Tehnik Icsi
Tehnik Icsi
PENDAHULUAN
1
Dewasa ini, teknik ICSI telah banyak diaplikasikan pada manusia dengan
berbagai capaian keberhasilan yang menggembirakan. Sumber spermatozoa yang
digunakan dalam teknik ICSI sangat beragam bahkan spermatozoa yang
immotilpun dapat digunakan untuk menghasilkan kehamilan. Hal ini merupakan
kelebihan yang dimiliki teknik ICSI dibanding teknik fertilisasi bantuan yang lain.
Teknik ICSI merupakan teknik manipulasi pembuahan secara in vitro
yang menyalahi aturan pembuahan alami sehingga potensi hambatan fertilisasi yang
dibawa oleh spermatozoa sangat besar. Hal ini disebabkan oleh hilangnya
kesempatan bagi spermatozoa untuk melangsungkan proses pendewasaan secara
alamiah seperti kapasitasi dan reaksi akrosom. Namun demikian, dalam
perkembangannya kedua peristiwa tersebut telah dapat dilakukan secara in vitro
sehingga spermatozoa yang diinjeksikan mampu melangsungkan proses fertilisasi
(Saili et al, 2005).
Injeksi sperma intrasitoplasmik, meski sementara efektif untuk mengatasi
rendahnya atau tidak adanya fertilisasi dengan parameter semen, saat ini sering
digunakan bersamaan dengan teknologi reproduksi berbantu untuk etiologi
infertilitas lain dengan parameter semen yang normal. Pendapat komite ini
menyajikan tinjauan kritis dari literatur untuk mengidentifikasi keadaan ini
sebagai keadaan yang menguntungkan atau tidak (Pollack, 2002).
2
BAB II
ISI
3
yang diejakulasikan), asthenozoospermia (hilangnya atau terjadinya penurunan
motilitas spermatozoa), teratozoospermia (suatu kondisi dimana terdapat
spermatozoa dengan bentuk tidak normal dalam semen) atau karena kombinasi
diantaranya (Saili et al, 2005).
Cohen et al.(1994) mengemukakan bahwa pasangan yang gagal
memperoleh pembuahan setelah IVF, maka peluang terjadinya pembuahan jika
IVF dilakukan untuk kedua kalinya kurang dari 25%. Pada penelitian yang lain,
Palermo et al. (1993) melaporkan tngkat kehamilan yang tinggi (40%) ketika
melakukan ICSI pada 38 pasangan yang telah gagal totaldengan IVF. Hasil ini
memperlihatkan bahwa ICSI mampu menolong pasien yang telah gagal dengan
IVF (Saili et al, 2005).
ICSI sebagai suatu teknik yang memungkinkan seseorang untuk
memasukkan spermatozoon ke dalam sel telur untuk tujuan fertilisasi dengan
bantuan alat mikromanipular telah mampu meningkatkan angka fertilisasi
spermatozoa yang berasal dari pria infertil. Kelebihan utama teknik ini adalah
dapat menggunakan spermatozoa tanpa mempertimbangkan motilitasnya yang
merupakan syarat mutlak pada IVF (Saili et al, 2005).
Pelaksanaan ICSI
Pasien ICSI umumnya adalah pasangan suami isteri yang telah diperiksa
kondisi reproduksinya dan dipastikan bahwa suami tidak dapat menghasilkan
spermatozoa yang memenuhi syarat untuk melakukan fertilisasi baik secara alami
maupun melalui fertilisasi in vitro. Untuk mendapatkan jumlah sel telur yang
memenuhi syarat kualitas dan kuantitas untuk tujuan ICSI maka istri diberi
perlakuan induksi hormon. Mansour et al. (1994) mengemukakan bahwa
pengambilan sel telur paling baik dilakukan 36 jam setelah injeksi hormone
human chorionic gonadotrophin (hCG). Hal ini dimaksudkan agar sel telur yang
diambil sudah cukup matang sehingga siap dibuahi oleh spermatozoa. Sebelum ICSI
dilakukan cumulus sel telur dibebaskan dengan mengikubasi sel telur beberapa saat
didalam medium penyangga HEPES yang mengandung 80 mIU/ml hyaluronidase.
