Anda di halaman 1dari 21

ANALISIS LATAR DALAM NOVEL AYAHKU BUKAN PEMBOHONG

A. ANALISIS LATAR

Menurut Abrams (1981:175), Latar adalah tempat, hubungan waktu dan


lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Latar dalam cerita bisa dikategorikan menjadi latar tempat, latar waktu, latar
suasana, dan latar sosial.

1. Latar Tempat
Latar Tempat merupakan latar lokasi atau tempat terjadinya peristiwa
dalam cerita, baik nama kota, jalan, gunung, ataupun rumah. Pada
Novel “Ayahku (Bukan) Pembohong tergambar beberapa latar tempat
didalam cerita. Pada kutipan dibawah ini menunjukkan awal cerita
novel ini dimulai di rumah Dam, yang tergambar pada kutipan ini.

“Dan di rumah ini, aku tidak akan membesarkan Zas dan Qon
dengan dusta seperti yang dilakukan ayah dulu kepadaku.
Mereka akan dibesarkan dengan kerja keras, bukan dongen-
dongeng palsu”.(Hal 7)

Pada kutipan diatas tergambar bahwa Dam sedang berada di rumah, ia


beranggapan bahwa ayahnya selalu menceritakan cerita bohong kepada
anaknya, ia tidak ingin anaknya dibesarkan dengan cerita-cerita
bohong, seperti yang ayahnya dulu lakukan kepadanya sewaktu Dam
masih seusia Zas dan Qon.

“Lima belas detik ruang keluarga lenggang.”

“Kalian belum tidur?” Ibu muncul dari balik pintu kamar,


ramabutnya acak-acakan, daster biru mudanya kusut, walau
ia tetap terlihat cantik”. “Sudah selesai bukan siaran
langsungnya?”.
“Sebentar lagi, Bu.” Aku jelas-jelas tidak mau tidur sebelum
mendengar seluruh cerita Ayah. Ini cerita terhebat yang
pernah kudengar dari Ayah.
“Tidur, Dam. Ini sudah pukul tiga dini hari.” Ibu mendelik.
“Empat jam lagi kau harus sekolah. Bukankah sore-sore pula
kau harus ikut seleksi renang?”. (Hal 16)

Pada kutipan diatas tergambar keberadaan ayah dan Dam di ruang


keluarga sedang menonton televisi dan mendengarkan cerita Ayah
tentang sang Kapten hingga larut malam, kedatangan ibu dari balik
pintu yang menyuruh Dam untuk tidur karena esok pagi Dam akan
sekolah dan sore harinya akan mengikuti seleksi renang.

“Bergegas, Dam. Kau sudah terlambat!” Sambil mengomel,


Ibu memasukkan celana dan kacamata renang ke dalam
kantong plastik, mencari sepatu, sekaligus meneriakiku yang
masih berkutat memasang seragam, sekolah."
“Bukannya sudah Ibu bilang, kau tidak usah menonton
pertandingan semalam. Nanti-nanti bukankah ada siaran
ulangnya?” Kepala Ibu menyembul dari balik pintu kamar,
melotot, tidak sabar melihatku.” (Hal 19)

Pada kutipan diatas juga menggambarkan keberadaan Dam dan Ibu


yang berada di Rumah, ibu yang sedang mengomeli Dam yang
terlambat kesekolah karena begadang bersama Ayah semalam untuk
menonton pertandingan sepak bola. Setibanya di sekolah degaan Ibu
benar, Dam terlambat setengah jam datang kesekolah, terlihat pada
kuitipan dibawah ini.

“Aku terlambat setengah jam. Ibu guru menyuruhku berdiri


di pojok kelas. Teman-temanku tertawa, mengolok-olok. Aku
hanya menyeringai”. (Hal 20)

Pada kutipan diatas tergambar Dam sedang berada di dalam kelas, ia


sedang dihukum karena terlambat datang ke sekolah.Hinngga jam
pelajaran berakhir Dam tetap dikelas dan dihampiri oleh temannya
bernama Taani, terlihat pada kutipan dibawah ini.
“Kaki kau pegal, Dam?” Taani, satu-satunya anak perempuan
di kelas memanggil namku, mendekati mejaku saat bel
istirahat berbunyi. (Hal 20)

Pada kutipan diatas menunjukan Dam dan Taani sedang berada


didalam kelas, melihat Dam hanya duduk di bangkunya, Taani pun
menghampiri Dam dan menanyakan keadaan kaki Dam yang dihukum
berdiri di pojok kelas hingga jam pelajaran berakhir. Latar tempat
yang menunjukkan Dam dan Taani juga dapat diperkuat dengan
kutipan dibawah ini.

