Anda di halaman 1dari 46

KOMUNISME DAN GERAKAN RADIKAL YANG

MENGANCAM DEMOKRASI PANCASILA DI INDONESIA

Diajukan untuk memenuhi Mata Kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan yang diampu oleh:

Ridwan Fauzi, M.H.

Disusun oleh Kelompok 4:


Amira Saqina 101118006
Dimas Pradana 101118006
Fathin Anshorulloh 101118052
Tumbur Silalahi 102218027
Annisa Fista Ramadhani 102318019
Daru Sri Wulan Kumala 102318023
Ridwan Taufik Hidayat 102318048
Aghista Haryogi S. 102318079
Lyshet Frilia Taga 102318090
Thytania Halizha Gobel 102318098
Trifosa Yael Budiman 102318100
Milenia Magdalena K. 104218060
Agung Muhammad R. 105218006

UNIVERSITAS PERTAMINA

2019
i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Komunisme dan Gerakan
Radikal yang Mengancam Demokrasi Pancasila di Indonesia.

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pancasila dan
Kewarganegaraan.

Kami menyadari bahwa selama pembuatan makalah ini, kami mendapatkan banyak
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Ridwan Fauzi, M.H., selaku dosen pengampu;


2. Rekan-rekan yang turut berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini; dan
3. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.

Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena
memiliki banyak kekurangan, baik dalam hal isi, sistematika, maupun dalam hal teknik
penulisannya. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari para pembaca agar di kemudian hari kami dapat membuat makalah yang lebih baik lagi.

Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi pada pembaca.

Jakarta, 30 Oktober 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii

DAFTAR ISI................................................................................................................. iii

BAB I: PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. 2

1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................................... 2

BAB II: PEMBAHASAN ............................................................................................ 3

2.1 Teori ........................................................................................................................ 3

2.2 Isu Kontekstual ....................................................................................................... 14

2.3 Analisis dan Pemecahan Masalah ........................................................................... 18

BAB III: PENUTUP .................................................................................................... 23

3.1. Simpulan ................................................................................................................. 23

3.2. Saran ....................................................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 24

LAMPIRAN.................................................................................................................. 25

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara hukum yang didasari oleh prinsip-prinsip
demokrasi dan keadilan, dimana hukum harus mengacu pada cita-cita rakyat bangsa
dan negara Indonesia, yaitu tegaknya negara hukum yang demokratis dan menjunjung
tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Meski demikian, terdapat suatu
pendapat yang mengemukakan bahwa pernyataan ‘hukum merupakan alat masyarakat
untuk menegakkan demokrasi’ tidak sepenuhnya benar. Penekanan fungsi hukum
cenderung lebih mengarah kepada kekuatan pemerintah serta implementasinya, seperti
untuk mendapatkan basis penggunaan kekuasaan yang kuat dalam melaksanakan
pembangunan.
Indonesia merupakan negara hukum pancasila. Negara hukum pancasila yaitu
merupakan negara hukum dimana setiap hukum yang dibentuk mengacu kepada
pancasila. Terdapat perbedaan konsep antara negara hukum pancasila dengan konsep
negara hukum dari negara lain. Konsep negara hukum pancasila memiliki identitasnya
sendiri sehingga membuat negara hukum pancasila unik. Unsur-unsur negara hukum
pancasila antara lain: adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM),
adanya pemisahan kekuasaan, penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan (hukum), serta adanya peradilan Tata Usaha Negara dan
supremasi hukum. Negara hukum Indonesia bersumber dari nilai-nilai Pancasila
sebagai pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia memiliki karakteristik tersendiri,
yaitu: hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan, hubungan
fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara, penyelesaian
sengketa melalui musyawarah, dan peradilan merupakan sarana terakhir keseimbangan
antara hak dan kewajiban.
Demokrasi dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting karena nilai-nilai
yang dikandungnya sangat diperlukan sebagai tolok ukur untuk menata kehidupan
berbangsa dan bernegara yang baik. Demokrasi merupakan alat yang dapat digunakan
untuk mewujudkan atau merealisasikan kebaikan bersama ataupun mewujudkan
masyarakat dan pemerintahan yang baik (good society and good government).
Kebaikan dari sistem demokrasi adalah kekuasaan pemerintah yang berasal dari rakyat,
baik secara langsung maupun perwakilan. Secara teoritis, peluang terlaksananya

1
partisipasi politik dan partisipasi warga negara dari seluruh lapisan masyarakat terbuka
lebar. Masyarakat juga dapat melakukan kontrol sosial terhadap pelaksanaan
pemerintahan karena posisi masyarakat adalah sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Tetapi kenyataannya, demokrasi di Indonesia belum berjalan dengan baik sesuai
dengan teori yang ada. Demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia belum sepenuhnya
mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat secara efisien dan efektif (belum merata).
Begitu juga dengan partisipasi dalam bidang politik.
Indonesia saat ini sedang menghadapi beberapa persoalan yang berhubungan
dengan ancaman terhadap demokrasi pancasila, antara lain komunisme dan radikalisme.
Radikalisme dan komunisme tidak hanya muncul dalam bentuk kekerasan secara fisik
namun dapat juga berupa ideologi atau pemikiran yang dapat mengancam demokrasi
pancasila. Paham komunisme serta gerakan radikal sangat bertentangan dengan
demokrasi pancasila, sehingga kita semua perlu bersatu untuk mencegah dan
menghilangkan ancaman tersebut agar tidak dapat mengancam demokrasi pancasila.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana bentuk ancaman oleh gerakan radikal yang mengancam demokrasi
pancasila?
1.2.2 Bagaimana bentuk ancaman oleh paham komunisme yang mengancam
demokrasi pancasila?
1.2.3 Bagaimana upaya yang efektif dan efisien untuk mencegah ancaman paham dan
ideologi lain terhadap demokrasi pancasila?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Mengetahui bentuk ancaman oleh gerakan radikal yang mengancam demokrasi
pancasila.
1.3.2 Mengetahui bentuk ancaman oleh paham komunisme yang mengancam
demokrasi pancasila.
1.3.3 Mengetahui dan memahami upaya yang efektif dan efisien untuk mencegah
ancaman paham dan ideologi lain terhadap demokrasi pancasila.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Teori
Indonesia merupakan satu-satunya negara hukum yang menggunakan
demokrasi pancasila dalam menjalankan pemerintahannya. Menurut Alfan Biroli
(dalam Iswanty , 2012:390), hukum merupakan salah satu bidang yang keberadaannya
sangat essensial sifatnya untuk menjamin kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Indonesia merupakan negara hukum, itu berarti setiap kegiatan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara harus didasari oleh hukum-hukum yang ada dan berlaku.
Semua hukum-hukum yang berlaku di Indonesia harus berlandaskan pancasila
sebagai dasar hukumnya. Dikutip dari Trianto dan Titik (2007:41-42), Pancasila yang
berarti lima dasar atau lima sila, adalah nama dasar negara Republik Indonesia, yang
secara yuridis-konstitusional dipergunakan sebagai dasar untuk mengatur atau
menyelenggarakan pemerintah negara. Istilah ‘sila’ sendiri dapat diartikan sebagai
aturan yang melatarbelakangi perilaku seseorang atau bangsa; kelakuan atau perbuatan
yang menurut adab (sopan-santun); dasar; adab; akhlak; atau moral.
Trianto dan Titik (2007:41) di bukunya yang berjudul Falsafah Negara dan
Pendidikan Kewarganegaraan juga menjelaskan bahwa pancasila yang sekarang
menjadi dara dan falsafah negara, pandangan hidup, dan jiwa bangsa merupakan
kebudayaan bangsa Indonesia yang telah menjadi sistem nilai selama berabad-abad.
Mengenai kedudukan pancasila, menurut Notonagaro, bahwa di antara unsur-unsur
pokok kaidah negara yang fundamental, asas kerohanian Pancasila mempunyai
kedudukan istimewa dalam hidup kenegaraan dan hukum bangsa Indonesia. Fungsi
pokok pancasila adalah sebagai dasar negara, sesuai dengan pembukaan UUD 1945,
dan yang hakikatnya adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber
tertib hukum.
Dijelaskan dalam Jurnal Hukumnya, Wibowo (2012) menjabarkan beberapa
pengertian hukum dari beberapa ahli huum di Indonesia, salah satunya S.M. Amin.
Beliau menjelaskan bahwa hukum merupakan kumpulan peraturan-peraturan yang
terdiri dari norma dan sanksi-sanksi, serta tujuan hukum itu adalah mengadakan
ketertiban daam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban senantiasa
terpelihara. Unsur-unsur hukum itu sendiri merupakan peraturan mengenai tingkah laku

