Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Rumitnya kasus infertilitas dan terapi medis sangat mempengaruhi mereka


yang kurang beruntung ini. Keturunan, yang sangat menyakitkan dan menjadi
beban, sering tidak dibahas. Dibantu oleh kemajuan cepat inovasi kedokteran,
pasangan yang dulunya tidak dapat memiliki keturunan kini dapat hamil. Namun,
beberapa pertanyaan etik terkait teknik baru ini masih banyak yang belum
terjawab (ASRM,2012).
Sejak keberhasilan teknik in vitro fertilization (IVF) sebagai salah satu
teknik reproduksi bantuan pada manusia yang dilaporkan oleh Steptoe dan Edwards
(1978), teknik ini telah memicu perkembangan teknik lain yang mendukung
keberhasilan fertilisasi, seperti teknik induksi ovulasi, pengambilan sel telur,
kultur oosit dan embrio, kriopreservasi embrio dan transfer embrio (TE). Demikian
pula dengan teknik fertilisasi itu sendiri telah berkembang kearah fertilisasi mikro
yang ditujukan untuk mengatasi masalah gangguan reproduksi pada pasangan suami
istri (Saili et al, 2005).
Kemajuan yang dicapai oleh teknik IVF dan TE telah banyak mengatasi
persoalan infertilitas pada pria dan penyumbatan saluran tuba pada wanita dalam
upaya memperoleh kehamilan dan kelahiran anak, namun beberapa kasus yang
berhubungan dengan kegagalan fertilisasi belum dapat tertangani dengan baik.
oleh karena itu beberapa teknik fertilisasi mikro telah dikembangkan untuk
mengatasi masalah ini, antara lain Zona Thinning (ZT), Zona Drilling (ZD),
Partial Zona Dissection (PZD), Sub Zonal Insemination (SUZI), dan
Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI). Diantara teknik tersebut hanya ICSI
yang berkembang baik dan menghasilkan perubahan yang nyata terhadap
keberhasilan fertilisasi secara mikro. Suatu hal yang menarik adalah teknik ini
awalnya dikembangkan hanya untuk membuktikan bahwa peristiwa dekondensasi
spermatozoa dan pembentukan pronukleus jantan tidak terjadi sebelum spermatozoa
masuk ke dalam sel telur (Saili et al, 2005).

1
Dewasa ini, teknik ICSI telah banyak diaplikasikan pada manusia dengan
berbagai capaian keberhasilan yang menggembirakan. Sumber spermatozoa yang
digunakan dalam teknik ICSI sangat beragam bahkan spermatozoa yang
immotilpun dapat digunakan untuk menghasilkan kehamilan. Hal ini merupakan
kelebihan yang dimiliki teknik ICSI dibanding teknik fertilisasi bantuan yang lain.
Teknik ICSI merupakan teknik manipulasi pembuahan secara in vitro
yang menyalahi aturan pembuahan alami sehingga potensi hambatan fertilisasi yang
dibawa oleh spermatozoa sangat besar. Hal ini disebabkan oleh hilangnya
kesempatan bagi spermatozoa untuk melangsungkan proses pendewasaan secara
alamiah seperti kapasitasi dan reaksi akrosom. Namun demikian, dalam
perkembangannya kedua peristiwa tersebut telah dapat dilakukan secara in vitro
sehingga spermatozoa yang diinjeksikan mampu melangsungkan proses fertilisasi
(Saili et al, 2005).
Injeksi sperma intrasitoplasmik, meski sementara efektif untuk mengatasi
rendahnya atau tidak adanya fertilisasi dengan parameter semen, saat ini sering
digunakan bersamaan dengan teknologi reproduksi berbantu untuk etiologi
infertilitas lain dengan parameter semen yang normal. Pendapat komite ini
menyajikan tinjauan kritis dari literatur untuk mengidentifikasi keadaan ini
sebagai keadaan yang menguntungkan atau tidak (Pollack, 2002).

2
BAB II
ISI

Perkembangan mikromanipulasi dari sperma telah memberikan peluang


untuk pria dengan jumlah sperma sangat sedikit dan pasangannya untuk dapat
mencapai kehamilan klinis. Prosedur ini melibatkan injeksi suatu sperma tunggal
secara langsung ke dalam sel telur (oosit). Setelah fertilisasi dicapai, embrio yang
dihasilkan diperkenalkan kepada uterus yang dipengaruhi hormon untuk
implantasi dan berlanjut pada kehamilan. Kehamilan klinis pertama dari ICSI
dilaporkan pada 1992 (Palermo, 1992), secara luas dianggap telah mengantarkan
pada era baru terapi infertilitas (Pollack, 2002).
Injeksi sperma intrasitoplasma atau intracytoplasmic sperm injection
(ICSI) diperkenalkan pertama kali pada tahun 1992 untuk meningkatkan fertilisasi
pada pasangan dengan infertilitas yang disebabkan faktor pria yang menjalani
fertilisasi in vitro (IVF) atau pada pasangan dengan kegagalan fertilisasi sebelum
menjalani IVF tanpa abnormalitas semen yang tidak diketahui. Sementara kriteria
diagnosis yang digunakan untuk mengidentifikasi infertilitas yang disebabkan
faktor pria gagal untuk memperkirakan rendah atau tidak adanya fertilisasi secara
akurat dalam teknologi reproduksi berbantu (TRB), beberapa penelitian terbaru
mendukung keamanan dan efektivitas ICSI dalam mengobati beberapa keadaan
faktor infertilitas pada pria (ASRM, 2012).
Palermo et al. (1992) memberikan komentar bahwa setelah belasan tahun
mengerjakan IVF dan gamet pada manusia, tidak ada teknik lebih memuaskan selain
dari ICSI. Teknik tersebut secara nyata mampu memecahkan persoalan dalam
membantu pembuahan, khususnya yang berhubungan dengan masalah
ketidaksuburan pada pria (Saili et al, 20015).
Berdasarkan penelitian Patrizio dan Broomfield (1999) didapatkan sekitar
30-40% kasus ketidaksuburan pada pasangan suami istri disebabkan oleh
ketidaksuburan pada pria. Selanjutnya dijelaskan bahwa secara umum
ketidaksuburan pria dapat disebabkan karena kelainan pada spermatozoa seperti
azoospermia (gagalnya proses spermatogenesis yang menyebabkan tidak adanya
spermatozoa dalam semen), oligozoospermia (subnormal konsentrasi spermatozoa

3
yang diejakulasikan), asthenozoospermia (hilangnya atau terjadinya penurunan
motilitas spermatozoa), teratozoospermia (suatu kondisi dimana terdapat
spermatozoa dengan bentuk tidak normal dalam semen) atau karena kombinasi
diantaranya (Saili et al, 2005).
Cohen et al.(1994) mengemukakan bahwa pasangan yang gagal
memperoleh pembuahan setelah IVF, maka peluang terjadinya pembuahan jika
IVF dilakukan untuk kedua kalinya kurang dari 25%. Pada penelitian yang lain,
Palermo et al. (1993) melaporkan tngkat kehamilan yang tinggi (40%) ketika
melakukan ICSI pada 38 pasangan yang telah gagal totaldengan IVF. Hasil ini
memperlihatkan bahwa ICSI mampu menolong pasien yang telah gagal dengan
IVF (Saili et al, 2005).
ICSI sebagai suatu teknik yang memungkinkan seseorang untuk
memasukkan spermatozoon ke dalam sel telur untuk tujuan fertilisasi dengan
bantuan alat mikromanipular telah mampu meningkatkan angka fertilisasi
spermatozoa yang berasal dari pria infertil. Kelebihan utama teknik ini adalah
dapat menggunakan spermatozoa tanpa mempertimbangkan motilitasnya yang
merupakan syarat mutlak pada IVF (Saili et al, 2005).