“Lapangan sekolah ramai oleh anak-anak yang bermain bola


kasti. Tertawa, saling kejar, dan mengincar. Bunga Bugenvil
tampak mekar di pagar, berbaris, merah, putih, kuning,
warna-warni indah.”(Hal 21)

Pada kutipan diatas penulis menggambarkan suasana dilapangan


sekolah. Selanjutnya pada kutipan dibawah penulis menggambarkan
kegiatan Dam yang berlanjut di Kolam Renang Kota, setelah pulang
dari sekolah.

“Kolam renang kota ramai oleh anak-anak. Beberapa di


antaranya teman sekolahku. Orangtua dan penonton lainnya
duduk di tribun, mengembangkan payung besar warna-warni.
Kami berganti pakaian.” (Hal 23)

Pada kutipan diatas Dam menjelaskan keadaan suasana kolam renang


kota yang ramai oleh anak-anak dan beberapa teman sekolahnya yang
bergegas berganti pakaian. Tibalah giliran Dam memulai tes seleksi
klub renang, yang tergambar pada kutipan dibawah ini.

“Pelatih menyuruh kami bersiap, mengambil ancang-ancang.


Pelatih meniup peluit kencang. Aku gesit meluncur ke dalam
air. Rasa dingin langsung menyergap. Cipratan air di mana-
mana.”
Pada kutipan di atas tergambar bahwa Dam sudah memulai tes
seleksinya, dan lolos ke tahap selanjutnya. Namun pada tes terakhir
penentuan kelulusan tes seleksi klub renang ini, Dam mengalami kaku
tangan dan kaki di tengah-tengah tes dimulai, dan akhirnya Dam pun
diselamatkan oleh pelatih dan dibawa pulang.

“Kakiku tak kuasa lagi mengayuh. Tanganku mendadak


seperti kaku, tidak bisa diperintah. Gerakkanku terhenti persis
ditengah kolam. Tubuhku mengapung, tersedak, berusaha
mengapai-gapai udara sebelum tenggelam.”
“Pelatih tanpa menunggu sedetik pun sudah meloncat ke
dalam kolam. Ayah melemparkan payungnya, berlari
menuruni tribun. Kali ini, cerita-cerita itu tidak bisa
menolongku.” (Hal 28)

Setelah kejadian kemarin berlalu, seminggu kemudian Dam, Ibu dan


Ayah pergi ke Stadion untuk menonton pertandingan klub bola
kebanggaan aku dan ayah. Yang tergambar pada kutipan dibawah.

“Menumpang angkutan umum, butuh satu jam dari rumah ke


stadion, dan saat tiba di garis terluar, lautan manusia sudah
memenuhi stadion. Kesenangan melingkupi langit-langit
kota.” (Hal 103)

Kutipan diatas menggambarkan apa yang dilihat oleh Dam di stadion


yang sudah ramai oleh para pendukung klub bola yang akan
bertanding pada saat itu. Ketika Dam dan keluarga sudah masuk ke
dalam stadion, beberapa menit kemudian pertandinganpun dimulai.
Tergambar pada kutipan dibawah.

“Persis pukul lima sore, tibalah pertandingan besar itu.


Dengan speaker lantang, pemimpin pertandingan memanggil
tim nasional kami keluar dari ruang ganti. Gemuruh tepuk
tangan menyambut.” (Hal 105)

Kutipan diatas menggambarkan riuhnya keadaan di stadion untuk


menyambut klub kesayangan mereka yang akan memulai
pertandingan dengan tepuk tangan yang gemuruh. Dan pertandingan
berakhir dengan kemenangan oleh klub kebanggan Dam dan keluarga.

Karena kemenangan itu Dam ingin meminta tanda tangan sang Kapten
yang selama ini ia idolakan, ketika ia ingin menghampiri sang Kapten,
Ayah menyeret tangan Dam untuk pulang karena Ibu sudah amat
lelah, yang terdapat pada kutipan dibawah ini.

“Aku sudah berdiri sekarang, berpikir cepat. Aku akan


meminta sang Kapten menandatangani apa? Kaus? Syal?
Sang Kapten sudah di baris kelima, berselang lima kursi lagi.
“Kita pulang, Dam.” Ayah menyentuh tanganku.
“Pulang?” Aku yang sudah hendak merangsek ke depan tidak
sabaran menoleh pada Ayah, tidak mengerti.
“Kita pulang sekarang.” Ayah sudah berdiri. “Ibu kau amat
lelah.” (Hal 106-107)

Pada kutipan diatas menunjukkan rasa kecewa Dam kepada Ayahnya


karena menyuruhnya pulang, Dam hanya bisa pasrah karena melihat
kondisi Ibunya yang sudah lelah.

