Anda di halaman 1dari 8

Nama: Natasha Fazilla Putri Nugroho

NPM: 2206039923

Method and Theory in Cultural Anthropology

Secara tradisional, proses menjadi seorang antropolog kultural membutuhkan pengalaman


lapangan di dalam suatu masyarakat lain. Pada awalnnya, etnografer hidup dalam masyarakat
skala kecil yang relatif terisolasi dengan teknologi dan ekonomi sederhana.

Dalam riset antropologi kultural, muncullah etnografi sebagai sebuah strategi penelitian pada
masyarakat-masyarakat yang memiliki porsi keseragaman budaya yang besar sekaligus
diferensiasi sosial yang sedikit dibandingkan dengan masyarakat yang berada di negara modern
dan besar, seperti di negara industri.

Di dalam suatu masyarakat yang diteliti, seorang etnografer melakukan perpindahan dari suatu
kondisi ke kondisi lain, tempat ke tempat lain, dan subjek ke subjek lain untuk mencari tahu
keseluruhan dan hubungan-hubungan yang terjadi di kehidupan sosial masyarakat tersebut.
Sehingga, etnografi dapat memberikan fondasi dasar mengenai generalisasi perilaku manusia dan
kehidupan sosialnya.

Karakteristik dari teknik-teknik lapangan yang dilakukan oleh seorang etnografer, antara lain:
dilakukan secara langsung, adanya percakapan dalam berbagai jenis keformalitasan yang
berbeda, metode genealogi, adanya konsultan-konsultan “kunci” untuk mendapat informasi
detail, wawancara mendalam, pencaritahuan dan penemuan kepercayaan local, dilakukannya
riset berbasis pemecahan masalah, riset longitudinal (panjang), dan adanya tim riset.

Observation and Participant Observation

Para etnografer harus memperhatikan berbagai detail dari kehidupan sehari-hari, acara musiman,
bahkan hal-hal yang jarang dilakukan. Mereka harus merekam atau mencatat apa yang mereka
lihat sesuai dengan apa adanya.
Walaupun antropologis biasa mempelajari keragaman manusia, ketika berada di realita di
lapangan, dalam beradaptasi dengan lingkungan dan realita sosial yang baru, seorang
antropologis tetap saja membutuhkan beberapa waktu untuk benar-benar membiasakan diri
dengan kondisi “alien” tersebut. Oleh karena itu, tinggal lebih dari setahun di lapangan
memungkinkan etnografer untuk mengulang musim kedatangannya karena bisa saja ada proses
tertentu yang terlewatkan karena ketidakfamiliaran dan gegar budaya (culture shock).

Banyak etnografer yang mencatat kesan-kesan mereka dalam buku harian pribadi, yang disimpan
terpisah dari catatan lapangan yang lebih formal. Kesan-kesan yang “kurang fomal” itu dapat
meliputi: bau-bau khusus, suara-suara yang dibuat, bagaimana mereka menutup mulutnya sata
makan, dan cara mereka menatap orang di sekitarnya. Hal ini dilakukan untuk memberikan
petunjuk mengenai pola-pola yang dinamakan oleh Bronislaw Malinowski sebagai
“imponderbilia dari kehidupan warga asli dan perilaku khususnya.”

Kesan awal mengenai suatu masyarakat adalah hal yang sangat berharga dan harus dicatat.
Etnografer berusaha untuk membangun hubungan baik, ramah, hubungan kerja berdasarkan
kontak pribadi, dengan tuan rumah mereka. Sebagai manusia yang hidup di antara yang lain, kita
tidak bisa sepenuhnya menjadi pengamat yang tidak memihak dan terpisah. Dengan
berpartisipasi, kita dapat belajar mengapa orang-orang menganggap acara seperti itu bermakna,
seperti yang kita lihat bagaimana acara tersebut diatur dan dilaksanakan. Kebanyakan antropolog
memiliki pengalaman lapangan yang serupa, mereka membuat observasi partisipan tak
terelakkan.

Converstation, Interviewing, and Interview Schedules

Berpartisipasi di kehidupan orang lokal di suatu masyarakat memiliki arti bahwa para etnografer
harus terus-menerus bercakap dan mengajukan pertanyaan. Seiring pengetahuan mereka
mengenai bahasa dan budaya lokal bertambah, mereka akan jauh lebih paham tentang apa yang
mereka teliti.

Dengan tujuan personal ini, Conrad Kottak (penulis) dalam riset etnografinya, ia menggunakan
metode wawancara daripada kuesioner. Dengan metode wawancara, etnografer berbicara tatap
muka dengan orang-orang, mengajukan pertanyaan, dan menulis jawaban mereka. Ditambah,
some interesting side issues often came up during the interview, which we would pursue later.
Sedangkan, prosedur kuesioner cenderung lebih tidak secara langsung (personal) dan seringkali
para responden yang mengisi formulirnya.