Sel telur selanjutnya dipindahkan ke medium kultur dan di inkubasi sambil
menunggu saat menipulasi. Hanya sel telur yang mempunyai polar bodi pertama
(PB-I) yang dipilih untuk ICSI. Selanjutnya dilakukan seleksi
4
terhadap spermatozoa yang akan digunakan melalui berbagai macam metode
seleksi, seperti swim up atau side migration (ASRM, 2012).
Selain melakukan seleksi spermatozoa sebelum penerapan ICSI juga
dilakukan imobilisasi atau menghentikan pergerakan spermatozoa. Hal ini
dilakukan agar mudah memasukkan atau mengambil spermatozoa ke dalam pipet
injeksi dan spermatozoa yang telah terambil tidak melakukan pergerakan lebih
lanjut dalam pipet injeksi. Selain itu imobilisasi juga dapat mendukung terjadinya
proses dekondensasi spermatozoa. Mengimmobilisasi spermatozoa umumnya
dilakukan dengan menekan ekor spermatozoa sampai ke dasar petri atau dengan
memisahkan kepala dan ekor dengan cara sonikasi. Selanjutnya, ICSI dilakukan
dengan cara memasukkan satu spermatozoa ke dalam sel telur secara mekanik
dengan menggunakan alat micromanipulator dibawah mikroskop inverted
(ASRM, 2012).
5
Gambar 1. Teknik ICSI
6
dan perkembangan embrio selanjutnya. Akan tetapi, Nagy et al. (1995)
mengemukakan bahwa peningkatan jumlah spermatozoa yang abnormal dalam
semen bukan merupakan faktor kritis yang menurunkan tingkat fertilisasi seteleh
ICSI. Selain itu, Saili dan Said (2005) melaporkan bahwa spermatozoa yang nyata
telah matipun karena perlakuan pembekuan tanpa kroprotektan dan perlakuan
pemisahan kepala spermatozoa dengan ekor masih mampu mendukung
pembentukan pronukleus jantan dan betina setelah diinjeksikan ke dalam sel telur
tikus. Hal ini merupakan bukti tambahan bahwa untuk tujuan fertilisasi melalui
teknik ICSI, spermatozoa yang digunakan tidak perlu motil dan utuh (Saili, et al ,
2005).
Penggunaan ICSI pada pasien dengan parameter semen normal atau dalam
nilai ambang telah umum digunakan. Indikasi penggunaan ICSI adalah: infertilitas
7
yang tidak dapat dijelaskan, kualitas oosit yang buruk, hasil oosit yang rendah,
usia ibu yang lanjut, kegagalan fertilisasi sebelumnya dengan inseminasi
konvensional, penggunaan rutin pada seluruh siklus IVF, uji genetik
preimplantasi, fertilisasi setelah maturasi in vitro, dan fertilisasi oosit
kriopreservasi. Alasan rasional dari indikasi ini, kecuali pada uji genetik
preimplantasi, adalah untuk menghindari kegagalan fertilisasi. Ketika akan
menggunakan ICSI pada keadaan yang telah disebutkan di atas, kemungkinan
kegagalan fertilisasi harus seimbang dengan risiko yang mungkin muncul saat
prosedurnya dan dampak yang akan ditimbulkan (ASRM, 2012).
8
77,2% vs 82,4%) atau pada hasil sekunder: kualitas embrio, tingkat implantasi
(38,2% vs 44,4%), tingkat kehamilan klinis (50% pada tiap kelompok), atau
angka kelahiran hidup (46,7% vs. 50%).Terdapat dua kasus kegagalan fertilisasi
pada kelompok inseminasi konvensional. Studi ini terbatas dengan jumlah
sampelnya yang kecil. Studi serupa, yaitu sebuah percobaan acak yang
membandingkan inseminasi konvensional dengan injeksi sperma intrasitoplasma
pada 100 pasangan dengan infertilitas yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya
menunjukkan tidak ada perbedaan dalam tingkat kehamilan antara dua kelompok
tersebut (IVF 32%, ICSI 38%; risiko relatif (RR) 0 83 [interval kepercayaan
95% 0 48 - 1 45]). Kegagalan fertilisasi muncul hanya pada satu pasangan
(dari 48 pasangan) pada kelompok inseminasi konvensional.
