Digoksin adalah suatu obat yang diperoleh dari tumbuhan Digitalis lanata. Digoksin
digunakan terutama untuk meningkatkan kemampuan memompa (kemampuan kontraksi)
jantung dalam keadaan kegagalan jantung/congestive heart failure (CHF). Obat ini juga
digunakan untuk membantu menormalkan beberapa dysrhythmias (jenis abnormal denyut
jantung). Obat ini termasuk obat dengan Therapeutic Window sempit (jarak antara MTC
[Minimum Toxic Concentration] dan MEC [Minimum Effective Concentration] mempunyai
jarak yang sempit. Artinya rentang antara kadar dalam darah yang dapat menimbulkan efek
terapi dan yang dapat menimbulkan efek toksik sempit. Sehingga kadar obat dalam plasma
harus tepat agar tidak melebihi batas MTC yang dapat menimbulkan efek toksik. Efek
samping pada pemakaian dosis tinggi, gangguan susunan syaraf pusat: bingung, tidak nafsu
makan, disorientasi, gangguan saluran cerna: mual, muntah dan gangguan ritme jantung.
Reaksi alergi kulit seperti gatalgatal, dan juga terjadinya ginekomastia (jarang) yaitu
membesarnya payudara pria) mungkin terjadi.
Digoksin adalah agen inotopik yang terutama digunakan untuk mengobati gagal
jantung kongestif (congestive heart failure, CHF) dan fibrilasi atrial. Agen ini sebagian
diabsorpsi dan setelah diabsorpsi, fraksi yang besar dibersihkan oleh ginjal. Dalam situasi
perawatan akut, umumnya dosis muatan digoksin ≈ 1 mg/70 kg diberikan sebelum dosis
umum pemeliharaan dimulai, yakni 0,125 hingga 0,25 mg/hari. Dosis muatan dan
pemeliharaan digoksin ini diperoleh pada saat kadar targetnya bernilai 1 hingga 2 mcg/L dan
dosis harian yang mungkin berkisar setengahnya akan lebih umum pada pasien dengan gagal
jantung (lihat Konsentrasi Plasma Terapeutik). Karena memiliki waktu paruh eliminasi yang
panjang, digoksin diberikan sekali sehari. Penyesuaian dosis dapat menjadi penting untuk
pasien yang mengalami perubahan dari terapi parenteral ke oral atau sebaliknya; pasien
dengan gagal ginjal, CHF, atau abnormalitas tiroid; atau pasien yang mengonsumsi
amiodaron secara bersamaan.
BIOAVAILABILITAS
Bioavailabilitas tablet digoksin berkisar dari 0,5 hingga lebih besar dari 0,9. Banyak
klinisi menggunakan bioavailabilitas 0,7 hingga 0,8. Nilai bioavailabilitas 0,7 digunakan
dalam teks ini sebagai suatu estimasi gambaran bioavailabilitas rerata yang dilaporkan dalam
literatur. Eliksir tampaknya memiliki bioavailabilitas yang berkisar 0,8, dan kapsul gelatin
lunak digoksin tampaknya diabsorpsi dengan lengkap. Rute pemberian intravena IV juga
diasumsikan memiliki bioavailabilitas 100%.
St.John’s wort dilaporkan dapat mengurangi bioavailabilitas digoksin sebesar 25%.
Hal ini dipostulasikan bahwa interaksi yang terjadi adalah dengan Pglikoprotein; akan tetapi,
mekanisme lain (seperti induksi metabolism hepatik) juga dilaporkan. Dengan cara yang
sama, berbagai antibiotik juga dilaporkan dapat menghubah bioavailkabilitas digoksin yang
diduga dengan cara menekan bakteri dalam saluran gastrointestinal yang memetabolisme
digoksin. Mekanisme lainnya seperti metabolisme atau ekskresi ginjal juga berperan terhadap
bagaimana antibiotik dapat meningkatkan konsentrasi plasma digoksin. Golongan antibiotik
yang paling umum dilaporkan dapat meningkatkan konsentrasi digoksin adalah makrolida,
tetapi antibiotik lainnya seperti itrakonazol bukan merupakan hal yang mengherankan.
