Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI) merupakan metode reproduksi

terbantu yang efisien karena hanya membutuhkan satu buah sel telur dan satu

buah sel sperma yang telah matang untuk memulai proses pembentukan individu

baru (Okada et al. 1999, De Vos, 2000 dan Yanagida, 2009). Metode ini pertama

kali ditemukan oleh Hiramoto (1966) untuk membuktikan bahwa peristiwa

dekondensasi spermatozoa dan pembentukan pronukleus jantan tidak akan

terjadi sebelum spermatozoa masuk ke dalam sel telur. Pada tahun 1976,

Uehara dan Yamaguchi melanjutkan penelitian Hiramoto untuk menguji

kelayakan penggunaan metode ICSI pada manusia (Said et al., 2006). Hasil

penelitian mereka memperlihatkan bahwa sperma manusia yang dibekukan

dalam media isotonik tanpa krioprotektan mampu terkondensasi dan membentuk

pronukleus setelah disuntikkan ke dalam sel telur.

Catatan ilmiah mengenai ICSI dimulai sejak adanya laporan keberhasilan

penerapan metode In-Vitro Vertilization (IVF) dan Embryo Transfer (ET) pada

pasangan yang sulit mendapatkan keturunan oleh Edwards et al. (1980). Sejak

saat itu, para ilmuwan berlomba-lomba mengembangkan berbagai metode

fertilisasi terbantu berupa metode Zona Thinning (ZT), Zona Drilling (ZD), Sub-

Zonal Insemination (SUZI) dan ICSI tingkat lanjut untuk memberikan solusi

terhadap berbagai kegagalan fertilisasi yang tidak dapat diselesaikan

menggunakan metode IVF. Dari serangkaian teknik yang dikembangkan, hanya

1
metode ICSI yang terbukti secara nyata memberikan pengaruh signifikan

terhadap kesuksesan fertilisasi terbantu (Palermo et al., 1992).

Penemuan metode ICSI telah mengantarkan manusia pada era revolusi

reproduksi terbantu secara radikal melalui penggunaan sperma tunggal untuk

menghasilkan kehamilan pada manusia (Okada et al., 1999) serta hewan

(Yanagimachi, 2001). Saili et al. (2005) melaporkan bahwa penggunaan metode

ICSI telah berhasil dilakukan pada kelinci (Hosoi et al., 1988; dan Iritani, 1989),

mencit (Kimura dan Yanagimachi, 1995), kucing (pope et al., 1998), kuda

(Cochran et al., 1998), domba (Gomez et al., 1998), sapi (Hamano et al., 1999),

kera (Hewitson et al., 1999), babi (Martin, 2000) dan tikus (Said et al., 2003).

Dalam perkembangannya, sperma yang digunakan untuk ICSI dapat

berasal dari sperma ejakulat (Saili et al., 2005), pembedahan mikro epididimis

(Silber et al., 1994), aspirasi menggunakan jarum mikro pada epididimis (Craft et

al., 1995) dan aspirasi pada testis (Saili et al., 2005). Sebelum sel sperma

diinjeksikan secara mekanis ke dalam sel telur di bawah mikroskop inverted,

perlu dilakukan imobilisasi pada sel sperma untuk mendukung proses

dekondensasi (Boediono, 2001) dengan cara menekan ekor sperma sampai ke

dasar petri (Dozortzev et al., 1995) atau dengan memisahkan kepala dan ekor

sperma menggunakan ultrasonikasi (Kuretake et al., 1996).

Sejarah mengenai usaha pemilihan sel sperma unggul untuk keperluan

ICSI dilakukan pertama kali oleh Van Steirteghem et al. (1993). Dalam

percobaannya Van Steirteghem et al. menggunakan metode seleksi gradien

densitas percoll dengan tambahan 2-Deoxy-Adenosin (2DA) dan pentoxyfillyne

untuk merangsang motilitas spermatozoa. Namun perlakuan tersebut justru

meningkatkan potensi kegagalan pembelahan sel pada fase embrionik lanjut

2
akibat sifat toksik dari senyawa 2DA yang digunakan. Sejak penelitian Van

Steirteghem et al. tersebut, berbagai macam metode seleksi sperma

dikembangkan pada berbagai jenis spesies untuk mencapai kesuksesan

fertilisasi yang tinggi.

