Fix - Komunisme Dan Gerakan Radikal Yang Mengancam Demokrasi Pancasila
Fix - Komunisme Dan Gerakan Radikal Yang Mengancam Demokrasi Pancasila
Diajukan untuk memenuhi Mata Kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan yang diampu oleh:
UNIVERSITAS PERTAMINA
2019
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Komunisme dan Gerakan
Radikal yang Mengancam Demokrasi Pancasila di Indonesia.
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pancasila dan
Kewarganegaraan.
Kami menyadari bahwa selama pembuatan makalah ini, kami mendapatkan banyak
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada:
Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena
memiliki banyak kekurangan, baik dalam hal isi, sistematika, maupun dalam hal teknik
penulisannya. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari para pembaca agar di kemudian hari kami dapat membuat makalah yang lebih baik lagi.
Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi pada pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
LAMPIRAN.................................................................................................................. 25
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
partisipasi politik dan partisipasi warga negara dari seluruh lapisan masyarakat terbuka
lebar. Masyarakat juga dapat melakukan kontrol sosial terhadap pelaksanaan
pemerintahan karena posisi masyarakat adalah sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Tetapi kenyataannya, demokrasi di Indonesia belum berjalan dengan baik sesuai
dengan teori yang ada. Demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia belum sepenuhnya
mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat secara efisien dan efektif (belum merata).
Begitu juga dengan partisipasi dalam bidang politik.
Indonesia saat ini sedang menghadapi beberapa persoalan yang berhubungan
dengan ancaman terhadap demokrasi pancasila, antara lain komunisme dan radikalisme.
Radikalisme dan komunisme tidak hanya muncul dalam bentuk kekerasan secara fisik
namun dapat juga berupa ideologi atau pemikiran yang dapat mengancam demokrasi
pancasila. Paham komunisme serta gerakan radikal sangat bertentangan dengan
demokrasi pancasila, sehingga kita semua perlu bersatu untuk mencegah dan
menghilangkan ancaman tersebut agar tidak dapat mengancam demokrasi pancasila.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori
Indonesia merupakan satu-satunya negara hukum yang menggunakan
demokrasi pancasila dalam menjalankan pemerintahannya. Menurut Alfan Biroli
(dalam Iswanty , 2012:390), hukum merupakan salah satu bidang yang keberadaannya
sangat essensial sifatnya untuk menjamin kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Indonesia merupakan negara hukum, itu berarti setiap kegiatan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara harus didasari oleh hukum-hukum yang ada dan berlaku.
Semua hukum-hukum yang berlaku di Indonesia harus berlandaskan pancasila
sebagai dasar hukumnya. Dikutip dari Trianto dan Titik (2007:41-42), Pancasila yang
berarti lima dasar atau lima sila, adalah nama dasar negara Republik Indonesia, yang
secara yuridis-konstitusional dipergunakan sebagai dasar untuk mengatur atau
menyelenggarakan pemerintah negara. Istilah ‘sila’ sendiri dapat diartikan sebagai
aturan yang melatarbelakangi perilaku seseorang atau bangsa; kelakuan atau perbuatan
yang menurut adab (sopan-santun); dasar; adab; akhlak; atau moral.
Trianto dan Titik (2007:41) di bukunya yang berjudul Falsafah Negara dan
Pendidikan Kewarganegaraan juga menjelaskan bahwa pancasila yang sekarang
menjadi dara dan falsafah negara, pandangan hidup, dan jiwa bangsa merupakan
kebudayaan bangsa Indonesia yang telah menjadi sistem nilai selama berabad-abad.
Mengenai kedudukan pancasila, menurut Notonagaro, bahwa di antara unsur-unsur
pokok kaidah negara yang fundamental, asas kerohanian Pancasila mempunyai
kedudukan istimewa dalam hidup kenegaraan dan hukum bangsa Indonesia. Fungsi
pokok pancasila adalah sebagai dasar negara, sesuai dengan pembukaan UUD 1945,
dan yang hakikatnya adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber
tertib hukum.
Dijelaskan dalam Jurnal Hukumnya, Wibowo (2012) menjabarkan beberapa
pengertian hukum dari beberapa ahli huum di Indonesia, salah satunya S.M. Amin.
Beliau menjelaskan bahwa hukum merupakan kumpulan peraturan-peraturan yang
terdiri dari norma dan sanksi-sanksi, serta tujuan hukum itu adalah mengadakan
ketertiban daam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban senantiasa
terpelihara. Unsur-unsur hukum itu sendiri merupakan peraturan mengenai tingkah laku
3
manusia, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwenang. Hukum atau peraturan-
peraturan tersebut memiliki sifat memaksa, sehingga akan ada sanksi khusus bagi
pelanggar hukum guna menimbulkan efek jera.