Pemberian bersamaan digoksin dengan kolestiramin dilaporkan dapat menurunkan
bioavailabilitas digoksin, dan baik kolesteramin maupun arang (charcoal) dianjurkan untuk
digunakan sebagai modalitas terapi pada pasien yang keracunan digitalis. VOLUME
DISTRIBUSI (V) Volume Distribusi rerata untuk digoksin adalah ≈ 7,3 L/kg. Nilai V ini
menurun pada pasien yang memiliki penyakit ginjal. VDigoksin (L) = (3,8 L/kg) (Berat
dalam kg) + (3,1)(Clcr dalam mL/menit) .....(Pers 1) Pada persamaan tersebut, faktor dipilih
agar satuan volume distribusi yang dihitung adalah L ketika satuan klirens kreatinin yang
digunakan dalam mL/menit, dan satuan berat dalam kilogram (Kg). Nilai V digoksin juga
menurun pada pasien hipotiroid dan pada pasien yang mengonsumsi kuinidin.
Volume distribusi meningkat pada pasien hipertiroid. Selain itu volume distribusi
pada pasien kegemukan tampaknya sangat berkaitan dengan berat badan yang tidak
kegemukan atau berat badan ideal (BBI) dari pada berat badan total (BBT) (Tabel 1). Cara
perilaku digoksin pada saat didistribusikan di dalam tubuh harus diperhatikan dalam
menginterpretasikan kadar plasma. Distribusi digoksin mengikuti model kompartemen dua
(lihat Bagian I: Volume distribusi: Model Kompartemen Dua). Pertama kali digoksin
didistribusikan ke dalam volume distribusi awal yang kecil, Vi, yang terdiri dari plasma dan
jaringan lain yang dengan cepat mencapai kesetimbangan dan selanjutnya didistribusi ke
dalam kompartemen jaringan yang lebih besar dan yang lebih lambat mencapai
kesetimbangan. Miokardium memberikan respons secara farmakologi seolah – olah ia
terletak berada di dalam kompartemen jaringan lebih besar dan lebih lambat mencapai
kesetimbangan (Vt). Karena sampel plasma diperoleh dari Vi, kadar digoksin dalam plasma
tidak secara akurat merefleksikan efek farmakologis obat hingga dikosin didistribusikan
secara lengkap ke dalam kedua kompartemen. Konsentrasi digoksin dalam serum yang
diperoleh sebelum tercapainya distribusi lengkap seringkali menyesatkan. Karena volume
distribusi awal (Vi) digoksin relative kecil (≈ 1/10Vt), konstentrasi plasma yang tinggi
biasanya dilaporkan segera setelah dosis diberikan. Karena hati berperilaku seolah – olah
berada dalam kompartemen kedua atau jaringan, konsentrasi serum awal yang tinggi yang
terjadi segera setelah dosis diberikan tidak mencerminkan potensi terapeutik maupun toksik
dari digoksin. Konsentrasi plasma hanya berarti jika diperoleh setelah kesetimbangan tercapai
sempurna (yakni sedikitnya 4 jam setelah pemberian dosis IV atau 6 jam setelah pemberian
dosis oral). Namun, efek klinis dosis dapat diamati jauh lebih cepat dari 4 – 6 jam karena
waktu paruh distribusi α t ½ (yakni 1 jam), miokardium mengalami efek 75% dari pemberian
dosis IV. Namun sampel plasma yang diambil pada saat tersebut, konsentrasinya akan
menjadi tinggi tetapi bukan yang sesungguhnya karena 25% sisanya yang belum terdistribusi
keluar Vi akan menghasilkan konsentrasi plasma yang cukup tinggi dibandingkan dengan
konsentrasi yang akan diamati setelah keseimbangan antara kedua kompartemen tercapai
sempurna (Gambar 1).