3
manusia, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwenang. Hukum atau peraturan-
peraturan tersebut memiliki sifat memaksa, sehingga akan ada sanksi khusus bagi
pelanggar hukum guna menimbulkan efek jera.
Dalam kutipan buku Kemendikbud. (2017:147) dengan judul Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (dalam Hornby dkk, 1988) “The Advanced Learner’s
Dictionary of Current English” dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan democracy
adalah:
(1) country with principles of government in which all adult citizens share
through their elected representatives; (2) country with government which
encourages and allows rights of citizenship such as freedom of speech, religion,
opinion, and association, the assertion of rule of law, majority rule,
accompanied by respect for the rights of minorities. (3) society in which there
is treatment of each other by citizens as equals

Kutipan di atas merujuk pada konsep kehidupan negara atau masyarakat dimana
warga negara dewasa turut berartisipasi dalam pemerintahan wakilnya yang dipilih;
pemerintahannya mendorong dan menjamin kemerdekaan berbicara, beragama,
berpendapat, berserikat, menegakkan “rule of law”, adanya pemerintahan mayoritas
yang menghormati hak-hak kelompok minoritas; dan masyarakat yang warga
negaranya saling memberi perlakuan yang sama.

Secara etimologis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yakni “demos”
dan “kratein”. Pengertian tersebut pada dasarnya merujuk kepada ucapan Abraham
Lincoln mantan Presiden Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa “demokrasi adalah
suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” atau “the government
from the people, by the people, and for the people”. Karena “people” yang menjadi
pusatnya, demokrasi oleh Pabottinggi (2002) disikapi sebagai pemerintahan yang
memiliki paradigma “otocentricity” atau otosentrisitas yakni rakyatlah (people) yang
harus menjadi kriteria dasar demokrasi.

Muntoha (2009:379) menegaskan bahwa Demokrasi dan negara hukum adalah


dua konsepsi mekanisme kekuasan dalam menjalankan roda pemerintahan negara.
Kedua konsepsi tersebut saling berkaitan yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan,
karena pada satu sisi demokrasi memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan
berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia, pada sisi yang lain negara

4
hukum memberikan patokan bahwa yang memerintah dalam suatu negara bukanlah
manusia, tetapi hukum. Dalam tataran praksis, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat
dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga
setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar
mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Sedangkan dalam negara yang
berdasarkan atas hukum, dalam hal ini hukum harus dimaknai sebagai kesatuan hirarkis
tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam
suatu negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi,
di samping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan
pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.

Secara historis, gagasan tentang konsepsi negara hukum terus bergulir sejalan
dengan arus perkembangan sejarah. Mulai dari konsepsi negara hukum liberal
(nachwachter staat/negara sebagai penjaga malam) ke negara hukum formal (formele
rechtsstaat) kemudian menjadi negara hukum materiil (materiele rechtsstaat) hingga
pada ide negara kemakmuran (welvarstaat) atau negara yang mengabdi kepada
kepentingan umum (social service state atau sociale verzorgingsstaat). 15 Negara
hukum liberal atau yang sering disebut sebagai negara hukum dalam arti sempit adalah
konsepsi yang diberikan oleh Immanuel Kant (1724 – 1804 SM), yang kemunculannya
bersamaan dengan lahirnya paham liberalisme yang menentang kekuasaan absolut dari
para raja pada masa itu.16 Menurut paham liberalisme negara justru harus melepaskan
dirinya dari campur tangan urusan kepentingan rakyatnya, yang berarti sikap negara
harus pasif (staatsonthouding) (Muntoha, 2009:384).

Hal ini akan pengaruh pada bentuk negara dan pemerintahan yang kemudian
menjadi monarki konstitusional, yaitu adanya pembatasan kekuasaan raja oleh
konstitusi sebagai akibat dari perjanjian yang dilakukan dengan rakyatnya yang
menentukan kedua belah pihak dalam kedudukan yang sama. Oleh karena itu, tipe
negaranya pada masa itu adalah negara hukum liberal (nachwachterstaat). Dalam
negara hukum liberal ini ada jaminan bahwa setiap warga negara mempunyai
kedudukan hukum yang sama dan tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang oleh
penguasa. Maka, untuk mencapai tujuan ini, negara harus mengadakan pemisahan
kekuasaan yang masing-masing mempunyai kedudukan yang sama tinggi dan sama
rendah, tidak boleh saling mempengaruhi dan tidak boleh campur tangan satu sama lain

5
sehingga untuk dapat disebut sebagai negara hukum dalam tipe ini harus memiliki 2
(dua) unsur pokok, yaitu: (1) Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; dan (2)
Pemisahan kekuasaan dalam negara.

Pada konsepsi demokrasi, di dalamnya terkandung prinsip-prinsip kedaulatan


rakyat (democratie) sedangkan di dalam konsepsi negara hukum terkandung prinsip-
prinsip negara hukum (nomocratie), yang masing-masing prinsip dari kedua konsepsi
tersebut dijalankan secara beriringan sebagai dua sisi dari satu mata uang. Paham negara
hukum yang demikian dikenal dengan sebutan “negara hukum yang demokratis”
(democratische rechtsstaat) atau dalam bentuk konstitusional disebut constitutional
democracy. Disebut sebagai “negara hukum yang demokratis”, karena di dalamnya
mengakomodasikan prinsip-prinsip negara hukum, yaitu :

1) Asas legalitas, pembatasan kebebasan warga negara (oleh pemerintah) harus


ditemukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan peraturan umum.
Kemauan undang-undang itu harus memberikan jaminan (terhadap warga negara)
dari tindakan (pemerintah) yang sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai jenis
tindakan yang tidak benar, pelaksanaan wewenang oleh organ pemerintah harus
dikembalikan dasarnya pada undang-undang tertulis, yakni undang-undang formal
2) Perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM)
3) Keterikatan pemerintah pada hukum
4) Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum

5) Pengawasan oleh hakim yang merdeka dalam hal organ-organ pemerintah


melaksanakan dan menegakkan aturan-aturan hukum.