Penelitian mengenai penggunaan metode ICSI untuk meningkatkan

produksi hewan ternak di Indonesia juga telah dilakukan oleh Saili et al. (2005),

Kaiin et al. (2008) dan Gunawan et al. (2014) namun penelitian tersebut belum

mampu mencapai tingkat fertilitas yang diharapkan untuk penerapan ICSI pada

skala industri. Merujuk pada penelitian Karpuz et al. (2007), Fauque et al. (2007),

Javed dan Michael (2012) dapat disimpulkan bahwa kualitas sel sperma yang

diinjeksikan ke dalam sel telur memiliki peran yang besar dalam menentukan

kesuksesan fertilisasi dengan metode ICSI.

1. 2 Rumusan Masalah

Menurut penelitian Bartoov et al. (2001), Berkovits et al. (2006), Brito

(2007), Darin et al. (2010) dan Vanderzwalmen et al. (2012), kecacatan morfologi

sperma berkorelasi positif terhadap tingkat kegagalan perkembangan sel pada

fase embrionik. Fertilisasi memang dapat dimulai menggunakan sperma yang

memiliki kecacatan morfologis tinggi namun pertumbuhan embrio akan terhenti

pada tahap perkembangan awal. Sehingga diperlukan mekanisme seleksi

kualitas sperma berdasar morfologi untuk menekan potensi kegagalan

perkembangan embrio. Sayangnya, berbagai metode pengukuran kualitas

sperma yang tersedia hingga saat ini seperti Analisis Sperma Konvensional,

Computer Assisted Sperm Analysis (CASA), Automated Sperm-Head

Morphometry Analysis (ASMA), Sperm Motility Analysis System (SMAS),

3
Computer-Aided Sperm Morphometric Assessment (CASMA) hingga

Copenhagen Rigshospitalet Image House Sperm Motility Analysis System

(CRISMAS) masih berorientasi pada analisis statistik terhadap populasi sperma

sampel dan tidak memprioritaskan analisis secara spesifik terhadap morfologi

individu sperma (W ang et al., 2011; Amann dan W aberski, 2014). Oleh karena itu

diperlukan sebuah metode pendekatan baru dalam melakukan analisis sperma

individual secara spesifik menggunakan model sperma ideal.

1. 3 Batasan Masalah

Penelitian ini terbatas pada rancang bangun:

1. Persamaan morfologi secara umum untuk memprediksi nilai potensi

fertilitas sel sperma secara individu

2. Piranti lunak analisis morfologi yang diturunkan dari (1) serta perangkat

keras pendukung

Seluruh analisis morfologi akan ditujukan pada sampel semen sapi hasil

thawing yang diamati menggunakan sebuah mikroskop cahaya. Semen sapi

sampel dianggap telah diberi perlakuan awal dan telah memiliki sperma matang

yang siap diinjeksikan ke dalam sel telur untuk memulai proses fertilisasi. Selama

proses seleksi berlangsung, seluruh keputusan seleksi diambil secara otomatis oleh

piranti lunak berdasarkan parameter visual yang tertangkap oleh kamera mikroskop

yang akan diterjemahkan menjadi aksi fisis oleh piranti keras pendukung.

Aspirasi sperma yang telah immotil dilakukan sesuai dengan prosedur ICSI

yang diusulkan oleh Liu et al. (2013).