Pelaksanaan ICSI
Pasien ICSI umumnya adalah pasangan suami isteri yang telah diperiksa
kondisi reproduksinya dan dipastikan bahwa suami tidak dapat menghasilkan
spermatozoa yang memenuhi syarat untuk melakukan fertilisasi baik secara alami
maupun melalui fertilisasi in vitro. Untuk mendapatkan jumlah sel telur yang
memenuhi syarat kualitas dan kuantitas untuk tujuan ICSI maka istri diberi
perlakuan induksi hormon. Mansour et al. (1994) mengemukakan bahwa
pengambilan sel telur paling baik dilakukan 36 jam setelah injeksi hormone
human chorionic gonadotrophin (hCG). Hal ini dimaksudkan agar sel telur yang
diambil sudah cukup matang sehingga siap dibuahi oleh spermatozoa. Sebelum ICSI
dilakukan cumulus sel telur dibebaskan dengan mengikubasi sel telur beberapa saat
didalam medium penyangga HEPES yang mengandung 80 mIU/ml hyaluronidase.
Sel telur selanjutnya dipindahkan ke medium kultur dan di inkubasi sambil
menunggu saat menipulasi. Hanya sel telur yang mempunyai polar bodi pertama
(PB-I) yang dipilih untuk ICSI. Selanjutnya dilakukan seleksi

4
terhadap spermatozoa yang akan digunakan melalui berbagai macam metode
seleksi, seperti swim up atau side migration (ASRM, 2012).
Selain melakukan seleksi spermatozoa sebelum penerapan ICSI juga
dilakukan imobilisasi atau menghentikan pergerakan spermatozoa. Hal ini
dilakukan agar mudah memasukkan atau mengambil spermatozoa ke dalam pipet
injeksi dan spermatozoa yang telah terambil tidak melakukan pergerakan lebih
lanjut dalam pipet injeksi. Selain itu imobilisasi juga dapat mendukung terjadinya
proses dekondensasi spermatozoa. Mengimmobilisasi spermatozoa umumnya
dilakukan dengan menekan ekor spermatozoa sampai ke dasar petri atau dengan
memisahkan kepala dan ekor dengan cara sonikasi. Selanjutnya, ICSI dilakukan
dengan cara memasukkan satu spermatozoa ke dalam sel telur secara mekanik
dengan menggunakan alat micromanipulator dibawah mikroskop inverted
(ASRM, 2012).

5
Gambar 1. Teknik ICSI

Salah satu masalah serius pada injeksi spermatozoa khusunya pada


manusia adalah menyeleksi spermatozoa normal untuk manipulasi. Van Steirteghem
et al. (1993) telah mengidentifikasi spermatozoa hidup dalam semen dengan
menyeleksi spermatozoa menggunakan metode percoll density dan menambahkan
2-deoxyadenosin (2DA) dan pentoxyfylline untuk merangsang motilitas
spermatozoa. Lebih lanjut dilakukan bahwa kemungkinan 2DA bersifat toksik
terhadap embrio yang dapat mengakibatkan penahanan pada pembelahan

6
dan perkembangan embrio selanjutnya. Akan tetapi, Nagy et al. (1995)
mengemukakan bahwa peningkatan jumlah spermatozoa yang abnormal dalam
semen bukan merupakan faktor kritis yang menurunkan tingkat fertilisasi seteleh
ICSI. Selain itu, Saili dan Said (2005) melaporkan bahwa spermatozoa yang nyata
telah matipun karena perlakuan pembekuan tanpa kroprotektan dan perlakuan
pemisahan kepala spermatozoa dengan ekor masih mampu mendukung
pembentukan pronukleus jantan dan betina setelah diinjeksikan ke dalam sel telur
tikus. Hal ini merupakan bukti tambahan bahwa untuk tujuan fertilisasi melalui
teknik ICSI, spermatozoa yang digunakan tidak perlu motil dan utuh (Saili, et al ,
2005).

Gamvar 2. Teknik ICSI dan transfer embrio

Penggunaan ICSI pada pasien dengan parameter semen normal atau dalam
nilai ambang telah umum digunakan. Indikasi penggunaan ICSI adalah: infertilitas

7
yang tidak dapat dijelaskan, kualitas oosit yang buruk, hasil oosit yang rendah,
usia ibu yang lanjut, kegagalan fertilisasi sebelumnya dengan inseminasi
konvensional, penggunaan rutin pada seluruh siklus IVF, uji genetik
preimplantasi, fertilisasi setelah maturasi in vitro, dan fertilisasi oosit
kriopreservasi. Alasan rasional dari indikasi ini, kecuali pada uji genetik
preimplantasi, adalah untuk menghindari kegagalan fertilisasi. Ketika akan
menggunakan ICSI pada keadaan yang telah disebutkan di atas, kemungkinan
kegagalan fertilisasi harus seimbang dengan risiko yang mungkin muncul saat
prosedurnya dan dampak yang akan ditimbulkan (ASRM, 2012).

A. Injeksi Sperma Intrasitoplasma pada Infertilitas yang Tidak Dapat


Dijelaskan
Injeksi sperma intrasitoplasma telah dianjurkan untuk digunakan pada
pasien dengan infertilitas yang tidak dapat dijelaskan, sejak penggunaannya dapat
menembus sawar infertilitas yang dapat saja menjadi sebab infertilitas yang tidak
dapat dijelaskan ini. Dua penelitian pada pasien dengan infertilitas yang tidak
dapat dijelaskan penyebabnya membandingkan inseminasi konvensional dengan
ICSI menggunakan sibling oocyte. Tingkat fertilisasi setelah ICSI, meski oosit
imatur yang tidak termasuk dalam ICSI dimasukkan, lebih tinggi dibanding
kelompok inseminasi buatan: 65,3% vs. 48,1%, P<0.001 dan 61,0% vs. 51,6%,
P<0.001 untuk masing-masing kedua studi. Kegagalan fertilisasi muncul terutama
pada kelompok inseminasi dibandingkan kelompok ICSI: 0% vs. 16,7%, P<0.002
dan 0,8% vs. 19,2%, P<0.001 masing-masing. Penelitian lain telah membenarkan
temuan ini. Meski demikian, dikarenakan penelitian ini menggunakan sibling
oocytes dan embrio yang dipindahkan merupakan campuran dari kelompok
inseminasi dan ICSI, tidak ada informasi mengenai dampak inseminasi atau ICSI
terhadap keluaran klinis seperti implantasi, kehamilan, atau angka kelahiran hidup
yang dapat ditentukan dari penelitian ini.
Sebuah studi yang terdiri dari 60 perempuan dengan infertilitas yang tidak
dapat dijelaskan mengkategorikan pasien secara acak untuk menjalani IVF dengan
inseminasi konvensional atau injeksi sperma intrasitoplasma. Studi ini
menemukan tidak ada perbedaan signifikan dalam hasil primer (tingkat fertilisasi