Dalam kutipan buku Kemendikbud. (2017:147) dengan judul Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (dalam Hornby dkk, 1988) “The Advanced Learner’s
Dictionary of Current English” dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan democracy
adalah:
(1) country with principles of government in which all adult citizens share
through their elected representatives; (2) country with government which
encourages and allows rights of citizenship such as freedom of speech, religion,
opinion, and association, the assertion of rule of law, majority rule,
accompanied by respect for the rights of minorities. (3) society in which there
is treatment of each other by citizens as equals
Kutipan di atas merujuk pada konsep kehidupan negara atau masyarakat dimana
warga negara dewasa turut berartisipasi dalam pemerintahan wakilnya yang dipilih;
pemerintahannya mendorong dan menjamin kemerdekaan berbicara, beragama,
berpendapat, berserikat, menegakkan “rule of law”, adanya pemerintahan mayoritas
yang menghormati hak-hak kelompok minoritas; dan masyarakat yang warga
negaranya saling memberi perlakuan yang sama.
Secara etimologis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yakni “demos”
dan “kratein”. Pengertian tersebut pada dasarnya merujuk kepada ucapan Abraham
Lincoln mantan Presiden Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa “demokrasi adalah
suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” atau “the government
from the people, by the people, and for the people”. Karena “people” yang menjadi
pusatnya, demokrasi oleh Pabottinggi (2002) disikapi sebagai pemerintahan yang
memiliki paradigma “otocentricity” atau otosentrisitas yakni rakyatlah (people) yang
harus menjadi kriteria dasar demokrasi.
4
hukum memberikan patokan bahwa yang memerintah dalam suatu negara bukanlah
manusia, tetapi hukum. Dalam tataran praksis, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat
dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga
setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar
mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Sedangkan dalam negara yang
berdasarkan atas hukum, dalam hal ini hukum harus dimaknai sebagai kesatuan hirarkis
tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam
suatu negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi,
di samping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan
pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.
Secara historis, gagasan tentang konsepsi negara hukum terus bergulir sejalan
dengan arus perkembangan sejarah. Mulai dari konsepsi negara hukum liberal
(nachwachter staat/negara sebagai penjaga malam) ke negara hukum formal (formele
rechtsstaat) kemudian menjadi negara hukum materiil (materiele rechtsstaat) hingga
pada ide negara kemakmuran (welvarstaat) atau negara yang mengabdi kepada
kepentingan umum (social service state atau sociale verzorgingsstaat). 15 Negara
hukum liberal atau yang sering disebut sebagai negara hukum dalam arti sempit adalah
konsepsi yang diberikan oleh Immanuel Kant (1724 – 1804 SM), yang kemunculannya
bersamaan dengan lahirnya paham liberalisme yang menentang kekuasaan absolut dari
para raja pada masa itu.16 Menurut paham liberalisme negara justru harus melepaskan
dirinya dari campur tangan urusan kepentingan rakyatnya, yang berarti sikap negara
harus pasif (staatsonthouding) (Muntoha, 2009:384).
Hal ini akan pengaruh pada bentuk negara dan pemerintahan yang kemudian
menjadi monarki konstitusional, yaitu adanya pembatasan kekuasaan raja oleh
konstitusi sebagai akibat dari perjanjian yang dilakukan dengan rakyatnya yang
menentukan kedua belah pihak dalam kedudukan yang sama. Oleh karena itu, tipe
negaranya pada masa itu adalah negara hukum liberal (nachwachterstaat). Dalam
negara hukum liberal ini ada jaminan bahwa setiap warga negara mempunyai
kedudukan hukum yang sama dan tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang oleh
penguasa. Maka, untuk mencapai tujuan ini, negara harus mengadakan pemisahan
kekuasaan yang masing-masing mempunyai kedudukan yang sama tinggi dan sama
rendah, tidak boleh saling mempengaruhi dan tidak boleh campur tangan satu sama lain
5
sehingga untuk dapat disebut sebagai negara hukum dalam tipe ini harus memiliki 2
(dua) unsur pokok, yaitu: (1) Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; dan (2)
Pemisahan kekuasaan dalam negara.
Oleh karena itu, negara hukum itu harus ditopang dengan sistem demokrasi
karena terdapat korelasi yang jelas antara negara hukum yang bertumpu pada konstitusi,
dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Dalam sistem
demokrasi partisipasi rakyat merupakan esensi dari sistem ini. Akan tetapi, demokrasi
tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sementara hukum tanpa
demokrasi akan kehilangan makna. Menurut Frans Magnis Suseno, demokrasi yang
bukan negara hukum bukan demokrasi dalam arti yang sesungguhnya. Demokrasi
merupakan cara yang paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum.
