OLEH :
14013110010
B. EPIDEMIOLOGI
Penyakit DHF ditemukan nyaris di seluruh belahan dunia
terutama di negara-negara tropik dan subtropik baik sebagai penyakit
endemik maupun epidemik. Hasil studi epidemiologi menunjukkan
bahwa DHF terutama menyerang kelompok umur balita sampai dengan
umur sekitar 15 tahun serta tidak ditemukan perbedaan signifikan dalam
hal kerentanan terhadap serangan dengue antar gender. Outbreak (KLB,
Kejadian Luar Biasa) dengue biasanya terjadi di daerah endemik dan
berkaitan dengan datangnya musim penghujan. Hal tersebut sejalan
dengan aktivitas vektor dengue yang justru terjadi pada musim
penghujan. Penularan penyakit DHF antar manusia terutama
berlangsung melalui vektor nyamuk Aedes aegypti. Sehubungan dengan
morbiditas dan mortilitasnya, DHF disebut sebagai the mosquito
transmitted disease.
Di wilayah pengawasan WHO Asia Tenggara, Thailand
merupakan Negara peringkat pertama yang melaporkan banyak kasus
DHF yang dirawat di rumah sakit. Sedangkan di Indonesia termaksud
peringkat kedua berdasarkan jumlah kasus DHF yang dilaporkan.
Penyakit DHF pertama kali dikenali di Filipina pada tahun 1953.
Diisolasi dari pasien d Filipina pada tahun 1956, 2 tahun kemudian virus
dengue dari berbagai tipe diisolasi dari pasien selama endemik di
Bangkok, Thailand. Selama tiga dekade berikutnya, DBD/DSS
ditemukan di Kamboja, Cina, India, Indonesia, Masyarakat Republik
Demokratis Laos, Malaysia, Maldives, Myanmar, Singapura, Srilanka,
Vietnam dan beberapa kelompok kepulauan Pasifik.
Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang terbentang
diantara 6° Lintang utara dan 11° Linang selatan dengan iklimnya yang
tropik, terjadinya epidemi suatu penyakit di Batavia (Jakarta) yang
kemungkinan besar adalah dengue dilaporkan pertama kali oleh David
Beylon pada tahun 1779. Penyakit tersebut, yang ketika itu terutama
menyerang etnis Thionghoa, ditandai dengan demam, sakit kepala, nyeri
retro-orbital, nyeri punggung, nyeri persendian dan nyeri otot. KLB
pertama penyakit ini terjadi di Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968
dengan ditemukannya 54 kasus dan 24 (44%) kasus diantaranya
meninggal dunia. Setelah itu, jumlah kasus akibat terinfeksi virus dengue
yang dilaporkan meningkatsecara tajam. KLB penyakit ini dilaporkan
terutama menyerang daerah urban. Pada tahun 1994, penyakit akibat
infeksi virus dengue ini telah menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia
dan bahkan sejak tahun 2001 telah menjadi suatu penyakit endemik di
beberapa kota besar dan kecil, bahkan di daerah pedesaan.
Angka kesakitan dan kematian DHF di berbagai negara sangat
bervariasi dan tergantung pada berbagai macam faktor, seperti status
kekebalan dari populasi, kepadatan vektor dan frekuensi penularan
(seringnya terjadi penularan virus Dengue), prevalensi sero tipe virus
dengue dan keadaam cuaca.
C. ETIOLOGI
Dengue haemoragic fever (DHF) dapat disebabkan oleh :
1. Virus dengue
Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk
ke dalam Arbovirus (Arthrodhorn virus) group B, tetapi dari 4 tipe
yaitu virus dengue tipe 1,2,3 dan 4, keempat tipe virus dengue
tersebut terdapat di Indonesia dan dapat dibedakan satu dari yang
lainnya secara serologis virus dengue yang termasuk dalam genus
flavivirus ini berdiameter 40 nanometer dapat berkembangbiak
dengan baik pada berbagai macam kultur jaringan baik yang
berasal dari sel-sel mamalia misalnya sel BHK (Babby Homster
Kidney) maupun sel-sel Arthropoda misalnya sel Aedes albopictus
(Suedarto;1990;36)
2. Vektor
Virus dengan serotipe 1,2,3 dan 4 yang ditularkan melalui
vektor yaitu nyamuk Aedes aegypti, nyamuk Aedes albopictus,
Aedes polinesiensis dan beberapa spesies lain berupa vektor yang
kurang berperan. Infeksi dengan salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe
bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe jenis
yang lainnya. Nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus
merupakan vektor penularan virus dengue dari penderita kepada
orang lain melalui gigitannya. Nyamuk Aedes aegypti merupakan
vektor penting di daerah perkotaan sedangkan di daerah pedesaan
kedua nyamuk tersebut berperan dalam penularan.