Kemudian, metode wawnacara yang diberikan dapat memberikan struktur bagi peneliti, tetapi
tidak membatasi. Dengan demikian, hal tersebut memungkinkan etnografi yang dilakukan
menjadi kuantitatif maupun kualitatif karena para peneliti bisa membuat analisis statistik dari
informasi dasar yang didapatkan, sedangkan dimensi kualitatifnya berasal dari pertanyaan
follow-up, diskusi terbuka, jeda untuk gossip, dan bekerja dengan konsultan kunci.

The Genealogical Method

Selain observasi secara langsung dan wawancara mendalam, etnografer juga menggunakan
silsilah dalam risetnya. Para peneliti butuh memerlukan data silsilah untuk mengerti relasi sosial
saat ini untuk merekonstruksi sejarah. Silsilah dapat dikatakan sebagai hal dasar yang menonjol
pada organisasi sosial di dalam masyarakat non-industri, yaitu masyarakat yang terdiri dari
orang-orang yang hidup dan bekerja dengan kerabat terdekatnya di kehidupan sehari-hari.
Beberapa antropologis mengatakan kondisi tersebut sebagai “masyarakat berbasis kekerabatan.”
Dengan demikian, maka, pernikahan meruapakan hal yang penting di dalam pengorganisasian
masyarakat non-industri karena pernikahan yang dilakukan secara strategis antardesa, antarsuku,
dan antarklan membentuk aliansi-aliansi politik.

Key Cultural Consultants

Dalam etnografi, ada istilah “konsultan kunci”. Istilah tersebut mendeskripsikan seseorang yang
berdasarkan pengalaman, bakat, pelatihan, atau bahkan secara tidak sengaja, memiliki info
lengkap atau penting mengenai suatu aspek dalam kehidupan lokal tersebut.

Life Histories

Di dalam masyarakat-masyarakat non-industri, sifat, ketertarikan, dan kemampuan masing-


masing individu berbeda. Seringkali, menurut Kottak, ketika menemukan seseorang yang unik,
antropologis mencari tahu sejarah hidup orang tersebut secara lebih lanjut. Sejarah hidup tersebu
dapat direkam untuk mengungkap bagaimana orang-orang tertentu bereaksi, melihat sesuatu, dan
berkontribusi mengenai perubahan yang dapat berdampak kepada diri mereka. Kemudian, hal
tersebut dapat dijadikan analisis di kemudian hari,
Local Beliefs and Perceptions, and the Ethnographer’s

Salah satu tujuan dari etnografi adalah untuk menggali pandangan, kepercayaan, dan persepsi
orang lokal (orang asli) pada suatu masyarakat, lalu dibandingkan dengan observasi dan
kesimpulan dari etnografer tersebut. Pada realita lapangan, biasanya etnografer biasanya
menggabungkan dua strategi riset: emik dan etik. Di dalam emik, konsultan “kunci” atau
konsultan budaya merupakan pemberi informasi mengenai kultur mereka. Sedangkan, di dalam
etik, pendekatan ini menyadari bahwa seringkali anggota dari sebuah budaya terlalu terlibat di
dalam apa yang mereka lakukan untuk mengintepretasi budaya mereka secara objektif. Sebagai
peneliti terlatih, seorang etnografer seharusnya membawa sudut pandang yang objektif dan
komprehensif mengenai pengajian tentang budaya-budaya lain.

Contohnya, secara emik, sebuah illness (penyakit) seringkali dianggap bahwa hal tersebut
disebabkan oleh roh, nenek moyang, atau penyihir. Sehingga, illness mengacu kepada persepsi
(emik) budaya dan menjelaskan mengenai kesehatan yang buruk. Sedangkan, disease (penyakit)
mengacu kepada penjelasan ilmiah (etik) tentang kondisi buruk kesehatan yang disebabkan oleh
patogen yang diketahui.

Problem-Oriented Ethnography

Walapun antropologis memiliki ketertarikan dalam seluruh konteks mengenai perilaku manusia,
tidak mungkin mempelajari semuanya. Sekarang, sebagian besar etnografer memasuki bidang
inni dengan satu masalah spesifik untuk diinvestigasi, lalu mereka mengumpulkan data yang
relevan untuk masalah tersebut. Dengan adannya penekanan mengenai pentingnya informasi
yang langsung diberikan oleh orang lokal, bukan berarti hal tersebut adalah satu-satunya sumber
data. Antropologis juga mengumpulkan informasi seperti kepadatan penduduk, kualitas
lingkungan, iklim, geografi fisik, diet, dan penggunaan lahan pada masyarakat tersebut. Walapun
sekarang kita hidup di dunia yang semakin saling berhubungan dan rumit, tetapi banyak
masyarakat lokal yang kurang pengetahuan tentang banyak fakta yang mempengaruhi kehidupan
mereka.