Secara keseluruhan, bukti terbaru terkait penggunaan rutin ICSI pada
infertilitas yang tidak dapat dijelaskan adalah terbatas dan tidak menunjukkan
peningkatan hasil keluaran klinis.Studi lebih lanjut dibutuhkan untuk menentukan
peran injeksi sperma intrasitoplasma pada populasi ini.
9
dibandingkan dengan kelompok inseminasi konvensional dalam hal tingkat
fertilisasi (77,7% vs. 70,2%), kegagalan fertilitas (11,5% vs. 11,5%), kualitas
embrio, rata-rata embrio per pasien (2,5 vs. 2,2), tingkat kehamilan klinis (17,3%
vs. 21,1%), dan tingkat keguguran (33,3% vs. 36,4%). Sebuah studi analICSI
retrospektif besar membenarkan temuan ini.
10
fertilisasi yang buruk berikutnya.
11
mungkin ada dari sperma lain (extraneous sperm) yang melekat pada zona pelusida.
Sementara tidak ada percobaan terkontrol acak, perhatian mengenai hasil yang tidak
tepat akibat kontaminasi sperma lain dengan uji genetik preimplantasi
membenarkan penggunaan ICSI pada keadaan ini.
12
Faktor Non-Pria
Keamanan ICSI pada infertilitas faktor yang tidak disebabkan oleh pria
belum pernah diuji. Meski demikian, pada penelitian mengenai infertilitas faktor
pria, ICSI telah dikaitkan dengan sedikit peningkatan risiko hasil yang tidak
diinginkan pada keturunan. Risiko ini secara umum dikaitkan dengan faktor pria
yang mendasari. Tidak diketahui bagaimana risiko ini dapat berhubungan dengan
ICSI pada pasien dengan faktor non-pria.
Sebuah studi kohort populasi besar dengan 308.000 kelahiran, dengan
lebih dari 6100 dari ART, menyatakan bahwa risiko kelainan kelahiran utama
setelah IVF (dengan atau tanpa ICSI) memiliki odds ratio 1,2 (95% CI, 1.09
hingga 1.41) setelah penyesuaian untuk beberapa pecampuran . Ketika perempuan
yang menjalani IVF sendiri dipisahkan dengan yang juga menjalain ICSI, hanya
yang menjalani ICSI yang masih memiliki peningkatan odds ratio defek kelahiran
(1.57; 95% CI, 1.30 hingga 1.90).Meski demikian, studi ini memasukan laki-laki
dengan dan tanpa hitung sperma normal.Peningkatan defek kelahiran setelah IVF
pada laki-laki dengan analICSI semen abnormal telah cukup diketahui, dengan
pertimbangan adanya abnormalitas kromosom yang diketahui pada laki-laki
tersebut, dan tidak diharapkan pada studi ini.Namun, studi ini memberikan catatan
peringatan tambahan dalam penggunaan ICSI yang sembarangan pada semua
siklus IVF.
Injeksi sperma intrasitoplasma membutuhkan keahlian laboratorium
tambahan, sumber daya, usaha, dan waktu.Dengan demikian, penggunaan luas ICSI
meningkatkan kompleksitas dan biaya IVF.
13
kemudian di epididimis, traktus reproduksi wanita (yaitu sawar mukus serviks dan
jarak perjalanan yang relatif jauh), dan akhirnya, peleburan sperma-oosit.