6
Mengawali pandangannya tentang negara hukum Indonesia, Azhari
beranggapan bahwa konsep negara hukum Indonesia berbeda dengan konsep negara
hukum yang dianut oleh kelompok Anglo Saxon dan Eropa Kontinental. Karena pada
kedua kelompok tersebut konsep negara hukum didasarkan pada paham liberal
individualistis, sedangkan negara hukum Indonesia didasarkan pada pandangan
hidupnya sendiri yaitu Pancasila. Perbedaan lainnya terletak pada masalah kedudukan
individu terhadap masyarakat dan hak serta kewajiban individu terhadap masyarakat.
Dalam konsep negara hukum Anglo Saxon dan Eropa Kontinental diberikan porsi
kebebasan individu sangat besar, sedangkan di Indonesia berdasarkan pandangan hidup
dan latar belakang sejarah maka peranan negara cukup besar terhadap kepentingan
rakyatnya. Lewat fakta tersebut juga, menurut Azhari, konsep negara hukum Indonesia
dirumuskan sebagai negara kesejahteraan.
Dalam hal aparat penegak hukumnya, dapatlah kita katakan bahwa di Indonesia
hubungan antara negara dan badan-badan penegak hukum terjadi monopoli atas
kekerasan yang memang dibenarkan oleh negara. Memang pada umumnya aparat
penegak hukum dengan segala institusinya adalah menjaga ketertiban dan kedaulatan
negara Indonesia. Persenyawaan ini semakin menggelinding ketika negara sangat
tergantung kepada keahlian dan ketaatan mereka para penegak hukum terhadap tugas
yang diembannya. Dan kenyataan yang demikianlah maka kontrol masyarakat tidak
berdaya (berada pada posisi fatalisme “sub-human”) (Utsman, 2013 : 252). Masyarakat
7
hanya akan taat dan tunduk terhadap perlakuan hukum yang ada, biar bagaimanapun
unsur kekuasaan akan berpengaruh terhadap dominasi dalam struktur hukum.
Dikutip dari bukunya Dr. Victor Silaen (2012:1) mengatakan bahwa makna
demokrasi secara harfiah “pemerintah oleh, dari dan untuk rakyat”. Istilah demokrasi
pertama kali diciptakan oleh sejarahwan Yunani, Herodatus, pada abad ke-5 sebelum
masehi (SM). Herodotus tercatat sebagai pemikir yang mula-mula mengajukan
pertanyaan tentang “berapa banyak orang yang memiliki kekuasaan tertinggi di suatu
negara?” ia menjawabnya sendiri, yakni pada “satu, beberapa, atau banyak orang”.
Berdasarkan itu masing-masing sistemnya disebut sebagai “monarki, aristokras, dan
demokrasi” (Lipson, 1964). Herodotus lalu mengemukakan tiga prinsip penting dalam
demokrasi: kesetaraan dalam hukum, partisipasi warga negara dalam pembuatan hukum,
dan kebebasan berbicara.
8
semakin kacau. Kehidupan politik nasional pada periode ini ditandai dengan kedudukan
presiden yang semakin kuat, sesuai ketentuan UUD 45 (Dr. Victor Silaen , 2012:22).
Akhirnya puncak kemelut pun terjadi, dengan meletusnya peristiwa berdarah yang
terkenal dengan sebutan G30S-PKI (Gerakan 30 September – Partai Komunis
Indonesia). Dikutip dari buku Trianto dan Titik (2007:247-248) juga menjelaskan
bahwa terjadi beberapa penyimpangan dalam pelaksanaan demokrasi antara lain:
presiden membentuk MPRS DAN DPAS dengan penpres Nomor 2 tahun 1955 yang
bertentangan sistem pemerintahan presidentil sebagaima dalam UUD 1945, Penentuan
masa jabatan presiden seumur hidup, Berdirinya Partai Komunis Indonesia yang
berhaluan ateisme, hal ini bertentangan dengan falsafah bangsa Indonesia yang
tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yang pada sila pertama yang menyebutkan
‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ artinya bahwa bangsa Indonesia harus mengakui adanya
Tuhan.
9
yang dirasakan semakin menjadi dengan hegemoni rezim tersebut memompa semangat
kaum reformis untuk bangkit, sehingga menghasilkan pelengseran.