Kliren digoksin sangat bervariasi antara individu dan harus diestimasikan untuk setiap
pasien. Klirens digoksin total (Clr) adalah jumlah klirens metabolic (Clm) dan klirens ginjal
(Clr) dari digoksin yang diilustrasikan dengan persamaan : Clt=Clm+Clr pada individu sehat,
klirens metabolic digoksin adalah ≈0.57 hingga 0.86 mL/kg/menit, dan klirens ginjalnya kira-
kira sama atau sedikit kurang dari klirens kreatininya. CHF mengurangi klirens metabolic
digoksin sekitar setengah nilai biasanya dan dapat juga mengurangi kliren ginjal sedikit.
WAKTU PARUH
Digoxin memiliki waktu paruh mencapai 2 jam pada pasien yang memiliki fungsi
ginjal normal. Pada pasien tanpa ginjal (anephric) waktu paruh meningkat menjadi 4-6 hari.
Peningkatan waktu paruh ini disebabkan oleh penurunan klirens yang menyebabkan volume
distribusi pun menurun pada pasien dengan fungsi ginjal menurun.
Sampel plasma untuk monitoring kadar digoxin sebaiknya diukur pada hari ke 7-14
setelah pasien mendapatkan maintenance regimen baik diganti maupun mulai diberikan. Pada
jangka waktu tersebut diharapkan digoxin telah mencapai steady state pada regimen dosis
yang diberikan. Pada pasien ginjal stadium akhir steady state baru tercapai pada hari ke 15-20
dikarenakan terjadinya peningkatan waktu paruh pada kondisi pasien yang seperti ini.
Hubungan konsentrasi plasma digoxin dengan respon farmakologis dapat diperoleh pada
sampel plasma yang didapatkan selama 24 setelah pemberian loading dose. Dari sampel ini
pun dapat sedikit membantu dalam menentukan maintenance regimen. Setelah mencapai
steady state pengambilan sampel monitoring dilakukan sebelum pemberian dosis berikutnya.
Setiap 4 jam setelah pemberian secara IV dan 6 jam setelah pemberian oral.
Pasien yang menerima terapi digoxin dengan amiodarone harus dilakukan monitoring
untuk kadar digoxin dalam plasma, hal ini dilakukan untuk mengetahui perubahan kadar
digoxin dalam plasma. Interaksi yang lain terjadi pada quinidine dan digoxin, interaksi obat-
obat ini mengakibatkan meningkatnya konsentrasi digoxin dalam plasma baik secara perlahan
maupun seketika. Pemberian quinidine dan digoxin ini dapat menyebakankan konsentrasi
digoxin menjadi fluktuatif pada plasma bergantung pada interval pemberian quinidin. Oleh
karena itu, pengambilan sampel pada pasien yang mendapatkan kombinasi terapi ini
disarankan berdasarkan interval dosis qunidine. Begitupun pada kombinasi amiodarone dan
digoxin ada data yang menyebutkan terjadinya perubahan yang fluktuatif pada konsentrasi
digoxin dalam plasma. Perubahan konsentrasi digoxin bergantung pada apakah interaksi obat
yang disebabkan oleh volume distribusi atau klirens atau keduanya. Selain itu, waktu yang
dibutuhkan untuk obat berinteraksi untuk mengumpulkan dan efek perubahan parameter
farmakokinetik digoxin) juga harus dipertimbangkan. Ketika obat ditambahkan ke terapi
pasien yang dapat mengubah disposisi dari digoxin, sifat interaksi obat dan perubahan yang
diharapkan dalam paruh harus memberikan beberapa petunjuk untuk perjalanan waktu dan
luasnya perubahan yang diharapkan dalam konsentrasi digoxin.
DAFTAR PUSTAKA
Lacy, C.F., et al. 2008. Drug Information Handbook, 11st Edition. USA: LexiComp. Inc.
S.Boro, Maureen dan E.Winter, Michael. 2009. Basic Clinical Pharmacokinetics, Fifth
Edition. LWW
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
1. FARMAKOLOGI
Indikasi
Obat ini diindikasikan untuk mengendalikan kejang tipe grand mal dan kejang
psikomotor, pencegahan dan pengobatan kejang yang terjadi selama atau setelah bedah
saraf,mengontrol kejang tipe grand mal pada status epileptikus. Penggunaan off label (s):
mengontrol aritmia, (terutama aritmia yang di induce glikosida jantung), kontrol kejang
pada preeklamsia berat, pengobatan neuralgia trigeminal (tic douloureux), resesif
distrofik epidermolisis bulosa dan epidermolisis bulosa junctional(Tatro, 2003).