Normalnya, sperma yang bertahan hidup akan melakukan penetrasi terhadap
sawar yang melingkupi sel telur: sel granulosa dari korona radiata dan zona
pelusida. Sawar ini (terlepas dari peleburan sperma-oosit) juga tidak dilewati oleh
teknik reproduksi lain, termasuk fertilisasi in vitro (IVF), yang secara luas
diterima sebagai suatu prosedur yang aman. Dengan ICSI, sawar selektif ini
terlewatkan dengan injeksi langsung spermatozoa (sel sperma matur) ke dalam sel
telur. Beberapa telah menyatakan bahwa (Prasad et al., 2000; Van Dyk et al.,
2000) zona pelusida memiliki peran penting dalam seleksi terhadap sel-sel sperma
dengan defek genetik. Dengan ICSI, terdapat penerobosan artifisial dari zona
pelusida. Aborsi spontan masih menjadi pencegahan alami dari kelainan genetik
mayor. Faktanya, 50% abortus spontan disebabkan oleh kelainan genetik.
Kontaminasi Genetik
Pertimbangan lain adalah bahwa DNA asing dapat dimasukkan ke dalam
sel telur oleh sperma. Lavitrano et al. (1989) telah mendemonstrasikan bahwa
makromolekul homolog dan heterolog dapat bersatu dengan spermatozoa
epididimis tikus, yang kemudian ditransfer ke dalam sel telur untuk memproduksi
tikus transgenik dengan angka 30%. Walaupun pertimbangan ini dapat
14
memberikan hasil yang mengerikan, transfer DNA asing ke dalam sperma
manusia yang berhasil belum pernah dilaporkan. Pada penelitian terbaru, peneliti
melaporkan bahwa spermatozoa dari spesies mamalia tertentu memiliki
kemampuan untuk mengikat DNA eksogen. Namun, spermatozoa manusia, tidak
dapat berikatan dengan DNA asing. Hasil ini menunjukkan bahwa faktor-faktor
tertentu mungkin melindungi spermatozoa dari transfeksi tidak disengaja dengan
benda asing dari sumber bakteri atau virus (Camaioni et al., 1992). Data ini dapat
mengurangi ketakutan produk gen infeksius yang memasuki sel sperma selama
prosedur ICSI.
Kontaminasi Biokimia
Beberapa juga mengkhawatirkan injeksi kontaminan biokimia tidak
disengaja dari media prosedur. Namun, temuan terkait hal ini belum pernah
dilaporkan dan mungkin spermatozoa manusia melindungi diri sendiri dari media
asing dengan cara yang sama dalam menghindari kontaminasi infeksi dan
kontaminan lain. Kontaminan biokimia lain yang harus dipertimbangkan ketika
mengevaluasi keamanan prosedur ini adalah pajanan oosit terhadap hialuronidase,
cahaya intens, dan fluktuasi suhu ruangan. Tidak ada data tersedia mengenai
apakah ini hanya spekulasi semata, atau apakah pada kenyataan ini merupakan suatu
peringatan terang-terangan bahwa pemahaman mengenai prosedur ini masih belum
cukup untuk layak dilakukan. Hal yang juga berhubungan dengan kecemasan ini
adalah injeksi spermatozoa dalam polivinilpirrolodin (PVP) konsentrasi 10%.
Terdapat kemungkinan potensi karsinogenik pada senyawa ini. Namun, analisis
pertukaran kromatid sister telah menunjukkan bahwa PVP ataupun metilselulosa
tidak dapat menyebabkan penyimpangan kromosom dalam kondisi in vitro (Ray et
al, 1995).
Partenogenesis
Masalah terkait ICSI lain adalah aktivasi oosit mekanis (partenogenesis).
Ini mencakup fertilisasi abnormal yang menyebabkan pembentukan embrio
abnormal dan induksi partenogenesis. Peneliti telah menjelaskan bahwa (Kola and
15
Wilton, 1991) seorang ahli embriologi dapat menghilangkan kecemasan-
kecemasan tersebut setelah observasi mikroskopik secara teliti, yang dapat
mendeteksi induksi partenogenesis melalui adanya pronuklei pada zigot. Zigot ini
kemudian dapat dibuang sebelum pembelahan. Walaupun beberapa pertimbangan
etik muncul terkait pembuangan zigot, diskusi mengenai topik ini di luar lingkup
artikel ini.