10
(2007:219), demokrasi secara harfiah identik dengan makna kedaulatan rakyat yang
berarti pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah (pemerintahan
rakyat). Sedangkan jika ditinjau dari segi bahasa, demokrasi terdiri dari dua kata yang
berasal dari bahasa Yunani, yaitu “demos” yang berarti rakyat dan “cratein” atau “cratos”
yang berarti kekuasaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa demokrasi secara bahasa
berarti keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di
tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat
berkuasa, pemerintahan dan kekuasaan oleh rakyat.
Dikutip dari Trianto dan Titik dalam bukunya Falsafah Negara dan Pendidikan
Kewarganegaraan (2007:221-222), mengatakan bahwa kekuasaan di tangan rakyat
mengandung tiga pengertian, yaitu: Pemerintahan dari rakyat (government of the
people); Pemerintahan oleh rakyat (government by people); dan Pemerintahan untuk
rakyat (government for people).
Dikutip dari Dwi Sulisworo bukunya bahan ajar yang berjudul “Demokrasi”
(2007:250-253) juga menjelaskan bahwa syarat-syarat negara demokrasi adalah 1)
Perlindungan secara konstitusional atas hak-hak warga negara berarti hak-hak warga
11
negara itu dilindungi oleh konstitusi atau Undang Undang Dasar, 2) Badan kehakiman
atau peradilan yang bebas dan tidak memihak artinya badan atau lembaga itu tidak dapat
dicampurtangani oleh lembaga manapun, termasuk pemerintah, serta bertindak adil. 3)
Pemilihan umum yang bebas artinya pemilihan umum yang dilakukan sesuai dengan
hati nurani, tanpa tekanan atau paksaan dari pihak manapun Kebebasan untuk
menyatakan pendapat adalah kebebasan warga negara untuk menyatakan pendapatnya
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik secara lisan maupun tulisan. 4)
Kebebasan beroposisi adalah kebebasan untuk mengambil posisi di luar pemerintahan
serta melakukan kontrol atau kritik terhadap kebijakan pemerintah. 5) Pendidikan
kewarganegaraan dimaksudkan agar warga negara menyadari hak dan kewajibannya
sebagai warga negara, serta mampu menunjukkan partisipasinya dalam kehidupan
bernegara. Keenam syarat tersebut harus terpenuhi dalam suatu pemerintahan yang
demokratis. Jika tidak, apalagi terdapat praktik-praktik yang bertentangan dengan
keenam prinsip tersebut, maka sistem pemerintahan itu kurang layak disebut
pemerintahan yang demokratis.
12
dikedepankan baik oleh pemerintah maupun rakyat; i.) Pers yang bebas Dalam sebuah
negara demokrasi; j.) Beberapa partai politik.
13
c. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang ada di Indonesia
bersumberkan pada nilai-nilai sosial budaya bangsa serta berazaskan
musyawarah mufakat dengan memprioritaskan kepentingan seluruh masyarakat
atau warga negara. Demokrasi pancasila fokus pada kepentingan dan aspirasi
serta hati nurani rakyat. Sampai saat ini Indonesia menganut demokrasi
pancasila yang bersumber pada falsafah pancasila.
14
Gambaran kekejaman PKI tersebut dapat dilihat di sejumlah relief yang
ada di seputaran monumen. Tak jarang pengunjung merasa miris dan tidak tega
untuk melihatnya.
"Ngeri sekali ini gambar reliefnya. Banyak korban dibunuh secara
kejam. Diikat tangan dan kaki, diseret, serem," ujar salah satu pengunjung, Nia
(25) kepada detikcom, Rabu (3/10/2018).
Nia sendiri mengaku datang ke monumen ini karena penasaran dengan
cerita kekejaman PKI. Ia berharap dengan datang ke monumen itu, maka ia
bisa menyampaikan cerita itu kepada anak cucunya kelak.
"Saat kejadian saya memang belum lahir, tapi saya akan menceritakan
ke anak cucu saya kelak tentang kekejaman PKI dalam sejarah," paparnya.
Dikisahkan salah satu pengelola Monumen Kresek, Heri Purwadi,
dalam sejarahnya, mereka yang menjadi korban kekejaman PKI, baik dari
tokoh ulama maupun santri dibunuh secara keji, dicambuk, disayat dengan
pisau, bahkan juga ada yang dikubur hidup-hidup.
"Kalau mendengar ceritanya sangat miris. Ini patung yang paling besar
menggambarkan bagaimana PKI mengacungkan celurit ingin membantai
seorang ulama yang pasrah," jelasnya.
Ada pula relief yang menggambarkan seorang warga ditelanjangi dan
diseret dengan tangan kaki terikat. "Ada juga seorang kyai yang diikat, diseret,
kondisi telanjang. Ndak tega kalau membayangkan," tambahnya.