4
1. 4 Keaslian Penelitian

Analisis sperma menggunakan bantuan komputer telah menjadi bagian

yang penting dalam prosedur penentuan kesuburan individu jantan secara

modern (Gravance et al., 1995). Hingga saat ini terdapat berbagai metode untuk

menganalisis kualitas spermatozoa dari semen sampel. Berbagai rancangan

piranti lunak, piranti keras, algoritma dan proses analisis telah dikembangkan

oleh para ilmuwan untuk menghasilkan prosedur dan mekanisme analisis sel

spermatozoa dengan kehandalan, akurasi dan kepresisian yang tinggi. Dari

berbagai metode yang tersedia, metode analisis sperma konvensional

merupakan metode yang paling banyak digunakan karena alasan

kesederhanaan serta biaya yang rendah. Metode analisis sperma konvensional

dilakukan menggunakan mikroskop cahaya dan sebuah hemocytometer atau

counting chamber sesuai dengan kriteria standar analisis spermatozoa dari

World Health Organization (WHO).

Metode analisis sperma konvensional merupakan metode yang memiliki

hasil analisis dengan nilai keluaran yang paling variatif apabila dibandingkan

dengan metode analisis terbantu komputer (Komori et al., 2006). W alaupun

metode analisis sperma konvensional telah memiliki standar internasional dari

WHO, perbedaan intepretasi prosedur analisis standar WHO di tingkat

laboratorium seringkali menjadi faktor utama yang menyebabkan data hasil

analisis keluaran berbagai laboratorium memiliki angka divergensi yang tinggi.

Metode analisis sperma konvensional juga masih menyisakan permasalahan dalam

prediksi reproduktivitas secara detil, kendali kualitas produk yang rendah serta

berbagai permasalahan kompleks yang berantai apabila diterapkan pada tingkat

industri. Lebih jauh lagi, metode analisis sperma konvensional hanya

5
mampu menganalisis motilitas sperma secara umum namun tidak dapat

menganalisis karakteristik gerak sperma tingkat individu seluler seperti halnya

kecepatan gerak dan linieritas gerak spermatozoa.

Computer Assisted Sperm Analysis (CASA) merupakan metode analisis

spermatozoa pertama yang menggunakan bantuan piranti lunak untuk mengatasi

kendala yang muncul dalam metode analisis sperma konvensional (Komori et al.,

2006). CASA diperkenalkan pada pertengahan 1980-an dan telah menjadi salah

satu mekanisme standar untuk menganalisis kualitas spermatozoa dari suatu

spesies (Shi et al., 2008 dan W ang et al., 2011). CASA mengkuantisasi

parameter kualitas spermatozoa yang berada di dalam semen sampel

menggunakan algoritma pengolahan citra digital secara detil dan objektif. Adanya

CASA telah meningkatkan kehandalan dan presisi penilaian terhadap kualitas

spermatozoa yang ditentukan berdasar parameter visual yang tertangkap oleh

sistem optiknya. CASA juga mampu meningkatkan independensi hasil analisis

sperma terhadap respon mata pengamat secara signifikan. Kesuksesan CASA

dalam memprediksi dan menganalisis pembuahan in-vitro dan in-vivo telah teruji

dan telah dituangkan dalam berbagai jurnal ilmiah. Namun CASA masih memiliki

kelemahan dalam hal biaya kerja yang tinggi serta membutuhkan persiapan preparat

yang rumit agar mampu mencapai kinerja optimumnya. Faktor-faktor tersebut

otomatis membatasi penggunaan CASA untuk keperluan klinis dalam skala besar

(Komori et al., 2006).

Automated Sperm-Head Morphometry Analysis (ASMA) merupakan salah

satu bentuk perangkat CASA yang dikembangkan secara spesifik untuk

menganalisis morfologi kepala sperma kambing (Gravance et al., 1995). ASMA

memiliki derajat kesalahan pengenalan morfologi sebesar 1%. ASMA

6
membutuhkan setidak-tidaknya 100 sel sperma kambing yang telah diwarnai

menggunakan hematoxylin dan diamati menggunakan lensa objektif 20X agar dapat

mencapai kemampuan optimalnya. Dalam pengujian yang telah dilakukan, ASMA

mampu mengenali 96% objek sperma yang telah diwarnai. Pewarnaan tersebut

bertujuan untuk meningkatkan perbedaan warna dan kontras objek sperma

kambing yang masih aktif dengan objek-objek lainnya. Lama pewarnaan ideal

berlangsung selama 20 menit. ASMA membutuhkan waktu kerja rata-rata sebesar

2 menit untuk menyelesaikan satu kali proses analisis semen standar.