Longitudinal Research

Riset longitudinal adalah nama lain dari penelitian memanjang. Di dalam istilah ini,
“memanjang” merujuk pada lamanya durasi riset tersebut. Di dalam etnografi, riset longitudinal
dilakukan di dalam sebuah komunitas, wilayah, masyarakat, budaya, atau unit lainnya. Biasanya
riset ini dilakukan dengan pengunjungan berkali-kali.

Seringkali, di dalam riset longitudinal, hal ini dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri beberapa
etnografer. Salah satu contoh riset longitudinal yang dilakukan untuk etnografi adalah riset di
Distrik Gwembe, Zambia. Riset ini dilakukan di empat desa yang berbeda hingga memerlukan
waktu selama lebih dari lima dekade. Lamanya waktu di dalam riset ini disebabkan oleh
beberapa jenis rangkaian riset yang berbeda di satu projek yang sama.

Team Research

Seperti yang sudah disebutkan, riset longitudinal biasa dilakukan oleeh sebuah team.
Berdasarkan pengalaman dari Kottak, tempat risetnya yaitu Arembepe, Brazil, sudah pernah
dipantau oleh tiga generasi periset semenjak ia meneliti di tempat tersebut pada tahun 1962.
Dengan demikian, Arembepe dapat dikatakan sebagai situs riset longitudinal.

Culture, Space, and Scale

Penjelasan mengenai riset longitudinal dan tim riset itu menggambarkan adanya perubahan yang
penting di dalam anntropologi kultur. Riset etnografi, secara tradisional, fokus kepada satu
komunitas atau satu “budaya” yang diperlakukan seperti unit yang terisolasi dan unik di dalam
ruang dan waktu. Dari sana, perubahan yang dimaksud adalah mulai munculnnya kesadaran
tentang aliran yang berkelanjutan dan tidak terhindarkan mengennai manusia, gambar, teknologi,
dan informasi. Sekarang, studi mengenai aliran dan hubungan seperti itu bagian dari analisis
antropologi.

Seperti berbagai topik antropologi kontemporer lainnya, terorisme dan perang membutuhkan
beberapa tingkatan analisis: lokal, regional, dan internasional. Ini hampir tidak mungkin di dunia
sekarang ini untuk menemukan fenomena lokal yang terisolasi dari kekuatan global.

Dalam dua volume esai yang diedit oleh Akhil Gupta dan James Ferguson (1997a dan 1997b),
beberapa antropolog menggambarkan masalah ketika mencoba untuk menemukan budaya dalam
ruang terbatas. John Durham Peters (1997), misalnya, mencatat bahwa, terutama karena dari
media massa, orang-orang kontemporer mendapat “pengalaman” lokal dan global secara
bersamaan. Dia menggambarkan orang-orang itu sebagai "bifokal" secara budaya—keduanya
“rabun dekat” (melihat peristiwa lokal) dan “rabun dekat” (melihat gambar dari jauh). Dengan
“bifokalitas” mereka, interpretasi mereka tentang lokal selalu dipengaruhi oleh informasi dari
luar.

Jadi, sikap mereka tentang langit biru yang cerah di rumah terdampak oleh pengetahuan mereka,
melalui laporan cuaca yang memberitahukan bahwa badai mungkin mendekat. Walaupun begitu,
berita nasional mungkin sama sekali tidak sesuai dengan opini dibicarakan dalam percakapan
orang lokal, tetapi “opini” nasional menemukan jalan mereka ke dalam wacana lokal.

Riset antropologi pada belakangan ini bisa saja membawa kita “berpergian” berasama dengan
oorang-orang yang diteliti, seraya para antropologis berpindah dari desa ke kota, melewati
perbatasan, atau berpergian ke luar negeri. Seiring berubahnya gaya kerja lapangan, dengan
berkurangnya pandangan bahwa ini adalah hal yang berfokus kepada pendekatan spasial, apa
yang dapat kita ambil dari etnografi tradisional? Kutipan “anthropology’s traditional attention to
the close observation of particular lives in particular places” yang diberikan oleh Gupta dan
Ferguson memberikan ide penting dalam hal ini. Metode close observation (observasi dekat)
membantu memberikan perbedaan dari antropologi kultural dengan sosiologi dan riset survei
(survey research).