Kontraindikasi
Obat ini di kontraindikasikan terhadap pasien yang hipersensitif terhadap fenitoin
atau golongan hydantoins lainnya, blok sinoatrial, sinus bradikardia, blok atrioventrikular
derajat 2 dan 3 dan Sindrom Adams-Stokes (Tatro, 2003).
Interaksi obat
Beberapa obat memiliki interaksi dengan fenitoin, antara lain penggunaan
bersamaan dengan Acetaminophen dapat meningkatkan potensi hepatotoksisitas dengan
penggunaan fenitoin kronis.
Penggunaan bersama dengan amiodaron, kloramfenikol, disulfiram, estrogen,
felbamate, flukonazol, isoniazid, cimetidine, trimethoprim, fenilbutazon,
oxyphenbutazone, phenacemide, sulfonamida dapat meningkatkan kadar serum fenitoin.
Pemakaian bersama carbamazepine, sukralfat, agen antineoplastik, rifampisin,
rifabutin dapat menurunkan kadar serum fenitoin.
Penggunaan bersama dapat menurunkan efek dari kortikosteroid, antikoagulan
coumarin, doxycycline, estrogen, levodopa, felodipin, metadon, diuretik loop,
kontrasepsi oral, quinidin , rifampisin, dan rifabutin.
Penggunaan bersama siklosporin dapat mengurangi kadar siklosporin.
Penggunaa dengan disopiramid dapat menyebabkan penurunan kadar dan
bioavailabilitas Disopiramid serta dapat meningkatkan efek antikolinergik.
Pengunaan bersama terapi nutrisi enteral dapat mengurangi konsentrasi fenitoin.
Penggunaan bersama asam folat dapat menyebabkan kekurangan asam folat.
Penggunaan bersama Metyrapone dapat menyebabkan respon subnormal untuk
metyrapone.
Penggunaan bersama mexiletine dapat menurunkan kadar dan efek mexiletine.
Penggunaan bersama relaksan otot Nondepolarisasi dapat menyebabkan agen-
agen ini memiliki durasi yang lebih singkat atau efek menurun.
Penggunaan bersama phenobarbital, natrium valproate, asam valproik dapat
meningkatkan atau menurunkan kadar fenitoin. Fenitoin dapat meningkatkan
fenobarbital dan menurunkan kadar asam valproik.
Penggunaan bersama primidone dapat meningkatkan konsentrasi primidone dan
metabolitnya.
Penggunaan bersama simpatomimetik ( seperti dopamin ) dapat menyebabkan
hipotensi yang dan kemungkinan serangan jantung.
Penggunaan bersama theophyllines berpengaruh baik mungkin akan menurun
(Tatro, 2003).
Efek samping
Efek samping yang timbul akibat penggunaan fenitoin antara lain adalah pada
sistim cardiovaskular (penggunaan IV ) dapat terjadipenurunan TD, hipotensi, atrium dan
ventrikel depresi konduksi, fibrilasi ventrikel. Pada sistem saraf pusat bisa terjadi
Nystagmus, ataksia, dysarthria, bicara cadel, kebingungan mental, pusing , insomnia,
gugup sementara, Motor twitching, diplopia, kelelahan, mudah marah, mengantuk,
depresi, mati rasa, tremor, sakit kepala, choreoathetosis ( penggunaan IV ). Pada kulit
bisa menimbulkan Ruam, kadang-kadang disertai demam , bulosa, dermatitis eksfoliatif
atau purpura, lupus eritematosus, Sindrom Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal toksik,
hirsutisme, alopecia. Bisa menimbulkan konjungtivitis.
Pada saluran pencernaan bisa menyebabkan mual, muntah, diare, sembelit. Pada
sistim vaskular dapat menyebabkan trombositopenia, leukopenia, granulocytopenia,
agranulositosis, pansitopenia, makrositosis, anemia megaloblastik, eosinofilia,
monocytosis, leukositosis, anemia, anemia hemolitik, anemia aplastik.