8
77,2% vs 82,4%) atau pada hasil sekunder: kualitas embrio, tingkat implantasi
(38,2% vs 44,4%), tingkat kehamilan klinis (50% pada tiap kelompok), atau
angka kelahiran hidup (46,7% vs. 50%).Terdapat dua kasus kegagalan fertilisasi
pada kelompok inseminasi konvensional. Studi ini terbatas dengan jumlah
sampelnya yang kecil. Studi serupa, yaitu sebuah percobaan acak yang
membandingkan inseminasi konvensional dengan injeksi sperma intrasitoplasma
pada 100 pasangan dengan infertilitas yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya
menunjukkan tidak ada perbedaan dalam tingkat kehamilan antara dua kelompok
tersebut (IVF 32%, ICSI 38%; risiko relatif (RR) 0 83 [interval kepercayaan
95% 0 48 - 1 45]). Kegagalan fertilisasi muncul hanya pada satu pasangan
(dari 48 pasangan) pada kelompok inseminasi konvensional.
Secara keseluruhan, bukti terbaru terkait penggunaan rutin ICSI pada
infertilitas yang tidak dapat dijelaskan adalah terbatas dan tidak menunjukkan
peningkatan hasil keluaran klinis.Studi lebih lanjut dibutuhkan untuk menentukan
peran injeksi sperma intrasitoplasma pada populasi ini.

B. Injeksi Sperma Intrasitoplasma pada Oosit Kualitas Rendah


Oosit dengan (morfologi abnormal abnormalitas pada nuklear, sitoplasmik,
atau zona pelusida) dengan parameter semen yang normal menimbulkan tantangan
klinis.Tidak ada studi yang berhasil kami identifikasi yang menunjukkan
penggunaan injeksi sperma intrasitoplasma pada kasus tersebut meningkatkan
hasil keluaran klinis.

C. Injeksi Sperma Intrasitoplasma pada Jumlah Oosit Rendah


Injeksi sperma intrasitoplasma umum digunakan pada kasus jumlah oosit
rendah, dalam teori disebutkan bahwa tujuannya adalah untuk meningkatkan jumlah
embrio yang berhasil dibanding dengan yang diperkirakan pada inseminasi
konvensional.Sebuah percobaan terkontrol acak pada 96 pasien tanpa faktor pria
yang memiliki enam atau kurang oosit pada injeksi sperma intrasitoplasma atau
inseminasi konvensional. Ketika membandingkan ICSI dan inseminasi
konvensional, rata-rata usia pasien (35,3 dan 36,7 tahun, masing-masing) dan rata-
rata jumlah oosit yang diambil (4,4 dan 4,5 oosit, masing-masing) serupa. Injeksi
sperma intrasitoplasma menyajikan hasil yang serupa secara statistik ketika

9
dibandingkan dengan kelompok inseminasi konvensional dalam hal tingkat
fertilisasi (77,7% vs. 70,2%), kegagalan fertilitas (11,5% vs. 11,5%), kualitas
embrio, rata-rata embrio per pasien (2,5 vs. 2,2), tingkat kehamilan klinis (17,3%
vs. 21,1%), dan tingkat keguguran (33,3% vs. 36,4%). Sebuah studi analICSI
retrospektif besar membenarkan temuan ini.

D. Injeksi Sperma Intrasitoplasma pada Usia Maternal Lanjut


Oosit yang diambil dari perempuan berusia lebih tua secara teori akan
memiliki defek struktural pada zona pelusida atau sitoplasma yang dapat
menurunkan keberhasilan fertilitas dengan inseminasi konvensional. Pada
praktiknya, tingkat fertilitas oosit pada perempuan di atas usia 35 tahun yang
menggunakan inseminasi konvensional mirip dengan tingkat fertilitas pada
perempuan yang lebih muda. Tidak ada penelitian berhasil diidentifikasi untuk studi
ini yang menguji keuntungan injeksi sperma intrasitoplasma pada kelompok
spesifik ini terhadap hasil keluarannya seperti kualitas embrio atau keberhasilan
implantasi.

E. Injeksi Sperma Intrasitoplasma pada Kegagalan Fertilitas


Sebelumnya dengan Inseminasi Konvensional
Penggunaan injeksi sperma intrasitoplasma pada IVF sebelum adanya
kegagalan fertilitas total dengan analICSI semen normal pada siklus IVF
sebelumnya dianjurkan untuk mengurangi risiko kegagalan fertilitas berikutnya.
Beberapa studi retrospektif menunjukkan bahwa pada siklus dengan kegagalan
fertilitas total pada IVF/inseminasi konvensional, tingkat fertilitas berikutnya
menggunakan IVF/inseminasi konvensional sekali lagi berada pada rentang 30-
97%. Kegagalan fertilisasi total berikutnya berhubungan dengan jumlah folikel,
oosit yang diambil, dan oosit matur. Pada sebuah studi prospektif, sister oocytes
ditempatkan pada inseminasi konvensional dan ICSI dalam siklus IVF setelah
kegagalan fertilisasi total dengan IVF/inseminasi konvensional. Pada studi ini
inseminasi konvensional berikutnya menghasilkan 12/109 oosit yang difertilisasi
dengan IVF/inseminasi konvensional dan 78/162 yang difertilisasi dengan
IVF/ICSI.Meski kegagalan fertilisasi berikutnya dapat berhubungan dengan
kualitas stimulasi IVF, penggunaan IVF/ICSI dapat menurunkan risiko kegagalan

10
fertilisasi yang buruk berikutnya.