Tak tanggung-tanggung, korban pembantaian PKI kala itu mencapai
1.920 orang, padahal PKI hanya menduduki Madiun selama 13 hari saja,
terhitung sejak tanggal 18-30 September 1948.
"Sesuai data resmi dari Kodim Madiun yang kita buat referensi
pembuatan brosur bahwa PKI menguasai Madiun sejak 18 hingga 30
September 1948. Singkat namun ada ribuan korban yang berhasil dibinasakan
dengan kejam," ujar pengelola monumen lainnya, Tri Sugianto.
Pemberontakan kala itu dipimpin oleh Musso, tokoh komunis Indonesia
yang lama tinggal di Uni Soviet (kini Rusia).
"Dalam sejarahnya Musso menawarkan gagasan yang disebutnya jalan
baru untuk Republik Indonesia. Musso menghendaki satu partai kelas buruh
dengan memakai nama yang bersejarah, yakni PKI. Untuk itu harus dilakukan
15
fusi tiga partai yang beraliran Marxisme-Leninisme PKI ilegal, Partai Buruh
Indonesia (PBI), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). PKI hasil fusi ini akan
memimpin revolusi proletariat untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang
disebut Komite Front Nasional," terangnya.
Beruntung pemberontakan itu akhirnya berhasil ditumpas oleh pasukan
TNI pada tanggal 1 Oktober 1948. Musso sendiri berhasil ditangkap saat lari
ke Desa Kresek dengan mengepungnya dari berbagai penjuru.
Namun pria yang juga aktif sebagai pengelola Pokdarwis Desa Kresek
ini berharap pengunjung tidak takut dengan relief-relief tersebut. Sebab tujuan
pembuatan relief dan monumen ini adalah sebagai bentuk penghormatan
terhadap para korban.
Kasus kedua berkaitan dengan gerakan radikal yang hingga saat ini masih
menjadi sumber keresahan bagi rakyat Indonesia, yaitu dari artikel yang berjudul “Bom
Bunuh Diri Kampung Melayu, Ancaman Nyata ISIS di Indonesia” sebagai berikut:
Jakarta - Aksi keji kelompok radikal terjadi lagi di Indonesia. Dua buah
bom meledak di Kampung Melayu, Rabu (24/5) sekitar pukul 21:00 WIB. Selain
menewaskan kedua pelaku, bom bunuh diri tersebut juga mengakibatkan
korban jiwa para petugas kepolisian yang sedang berjaga. Tiga anggota
kepolisian tersebut adalah Bripda Taufan Tsunami, Bripda Imam Gilang,
Bripda Ridho Setyawan.
Aksi yang dilakukan pada saat Kapolri Jendral Pol Tito Karnavian
sedang mengadakan kunjungan ke Arab Saudi tersebut menjadikan polisi
sebagai target utama. Lokasi dan objek terminal Kampung Melayu bukan
menjadi prioritas dari kelompok tersebut; prioritas pertama adalah adanya
target, yaitu polisi.
Jenis bom yang digunakan cukup mematikan sehingga menimbulkan
beberapa korban jiwa. Pelaku yang lebih dari satu orang menunjukkan bahwa
aksi tersebut dilakukan secara teroganisir, bukan lone wolf terrorist. Aksi bom
ini diduga kuat dilakukan oleh kelompok radikal yang berafiliasi dengan ISIS.
Polisi yang dianggap sebagai thaghut oleh kelompok radikal ISIS,
bukan kali ini saja menjadi korban aksi teror. Aksi-aksi sebelumnya seperti
yang terjadi di Thamrin, Tangerang, dan Solo menunjukkan bahwa kelompok
16
radikal transnasional tersebut memang menjadikan polisi sebagai musuh
utama yang harus diperangi.
Momentum yang digunakan untuk melaksanakan aksi teror ini diduga
dipicu oleh aksi teror kelompok ISIS di Manchaster, Inggris (23/5). Selain itu
aksi teror bom bunuh diri dikatalisasi oleh aksi kelompok ISIS di Marawi,
Filipina. Dengan adanya aksi di Kampung Melayu, Jakarta, ISIS
menyampaikan pesan bahwa keberadaan mereka di Asia Tenggara cukup
serius.
Sejak terdesak di Irak dan Suriah, ISIS harus mulai membangun basis
kekuatan di tempat lain. Teori balon terjadi; penekanan di Irak dan Suriah
mengakibatkan pengembangan di tempat lain. Dalam hal ini diprediksi ISIS
akan membangun basisnya di Afganistan dan Asia Tenggara. Filipina dan
Indonesia adalah pilihan bagi kelompok ISIS sebagai basis di Asia Tenggara.