Pada hepar bisa menimbulkan toksisitas hepar dan kerusakan hati, hepatoseluler
degenerasi dan nekrosis, hepatitis, ikterus, nephrosis. Selain itu efek samping lain yang
dapat ditimbulkan adalah hiperplasia gingiva, pengkasaran fitur wajah, pembesaran bibir,
Penyakit Peyronie, polyarthropathy, hiperglikemia, berat badan, nyeri dad , IgA depresi,
demam, fotofobia, ginekomastia, periarteritis nodosa, fibrosis paru, cedera jaringan pada
tempat suntikan, hiperplasia kelenjar getah bening, hipotiroidisme (Tatro, 2003).
Tanda & Gejala Overdosis
Nystagmus, ataxia, dysarthria, hypotension, diminished mental capacity, coma,
unresponsive pupils, respiratory and cardiovascular depression(Tatro, 2003).
2. FARMAKOKINETIKA
Absorpsi
Absorbsi obat tergantung pada rute pemberian dan formulasi dari obat tersebut.
UNIL menerangkan bahwa fenitoin merupakan obat yang sukar larut dalam air, oleh
karena fenition diberikan dalam bentuk garamnya yakni fenitoin sodium. Absorbsi
fenitoin di dalam lambung sangat sedikit karena fenitoin tidak larut dalam lambung yang
bersifat asam. Absorpsi maksimal fenitoin terjadi pada bagian usus halus yakni
duodenum yang mempunyai Ph 7-7,5. Sedangkan, di yeyunum dan ileum absorpsi lebih
lambat, lalu dikolon sangat sedikit, dan di rektum tidak terjadi absorbsi (Shorvon, 2005).
Onset Of Action dari fenitoin untuk P.O 1 minggu, P.O dengan pemberian Loading dose
2-24 jam dan IV 0,5-1 jam. Sedangkan, waktu untuk mencapai kadar puncak plasma
untuk sediaan Immediate Release (IR) adalah 1.5-3 jam dan Extended Release (ER)
adalah 4-12 jam (Medscape).
Ekskresi
3. FARMAKOGENETIKA
Enzim yang bertanggungjawab dalam metabolisme fenitoin adalahCYP2C9 dan
CYP2C19, fenitoin di metabolisme oleh CYP2C9 sebesar 90% dan sebagian oleh
CYP2C19 sebesar 10% menjadi bentuk metabolitnya yaitu 5-(para-hydroxyphenyl)-5-
phenylhydantoin (p-HPPH). Pada penelitian yang dilakukan oleh Rosemary ingin
meneliti pengaruh varian CYP2C9 yaitu CYP2C9*2 dan CYP2C9*3 serta varian
CYP2C19 yaitu CYP2C19*2 dan CYP2C19*3 terhadap hasil metabolisme fenitoin pada
orang India yang sehat. Berdasarkan penelitian tersebut varian CYP2C9*2 dan
CYP2C9*3 dapat menurunkan metabolit dari fenitoin. Sedangkan, varian dari
CYP2C19*2 dan CYP2C19*3 tidak memiliki efek yang signifikan terhadap metabolisme
fenitoin (Rosemary, 2006).
Pada literatur lain penelitian yang dilakukan oleh Kerb menjelaskan tentang
pengaruh MDR1, CYP2C9, dan CYP2C19 terhadap kadar plasma fenitoin. Seperti yang
telah disebutkan pada penelitian di atas, CYP2C9 metabolisator fenitoin terbesar dan
CYP2C19 juga berperan kecil dalam metabolisme fenitoin. MDR1 diketahui sebagai gen
yang menyebabkan Multi Drug Resistant, berperan dalam pompa efflux sel dan
memediasi transport ATP melewati membran dari obat digoxin, cyclosporin, protease
inhibitors, dan phenytoin. Secara tidak langsung MDR1 mempengaruhi distribusi obat,
mempengaruhi bioavailabilitas obat dengan melalui absorpsi di usus serta mempengaruhi
eliminasi dengan mengatur konsentrasi intrasel obat. Selain itu, MDR1 merupakan gen
pengkode p-glycoprotein (pGP). pGP merupakan faktor yang mempengaruhi transport
obat, faktor ini berada pada banyak jaringan seperti usus, hati dan ginjal, berdasar
tempatnya tersebut pGP juga memiliki fungsi mencegah uptake dan membantu proses
eliminasi. Berdasar penelitian tersebut MDR1 dan CYP2C9 memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap konsentrasi plasma fenitoin. Sedangkan, tidak berpengaruh signifikan
terhadap kadar plasma fenitoin (Kerb, 2001)
4. PENYESUAIAN DOSIS
a. Status epilepticus
- Dosis Dewasa
Sediaan I.V. Loading dose = 10-15 mg/kg. Dosis yang sering digunakan adalah
15-20 mg/kg, dengan kecepatan infus maksimal 50 mg/minute.