F. Injeksi Sperma Intrasitoplasma pada Penggunaan Rutin


Penggunaan rutin ICSI untuk seluruh oosit, terlepas dari etiologi
infertilitasnya telah diajukan . Alasannya adalah untuk mengurangi kemungkinan
kegagalan fertilisasi dan berpotensi untuk meningkatkan jumlah embrio. Sebuah
percobaan terkontrol acak yang diadakan oleh beberapa sentra penelitian terbaik
membandingkan hasil setelah inseminasi konvensional atau ICSI pada 415
pasangan dengan faktor infertilitas yang tidak disebabkan oleh pria. Tingkat
fertilitas untuk setiap oosit yang diambil lebih tinggi pada keompok inseminasi
konvensional dibandingkan dengan ICSI (58% vs 47%, P<0.0001). Kegagalan
fertilisasi terdapat pada 5% (11/206) dan 2% (4/209) pada kelompok inseminasi
konvensional dan kelompok ICSI, masing-masingnya.Berdasarkan data ini,
jumlah yang perlu ditangani dengan ICSI untuk mencegah satu kasus kegagalan
fertilisasi dengan inseminasi konvensional adalah 33. Sebagai tambahan,
penelitian ini melaporkan tingkat kehamilan klinis yang serupa antara inseminasi
konvensional dan ICSI (33% vs. 26%, RR 1.27 [95% CI 0.95 – 1.72]). Studi ini
menyimpulkan bahwa penggunaan ICSI harus dilakukan hanya untuk infertilitas
faktor pria. Beberapa studi tidak acak yang membandingkan penggunaan inseminasi
konvensional dengan ICSI rutin menemukan bahwa tidak ada perbedaan
signifikan dalam tingkat fertilisasi, kegagalan fertilisasi, tingkat kehamilan, atau
angka kelahiran hidup (28-31).Meski risiko kegagalan fertilisasi rendah, hal ini
muncul dalam frekuensi serupa pada kedua kelompok inseminasi konvensional dan
ICSI.Biaya finansial dan emosional kegagalan fertilisasi harus
dipertimbangkan.
Penggunaan ICSI rutin pada seluruh oosit tidak dapat dibenarkan pada kasus
tanpa infertilitas faktor pria atau riwayat kegagalan fertilisasi sebelunya berdasarkan
bukti yang ada.

G. Injeksi Sperma Intrasitoplasma untuk Uji Genetik Preimplantasi


Injeksi sperma intrasitoplasma digunakan pada kasus yang membutuhkan
uji genetik preimplantasi embrio. Alasan penggunaan ICSI adalah untuk
memastikan fertilisasi monospermia dan eliminasi kontaminasi paternal yang

11
mungkin ada dari sperma lain (extraneous sperm) yang melekat pada zona pelusida.
Sementara tidak ada percobaan terkontrol acak, perhatian mengenai hasil yang tidak
tepat akibat kontaminasi sperma lain dengan uji genetik preimplantasi
membenarkan penggunaan ICSI pada keadaan ini.

H. Injeksi Sperma Intrasitoplasma Setelah Maturasi In Vitro


Proses maturasi in vitro dapat menyebabkan perubahan dalam zona
pelusida yang mengurangi potensi fertilisasi oosit menggunakan inseminasi
konvensional. Sebuah penelitian yang secara acak memasukkan oosit matur
setelah kehilangan sel kumulusnya (denuded oocyte) ke dalam inseminasi
konvensional atau ICSI. Oosit yang dibiarkan untuk matur in vitro dengan atau
tanpa kompleks kumulusnya memliki tingkat fertilitas yang jauh lebih rendah
dibanding dengan ICSI (56,3% vs. 84,1%, P<.01 and 39,5% vs. 84,5%, P<.01,
masing-masing). Sebuah studi tambahan secara serupa menunjukkan tingkat
fertilisasi inseminasi konvensional dari oosit matur adalah 37,7% (meskipun
maturitas oosit tidak dinilai hingga uji fertilisasi 18 jam setelah inseminasi),
dibandingkan dengan tingkat fertilisasi 69,3% menggunakan ICSI oosit metafase II.
Sementara tingkat kehamilan mirip diantara kedua kelompok inseminasi
konvensional dan ICSI (23,8% dan 17,1% masing-masing, P= tidak signifikan),
implantasi oosit yang difertilisasi dengan teknik inseminasi standar lebih tinggi
dibanding dengan yang menggunakan ICSI (24,2% vs. 14,8%, P<.05). Sementara
ICSI memungkinkan peningkatan tingkat fertilisasi dari oosit matur in vitro, studi
lebih lanjut diperlukan untuk menguji hipotesis ini.

I. Injeksi Sperma Intrasitoplasma Untuk Oosit Kriopreservasi


Secara umum, kriopreservasi oosit melibatkan pelepasan sel kumulus
sebelum dibekukan. Hal ini dapat menyebabkan perubahan dalam zona pelusida
yang dapat menurunkan tingkat fertilisasi dengan inseminasi konvensional.Untuk
alasan ini, ICSI merupakan metode yang lebih dipilih pada fertilisasi oosit yang
dilakukan kriopreservasi. Terdapat keterbatasan data yang membandingkan
inseminasi konvensional dan ICSI pada oosit yang dilakukan kriopreservasi.

J. Pertimbangan Lain Injeksi Sperma Intrasitoplasma Pada Infertilitas

12
Faktor Non-Pria
Keamanan ICSI pada infertilitas faktor yang tidak disebabkan oleh pria
belum pernah diuji. Meski demikian, pada penelitian mengenai infertilitas faktor
pria, ICSI telah dikaitkan dengan sedikit peningkatan risiko hasil yang tidak
diinginkan pada keturunan. Risiko ini secara umum dikaitkan dengan faktor pria
yang mendasari. Tidak diketahui bagaimana risiko ini dapat berhubungan dengan
ICSI pada pasien dengan faktor non-pria.
Sebuah studi kohort populasi besar dengan 308.000 kelahiran, dengan
lebih dari 6100 dari ART, menyatakan bahwa risiko kelainan kelahiran utama
setelah IVF (dengan atau tanpa ICSI) memiliki odds ratio 1,2 (95% CI, 1.09
hingga 1.41) setelah penyesuaian untuk beberapa pecampuran . Ketika perempuan
yang menjalani IVF sendiri dipisahkan dengan yang juga menjalain ICSI, hanya
yang menjalani ICSI yang masih memiliki peningkatan odds ratio defek kelahiran
(1.57; 95% CI, 1.30 hingga 1.90).Meski demikian, studi ini memasukan laki-laki
dengan dan tanpa hitung sperma normal.Peningkatan defek kelahiran setelah IVF
pada laki-laki dengan analICSI semen abnormal telah cukup diketahui, dengan
pertimbangan adanya abnormalitas kromosom yang diketahui pada laki-laki
tersebut, dan tidak diharapkan pada studi ini.Namun, studi ini memberikan catatan
peringatan tambahan dalam penggunaan ICSI yang sembarangan pada semua
siklus IVF.
Injeksi sperma intrasitoplasma membutuhkan keahlian laboratorium
tambahan, sumber daya, usaha, dan waktu.Dengan demikian, penggunaan luas ICSI
meningkatkan kompleksitas dan biaya IVF.