Sperm Motility Analysis System (SMAS) merupakan kesatuan piranti

lunak dan piranti keras yang dirancang sebagai alternatif pengganti sistem CASA.

Perangkat sistem SMAS terdiri dari sebuah kamera digital pemindai beresolusi

tinggi, sebuah monitor komputer serta sebuah komputer personal yang berisi

piranti lunak pencuplik citra dan piranti lunak pengolah citra digital. SMAS

mampu menganalisis 200 sel sperma spesies tertentu secara simultan

berdasarkan parameter visual yang terdeteksi oleh kamera pemindai. SMAS

menawarkan keunggulan dalam hal kesederhanaan proses, kemudahan

persiapan preparat, biaya operasional yang lebih rendah dari sistem CASA dan

visualisasi hasil analisis yang dapat digabungkan (blending) dengan tampilan

citra utama sehingga pengguna dapat meninjau ulang dan mengoreksi hasil

analisis piranti lunak SMAS secara waktu-nyata (Komori et al., 2006).

Secara umum, keluaran hasil analisis SMAS berupa data statistik yang

divisualisasikan lebih lanjut menggunakan serangkaian simbol, bentuk geometri,

angka dan warna. Parameter analisis sperma fundamental seperti persen

motilitas, konsentrasi spermatozoa, kecepatan kurvilenear, kecepatan gerak

lurus, besar pergeseran herakan kepala sperma, linieritas dan frekuensi

7
tumbukan silang telah diintegrasikan dalam fitur standar SMAS. Jejak aktifitas

gerakan sel-sel sperma divisualisasikan menyerupai sistem CASA sehingga

mempermudah pengguna lama dalam bermigrasi ke sistem baru. SMAS mampu

bekerja secara optimum pada penggunaan mikroskop phase-kontras negatif

yang menghasilkan tampilan citra cerah pada objek kepala dan ekor sperma dan

menghasilkan tampilan redup keabuan pada seluruh bidang latar belakang.

Computer-Aided Sperm Morphometric Assessment (CASMA) merupakan

bentuk lain dari perangkat CASA dan ASMA yang digunakan secara khusus

untuk menganalisis morfologi sel sperma. CASMA mampu mengukur 8 (delapan)

parameter sperma secara bersamaan. Penggunaan CASMA pada mikroskop

cahaya terbukti memberikan prediksi analisis fertilitas yang lebih akurat daripada

penggunaan CASMA pada Scanning Electron Microscopy (SEM) (de Paz et al.,

2011).

Copenhagen Rigshospitalet Image House Sperm Motility Analysis System

(CRISMAS) adalah sistem analisis spermatozoa manusia yang mampu

mengidentifikasi konsentrasi sperma dan mengklasifikasi gerakan sperma dalam

tiga kategori motilitas untuk memprediski kesuburan seorang pria. Hasil analisis

piranti lunak CRISMAS memiliki kecenderungan estimasi yang lebih tinggi

dibandingkan dengan metode analisis sperma konvensional. Selain tinjauan

terhadap kedua hal tersebut, CRISMAS dan metode analisis sperma

konvensional tidak menunjukkan tren keterkaitan analisis jenis apapun (Vested et

al., 2011). Gambar 1.1 menunjukkan perkembangan metode analisis sperma

yang tersedia hingga saat ini.