Oleh karena itu, negara hukum itu harus ditopang dengan sistem demokrasi
karena terdapat korelasi yang jelas antara negara hukum yang bertumpu pada konstitusi,
dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Dalam sistem
demokrasi partisipasi rakyat merupakan esensi dari sistem ini. Akan tetapi, demokrasi
tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sementara hukum tanpa
demokrasi akan kehilangan makna. Menurut Frans Magnis Suseno, demokrasi yang
bukan negara hukum bukan demokrasi dalam arti yang sesungguhnya. Demokrasi
merupakan cara yang paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum.

6
Mengawali pandangannya tentang negara hukum Indonesia, Azhari
beranggapan bahwa konsep negara hukum Indonesia berbeda dengan konsep negara
hukum yang dianut oleh kelompok Anglo Saxon dan Eropa Kontinental. Karena pada
kedua kelompok tersebut konsep negara hukum didasarkan pada paham liberal
individualistis, sedangkan negara hukum Indonesia didasarkan pada pandangan
hidupnya sendiri yaitu Pancasila. Perbedaan lainnya terletak pada masalah kedudukan
individu terhadap masyarakat dan hak serta kewajiban individu terhadap masyarakat.
Dalam konsep negara hukum Anglo Saxon dan Eropa Kontinental diberikan porsi
kebebasan individu sangat besar, sedangkan di Indonesia berdasarkan pandangan hidup
dan latar belakang sejarah maka peranan negara cukup besar terhadap kepentingan
rakyatnya. Lewat fakta tersebut juga, menurut Azhari, konsep negara hukum Indonesia
dirumuskan sebagai negara kesejahteraan.

Keinginan untuk mencapai suatu penyelenggaraan kehidupan negara dan


kesejahteraan sosial yang baik, maka ditetapkanlah UUD 1945 sebagai landasan
konstitusional tertinggi yang berisikan aturan‐ aturan pokok atau memuat garis‐garis
besarnya saja. Dengan kata lain UUD 1945 dijadikan sebagai landasan hukum yang
berfungsi dalam menegakkan kehidupan yang demokratis, yang berkeadilan sosial dan
yang berperikemanusiaan. Dengan demikian Azhari pendapat bahwa rumusan negara
hukum Indonesia adalah sebagai negara di mana keadaan kehidupan berkelompok
bangsa yang didapat berdasarkan atas rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong
oleh keinginan luhur untuk suatu kehidupan bangsa yang bebas berdasarkan ketertiban
dan kesejahteraan sosial. Rumusan tersebut menurutnya secara formal telah dituangkan
dalam UUD 1945 (Sayuti, 2011:95).

Dalam hal aparat penegak hukumnya, dapatlah kita katakan bahwa di Indonesia
hubungan antara negara dan badan-badan penegak hukum terjadi monopoli atas
kekerasan yang memang dibenarkan oleh negara. Memang pada umumnya aparat
penegak hukum dengan segala institusinya adalah menjaga ketertiban dan kedaulatan
negara Indonesia. Persenyawaan ini semakin menggelinding ketika negara sangat
tergantung kepada keahlian dan ketaatan mereka para penegak hukum terhadap tugas
yang diembannya. Dan kenyataan yang demikianlah maka kontrol masyarakat tidak
berdaya (berada pada posisi fatalisme “sub-human”) (Utsman, 2013 : 252). Masyarakat

7
hanya akan taat dan tunduk terhadap perlakuan hukum yang ada, biar bagaimanapun
unsur kekuasaan akan berpengaruh terhadap dominasi dalam struktur hukum.

Dikutip dari bukunya Dr. Victor Silaen (2012:1) mengatakan bahwa makna
demokrasi secara harfiah “pemerintah oleh, dari dan untuk rakyat”. Istilah demokrasi
pertama kali diciptakan oleh sejarahwan Yunani, Herodatus, pada abad ke-5 sebelum
masehi (SM). Herodotus tercatat sebagai pemikir yang mula-mula mengajukan
pertanyaan tentang “berapa banyak orang yang memiliki kekuasaan tertinggi di suatu
negara?” ia menjawabnya sendiri, yakni pada “satu, beberapa, atau banyak orang”.
Berdasarkan itu masing-masing sistemnya disebut sebagai “monarki, aristokras, dan
demokrasi” (Lipson, 1964). Herodotus lalu mengemukakan tiga prinsip penting dalam
demokrasi: kesetaraan dalam hukum, partisipasi warga negara dalam pembuatan hukum,
dan kebebasan berbicara.

Dalam bukunya Dr. Victor Silaen (2012:19) mengungkapkan bahwa Tahapan


Demokratisasi di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945
dicetuskan, bangsa Indonesia segera memasuki periode perjuangan revolusioner demi
mempertahankan eksistensi negara dari penjajah Belanda yang ingin kembali
menguasai Indonesia dengan berbagai cara. Pada masa itu sistem pemerintahan
berbentuk kabinet presidensial. Namun UUD 45, sebagai konstitusi negara, belum bisa
dijalankan, disebabkan konsentrasi pemerintah yang banyak tercurah kepada upaya-
upaya mempertahankan kemerdekaan itu. Saat itu dapat dikatakan bahwa sebenarnya
benih-benih demokrasi sudah mulai bertumbuh di dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Akan tetapi kondisi sosial, ekonomi, dan pendidikan masyarakat yang
dibutuhkan demi mendukung demokratisasi itu relatif tidak mendukung. Tahapan
demokrasi parlementer (1950-1959), disahkanlah UUD sementara 1950 sebagai
pengganti UUD 1945 RIS. Dengan konstitusi tersebut, Indonesia pun memasuki era
yang disebut liberal. Sejak itulah, sampai dengan 1959, Indonesia seolah bereksperimen
dengan sistem politik demokrasi liberal atau biasa disebut juga demokrasi parlementer.
Lembaga parlementer dapat menjatuhkan kabinet melalui mosi tidak percaya. Selama
periode ini terjadi juga gerakan-gerakan kekerasan dan bersenjata. Terdapat pula
gejolak-gejolak kedaerahan dan separatisme.

Tahapan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) pemilihan umum 1955 ternyata


tidak membuahkan stabilitas sebagaimana yang diharapkan. Situasi politik bahkan

8
semakin kacau. Kehidupan politik nasional pada periode ini ditandai dengan kedudukan
presiden yang semakin kuat, sesuai ketentuan UUD 45 (Dr. Victor Silaen , 2012:22).
Akhirnya puncak kemelut pun terjadi, dengan meletusnya peristiwa berdarah yang
terkenal dengan sebutan G30S-PKI (Gerakan 30 September – Partai Komunis
Indonesia). Dikutip dari buku Trianto dan Titik (2007:247-248) juga menjelaskan
bahwa terjadi beberapa penyimpangan dalam pelaksanaan demokrasi antara lain:
presiden membentuk MPRS DAN DPAS dengan penpres Nomor 2 tahun 1955 yang
bertentangan sistem pemerintahan presidentil sebagaima dalam UUD 1945, Penentuan
masa jabatan presiden seumur hidup, Berdirinya Partai Komunis Indonesia yang
berhaluan ateisme, hal ini bertentangan dengan falsafah bangsa Indonesia yang
tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yang pada sila pertama yang menyebutkan
‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ artinya bahwa bangsa Indonesia harus mengakui adanya
Tuhan.