MASALAH TERKAIT INJEKSI SPERMA INTRASITOPLASMIK


Penerobosan Sawar Alami
Terdapat asumsi biologis (Lee et al., 1996) bahwa rintangan anatomi dan
fisiologi terhadap fertilisasi normal memiliki makna mencegah inseminasi sel
telur dengan sperma yang memiliki kromosom abnormal. Pada intinya, terdapat
sawar intrinsik untuk mencapai fertilisasi manusia normal yang didesain untuk
mengeliminasi sel germ yang menyebabkan perkembangan abnormal. Mekanisme
kontrol kualitas yang kompleks ini dimulai dengan atresia sel germ pada testis,

13
kemudian di epididimis, traktus reproduksi wanita (yaitu sawar mukus serviks dan
jarak perjalanan yang relatif jauh), dan akhirnya, peleburan sperma-oosit.
Normalnya, sperma yang bertahan hidup akan melakukan penetrasi terhadap
sawar yang melingkupi sel telur: sel granulosa dari korona radiata dan zona
pelusida. Sawar ini (terlepas dari peleburan sperma-oosit) juga tidak dilewati oleh
teknik reproduksi lain, termasuk fertilisasi in vitro (IVF), yang secara luas
diterima sebagai suatu prosedur yang aman. Dengan ICSI, sawar selektif ini
terlewatkan dengan injeksi langsung spermatozoa (sel sperma matur) ke dalam sel
telur. Beberapa telah menyatakan bahwa (Prasad et al., 2000; Van Dyk et al.,
2000) zona pelusida memiliki peran penting dalam seleksi terhadap sel-sel sperma
dengan defek genetik. Dengan ICSI, terdapat penerobosan artifisial dari zona
pelusida. Aborsi spontan masih menjadi pencegahan alami dari kelainan genetik
mayor. Faktanya, 50% abortus spontan disebabkan oleh kelainan genetik.

Kompresi pada Jarum Injeksi


Pertimbangan lain adalah kompresi sel sperma dan kemungkinan trauma
terjadi pada lubang jarum mikroinjeksi. Dengan fertilisasi normal, sperma yang
sukses tidak akan mengalami hambatan dalam perjalanan di traktus reproduksi
wanita. Ketika ada kelainan morfologi, sel leukosit yang ada di cairan semen
dapat memusnahkannya, yang akan mencegah sperma abnormal ini mencapai
tempat tujuan (Tomlinson, et al., 1992). Ini merupakan metode fisiologis untuk
mengeksklusi sperma yang hancur secara struktural. Kompresi pada lubang jarum
dapat menyerupai perubahan morfologis tanpa pengawasan dari leukosit cairan
semen.

Kontaminasi Genetik
Pertimbangan lain adalah bahwa DNA asing dapat dimasukkan ke dalam
sel telur oleh sperma. Lavitrano et al. (1989) telah mendemonstrasikan bahwa
makromolekul homolog dan heterolog dapat bersatu dengan spermatozoa
epididimis tikus, yang kemudian ditransfer ke dalam sel telur untuk memproduksi
tikus transgenik dengan angka 30%. Walaupun pertimbangan ini dapat

14
memberikan hasil yang mengerikan, transfer DNA asing ke dalam sperma
manusia yang berhasil belum pernah dilaporkan. Pada penelitian terbaru, peneliti
melaporkan bahwa spermatozoa dari spesies mamalia tertentu memiliki
kemampuan untuk mengikat DNA eksogen. Namun, spermatozoa manusia, tidak
dapat berikatan dengan DNA asing. Hasil ini menunjukkan bahwa faktor-faktor
tertentu mungkin melindungi spermatozoa dari transfeksi tidak disengaja dengan
benda asing dari sumber bakteri atau virus (Camaioni et al., 1992). Data ini dapat
mengurangi ketakutan produk gen infeksius yang memasuki sel sperma selama
prosedur ICSI.

Kontaminasi Biokimia
Beberapa juga mengkhawatirkan injeksi kontaminan biokimia tidak
disengaja dari media prosedur. Namun, temuan terkait hal ini belum pernah
dilaporkan dan mungkin spermatozoa manusia melindungi diri sendiri dari media
asing dengan cara yang sama dalam menghindari kontaminasi infeksi dan
kontaminan lain. Kontaminan biokimia lain yang harus dipertimbangkan ketika
mengevaluasi keamanan prosedur ini adalah pajanan oosit terhadap hialuronidase,
cahaya intens, dan fluktuasi suhu ruangan. Tidak ada data tersedia mengenai
apakah ini hanya spekulasi semata, atau apakah pada kenyataan ini merupakan suatu
peringatan terang-terangan bahwa pemahaman mengenai prosedur ini masih belum
cukup untuk layak dilakukan. Hal yang juga berhubungan dengan kecemasan ini
adalah injeksi spermatozoa dalam polivinilpirrolodin (PVP) konsentrasi 10%.
Terdapat kemungkinan potensi karsinogenik pada senyawa ini. Namun, analisis
pertukaran kromatid sister telah menunjukkan bahwa PVP ataupun metilselulosa
tidak dapat menyebabkan penyimpangan kromosom dalam kondisi in vitro (Ray et
al, 1995).

Partenogenesis
Masalah terkait ICSI lain adalah aktivasi oosit mekanis (partenogenesis).
Ini mencakup fertilisasi abnormal yang menyebabkan pembentukan embrio
abnormal dan induksi partenogenesis. Peneliti telah menjelaskan bahwa (Kola and

15
Wilton, 1991) seorang ahli embriologi dapat menghilangkan kecemasan-
kecemasan tersebut setelah observasi mikroskopik secara teliti, yang dapat
mendeteksi induksi partenogenesis melalui adanya pronuklei pada zigot. Zigot ini
kemudian dapat dibuang sebelum pembelahan. Walaupun beberapa pertimbangan
etik muncul terkait pembuangan zigot, diskusi mengenai topik ini di luar lingkup
artikel ini.

Penggunaan Spermatid dalam Injeksi Sperma Intrasitoplasmik


Pertimbangan potensi kromosomal lain adalah penggunaan ICSI pada
spermatid (walaupun kebanyakan prosedur ICSI tidak menggunakan spermatid).
Spermatid secara normal menjalani proses spermatogenesis hingga menghasilkan
sperma matur (spermatozoa). Beberapa pria memiliki hambatan maturasi sperma
dimana hanya memiliki sperma bentuk imatur ini. Investigasi terkini telah
menunjukkan bahwa pada manusia, sel sperma matur memiliki sentrosom,
organizer mikrotubulus yang mengarahkan ketepatan peleburan sperma dan sel
telur. Selama interfase, sentrosom membelah menjadi dua kutup spindel, yang
memberikan kerangka untuk mitosis yang terjadi selanjutnya. Namun, pada
spermatid, tidak ada sentrosom. Meskipun demikian, kelahiran sehat telah
dilaporkan pada penggunaan spermatid. Beberapa teori telah diajukan (Navara et
al., 1994) untuk menjelaskan fungsi organizer mikrotubulus pada kasus ini. Namun,
masih ada pertimbangan dan keraguan besar dalam penggunaan spermatid
(Zech et al., 2000). Akankah pembelahan abnormal dan pertumbuhan menyimpang
terjadi pada embrio? Data sebelumnya tampak cukup meyakinkan (Al-Hasani et al.,
1999). Namun tetap saja, beberapa merasa terlalu dini untuk menyatakan bahwa
penggunaan spermatid aman dalam ICSI, karena anak yang lahir dengan bantuan
ICSI masih belum tumbuh dan berkembang secara sempurna.