- Dosis Anak
Loading dose fenitoin pada infants and children adalah 15-20 mg/kg dalam dosis
tunggal atau dosis terbagi. Sedangkan untuk dosis maintenance-nya yaitu
5mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi.
Untuk anak 6 bulan – 3 tahun = 8 – 10 mg/kg/hari
anak 4 – 6 tahun = 7,5 – 9 mg/kg/hari
anak 7 – 9 tahun = 7 – 8 mg/kg/hari
anak 10 – 16 tahun = 6 – 7 mg/kg/hari
b. Anticonvulsant: Sediaan Oral. Loading dose = 15-20 mg/kg diberikan dalam 3
dosis terbagitiap 2-4 jam untuk mengurangi efek samping GIT. Maintenance dose:
300 mg/hari atau 5-6 mg/kg/ hari dalam 3 dosis terbagi, jika menggunakan Extended
Release diberikan dalam 1-2 dosis terbagi (rentang 200-1200 mg/ hari)
Pengaturan Dosis pada pasien Obesitas: Loading dose =menggunakan adjusted
body weight (ABW) (Abernethy, 1985)
ABW = [(Actual body weight - IBW) x 1.33] + IBW
Maximum loading dose: 2000 mg (Erstad, 2004)
(Lacy, 2009)
5. TDM
Fenitoin memiliki indeks terapi yang sempit, oleh karenanya penentuan dosis fenitoin
sangatlah penting. Selain itu, fenitoin juga memiliki ikatan protein yang tinggi (90%).
Adanya interaksi antar obat, kondisi fisioligis seperti penyakit gagal ginjal, uremia, dan
penyakit lain dapat merubah persen obat bebas dalam tubuh sehingga berdampak
terhadap efikasi dan toksisitas obat tersebut. Lebih lanjut lagi, fenitoin memiliki profil
farmakokinetik nonlinier. Dalam metabolismenya, enzim yang bertanggung jawab dalam
metabolisme fenitoin lama kelamaan akan menjadi jenuh, hal ini menyebabkan
konsentrasi obat dalam tubuh meningkat sehingga laju eliminasinya juga menurun.
Artinya, ketika enzim pemetabolisme menjadi jenuh, peningkatan dosis fenitoin yang
sedikit saja dapat menambah kadar fenitoin. Oleh karena itu, di butuhkan pemantauan
terapi fenitoin untuk memastikan keberhasilan terapi (Wu, 2013).
Berikut ini merupakan kriteria pasien yang memerlukan monitoring kadar fenitoin,
yaitu:
- Pasien dengan albumin <30 g/L
- Pasien dengan gangguan ginjal
- Pasien yang mengkonsumsi valproat
- Pasien lansia dengan albumin di bawah normal (Anonim, 2007)
Tabel 2. Monitoring dosis dan kadar fenitoin dalam serum
Pengukuran serum
Loading dose : 2-4 jam setelah pemberian IV atau 24 jam setelah pemberian
peroral
Maintenance dose : steady state trough levels (7-21 hari)
Activity seizure : saat terjadi seizure, kadar fenitoin membantu dalam
memprediksikan ambang batas yang menyebabkan pasien tersebut kejang (Anonim,
2007)
Serum albumin
Protein binding fenitoin mencapai 90%. Dosis harus disesuaikan jika kadar serum
albumin berkurang.