3. Host
Jika seseorang mendapat infeksi dangue untuk pertama
kalinya maka ia akan mendapatkan imunisasi yang spesifik tetapi
tidak sempurna, sehingga ia masih mungkin untuk terinfeksi virus
dengue yang sama tipenya maupun virus dengue tipe lainnya. DHF
akan terjadi jika seseorang yang pernah mendapatkan infeksi virus
dengue tipe tertentu dan mendapatkan infeksi ulangan untuk kedua
kalinya atau lebih.
D. PATOFISIOLOGI
Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes
aegypty dan kemudian akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah
kompleks virus-antibody. Dalam sirkulasi akan mengaktivasi system
komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a,dua
peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan
mediator kuat sebagai factor meningkatnya permeabilitas dinding
pembuluh darah dan menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu.
Terjadinya trobositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan
menurunnya faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan
factor penyebab terjadinya perdarahan hebat, terutama perdarahan
saluran gastrointestinal pada DHF.
Yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya
permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma,
terjadinya hipotensi, trombositopenia dan diathesis hemorrhagic,
renjatan terjadi secara akut.
Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma
melalui endotel dinding pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma
klien mengalami hipovolemik. Apabila tidak diatasi bisa terjadi anoxia
jaringan, acidosis metabolic dan kematian.
E. KLASIFIKASI
WHO (1986) juga membagi menjadi empat kategori penderita
menurut derajat berat penderita sebagai berikut :
1. Derajat I : Adanya demam tanpa perdarahan spontan,
manifestasi perdarahan hanya berupa
torniket test yang positif.
2. Derajat II : Gejala demam diikuti dengan perdarahan
spontan, biasanya berupa perdarahan
dibawah kulit dan atau berupa perdarahan
lainnya .
3. Derajat III : Adanya kegagalan sirkulasi berupa nadi
yang cepat dan lemah, penyempitan tekanan
nadi (<20 mmHg), atau hipotensi, dengan
disertai akral yang dingin dan gelisah.
4. Derajat IV : Adanya syok yang berat dengan nadi tak
teraba dan tekanan darah yang tak terukur.
F. MANIFESTASI KLINIS
Adapun manifestasi klinis dari DHF antara lain :
1. Demam tinggi selama 5 – 7 hari
2. Mual, muntah, tidak ada nafsu makan, diare, konstipasi.
3. Perdarahan terutama perdarahan bawah kulit, ptechie, echymosis,
hematoma.
4. Epistaksis, hematemisis, melena, hematuri.
5. Nyeri otot, tulang sendi, abdoment, dan ulu hati.
6. Sakit kepala.
7. Pembengkakan sekitar mata.
8. Pembesaran hati, limpa, dan kelenjar getah bening.
9. Tanda-tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan
darah menurun, gelisah, capillary refill lebih dari dua detik, nadi
cepat dan lemah).
G. PEMERIKSAAN FISIK
1. Sistem Pernapasan / Respirasi
Sesak, perdarahan melalui hidung (epistaksis), pernapasan dangkal,
tachypnea, pergerakan dada simetris, perkusi sonor, pada auskultasi
terdengar ronchi, effusi pleura (crackless).
2. Sistem Cardiovaskuler
Pada grade I : uji tourniquet positif, trombositipenia, perdarahan
spontan dan hemokonsentrasi.Pada grade II disertai perdarahan
spontan di kulit atau perdarahan lain. Pada grade III dapat terjadi
kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah
(tachycardia),tekanan nadi sempit, hipotensi, cyanosis sekitar
mulut, hidung dan jari-jari, kulit dingin dan lembab.Pada grade IV
nadi tidak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.
