Anda di halaman 1dari 5

Solusi & Analisis Kasus Posisi

Suatu perusahaan bagaimanapun tujuan utamanya adalah untuk memperoleh laba.


Dalam rangka mencapai maksud dan tujuan perusahaan tersebut harus berdasarkan kepada
Good Corporate Governance (GCG). GCG adalah suatu sistem yang mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan dengan tujuan agar tercapainya keseimbangan kewenangan
antara pengurus perusahaan dengan pemegang saham. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu
pengungkapan yang akurat dan tepat pada waktunya serta transparansi mengenai semua
hal yang penting bagi kinerja perusahaan, di samping keterbukaan serta akuntabilitas.

Untuk dapat melaksanakan prinsip – prinsip tersebut, maka setiap tahunnya direksi
dalam suatu perusahaan menurut Pasal 163 Undang – Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (UUPT) menyusun rencana kerja tahunan sebelum dimulainya tahun
buku yang akan datang. Rencana kerja dimaksud memuat juga anggaran tahunan perseroan
untuk tahun buku yang akan datang. Rencana kerja dimaksud merupakan program yang
harus dilaksanakan oleh Direksi dengan pengawasan Dewan Komisaris. Dengan demikian,
rencana kerja tahunan juga merupakan sarana kontrol apakah Direksi telah melaksanakan
program – program yang digariskan dalam rencana kerja bersangkutan. Di lain pihak,
rencana kerja juga merupakan sarana dalam memberikan pertanggungjawaban Direksi
kepada pemegang saham melalui RUPS.

Menurut Pasal 64 UUPT, rencana kerja dimaksud disampaikan kepada Dewan


Komisaris atau RUPS sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasar. Dalam hal ini, Anggaran
Dasar perusahaan tersebut menentukan bahwa mengenai rencana kerja perseroan harus
mendapat persetujuan RUPS. Oleh karena itu, harus ditelaah terlebih dahulu oleh Dewan
Komisaris. Selain rencana kerja, Pasal 66 ayat (1) UUPT menyebutkan bahwa direksi
menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh Dewan Komisaris dalam
jangka waktu 6 bulan setelah tahun buku perseroan berakhir. Laporan tahunan tersebut
menurut Pasal 66 ayat (2) UUPT memuat diantaranya laporan keuangan yang terdiri atas
sekurang – kurangnya neraca akhir tahun yang baru lampau dalam perbandingan dengan
tahun buku sebelumnya, laporan laba-rugi dari tahun buku yang bersangkutan, laporan arus
kas, dan laporan perubahan ekuitas serta catatan atas laporan keuangan tersebut.

Pada saat Direksi menyampaikan laporan tahunan, ternyata terdapat


ketidaksesuaian antara laporan tahunan yang diberikan oleh salah satu direktur dengan
hasil yang telah ditelaah oleh Dewan Komisaris. Adanya ketidaksesuaian laporan tahunan
atau dalam hal ini mengenai laporan laba dengan rencana target yang akan dicapai pada
rencana kerja tahunan menyebabkan kerugian bagi perusahaan. Hal ini dibuktikan dengan
adanya perbedaan hasil audit eksternal dengan laporan keuangan yang diberikan oleh
Direktur A.

Hal tersebut mengakibatkan kerugian bagi perusahaan. Dalam hal ini, Direktur
tersebut dapat dikenakan pertanggungjawaban pribadi berdasarkan doktrin Piercing the
Corporate Veil karena kesalahan dan kelalaiannya tersebut. Selain karena direktur tersebut
tidak melaksanakan prinsip GCG, Direktur A tidak melaksanakan fiduciary duty kepada
perseroan seperti yang dinyatakan dalam Pasal 97 ayat (2) UUPT yang menyatakan bahwa,
“Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan setiap anggota direksi
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.” Apabila direktur bersalah dengan sengaja
atau lalai dalam melaksanakan kewajiban fiduciary duty tersebut, yakni dengan itikad tidak
baik dan tidak bertanggung jawab melaksanakan tugas untuk pengurusan perseroannya,
direktur tersebut bertanggung jawab secara pribadi.

