Anda di halaman 1dari 26

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“RANGKUMAN TINGKAT KECAKUPAN ENERGI PROTEIN PADA IBU
HAMIL TRIMESTER PERTAMA DAN KEJADIAN KEKURANGAN ENERGI
KRONIS” dengan baik. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada ibu Ns.
Andhini Restu Marsiwi S.Kep.M.Kep selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan tugas ini kepada penulis, dengan ini penulis bisa mengetahui dan
mengerti tingkat kecakupan energi protein pada ibu hamil trimester pertama dan
kejadian kekurangan energi ronis. Tak lupa kepada semua pihak yang
bersangkutan, kami ucapkan terima kasih karena telah mendukung dalam
menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Makalah ini jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pihak pembaca di perlukan bagi penulis. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi pembaca untuk menambah pengetahuan.

Pamulang, 10 September 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ i


DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG ............................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ............................................Error! Bookmark not defined.
C. TUJUAN PENULIS ......................................................Error! Bookmark not defined.
BAB II ................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN.................................................................................................................... 3
A. Pancasila sebagai Sistem Etika .................................................................................. 3
1. Pengertian Pancasila .............................................................................................. 3
2. Pengertian sistem ................................................................................................... 4
3. Pengertian Etika..................................................................................................... 5
B. Pengertian Nilai, Norma dan Moral .......................................................................... 8
C. Pengertian Nilai Dasar, Nilai Intrumental,dan Nilai Praktis ................................... 10
1. Nilai Dasar ........................................................................................................... 10
D. Aliran-aliran Besar Etika ......................................................................................... 11
E. Etika Pancasila......................................................................................................... 16
F. Nilai-nilai Pancasila sebagai nilai fundamental terhadap sistem etika negara ........ 19
G. Pancasila sebagai etika politik di Indonesia ............................................................ 21
1. Pancasila sebagai etika dalam pemilu ................................................................. 21
BAB III.................................................................................................................................24

PENUTUP............................................................................................................................24

A. KESIMPULAN.............................................................................................................24

ii
B. SARAN........................................................................................................................24

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Masalah gizi seimbang di Indonesia masih merupakan masalah yang cukup


berat. Kekurangan atau kelebihan makanan pada masa kehamilan dapat
berakibat kurang baik bagi ibu dan janin. Sejak dahulu makanan wanita hamil
telah dianggap penting, sebab orang percaya bahwa makanan yang benar akan
memberi dampak yang baik bagi janin. Sehingga masyarakat membuat bergai
aturan makanan yang boleh dimakan ibu hamil dan makanan yang ditabukan,
yang mana hal tersebut ternyata sama sekali tidak benar dari segi kesehatan.
Misalnya, ibu hamil tidak boleh makan banyak-banyakdengan tujuan agar
bayinya tidak besar dan mudah melahirkan. Pendapat tersebut tidak dapat
dibenarkan (soetjiningsih,1995).

Gizi ibu pada waktu hamil sangat penting untuk pertumbuhan janin yang
dikandungnya. Angka kejadian BBLR (berat badan lahir rendah) lebih tinggi
dinegara-negara yang sedang berkembang daripada dinegara-negarayang sudah
maju. Hal ini disebabkan oleh keadaan sosial ekonomi yang rendah
mempengaruhi diet ibu. Gizi ibu yang baik diperlukan agar pertumbuhan janin
berjalan pesat dan tidak mengalami hambatan. Dimulai dari satu sel telur yang
setelah dibuahi tumbuh dengan pesat, sehingga diperkirakan pertumbuhan
janin sejak konsepsi sampai lahir (soetjiningsih,1995

1
2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pancasila sebagai Sistem Etika

1. Pengertian Pancasila
Pancasila adalah suatu ideologi dan dasar negara yang menjadi
landasan dari segala keputusan yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia.
Yang juga mencerminkan kepribadian dari bangsa Indonesia itu sendiri.
Secara etimologi, kata Pancasila berasal dari bahasa –[sangsekerta india,
pada kasta Brahmana. Yang dimana arti dari kata panca adalah lima, dan
arti dari kata sila adalah dasar. Sehingga pengertian kata Pancasila secara
harfiah adalah lima dasar, yang kemudian dibuatlah masing-masing
lambang dari Pancasila tersebut yang jumlahnya lima. Isi dari Pancasila ini
juga berjumlah lima sesuai arti kata Pancasila.
Pancasila menurut Ir. Soekarno adalah, isi dari jiwa bangsa
Indonesia yang telah turun temurun dan sudah berabad-abad lamanya
terpendam dengan bisu dalam kebudayaan Bangsa Indonesia. Dengan
demikian, Pancasila ini bukan hanya sekedar falsafah di dalam negara kita,
tetapi maknanya lebih luas lagi yaitu falsafah bagi bangsa Indonesia.
Sedangkan menurut Notonegoro, Pancasila adalah dasar falsafah dan
juga ideologi negara yang diharapkan akan menjadi pandangan hidup
bangsa Indonesia, lambang dari persatuan dan kesatuan, dan sebagai
pertahanan dari bangsa dan Negara Indonesia. Dan menurut Muh.Yamin
adalah kata panca yang berarti lima, dan sila berarti sendi atas dasar atau
peraturan tingkah laku yang penting dan juga baik.