8
Gambar 1.1 Perkembangan metode analisis sperma

9
1. 4. 1 Nilai Kebaruan

Dalam penelitian ini diusulkan sebuah model Jaringan Syaraf Tiruan (JST)

kepala sperma ideal yang akan diturunkan menjadi sebuah persamaan

polinomial untuk mengukur nilai fertilitas sel sperma berdasar masukan empat

buah parameter Tygerberg (luas, keliling, panjang dan lebar kepala sperma). JST

dibangun untuk merepresentasikan model kepala sperma ideal berdasar

masukan dari berbagai hasil penelitian sejak tahun 1956 hingga 2015. Model

kepala sperma ideal ini akan diuji secara parsial untuk mendapatkan persamaan

fertilitas berdasar perubahan satu parameter spesifik untuk digeneralisasi guna

mendapatkan persamaan umum fertilitas spermatozoa. Gambar 1.2

menunjukkan model JST yang dibangun dalam penelitian ini.

HASIL PENELITIAN MODEL JST KEPALA UJI PARSIAL


KEPALA SPERMA SPERMA SAPI IDEAL TERHADAP
IDEAL (1956-2015) (FERTILITAS 100%) MODEL JST

GENERALISASI PEMBENTUKAN
RESPON UJI
PERSAMAAN PERSAMAAN
PARSIAL
FERTILITAS MORFOLOGI PARSIAL
MODEL JST
SPERMA SAPI (CURVE FITTING)

Gambar 1.2 Model JST kepala sperma sapi ideal sebagai kebaruan penelitian

Aplikasi persamaan umum fertilitas spermatozoa akan diterapkan satu-

persatu pada sperma yang akan diketahui nilai fertilitasnya. Proses pengukuran

fertilitas sperma dilakukan secara otomatis dengan bantuan algoritma

pengolahan citra digital untuk menganalisis seluruh sperma sapi Peranakan

Ongole (PO) yang tampak pada bidang pandang lensa objektif. Data yang

didapatkan kemudian diurutkan untuk mendapatkan koordinat objek dengan nilai

fertilitas tertinggi. Verifikasi terhadap viabilitas objek dengan skor tertinggi

10
dilakukan menggunakan algoritma deteksi gerak. Apabila objek target terdeteksi

memiliki nilai gerak positif maka piranti lunak akan menetapkan objek tersebut

menjadi target utama yang valid kemudian menandainya menggunakan sebuah

penanda visual.

Proses penandaan visual akan dilakukan secara terus-menerus selama

sperma target berada dalam bidang padang lensa objektif. Apabila sperma target

bergerak keluar dari batas pengamatan visual maka penggerak mikroskopis akan

menempatkan koordinat terakhir sperma target yang diketahui ke tengah bidang

pandang kemudian melakukan pengukuran, validasi dan penandaan ulang lokasi

sperma target. Selama proses pelacakan gerak dilakukan, temperatur preparat

sperma ditahan pada suhu rendah yang berdekatan dengan titik beku air namun

masih cukup aman terhadap organel sperma (Baust et al., 2009) hingga sperma

target berhenti bergerak akibat paparan temperatur rendah dalam jangka

panjang (Sukhato et al., 2001, Esfandiari et al., 2002, Varisli et al., 2009 dan

Ledezma-Torres et al., 2014).

Keluaran metode seleksi kualitas sperma berupa informasi lokasi sel sperma

yang memiliki nilai fertilitas maksimum diantara seluruh sel sperma yang teramati

dalam bidang pandang lensa objektif. Berbeda dengan metode analisis sperma

yang sudah ada (lihat Gambar 1.1), metode Analisis Morfologi (AM) yang dibangun

dalam penelitian ini bekerja secara mandiri. Seluruh mekanisme pengolahan citra

dan pelacakan gerak dilakukan secara otomatis tanpa campur tangan manusia

guna memperoleh hasil yang lebih objektif. Tabel 1.1, Tabel 1.2 dan Tabel 1.3

menunjukkan perbandingan metode Analisis Morfologi (AM) yang dibangun dalam

penelitian ini dengan metode analisis sperma konvensional standar WHO, CASA,

ASMA, SMAS, CASMA dan CRISMAS.

