Anda di halaman 1dari 11

Latar Belakang dan Definisi Supervisi

Supervisi memegang peranan penting serta merupakan bagian yang tidak


terpisahkan dalam keperawatan guna menjaga kualitas pelayanan dan menjamin
kepuasan klien. Dalam penerapannya, supervisi memiliki standar ideal yang harus
dipenuhi. Standar ideal tersebut meliputi teknik serta langkah-langkah dalam proses
supervisi yang harus dijalankan. Sementara itu, dalam realitas pelayanan
keperawatan khususnya pada fasilitas kesehatan berupa rumah sakit, masih
ditemukan beberapa keluhan yang tidak mencerminkan kualitas pelaksanaan
supervisi yang ideal.

Fungsi supervisi dalam manajemen keperawatan di rumah sakit salah satunya


dijalankan oleh kepala ruangan, di mana kepala ruangan menempati posisi paling
dasar dalam hierarki kepemimpinan. Pihak yang disupervisi dalam hal ini adalah
perawat pelaksana di masing-masing ruangan (Nursalam, 2017). Sebagai
pemimpin, kepala ruangan bertanggung jawab untuk memberi pengaruh bagi
perawat pelaksana yang dipimpinnya dalam rangka mencapai visi bersama.
Pengaruh tersebut dapat diberikan dengan jalan dan metode yang berbeda-beda,
sebagaimana yang telah banyak dijelaskan dalam teori kepemimpinan modern.

Supervisi adalah intervensi yang diberikan oleh senior kepada juniornya dalam
organisasi di mana pada umumnya kedua pihak tersebut berasal dari profesi yang
sama. Hubungan yang terjalin di antara keduanya bersifat evaluatif dan hierarkis;
mengalami perluasan dari waktu ke waktu; dan memiliki tujuan yang simultan
untuk meningkatkan fungsi profesional dari pihak yang disupervisi, memonitor
kualitas pelayanan profesional yang diberikan kepada klien, serta berperan sebagai
salah satu 'ujian' yang harus dilalui oleh pihak yang disupervisi sebelum
mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari profesi yang diinginkannya (Bernard
& Goodyear, 2014).

Definisi lainnya dari supervisi disebutkan dalam Korompis (2015) yang


menegaskan bahwa supervisi (pengawasan) secara umum adalah proses melihat
kembali kepada rencana yang telah ditetapkan setalah mengamati kegiatan
operasional di lapangan, kemudian mencari kecocokan di antara keduanya.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa supervisi sangat erat
kaitannya dengan proses penilaian.

Korompis (2015) mengawali pembahasannya tentang supervisi dengan


menjelaskan tentang proses penilaian, di mana penilaian dalam konteks organisasi
dan manajemen merupakan proses penentuan tingkat keberhasilan dari suatu
program dalam kaitannya dengan usaha untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan, sehingga melakukan penilaian berarti membandingkan hasil yang telah
dicapai dalam kurun waktu tertentu dengan kriteria atau tolak ukur yang telah
ditetapkan sebelumnya. Maka, langkah selanjutnya adalah menentukan arah
melalui pemilihan secara saksama terhadap berbagai kemungkinan atau kebijakan
alternatif yang tersedia guna meraih capaian yang sesuai dengan target. Hal tersebut
dilakukan dengan cara mengambil kesimpulan dan menyusun saran-saran alternatif
pasca dilakukannya penilaian sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Merujuk kepada penjelasan tentang supervisi yang erat kaitannya dengan proses
penilaian sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peran
supervisi dalam hal ini adalah untuk memastikan bahwa sebuah organisasi dapat
berjalan di atas jalur dan sesuai dengan arah yang telah ditetapkan guna mencapai
target yang menjadi visinya. Secara spesifik, proses supervisi menjadikan
penggerak utama organisasi yang dalam hal ini adalah para staf yang beroperasi di
tatanan teknis untuk dapat bekerja sesuai dengan uraian tugasnya serta mampu
menyelesaikan pekerjaan seefektif dan seefisien mungkin.