Tiga tahun berlalu, Dam telah lulus dari SMP dan Ayah mengirimku
ke sekolah berasrama antah berantah di luar kota, bernama Akademi
Gajah.Ayah berharap aku bisa belajar banyak hal di asrama Akademi
Gajah, nanum pada awal kehadiranku di asrama aku melanggar
beberapa hal yang seharusnya tak kulakukan disana. Tergambar dalam
kutipan dibawah.

"Di asramaku, tidur larut dan membuat kegaduhan adalah hal


terlarang, dan aku sekaligus melanggar kedua-duanya,
ditambah konspirasi mengajak teman-teman serta
menyelundupkan televisi ke dalam kamar, lengkap sudah
kesalahanku.” (Hal 113)
Bukannya menjadi anak yang berperilaku baik, Dam malah rela
melanggar peraturan agar dapat menonton klub sepak bola
kebanggannya. Malam kesekian di asrama Dam mengajak teman-
temannya untuk bersama-sama kumpul di Kamarnya dan Retro untuk
merayakan ulang tahun Retro, tentunya semua ide itu berasal dari
Dam. Membuat keributan hingga mengambil makanan didapur asrama
secara mengendap-endap. Hingga akhirnya dam dipanggil kepala
sekolah. Tergambar pada kutipan dibawah ini.

“Pintu kamar diketuk, salah satu guru berdiri di lorong


dengan wajah masam. “Siapa pemilik kamar ini? Kepala
sekolah menunggu kau di ruangnnya.”
“Aku dan Retro digiring meninggalkan kamar di bawah
tatapan teman-teman. “Kalian bergegas kembali ke kamar
masng-masing, atau semuanya dihukum.”Guru pengawas
berseru kencang, membuat pesta bubar dalam hitungan
detik.” (Hal 126)

Dam lagi-lagi melanggar peraturan asrama dan kembali di panggil


kepala sekolah untuk diberi hukuman, kali ini Dam menjalankan
hukuman tidak sendiri, melainkan bersama teman satu kamarnya di
asrama, Retro.

Kali ini Dam dan Retro dihukum untuk membersihkan Perpustakaan,


namun bukannya Dam mendapatkan rasa penyesalan, malah
sebaliknya, Dam sangat senang dihukum untuk membersihkan
perpustakaan seperti yang diharapkannya, karena Dam senang
menggambar sketsa, hanya dengan cara membuat kegaduhanlah Dam
dapat mengunjungi perpustakaan dengan mudah dan tentunya tidak
ada anak-anak yang lain, karena masih di jam pelajaran.

Ditengah-tengah kegiatan mereka membersihkan perpustakaan, Retro


berniat membawa satu buku perpustakaan ke dalam asramanya, tentu
hal itu dilarang dan jika mereka ketahuan, mereka tidak akan bisa
masuk ke perpustakaan lagi, tentunya Dam akan sulit menemukan
tempat yang tenang untuk menggambar sketsa. Tergambar pada
kutipan dibawah ini.

“Bukan itu maslahnya, bodoh!” Aku mendengus galak. “Kau


bisa membahayakan hukuman kita. Sekali petugas tahu kau
membawa pulang buku-buku ini, hukuman ini dibatalkan,
diganti dengan yang lain. Kau bahkan tidak punya
kesempatan lagi membaca buku-buku ini.”
“Dan kau juga tidak bisa menggambar lagi.” Retro
menatapku sambil menyeringai menyebalkan.” (Hal 130-131)

Setelah perbedatan itu berlangsung, Dam dan Retro masih


diperpustakaan sembari melakukan kegiatannya masing-masing,
hingga mereka disadarkan oleh kedatangan petugas senior yang
menyuruh mereka pergi dari perpustakaan, karena sudah jam malam
asrama, dan mereka melewatkan makan bersama, tergambar pada
kutipan dibawah ini.

“Kalian sudah hampir enam jam membersihkan


perpustakaan. Astaga, kalian bahkan tidak ke ruang makan
bersama. Sebentar lagi jam malam asrama. Bergegaslah
keluar!” Salah satu petugas senior sudah berdiri di tengah
ruangan perpustakaan, matanya menatap tajam, curiga.”
“Aku dan Retro buru-buru merapikan buku-buku. Aku
bergegas meraih tas buku gambarku, dan tanpa banyak
komentar segera meninggalkan ruangan perpustakaan.” (Hal
142)

Pada hari berikutnya Dam dan Retro kembali ke perpustakaan untuk


melanjutkan kegiatan mereka masing-masing. Mereka berdiskus
tentang buku yang selama ini Retro baca yang isinya semua hal yang
pernah Ayah lewati selama ini, hingga petugas senior kembali datang
dan mengusir kami untuk kembali ke asrama katena sudah lewat jam
malam. Terdapat pada klutipan dibawah ini.