3
4

2. Pengertian sistem
Istilah sistem sering digunakan dalam menyebutkan sesuatu,
misalnya sistem pertahanan, sistem pendidikan, dan lain sebagainya. Namun
dalam hal ini pengertian sistem dikaitkan dengan sistem Pancasila.
Sebelum membahas Pancasila sebagai suatu sistem etika ada baiknya kita
pahami pengertian sistem terlebih dahulu. Sistem adalah bekerjanya masing-
masing unsur atau elemen yang berbeda dalam suatu kelompok dimana
yang satu dan yang lainnya saling terkait dan saling bergantungan untuk
mencapai tujuan tertentu demi mencapai kesuksesan bersama. Misal sepeda
merupakan sebuah sistem yang didalamnya terdapat unsur-unsur yang satu
dan yang lain saling terkait, unsur tersebut velg, ban luar, ban dalam,
pentil,rantai, stang,dan bagian lainnya.
unsur tersebut saling terkait sehingga sepeda tersebut dapat
digunakan sebagai alat transportasi untuk mengantarkan manusia dari suatu
tempat ke tempat lain. Jika salah satu unsur tidak ada, misalnya pentil yang
berfungsi sebagai penahan udara yang berada di dalam ban maka ban akan
kempes, sistem sepeda tadi bisa berjalan akan teteapi perjalanannya tidak
normal seperti biasanya. Begitu juga dengan Pancasila, jika salah satu dari
isi Pancasila tidak ada maka sistem nya tidak akan normal dan tidak akan
sempurna, karena Pancasila adalah suatu sistem yang unsur-unsur nya tidak
dapat dipisahkan. Nah dari situ terlihat betapa pentingnya setiap unsur yang
memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing.
5

3. Pengertian Etika
Istilah etika berasal dari bahasa yunani, “ethos” yang artinya tempat
tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak,
perasaan, sikap, cara berpikir. Secara etimologis,etika berarti ilmu tentang
segala sesuatu yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Dalam arti ini, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara
hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun
masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu
generasi ke generasi yang lain. Dalam artian ini, etika sama maknanya
dengan moral. Etika dalam arti yang luas ialah ilmu yang membahas tentang
kriteria baik dan buruk (Bertens, 1997:4—6).
Etika pada umumnya dimengerti sebagai pemikiran filosofis
mengenai segala sesuatu yang dianggap baik atau buruk dalam perilaku
manusia. Keseluruhan perilaku manusia dengan norma dan prinsip-prinsip
yang mengaturnya itu kerap kali disebut moralitas atau etika (sastrapratedja,
2002:81). Etika selalu terkait dengan masalah nilai sehingga perbincangan
tentang etika, pada umumnya membicarakan tentang masalah nilai (baik
atau buruk). Frondzi menenrangkan bahwa nilai membutuhkan pengemban
untuk berada (2001:7). Misalnya, nilai kejujuran melekat pada sikap dan
kepribadian seseorang. Istilah nilai mengandung penggunaan yang
kompleks dan bervariasi. Lacey menjelaskan bahwa paling tidak ada enam
pengertian nilai dalam penggunaan secara umum, yaitu sebagai berikut:
1. Sesuatu yang fundamental yang dicari orang sepanjang hidupnya.
2. Suatu kualitas atau tindakan yang berharga, kebaikan, makna atau
pemenuhan karakter untuk kehidupan seseorang.
3. Suatu kualitas atau tindakan sebagian membantuk identitas seseorang
sebagai pengevaluasian diri, penginterpretasian diri, dan pembentukan
diri.
4. Suatu kriteria fundamental bagi seseorang untuk memilih sesuatu yang
baik diantara berbagai kemungkinan tindakan.
6

5. Suatu standar yang fundamental yang dipegang oleh seseorang ketika


bertingkah laku bagi dirinya dan orang lain.
6. Suatu “objek nilai”, suatu hubungan yang tepat dengan sesuatu yang
sekaligus membentuk hidup yang berharga dengan identitas kepribadian
seseorang.
Objek nilai mencakup karya seni, teori ilmiah, teknologi, objek yang
disucikan, budaya, tradisi, lembaga, orang lain, dan alam itu sendiri. (Lacey,
1999: 23). Dengan demikian, nilai sebagaimana pengertian butir kelima (5),
yaitu sebagai standar fundamental yang menjadi pegangan bagi seseorang
dalam bertindak, merupakan kriteria yang penting untuk mengukur karakter
seseorang. Nilai sebagai standar fundamental ini pula yang diterapkan
seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain sehingga perbuatannya
dapat dikategorikan etis atau tidak. Namun, seringkali dalam bahasa
pergaulan orang acap kali mencampur adukkan istilah “etika” dan “etiket”?
Padahal, keduanya mengandung perbedaan makna yang hakiki. Etika berarti
moral, sedangkan etiket lebih mengacu pada pengertian sopan santun, adat
istiadat. Jika dilihat dari asal usul katanya, etika berasal dari kata “ethos”,
sedangkan etiket berasal dari kata “etiquette”. Keduanya memang mengatur
perilaku manusia secara normatif.tetapi Etika lebih mengacu ke filsafat
moral yang merupakan kajian kritis tentang baik dan buruk, sedangkan
etiket mengacu kepada cara yang tepat, yang diharapkan, serta ditentukan
dalam suatu komunitas tertentu. Contoh, mencuri termasuk pelanggaran
moral, tidak penting apakah dia mencuri dengan tangan kanan atau tangan
kiri. Etiket, misalnya terkait dengan tata cara berperilaku dalam pergaulan,
seperti makan dengan tangan kanan dianggap lebih sopan atau beretiket
(Bertens, 1997: 9).
Etika merupakan cabang falsafah dan sekaligus merupakan suatu cabang
dari ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora). Sebagai cabang falsafah, etika
membahas sistem-sistem pemikiran yang mendasar tentang ajaran dan
pandangan moral. Dan sebagai cabang ilmu, etika membahas bagaimana
dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu.
7