Secara umum, Corey, Haynes, Moulton, & Muratori (2014) mendefinisikan


supervisi sebagai sebuah proses yang di dalamnya terdapat perlakuan berupa
observasi dan evaluasi secara konsisten dalam rangka pemberian bimbingan
(konseling) oleh tenaga profesional yang telah terlatih dan berpengalaman, serta
berkomitmen dan berkompeten dalam bidang ilmu dan keterampilan tertentu
dengan tujuan pengembangan profesional bagi pihak yang disupervisi. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa bahkan dalam profesi yang sama sekalipun, peran dan tanggung
jawab seorang supervisor dapat berbeda antara satu supervisor dengan supervisor
yang lain. Sebagai contoh adalah antara supervisor yang bertugas mengawasi proses
belajar seorang magang dengan supervisor lainnya yang bertugas mengawasi
kinerja seorang ahli madya, perlakuan yang diberikan akan berbeda, sehingga
pengertian supervisi yang dipakai pun akan berbeda. Demikian pula dengan situasi
dan kondisi (setting) tempat kerja: organisasi tertentu dapat memiliki kebijakan
supervisi tertentu pula, sehingga definisi operasional yang digunakan pun turut
berbeda.

Dalam keperawatan, pembahasan tentang supervisi salah satunya dikemukakan


oleh Nursalam (2017) yang menyebutkan:
“Supervisi merupakan upaya untuk membantu pembinaan dan peningkatan
kemampuan pihak yang disupervisi agar mereka dapat melaksanakan tugas
kegiatan yang telah ditetapkan secara efisien dan efektif (Huber, 2000).
Supervisi keperawatan adalah kegiatan pengawasan dan pembinaan yang
dilakukan secara berkesinambungan oleh supervisor mencakup masalah
pelayanan keperawatan, masalah ketenagaan dan peralatan agar pasien
mendapat pelayanan yang bermutu setiap saat.”

Tujuan supervisi
Sasaran supervisi adalah aktivitas pekerjaan di tingkat karyawan (dalam hal ini:
perawat pelaksana). Aktivitas pekerjaan tersebut kemudian disebut sebagai ‘sasaran
langsung’ dalam konteks supervisi. Lebih lanjut, Nursalam (2017) merumuskan
tujuan supervisi sebagai upaya yang dilakukan secara langsung oleh atasan kepada
bawahannya untuk membantu dalam memberikan bekal yang cukup guna
melaksanakan tugas yang diberikan sehingga mampu menghasilkan keluaran yang
berkualitas, sehingga jika dijabarkan satu per satu, tujuan supervisi adalah sebagai
berikut:
1. Menjamin bahwa pihak yang diberi supervisi (staf, karyawan, atau dalam
konteks tulisan ini: perawat pelaksana) mampu menjalankan tugas
berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan dalam kurun waktu tertentu dan
dengan memanfaatkan fasilitas yang tersedia.
2. Membantu pengawas (supervisor) dalam mengidentifikasi kebutuhan akan
pelatihan bagi stafnya yang memiliki kekurangan dalam hal pengetahuan,
kemampuan serta pemahaman.
3. Membantu pengawas dalam mengidentifikasi staf yang layak untuk
diberikan penghargaan dalam bentuk kenaikan jabatan maupun pelatihan
lanjutan.
4. Membantu manajer dalam mengidentifikasi apakah sumber daya dan
fasilitas yang tersedia telah dimanfaatkan dengan baik.
5. Membantu manajer dalam mengidentifikasi kekurangan dalam konteks
kinerja beserta penyebabnya.

Karakteristik supervisor
Supervisi, sebagai sebuah proses yang berperan untuk menjamin terlaksananya
usaha-usaha untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien, memiliki
syarat atau karakteristik yang berfungsi untuk memastikan proses tersebut berjalan
dengan baik pula. Menurut Nursalam (2017), syarat dan karakteristik yang harus
dimiliki oleh seorang supervisor adalah sebagai berikut:
1. Supervisor sebaiknya merupakan atasan langsung dari pihak yang
disupervisi. Jika tidak memungkinkan, maka proses supervisi dapat
dilaksanakan oleh staf khusus yang kepadanya dipercayakan wewenang dan
tanggung jawab dengan batasan-batasan yang jelas.
2. Supervisor adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan
yang memadai sesuai dengan bidang pekerjaan dari pihak yang disupervisi.
3. Supervisor harus memiliki keterampilan dalam bidang supervisi itu sendiri,
yang artinya memahami prinsip-prinsip serta teknik dalam menjalankan
proses supervisi.
4. Supervisor bersifat edukatif, suportif dan tidak otoriter.
5. Supervisor menyediakan waktu yang cukup untuk menjalankan proses
supervisi sehingga supervisi tidak dilakukan dengan asal-asalan dan tidak
menerapkan prinsip ‘ yang penting selesai’. Hal ini penting mengingat
supervisi bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan
sikap dan pihak yang disupervisi.