“Kalau kau bilang Ayah kau pernah ke Lembah Bukhara, aku


percaya, Kawan. Meskipun aku meragukan soal apel emas
itu. Tetapi yang satu ini, maafkan aku, ayah kau sedikit
berlebihan.”
“Petugas senior asrama lagi-lagi menghentikan diskusi kami
di ruangan perpustakaan. Ia meneriaki kami agar segera
kembali ke kamar. Karena sudah lewat jam malam.” (Hal
164)

Setelah libur panjang selesai, Ibu dan Ayah mengantar Dam ke


Stasiun Kereta untuk kembali ke asrama Akademi Gajah. Tergambar
pada kutipan dibawah.

“Kereta mendesis. Suara pengumuman terakhir dari speaker


petugas peron membuat pengantar bergegas turun. Ayah
menepuk-nepuk pipiku, tertawa kecil.”Berusahalah agar kau
tidak sampai dikeluarkan tahun ini.”
“Aku ikut tertawa, mengangguk, lantas loncat ke pintu
gerbong, melambaikan tangan. Ibu senggukan dipelukan
Ayah. Satu menit berlalu, lokomotif kereta sudah melaju
dengan kecepatan penuh, menyongsong tahun keduaku di
Akademi Gajah.” (Hal 123)

Dari kutipan diatas menunjukkan keberadaan Dam dan keluarga yang


berada di Stasiun Kereta untuk mengantarkan Dam kembali ke
asrama, sembari memberikan nasihat kepada Dam untuk menjadi akan
yang berprilaku baik agar tidak dikeluarkan dari Akademi Gajah.

Libur panjang kembali datang. Seluruh murid Akademi Gajah sibuk


mengemasi barang, menyeret koper besar, bersiap pulang menuju
rumah masng-masng, begitu pula dengan Dam dan Retro yang sudah
menunggu Kereta di Stasiun menuju kota mereka masing-masing.
Terdapat pada kutipan dibawah ini.

“Jangan lupa, kau selesaikan misi pentingmu.” Retro


melambaikan tangan, kereta mulai bergerak maju.”
“Aku mengangguk, menepuk ransel di pundak, balas
melambai. Setengah jam berlalu, kereta berikutnya merapat,
kereta menuju kotaku.” (Hal 170)
Seiring berjalannya waktu Ibu Dam meninggal dunia, karena sakit
yang selama ini ia derita. Di pemakaman dam hanya diam meratapi
Pemakaman ibunya, hingga Ayah menyentuh lengan Dam
mengajaknya pulang karena langit mendung dan akan turun hujan.
Tergambar pada kutipan dibawah ini.

“Kita harus pulang, Dam.” Ayah menyentuih lenganku. Aku


hanya diam.”
“Sebentar lagi hujan.” Ayah mendongak.” (Hal 236)

Setelah satu tahun kepergian ibu Dam, ia pun mencoba mendaftarkan


diri ke salah satu Universitas. Dam masuk ke Universitas ternama di
kotanya, dengan mudah berkat surat pengantar yang Dam sendiri tidak
tahu apa isinya, yang berhasil membantunya masuk ke Universitas
ternama dengan Jurusan arsitek terbaik dikotanya

Setibanya dikampus, Dam mencari Kantin untuk mengisi perutnya


yang kosong, ketika Dam sedang menyantap makanannya, kegiatan
nya terhenti karena ada Gadis yang menegurnya, dan ingin bergabung
makan dengan Dam. Terdapat pada kutipan dibawah.

“Kursi itu kosong, kan?” Gadis itu menunjuk nampan


makanan di tangannya.”
“Aku buru-buru mengangguk, menyingkirkan tabung gambar
dan ransel. Silahkan, aku hanya tamu dari jurusan lain di
gedung ini.” (Hal 245)

Gadis itu ternyata Taani, teman Dam waktu duduk di bangku Sekolah
Menengah Pertama, ia mengenali Dam dengan mudah karena melihat
rambut Dam yang memiliki ciri khas tersendiri. Mereka pun
berbincang banyak hal tentang apasaja yang mereka lewati selama ini.

Setelah bertahun-tahun dilewati Dam, akhirnya ia menikahi Taani dan


memiliki dua orang anak, yaitu Zas dan Qon. Mereka hidup normal
layaknya pasangan lainnya. Ayah Dam tinggal bersama Dam dan
Taani, hingga ayah Dam jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia.
Pemakaman Ayah yang dipenuhi manusia mengalahkan ramainya
penonton kejuaraan piala dunia. Tergambar dalam kutipan dibawah
ini.