Etika sebagai ilmu dibagi menjadi dua,yaitu :


1. Etika umum
Membahas prinsip-prinsip umum yang berlaku bagi setiap tindakan
manusia. Dalam falsafah Barat dan Timur, seperti di Cina dan seperti dalam
Islam, sliran-sliran pemikiran etika beranekaragam. Tetapi pada prinsipnya
etika umum membicarakan asas-asas dari tindakan dan perbuatan
manusia,serta sistem nilai apa yang terkandung di dalamnya.
2. Etika khusus
Etika khusus di bagi menjadi dua yaitu etika individual dan etika sosial.
Etika individual membahas kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri dan
dengan kepercayaan agama yang dianutnya serta panggilan nuraninya,
kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap Tuhannya. Etika sosial di lain
hal membahas kewajiban serta norma-norma sosial yang seharusnya
dipatuhi dalam hubungan sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara.
Etika sosial meliputi cabang-cabang etika yang lebih khusus lagi seperti
etika keluarga, etika sosial meliputi cabang-cabang etika yang lebih khusus
lagi seperti etika keluarga, etika profesi, etika bisnis, etika lingkungan, etika
lingkungan, etika pendidikan, etika kedokteran, etika jurnalistik, etika
seksual, dan etika politik, yaitu bagaimana seseorang dalam suatu
masyarakat kenegaraan (yang menganut sistem politik tertentu)
berhubungan secara politik dengan orang atau kelompok masyarakat lain.
Dalam melaksanakan hubungan politik itu seseorang harus mengetahui
dan memahami norma-norma dan kewajiban-kewajiban yang harus
dipatuhi. Dan Pancasila memegang peranan dalam perwujudan sebuah
sistem etikayang baik di negara ini. Disetiap saat dan dimana saja kita
berada, kita wajib untuk beretika disetiap tingkah laku kita. Seperti
tercantum di sila ke dua “kemanusiaan yang adil dan beradab” tidak dapat di
pungkiri bahwa kehadiran Pancasila dalam membangun etika bangsa ini
sangat berandil besar. Setiap sila pada dasarnya merupakan asas dan fungsi
sendiri-sendiri, namun secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang
sistematik.
8

Menurut Maryani Ludigdo (2001), etika adalah seperangkat nilai atau


norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang haru dilakukan
maupun ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat
atau profesi.
Dalam mengkaji masalah, etika terdiri dari 2 teori :
1. Teori Konsekuensialis
Kelompok teori yang konsekuensialis yang menilai baik buruknya perilaku
mausia atau benar tidaknya sebagai manusia berdasarkan konsekuensi atau
akibatnya. Yakni dilihat dari apakah perbuatan atau tindakan itu secara
keseluruhan membawa akibat baik lebih banyak daripada akibat buruknya
atau sebaliknya. Teori ini mendasarkan diri atas suatu keyakinan bahwa hidup
manusia secara kodrati mengarah pada suatu tujuan. Yang termasuk kedalam
kelompok konsekuensalis dan teleologis adalah teori egoisme, eudaimonisme,
dan utilarisme. Sesuai dari kata konsekuen yaitu etika tersebut sesuai dengan
apa yang dikatakannya dan diperbuatnya.
2. Teori Non Konsekuensialis
Teori ini menilai baik buruknya perbuatan atau benar salahnya tindakan
tanpa melihat konsekuensi atau akibatnya, melainkan dengan hukum atau
standar moral. Teori ini juga disebut dengan etika deontologist karena
menekankan konsep kewajiban moral yang wajib ditaati manusia.

B. Pengertian Nilai, Norma dan Moral


Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu
benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan
menarik minat seseorang atau kelompok. Nilai bersumber pada budi yang
berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku
manusia.

Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping
sistem sosial dan karya.
9

Pandangan para ahli tentang nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat :


a. Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat dalam enam macam, yaitu :
1). Nilai teori
2). Nilai ekonomi
3). Nilai estetika
4). Nilai sosial
5). Nilai politik dan
6). Nilai religi
b. Max Scheler, mengelompokkan nilai menjadi empat tingkatan, yaitu:
1). Nilai kenikmatan
2). Nilai kehidupan
3). Nilai kejiwaan
4). Nilai kerohanian
c. Notonagoro, membedakan nilai menjadi tiga, yaitu :
1). Nilai material
2). Nilai vital
3). Nilai kerokhanian
Nilai berperan sebagai pedoman menentukan kehidupan setiap manusia.
Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu
keyakinan dan kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai.
Norma adalah perwujudan martabat manusia sebagai mahluk budaya, moral,
religi, dan sosial. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang
dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh karena itu norma dalam
perwujudannya norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum
dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dipatuhi karena adanya
sanksi.
Norma-norma yang terdapat dalam masyarakat antara lain :
a. Norma agama : adalah ketentuan hidup masyarakat yang ber- sumber
pada agama.
10

b. Norma kesusilaan : adalah ketentuan hidup yang bersumber pada hati


nurani, moral atau filsafat hidup.
c. Norma hukum : adalah ketentuan-ketentuan tertulis yang berlaku dan
bersumber pada UU suatu Negara tertentu.
d. Norma sosial : adalah ketentuan hidup yang berlaku dalam hubungan
antara manusia dalam masyarakat.

Moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan,
kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang
menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang
taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma-norma yang berlaku
dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak secara moral. Jika
sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral
dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip
yang benar, baik terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan,
kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

C. Pengertian Nilai Dasar, Nilai Intrumental,dan Nilai Praktis

1. Nilai Dasar
Meskipun nilai bersifat abstrak dan tidak dapat diamati oleh panca
indra manusia, namun dalam kenyataannya nilai berhubungan dengan
tingkah laku manusia. Setiap orang miliki nilai dasar yaitu berupa hakikat,
esensi, intisari atau makna yang dalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar
berifat universal karena karena menyangkut kenyataan obyek dari segala
sesuatu. Contohnya tentang hakikat Tuhan, manusia serta mahkluk hidup
lainnya. Nilai dasar yang berkaitan dengan hakikat manusia maka nilai-nilai
itu harus bersumber pada hakikat kemanusiaan yang dijabarkan dalam
norma hukum yang diistilahkan dengan hak dasar (hak asasi manusia). Dan
apabila nilai dasar itu berdasarkan kepada hakikat suatu benda (kuantitas,
11

aksi, ruang dan waktu) maka nilai dasar itu juga dapat disebut sebagai
norma yang direalisasikan dalam kehidupan yang praksis. Nilai Dasar yang
menjadi sumber etika bagi bangsa Indonesia adalah nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.
a. Nilai Instrumental
Nilai instrumental adalah nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan
dari nilai dasar. Nilai dasar belum dapat bermakna sepenuhnya apabila
belum memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas dan
konkrit. Apabila nilai instrumental itu berkaitan dengan tingkah laku
manusia dalam kehidupan sehari-hari maka itu akan menjadi norma
moral. Namun apabila nilai instrumental itu berkaitan dengan suatu
organisasi atau Negara, maka nilai instrumental itu merupakan suatu
arahan, kebijakan, atau strategi yang bersumber pada nilai dasar sehingga
dapat juga dikatakan bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu
eksplisitasi dari nilai dasar. Dalam kehidupan ketatanegaraan Republik
Indonesia, nilai-nilai instrumental dapat ditemukan dalam pasal-pasal
undang-undang dasar yang merupakan penjabaran Pancasila.

b. Nilai praksis
Nilai praksis merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai
instrumental dalam kehidupan yang lebih nyata dengan demikian
nilai praksis merupakan pelaksanaan secara nyata dari nilai-nilai
dasar.

D. Aliran-aliran Besar Etika


Dalam kajian etika dikenal tiga teori/aliran besar, yaitu deontologi,
teleologi dan keutamaan. Setiap aliran memiliki sudut pandang sendiri-sendiri
dalam menilai apakah suatu perbuatan dikatakan baik atau buruk.
12

a. Etika Deontologi
Etika deontologi memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk
berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika
deontologi tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut, baik atau
buruk. Kebaikan adalah ketika seseorang melaksanakan apa yang sudah
menjadi kewajibannya.
Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Immanuel Kant (1734-
1804). Kant menolak akibat suatu tindakan sebagai dasar untuk menilai
tindakan tersebut karena akibat tadi tidak menjamin universalitas dan
konsistensi dalam bertindak dan menilai suatu tindakan (Keraf, 2002: 9).
Kewajiban moral sebagai manifestasi dari hukum moral adalah sesuatu yang
sudah tertanam dalam setiap diri pribadi manusia yang bersifat universal.
Manusia dalam dirinya secara kategoris sudah dibekali pemahaman tentang
suatu tindakan itu baik atau buruk, dan keharusan untuk melakukan
kebaikan dan tidak melakukan keburukan harus dilakukan sebagai perintah
tanpa syarat (imperatif kategoris).
Kewajiban moral untuk tidak melakukan korupsi, misalnya, merupakan
tindakan tanpa syarat yang harus dilakukan oleh setiap orang. Bukan karena
hasil atau adanya tujuan-tujuan tertentu yang akan diraih, namun karena
secara moral setiap orang sudah memahami bahwa korupsi adalah tindakan
yang dinilai buruk oleh siapapun. Etika deontologi menekankan bahwa
kebijakan/tindakan harus didasari oleh motivasi dan kemauan baik dari
dalam diri, tanpa mengharapkan pamrih apapun dari tindakan yang
dilakukan (Kuswanjono, 2008: 7).
Ukuran kebaikan dalam etika deontologi adalah kewajiban, kemauan baik,
kerja keras dan otonomi bebas. Setiap tindakan dikatakan baik apabila
dilaksanakan karena didasari oleh kewajiban moral dan demi kewajiban
moral itu. Tindakan itu baik bila didasari oleh kemauan baik dan kerja keras
dan sungguh-sungguh untuk melakukan perbuatan itu, dan tindakan yang
baik adalah didasarkan atas otonomi bebasnya tanpa ada paksaan dari luar.
13