4. Sistem perkemihan
Produksi urine menurun, kadang kurang dari 30 cc/jam terutama
pada grade III, akan mengungkapkan nyeri saat kencing, kencing
berwarna merah.
5. Sistem Pencernaan / Gastrointestinal
Perdarahan pada gusi, Selaput mukosa kering, kesulitan menelan,
nyeri tekan pada epigastrik, pembesarn limpa, pembesaran pada
hati (hepatomegali) disertai dengan nyeri tekan tanpa disertai
dengan ikterus, abdomen teregang, penurunan nafsu makan, mual,
muntah, nyeri saat menelan, dapat muntah darah (hematemesis),
berak darah (melena).
6. Sistem integument
Terjadi peningkatan suhu tubuh (Demam), kulit kering dan ruam
makulopapular
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Dilakukan pemeriksaan laboratorium yaitu :
1. Darah
Pada DHF akan dijumpai leukopenia yang akan terlihat pada hari
ke-2 atau ke-3 dan titik terendah pada saat peningkatan suhu kedua
kalinya. Pada saat suhu meningkat kedua kalinya sel limposit
relatif sudah bertambah. Sel-sel eusinofil sangat berkurang. Pada
DHF umumnya dijumpai trombositopenia (<100.000/mm3) dan
haemokonsentrasi (kadar HCT 20% dari normal). Uji tourniquet
yang positif merupakan pemeriksaan penting pada pemeriksaan
kimia darah tampak hipoproteinemia, hiponatremia, serta
hipokalemia, SGOT, SGPT, ureum dan PH darah mungkin
meningkat.
2. Air seni
Mungkin ditemukan albuminuria ringan.
3. Sumsum tulang
Pada awal sakit biasanya hiposelular, kemudian menjadi
hiperselular pada hari kelima dengan gangguan maturasi
sedangkan pada hari kesepuluh biasanya sudah kembali normal
untuk semua data.
4. Serologi
Uji serologi untuk infeksi dengue dapat dikategorikan menjadi:
a. Uji serologi memakai serum ganda, yaitu serum yang diambil
pada masa akut dan konvalesen, yaitu pengikatan
kompelemen (PK), uji netralissi (NT) dan uji dengue blot.
Pada uji ini dicari kenaikan antibodi anti dengue sebanyak
minimal 4 kali.
b. Uji serologi memakai serum tunggal, yaitu uji dengue blot
yang mengukur antibodi, anti dengue tanpa memandang kelas
antibodinya, uji Imunoglobulin M anti dengue yang
mengukur hanya antibodi anti dengue dari kelas IgM. Pada
uji ini yang dicari adalah ada tidaknya atau titer tertentu
antibodi antidengue.
I. DIAGNOSIS
Patokan WHO (1986) untuk menegakkan diagnosis DHF adalah
sebagai berikut :
1. Demam akut, yang tetap tinggi selama 2 - 7 hari kemudian
turun secara lisis demam disertai gejala tidak spesifik, seperti
anoreksia, lemah, nyeri.
2. Manifestasi perdarahan :
a. Uji tourniquet positif
b. Petekia, purpura, ekimosis
c. Epistaksis, perdarahan gusi
d. Hematemesis, melena.
3. Pembesaran hati yang nyeri tekan, tanpa ikterus.
4. Dengan atau tanpa renjatan.
Renjatan biasanya terjadi pada saat demam turun (hari ke-3 dan
hari ke-7 sakit ). Renjatan yang terjadi pada saat demam
biasanya mempunyai prognosis buruk.