“Pagi ini Ayah dimakamkan.Aku tidak pernah melihat


keramaian seperti ini sebelumnya di kota, mengalahkan
kejuaraan nasional renang, festival kembang api, bahkan tur
sang Kapten dua puluh tahun silam.”
“Antrean pelayat mengular panjang. Pemakaman ini dihadiri
walikota, keluarga besar jarjit, teman-teman sekolahku,
teman-teman klub renang, tetangga, kolega, dan kenalan ayah
yang sebagian besar tidak aku kenali.” (Hal 295)

Pemakaman yang ramai itu ternyata di hadiri oleh sang Kapten, yang
selama ini dam idolakan, sang Kapten menceritakan betapa rendah
hatinya seorang Ayah Dam yang sebenarnya sangat luar biasa, dari
cerita sang kapten pula Dam membuktikan bahwa Ayahnya bukan
pembohong.

2. Latar Waktu
Latar waktu merupakan latar yang berkaitan dengan ketika terjadinya
peristiwa dalam cerita baik dalam bentuk penanggalan, penyebutan
peristiwa sejarah, penggambaran situasi malam, pagi siang, maupun
sore. Pada novel Ayahku (Bukan) Pembohong juga terdapat beberapa
latar waktu seperti pada kutipan dibawah ini.

“Malam ini klub kesayangan kau sepertinya bakal kalah


tipis.” (Hal 8)

Pada kutipan diatas menunjukan waktu dimalam hari, saat Dam dan
Ayah sedang berdiskusi masalah pertandingan klub bola kebanggaan
mereka yang akan bertanding malam itu. Waktu malam hari juga
terdapat dalam kutipan dibawah.
“Kau benar soal itu. Tetapi malam ini lawan mereka
berbeda.” (Hal 9)

Pada kutipan diatas juga menunjukkan diskusi Ayah dan Dam pada
malam hari yang membicarakan apakah klub kebanggan mereka akan
menang atau kalah pada pertandingan kali ini. Kutipan waktu malam
hari juga terdapat pada kutipan dibawah ini.

“Dam, jangan-jangan malam ini jika sang Kapten kalah,


kaulah orang yang paling sedih di dunia.” (Hal 10)

Pada kutipan diatas, saat Ayah sedang menonton pertandingan bola


bersama Dam di malam hari, Ayah memprediksi klub sang Kapten
akan kalah, dan Dam adalah orang yang paling sedih di dunia.

Kutipan waktu juga terdapat pada kutipan dibawah. Menunjukkan


waktu Dam masih kecil yang belum dapat berbicara, Ayah sudah suka
mengajakku berbicara dan bercerita banyak hal.

“Sejak kecil, bahkan sejak aku belum bisa diajak bicara, ayah
sudah suka bercerita.” (Hal 12)

Kutipan dibawah ini menunjukan Waktu subuh hari, ketika Ayah dan
Dam sedang asik berbincang setelah menonton pertandingan bola, dan
terhenti karena Ibu datang dari balik pintu dan menyuruh Dam untuk
tidur, karena waktu telah menunjukkan pukul tiga dini hari. Karena
Pagi nanti Dam akan bersekolah.

“Tidur Dam. Ini sudah pukul tiga dini hari.” (Hal 16)

Dalam perjalanan kesekolah sembari mengayuh sepeda Dam


menikmati udara pagi yang menerpa wajahnya hingga rasa kantuk pun
hilang.
“Dalam sekejap, saat udara pagi menerpa wajah, rasa
kantukku hilang.” (Hal 20)
Hembusan angin pagi bukan hanya menerpa wajah dan
menghilangkan rasa kantuk Dam, tetapi tiupan angin juga membuat
rambut dam yang keriting itu mengering.

“Tiupan angin pagi membuat rambutku mengering.” (Hal 20)

Pagi hari setiba disekolah, Jarjit sudah mengajak Dam berkelahi, Dam
yang kemarin tenggelam saat seleksi renang, dan jarjit mengejek
bahwa rambut Dam lah yang menyebabkan Dam tenggelam.

“Esok harinya, di halaman sekolah, aku bertengkar dengan


Jarjit.” (Hal 35)

Pada kutipan dibawah menunjukkan waktu pagi hari, dimana Taani


berlari mencari Dam hingga di toilet laki-laki yang dicegah oleh Jarjit.

“Masih pagi, sekolah belum ramai saat Taani tergopoh-gopoh


datang.” (Hal 40)

Kutipan dibawah menunjukkan waktu senja hari, dimana matahari


sudah tenggelam, menandakan acara renang yang di ikuti Dam di
kolam renang kota telah selesai.