b. Etika Teleologi
Pandangan etika teleologi berkebalikan dengan etika deontologi,
yaitu bahwa baik buruk suatu tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau
akibat dari perbuatan itu. Etika teleologi membantu kesulitan etika
deontologi ketika menjawab apabila dihadapkan pada situasi konkrit
ketika dihadapkan pada dua atau lebih kewajiban yang bertentangan satu
dengan yang lain. Jawaban yang diberikan oleh etika teleologi bersifat
situasional yaitu memilih mana yang membawa akibat baik meskipun
harus melanggar kewajiban, nilai norma yang lain.
Ketika bencana sedang terjadi situasi biasanya chaos. Dalam
keadaan seperti ini maka memenuhi kewajiban sering sulit dilakukan.
Contoh sederhana kewajiban mengenakan helm bagi pengendara motor
tidak dapat dipenuhi karena lebih fokus pada satu tujuan yaitu mencari
keselamatan. Kewajiban membayar pajak dan hutang juga sulit dipenuhi
karena kehilangan seluruh harta benda. Dalam keadaan demikian etika
teleologi perlu dipertimbangkan yaitu demi akibat baik, beberapa
kewajiban mendapat toleransi tidak dipenuhi.
Persoalan yang kemudian muncul adalah akibat yang baik itu, baik
menurut siapa? Apakah baik menurut pelaku atau menurut orang lain?
Atas pertanyaan ini, etika teleologi dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu egoisme etis dan utilitarianisme.
1). Egoisme etis memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan
yang berakibat baik untuk pelakunya. Secara moral setiap orang
dibenarkan mengejar kebahagiaan untuk dirinya dan dianggap salah atau
buruk apabila membiarkan dirinya sengsara dan dirugikan.
2). Utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan
tergantung bagaimana akibatnya terhadap banyak orang. Tindakan
dikatakan baik apabila mendatangkan kemanfaatan yang besar dan
memberikan kemanfaatan bagi sebanyak mungkin orang. Di dalam
menentukan suatu tindakan yang dilematis maka yang pertama adalah
14

dilihat mana yang memiliki tingkat kerugian paling kecil dan kedua dari
kemanfaatan itu mana yang paling menguntungkan bagi banyak orang,
karena bisa jadi kemanfaatannya besar namun hanya dapat dinikmati
oleh sebagian kecil orang saja. Etika utilitarianisme ini tidak terpaku
pada nilai atau norma yang ada karena pandangan nilai dan norma
sangat mungkin memiliki keragaman. Namun setiap tindakan selalu
dilihat apakah akibat yang ditimbulkan akan memberikan manfaat bagi
banyak orang atau tidak.

Kalau tindakan itu hanya akan menguntungkan sebagian kecil orang


atau bahkan merugikan maka harus dicari alternatif-alternatif tindakan
yang lain. Etika utilitarianisme lebih bersifat realistis, terbuka terhadap
beragam alternatif tindakan dan berorientasi pada kemanfaatan yang
besar dan yang menguntungkan banyak orang. Utilitarians try to
produce maximum pleasure and minimum pain, counting their own
pleasure and pain as no more or less important than anyone else’s
(Wenz, 2001: 86).
Etika utilitarianisme ini menjawab pertanyaan etika egoisme, bahwa
kemanfaatan banyak oranglah yang lebih diutamakan. Kemanfaatan diri
diperbolehkan sewajarnya, karena kemanfaatan itu harus dibagi kepada
yang lain. Utilitarianisme, meskipun demikian, juga memiliki
kekurangan. Sonny Keraf (2002: 19-21) mencatat ada enam kelemahan
etika ini, yaitu:
(1) Karena alasan kemanfaatan untuk orang banyak berarti akan ada
sebagian masyarakat yang dirugikan, dan itu dibenarkan. Dengan
demikian utilitarianisme membenarkan adanya ketidakadilan terutama
terhadap minoritas.
(2) Dalam kenyataan praktis, masyarakat lebih melihat kemanfaatan itu
dari sisi yang kuantitasmaterialistis, kurang memperhitungkan manfaat
yang non-material seperti kasih sayang, nama baik, hak dan lain-lain.
15