Kalompok Abu Sayaf di Mindanao, Filipina dan beberapa kelompok
radikal di Indonesia yang sudah menyatakan mendukung ISIS akan menjadi
basis kekuatan bagi pengembangan ISIS di Asia Tenggara. Aksi-aksi teror
lainnya bukan mustahil dalam waktu dekat akan menyusul terjadi di Indonesia.
Arus balik simpatisan ISIS dari Irak dan Suriah yang sudah terjadi akan
membuat sel-sel kompok radikal semakin banyak di Indonesia. Simpatisan ISIS
tersebut tentu sudah mempunyai pengetahuan, pengalaman, dan doktrin
ideologi yang kuat. Para simpatisan ISIS tersebut akan membuat sel tidur yang
sedang menunggu momentum untuk beraksi.
Kekuatan lain yang cukup mengkhawatirkan adalah kelompok radikal
lokal dan mantan narapidana kasus terorisme. Jika kelompok-kelompok
tersebut bersatu dan ada momentum yang mendukung maka aksi teror akan
dilakukan.
Sinyal Eksistensi dan Celah Kerawanan
ISIS sudah memberikan sinyal cukup kuat, bahwa mereka akan eksis di
Indonesia. Maka, Indonesia harus ekstra waspada. Banyak titik rawan yang
menjadi celah untuk memuluskan aksi teror. Kegaduhan politik dan polarisasi
identitas yang terjadi saat ini menjadi celah bagi kelompok radikal untuk
menjalankan aksinya.
17
Alih-alih menjadikan kelompok radikal sebagai musuh bersama,
beberapa pihak justru menganggap aksi teror adalah pengalihan isu dan
rekayasa. Hal ini justru membuat celah kerawanan semakin melebar. Kelompok
radikal yang seharusnya menjadi musuh bersama untuk dilawan, oleh sebagian
pihak justru dikaburkan eksistensinya.
Aksi teror tidak bisa hanya dihadapi oleh Polri, peran masyarakat
sangat diperlukan. Kelompok radikal akan bersembunyi di tengah-tengah
masyarakat, akan sangat sulit membedakan masyarakat biasa dengan
kelompok radikal. Masyarakat harus peduli terhadap interaksi sosial di
lingkungannya.
Dengan kekuatan sosial yang peduli dan waspada, maka masyarakat
sudah berperan penting dalam menutup celah masuknya kelompok radikal. Jika
masyarakat tidak mau peduli terhadap ancaman terorisme, bahkan
menganggap bahwa aksi teror adalah rekayasa dan pengalihan isu, maka
sebenarnya masyarakat sedang menciptakan celah kerawanan lebih besar bagi
masuknya kelompok radikal.
Ancaman ISIS terhadap Indonesia semakin nyata dan kuat. Dan, itu
harus dilawan, bukan malah dikaburkan dan dianggap sebagai rekayasa.
18
Hak Asasi Manusia (HAM). Berikut adalah perbedaan paham komunisme dengan nilai-
nilai pancasila:
1. Sila pertama pancasila, yaitu ketuhanan Yang Maha Esa, menjamin hak dan
kebebasan setiap individu untuk memeluk agama, melakukan ibadah, serta
terdapat aturan untuk menghormati perbedaan agama atau kepercayaan yang
dianut oleh setiap individu. Sedangkan pada paham komunisme, agama itu
sendiri justru dianggap sebagai salah satu penyebab terciptanya kelas-kelas
sosial. Para penganut agama pada paham komunisme juga dianggap cenderung
lebih mengandalkan doa dibandingkan melakukan kerja, usaha, ataupun
tindakan untuk mencapai atau mendapatkan sesuatu.
2. Sila kedua pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, menempatkan
hak setiap warga negara pada kedudukan yang sama dalam hukum serta
memiliki kewajiban dan hak-hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan
undang-undang. Pancasila menginginkan kehidupan yang selaras, serasi, dan
seimbang antar individu, dimana artinya setiap individu diakui dan dianggap
bermakna bagi masyarakat. Sementara pada paham komunisme, kehidupan
masyarakat bersifat kolektif dan sepenuhnya dipimpin dan dikendalikan oleh
pemerintah yang berkuasa, sehingga setiap individu tidak bermakna.
3. Sila ketiga pancasila, yaitu persatuan Indonesia, mengamanatkan unsur
pemersatu antar warga negara dengan semangat rela berkorban dan
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau
golongan. Sedangkan komunisme tidak berlandaskan rasa semangat rela
berkorban setiap individunya.