DNA Mitokondria
Kini diketahui bahwa DNA mitokondira (mtDNA) diturunkan secara
maternal. Akankah prosedur ini memberikan hasil DNA mitokondria diturunkan

16
secara paternal (St. John et al., 2000)? Jika hal tersebut terjadi, akankah
pergeseran penurunan genetik ini menyebabkan kejadian tak terduga? Injeksi
langsung mtDNA sperma ke pusat sel telur dapat menghindari mekanisme normal
penghancuran mtDNA paternal. mtDNA memiliki peluang sangat tinggi untuk
menyebabkan mutasi dan delesi karena mtDNA kurang memiliki mekanisme
perbaikan yang efektif. mtDNA paternal dapat bergabung dengan DNA yang
hancur, atau lebih penting lagi, dapat menghambat rantai transpor elektron atau
mempengaruhi fungsi sel oksidatif lainnya; ini dapat menyebabkan akumuasi
radikal bebas yang memfasilitasi proses penuaan sel yang prematur (Patrizio,
1995). Walaupun prospek ini cukup mengerikan, verifikasi tidak mungkin dilakukan
hingga pengumpulan data bertahun-tahun lagi. Selain itu, kemungkinan bahwa
beberapa infertilitas pria dapat disebabkan oleh defek genetik mtDNA maternal
kemudian peleburan DNA paternal dapat menjadi nilai medis yang korektif
(Cummins et al., 1994).

Injeksi Sperma Intrasitoplasmik: Hasil Periode Awal


Apakah faktor-faktor ini menyebabkan peningkatan defek kongenital?
Walupun suatu studi kasus mandiri, 2.3% anak lahir dengan bantuan ICSI
memiliki kelainan kongenital berat (Bonduelle et al., 1999). Angka kelainan ini
yang diperkirakan pada populasi normal adalah di antara satu dan dua persen
(Bonduelle et al., 1996). Faktanya, lebih dari 20 juta penduduk Amerika didiagnosis
dengan penyakit genetik. Satu persen dari seluruh bayi baru lahir memiliki kelainan
Mendelian, setengah persen memiliki sindroma kromosomal, dan dua persen
memiliki kelainan multifaktorial poligenik (Ward, 1999). Jadi, ada kemungkinan
sedikit peningkatan pada kelainan berat ketika menggunakan ICSI. Di sisi lain,
mereka yang pro terhadap ICSI menjawab bahwa defek motilitas dan morfologis
dari sperma telah dieliminasi pada traktus genitalia wanita, tampaknya tidak ada
peningkatan signifikan dalam hal frekuensi kelainan. Jika kurangya seleksi
fisiologis merupakan masalah utama, kita tentunya akan memperkirakan angka
kelainan jauh lebih besar daripada angka tersebut. Selain itu, kelainan

17
kongenital yang telah terjadi tampaknya sama dengan yang terjadi di populasi
umum. Pada intinya, tidak ada kelainan atau anomali aneh yang muncul.
Respon pertama yang diberikan oleh mereka yang mendukung ICSI adalah
bahwa resiko ini spekulatif pada hakikatnya. Mereka menekankan pada hasil fase
awal dari anak ICSI, yang pada titik ini dapat meyakinkan bahwa peningkatan
malformasi mayor, yang didefinisikan sebagai yang menyebabkan perburukan
fungsional atau membutuhkan koreksi surgikal, tidak disebabkan oleh ICSI.
Mempertimbangkan data dari suatu program infertilitas luas di New York (Palermo
et al., 1996): 9 anak ICSI dari 578 (1.6%) mengalami malformasi mayor jika
dibandingkan dengan keseluruhan bayi di negeri ini adalah 3.6%. Selain itu,
beberapa ahli infertilitas pria (Van Steriteghem et al., 1994) melaporkan pada
analisis genetik dari 823 keturunan dan hanya mendeteksi satu kariotip abnormal
dan sepuluh malformasi kongenital mayor (sekitar 1.2%). Perlu dicatat bahwa,
meskipun demikian, tidak ada kesepakatan umum dalam hal ini. Ketika dua
kelompok investigator memeriksa malformasi pada anak yang dilahirkan dengan
bantuan ICSI di suatu program Belgia, hasilnya justru bertolak belakang! Tim
pertama (Bonduelle et al., 1996) melaporkan tidak adanya peningkatan, namun
observer yang lain (Kurinczuk and Bower, 1997) menemukan kemungkinan
peningkatan malformasi dua kali lipat. Kesenjangan ini dapat dijelaskan dengan
perbedaan kriteria klinis yang digunakan untuk mendiagnosis “malformasi”.
Kelompok kedua menyatakan bahwa tim Belgia membandingkan data mereka
dengan kelahiran fertilisasi in vitro dari Australian National Perinatal Statistics
Unit. Sistem ini memiliki definisi yang lebih luas dari apa yang dikelompokkan
dalam defek mayor daripada kelompok Belgia, sehingga merendahkan prevalensi
perbandingan dari defek kelahiran mayor pada kohort mereka. Misalnya, kelainan
kongenital seperti patent ductus arteriosus, dianggap hanya malformasi minor
oleh kelompok Belgia namun mayor oleh unit Australia yang disebutkan di atas.
Meskipun demikian, hal di atas menggambarkan kontroversi dari penggunaan
ICSI. Akhirnya, pendukung ICSI menyatakan bahwa penelitian hewan lebih lanjut
tidak akan membantu dalam mengevaluasi kemanan jangka panjang ICSI pada

18
hewan, yang tidak hidup selama manusia hidup. Cukup jelas bahwa belum ada
konsensus mengenai keamanan ICSI.

MASALAH TIDAK LANGSUNG INJEKSI SPERMA


INTRASITOPLASMIK
Masalah tidak langsung ICSI muncul dari potensi menurunkan sperma
abnormal secara genetik kepada anak terkait teknik ICSI.

Sindroma Silia Imotil


Masalah tidak langsung ICSI yang paling terkenal adalah gamet pria
yang membawa kelainan genetik. Misalnya, peneliti (Olmedo et al., 1997)
melaporkan fertilisasi berhasil dengan spermatozoa imotil dari seorang pria muda
dengan kombinasi displasia sarung fibrosa dan defisiensi dinein, yang kini
dideskripsikan sebagai sindroma silia imotil, yang mana merupakan suatu kondisi
autosomal resesif yang sangat jarang. Pasien ini, selain memiliki sel sperma
imotil, juga menderita beberapa kondisi medis, yaitu situs inversus dan penyakit
pulmoner berat. Ketika gamet tersebut digunakan, hasil pada keturunan biasanya
heterozigot untuk gen tersebut, dan biasanya bermanifestasi spermatozoa motil
dan asimtomatik secara medis. Dengan skrining genetik menyeluruh dari calon
pasangan, walaupun cukup mahal, penurunan sindroma dari ayah ke anak laki-laki
dapat dicegah.
Fibrosis Kistik dan Agenesis Vas Deferens Bilateral Kongenital
Kondisi agenesis vas deferens bilateral kongenital (CBVAD), pada
mayoritas pasien, berhubungan dengan defek pada gen cystic fibrosis
transmembrane conductance regulator (CTFR) (Lissens et al., 1996). Dengan
adanya ICSI, kebanyakan pria dengan CBAVD dapat menjadi seorang ayah dari
anaknya sendiri. Pada pria dengan CBAVD terkait mutasi gen CFTR tanpa adanya
riwayat fibrosis kistik (CF) yang dilaporkan dari kerabat pasangannya, resiko
memiliki anak dengan CF hanya dua persen (Engel et al., 1996). Hingga kini,
lebih dari 500 mutasi berbeda telah dilaporkan (Mickle et al., 1995) pada gen CTFR
paling banyak (sekitar 70%) dengan total 508 mutasi. Analisis genetik kini

19
dapat mendeteksi 80% hingga 90% dari seluruh mutasi. Konseling genetik dengan
skrining lengkap dapat menentukan ada atau tidaknya mutasi pada gen CFTR.
Selain itu, biopsi blastomir, yang dilakukan pada preembio hasil, dapat
meyakinkan apakah mutasi CFTR diturunkan atau tidak. Akhirnya, teknisi kini
dapat melakukan skrining CF pada embio dan janin trimester pertama (McIntosh
et al., 1989), namun ini meningkatkan intervensi teknologi dan meingkatkan
dilema lain dari kemungkinan terminasi kehamilan.