(3) Karena kemanfaatan yang banyak diharapkan dari segi material


yang tentu terkait dengan masalah ekonomi, maka untuk atas nama
ekonomi tersebut hal-hal yang ideal seperti nasionalisme, martabat
bangsa akan terabaikan, misalnya atas nama memasukkan investor
asing maka aset-aset negara dijual kepada pihak asing, atau atas nama
meningkatkan devisa negara maka pengiriman TKW ditingkatkan. Hal
yang menimbulkan problem besar adalah ketika lingkungan dirusak
atas nama untuk menyejahterakan masyarakat.
(4) Kemanfaatan yang dipandang oleh etika utilitarianisme sering
dilihat dalam jangka pendek, tidak melihat akibat jangka panjang.
Padahal,misalnya dalam persoalan lingkungan, kebijakan yang
dilakukan sekarang akan memberikan dampak negatif pada masa yang
akan datang.
(5) Karena etika utilitarianisme tidak menganggap penting nilai dan
norma, tapi lebih pada orientasi hasil, maka tindakan yang melanggar
nilai dan norma atas nama kemanfaatan yang besar, misalnya
perjudian/prostitusi, dapat dibenarkan.
(6) Etika utilitarianisme mengalami kesulitan menentukan mana yang
lebih diutamakan kemanfaatan yang besar namun dirasakan oleh sedikit
masyarakat atau kemanfaatan yang lebih banyak dirasakan banyak
orang meskipun kemanfaatannya kecil.
Menyadari kelemahan itu etika utilitarianisme membedakannya dalam
dua tingkatan, yaitu utilitarianisme aturan dan tindakan. Atas dasar ini,
maka :
Pertama, setiap kebijakan dan tindakan harus dicek apakah
bertentangan dengan nilai dan norma atau tidak. Kalau bertentangan
maka kebijakan dan tindakan tersebut harus ditolak meskipun memiliki
kemanfaatan yang besar.
Kedua, kemanfaatan harus dilihat tidak hanya yang bersifat fisik saja
tetapi juga yang non-fisik seperti kerusakan mental, moralitas,
kerusakan lingkungan dan sebagainya.
16

Ketiga, terhadap masyarakat yang dirugikan perlu pendekatan personal


dan kompensasi yang memadai untuk memperkecil kerugian material
dan non-material.
c. Etika Keutamaan
Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga
mendasarkan pada penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum
moral universal, tetapi pada pengembangan karakter moral pada diri
setiap orang. Orang tidak hanya melakukan tindakan yang baik,
melainkan menjadi orang yang baik. Karakter moral ini dibangun
dengan cara meneladani perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan
oleh para tokoh besar. Internalisasi ini dapat dibangun melalui cerita,
sejarah yang di dalamnya mengandung nilai-nilai keutamaan agar
dihayati dan ditiru oleh masyarakatnya. Kelemahan etika ini adalah
ketika terjadi dalam masyarakat yang majemuk, maka tokoh-tokoh
yang dijadikan panutan juga beragam sehingga konsep keutamaan
menjadi sangat beragam pula, dan keadaan ini dikhawatirkan akan
menimbulkan benturan sosial.
Kelemahan etika keutamaan dapat diatasi dengan cara mengarahkan
keteladanan tidak pada figur tokoh, tetapi pada perbuatan baik yang
dilakukan oleh tokoh itu sendiri, sehingga akan ditemukan prinsip-
prinsip umum tentang karakter yang bermoral itu seperti apa.

E. Etika Pancasila
Etika Pancasila tidak memposisikan secara berbeda atau bertentangan
dengan aliran-aliran besar etika yang mendasarkan pada kewajiban, tujuan
tindakan dan pengembangan karakter moral, namun justru merangkum dari
aliran-aliran besar tersebut. Etika Pancasila adalah etika yang mendasarkan
penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan.Suatu perbuatan dikatakan
baik bukan hanya apabila tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, namun
juga sesuai dan mempertinggi nilai-nilai Pancasila tersebut. Nilai-nilai
17

Pancasila meskipun merupakan kristalisasi nilai yang hidup dalam realitas


sosial, keagamaan, maupun adat kebudayaan bangsa Indonesia, namun
sebenarnya nilai-nilai Pancasila juga bersifat universal dapat diterima oleh
siapapun dan kapanpun.
Etika Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang sangat mendasar dalam
kehidupan manusia. Nilai yang pertama adalah Ketuhanan. Secara hirarkis nilai
ini bisa dikatakan sebagai nilai yang tertinggi karena menyangkut nilai yang
bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini. Suatu
perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaedah dan
hukum Tuhan.Pandangan demikian secara empiris bisa dibuktikan bahwa
setiap perbuatan yang melanggar nilai, kaedah dan hukum Tuhan, baik itu
kaitannya dengan hubungan antara manusia maupun alam pasti akan
berdampak buruk.Misalnya pelanggaran akan kaedah Tuhan tentang menjalin
hubungan kasih sayang antar sesama akan menghasilkan konflik dan
permusuhan. Pelanggaran kaedah Tuhan untuk melestarikan alam akan
menghasilkan bencana alam, dan lain-lain
Nilai yang kedua adalah Kemanusiaan. Suatu perbuatan dikatakan baik
apabila sesuai dengan nilai-nilaiKemanusiaan. Prinsip pokok dalam nilai
KemanusiaanPancasila adalah keadilan dan keadaban. Keadilanmensyaratkan
keseimbangan antara lahir dan batin, jasmani dan rohani, individu dan sosial,
makhluk bebas mandiri dan makhluk Tuhan yang terikat hukum-hukum Tuhan.
Keadaban mengindikasikan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk
lain, yaitu hewan, tumbuhan, dan benda tak hidup. Karena itu perbuatan itu
dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang didasarkan
pada konsep keadilan dan keadaban.
Nilai yang ketiga adalah Persatuan. Suatu perbuatan dikatakan baik
apabila dapat memperkuat persatuan dan kesatuan. Sikap egois dan menang
sendiri merupakan perbuatan buruk, demikian pula sikap yang memecah belah
persatuan. Sangat mungkin seseorang seakan-akan mendasarkan perbuatannya
atas nama agama (sila ke-1), namun apabila perbuatan tersebut dapat memecah
persatuan dan kesatuan maka menurut pandangan etika Pancasila bukan
18