DNA Mitokondria
Kini diketahui bahwa DNA mitokondira (mtDNA) diturunkan secara
maternal. Akankah prosedur ini memberikan hasil DNA mitokondria diturunkan
16
secara paternal (St. John et al., 2000)? Jika hal tersebut terjadi, akankah
pergeseran penurunan genetik ini menyebabkan kejadian tak terduga? Injeksi
langsung mtDNA sperma ke pusat sel telur dapat menghindari mekanisme normal
penghancuran mtDNA paternal. mtDNA memiliki peluang sangat tinggi untuk
menyebabkan mutasi dan delesi karena mtDNA kurang memiliki mekanisme
perbaikan yang efektif. mtDNA paternal dapat bergabung dengan DNA yang
hancur, atau lebih penting lagi, dapat menghambat rantai transpor elektron atau
mempengaruhi fungsi sel oksidatif lainnya; ini dapat menyebabkan akumuasi
radikal bebas yang memfasilitasi proses penuaan sel yang prematur (Patrizio,
1995). Walaupun prospek ini cukup mengerikan, verifikasi tidak mungkin dilakukan
hingga pengumpulan data bertahun-tahun lagi. Selain itu, kemungkinan bahwa
beberapa infertilitas pria dapat disebabkan oleh defek genetik mtDNA maternal
kemudian peleburan DNA paternal dapat menjadi nilai medis yang korektif
(Cummins et al., 1994).
17
kongenital yang telah terjadi tampaknya sama dengan yang terjadi di populasi
umum. Pada intinya, tidak ada kelainan atau anomali aneh yang muncul.
Respon pertama yang diberikan oleh mereka yang mendukung ICSI adalah
bahwa resiko ini spekulatif pada hakikatnya. Mereka menekankan pada hasil fase
awal dari anak ICSI, yang pada titik ini dapat meyakinkan bahwa peningkatan
malformasi mayor, yang didefinisikan sebagai yang menyebabkan perburukan
fungsional atau membutuhkan koreksi surgikal, tidak disebabkan oleh ICSI.
Mempertimbangkan data dari suatu program infertilitas luas di New York (Palermo
et al., 1996): 9 anak ICSI dari 578 (1.6%) mengalami malformasi mayor jika
dibandingkan dengan keseluruhan bayi di negeri ini adalah 3.6%. Selain itu,
beberapa ahli infertilitas pria (Van Steriteghem et al., 1994) melaporkan pada
analisis genetik dari 823 keturunan dan hanya mendeteksi satu kariotip abnormal
dan sepuluh malformasi kongenital mayor (sekitar 1.2%). Perlu dicatat bahwa,
meskipun demikian, tidak ada kesepakatan umum dalam hal ini. Ketika dua
kelompok investigator memeriksa malformasi pada anak yang dilahirkan dengan
bantuan ICSI di suatu program Belgia, hasilnya justru bertolak belakang! Tim
pertama (Bonduelle et al., 1996) melaporkan tidak adanya peningkatan, namun
observer yang lain (Kurinczuk and Bower, 1997) menemukan kemungkinan
peningkatan malformasi dua kali lipat. Kesenjangan ini dapat dijelaskan dengan
perbedaan kriteria klinis yang digunakan untuk mendiagnosis “malformasi”.
Kelompok kedua menyatakan bahwa tim Belgia membandingkan data mereka
dengan kelahiran fertilisasi in vitro dari Australian National Perinatal Statistics
Unit. Sistem ini memiliki definisi yang lebih luas dari apa yang dikelompokkan
dalam defek mayor daripada kelompok Belgia, sehingga merendahkan prevalensi
perbandingan dari defek kelahiran mayor pada kohort mereka. Misalnya, kelainan
kongenital seperti patent ductus arteriosus, dianggap hanya malformasi minor
oleh kelompok Belgia namun mayor oleh unit Australia yang disebutkan di atas.