Dengan semakin luasnya masyarakat yang diteliti oleh para antropologis, mereka telah
mengembangkan cara-cara inovatif untuk menggabungkan etnografi dengan riset survei. Dari
awal, sudah ada perbedaan mendasar di antara etnografi dengan riset survei. Riset survei biasa
dilakukan di wilayah yang luas dan banyak populasinya, lalu, sampling, data impersonal, dan
analisis statistik adalah hal-hal yang dilibatkan di dalamnya. Riset survei biasaya mengambil
sampel (suatu kelompok dengan jumlah anggota tertentu) dari populasi yang luas. Dengan
mengaji sampel representatif yang sudah terseleksi dengan baik, peneliti sosial dapat membuat
kesimpulan akurat mengenai populasi yang luas tersebut.

Dari sana, etnografi dapat digunakan sebagai tambahan dan pelengkap dari riset survei yang
dilakukan. Kombinasi dari riset survei dengan etnografi dapat memberikan perspektif baru
mengenai kehidupan di masyarakat yang kompleks (masyarakat yang besar dan padat penduduk
dengan stratifikasi sosial dan pemerintahan pusat). Etnografi sebagai pendahuluan juga dapat
membantu mengembangkan pertanyaan sesuai dengan budaya yang dimasukkan dalam survei
tersebut.
Dalam masyarakat yang kompleks, banyak variabel predictor (indikator sosial) yang
mempengaruhi perilaku dan pendapat masyarakat. Dengan demikan, kita harus mampu
mendeteksi, mengukur dan membandingkan pengaruh indikator sosial,banyak studi antropologi
kontemporer yang memiliki dasar statistik. Bahkan di lapangan pedesaan bekerja, lebih banyak
antropolog sekarang mengambil sampel, mengumpulkan data kuantitatif, dan menggunakan
statistik untuk menafsirkan hasil riset tersebut (lihat Bernard 2006; Bernard, ed. 1998). Informasi
yang menggunakan hitungan dapat memungkinkan penilaian yang lebih tepat mengenai
persamaan dan perbedaan di antara komunitas-komunitas yang diteliti. Analisis statistik dapat
mendukung dan melengkapi catatan etnografis tentang kehidupan sosial setempat.

Metode etnografi dan penekanan dalam hubungan personal di riset sosial adalah “hadiah” yang
bernilai yang antropologi kultural bawa dalam kajian mengenai masyarakat apapun.

Theory In Anthropology Over Time

Ada beberapa teori besar yang memberikan karakter dalam antropologi semenjak kemunculan
hal ini di paruh kedua abad ke-19. Evolusioner perspektif, terutama yang terkait dengan Morgan
dan Tylor, mendominasi antropologi awal. Awal abad ke-20 menyaksikan berbagai reaksi
terhadap evolusionisme abad ke-19. Hebat Inggris, fungsionalis seperti Malinowski dan Alfred
Reginald Radcliffe-Brown meninggalkan historisisme spekulatif dari para evolusionis yang
mendukung studi tentang masyarakat yang hidup saat ini. Di Amerika Serikat, Boas dan para
pengikutnya menolak pencarian tahap evolusi yang mendukung sejarah pendekatan yang
menelusuri pinjaman antara budaya dan penyebaran ciri-ciri budaya di seluruh wilayah
geografis. Fungsionalis dan Boasian sama-sama melihat budaya sebagai terintegrasi dan berpola.
Para fungsionalis secara khusus memandang masyarakat sebagai: sistem di mana berbagai
bagian bekerja sama untuk mempertahankan keseluruhan. Pada pertengahan abad ke-20, setelah
Perang Dunia II dan runtuhnya kolonialisme, terjadi menghidupkan kembali minat pada
perubahan, termasuk pendekatan evolusi baru. Para antropolog lain terkonsentrasi atas dasar
simbolis dan sifat dari budaya, menggunakan pendekatan simbolik dan interpretatif untuk
mengungkap simbol berpola dan arti. Pada tahun 1980 antropolog telah tumbuh lebih tertarik
pada hubungan antara budaya dan individu, serta peran manusia tindakan (agency) dalam
mentransformasikan budaya. Ada juga kebangkitan pendekatan historis, termasuk mereka yang
melihat budaya lokal dalam kaitannya dengan kolonialisme dan dunia sistem. Antropologi
kontemporer ditandai dengan meningkatkan spesialisasi, berdasarkan khusus topik dan identitas.
Mencerminkan spesialisasi ini, beberapa universitas telah pindah dari pandangan antropologi
holistik dan biocultural yang tercermin dalam buku ini. Namun, Boasian pandangan antropologi
sebagai bidang empat subbidang disiplin ilmu—termasuk biologi, arkeologi, antropologi budaya,
dan linguistik—berlanjut untuk berkembang di banyak universitas juga.

Anda mungkin juga menyukai