Karakteristik supervisi
Selain dari lima syarat dan karakteristik di atas, Nursalam (2017) juga menekankan
bahwa supervisi yang baik, jika ditinjau dari sudut pandang pelaksanaannya, juga
harus meliputi empat hal berikut:
1. Tepat waktu, yang berarti proses supervisi harus mempertimbangkan
momen yang tepat agar tidak mengganggu pekerjaan serta demi
mempertahankan standar kerja.
2. Sederhana, yang bertujuan agar proses supervisi dilakukan dengan spontan
dan dalam kurun waktu yang relatif singkat agar hasil dari supervisi yang
dilakukan merupakan hasil yang asli, bukan manipulasi.
3. Minimal, yang berarti proses supervisi dilaksanakan secara efektif dan
efisien, sehingga tidak ada waktu dan tenaga yang terbuang sia-sia.
4. Luwes, yang artinya penekanan dalam proses supervisi juga harus
mempertimbangkan aspek hubungan sosial yang baik antara supervisor
dengan pihak yang disupervisi. Hal ini dimaksudkan semata-mata agar
pihak yang disupervisi tidak memiliki kecenderungan untuk menghindar
dari proses supervisi.

Pelaksana supervisi
Adapun yang dimaksud dengan ‘supervisor’ atau pihak yang bertanggung jawab
untuk melakukan supervisi secara umum adalah pihak yang memiliki jabatan lebih
tinggi (atasan), dan lebih spesifik adalah atasan yang memiliki pengetahuan dan
keterampilan supervisi (Nursalam, 2017). Ali Zaidin sebagaimana dikutip dalam
Nursalam (2017) mengelompokkan pihak-pihak yang melakukan supervisi ke
dalam tiga kelompok besar dalam hierarki kepemimpinan sebagaimana dijabarkan
di bawah ini:
1. Manajer puncak (top manager)
Manajer puncak adalah yang bertanggung jawab mulai dari proses kegiatan
sampai dengan tahap hasil atau ketercapaian dari proses kegiatan tersebut.
Manajer puncak menetapkan kebijakan (policy) dan memberi gambaran
tentang tujuan dari kebijakan tersebut.
2. Manajer menengah (middle manager)
Manajer menengah bertugas dalam menerjemahkan kebijakan yang
dikeluarkan oleh manajer puncak ke dalam program-program yang bersifat
konkret dan terukur. Manajer menengah menjadi atasan (supervisor) bagi
sebagian manajer lain yang berada setingkat di bawahnya, yakni pihak yang
disebut dengan manajer tingkat pertama.
3. Manajer tingkat pertama (first line, first level manager, supervisor
manager)
Manajer tingkat pertama merupakan tingkatan paling dasar dalam hierarki
manajemen organisasi. Manajer tingkat pertama menjalankan fungsinya
sebagai ‘mandor’ bagi para bawahannya, yakni memimpin dan melakukan
pengawasan langsung terhadap para pelaksana atau pekerja.

Frekuensi supervisi
Supervisi dapat dilakukan dalam frekuensi yang bervariasi, menyesuaikan dengan
kebutuhan di lapangan. Tidak ada pedoman baku tentang kapan dan seberapa sering
supervisi dilaksanakan, sehingga pedoman yang paling tepat adalah dengan melihat
kepada derajat kesulitan pekerjaan serta sifat penyesuaian yang akan berlaku.
Dalam rangka menentukan frekuensi pelaksanaan supervisi, supervisor harus
menghindari dua hal, yakni overcontrol (kontrol yang berlebihan) dan undercontrol
(kontrol yang kurang). Keduanya berpotensi menyebabkan tidak efektifnya
delegasi, sehingga fungsi supervisi sendiri akan turut terganggu (Nursalam, 2017).