Meskipun demikian, hal di atas menggambarkan kontroversi dari penggunaan
ICSI. Akhirnya, pendukung ICSI menyatakan bahwa penelitian hewan lebih lanjut
tidak akan membantu dalam mengevaluasi kemanan jangka panjang ICSI pada
18
hewan, yang tidak hidup selama manusia hidup. Cukup jelas bahwa belum ada
konsensus mengenai keamanan ICSI.
19
dapat mendeteksi 80% hingga 90% dari seluruh mutasi. Konseling genetik dengan
skrining lengkap dapat menentukan ada atau tidaknya mutasi pada gen CFTR.
Selain itu, biopsi blastomir, yang dilakukan pada preembio hasil, dapat
meyakinkan apakah mutasi CFTR diturunkan atau tidak. Akhirnya, teknisi kini
dapat melakukan skrining CF pada embio dan janin trimester pertama (McIntosh
et al., 1989), namun ini meningkatkan intervensi teknologi dan meingkatkan
dilema lain dari kemungkinan terminasi kehamilan.
Mikrodelesi Kromosom Y
Peneliti (Ma et al., 1993) telah melaporkan bahwa beberapa bentuk dari
hambatan maturasi sperma inkomplit yang muncul sebagai azoospermia disebabkan
oleh mikrodelesi di sepanjang lengan kromosom Y. Kini, suatu studi dengan ruang
lingkup dunia (Protokol Simmy) untuk memonitor pasangan ayah/anak laki-laki
dengan analisis PCR kromosom Y sedang dilakukan untuk menguji kemungkinan
ini. Hanya setelah studi ini selesai, pernyataan lebih lanjut dapat diberikan. Namun,
biaya skrining ini sangat mahal. Selain itu, ahli genetik tidak sepenuhnya mengerti
mekanisme kontrol genetik spesifik yang muncul pada kromosom Y.
Penuaan Testis
Hubungan antara usia paternal yang cukup tua dan kelainan genetik berat
pada manusia telah dilaporkan dalam beberapa waktu (Auroux et al., 1993). Ini
mencakup akondroplasia, myositis osifikans, sindroma Apert, sindroma Marfan,
distrofi muskular Duchenne, hemofilia A, dan retinoblastoma bilateral kelainan
resesif terkait gen seks. Kemungkinan ini didukung oleh laporan (Cummins and
Jequier, 1994) adanya hubungan antara infertilitas pria yang tidak dapat
dijelaskan, dengan percepatan penuaan testis, yang mana muncul pada delesi
mtDNA, kelainan fosforilasi oksidatif, dan produksi radikal bebas. Oleh karena
itu, kelainan ini yang normalnya berhubungan dengan peningkatan usia paternal,
20
dapat berhubungan dengan infertilitas pria. Meskipun demikian, insiden kondisi
ini sangat rendah hingga butuh data beberapa tahun lagi untuk mengkaji ulang
pertimbangan ini.
21
masyarakat untuk seorang anak, batasan etik dari resiko ini harus diperjelas. Siapa
yang membatas ini dan dimana dibatasi? Bagaimana kita dapat mulai mengetahui
bagaimana anak nantinya akan beradaptasi dengan kondisi bawaannya? Penyakit
yang mematikan dan mengerikan pada anak nantinya akan menjadi tantangan
berikutnya. Kesulitan ini hanya diperbesar oleh banyak pertanyaan tak terjawab
pada bagian biologis.
Beberapa ahli bioetik (Steinbock and McClamrock, 1994) menyatakan
bahwa kelahiran seperti ini tidak adil untuk anak ICSI. Mereka menggarisbawahi
prinsip tanggung jawab orangtua, yang akan membuat orang tua menahan diri dari
memiliki anak kecuali mereka tetap puas dengan kondisi minimal tertentu.
Kondisi ini mencakup awal dari kehidupan yang adil yang tidak terbebani dengan
penyakit yang mengerikan. Orangtua sebaiknya tidak hanya tertarik dalam
memenuhi keinginannya untuk bereproduksi saja. Di sisi lain, keinginan utama
mereka sebaiknya adalah kesejahteraan dari anak yang akan mereka miliki.
