Anda di halaman 1dari 5

Metode Etnografi dalam Antropologi

Oleh Bustan Basir Maras

“Kalau Anda hanya melihat riak gelombang, Etnografi menyelami dalamnya dasar lautan !”
(James P. Sradlay)

a. Metode Etnografi-Antropologi

Saya memulai tulisan saya dengan istilah metode etnografi. Bukan metodologi etnografi.
Perbedaannya tentu cukup jelas. Metodologi etnografi adalah ilmu tentang metode etnografi,
sedangkan metode etnografi adalah strategi pencapaian ke etnografi dalam mendeskripsikan
sesuatu dari lapangan penelitian atau sejenisnya.

Etnografi adalah metode yang paling lazim digunakan di dalam berbagai penelitian antropologi.
Berdasarkan beberapa referensi yang pernah saya baca, secara singkat dapat dirumuskan, bahwa
metode etnografi adalah strategi pendeskripsian pola-pola berkomunitas suatu suku bangsa di
wilayah tertentu. Terutama dalam konteks suku bangsa di Indonesia yang memiliki perbedaan
‘eksotis’ antara satu dengan yang lainnya.

Metode ini lahir hampir bersamaan dengan lahirnya ilmu antropologi yang sekaligus menjadi
embrio dikenalnya ilmu ini; ilmu yang lebih banyak mengandalkan pengamatan dan analisis
terhadap perkembangan kebudayaan manusia berkomunitas, dari waktu ke waktu yang sarat
dengan berbagai perubahan, sebagai sebuah keniscayaan.

Meskipun dalam perkembangannya kini, metode atnografi juga banyak digunakan oleh disiplin
ilmu lain, seperti sejarah, sosiologi, psikologi, dan sederet ilmu pengetahuan sosial lainnya, bahkan
merambah hingga ke metode penelitian kesehatan masayarakat, seperti kedokteran, penyuluh
kesehatan masyarakat dan lain-lain.
Sehingga secara singkat dapat dipahami, bahwa metode etnografi dalam konteks antropologi,
adalah penelitian yang menganalisis bagaimana manusia membangun komunitas dan pola
kebudayaannya masing-masing, dalam bentuk dan performa yang berbeda-beda, tentunya.

Etnografi atau yang biasa pula disebut dengan field work adalah merupakan acuan yang paling
banyak digunakan di dalam penelitian antropologi, lewat metode partisipasi observasi, dengan
melibatkan diri peneliti secara langsung ke dalam masyarakat (subjek) yang ditelitinya atau yang
dianalisisnya.

Itulah sebabnya sehingga peneliti dalam konteks etnografi, lebih banyak mengandalkan observasi
di awal penelitiannya dan partisipasi (kedekatan) dengan subjek penelitiannya selama research
(penelitian) berlangsung.

Sebab untuk menganalisis berbagai aktivitas, pemahaman, penafsiran dan pemaknaan masyarakat
terhadap sesuatu, atau terhadap subjek penelitian, peneliti harus lebih intens berkomunikasi dengan
masayarakat, terutama tokoh-tokohnya, atau para penentu kebijakan di masyarakat tersebut.

Kedalaman komunikasi itu akan sampai ke tingkat dialektika, baik yang bersifat lahiriah maupun
batiniah (dalam penelitian yang lebih serius dan dalam jangka waktu yang lama). Dengan metode
seperti ini, keterlibatan peneliti atau penulis dengan subyek yang diteliti, dalam pola kedekatan,
termasuk lewat wawancara mendalam (indept interview), akan lebih mempermudah peneliti
mendapatkan data-data yang dibutuhkan. Sebab metode indept interview, bertujuan untuk
menemukan dan mengetahui kebudayaan informan yang diteliti (Spradley, 1997:114)

b. Persiapan Sebelum ke Lapangan Penelitian

Beberapa persiapan perlu dilakukan sebelum turun ke lokasi penelitian. Baik persiapan fisik,
mental, dan yang tak kalah pentingnya, berbagai peralatan penunjang (property) yang sangat
menentukan berhasil dan tidaknya sebuah penggalian data dilakukan.

1. Persiapan Lahiriah-Batiniyah

Persiapan lahiriah-batiniyah (fisik-psikis), adalah sebuah persyaratan mutlak bagi seorang peneliti.
Mobilitas yang tinggi mulai dari persiapan ke lapangan, perjalanan menuju lapangan, hingga
(terutama) ketika berada di lapangan, sangat menguras tenaga yang tidak sedikit. Makanan dan
minuman yang sehat tentu dibutuhkan.