merupakan perbuatan baik. Nilai yang keempat adalah Kerakyatan. Dalam


kaitan dengan kerakyatan ini terkandung nilai lain yang sangat penting yaitu
nilai hikmat/kebijaksanaan dan permusyawaratan. Kata hikmat/kebijaksanaan
berorientasi pada tindakan yang mengandung nilai kebaikan tertinggi. Atas
nama mencari kebaikan, pandangan minoritas belum tentu kalah dibanding
mayoritas. Pelajaran yang sangat baik misalnya peristiwa penghapusan tujuh
kata dalam sila pertama Piagam Jakarta. Sebagian besar anggota PPKI
menyetujui tujuh kata tersebut, namun memperhatikan kelompok yang sedikit
(dari wilayah Timur) yang secara argumentatif dan realistis bisa diterima, maka
pandangan minoritas “dimenangkan” atas pandangan mayoritas. Dengan
demikian, perbuatan belum tentu baik apabila disetujui/bermanfaat untuk orang
banyak, namun perbuatan itu baik jika atas dasar musyawarah yang didasarkan
pada konsep hikmah/kebijaksanaan.
Nilai yang kelima adalah Keadilan. Apabila dalam sila kedua disebutkan
kata adil, maka kata tersebut lebih dilihat dalam konteks manusia selaku
individu. Adapun nilai keadilan pada sila kelima lebih diarahkan pada konteks
sosial. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan prinsip keadilan
masyarakat banyak. Menurut Kohlberg (1995: 37), keadilan merupakan
kebajikan utama bagi setiap pribadi dan masyarakat. Keadilan mengandaikan
sesama sebagai partner yang bebas dan sama derajatnya dengan orang lain.
Menilik nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka Pancasila dapat
menjadi sistem etika yang sangat kuat, nilai-nilai yang ada tidak hanya bersifat
mendasar, namun juga realistis dan aplikatif. Apabila dalam kajian aksiologi
dikatakan bahwa keberadaan nilai mendahului fakta, maka nilai-nilai Pancasila
merupakan nilai-nilai ideal yang sudah ada dalam cita-cita bangsa Indonesia
yang harus diwujudkan dalam realitas kehidupan. Nilai-nilai tersebut dalam
istilah Notonagoro merupakan nilai yang bersifat abstrak umum dan universal,
yaitu nilai yang melingkupi realitas kemanusiaan di manapun, kapanpun dan
merupakan dasar bagi setiap tindakan dan munculnya nilai-nilai yang lain.
Sebagai contoh, nilai Ketuhanan akan menghasilkan nilai spiritualitas,
ketaatan, dan toleransi. Nilai Kemanusiaan, menghasilkan nilai kesusilaan,
19

tolong menolong, penghargaan, penghormatan, kerjasama, dan lain-lain. Nilai


Persatuan menghasilkan nilai cinta tanah air, pengorbanan dan lain-lain. Nilai
Kerakyatan menghasilkan nilai menghargai perbedaan, kesetaraan, dan lain-
lain Nilai Keadilan menghasilkan nilai kepedulian, kesejajaran ekonomi,
kemajuan bersama dan lain-lain.

F. Nilai-nilai Pancasila sebagai nilai fundamental terhadap sistem etika


negara
Nilai-nilai Pancasila bersifat universal yang memperlihatkan nafas
humanisme. Oleh karena itu, Pancasila dapat dengan mudah diterima oleh
siapa saja. Meskipun Pancasila mempunyai nilai universal tetapi tidak begitu
saja dengan mudah disamakan oleh semua bangsa. Perbedaannya terletak pada
fakta sejarah bahwa nilai Pancasila secara sadar dirangkai dan disahkan
menjadi satu kesatuan yang berfungsi sebagai basis perilaku politik dan sikap
moral bangsa.
Adapun pembukaan UUD 1945 yang didalamnya memuat nilai-nilai
Pancasila mengandung empat pokok pikiran yang merupakan derivasi atau
penjabaran dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Pokok pikiran pertama
menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara persatuan, yaitu negara
yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
mengatasi segala paham golongan maupun perseorangan.
Ketentuan dalam pembukaan UUD 1945 yaitu,”..... maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia” menunjukkan sebagai sumber hukum nilai dasar yang
fundamental dalam hukum mempunyai hakikat dan kedudukan yang kuat dan
tidak dapat berubah mengingat pembukaan UUD 1945 sebagai cita-cita negara
(staatside) para pendiri bangsa sekaligus perumus konstitusi (the framers pf the
constitutation). Di samping itu, nilai-nilai Pancasila juga merupakan suatu
landasan moral etik dalam kehidupan kenegaraan yang ditegaskan dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 1945 bahwa negara berdasar atas ketuhanan yang
20