𝐶𝑝 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖
𝐶𝑝 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛 =
[(0,2 𝑥 𝑎𝑙𝑏𝑢𝑚𝑖𝑛) + 0,1]
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
2.2 Farmakodinamik
Aksi karbamazepin sebagai OAE belum diketahui secara pasti. Yang sudah
diketahui adalah bahwa karbamazepin melakukan stabilisasi membran neuron baik yang
pre maupun pasca sinaptik dengan cara blokade terhadap saluran natrium. Mekanisme ini
mungkin merupakan hal utama disamping mekanisme yang lain dalam bentuk blokade
terhadap NMDA (N-methyl-D-aspartate) receptor activated sodium dan blokade terhadap
aliran masuknya kalsium ke dalam sel. Aksi terhadap saluran natrium mengulangi cetusan
berulang yang terus menerus dari aksi potensial yang merupakan aktivitas epileptik.
Disamping hal-hal tersebut juga ada dugaan bahwa karbamazepin beraksi terhadap
reseptor yang lain, termasuk reseptor-reseptorpurin, monoamine, dan asetilkolin.3
2.3 Farmakokinetik
Sekitar 75-85 % karbamazepin diabsorbsi di traktus gastrointestinal. Absorbsi
berjalan lambat dan tidak menentu. Karbamazepin mempunyai sifat farmakokinetik yang
agak unik, yang mengakibatkan pemakaian dalam praktik klinik menjadi agak sulit. Sifat
tadi adalah sebagai berikut3,5 :
Pada penderita yang berbeda, dengan dosis yang sama dapat terjadi variasi intra
dan inter individual dalam hal kadar obat dalam serum.3
- Karbamazepin mengalami metabolism menjadi carbamazepin-10,11-epoxide yang
berada dalam darah dan zat ini terbukti mempunyai efek antikonvulsan sekaligus
berperan dalam terjadinya efek samping.
- Karbamazepin mempunyai waktu paroh awal 20-40 jam, tetapi karbamazepin
mengalami oto-induksi (proses ini selesai dalam waktu 1 bulan) sehingga waktu
paroh menurun menjadi 11-27 jam sesudah terapi jangka panjang, dan 5-14 jam
selama terapi kombinasi.
Antara 75-85 % karbamazepin diikat oleh protein plasma. Fraksi karbamazepin
bebas berkisar antara 20-40% dari konsentrasi plasma total. Sementara itu konsentrasi
karbamazepin dalam caitan serebrospinal berkisar antara 17-31%.3
Karbamazepin mengalami metabolisme di hati. Karbamazepin menginduksi enzim-
enzim metabolism obat didalam hati dan oleh karena itu waktu paruhnya berkurang pada
pemakaian kronis. Aktivas system P-450 hati yang menguat juga meningkatkan
metabolisme obat-obat antiepilepsi lainnya.3,5 Pertama kali, karbamazepin mengalami
epoksidasi menjadi carbamazepin-10,11-epoxide dan kemudian mengalami hidrolisis
menjadi carbamazepin-10, 11-trans-dihydrodiol. Di samping itu juga ada metabolit yang
terkonjugasi maupun yang tidak terkonjugasi, dan kurang dari 1% karbamazepin
diekskresi melewati urin.3
Teril Epilepsi dosis awal sehari 1- Anak 12-15 thn : maks Tablet 200 mg
2x 100-200 mg,dosis sehari 1000
ditingkatkan bertahap sampai mg.Pemeliharaan sehari
maks sehari 2-3x 400 mg. 800-1200 mg.
DAFTAR PUSTAKA
1. Riyanto, B. Obat-obat Antiepilepsi. Cermin Dunia Kedokteran No. 110 Tahun 1996.
3. Harsono. Epilepsi Edisi Kedua. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. 2007
4. Katzung G, Bertram. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VI. Jakarta: EGC. 1994
6. Mims Edisi Bahasa Indonesia Volume 7. PT. InfoMaster Lisensi dari CMPMedica.
2006
9. Gan,V; Utama,H. Antikonvulsi dalam Farmakologi dan Terapi Edisi 4.. Jakarta: FK UI.
1995