11
Tabel 1.1 Perbandingan metode Analisis Morfologi (AM) dengan metode Analisis
Sperma Konvensional dan Computer Assisted Sperm Analysis (CASA)

Pembeda AM Konvensional CASA


Subjek Analisis Piranti Lunak Pengamat Profesional Piranti Lunak (& Keras)
Kecepatan Analisis Tinggi Menengah Tinggi
Hasil Analisis Individual Statistik Statistik (& Individual)
Variasi Hasil Analisis Rendah Tinggi Rendah
Biaya Operasional Rendah Rendah Tinggi
Jenis Mikroskop Cahaya Cahaya Cahaya ( Optik CASA)
Independensi Hasil Tinggi Rendah Tinggi
Kendali Kualitas Tinggi Rendah Tinggi
Jenis Spesies Sapi Umum Umum
Proses Tambahan Tidak Diperlukan Terkadang Diperlukan Tidak Diperlukan

Tabel 1.2 Perbandingan metode Analisis Morfologi (AM) dengan metode


Automated Sperm-Head Morphometry Analysis (ASMA) dan metode Sperm
Motility Analysis System (SMAS)

Pembeda AM ASMA SMAS


Subjek Analisis Piranti Lunak Piranti Lunak Piranti Lunak
Kecepatan Analisis Tinggi Rendah Menengah
Hasil Analisis Individual Statistik & Individual Statistik
Variasi Hasil Analisis Rendah Rendah Rendah
Biaya Operasional Rendah Tidak Diketahui Rendah
Jenis Mikroskop Cahaya Cahaya Phase - Kontras
Independensi Hasil Tinggi Rendah Rendah
Kendali Kualitas Tinggi Tinggi Tinggi
Jenis Spesies Sapi Spesifik: Kambing Umum
Proses Tambahan Tidak Diperlukan Pewarnaan Sperma Tidak Diperlukan

12
Tabel 1.3 Perbandingan metode Analisis Morfologi (AM) dengan metode
Computer-Aided Sperm Morphometric Assessment (CASMA) dan metode
Copenhagen Rigshospitalet Image House Sperm Motility Analysis System
(CRISMAS)

Pembeda AM CASMA CRISMAS


Subjek Analisis Piranti Lunak Piranti Lunak Piranti Lunak
Kecepatan Analisis Tinggi Menengah Menengah
Hasil Analisis Individual Statistik & Individual Statistik
Variasi Hasil Analisis Rendah Rendah Rendah
Biaya Operasional Rendah Tidak Diketahui Tidak Diketahui
Jenis Mikroskop Cahaya Cahaya & SEM Cahaya
Independensi Hasil Tinggi Rendah Rendah
Kendali Kualitas Tinggi Tinggi Tinggi
Jenis Spesies Sapi Umum Manusia
Proses Tambahan Tidak Diperlukan Tidak Diperlukan Tidak Diperlukan

1. 5 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan merancang bangun algoritma penilaian fertilitas

sel sperma sapi PO secara kuantitatif menggunakan model JST kepala sperma sapi

ideal berdasarkan empat parameter morfologi dasar Tygerberg. Algoritma analisis

morfologi tersebut akan digunakan untuk mendapatkan lokasi sel sperma fertil

dengan kecacatan morfologis minimum agar dapat menekan potensi kegagalan

perkembangan embrio sapi yang difertilisasi menggunakan metode ICSI.

13
1. 6 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk:

a) meningkatkan efisiensi fertilisasi metode ICSI pada sapi PO

menggunakan sel sperma yang memiliki penyimpangan bentuk fisik

minimum.

b) menurunkan kesalahan paralaks dan kesalahan tanggap warna mata

pengamat

c) menyediakan salah satu metode seleksi sperma alternatif untuk sapi dan

hewan ternak ruminansia lainnya

14

Anda mungkin juga menyukai