Mereka seharusnya menanyakan diri sendiri, “hidup seperti apa yang anak saya
inginkan?” Orang tua yang benar-benar memiliki rasa cinta dan peduli akan
menginginkan anaknya memiliki hidup yang baik dan akan berusaha keras untuk
mencapai hal tersebut. Namun apa yang terjadi jika orang tua tidak dapat
menjamin anaknya memiliki kehidupan yang baik? Prinsip dari rasa tanggung jawab
orang tua menegaskan bahwa dengan kondisi seperti ini, seperti penggunaan
ICSI, lebih baik untuk tidak memiliki anak, karena tidak adil untuk melahirkannya
ke dunia dengan mengetahui bahwa mereka akan hidup dengan penuh kerugian.
Apakah ini berbeda dengan pasangan yang tidak tahu apa-apa dan melahirkan anak
dengan cacat berat dan rasa sakit yang ekstrim seperti penyakit Tay-Sachs, namun
meskipun demikian anak tersebut tetap hidup bahagia? Berdasarkan prinsip rasa
tanggung jawab orang tua, bukankah seharusnya orang tua menghentikan seluruh
terapi medis non-paliatif karena tidak berguna dan hanya memperlama
penderitaan? Namun, dalam hal ini, anak memang telah hidup, dan bukan
menjadi tanggung jawab orang tuanya untuk memutuskan apakah anak ini
sebaiknya hidup atau tidak. Pilihan ini sepenuhnya ada di tangan sang anak.
Tentunya, jika anak terlalu muda, orang tua yang memiliki rasa
22
tanggung jawab akan melakukan konseling dengan dokter dan bersama-sama
menentukan apa yang terbaik untuk sang anak. Namun ketika tidak ada anak sama
sekali, pertanyaan yang menjadi masalah dari calon orang tua ini bukan lagi “apa
yang terbaik untuk anakku?”, namun apakah akan membuat anak yang memiliki
kemungkinan besar menjalani hidup dengan nyeri dan menghadapi perbedaan
yang nyata. Dalam hal ini, orang tua dengan rasa tanggung jawab akan
mengesampingkan keinginannya. Rasa tanggung jawab pada orang tua membuat
mereka memilih untuk tidak memiliki anak yang ditakdirkan untuk hidup dengan
kesengsaraan.
Selain itu, bahkan jika seorang anak menjalani hidup bahagia nantinya,
tidak ada kewajiban moral yang mengharuskan orang tua untuk memiliki seorang
anak. Jika pasangan memutuskan untuk tidak memiliki anak, tidak akan ada
masalah yang muncul. Untuk lebih sederhananya, tidak ada masalah dalam
ketidakadaan. Seperti yang dikatakan Mary Anne Warren:
Kegagalan memiliki seorang anak, bahkan ketika kamu mungkin akan
memiliki anak yang bahagia, tidaklah benar atau salah. Namun hal yang sama
tidak bisa dikatakan pada konsep memiliki anak, karena tindakan ini akan
melahirkan seorang individu yang keinginannya perlu dipertimbangkan. Memiliki
anak dalam kondisi dimana dapat diprediksi bahwa anak tidak akan bahagia dapat
dinilai objektif dari sisi moral, bukan karena hal ini melanggar hak dari anak yang
akan dilahirkan, namun karena hal ini akan menghasilkan frustasi dan
kebingungan terhadap keinginan anak di kemudian hari (Warren, 1978).
Ketika mendaftar untuk tindakan ICSI, prinsip tanggung jawab orang tua
akan menahan keinginan ini sampai penelitian lebih lanjut membuktikan bahwa
tindakan ini tidak akan memberikan masalah kepada anak nantinya. Masalah
disini bukanlah yang bersifat substansial atau mematikan. Namun lebih kepada
masalah baik secara langsung maupun tidak langsung dari tindakan ICSI yang
akan menyebabkan anak hidup dalam kerugian. Walaupun seorang dokter kini dapat
melakukan konseling kepada pasien, dan memberitahu pasien, bahwa dengan
skrining genetik yang teliti, tidak akan ada resiko mereka menurunkan kondisi
genetik kepada keturunan mereka, hingga kini masih banyak pertanyaan-
23
pertanyaan dan berbagai spekulasi mengenai prosedur ini. Hingga penelitian
hewan lebih lanjut menjawab keraguan ini, pasangan yang bertanggung jawab
akan menarik diri dari ICSI.