Tahapan Demokrasi Pancasila (1966-1998) berakhirnya era Soekarno, yang


kelak disebut Orde lama itu, ditandai dengan ditetapkannya tekad untuk melaksanakan
kemurnian cita-cita pancasila dan UUD 45. Untuk tujuan itu dikeluarkan Tap MPRS
No. XX/MPRS/1966 mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan
Perundangan RI. Inilah titik pangkal dimulainya era Orde Baru, yang merupakan
koreksi atas segala penyimpangan yang pernah terjadi di sepanjang Orde lama (Dr.
Victor Silaen , 2012:23).

Dikutip dari buku Trianto dan Titik (2007:248-250) menjelaskan bahwa


menyikapi kondisi ketatanegaraan yang semrawut demikian, memunculkan tuntutan
rakyat yang dikenal dengan Tritura (tiga tuntutan rakya) yaitu: pelaksanaan kembali
secara murni dan konsekuen UUD 1945, Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan
Penurunan harga barang. Prinsip demokrasi pancasila tersebut adalah, bahwa hakikat
musyawarah untuk mufakat. Untuk mencapai keputusan berdasarkan mufakat yang
dimaksudkan untuk dilaksanakan secara jujur dan bertanggung jawab. Dengan kata lain
selama kurun waktu 1966-1998 telah melahirkan hukum yang deskriminatif, sementara
KKN terus mewarnai kehidupan dalam bernegara. Hukum dimanipulasi menjadi hamba
sahaya segelintir penguasa dan pengusaha, pemanipulasian ini terjadi karena, presiden
Soeharto menguasai nyaris semua kekuasaan negara. Persoalan utama dari negara
hukum Indonesia terletak pada aturan dasar negara yaitu UUD 1945. Melihat situasi

9
yang dirasakan semakin menjadi dengan hegemoni rezim tersebut memompa semangat
kaum reformis untuk bangkit, sehingga menghasilkan pelengseran.

Tahapan Demokrasi Reformasi (sejak 1998) dalam rangka menggulirkan


demokratitasi di berbagai aspek dan sistem kehidupan, kiranya perlu disusun pelbagai
agenda penting yang operasionalisasinya harus direncanakan secara taktis-strategis,
Beberapa agenda berikut kiranya perlu diperhatikan. Pertama demokrasi bukanlah
persoalan sistematik, struktural, dan prosedural belaka, maka sangatlah diperlukan
untuk ditumbuhkembangkan secara terarah, dengan orientasi yang modernis. Kedua,
beberapa sistem kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, terutama hukum,
ekonomi, dan politik perlu di reformasi sesuai tuntunan zaman yang modernis-
demokratis. Untuk mendukung terwujudnya hal itu, prinsip Trias Politica harus betul-
betul diberlakukan secara ketat. Bukan seperti dulu: Trias politica berjalan dengan
praktik rangkap-merangkap jabatan antarlembaga negara. Sebab sesungguhnya benih-
benih demokrasi itu sudah ada sejak dulu. Hanya saja ia perlu dimatangkan melalui
pelbagai pengalaman pahit yang di sana-sini ditandai dengan konflik dan kekerasan (Dr.
Victor Silaen , 2012:27).

Trianto dan Titik (2007:250-253) juga mengungkapkan perkembangan dan


pelaksanaan demokrasi masa pasca amandemen UUD 1945 yaitu: 1) Transisi menuju
Demokrasi, Perubahan Indonesia menuju demokrasi jelas sangat dramatis, Indonesia
mengalami liberalisasi politik dan demokrasi. Tetapi, pada saat yang sama pertumbuhan
demokrasi atau transisi Indonesia secara damai menuju demokrasi, juga menimbulkan
banyak kegamangan dan kecemasan. Keadaan demikian berimbas pada keberadaan
presiden yang nilai MPR hasil pemilu 199 ‘tidak berhasil’. 2) Demokrasi Pasca
amandemen ke empat UUD 1945, mewujudkan amanat reformasi perlu adanya
pembenahan dan penataan kembali terhadap sistem ketatanegaraan dan pemerintahan
negara. Hasil amandemen konstitusi mempertegaskan deklarasi negara hukum, dari
semula hanya ada di dalam penjelasan, menjadi bagian dari batang tubuh UUD 1945.
Konsep pemisahan kekuasaan ditegaskan. MPR tidak lagi mempunyai kekuasaan yang
tak terbatas. Presiden tidak lagi memegang kekuasaan membentuk undang-undang,
tetapi hanya berhak mengajukan dan membahas RUU.

Indonesia merupakan satu-satunya negara hukum yang menggunakan


demokrasi pancasila dalam menjalankan pemerintahannya. Menurut Trianto dan Titik

10
(2007:219), demokrasi secara harfiah identik dengan makna kedaulatan rakyat yang
berarti pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah (pemerintahan
rakyat). Sedangkan jika ditinjau dari segi bahasa, demokrasi terdiri dari dua kata yang
berasal dari bahasa Yunani, yaitu “demos” yang berarti rakyat dan “cratein” atau “cratos”
yang berarti kekuasaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa demokrasi secara bahasa
berarti keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di
tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat
berkuasa, pemerintahan dan kekuasaan oleh rakyat.

Berdasarkan pengertian di atas, demokrasi yang merupakan dasar hidup


bermasyarakat dan bernegara memiliki makna bahwa rakyat sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi memiliki tugas memberikan ketentuan atas masalah-masalah
mengenai kehidupannya, misalnya kebijakan negara, karena kebijakan yang akan
ditentukan itu akan menentukan kehidupan rakyat. Negara yang menggunakan sistem
demokrasi merupakan negara yang dijalankan atas kehendak dan kemauan rakyat.

Dikutip dari Trianto dan Titik dalam bukunya Falsafah Negara dan Pendidikan
Kewarganegaraan (2007:221-222), mengatakan bahwa kekuasaan di tangan rakyat
mengandung tiga pengertian, yaitu: Pemerintahan dari rakyat (government of the
people); Pemerintahan oleh rakyat (government by people); dan Pemerintahan untuk
rakyat (government for people).

Dalam bukunya, Trianto dan Titik (2007:223-224) juga mengatakan bahwa


setidaknya terdapat tiga nilai ideal atau ciri-ciri yang mendukung demokrasi sebagai
suatu gagasan kehidupan, yaitu kemerdekaan (freedom), persamaan (equality), dan
keadilan (justice). Ketiga nilai ideal atau ciri-ciri tersebut dapat juga disebut sebagai
standar baku. Dengan standar baku tersebut, maka penegakan hukum dan perlindungan
hak asasi manusia otomatis juga menjadi bagian dari demokrasi, karena penegakan
hukum dan perlindungan hak asasi manusia dibutuhkan untuk mencapai persamaan hak
dan kewajiban warga negara serta untuk menjamin kelangsungan kebebasan warga
negara dalam melaksanakan kewajiban dan memperoleh hak yang dimilikinya.

