi.
MODUL 4
MEDIASI : KONSEP DAN PENERAPANNYA

Pengertian dan Konsep Mediasi


Pada dasarnya tidak mudah untuk mendifinisikan mediasi karena mediasi tidak
memberi satu model yang dapat diuraikan secara terperinci, yang dapat dibedakan
dari proses pengambilan keputusan lainnya. Menurut Head, mediasi adalah suatu
prosedur penengahan dimana seseorang bertindak sebagai "kendaraan" untuk
berkomunikasi antarpara pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas
sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab
utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri. Dari
definisi tersebut, mediator dianggap sebagai "kendaraan" bagi para pihak untuk
berkomunikasi. Pada dasarnya, mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak
memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai
kemungkinan penyelesaian sengketa. Mediasi seringkali menjadi pilihan utama
dalam penyelesaian sengketa alternatif karena dinilai dapat menyelesaikan sengketa
dengan cepat dan perselisihan tersebut kerelatif murah dibandingkan membawa
perselisihan tersebut ke pengadilan atau arbitrase. Di samping itu, mediasi
memfokuskan pada kepentingan para pihak dan pada kebutuhan emosi atau
psikologis mereka; jadi bukan hanya pada hak-hak hukumnya. Mediasi juga memberi
kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal,
melakukan kontrol terhadap proses dan hasilnva. Akhirnya, mediasi diharapkan
mampu menghilangkan konflik atau permusuhan, dan memberikan hasil yang tahan
uji karena mereka sendiri yang memutuskannya.

Penerapan Mediasi dalam Praktik


Mediator memiliki peran sangat menentukan bagi efektivitas proses penyelesaian
sengketa, sehingga ia harus secara layak memenuhi kualifikasi tertentu. Kriteria
mediator tidak diatur dalam Perma No 1/2008, tetapi diatur dalam ketentuan-
ketentuan lain, misalnya PP No. 54/2000, BAPMI, dan lain-lain, yang menyangkut
netralitas (tidak mempunyai kepentingan atas sengketa), kriteria umur, pengalaman,
dan ketrampilan. Di dalam praktik terdapat aktivitas khusus yang terkait dengan
proses mediasi yang bersifat tetap, yaitu melakukan pemeriksaan sengketa,
menjelaskan proses mediasi kepada para pihak, membantu pihak-pihak dalam
pertukaran informasi dan tawar menawar, serta membantu mereka mendefinisikan
dan mendraf perjanjian. Tentang biaya, penyelenggaraan mediasi di salah satu
ruang pengadilan tingkat pertama dan penggunaan mediator hakim tidak dikenakan
biaya. Jika para pihak memilih penyelenggaraan mediasi di tempat lain atau untuk
kepentigan ahli, pembiayaan dibebankan kepada para pihak berdasarkan
kesepakatan. Berakhirnya mediasi akan membawa konsekuensi bagi para pihak.
Jika mediasi berhasil maka para pihak menanda-tangani suatu dokumen sengketa.
Jika mediasi tidak berhasil, para pihak tetap memegang semua hak mereka
sebagaimana pada saat mereka masuk ke mediasi, tanpa berkurang atau
terpengaruh sedikit pun. Dalam hal mediasi berhasil atau yang menguraikan
beberapa persyaratan penyelesaian gagal, para pihak tetap mengeluarkan biaya
atau segala sesuatu yang telah disetujui, selama berjalannya diskusi-diskusi.
MODUL 5
MEDIASI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Pengaturan Mediasi di Pengadilan


Dalam penyelesaian sengketa perdata di pengadilan terdapat berbagai peraturan
yang telah dikeluarkan, yang dimulai dengan pengaturan mengenai proses
perdamaian dalam HIR dan RBg, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun
2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang selanjutnya diperbaharui dengan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan. Hukum acara perdata yang berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal
154 RBg memberi kesempatan para pihak untuk menempuh proses perdamaian; ini
menjadi dasar untuk memasukkan mediasi ke dalam prosedur berperkara di
Pengadilan Negeri. Pada dasarnya, RBg dasarnya, terdapat 3 tahap proses mediasi
yang diakhiri dengan penyusunan akta perdamaian, jika mediasi tersebut berhasil.
Ketiga tahap tersebut adalah: tahap pramediasi, tahap mediasi, dan tahap tahap
pasca mediasi. Tahap Pramediasi ini adalah tahap sebelum dimulainya mediasi,
yaitu tahap di mana hakim menunda proses persidangan perkara untuk memberikan
kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi. Tahap mediasi adalah
beberapa tahap yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan proses mediasi. Tahap
pascamediasi merupakan hasil akhir dari proses mediasi di pengadilan. Jika proses
tersebut berhasil maka dibuatlah akta perdamaian.