Alasan – alasan untuk dapat membuktikan bahwa seorang direktur tidak


melaksanakan fiduciary duty terkait dengan kasus tersebut diantaranya adalah :

a. Transparansi yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan


dan keterbukaan dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai
perusahaan;
b. Akuntabilitas yaitu kejelasan fungsi pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ
pengelolaan perusahaan;
c. Pertanggungjawaban yaitu ketersesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap
peraturan perundang – undangan dan prinsip – prinsip korporasi yang sehat;
d. Kewajaran yaitu ketersesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan
perundang – undangan dan prinsip – prinsip korporasi yang sehat;
e. Dokumen perhitungan tahunan yang tidak benar;
f. Laporan keuangan perseroan yang tidak benar atau menyesatkan.

Adapun bentuk – bentuk pelanggaran dan penyimpangan tersebut diantaranya


adalah sebagai berikut :

1. Baik sengaja atau tidak, melakukan pelanggaran atas tugas yang diberikan (breach of
duty)
2. Baik sengaja atau tidak, melalaikan tugas yang seharusnya dijalankan (omission of
duty)
3. Baik sengaja atau tidak, memberikan pernyataan yang salah (misstatement)
4. Baik sengaja atau tidak, melakukan penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan
sebagai direktur
5. Baik sengaja atau tidak, tidak memenuhi janji yang telah diberikan (breach of
warranty or authority commitment) karena dalam hal ini direktur sebelumnya telah
memiliki target yang begitu tinggi mengenai laba.

Terkait prinsip fiduciary duty yang wajib dilakukan oleh direksi, pada prinsipnya ada 2
(dua) fungsi utama dari direksi suatu perseroan, yaitu :1

1
Munir Fuady, Doktrin Doktrin Modern Dalam Corporate Law & Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia,
Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 32
1. Fungsi manajemen, dalam arti direksi melakukan tugas memimpin perusahaan.
2. Fungsi representasi, dalam arti direksi mewakili perusahaan di dalam dan di luar
pengadilan. Prinsip mewakili perusahaan di luar pengadilan menyebabkan perseroan
sebagai badan hukum akan terikat dengan transaksi atau kontrak – kontrak yang
dibuat oleh direksi atas nama dan untuk kepentingan perseroan.
Prinsip fiduciary duty berlaku bagi direksi dalam menjalankan tugasnya, baik dalam
menjalankan fungsinya sebagai manajemen maupun sebagai representasi dari perseroan.
Oleh karena itu, direksi haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of care and
skill), itikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaannya dengan derajat yang tinggi
(high degree).2
Penerapan prinsip fiduciary duty yang tercermin dalam Pasal 92 ayat (1) UUPT akan
terkait dengan tanggung jawab direksi dalam menjalankan pengurusan perseroan.
Berdasarkan pasal 97 ayat (3) UUPT disebutkan bahwa setiap anggota direksi bertanggung
jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah
atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2). Dalam hal direksi terdiri atas dua anggota direksi atau lebih, tanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota
direksi.
Dalam kasus ini, direktur A PT Bank Perkreditan Rakyat Pesona Khatulistiwa
Nusantara (selanjutnya disebut BPR PKN), menyatakan telah mencapai target berdasarkan
laporan keuangan yang dibuatnya dan telah ditelaah oleh dewan komisaris. Namun
ternyata pemegang saham menemukan ketidaksesuaian antara laporan keuangan yang
dibuat oleh direksi A dengan hasil audit eksternal. Dalam audit eksternal tersebut
didapatkan fakta bahwa laba yang diperoleh perusahaan sebenarnya melebihi jumlah yang
tertera dalam laporan keuangan yang dibuat oleh direktur A. Dalam hal ini maka direktur A
dapat dikatakan telah melakukan rekayasa terhadap laporan keuangan perusahaan.
Berdasarkan hal tersebut maka direktur A dapat dimintai pertanggungjawaban, namun
karena dewan komisaris yang menelaah laporan keuangan tersebut dianggap lalai maka
dewan komisaris dan direksi bertanggung jawab secara renteng berdasar pada pasal 69 ayat
(3) UU PT.