Dikutip dari Dwi Sulisworo bukunya bahan ajar yang berjudul “Demokrasi”
(2007:250-253) juga menjelaskan bahwa syarat-syarat negara demokrasi adalah 1)
Perlindungan secara konstitusional atas hak-hak warga negara berarti hak-hak warga

11
negara itu dilindungi oleh konstitusi atau Undang Undang Dasar, 2) Badan kehakiman
atau peradilan yang bebas dan tidak memihak artinya badan atau lembaga itu tidak dapat
dicampurtangani oleh lembaga manapun, termasuk pemerintah, serta bertindak adil. 3)
Pemilihan umum yang bebas artinya pemilihan umum yang dilakukan sesuai dengan
hati nurani, tanpa tekanan atau paksaan dari pihak manapun Kebebasan untuk
menyatakan pendapat adalah kebebasan warga negara untuk menyatakan pendapatnya
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik secara lisan maupun tulisan. 4)
Kebebasan beroposisi adalah kebebasan untuk mengambil posisi di luar pemerintahan
serta melakukan kontrol atau kritik terhadap kebijakan pemerintah. 5) Pendidikan
kewarganegaraan dimaksudkan agar warga negara menyadari hak dan kewajibannya
sebagai warga negara, serta mampu menunjukkan partisipasinya dalam kehidupan
bernegara. Keenam syarat tersebut harus terpenuhi dalam suatu pemerintahan yang
demokratis. Jika tidak, apalagi terdapat praktik-praktik yang bertentangan dengan
keenam prinsip tersebut, maka sistem pemerintahan itu kurang layak disebut
pemerintahan yang demokratis.

Trianto dan Titik (2007:250-253) menjelaskan juga berkaitan unsur-unsur


demokrasi yaitu Ahli Robert A. Dahl, menyebut adanya delapan unsur demokrasi yaitu:
a) Kebebasan membentuk dan kerja sama organisasi; b) Kebebasan berekspresi; c) Hak
memilih; d) Diperkenankan adanya jabatan publik; e) Hak pemimpin politik untuk turut
serta untuk mendukung dan pemungutan suara; f) sumber-sumber alternatif informasi;
g) pilihan bebas dan adil; h) lembaga-lembaga pembuat keputusan pemerintah
bertanggung jawab pemilih dan ekspresi pilihan.

Adanya prinsip-prinsip demokrasi yang berlaku universal Maksudnya adalah


keberhasilan suatu negara dalam menerapkan demokrasi dapat diukur berdasarkan
prinsip-prinsip tertentu. Tolok ukur tersebut juga dapat digunakan untuk menilai
keberhasilan pelaksanaan demokrasi di negara lainnya. Menurut Inu Kencana Syafi ie,
prinsip-prinsip demokrasi yang berlaku universal yang sebagai sistem politik antara lain:
a.) Adanya pembagian kekuasaan; b.) Pemilihan umum yang bebas; c.) Manajemen
yang terbuka; d.) Kebebasan individu Dalam demokrasi; e.) Peradilan yang bebas; f.)
Pengakuan hak minoritas Setiap negara memiliki keanekaragaman masyarakat; g.)
Pemerintahan yang berdasarkan hukum Dalam kehidupan bernegara, hukum memiliki
kedudukan tertinggi; h.) Supremasi hukum Penghormatan terhadap hukum harus

12
dikedepankan baik oleh pemerintah maupun rakyat; i.) Pers yang bebas Dalam sebuah
negara demokrasi; j.) Beberapa partai politik.

Prinsip Non-demokrasi (Kediktatoran): a.) Pemusatan kekuasaan Kekuasaan


legislatif, eksekutif dan yudikatif menjadi satu dan dipegang serta dijalankan oleh satu
lembaga; b) Pemerintahan tidak berdasarkan konstitusional Pemerintahan dijalankan
berdasarakan kekuasaan. Konstitusinya memberi kekuasaan yang besar pada negara
atau pemerintah; c.) Rule of Power Prinsip negara kekuasaan yang ditandai dengan
supremasi kekuasaan yang besar pada negara atau pemerintah; d.) Pembentukan
pemerintah tidak berdasarkan musyawarah tetapi melalui dekrit; e.) Pemilihan umum
yang tidak demokratis; f.) Manajemen dan kepemimpinan yang tertutup dan tidak
bertanggung jawab; g.) Tidak ada dan atau dibatasinya kebebasan berpendapat,
berbicara dan kebebasan pers; h.) Penyelesaian perpecahan atau perbedaan dengan cara
kekerasan dan penggunaan paksaan.; i.) Tidak ada perlindungan terhadap hak asasi
manusia bahkan sering terjadi pelanggaran hal asasi manusia; j.) Menekan dan tidak
mengakui hak-hak minoritas warga negara.

Demokrasi memiliki beberapa jenis dari demokrasi :

1. Demokrasi menurut cara aspirasi rakyat:

a. Demokrasi Langsung Merupakan sistem demokrasi yang memberikan


kesempatan kepada seluruh warga negaranya dalam permusyawaratan saat
menentukan arah kebijakan umum dari negara atau undang-undang.

b. Demokrasi Tidak Langsung Merupakan sistem demokrasi yang dijalankan


menggunakan sistem perwakilan.

2. Demokrasi Berdasarkan Prinsip Ideologi

a. Demokrasi Liberal Merupakan Kebebasan individu yang lebih ditekankan dan


mengabaikan kepentingan umum

b. Demokrasi Rakyat Merupakan demokrasi yang didasarkan pada paham


sosialisme dan komunisme dan lebih mengutamakan kepentingan umum atau
negara.

13
c. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang ada di Indonesia
bersumberkan pada nilai-nilai sosial budaya bangsa serta berazaskan
musyawarah mufakat dengan memprioritaskan kepentingan seluruh masyarakat
atau warga negara. Demokrasi pancasila fokus pada kepentingan dan aspirasi
serta hati nurani rakyat. Sampai saat ini Indonesia menganut demokrasi
pancasila yang bersumber pada falsafah pancasila.

Ciri yang menggambarkan suatu pemerintahan didasarkan oleh sistem


demokrasi seperti: a.) Pemerintahan didasarkan kehendak dan kepentingan semua
rakyat. b.) Ciri konstitusional ialah hal yang berhubungan denag kepentingan, kehendak
atau kemauan atau kekuasaan rakyat yang dituliskan dalam konstitusi dan undang-
undang negara tersebut. c.) Ciri perwakilan yakni dalam mengatur negaranya
kedaulatan rakyat akan diwakilkan oleh beberapa orang yang sudah dipilih oleh rakyat
itu sendiri. d.) Ciri pemilihan umum yakni sebuah kegiatan politik yang dilaksanakan
untuk memilih pihak dalam pemerintahan. e.) Ciri kepartaian yakni partai akan menjadi
media atau sarana untuk menjadi bagian dalam melaksanakan sistem demokrasi. f.) Ciri
kekuasaan ialah adanya pembagian dan pemisah kekuasaan. g.) Ciri tanggung jawab
ialah adanya tanggung jawab dari pihal yang sudah dipilih untuk ikut dalam pelaksaan
suatu sistem demokrasi ( Dr. I Putu Ari Astawa, S.Pt, 2017:5-8).

2.2 Isu Kontekstual


Indonesia saat ini sedang menghadapi beberapa persoalan yang berhubungan
dengan ancaman terhadap demokrasi pancasila. Contohnya adalah komunisme dan
radikalisme. Beberapa kasus yang berkenaan dengan kedua ancaman tersebut bahkan
sempat menjadi topik yang sempat menjadi perbincangan nasional.
Kasus pertama berkaitan dengan komunisme yang sempat membuat keresahan
bagi rakyat Indonesia, yaitu dari artikel yang berjudul “Kejam, Begini Cara PKI Bantai
Ribuan Tokoh dan Ulama di Madiun” sebagai berikut:
Madiun - Monumen Kresek menjadi saksi bisu kekejaman Partai
Komunis Indonesia (PKI) saat membantai sejumlah tokoh dan ulama di Madiun.
Kekejamannya pun telah melegenda.