Mikrodelesi Kromosom Y
Peneliti (Ma et al., 1993) telah melaporkan bahwa beberapa bentuk dari
hambatan maturasi sperma inkomplit yang muncul sebagai azoospermia disebabkan
oleh mikrodelesi di sepanjang lengan kromosom Y. Kini, suatu studi dengan ruang
lingkup dunia (Protokol Simmy) untuk memonitor pasangan ayah/anak laki-laki
dengan analisis PCR kromosom Y sedang dilakukan untuk menguji kemungkinan
ini. Hanya setelah studi ini selesai, pernyataan lebih lanjut dapat diberikan. Namun,
biaya skrining ini sangat mahal. Selain itu, ahli genetik tidak sepenuhnya mengerti
mekanisme kontrol genetik spesifik yang muncul pada kromosom Y.

Penuaan Testis
Hubungan antara usia paternal yang cukup tua dan kelainan genetik berat
pada manusia telah dilaporkan dalam beberapa waktu (Auroux et al., 1993). Ini
mencakup akondroplasia, myositis osifikans, sindroma Apert, sindroma Marfan,
distrofi muskular Duchenne, hemofilia A, dan retinoblastoma bilateral kelainan
resesif terkait gen seks. Kemungkinan ini didukung oleh laporan (Cummins and
Jequier, 1994) adanya hubungan antara infertilitas pria yang tidak dapat
dijelaskan, dengan percepatan penuaan testis, yang mana muncul pada delesi
mtDNA, kelainan fosforilasi oksidatif, dan produksi radikal bebas. Oleh karena
itu, kelainan ini yang normalnya berhubungan dengan peningkatan usia paternal,

20
dapat berhubungan dengan infertilitas pria. Meskipun demikian, insiden kondisi
ini sangat rendah hingga butuh data beberapa tahun lagi untuk mengkaji ulang
pertimbangan ini.

RESIKO INJEKSI SPERMA INTRASITOPLASMIK: PERTIMBANGAN


ETIK
Banyak yang mempertanyakan, apakah masalah langsung atau tidak
langsung ICSI mempengaruhi kebijaksanaan biologis dari penggunaan ICSI.
Dengan proliferasi cepat ICSI, banyak pertanyaan ini dapat dijawab tanpa
keraguan ketika peneliti melakukan penelitian anak dari ICSI saat mereka sudah
tumbuh dan berkembang.
Menilai ICSI dari segi moral cukup sulit, karena banyak resiko prosedur
ini bersifat spekulatif. Hingga kini, anak yang lahir dengan bantuan ICSI masih
terlalu muda untuk diteliti apakah ada pertimbangan terkait prosedur ini atau
tidak. Selain itu, pasien yang diterapi dengan ICSI, menerima resiko tidak hanya
untuk mereka, tapi juga untuk anak-anak mereka. Namun, perkembangan cepat
dari ICSI mengharuskan adanya diskusi terkait penggunaan dan resiko dari sisi
moral.
Beberapa penulis menyatakan bahwa inti dari pertarungan etik adalah “hak
untuk reproduksi” dan batasan yang harus membebani hak ini. Ahli etik telah
membedakan antara hak positif untuk bereproduksi dan yang negatif. Hak negatif
adalah prinsip dasar masyarakat yang mengizinkan individu untuk memiliki
keturunan tanpa campur tangan apapun. Hak positif menyatakan bahwa pria dan
wanita memiliki tidak hanya kebebasan untuk bereproduksi tanpa hambatan,
namun juga hak untuk mendapatkan bantuan untuk mencapai tujuannya. Mungkin
pertanyaan etik dapat dirumuskan sebagai berikut. Dalam kondisi apakah adanya
kewajiban moral untuk berhenti bereproduksi? Secara spesifik, bolehkah reproduksi
berbantu dilakukan untuk memberikan manfaat pada orang tua walaupun beresiko
untuk anaknya nanti? Tentunya, karena pertanyaan bergantung pada derajat dan
keadaan resiko yang diambil oleh pasangan, dokter, dan

21
masyarakat untuk seorang anak, batasan etik dari resiko ini harus diperjelas. Siapa
yang membatas ini dan dimana dibatasi? Bagaimana kita dapat mulai mengetahui
bagaimana anak nantinya akan beradaptasi dengan kondisi bawaannya? Penyakit
yang mematikan dan mengerikan pada anak nantinya akan menjadi tantangan
berikutnya. Kesulitan ini hanya diperbesar oleh banyak pertanyaan tak terjawab
pada bagian biologis.
Beberapa ahli bioetik (Steinbock and McClamrock, 1994) menyatakan
bahwa kelahiran seperti ini tidak adil untuk anak ICSI. Mereka menggarisbawahi
prinsip tanggung jawab orangtua, yang akan membuat orang tua menahan diri dari
memiliki anak kecuali mereka tetap puas dengan kondisi minimal tertentu.
Kondisi ini mencakup awal dari kehidupan yang adil yang tidak terbebani dengan
penyakit yang mengerikan. Orangtua sebaiknya tidak hanya tertarik dalam
memenuhi keinginannya untuk bereproduksi saja. Di sisi lain, keinginan utama
mereka sebaiknya adalah kesejahteraan dari anak yang akan mereka miliki.
Mereka seharusnya menanyakan diri sendiri, “hidup seperti apa yang anak saya
inginkan?” Orang tua yang benar-benar memiliki rasa cinta dan peduli akan
menginginkan anaknya memiliki hidup yang baik dan akan berusaha keras untuk
mencapai hal tersebut. Namun apa yang terjadi jika orang tua tidak dapat
menjamin anaknya memiliki kehidupan yang baik? Prinsip dari rasa tanggung jawab
orang tua menegaskan bahwa dengan kondisi seperti ini, seperti penggunaan
ICSI, lebih baik untuk tidak memiliki anak, karena tidak adil untuk melahirkannya
ke dunia dengan mengetahui bahwa mereka akan hidup dengan penuh kerugian.
Apakah ini berbeda dengan pasangan yang tidak tahu apa-apa dan melahirkan anak
dengan cacat berat dan rasa sakit yang ekstrim seperti penyakit Tay-Sachs, namun
meskipun demikian anak tersebut tetap hidup bahagia? Berdasarkan prinsip rasa
tanggung jawab orang tua, bukankah seharusnya orang tua menghentikan seluruh
terapi medis non-paliatif karena tidak berguna dan hanya memperlama
penderitaan? Namun, dalam hal ini, anak memang telah hidup, dan bukan
menjadi tanggung jawab orang tuanya untuk memutuskan apakah anak ini
sebaiknya hidup atau tidak. Pilihan ini sepenuhnya ada di tangan sang anak.
Tentunya, jika anak terlalu muda, orang tua yang memiliki rasa