Langkah-langkah supervisi
Zaidin dalam Nursalam (2017) menyusun langkah-langkah yang harus dijalankan
dalam melakukan supervisi sebagaimana akan dijelaskan dalam kutipan langsung
berikut:
1. Langkah I: mengadakan persiapan pengawasan.
a) Menentukan tujuan
b) Menentukan metode
c) Menentukan standar/kriteria pengukuran
2. Langkah II: menjalankan pengawasan.
Terdiri atas tiga tahap, yaitu sebagai berikut.
a) Membuat dan menentukan rencana pengawasan, di mana rencana
pengawasan harus memuat sistem pengawasan, standar yang dipakai,
dan cara pelaksanaan.
b) Pelaksanaan pengawasan dapat dilakukan dengan berbagai sistem yaitu:
1) sistem preventif, yang dilaksanakan sebelum suatu usaha dilakukan;
2) sistem represif, yang dilaksanakan setelah suatu usaha dilakukan,
misalnya memberikan laporan-laporan kegiatan;
3) sistem verifikatif, yaitu pemeriksaan secara terperinci dengan
memberikan laporan-laporan perincian dan analisis dari segala hal
yang terjadi dalam pelaksanaan rencana;
4) sistem inspektif, yaitu suatu sistem pengawasan dengan
mengadakan pemeriksaan setempat secara langsung dengan tujuan
mengetahui sendiri keadaan yang sebenarnya;
5) sistem investigatif, yaitu suatu pengawasan dengan jalan
mengadakan penelitian, penyelidikan untuk mengetahui kesalahan
dan membongkar adanya penyelewengan. Sistem ini terdiri atas
inspektif dan verifikatif.
6) kombinasi sistem preventif dan represif yaitu sistem pengawasan
dari suatu usaha yang dilakukan baik sebelum maupun sesudah
usaha tersebut berjalan.
c) Penilaian dari pelaksanaan pengawasan.
Penilaian adalah proses penetapan secara sistematis tentang nilai,
tujuan, efektivitas, atau kecocokan sesuatu sesuai dengan kriteria dan
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Penilaian sebagai kegiatan
sistematis untuk mengumpulkan, mengolah, menganalisis,
mendeskripsikan, dan menyajikan data atau informasi yang diperlukan
sebagai masukan untuk pengambilan keputusan (Huber, 2000). Menurut
Huber (2000), evaluasi dilakukan sejak perencanaan program berkaitan
dengan dimensi kualitatif tentang efektivitas program, mengarah pada
upaya menyiapkan bahan masukan untuk pengambilan keputusan
tentang ketepatan, perbaikan, perluasan, atau pengembangan program
terkait dengan pengambilan keputusan tentang penyusunan rancangan
dan isi program.
3. Langkah III: memperbaiki penyimpangan.
Tujuan dari hal ini adalah mengadakan perbaikan dari hasil kerja yang
kurang atau salah untuk memperoleh hasil yang lebih besar dan lebih
efisien. Setelah daya melalui pengawas diperoleh, maka dianalisis dan
masalah yang timbil dicarikan pemecahannya serta mencegah membuat
masalah pada waktu mendatang. Pembinaan yang efektif dapat
digambarkan melalui lima langkah pokok yang berurutan. Kelima langkah
itu adalah sebagai berikut.
a. Mengumpulkan informasi.
Informasi yang dihimpun meliputi kenyataan atau peristiwa yang benar-
benar terjadi dalam kegiatan berdasarkan rencana yang telah ditetapkan.
Pengumpulan informasi yang dianggap efektif adalah yang dilakukan
secara berkala dan berkelanjutan dengan menggunakan pemantauan dan
penelaahan laporan kegiatan.
b. Mengidentifikasi masalah.
Masalah ini diangkat dari informasi yang telah dikumpulkan dalam
langkah pertama. Masalah akan muncul apabila terjadi ketidaksesuaian
dengan atau penyimpangan dari kegiatan yang telah direncanakan.
Ketidaksesuaian atau penyimpangan menyebabkan adanya jarak
(perbedaan) antara kegiatan yang seharusnya terlaksana dengan
kegiatan yang benar-benar terjadi. Jarak atau perbedaan antara kegiatan
inilah yang disebut masalah.
c. Menganalisis masalah.
Kegiatan analisis adalah untuk mengetahui beberapa jenis masalah dan
faktor-faktor penyebab timbulnya maslah tersebut. Faktor-faktor itu
mungkin datang dari para pelaksana kegiatan, sasaran kegiatan, fasilitas,
biaya, proses, waktu, dan kondisi lingkungan. Di samping faktor
penyebab, diidentifikasi pula sumber-sumber dan potensi yang dapat
digunakan untuk memecahkan masalah yang timbul. Hasil analisis ini
penting untuk diperhatikan dalam upaya pemecahan masalah.
d. Mencari dan menetapkan alternatif pemecahan masalah.
Kegiatan pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi
alternatif upaya yang dapat dipertimbangkan untuk memecahkan
masalah. Alternatif ini disusun setelah memperhatikan sumber-sumber
pendukung dan kemungkinan-kemungkinan hambatan yang akan
ditemui dalam upaya pemecahan masalah. Kegiatan selanjutnya adalah
menetapkan prioritas upaya pemecahan masalah yang dipilih dari
alternatif yang tersedia.
e. Melaksanakan upaya pemecahan masalah.
Pelaksanaan upaya ini dapat dilakukan pembina baik secara langsung
maupun secara tidak langsung. Pembinaan secara langsung dapat dibagi
dua macam, yaitu pertama, pembinaan individual (perorangan), yaitu
pembinaan yang dilakukan terhadap seseorang pelaksana kegiatan.
Pihak pembina memberikan dorongan, bantuan, dan bimbingan
langsung pada pelaksana kegiatan. Cara ini tepat dilakukan apabila
pihak yang dibina mempunyai kegiatan beraneka ragam atau
memerlukan pembinaan bervariasi. Teknik-teknik yang dapat
digunakan antara lain adalah dialog, diskusi, bimbingan individual, dan
peragaan. Kedua, pembinaan kelompok. Pihak supervisor melayani para
pelaksana kegiatan secara berkelompok. Pembinaan ini dapat digunakan
apabila para pelaksana kegiatan atau pihak yang dibina memiliki
kesamaan kegiatan atau kesamaan permasalahan yang dihadapi.
Pembinaan kelompok dapat menghemat biaya, waktu, dan tenaga.
Teknik-teknik yang dapat digunakan dalam pembinaan kelompok antara
lain diskusi, penataran, rapat kerja, demonstrasi, dan lokakarya. Secara
tidak langsung upaya pemecahan masalah yang diputuskan oleh pihak
pembina itu dilakukan melalui pihak lain, seperti melalui orang lain atau
media tulis.