14
Gambaran kekejaman PKI tersebut dapat dilihat di sejumlah relief yang
ada di seputaran monumen. Tak jarang pengunjung merasa miris dan tidak tega
untuk melihatnya.
"Ngeri sekali ini gambar reliefnya. Banyak korban dibunuh secara
kejam. Diikat tangan dan kaki, diseret, serem," ujar salah satu pengunjung, Nia
(25) kepada detikcom, Rabu (3/10/2018).
Nia sendiri mengaku datang ke monumen ini karena penasaran dengan
cerita kekejaman PKI. Ia berharap dengan datang ke monumen itu, maka ia
bisa menyampaikan cerita itu kepada anak cucunya kelak.
"Saat kejadian saya memang belum lahir, tapi saya akan menceritakan
ke anak cucu saya kelak tentang kekejaman PKI dalam sejarah," paparnya.
Dikisahkan salah satu pengelola Monumen Kresek, Heri Purwadi,
dalam sejarahnya, mereka yang menjadi korban kekejaman PKI, baik dari
tokoh ulama maupun santri dibunuh secara keji, dicambuk, disayat dengan
pisau, bahkan juga ada yang dikubur hidup-hidup.
"Kalau mendengar ceritanya sangat miris. Ini patung yang paling besar
menggambarkan bagaimana PKI mengacungkan celurit ingin membantai
seorang ulama yang pasrah," jelasnya.
Ada pula relief yang menggambarkan seorang warga ditelanjangi dan
diseret dengan tangan kaki terikat. "Ada juga seorang kyai yang diikat, diseret,
kondisi telanjang. Ndak tega kalau membayangkan," tambahnya.
Tak tanggung-tanggung, korban pembantaian PKI kala itu mencapai
1.920 orang, padahal PKI hanya menduduki Madiun selama 13 hari saja,
terhitung sejak tanggal 18-30 September 1948.
"Sesuai data resmi dari Kodim Madiun yang kita buat referensi
pembuatan brosur bahwa PKI menguasai Madiun sejak 18 hingga 30
September 1948. Singkat namun ada ribuan korban yang berhasil dibinasakan
dengan kejam," ujar pengelola monumen lainnya, Tri Sugianto.
Pemberontakan kala itu dipimpin oleh Musso, tokoh komunis Indonesia
yang lama tinggal di Uni Soviet (kini Rusia).
"Dalam sejarahnya Musso menawarkan gagasan yang disebutnya jalan
baru untuk Republik Indonesia. Musso menghendaki satu partai kelas buruh
dengan memakai nama yang bersejarah, yakni PKI. Untuk itu harus dilakukan

15
fusi tiga partai yang beraliran Marxisme-Leninisme PKI ilegal, Partai Buruh
Indonesia (PBI), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). PKI hasil fusi ini akan
memimpin revolusi proletariat untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang
disebut Komite Front Nasional," terangnya.
Beruntung pemberontakan itu akhirnya berhasil ditumpas oleh pasukan
TNI pada tanggal 1 Oktober 1948. Musso sendiri berhasil ditangkap saat lari
ke Desa Kresek dengan mengepungnya dari berbagai penjuru.
Namun pria yang juga aktif sebagai pengelola Pokdarwis Desa Kresek
ini berharap pengunjung tidak takut dengan relief-relief tersebut. Sebab tujuan
pembuatan relief dan monumen ini adalah sebagai bentuk penghormatan
terhadap para korban.
Kasus kedua berkaitan dengan gerakan radikal yang hingga saat ini masih
menjadi sumber keresahan bagi rakyat Indonesia, yaitu dari artikel yang berjudul “Bom
Bunuh Diri Kampung Melayu, Ancaman Nyata ISIS di Indonesia” sebagai berikut:
Jakarta - Aksi keji kelompok radikal terjadi lagi di Indonesia. Dua buah
bom meledak di Kampung Melayu, Rabu (24/5) sekitar pukul 21:00 WIB. Selain
menewaskan kedua pelaku, bom bunuh diri tersebut juga mengakibatkan
korban jiwa para petugas kepolisian yang sedang berjaga. Tiga anggota
kepolisian tersebut adalah Bripda Taufan Tsunami, Bripda Imam Gilang,
Bripda Ridho Setyawan.
Aksi yang dilakukan pada saat Kapolri Jendral Pol Tito Karnavian
sedang mengadakan kunjungan ke Arab Saudi tersebut menjadikan polisi
sebagai target utama. Lokasi dan objek terminal Kampung Melayu bukan
menjadi prioritas dari kelompok tersebut; prioritas pertama adalah adanya
target, yaitu polisi.
Jenis bom yang digunakan cukup mematikan sehingga menimbulkan
beberapa korban jiwa. Pelaku yang lebih dari satu orang menunjukkan bahwa
aksi tersebut dilakukan secara teroganisir, bukan lone wolf terrorist. Aksi bom
ini diduga kuat dilakukan oleh kelompok radikal yang berafiliasi dengan ISIS.
Polisi yang dianggap sebagai thaghut oleh kelompok radikal ISIS,
bukan kali ini saja menjadi korban aksi teror. Aksi-aksi sebelumnya seperti
yang terjadi di Thamrin, Tangerang, dan Solo menunjukkan bahwa kelompok

16
radikal transnasional tersebut memang menjadikan polisi sebagai musuh
utama yang harus diperangi.
Momentum yang digunakan untuk melaksanakan aksi teror ini diduga
dipicu oleh aksi teror kelompok ISIS di Manchaster, Inggris (23/5). Selain itu
aksi teror bom bunuh diri dikatalisasi oleh aksi kelompok ISIS di Marawi,
Filipina. Dengan adanya aksi di Kampung Melayu, Jakarta, ISIS
menyampaikan pesan bahwa keberadaan mereka di Asia Tenggara cukup
serius.
Sejak terdesak di Irak dan Suriah, ISIS harus mulai membangun basis
kekuatan di tempat lain. Teori balon terjadi; penekanan di Irak dan Suriah
mengakibatkan pengembangan di tempat lain. Dalam hal ini diprediksi ISIS
akan membangun basisnya di Afganistan dan Asia Tenggara. Filipina dan
Indonesia adalah pilihan bagi kelompok ISIS sebagai basis di Asia Tenggara.
Kalompok Abu Sayaf di Mindanao, Filipina dan beberapa kelompok
radikal di Indonesia yang sudah menyatakan mendukung ISIS akan menjadi
basis kekuatan bagi pengembangan ISIS di Asia Tenggara. Aksi-aksi teror
lainnya bukan mustahil dalam waktu dekat akan menyusul terjadi di Indonesia.
Arus balik simpatisan ISIS dari Irak dan Suriah yang sudah terjadi akan
membuat sel-sel kompok radikal semakin banyak di Indonesia. Simpatisan ISIS
tersebut tentu sudah mempunyai pengetahuan, pengalaman, dan doktrin
ideologi yang kuat. Para simpatisan ISIS tersebut akan membuat sel tidur yang
sedang menunggu momentum untuk beraksi.
Kekuatan lain yang cukup mengkhawatirkan adalah kelompok radikal
lokal dan mantan narapidana kasus terorisme. Jika kelompok-kelompok
tersebut bersatu dan ada momentum yang mendukung maka aksi teror akan
dilakukan.
Sinyal Eksistensi dan Celah Kerawanan
ISIS sudah memberikan sinyal cukup kuat, bahwa mereka akan eksis di
Indonesia. Maka, Indonesia harus ekstra waspada. Banyak titik rawan yang
menjadi celah untuk memuluskan aksi teror. Kegaduhan politik dan polarisasi
identitas yang terjadi saat ini menjadi celah bagi kelompok radikal untuk
menjalankan aksinya.