“Matahari sudah tumbang, seluruh rangkaian acara selesai.”


(Hal 46)

Kutipan selanjutnya menunjukan latar waktu senja, dimana Dam baru


saja tiba di stasiun kereta untuk menemui Ibu yang jatuh sakit, yang
tergambar dibawah ini.

“Kereta tiba di stasiun kota menjelang senja.” (Hal 229)

Pada kutipan dibawah menunjukan pemakaman Ayah Dam yang


dilakukan pada pagi hari, yang dihadiri banyak sekali kerabat Ayah
yang beberapa tidak dikenali oleh Dam dan serta kehadiran teman-
teman Dam.

“Pagi ini ayah dimakamkan. Aku tidak pernah melihat


keramaian seperti ini sebelumnya di kota,” (Hal 295)

3. Latar Suasana
Latar suasana merupakan unsur intrinsik yang berkaitan dengan
keadaan psikologis yang timbul dengan sendirinya bersamaan dengan
jalan cerita.

Suatu cerita menjadi menarik karena berlangsung dalam suasana


tertentu, misalnya suasana gembira, haru, sedih, dan tegang. Suasana
dalam cerita biasanya dibangun bersama pelukisan tokoh utama. Pada
Novel Ayahku (Bukan) Pembohong terdapat beberapa suasana yang
tergambar di dalam nya, terkutip dalam kalimat dibawah ini.

“Aku bertemu Jarjit di tribun penonton. Tubuhnya tinggi


besar. Kulitnya lebih coklat.”

“Bagaimana dengan pangeran inggris itu?” aku bertanya,


bergurau.”

“Jarjit tertawa. “Tidak semenarik berteman dengan kau, Dam.


Sekali aku mengoloknya, ada belasan agen secret service
datang ke sekolah.” Jarjit bergurau. (Hal 190-191)

Pada kutipan diatas menggambarkan Dam yang bertemu dengan Jarjit,


musuhnya saat di bangku SMP. Mereka tertawa bersenda gurau saling
bercerita tentang hari-harinya di sekolah mereka yang baru.

Setelah masa libur panjang telah usai, Ayah dan Ibu mengantar Dam
di stasiun kereta, Dam berpamitan sambil membujuk ibunya untuk
mau melakukan terapi demi kesembuhan sang ibu, yang tergambar
dalam kutipan di bawah ini.

“Ibu mau melakukan terapi itu, kan?”


“Ibu tersenyum, akhirnya mengangguk. Aku memeluknya
erat-erat, berbisik, “Akuakan melakukan apa saja agar Ibu
sembuh.”

“Pelukan Ayah canggung, Ayah tidak bilang apa-apa. Aku


hanya menunduk. Suara panggilan terakhir untuk penumpang
yang masih berada di peron terdengar. Kereta mendesis. Aku
segera loncat ke atas gerbong, melambaikan tangan. Ibu
membalas lambaianku, tangan Ayah hanya memeluk bahu
Ibu.” (Hal 196)

Pada kutipan di atas menggambarkan suasana haru saat Dam berhasil


membujuk Ibu untuk mengikuti terapi agar Ibu dapat sembuh dan juga
suasana haru karena Dam harus kembali ke Asrama Akademi Gajah
dan kembali meninggalkan Ayah dan Ibunya.

Kemudian setelah beberapa pekan Dam di asrama, ia mendapatkan


kabar buruk bahwa kondisi ibunya memburuk. Dam pun bergegas
menuju ke stasiun untuk menemui sang Ibu. Tergambar pada kutipan
dibawah ini.

“Sepanjang jalan aku bergumam gelisah. Mendesahkan doa


ke langit-langit gerbong. Ibu harus bertahan. Aku membawa
uang untuk biaya perawatan. Ibu akan sembuh dan melihatku
dewasa.” (Hal 228)

Betapa gelisahnya Dam yang tak sabar ingin menemui Ibu yang
sedang jatuh sakit, dan berharap Ibu dapat sembuh agar dapat
melihatnya tumbuh dewasa.

Begitu tiba dirumah, Dam bergegas berlari ke rumah dan mendorong


pintu kamar Ibu. Langkahnya terhenti melihat ibu yang terbaring
lemah di ranjangnya, Dam semakin terpuruk dan sedih melihat kondisi
sang Ibu yang sangat berbeda dari terakhir mereka berpisah di stasiun
kereta untuk mengantar Dam kembali ke asrama Akademi Gajah.

“Kudorong pintu kamar Ibu, dan langkahku terhenti.