22
tanggung jawab akan melakukan konseling dengan dokter dan bersama-sama
menentukan apa yang terbaik untuk sang anak. Namun ketika tidak ada anak sama
sekali, pertanyaan yang menjadi masalah dari calon orang tua ini bukan lagi “apa
yang terbaik untuk anakku?”, namun apakah akan membuat anak yang memiliki
kemungkinan besar menjalani hidup dengan nyeri dan menghadapi perbedaan
yang nyata. Dalam hal ini, orang tua dengan rasa tanggung jawab akan
mengesampingkan keinginannya. Rasa tanggung jawab pada orang tua membuat
mereka memilih untuk tidak memiliki anak yang ditakdirkan untuk hidup dengan
kesengsaraan.
Selain itu, bahkan jika seorang anak menjalani hidup bahagia nantinya,
tidak ada kewajiban moral yang mengharuskan orang tua untuk memiliki seorang
anak. Jika pasangan memutuskan untuk tidak memiliki anak, tidak akan ada
masalah yang muncul. Untuk lebih sederhananya, tidak ada masalah dalam
ketidakadaan. Seperti yang dikatakan Mary Anne Warren:
Kegagalan memiliki seorang anak, bahkan ketika kamu mungkin akan
memiliki anak yang bahagia, tidaklah benar atau salah. Namun hal yang sama
tidak bisa dikatakan pada konsep memiliki anak, karena tindakan ini akan
melahirkan seorang individu yang keinginannya perlu dipertimbangkan. Memiliki
anak dalam kondisi dimana dapat diprediksi bahwa anak tidak akan bahagia dapat
dinilai objektif dari sisi moral, bukan karena hal ini melanggar hak dari anak yang
akan dilahirkan, namun karena hal ini akan menghasilkan frustasi dan
kebingungan terhadap keinginan anak di kemudian hari (Warren, 1978).
Ketika mendaftar untuk tindakan ICSI, prinsip tanggung jawab orang tua
akan menahan keinginan ini sampai penelitian lebih lanjut membuktikan bahwa
tindakan ini tidak akan memberikan masalah kepada anak nantinya. Masalah
disini bukanlah yang bersifat substansial atau mematikan. Namun lebih kepada
masalah baik secara langsung maupun tidak langsung dari tindakan ICSI yang
akan menyebabkan anak hidup dalam kerugian. Walaupun seorang dokter kini dapat
melakukan konseling kepada pasien, dan memberitahu pasien, bahwa dengan
skrining genetik yang teliti, tidak akan ada resiko mereka menurunkan kondisi
genetik kepada keturunan mereka, hingga kini masih banyak pertanyaan-

23
pertanyaan dan berbagai spekulasi mengenai prosedur ini. Hingga penelitian
hewan lebih lanjut menjawab keraguan ini, pasangan yang bertanggung jawab
akan menarik diri dari ICSI.
Ada banyak pemikir yang beranggapan bahwa ICSI sebaiknya dilakukan
untuk membantu pasangan infertil. Salah satu pemikir kebebasan prokreatif, John
Robertson, menyatakan bahwa “apakah seseorang bereproduksi atau tidak adalah
pusat dari identitas, harga diri, dan arti hidup bagi seseorang.” Bagi Robertson,
hak untuk bereproduksi adalah milik seluruh pasangan, baik yang fertil maupun
infertil. Seperti seorang tunanetra yang memiliki hak untuk membaca, begitu pula
hak pasangan infertil untuk memiliki keturunan. Robertson menulis,
Semakin tinggi insiden kelainan kongenital pada seorang anak tidak dapat
membenarkan larangan teknik ini dengan pertimbangan untuk melindungi
keturunan, karena tanpa teknik ini anak ini tidak akan lahir sama sekali.
Kecuali hidup mereka penuh dengan penderitaan akan lebih buruk
daripada tidak ada kehidupan sama sekali, yang mana merupakan suatu
anggapan yang sangat tidak mungkin, anak dengan kelainan bawaan tidak
akan dirugikan jika mereka memang tidak dilahirkan dalam kondisi sehat
(Robertson, 1994).
Bagi Robertson dan pemikir yang serupa, doktrin tanggung jawab orang
tua, yaitu untuk melindung anaknya dari kerugian yang tidak perlu, secara
fundamental salah berdasarkan hidup penuh penderitaan yang akan dijalani sang
anak nantinya. Untuk hidup dengan penyakit tidaklah menyenangkan sama sekali,
namun jika dihadapkan pada pilihan tidak hidup sama sekali, hidup dengan penyakit
tidak seburuk itu. Hal ini tidak menyiratkan bahwa keputusan untuk bereproduksi
tidak perlu dibatasi. Tentu saja, memiliki keturunan lebih kepada hak konstitusional
yang mana di bawah keadaan “memaksa” tertentu akan memiliki batasan. Misalnya
ketika reproduksi akan jelas-jelas membuat anak nantinya berharap untuk tidak
pernah dilahirkan sama sekali. Hal ini dapat dicontohkan dengan, ketika ICSI akan
menghasilkan kembar siam yang sangat fatal (Goldberg et al., 2000). Walaupun
tidak ada laporan kasus hukum yang mencegah orang tua

24
memiliki keturunan dalam situasi tertentu, pasangan yang bijaksana, bersama ahli
infertilitas dan genetik akan memilih untuk tidak mengusahakan kehamilan ini.
Pengikut kebebasan prokreatif akan mendukung penggunaan ICSI
hampir di seluruh kasus. Namun serupa dengan pandangan “tanggung jawab
orang tua”, pernyataan ini tidak memberikan rekomendasi apapun kepada
pasangan infertil dan dokter.

BAB III
KESIMPULAN

- Injeksi sperma intrasitoplasma merupakan terapi yang aman dan efektif untuk
penatalaksanaan infertilitas faktor pria.
- Injeksi sperma intrasitoplasma dapat meningkatkan tingkat fertilisasi ketika
harapan fertilisasi rendah atau kegagalan fertilisasi yang telah ada dengan
inseminasi konvensional.
- Injeksi sperma intrasitoplasma pada infertilitas yang tidak dapat dijelaskan
tidak meningkatkan hasil keluaran klinis.
- Masalah terkait etik dalam pelaksanaan ICSI masih terus diteliti seiring
dengan keberhasilan teknik tersebut dalam mengahsilkan keturunan yang

25
normal.

26

Anda mungkin juga menyukai