5. Kenaikan nilai Hematokrit / Hemokonsentrasi.
J. PENATALAKSAAN
1. Penatalaksanaan penderita DHF adalah :
a. Tirah baring atau istirahat baring.
b. Diet makanan lunak.
c. Minum banyak 50ml/kg BB dalam 4–6 jam pertama dapat
berupa : susu, teh manis, sirup, jus buah, dan oralit,
pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi
penderita DHF. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi,
memberikan cairan rumatan 80–100 ml/kg BB dalam 24
jam berikutnya.
d. Pemberian cairan intravena pada pasien DBD tanpa
renjatan dilakukan bila pasien terus menerus muntah
sehingga tidak mungkin diberikan makanan per oral atau
didapatkan nilai hematokrit yang bertendensi terus
meningkat (>40 vol%). Jumlah cairan yang diberikan
tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit,
dianjurkan cairan glukosa 5% dalam 1/3 larutan NaCl
0,9%.
e. Cairan-cairan yang digunakan untuk penggantian volume
dengan cepat mencakup berikut ini :
Kristaloid.
Larutan ringer laktat (RL) atau dektrose 5% dalam
larutan RL (D5/RL), larutan Ringer Asetat (RA)
atau dektrose 5% dalam larutan asetat (D5/RA),
larutan garam faali (D5/GF).
Koloid.
Dekstran 40 dan plasma.
f. Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi,
pernapasan) jika kondisi pasien memburuk, observasi ketat
tiap jam.
g. Periksa HGB, HCT dan trombosit setiap hari.
h. Pemberian obat antipiretik.
i. Monitor tanda-tanda dini renjatan meliputi keadaan umum,
perubahan tanda-tanda vital, hasil-hasil pemeriksaan
laboratoriurn yang memburuk.
j. Monitor tanda-tanda pendarahan lebih lanjut.
k. Pemberian antibiotika bila terdapat kekhawatiran infeksi
sekunder.
l. Bila timbul kejang dapat diberikan diazepam (kolaborasi
dengan dokter).
2. Penatalaksanaan Penderita DHF berdasarkan derajat keparahan.
a. Penanganan DHF derajat I atau derajat II tanpa peningkatan
hematokrit.
1) Pasien masih dapat minum.
Beri minum banyak 1-2 liter/hari
Jenis minuman: air putih, teh manis, sirup, jus
buah, susu.
Bila suhu> 38ºC beri antipiretik
Bila kejang beri antikonvulsif
Monitor gejala klinis dan laboratorium.
Perhatikan tanda syok.
Awasi perdarahan.
Periksa HGB, HCT dan trombosit tiap 6- 12
jam.
Palpasi hati setiap hari
Ukur diurisis setiap hari.
Jika ada perbaikan klinis dan laboratorium
pasien diijinkan untuk pulang.
2) Pasien tidak dapat minum
Jika ada muntah terus-menerus maka
dilakukan kolaborasi pemasangan IVFD NaCl
0,9% : Dekstrosa 5% (1:3), tetesan rumatan
sesuai berat badan.
Periksa HGB, HCT, trombosit tiap 6-12 jam,
jika HCT naik atau trombosit turun maka
pemasangan IVFD NaCl 0.9% berbanding
dekstrose 5% diganti dengan ringer laktat
dengan dosis disesuaikan.
b. Penanganan DHF derajat I dengan peningkatan
HCT>20%.
1) Pertama berikan cairan awal yaitu : RL/NaCI 0,9%
atau RL/DS/NaCl 0,9% + D5, 6-7 ml/kg BB/jam.
2) (Setelah itu monitor tanda vital/nilai HCT dan
trombosit tiap 6 jam.
Jika ada perbaikan maka ada menunjukkan
tanda-tanda seperti : tidak gelisah, nadi kuat,
tekanan darah stabil, diuresis cukup (12m/kg
BB/jam), HCT turun (2 kali pemeriksaan).
Dan apabila tidak ada perbaikan akan
menunjukkan tanda gejala seperti gelisah,
distres pernapasan, frekwensi nadi meningkat,
hematokrit tetap tinggi/meningkat, tekanan
nadi <20 mmHg.
3) Jika sudah menunjukkan perbaikan tetesan
dikurangi menjadi 5ml/kgBB/jam.
4) Setelah 1 jam berlalu dan kondisi pasien masih
menunjukkan perbaikan maka tetesan disesuaikan
menjadi 3 ml/kg BB/jam.
5) Setelah itu IVFD di stop pada 24-48 jam, bila tanda
vital/ HCT stabil, diuresis cukup.