17
Alih-alih menjadikan kelompok radikal sebagai musuh bersama,
beberapa pihak justru menganggap aksi teror adalah pengalihan isu dan
rekayasa. Hal ini justru membuat celah kerawanan semakin melebar. Kelompok
radikal yang seharusnya menjadi musuh bersama untuk dilawan, oleh sebagian
pihak justru dikaburkan eksistensinya.
Aksi teror tidak bisa hanya dihadapi oleh Polri, peran masyarakat
sangat diperlukan. Kelompok radikal akan bersembunyi di tengah-tengah
masyarakat, akan sangat sulit membedakan masyarakat biasa dengan
kelompok radikal. Masyarakat harus peduli terhadap interaksi sosial di
lingkungannya.
Dengan kekuatan sosial yang peduli dan waspada, maka masyarakat
sudah berperan penting dalam menutup celah masuknya kelompok radikal. Jika
masyarakat tidak mau peduli terhadap ancaman terorisme, bahkan
menganggap bahwa aksi teror adalah rekayasa dan pengalihan isu, maka
sebenarnya masyarakat sedang menciptakan celah kerawanan lebih besar bagi
masuknya kelompok radikal.
Ancaman ISIS terhadap Indonesia semakin nyata dan kuat. Dan, itu
harus dilawan, bukan malah dikaburkan dan dianggap sebagai rekayasa.

2.3 Analisis dan Pemecahan Masalah


Isu pertama yang dibahas pada bagian isu kontekstual adalah keberadaan
ideologi komunisme di Indonesia. Komunisme adalah paham anti-kapitalisme, dimana
pada negara penganut paham komunisme tidak mengakui hak-hak dan kepentingan
individu atau golongan, melainkan lebih menekankan kepada kepentingan umum atau
kepentingan bersama. Komunisme menekankan kepada kesetaraan individu sehingga
tidak ada kelas sosial dan kesenjangan sosial antara satu individu dengan individu
lainnya.
Dilihat dari penjelasan paham komunisme itu sendiri sudah dapat terlihat bahwa
paham komunisme melenceng dari nilai-nilai ideologi pancasila. Pada paham
komunisme, semua orang akan dianggap sama, sehingga tidak ada yang merasa lebih
unggul atau lebih rendah dan kembali lagi pada prinsip bahwa pemerintahlah yang
memegang kekuasaan secara utuh untuk mengatur setiap individu di dalam masyarakat.
Sedangkan pada pancasila, hak-hak individu sangat dihargai, serta menjunjung tinggi

18
Hak Asasi Manusia (HAM). Berikut adalah perbedaan paham komunisme dengan nilai-
nilai pancasila:
1. Sila pertama pancasila, yaitu ketuhanan Yang Maha Esa, menjamin hak dan
kebebasan setiap individu untuk memeluk agama, melakukan ibadah, serta
terdapat aturan untuk menghormati perbedaan agama atau kepercayaan yang
dianut oleh setiap individu. Sedangkan pada paham komunisme, agama itu
sendiri justru dianggap sebagai salah satu penyebab terciptanya kelas-kelas
sosial. Para penganut agama pada paham komunisme juga dianggap cenderung
lebih mengandalkan doa dibandingkan melakukan kerja, usaha, ataupun
tindakan untuk mencapai atau mendapatkan sesuatu.
2. Sila kedua pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, menempatkan
hak setiap warga negara pada kedudukan yang sama dalam hukum serta
memiliki kewajiban dan hak-hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan
undang-undang. Pancasila menginginkan kehidupan yang selaras, serasi, dan
seimbang antar individu, dimana artinya setiap individu diakui dan dianggap
bermakna bagi masyarakat. Sementara pada paham komunisme, kehidupan
masyarakat bersifat kolektif dan sepenuhnya dipimpin dan dikendalikan oleh
pemerintah yang berkuasa, sehingga setiap individu tidak bermakna.
3. Sila ketiga pancasila, yaitu persatuan Indonesia, mengamanatkan unsur
pemersatu antar warga negara dengan semangat rela berkorban dan
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau
golongan. Sedangkan komunisme tidak berlandaskan rasa semangat rela
berkorban setiap individunya.
4. Sila keempat pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dicerminkan, yang
dicerminkan dalam kehidupan dalam kehidupan pemerintahan, bernegara, dan
bermasyarakat yang demokratis. Pancasila menghargai hak setiap warga negara
untuk berpendapat dan bermusyawarah guna mencapai suatu mufakat yang
dilakukan tanpa ada tekanan, paksaan, ataupun intervensi yang membelenggu
hak-hak partisipasi masyarakat. Sedangkan komunisme memaksa individu
untuk tunduk pada aturan dan keputusan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah
yang berkuasa, sehingga individu tidak memiliki hak kebebasan berpendapat
dan bermusyawarah.

19
5. Sila kelima pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
mengakui hak-hak milik individu dan hak-hak umum. Sementara paham
komunis tidak mengakui adanya hak individu, memonopoli segala kegiatan
dalam kehidupan masyarakat. Atau dalam kata lain, dalam negara komunis,
semua individu wajib menyerahkan sumber daya dan alat-alat produksi untuk
dikuasai dan diatur oleh pemerintah.
Pada kasus yang sudah dijabarkan pada subbab sebelumnya, terdapat peristiwa
dimana Partai Komunis Indonesia (PKI) membantai ribuan tokoh dan ulama di Madiun
pada 18-30 September 1948. Pada artikel tersebut disebutkan bahwa para korban
disiksa dan dibunuh dengan cara yang sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan. Hal
tersebut tentu saja melanggar demokrasi pancasila. Demokrasi pancasila menggunakan
ideologi pancasila, yang mana seperti yang sudah diuraikan di atas, pancasila itu sendiri
melindungi hak warga negaranya untuk beribadah sesuai kepercayaannya masing-
masing (sila pertama), serta menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) (sila kedua).
Pada artikel tersebut juga disebutkan bahwa akhirnya pemberontakan PKI
tersebut dapat ditumpas oleh TNI pada 1 Oktober 1948. Menurut pendapat kami,
keberadaan PKI serta aksi-aksi pemberontakannya sangatlah meresahkan masyarakat
Indonesia. Beruntung, PKI telah dibubarkan pada tahun 1966 atas dasar Ketetapan
MPRS NO. XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan larangan untuk
menyebarkan dan/atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-
Leninisme dalam segala bentuk.
Di luar konteks isu tersebut, paham komunisme sangat bertolak belakang
dengan ideologi pancasila dan nilai-nilai demokrasi pancasila yang bersifat terbuka.
Selain Ketetapan MPRS NO. XXV Tahun 1966, ada pula UU No. 27 Tahun 1999 pasal
107a, 107b, 107d, dan 107e yang membahas tentang hukum pidana bagi siapapun yang
menyebarkan dan mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme akan
mendapatkan pidana paling lama 12-20 tahun.
Sebagai generasi muda yang dituntut untuk turut memiliki imunitas dan daya
tangkal yang kuat dalam menghadapi pengaruh paham komunisme, kita dapat
melakukan beberapa hal yaitu: 1) menanamkan jiwa nasionalisme dan kecintaan
terhadap NKRI, 2) memiliki wawasan pancasila dan kewarganegaraan yang kuat, 3)
dan selalu waspada terhadap provokasi dan hasutan orang lain untuk mengikuti paham
komunisme.