4. Sila keempat pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dicerminkan, yang
dicerminkan dalam kehidupan dalam kehidupan pemerintahan, bernegara, dan
bermasyarakat yang demokratis. Pancasila menghargai hak setiap warga negara
untuk berpendapat dan bermusyawarah guna mencapai suatu mufakat yang
dilakukan tanpa ada tekanan, paksaan, ataupun intervensi yang membelenggu
hak-hak partisipasi masyarakat. Sedangkan komunisme memaksa individu
untuk tunduk pada aturan dan keputusan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah
yang berkuasa, sehingga individu tidak memiliki hak kebebasan berpendapat
dan bermusyawarah.
19
5. Sila kelima pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
mengakui hak-hak milik individu dan hak-hak umum. Sementara paham
komunis tidak mengakui adanya hak individu, memonopoli segala kegiatan
dalam kehidupan masyarakat. Atau dalam kata lain, dalam negara komunis,
semua individu wajib menyerahkan sumber daya dan alat-alat produksi untuk
dikuasai dan diatur oleh pemerintah.
Pada kasus yang sudah dijabarkan pada subbab sebelumnya, terdapat peristiwa
dimana Partai Komunis Indonesia (PKI) membantai ribuan tokoh dan ulama di Madiun
pada 18-30 September 1948. Pada artikel tersebut disebutkan bahwa para korban
disiksa dan dibunuh dengan cara yang sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan. Hal
tersebut tentu saja melanggar demokrasi pancasila. Demokrasi pancasila menggunakan
ideologi pancasila, yang mana seperti yang sudah diuraikan di atas, pancasila itu sendiri
melindungi hak warga negaranya untuk beribadah sesuai kepercayaannya masing-
masing (sila pertama), serta menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) (sila kedua).
Pada artikel tersebut juga disebutkan bahwa akhirnya pemberontakan PKI
tersebut dapat ditumpas oleh TNI pada 1 Oktober 1948. Menurut pendapat kami,
keberadaan PKI serta aksi-aksi pemberontakannya sangatlah meresahkan masyarakat
Indonesia. Beruntung, PKI telah dibubarkan pada tahun 1966 atas dasar Ketetapan
MPRS NO. XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan larangan untuk
menyebarkan dan/atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-
Leninisme dalam segala bentuk.
Di luar konteks isu tersebut, paham komunisme sangat bertolak belakang
dengan ideologi pancasila dan nilai-nilai demokrasi pancasila yang bersifat terbuka.
Selain Ketetapan MPRS NO. XXV Tahun 1966, ada pula UU No. 27 Tahun 1999 pasal
107a, 107b, 107d, dan 107e yang membahas tentang hukum pidana bagi siapapun yang
menyebarkan dan mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme akan
mendapatkan pidana paling lama 12-20 tahun.
Sebagai generasi muda yang dituntut untuk turut memiliki imunitas dan daya
tangkal yang kuat dalam menghadapi pengaruh paham komunisme, kita dapat
melakukan beberapa hal yaitu: 1) menanamkan jiwa nasionalisme dan kecintaan
terhadap NKRI, 2) memiliki wawasan pancasila dan kewarganegaraan yang kuat, 3)
dan selalu waspada terhadap provokasi dan hasutan orang lain untuk mengikuti paham
komunisme.
20
Pada isu kedua dijelaskan mengenai salah satu contoh isu kontekstual yang
berhubungan dengan radikalisme, yaitu bom bunuh diri di Kampung Melayu yang
mengindikasikan ancaman nyata ISIS di Indonesia. ISIS awalnya merupakan kekuatan
milisi nasional yang merasa tidak puas dengan pemerintahan setelah Saddam Hussein
yang dikuasai oleh kelompok Syiah. ISIS kemudian berkembang dan mulai memasuki
serta memberikan pengaruh terutama pada anak-anak muda di berbagai negara,
termasuk Indonesia.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) (2012:1)
mengenai pengertian radikalisme:
“Radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme. Radikalisme merupakan
suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner
dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan
(violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Ada beberapa ciri yang bisa dikenali
dari sikap dan paham radikal. 1) intoleran (tidak mau menghargai pendapat &
keyakinan orang lain), 2) fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap
orang lain salah), 3) eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya)
dan 4) revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk
mencapai tujuan)”
Dari paragraf tersebut terlihat jelas bahwa ideologi ISIS yang menganut paham
takfiri (sebutan bagi seorang Muslim yang menuduh Muslim lainnya atau kadang juga
mencakup penganut ajaran Agama Samawi lain sebagai kafir dan murtad (Wikipedia).
Serta perjuangan menegakkan khalifah Islam dengan kekerasan sangatlah bertentangan
dengan nilai-nilai pancasila, demokrasi pancasila, dan undang-undang dasar.