6) Jika pada saat menurunkan tetesan menjadi 5 ml/kg
BB/jam kemudian ditemukan tanda vital memburuk
dan HCT meningkat maka tetesan dinaikkan 10-
15ml/kg BB/jam tetesan dinaikkan secara bertahap.
Kemudian lakukan evaluasi 12-24 jam jika pada
saat evaluasi ditemukan tanda vital tidak stabil
dengan tanda adanya distres pernapasan dan HCT
naik maka segera berikan koloid 20-30m1/kgBB
dan jika HCT menurun maka lakukan transfusi
darah segera 10ml/kgBB.
7) Jika sudah ada perbaikan, maka lanjutkan tindakan
dari pengurangan tetesan 5ml/kgBB/jam dan
seterusnya. Jika tidak ada perbaikan yang
ditunjukkan dengan tanda-tanda: gelisah, distres
pernapasan, frekwensi nadi meningkat, tekanan nadi
< 20 mmHg, diuresis kurang/ tidak ada.
8) Jika tidak menunjukkan adanya perbaikan maka
tetesan akan dinaikkan 10-15ml/kgBB/jam secara
bertahap.
9) Kemudian dilakukan evaluasi 12-24 jam.
10) Setelah dilakukan evaluasi didapatkan tanda vital
tidak stabil yang ditunjukkan dengan adanya distres
pernapasan dan peningkatan HCT, maka segera
berikan koloid 20-30 ml/kgBB dan jika HCT
menurun maka lakukan transfusi darah segera
10ml/kg BB.
11) Jika sudah ada perbaikan maka lanjutkan tindakan
dari pengurangan dari tetesan 5ml/kgBB/jam dan
seterusnya.
c. Penanganan DHF derajat III dan IV.
1) Lakukan oksigenasi.
2) Penggantian volume (cairan kristaloid isotonik)
Ringer Laktat/NaCl 0,9 % 20 ml/kgBB secepatnya
(bolus dalam 30 menit). 30 menit kemudian lakukan
evaluasi untuk mengetahui apakah syok sudah
teratasi.
3) Kemudian pantau tanda vital setiap 10 menit dan
catat balance cairan intravena.
4) Jika syok teratasi yang dapat ditunjukkan dengan
tanda-tanda :
Kesadaran membaik.
Nadi teraba kuat
Tekanan nadi > 20 mmHg.
Tidak sesak napas atau sianosis.
Diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam.
Kemudian cairan dan tetesan disesuaikan
10ml/kgBB/jam, setelah itu lakukan evaluasi ketat,
misalnya ukur tanda vital, tanda perdarahan,
diuresis, HGB, HCT, trombosit. Jika dalam 24 jam
sudah stabil, maka berikan tetesan 5ml/kgBB/jam
kemudian lanjutkan tetesan 3ml/kgBB/jam. Infus
dihentikan tidak melebihi 48 jam setelah syok
teratasi. Jika syok tidak teratasi yang ditunjukkan
dengan tanda-tanda : kesadaran menurun, nadi
lambat/tidak teraba, tekanan nadi < 20 mmHg,
ditress pernapasan/sianosis, kulit dingin dan
lembab, ekstremitas dingin dan periksa kadar gula
darah, kemudian lanjutkan pemberian cairan
20ml/kgBB/jam, setelah itu tambahkan
koloid/plasma, dekstran 10-20 (maksimal 30)
ml/kgBB/jam. Kemudian lakukan koreksi asidosis,
setelah 1 jam lakukan evaluasi untuk mengetahui
apakah syok sudah teratasi atau belum. Jika syok
belum teratasi yang ditunjukkan dengan penurunan
HCT atau HCT tetap tinggi/naik, maka berikan
koloid 20 ml/kgBB, kemudian dilanjutkan dengan
pemberian transfusi darah segar 10 ml/kgBB
diulang sesuai kebutuhan. Jika syok sudah teratasi
maka lanjutkan tindakan dari mengevaluasi ketat
tanda vital, tanda perdarahan, diuresis, HGB, HCT,
trombosit dan tindakan seterusnya.