Pengaturan Mediasi di Luar Pengadilan


Di sini diuraikan mengenai peraturan perundang-undangan yang memberi landasan
bagi penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan diluar pengadilan melalui mediasi.
Ketentuan mengenai hal ini, pertama-tama dapat dilihat dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(APS), di mana cara mediasi telah disebutkan secara tegas dalam Pasal 1 angka 10
dan Pasal 6. Selanjutnya, Pasal 4 Perma No. 1/2008 telah pula menentukan
pengecualian perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pengadilan niaga,
pengadilan hubungan industrial, keberatan atas perkara melalui prosedur pertama
yang wajib dimediasi, yaitu putusan BPSK, dan keberatan atas putusan KPPU. Atas
dasar ketentuan Pasal 4 tersebut, di sini dibahas peraturan perundang-undangan
mengatur mediasi di luar pengadilan untuk sengketa-sengketa yang berhubungan
konsumen, perburuhan, dan hak kekayaan intelektual (HKI). Undang-undang terkait
yang memberi kesempatan digunakannya mediasi tersebut adalah Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang
Paten, Undang-Undang Nomor 15 tentang Merek, dan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
MODUL 6
ARBITRASE (PENGANTAR)

Dinamika Proses Penyelesaian Sengketa


Penyelesaian sengketa secara konvensional melalui litigasi system peradilan
(ordinary court), dalam praktik di Indonesia dikenalkan dengan model ini cukup
populer yang dikenal dengan nama ADR (alternative dispute resolution) yang
diantaranya meliputi negoisasi, mediasi, dan arbitrase. Secara konvensional,
penyelesaian sengketa biasanya dilakukan secara Litigasi atau penyelesaian
sengketa di muka pengadilan. Dalam keadaan demikian posisi para pihak yang
bersengketa sangat antagonistis (saling berlawanan satu sama lain) Penyelesaian
sengketa bisnis model tidak direkomendasaikan. Kalaupun akhirnya ditempuh
Penyelesaian sengketa penyelesaian itu semata-mata hanya sebagai jalan yang
terakhir (ultimatum remedium) setelah alternatif lain dinilai tidak membuahkan hasil.

Batasan Arbitrase
Arbitrase di pakai untuk menjabarkan suatu bentuk tata cara bagaimana
menyelesaikan sengketa yang timbul sehingga mencapai suatu hasil tertentu yang
secara hukum final dan mengikat. Persyaratan utama bagi proses arbitrase ialah
kewajiban pada para pihak membuat suatu kesepakatan tertulis atau perjanjian
arbitrase (arbitration clause/ agreement) dan kemudian menyepakati hukum dan tata
cara bagaimana mereka akan mengakhiri penyelesaiannya. institusi arbitrase dipilih
bagi pelaku usaha komersial internasional, disebabkan karena tidak adanya badan
pengadilan komersial internasional yang dapat diandalkan dan efektif. Arbitrase
dianggap sebagai satu satunya yang paling tepat untuk menyelesaikan sengketa
transaksi internasional.
MODUL 7
KEWENANGAN ABITRASE

Sifat Arbitrase dan Sumber Hukum Arbitrase


Arbitrase adalah salah satu mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan
(out of court settlement) yang merupakan bentuk perbuatan hukum yang diakui oleh
undang-undang dimana salah satu pihak atau lebih menyerahkan sengketanya
ketidaksepahaman ketidaksepakatannya dengan satu pihak lain atau lebih kepada
satu orang (arbiter) atau lebih (arbiter-majelis arbiter) ahli yang profesional.
Penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui
arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbitrase hanya mempunyai
kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi
(executoir) dari pengadilan.

Kewenangan Aritrase Penyelesaian Sengketa


Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999, menentukan bahwa pengadilan negeri tidak
berwewenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam
perjanjian arbitrase. Pengadilan tidak berwenang mencampuri suatu sengketa bila
mana dicantumkan sebuah klausula arbitrase di dalam suatu kontrak.
Pelaksanaan klausula/ perjanjian arbitrase adalah mengenai kapasitas para pihak,
yang berdampak pada ketidakberlakuan klausula arbitrase apabila pihak-pihak tidak
cakap (incapablities) misalnya bagi pihak yang mewakili belum dewasa, seseorang
tidak mampu secara pikiran, metal, fisik, seseorang dalam masa penjalanan
hukuman atau bagi badan usaha, ketidakmampuan dalam beberapa keadaan
tertentu misalnya dalam keadaan bangkrut, likuidasi, mengalami peristiwa kepailitan,
termasuk telah dicabut izin usaha.
MODUL 8
PEMBERLAKUAN PERJANJIAN ARBITRASE DAN JENIS ARBITRASE