Lihatlah, Ibu terbaring lemah di ranjang. Kepalanya sudah
digunduli. Slang infus dan belalai menghujam atas-bawah,
kiri-kanan. Ranselku terlepas dari tangan.” (Hal 229)

Betapa frustasinya Dam yang melihat kondisi ibunya yang begitu


buruk, dan belum siuman dari pingsan kemarin. Tergambar pada
kutipan dibawah.

“Aku kehilangan kalimat berikutnya, melangkah pelan-dulu


aku terbiasa berjinjit meninggalkan ibu yang jatuh tertidur.
Aku duduk di samping Ayah. Meremas rambutku.” (Hal 229)

Saat kondisi ibu sedang buruk dan sedang ditangani oleh dokter, Ayah
sempat-sempatnya menceritakan cerita yang menurut Dam hanyalah
kebohongan itu, membuat Dam marah dan sedih dalam waktu yang
bersamaan.

“Ibu tidak bahagia!” aku berseru tertahan, memotong kalimat


Ayah. Rasa marah, bingung, sedih, tidak mengerti bercampur
aduk dalam hatiku. Apakah Ayah sudah gila?” (Hal 233)

Karena terlalu sering Ayah menceritakan cerita-cerita yang menurutku


hanya ada dalam cerita dongeng, membuatku muak dan meneriaki
Ayah.

“Hentikan omong kosong ini!” aku berteriak. “Aku tidak


pernah percaya cerita-cerita ayah.” (Hal 234-235)

Setelah kepergian ibu, disusul kepergiaan Ayah setelah Dam menikah


dengan Taani dan memiliki dua orang anak bernama Zas dan Qon.
Pemakaman Ayah sangat ramai didatangi orang-orang yang sebagian
besar tidak Dam kenali. Hingga akhirnya Sang Kapten yang selama
ini Ayah Dam ceritakan dan ia idolakan itu hadir di pemakaman untuk
memberikan penghormatan terakhir kepada Ayah Dam.

“Mataku tiba-tiba basah oleh air mata. Apakah ini


sungguhan? Orang-orang masih bertepuk tangan. Jarjit yang
dulu bangga sekali punya bola tanda tangan itu
mengacungkan jempol, tersenyum. Sang Kapten sudah
memelukku erat-erat.”

”Aku turut berdukacita, Dam. Ayah kau adalah segalanya


bagi Kapten tua ini. Ayah kau terlalu sederhana untuk
mengakuinya.”

“Aku balas memeluknya erat-erat, menangis terisak. Pagi itu


aku tahu, Ayahku bukan pembohong.” (Hal 298)

Akhirnya Dam mengetahui kebenarannya, bahwa sebenarnya Ayah


Dam bukan pembohong atas segala cerita yang selama ini Ayah
ceritakan. Dam pun menangis di pelukan Sang Kapten, dan menyesali
kesalahannya.

Ada pula suasana menegangkan dari amarah Dam yang membuat


Taani bertekuk lutut kepadanya dan anak-anak Dam yang ketakutan
dengan pertengkaran orang tuanya.

“Dam!” Taani sudah memeluk lututku. “Itu Ayah, Dam.


Ayah kau! Yang menggendong kau saat bayi, yang mengajak
berlarian saat kau dua-tiga tahun. Itu Ayah, Dam.” Di atas
sana, Zas dan Qon menangis memeluk bantal. Mereka bisa
mendengar pertengkaran kami.” (Hal 279-280)

Ada juga suasana yang sunyi. Dam tidak tahu harus berkata apalagi
setelah ia tidak enak hati berbicara kepada ayahnya untuk
menanyakan apakah cerita ayahnya benar-benar ada atau tidak.
“Hujan di luar semakin deras, kerlip lampu mobil yang
melintas terlihat indah dari bingkai jendela. Ruang keluarga
terasa lenggang. Ayah menatapku tajam, tidak seperti
biasanya. Aku menunduk.” (Hal 186)

4. Latar Sosial
Latar sosial adalah gambaran kehidupan masyarakat dalam kurun
waktu dan tempat tertentu yang dilukiskan dalam cerita. Pada Novel
Ayahku (Bukan) Pembohong tergambar pada kutipan di bawah.

“sama denganku yang setiap hari harus mengayuh sepeda ke


sekolah. Aku tidak akan mengeluh lagi. Peduli amat jika
suatu saat Jarjit diantar dengan helikopter sekalipun. Peduli
amat kalau hanya aku yang memakai sepeda besar tua yang
tidak proposional dengan tubuh kecilku.” (Hal 20)

Pada kutipan diatas menggambarkan kesederhanaan Dam yang tidak


akan iri walaupun temannya diantar dengan helikopter sekalipun.
Kedeserhanaan ini patutnya kita di zaman milenial yang penuh dengan
kemewahan.