20
Pada isu kedua dijelaskan mengenai salah satu contoh isu kontekstual yang
berhubungan dengan radikalisme, yaitu bom bunuh diri di Kampung Melayu yang
mengindikasikan ancaman nyata ISIS di Indonesia. ISIS awalnya merupakan kekuatan
milisi nasional yang merasa tidak puas dengan pemerintahan setelah Saddam Hussein
yang dikuasai oleh kelompok Syiah. ISIS kemudian berkembang dan mulai memasuki
serta memberikan pengaruh terutama pada anak-anak muda di berbagai negara,
termasuk Indonesia.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) (2012:1)
mengenai pengertian radikalisme:
“Radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme. Radikalisme merupakan
suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner
dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan
(violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Ada beberapa ciri yang bisa dikenali
dari sikap dan paham radikal. 1) intoleran (tidak mau menghargai pendapat &
keyakinan orang lain), 2) fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap
orang lain salah), 3) eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya)
dan 4) revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk
mencapai tujuan)”
Dari paragraf tersebut terlihat jelas bahwa ideologi ISIS yang menganut paham
takfiri (sebutan bagi seorang Muslim yang menuduh Muslim lainnya atau kadang juga
mencakup penganut ajaran Agama Samawi lain sebagai kafir dan murtad (Wikipedia).
Serta perjuangan menegakkan khalifah Islam dengan kekerasan sangatlah bertentangan
dengan nilai-nilai pancasila, demokrasi pancasila, dan undang-undang dasar.
Radikalisme atau dalam kasus ini ISIS, melanggar UU No.15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menyebutkan: Setiap orang
yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang
menimbulkan situasi teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas harta benda orang
lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital
strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Gerakan
radikal yang dilakukan oleh ISIS/IS juga bertentangan dengan sila kedua pancasila yang
berbunyi ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’, dimana hak-hak individu dan Hak
Asasi Manusia (HAM) dilindungi oleh pancasila dan undang-undang.

21
Sebagai generasi muda yang dituntut untuk turut memiliki imunitas dan daya
tangkal yang kuat dalam menghadapi pengaruh ajakan radikal, kita dapat melakukan
beberapa hal yaitu: 1) menanamkan jiwa nasionalisme dan kecintaan terhadap NKRI,
2) memiliki wawasan keagamaan yang moderat, terbuka, dan toleran, 3) dan selalu
waspada terhadap provokasi, hasutan, dan pola rekrutmen teroris baik di lingkungan
masyarakat maupun di dunia maya.
Menurut pendapat kami, baik pemberontakan atau kekejaman yang dilakukan
oleh penganut komunisme maupun gerakan radikal yang dilakukan oleh ISIS di
Indonesia sungguh menyalahi nilai-nilai demokrasi pancasila dan makna pancasila itu
sendiri. Demokrasi pancasila seharusnya fokus pada kepentingan dan aspirasi serta hati
nurani rakyat, sedangkan paham komunisme dan gerakan radikal sama sekali tidak
memedulikan kepentingan, aspirasi, hak-hak, serta kebebasan rakyat sebagai individu
dan manusia.

22
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan
1. Bentuk ancaman oleh gerakan radikal yang mengancan demokrasi pancasila dalam
kasus yang dibahas pada makalah ini ialah terorisme, yaitu bom bunuh diri di Kampung
Melayu yang mengindikasikan ancaman nyata ISIS di Indonesia.
2. Bentuk ancaman oleh paham komunisme yang mengancam demokrasi pancasila dalam
kasus yang dibahas pada makalah ini ialah pembunuhan, yaitu Partai Komunis
Indonesia (PKI) membantai ribuan tokoh dan ulama di Madiun pada 18-30 September
1948.
3. Upaya yang efektif dan efisien unuk mencegah ancaman paham dan ideologi lain
terhadap demokrasi pancasila ialah menanamkan jiwa nasionalisme dan kecintaan
terhadap NKRI, memiliki wawasan pancasila dan kewarganegaraan yang kuat, dan
selalu waspada terhadap provokasi dan hasutan orang lain untuk mengikuti paham
komunisme dan radikalisme.

3.2 Saran
Sebagai generasi muda dalam menghadapi berbagai ancaman di Indonesia, terutama
terkait masalah Demokrasi Pancasila, dibutuhkan masyarakat yang memiliki imunitas
dan daya tangkal yang kuat dalam menghadapi pengaruh ajakan radikal dan komunis
tersebut. Hal tersebut dapat dilakukan seperti memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi
dan rasa cinta terhadap NKRI. Berfikiran terbuka dan holistik dalam menanggapi dan
menyelesaikan persoalan dan memiliki sikap waspada terhadap tindakan-tindakan
provokasi baik itu secara langsung maupun secara tidak langsung.

23
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Kemendikbud. 2017. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Cetakan ke-2. Jakarta:


Kemendikbud.

Trianto dan Tutik, Triwulan. 2007. Falsafah Negara & Pendidikan Kewarganegaraan.
Jakarta:Prestasi Pustaka Publisher.

Silaen, Dr. Victor. 2012. Prospek Demokrasi di Negara Pancasila. Jakarta: Permata Aksara.

Jurnal/Artikel/Makalah

Astawa, Dr. I Putu Ari, S.Pt, MP. 2017. Demokrasi Indonesia. Bali: Universitas Udayana

Biroli, Alfan. n.d. Problematika Penegakan Hukum Di Indonesia (Kajian Dengan Perspektif
Sosiologi Hukum). Madura: Prodi Sosiologi FISIB Universitas Trunojoyo Madura.

Montoha. 2009. Demokrasi dan Negara Hukum. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia. Yogyakarta

Sayuti. 2011. Konsep Rechtsstaat dalam Negara Hukum Indonesia (Kajian terhadap Pendapat
Azhari). Jurnal Kajian Ekonomi Islam dan Kemasyarakatan: 95-101.

Iswanty, Muji. 2012. Pertanggungjawaban Medis Terhadap Terjadinya Abortus Provokatus


Criminalis (Tinjauan Hukum Kesehatan dan Psikologi Hukum). FH Universitas
Hasanuddin, Vol. 1, No 3.
Utsman, Sabian. 2013. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Internet

Tunardy, Wibowo T. , S.H., M.Kn. 2012. Pengertian Hukum. Diperoleh dari situs,
https://www.jurnalhukum.com/pengertian-hukum/ Dipublikasi 10 Mei 2012.

24
LAMPIRAN

25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
ISU PERTAMA

39
40
ISU KEDUA

41
42
43

Anda mungkin juga menyukai