K. KOMPLIKASI
Kebanyakan orang yang menderita DBD pulih dalam waktu dua
minggu. Namun, untuk orang-orang tertentu dapat berlanjut untuk
selama beberapa minggu hinga berbulan-bulan. Gejala klinis yang
semakin berat pada penderita DBD dan dengue shock syndromes dapat
berkembang menjadi gangguan pembuluh darah dan gangguan hati. Hal
ini tentu dapat mengancam jiwa.
1. Sindrom Syok Dengue (SSD)4
Seluruh kriteria Demam Berdarah Dengue (DBD) disertai
kegagalan sirkulasi dengan manifestasi:
Nadi yang cepat dan lemah
Tekanan darah turun (≤ 20 mmHg)
Hipotensi (dibandingkan standar sesuai umur)
Kulit dingin dan lembab
Gelisah
2. Sindrom syok dengue, menurut sumber lain3: pada penderita
DBD yang disertai syok, setelah demam berlangsung selama
beberapa hari, keadaan umum penderita tiba-tiba memburuk.
Pada sebagian besar penderita ditemukan tanda kegagalan
peredaran darah yaitu kulit teraba lembab dan dingin, sianosis
sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lemah, kecil sampai tidak
dapat diraba. Tekanan darah menurun menjadi 20 mmHg atau
kurang, dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau
lebih rendah. Penderita kelihatan lesu, gelisah, dan secara cepat
masuk dalam fase kritis syok. Penderita seringkali mengeluh
nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok timbul. Nyeri perut
hebat seringkali mendahului perdarahan gastrointestinal, dan
nyeri di daerah retrosternal tanpa sebab yang dapat dibuktikan
memberikan petunjuk terjadinya perdarahan gastrointestinal yang
hebat. Syok yang terjadi selama periode demam biasanya
mempunyai prognosis buruk.
3. Tatalaksana sindrom syok dengue sama dengan terapi DBD,
yaitu pemberian cairan ganti secara adekuat. Pada sebagian besar
penderita, penggantian dini plasma secara efektif dengan
memberikan cairan yang mengandung elektrolit, ekspander
plasma, atau plasma, memberikan hasil yang baik. Nilai
hematokrit dan trombosit harus diperiksa setiap hari mulai hari
ke-3 sakit sampai 1-2 hari setelah demam menjadi normal.
Pemeriksaan inilah yang menentukan perlu tidaknya penderita
dirawat dan atau mendapatkan pemberian cairan intravena.
2. Kelainan ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase
terminal, sebagai akibat dari syok yang tidak teratasi dengan
baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun
jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati
dengan menggantikan volume intravaskular, penting
diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik.
Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah
dikerjakan untuk mengetahui apakah syok telah teratasi.
Diuresis diusahakan > 1 ml / kg berat badan/jam. Oleh karena
bila syok belum teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan
telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan syok
berat sering kali dijumpai acute tubular necrosis, ditandai
penurunan jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan
kreatinin.
3. Odema paru
Odema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi
sebagai akibat pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian
cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang
diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan udem paru oleh
karena perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi
reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskuler, apabila cairan
diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat
penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan
hari sakit), pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai
sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran
udem paru pada foto rontgen dada.
L. PENCEGAHAN
Pengendalian spesies nyamuk dilakukan dengan beberapa cara:
1. Perlindungan untuk mencegah gigitan nyamuk (kawat kasa,
kelambu, repellent dan sebagainya)
2. Membuang/mengubur benda-benda yang berpotensi untuk
genangan air sehingga mencegah nyamuk berbiak.
3. Mengganti air dan membersihkan bak penampungan air secara
teratur seminggu sekali
4. Pemberian abate dalam tempat penampungan air
5. Melakukan pengasapan dengan malathion 2 kali selang 10 hari
pada daerah wabah DHF.
6. kebersihan lingkungan pada masyarakat.
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses
keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data, analisa
data, merumuskan masalah, analisa masalah dan diagnosa keperawatan
(Ngastiyah, 2005 ; Suriadi, 2001).
1. Data subyektif yaitu : lemah, panas atau demam, sakit kepala,
nyeri pada otot dan sendi, pegal-pegal pada seluruh tubuh, mual
muntah, anoreksia, pasien atau keluarga bertanya-tanya tentang
penyakit DHF.