“Pulang sekolah, dengan menumpang angkutan umum, Ayah


menjemputku.” (Hal 22)

Kesederhanaan juga terdapat pada kutipan diatas, saat Ayah Dam


menjemput Dam dengan angkutan umum menuju ke kolam renang
kota.

Selain itu, novel ini mengajarkan niai sosial kejahatan tidak harus
dibalas dengan kejahatan pula. Pembalasan dendam hanya akan
membuat masalah menjadi besar dan rumit. Apalagi jika diajak untuk
balas dendam dengan berkelahi, hal terbaik yang harus dilakukan
adalah menolaknya.
“Aku hanya tidak suka berkelahi, apalagi beramai-ramai
mengeroyok dan sekadar balas dendam.” (Hal 64)

Pada novel ini diantaranya juga mengajarkan untuk selalu menepati


janji. Ketika kita telah mengucap janji, maka sesuai waktu yang telah
dijanjikan, kita harus menepatinya tanpa alasan apapun.

“Kita sudah bersepakat. Setengah jam sudah lewat, saatnya


tidur. Kalian tidak akan melanggar kesepakatan kita, bukan?
Atau tidak akan ada lagi orang yang menghormati janji
kalian.” (Hal 109)

Pada kutipan di bawah menunjukan bahwa Dam anak yang mampu


membangun hubungan sosial yang baik dengan penduduk kampung
yang tak jauh dari Asrama Akademi Gajah.

“Satu, untuk pencapaian dalam mengembangkan hubungan


baik dengan penduduk perkampungan. Dua, untuk
pencapaian dalam mengembangkan pemahaman hidup yang
bersahaja.” (Hal 241)

Kesederhanaan kembali ditunjukan pada kutipan di bawah, saat Dam


mengajak Taani untuk berkeliling kota dengan motor vespa tuanya.
Menikmati satu sudut kota ke sudut kota lain, dan melihat festifal
kembang api, sederhana memang, namun memberikan kenangan yang
berharga.

“Kota bercahaya. Ini malam festival kembang api.”

“Aku membawa vespa tua berkeliling dari satu sudut kota ke


sudut kota lain, Taani duduk dibelakang.” (Hal 248)

Pada kutipan di bawah menunjukan kebahagiaan yang bisa kita


dapatkan melalui kesederhanaan, bahagia tidak hanya dapat dirasakan
dengan kemewahan, namun melalui kesederhanaan juga dapat
membuat bahagia.

“Meski hidup sederhana, tidak memiliki perhiasan, ke mana-


mana naik angkutan umum. Dia paham, dan dia memilih
jalan itu, karena jauh-jauh hari Ayah sudah memilih jalan
itu.” (Hal 294)
INTERPRETASI LATAR DALAM NOVEL AYAHKU (BUKAN)
PEMBOHONG

1. MENGAPA LATAR SOSIAL BEGITU DOMINAN DALAM NOVEL


INI?

Latar sosial yang disajikan dalam novel ini adalah kehidupan yang
sederhana dan bahagia. Bukan hanya uang yang bisa membuat seseorang
bahagia, tetapi keluarga kecil yang harmonis, bercerita berbagi
pengalaman, menyemangati, dan menyayangi satu sama lain sudah lebih
dari cukup dari sekedar kata sederhana dan bahagia.

Penulis juga ingin mengajarkan kita, jika ingin bahagia di dunia ini
harus bekerja keras dan hidup sederhana, apa adanya. Semua itu adalah
jalan tercepat untuk melatih hati di tengah riuh rendah kehidupan sehari-
hari. Percayalah, memiliki hati yang lapang itu menyenangkan, ketika kita
bisa berdiri dengan seluruh kebahagiaan hidup, menatap kesibukan di
sekitar, dan melewati hari-hari berjalan, bersama keluarga tercinta.

Semua kesederhanaan dan kerendahan hati yang tergambar


didalam novel ini ingin mengajarkan kita menjadi manusia yang
bermartabat, dihargai dan dihormati orang lain. Kesederhanaan dan
kerendahan hati juga dapat melahirkan rasa keadilan, kasih sayang dan
kecintaan terhadap sesama.

Dengan kerendahan hati, maka akan mendidik seseorang untuk


bersikap adil kepada dirinya, keluarganya, dan tentunya masyarakat
sekitar. Sifat ini seolah membisikkan kepada manusia bahwa belum ada
kelebihan seseorang bila mereka tidak mampu berbuat yang terbaik dan
berkontribusi kepada sesamanya.
EVALUASI LATAR NOVEL AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG

Daftar Pustaka

https://www.seputarpengetahuan.co.id/2018/05/pengertian-latar-
fungsi-macam-macam.html

Anda mungkin juga menyukai