Jangan lupa suplay vitamin yang berhubungan langsung dengan kerja fisik, terutama yang
memiliki kandungan zat besi (tenaga) dan lain-lain. Atau yang lebih baik, gunakanlah suplay
vitamin herbal, alami, atau yang langsung dari alam, seperti madu dan lain-lain.

Sementara untuk persiapan psikisnya (batiniyah), hubungan vertikal kepada sang khalik, atau
kekuatan ideologi (termasuk ideologi pancasila), keyakinan pribadi dan pola pikir yang positip,
tentu akan sangat membantu dalam menjaga psikologi peneliti ketika berada di lapangan. Apalagi
ketika peneliti memasuki wilayah-wilayah baru yang berbeda dengan kultur dan keyakinan peneliti
sendiri. Artinya, gangguan mental (psikis) juga dapat mengganggu jalannya penelitian yang
dilakukan jika tidak hati-hati dan menyepelekannya.

2. Persiapan Pendukung dan Property yang Dibutuhkan

Sebelum berangkat ke lapangan penelitian, siapkanlah berbagai kebutuhan pendukung, terutama


yang berhubungan dengan status legal-formal peneliti. Seperti surat pengantar dari lembaga yang
menjadi payung penelitiannya, jika sifatnya pribadi, siapkanlah KTP, SIM, atau dan lain
sebagainya (mungkin termasuk surat bebas komunis dari kepolisian atau kodim… kwakaka…),
surat resmi untuk lembaga-lembaga yang dituju di lokasi penelitian setempat, seperti Kantor Desa,
Kantor Kecamatan, Bappeda (Kabupaten), Depag–jika berhubungan dengan agama, dan lain-lain.

Kemudian property, siapkanlah print out guide lines (acuan umum penelitian), perkiraan daftar
pertanyaan yang masih mungkin bisa dikembangkan di lapangan, alat tulis: pulpen, potlot dll,
recorder, audio vidio, mungkin-laptop, kamera/tustel, field not (buku kecil untuk catatan
srabutan), diari/buku monyet (catatan harian: jangan lupa jam, hari, tanggal, bulan dan tahun setiap
kali mencatat), jurnal/buku king kong (laporan lengkap temuan/data yang didapatkan, disari dari
buku diari/buku monyet) per tiga hari atau paling lama satu minggu (pengalaman saya biasanya,
saya susun langsung ke dalam laptop agar tak kerja dua kali-terlepas dari kekurangan
kelebihannya), dan hal-hal lain yang mungkin dibutuhkan untuk konteks penelitian tertentu.

c. Strategi/Metode Etnografi di Lapangan

Lebih jauh, James P. Spradley dalam Metode Etnografi (1997) menjelaskan, bahwa metode
etnografi adalah merupakan pekerjaan mendeskripsikan sebuah kebudayaan. Tujuan utamanya
adalah memahami pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli (native’s point of view).
Sehingga data yang dikumpulkan adalah data kualitatif. Oleh karena itu penelitian etnografi
melibatkan aktifitas belajar mengenai dunia orang lain dan belajar berbagai hal dari mereka
(Spradlay, 1997:3).

Hal ini juga dikuatkan oleh Malinowski, tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang
penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai
dunianya (Dikutip Spradley, 1922:25).

Itulah sebabnya, sehingga sejak awal, dimulai dari ketika pertama kali sang peneliti menginjakkan
kakinya di lokasi penelitian yang dipilihnya, maka pada detik itu juga sudah harus mulai
mendeskripsikan secara kritis apa saja yang dilihat dan dirasakannya; mulai dari jalan yang
berkelok, misalnya, tanah tandus atau kering, bahkan yang lebih dalam ke hal-hal yang dirasakan,
seperti hembusan angin, ranting-ranting yang berjatuhan dan lain-lain.

Dan yang tak kalah pentingnya, mendeskripsikan pola tingkah (pola hidup) masayarakat setempat,
hingga pada hal-hal yang privative (jika diijinkan) dan terkadang malu-malu mereka sampaikan.
Bahkan peneliti harus terus belajar mendisiplinkan diri, menuangkan deskripsi terhadap setiap
perkembangan permenit, perjam yang berlangsung di lapangan penelitian.
Melalui metode etnografi, peneliti seharusnya bergaul lebih intim dan lebih dalam dengan
masyarakat. Selama penelitian berlangsung, peneliti sebaiknya tinggal secara formal di salah satu
rumah penduduk, biasanya kepala dusun atau RT/RW dan tokoh masyarakat lainnya yang
sekaligus akan menjadi key informan penelitian.