Ada banyak pemikir yang beranggapan bahwa ICSI sebaiknya dilakukan
untuk membantu pasangan infertil. Salah satu pemikir kebebasan prokreatif, John
Robertson, menyatakan bahwa “apakah seseorang bereproduksi atau tidak adalah
pusat dari identitas, harga diri, dan arti hidup bagi seseorang.” Bagi Robertson,
hak untuk bereproduksi adalah milik seluruh pasangan, baik yang fertil maupun
infertil. Seperti seorang tunanetra yang memiliki hak untuk membaca, begitu pula
hak pasangan infertil untuk memiliki keturunan. Robertson menulis,
Semakin tinggi insiden kelainan kongenital pada seorang anak tidak dapat
membenarkan larangan teknik ini dengan pertimbangan untuk melindungi
keturunan, karena tanpa teknik ini anak ini tidak akan lahir sama sekali.
Kecuali hidup mereka penuh dengan penderitaan akan lebih buruk
daripada tidak ada kehidupan sama sekali, yang mana merupakan suatu
anggapan yang sangat tidak mungkin, anak dengan kelainan bawaan tidak
akan dirugikan jika mereka memang tidak dilahirkan dalam kondisi sehat
(Robertson, 1994).
Bagi Robertson dan pemikir yang serupa, doktrin tanggung jawab orang
tua, yaitu untuk melindung anaknya dari kerugian yang tidak perlu, secara
fundamental salah berdasarkan hidup penuh penderitaan yang akan dijalani sang
anak nantinya. Untuk hidup dengan penyakit tidaklah menyenangkan sama sekali,
namun jika dihadapkan pada pilihan tidak hidup sama sekali, hidup dengan penyakit
tidak seburuk itu. Hal ini tidak menyiratkan bahwa keputusan untuk bereproduksi
tidak perlu dibatasi. Tentu saja, memiliki keturunan lebih kepada hak konstitusional
yang mana di bawah keadaan “memaksa” tertentu akan memiliki batasan. Misalnya
ketika reproduksi akan jelas-jelas membuat anak nantinya berharap untuk tidak
pernah dilahirkan sama sekali. Hal ini dapat dicontohkan dengan, ketika ICSI akan
menghasilkan kembar siam yang sangat fatal (Goldberg et al., 2000). Walaupun
tidak ada laporan kasus hukum yang mencegah orang tua
24
memiliki keturunan dalam situasi tertentu, pasangan yang bijaksana, bersama ahli
infertilitas dan genetik akan memilih untuk tidak mengusahakan kehamilan ini.
Pengikut kebebasan prokreatif akan mendukung penggunaan ICSI
hampir di seluruh kasus. Namun serupa dengan pandangan “tanggung jawab
orang tua”, pernyataan ini tidak memberikan rekomendasi apapun kepada
pasangan infertil dan dokter.
BAB III
KESIMPULAN
- Injeksi sperma intrasitoplasma merupakan terapi yang aman dan efektif untuk
penatalaksanaan infertilitas faktor pria.
- Injeksi sperma intrasitoplasma dapat meningkatkan tingkat fertilisasi ketika
harapan fertilisasi rendah atau kegagalan fertilisasi yang telah ada dengan
inseminasi konvensional.
- Injeksi sperma intrasitoplasma pada infertilitas yang tidak dapat dijelaskan
tidak meningkatkan hasil keluaran klinis.
- Masalah terkait etik dalam pelaksanaan ICSI masih terus diteliti seiring
dengan keberhasilan teknik tersebut dalam mengahsilkan keturunan yang
25
normal.
26