2
Ibid., hlm. 49
Pertanggungjawaban Direktur A merupakan bentuk penerapan teori Piercing the Corporate
Veil sebagai akibat penerapan prinsip fiduciary duty. Tanggung jawab direksi karena
penerapan teori Piercing the Corporate Veil tersebut dapat dilakukan dalam hal – hal
sebagai berikut :3
a. Direksi tidak melaksanakan fiduciary duty kepada perseroan.
b. Perusahaan belum dilakukan pendaftaran dan pengumuman.
c. Dokumen perhitungan tahunan tidak benar.
d. Direksi bersalah dan menyebabkan perusahaan pailit.
e. Permodalan yang tidak layak.
f. Perseroan beroperasi tidak layak.
Direktur A, dalam hal ini tidak melaksanakan fiduciary duty kepada perseroan dan
memberikan dokumen perhitungan tahunan yang tidak benar sehingga menimbulkan
kerugian bagi perusahaan. Terhadap laporan keuangan yang tidak benar tersebut
berdasarkan Pasal 69 ayat (3), anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris secara
tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan. Atas kerugian dan
ketidaksesuaian laporan tahunan yang disampaikan oleh Direktur A, pemegang saham yang
mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan
hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi
yang karena kesalahan dan kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan menurut
Pasal 97 ayat (6) UUPT. Dengan demikian, pemegang saham dari 1000 lembar saham
dengan hak suara pada BPR PKN dapat mengajukan gugatan terhadap Direktur A yang telah
menimbulkan kerugian terhadap perusahaan.
Selain diajukan gugatan terhadap Direktur A dan Dewan Komisaris untuk
bertanggung jawab secara renteng atas kerugian yang ditimbulkannya akibat tidak
melaksanakan fiduciary duty sebagaimana seharusnya, pemegang saham seri A yang
memiliki hak khusus untuk mencalonkan anggota direksi berdasarkan Pasal 53 ayat (4) huruf
b, dapat pula mencalonkan Direktur baru sebagai pengganti Direktur A dengan terlebih
dahulu memberhentikan Direktur A disertai dengan menyebutkan alasan
pemberhentiannya. Pemberhentian terhadap Direktur A didasarkan pada ketentuan Pasal

3
Ibid., hlm. 23-24
105 ayat (1) UUPT. Keputusan untuk memberhentikan direktur A diambil setelah yang
bersangkutan diberikan kesempatan untuk membela diri dalam RUPS.
Hal lain yang dapat dilakukan sebelum memberhentikan Direktur A secara permanen
adalah memberhentikan Direktur A untuk sementara yang dapat dilakukan oleh Dewan
Komisaris sesuai dengan ketentuan Pasal 106 ayat (1). Pemberhentian sementara
diberitahukan secara tertulis kepada Direktur A dan oleh karenanya Direktur A tidak
berwenang untuk melakukan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) dan
Pasal 98 ayat (1) UUPT. Dalam jangka waktu 30 hari setelah tanggal pemberhentian
sementara terhadap Direktur A, harus diselenggarapakan RUPS dimana dalam RUPS
tersebut Direktur A diberi kesempatan untuk membela diri dan selanjutnya diambil
keputusan untuk menguatkan atau mencabut pemberhentian sementara tersebut. Dalam
hal RUPS menguatkan keputusan pemberhentian sementara, Direktur A diberhentikan
untuk seterusnya dan Pemegang saham seri A yang memiliki hak untuk mencalonkan
anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris berhak mencalonkan anggota direktur
yang baru untuk menggantikan posisi Direktur A yang telah diberhentikan untuk seterusnya
sesuai dengan tata cara pengisian jabatan anggota Direksi yang lowong menurut Anggaran
Dasar Perseroan.

Anda mungkin juga menyukai