Radikalisme atau dalam kasus ini ISIS, melanggar UU No.15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menyebutkan: Setiap orang
yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang
menimbulkan situasi teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas harta benda orang
lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital
strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Gerakan
radikal yang dilakukan oleh ISIS/IS juga bertentangan dengan sila kedua pancasila yang
berbunyi ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’, dimana hak-hak individu dan Hak
Asasi Manusia (HAM) dilindungi oleh pancasila dan undang-undang.
21
Sebagai generasi muda yang dituntut untuk turut memiliki imunitas dan daya
tangkal yang kuat dalam menghadapi pengaruh ajakan radikal, kita dapat melakukan
beberapa hal yaitu: 1) menanamkan jiwa nasionalisme dan kecintaan terhadap NKRI,
2) memiliki wawasan keagamaan yang moderat, terbuka, dan toleran, 3) dan selalu
waspada terhadap provokasi, hasutan, dan pola rekrutmen teroris baik di lingkungan
masyarakat maupun di dunia maya.
Menurut pendapat kami, baik pemberontakan atau kekejaman yang dilakukan
oleh penganut komunisme maupun gerakan radikal yang dilakukan oleh ISIS di
Indonesia sungguh menyalahi nilai-nilai demokrasi pancasila dan makna pancasila itu
sendiri. Demokrasi pancasila seharusnya fokus pada kepentingan dan aspirasi serta hati
nurani rakyat, sedangkan paham komunisme dan gerakan radikal sama sekali tidak
memedulikan kepentingan, aspirasi, hak-hak, serta kebebasan rakyat sebagai individu
dan manusia.
22
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
1. Bentuk ancaman oleh gerakan radikal yang mengancan demokrasi pancasila dalam
kasus yang dibahas pada makalah ini ialah terorisme, yaitu bom bunuh diri di Kampung
Melayu yang mengindikasikan ancaman nyata ISIS di Indonesia.
2. Bentuk ancaman oleh paham komunisme yang mengancam demokrasi pancasila dalam
kasus yang dibahas pada makalah ini ialah pembunuhan, yaitu Partai Komunis
Indonesia (PKI) membantai ribuan tokoh dan ulama di Madiun pada 18-30 September
1948.
3. Upaya yang efektif dan efisien unuk mencegah ancaman paham dan ideologi lain
terhadap demokrasi pancasila ialah menanamkan jiwa nasionalisme dan kecintaan
terhadap NKRI, memiliki wawasan pancasila dan kewarganegaraan yang kuat, dan
selalu waspada terhadap provokasi dan hasutan orang lain untuk mengikuti paham
komunisme dan radikalisme.
3.2 Saran
Sebagai generasi muda dalam menghadapi berbagai ancaman di Indonesia, terutama
terkait masalah Demokrasi Pancasila, dibutuhkan masyarakat yang memiliki imunitas
dan daya tangkal yang kuat dalam menghadapi pengaruh ajakan radikal dan komunis
tersebut. Hal tersebut dapat dilakukan seperti memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi
dan rasa cinta terhadap NKRI. Berfikiran terbuka dan holistik dalam menanggapi dan
menyelesaikan persoalan dan memiliki sikap waspada terhadap tindakan-tindakan
provokasi baik itu secara langsung maupun secara tidak langsung.
23
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Trianto dan Tutik, Triwulan. 2007. Falsafah Negara & Pendidikan Kewarganegaraan.
Jakarta:Prestasi Pustaka Publisher.
Silaen, Dr. Victor. 2012. Prospek Demokrasi di Negara Pancasila. Jakarta: Permata Aksara.
Jurnal/Artikel/Makalah
Astawa, Dr. I Putu Ari, S.Pt, MP. 2017. Demokrasi Indonesia. Bali: Universitas Udayana
Biroli, Alfan. n.d. Problematika Penegakan Hukum Di Indonesia (Kajian Dengan Perspektif
Sosiologi Hukum). Madura: Prodi Sosiologi FISIB Universitas Trunojoyo Madura.
Montoha. 2009. Demokrasi dan Negara Hukum. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia. Yogyakarta
Sayuti. 2011. Konsep Rechtsstaat dalam Negara Hukum Indonesia (Kajian terhadap Pendapat
Azhari). Jurnal Kajian Ekonomi Islam dan Kemasyarakatan: 95-101.
Internet
Tunardy, Wibowo T. , S.H., M.Kn. 2012. Pengertian Hukum. Diperoleh dari situs,
https://www.jurnalhukum.com/pengertian-hukum/ Dipublikasi 10 Mei 2012.
24
LAMPIRAN
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
ISU PERTAMA
39
40
ISU KEDUA
41
42
43