Selebihnya (non formal) berbaurlah di rumah-rumah penduduk lainnya untuk mengakses


informasi dan merasakan secara langsung dialektika penduduk sekitar. Sebab seorang etnografer
(peneliti) seharusnya menjelma seperti sabut kelapa di lapangan penlitian.

Ketika ia ditenggelamkan ke dalam air, maka tubuhnya yang awalnya ringan, tiba-tiba akan
menjadi berat lantaran mengisap banyak air yang ada di sekitarnya, meskipun ia tak akan pernah
tenggelam, tetapi mengapung dan mengalir perlahan bersama air.

Peneliti juga sebaiknya mengupayakan, setiap kali tiba di lokasi penelitian, bawalah oleh-oleh ala
kadarnya untuk beberapa informan, terutama pemilik rumah dimana peneliti in the cost sementara,
termasuk beberapa pemuda yang berpengaruh dan memiliki akses data yang kuat dan lain-lain.

Dengan demikian, situasi-situasi semacam ini akan sangat mempermudah peneliti dalam
menjangkau subyek penelitiannya, sebab telah menjadi satu, lebur, sehingga akan dapat pula lebih
jauh dan dalam bergaul dengan penduduk (subjek) penelitian setiap saat. Dengan begitu, peneliti
dapat mengamati ekspresi mereka secara lebih dekat, lebih detil, baik dalam susana-suasana
formal, maupun (terutama) dalam suasana-suasana non formal.

Selain itu peneliti juga harus melakukan pengamatan untuk menampung pandangan masayarakat
setempat (native’s point of view) mengenai apa yang menjadi subjek kajian peneliti, serta
bagaimana mereka menerapkan dan menghayati hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Di sinilah peneliti dapat menemukan dan mendapatkan pandangan-pandangan, serta tafsir


penduduk (native), tentang apa saja yang mereka pahami, hubungannya dengan subjek penelitian
si peneliti. Pandangan seperti inilah yang semestinya mendapat porsi utama dalam penelitian yang
menggunakan metode etnografi (konsep emik). Sedang konsep etic yang cenderung berasal dari
tafsir peneliti sendiri, layaknya hanyalah sebagai pendukung atau back up dari pandangan native
dalam konsep emic tersebut.

Meskipun di sisi lain, peneliti mestinya juga mampu bersikap kritis dalam konteks kehadirannya
sebagai peneliti (etic). Sehingga dengan menyandingkan kedua metode ini, dapatlah diraih seabrek
data yang komprehensif, sebab diambil dari dua sisi yang saling berdialektika di dalam penelitian
tersebut.

d. Eksekusi Hasil Penelitian

Setelah mendapatkan semua data-data penting dari lapangan yang berhubungan dengan penelitian
yang dilakukan, terutama pandangan dan berbagai ekspresi masyarakat yang muncul di lapangan,
termasuk hal-hal yang tidak berhubungan secara langsung dengan subjek kajian peneliti,
letakkanlah data itu ke dalam sebuah analisis yang diinginkan, baik yang berhubungan dengan
landasan teori yang digunakan, maupun dalam konteks keinginan tertentu terhadap hasil akhir
penelitian tersebut.

Atau bisa juga tak meletakkannya ke dalam kerangka teori apapun, tergantung tujuan suatu
penelitian untuk apa dilakukan. Selebihnya, barulah kemudian data-data sekunder digunakan
(buku-buku dan referensi lainnya) dalam rangka mem-back up data primer yang menjadi oleh-oleh
istimewa dari lapangan penelitian, seperti beratus halaman deskripsi dan catatan-catatan harian
dari buku diari dan jurnal, yang diraih selama berada di lapangan penelitian.

Tentu, dari metode etnografi semacam ini, diharapkan dapat melahirkan sebuah hasil penelitian
yang baik, yang juga lahir bersamaan dengan berbagai kekurangan dan kelebihannya.

Dengan begitu, atas kerja keras semaksimal mungkin, peneliti juga tentu dapat berharap, semoga
hasil penelitiannya, minimal dapat menjadi sebuah catatan baru atau hipotesis bagi subjek kajian
atau penelitian yang dilakukannya secara komprehensif dan mendalam.

Sumber : http://indonesiabuku.com/

Anda mungkin juga menyukai