2. Data obyektif : suhu tubuh tinggi, menggigil, wajah tampak
kemerahan, mukosa bibir kering, pendarahan gusi, lidah kotor,
tampak bintik merah pada kulit (petekie), uji tourniquet positif,
epistaksis (perdarahan hidung), ekimosis, hematoma, hematemesis
melena, hiperemia pada tenggorokan, nyeri perabaan pada
epigastrik, pada palpasi teraba adanya pembesaran hati dan limfa,
pada renjatan (derajat IV), nadi cepat dan lemah, hipotensi,
ekstremitas dingin, gelisah, sianosis perifer, nafas dangkal,
hipoproteinemia, hiponatremia, hipokloremia, keluarga/pasien
tampak tegang
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah :
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan
permeabilitas kapiler.
2. Hipertermi berhubungan dengan tidak efektifnya termoregulasi
sekunder terhadap infeksi virus dengue.
3. Risiko terjadinya syok hipovolernik berhubungan dengan
kurangnya masukan cairan tubuh.
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan faktor-
faktor pembekuan darah (trombositopenia).
5. Risiko perdarahan berhubungan dengan penurunan faktor-faktor
pembekuan darah (trombositopenia).
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan menurunnya nafsu makan sekunder terhadap anoreksia,
mual-muntah.
7. Nyeri akut berhubungan dengan kelainan viseral hepar dan proses
patologis penyakit.
8. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan peningkatan kebutuhan
metabolisme sekunder terhadap infeksi virus.
9. Perubahan pola tidur berhubungan dengan perubahan lingkungan
sekunder akibat hopitalisasi
10. Ansietas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan.
D. IMPLEMENTASI
Dokumentasi intervensi merupakan catatan tentang tindakan yang
diberikan oleh perawat. Dokumentasi intervensi mencatat pelaksanaan
rencana perawatan, pemenuhan kriteria hasil dari tindakan keperawatan
mandiri dan tindakan kolaboratif. Implementasi disesuaikan dengan
intervensi yang telah disusun (Suriadi, 2000).
E. EVALUASI
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan. Evaluasi
menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah
direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil yang diamati dengan
kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan
(Suriadi, 2000).
Dalam proses keperawatan berdasarkan permasalahan yang
muncul maka hal-hal yang diharapkan pada evaluasi adalah sebagai
berikut :
1. Kebutuhan cairan pasien terpenuhi
2. Suhu tubuh menurun (dalam batas normal 36 – 37,5 °C)
3. Syok hipovolemik tidak terjadi
4. Perfusi jaringan perifer adekuat
5. Perdarahan tidak terjadi
6. Kebutuhan pasien akan nutrisi dapat terpenuhi
7. Nyeri berkurang atau hilang.
8. Pasien dapat melakukan aktivitas secara mandiri
9. Kebutuhan tidur pasien terpenuhi
10. Tidak terjadi ansietas dan pengetahuan bertambah
DAFTAR PUSTAKA
Suriadi & Rita, Y. (2000). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta : CV Sagung
Seto
Demam
Menghilangnya Pe↑ permeabilitas Pelepasan anafilatoksin Suhu tubuh
plasma melalui dinding pembuluh C3a dan C5a, histamin tinggi > 37 oC
endotel darah dan serotinin mengigil
pembuluh
darah
Hipovolemia Kekurangan
volume cairan Hipertermi
Penumpukan
Perdarahan Aktivasi koagulasi cairan pada pleura
dalam
Hipoksia jaringan
Perdarahan : Risiko
Luka pada GI Gangguan petekie, Pendarahan
me↑ asam metabolisme melena,
lambung di hati epistaksis,
Mual muntah
anoreksia perdarahan
Hb menurun Akral dingin
gusi, ekimosis
sianosis
Hepatomegali
Ansietas
Nutrisi
Kurang dari
Kebutuhan Risiko Syok Perubahan
Penekanan Intoleransi
Tubuh Hipovolevik
Gangguan Perfusi
abdomen aktivitas
Nyeri akut Susah
pola tidur Jaringan