Pemberlakuan perjanjian arbitrase


Klausula arbitrase yang terdapat di dalamnya mengikat kepada para pihak, namun
hal ini tergantung bagaimana pendapat tentang sah atau tidaknya bentuk perjanjian
kontrak standar itu sendiri. Jika mengakui dan membenarkan eksistensi bentuk
kontrak standar sebagai suatu perjanjian yang sah, maka dengan sendirinya segala
sesuatu yang tercantum di dalamnya mengikat para pihak. Kecuali, jika kita
berpendapat bahwa perjanjian yang didasarkan atas kontrak standar tidak sah, maka
seluruh isi perjanjian tidak sah dan tidak mengikat.
Undang-Undang Arbitrase, menentukan sengketa yang dapat diselesaikan melalui
arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut
hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa dan yang tidak dapat diselesaikan oleh lembaga arbitrase adalah
sengketa yang menurut aturan perundang-undangan tidak dapat diadakan upaya
perdamaian (Pasal 5 UU No 30 Tahun 1999).

Jenis Arbitrase
Pada prinsipnya arbitrase ad-hoc tidak terikat dan terkait dengan salah satu badan
arbitrase. Para arbiternya ditentukan sendiri dengan kesepakatan para pihak. Oleh
karena arbitrase ad-hoc tidak terkait dengan salah satu badan arbitrase, dapat
dikatakan jenis arbitrase tidak memiliki aturan cara tersendiri mengenai tata cara
pemeriksaan sengketa.
Arbitrase Institusional (Institutional1 Arbitration) merupakan lembaga atau badan
arbitrase yang bersifat "permanen" , karena sifatnya yang permanen tersebut, maka
disebut “permanent arbitral body”. Arbitrase instusional sengaja didirikan
pembentukannya ditujukan untuk menanggani sengketa yang mungkin timbul bagi
mereka yang menghendaki penyelesaian di luar pengadilan. Arbitrase ini merupakan
wadah yang sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari
perjanjian. Pihak-pihak yang ingin penyelesaian perselisihan mereka dilakukan oleh
arbitrase, dapat memperjanjikan akan diputus oleh arbitrase institusional yang
bersangkutan.
MODUL 9
PEMERIKSAAN DAN PUTUSAN ARBITRASE

Kewenangan Memeriksa Perkara Arbitrase


Arbitrase merupakan wadah, arbiter atau arbitrator adalah(person) yang ditunjuk dan
diangkat melaksanakan fungsi dan kewenangan arbitrase. Pembicaraan mengenai
sistem arbitrase ialah menyangkut arbiter, cara penunjukan atau pengangkatan
arbiter serta campur tangan permasalahan yang berkenaan dengan persoalan
jumlah pengadilan dalam pengangkatan arbiter. Secara singkat kewenangan
arbitrase sebagai juru pisah persengketaan. Maksudnya apakah persetujuan yang
membuat perjanjian arbitrase baik dalam bentuk “pactum de Compromittende" atau
"akta kompromis" mengenyampingkan kompetensi pengadilan. Terhadap
permasalahan ini berkembang dua aliran, antara lain:
(a). Klausula Arbitrase: bukan publik orde,
(b). Klausula Arbitrase: Pacta Sunt Servanda
Arbiter berwenang untuk menyelidiki fakta-fakta dan dokumen-dokumen tambahan
yang tidak diajukan kepadanya. Arbiter hendaknya memperhatikan semua bukti
diajukan secara prosedural oleh para pihak. Arbiter wajib melakukannya walaupun
mungkin ia berpendapat bahwa bukti yang telah diajukan sudah memadai. Arbiter
memutuskan suatu sengketa yang melibatkan keabsahan barang bukti, agar benar-
benar ia mampu bertindak secara adil. Jika ia melakukan kesalahan dalam
memperlakukan keabsahan suatu barang bukti, tindakan tersebut tidak dengan
sendirinya merupakan yang berkaitan dengan sengketa yang perbuatan yang dapat
dipersalahkan dan keputusannya tidak akan menjadi dikesampingkan, kecuali
kesalahan tersebut disengaja.

Putusan Perkara Arbitrase


Undang-undang No. 30 Tahun 1999 ini putusan arbitrase bersifat final dan
mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Keputusan bersifat final
dari arbitrase berarti putusan arbitrase merupakan keputusan final dan karena itu
putusannya tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali. Putusan
arbitrase Internasional tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Para pihak sudah sepakat memilih Arbitrase sebagai tempat peyelesaian sengketa.
Sebagai lembaga judicial yang memiliki wewenang memaksa melalui penetapan
hukumnya, untuk itu tidak dapat dipungkiri bahwa pengadilan memiliki peranan besar
dalam mengembangkan abitrase, manakala pelaksanaan arbitrase perlu mendapat
intervensi atau cmapur tangan lembaga pengadilan. Peranan pengadilan ini
menentukan pelaksaan putusan lembaga arbitrase, hal ini mungkin terjadi penolakan
salah satu pihak untuk melaksanakan putusan arbitrase.

Anda mungkin juga menyukai