Manfaat supervisi
Ditinjau dari sudut pandang kemanfaatan, supervisi berperan untuk membantu
organisasi dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja. Sebagaimana
telah banyak disebutkan pada penjelasan sebelumnya, efektivitas dan efisiensi
merupakan pangkal dari tercapainya tujuan bersama dalam organisasi, sehingga
supervisi dalam hal ini mengambil peran yang sangat penting. Menurut Nursalam
(2017), efektivitas erat kaitannya dengan peningkatan pengetahuan dan
keterampilan dari karyawan di tingkat pelaksana, serta terciptanya suasana yang
harmonis antara atasan dengan bawahan. Sedangkan efisiensi erat kaitannya dengan
menurunnya angka kesalahan (error) karyawan pelaksana dalam melakukan
pekerjaan yang berujung pada keberhasilan organisasi dalam mencegah eksploitasi
terhadap sumber daya yang berlebihan dan sia-sia.
Daftar Pustaka

Bernard, J. M., & Goodyear, R. K. (2014). Fundamentals of Clinical Supervision


(5th ed.). Harlow: Pearson Education Limited.
Corey, G., Haynes, R. H., Moulton, P., & Muratori, M. (2014). Clinical
Supervision in the Helping Professions: A Practical Guide (2nd ed.).
Hoboken: John Wiley & Sons.
Korompis, G. E. C. (2015). Organisasi & Manajemen Kesehatan (E. K. Yudha,
ed.). Jakarta: EGC.
Nursalam. (2017). Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik
Keperawatan Profesional (5th ed.; P. P. Lestari, ed.). Jakarta: Salemba
Medika.

Anda mungkin juga menyukai