Maha Esa berdasar atas kemanusiaan yang adil dan beradab. Konsekuensinya
dalam penyelenggaran kenegaraan antara lain oprasional pemerintahan negara,
pembangunan negara, pertahanan keamanan negara, politik negeri serta
pelaksanaan demokrasi negara harus senantiasa berdasarkan pada moral
ketuhanan dan kemanusiaan.
Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan negara republik Indonesia
merupakan nilai yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing
silanya. Untuk lebih memahami nilai-nilai yang terkandung dalam masing-
masing sila Pancasila, maka dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa, meliputi dan menjiwai keempat sila lainnya.
Dalam sila ini terkandung nilai bahwa negara yang didirikan adalah tujuan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, kemanusiaan berasal dari kata manusia
yaitu makhluk yang berbudaya dengan memiliki potensi pikiran, rasa, karsa,
dan cipta.potensi itu yang mendudukan manusia pada tingkatan mantabat
yang tinggi dan menyadari nilai-nilai dan norma-norma. Kemanusiaan
terutama berarti hakikat dan sifat-sifat khas manusia sesuai dengan
martabat.
3. Persatuan Indonesia. Persatuan mengandung pengertian bersatunya
bermacam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan.
Persatuan Indonesia dalam sila ketiga ini mencakup persatuan dalam arti
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan. Persatuan
Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami seluruh wilayah Indonesia.
Persatuan Indonesia merupakan faktor yang dinamis dalam kehidupan.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan kerakyatan. Rakyat merupakan sekelompok
manusia yang berdiam dalam satu wilayah negara tertentu. Dengan sila ini
berarti bahwa bangsa Indonesia menganut sistem demokrasi yang
menempatkan rakyat di posisi tertinngi dalam hierarki kekuasaan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial berarti
keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan, baik
21

material maupun spiritual. Seluruh rakyat Indonesia berarti untuk setiap


orang yang menjadi rakyat Indonesia.
Adapun makna dan maksud istilah beradab pada sila kedua,”kemanusiaan
yang adil dan beradab” yaitu terlaksananya penjelmaan unsur-unsur hakikat
manusia, jiwa raga, akal, rasa, kehendak, serta sifat kodrat perseorangan dan
makhluk Tuhan Yang Maha Esa sebagai causa prima dalam kesatuan majemuk
tunggal. Hal demikian dilaksanakan dalam upaya penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara yang bermatabat tinggi.

G. Pancasila sebagai etika politik di Indonesia

1. Pancasila sebagai etika dalam pemilu


Pelaksanaan pemilu merupakan wujud dari negara yang berkedaulatan
rakyat (demokrasi). Pelaksanaan pemilu diatur dalam pasal 22E UUD 1945
pasca perubahan. Pelaksanaan pemilu, termasuk pemilu kepala daerah
(pemilukada) harus senantiasa didasarkan pada prinsip-prinsip Pancasila,
yaitu proses demokrasi harus dilaksanakan dengan menjunjung tinggi
prinsip kemanusiaan yang beradab sehingga terwujud keharmonisan dan
pemerintahan negara yang demokratis.
Selanjutnya, Pancasila mengatur kehidupan berdemokrasi dalam batang
tubuh UUD 1945. Hal yang perlu diperhatikan agar pelaksanaan pemilihan
umum yang demokratis yaitu harus senantiasa memegang teguh prinsip
konstitusionalisme sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (2) UUD 1945,
yaitu “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”.
Prinsip demikian merupakan wujud penguatan berdemokrasi dan
pembangunan sistem etika, terutama dalam pelaksanaan pemilu. Artinya,
apabila pelaksanaan pemilu telah menyimpang dari ketentuan sebagaimana
diatur dalam UUD 1945 maka pelaksanaan hasil pamilu perlu ditinjau ulang
sehingga sesuai dengan prinsip berdemokrasi yang dibangun dalam UUD
1945 sebagai generalisasi dari Pancasila yang berkedudukan sebagai hukum
tertinggi dalam sistem hukum di Indonesia. Upaya untuk mengatasi
22

berbagai kecurangan dalam pemilu, UUD 1945 mengatur pelaksanaan


pemilu demokratis, yaitu untuk menjaga konsisten prinsip
konstitusionalisme agar pelaksanaan pemilu tetap berdasarkan pada koridor
hukum yang senantiasa menjunjung tinggi etika berpolitik, ditangani oleh
lembaga pengawal konstitusi (the guardian of the constitution).
Implikasinya, pelaksanaan pemilu mengarah pada prinsip sebagaimana
diatur dalam UUD 1945 termasuk Pancasila.
a. Implementasi nilai dan moral kehidupan bermasyarakat
Dalam kehidupan kita akan selalu berhadapan dengan istilah nilai
dan norma dan juga moral dalam kehidupan sehari-hari. Dapat kita
ketahui bahwa yang dimaksud dengan nilai sosial merupakan nilai yang
dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan
apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang
menganggap menolong memiliki nilai baik, sedangkan mencuri bernilai
buruk. Demikan pula, guru yang melihat siswanya gagal dalam ujian
akan merasa gagal dalam mendidik anak tersebut. Bagi manusia, nilai
berfungsi sebagai landasan, alasan, atau motivasi dalam segala tingkah
laku dan perbuatannya.
Nilai mencerminkan kualitas pilihan tindakan dan pandangan hidup
seseorang dalam masyarakat. Itu adalah yang dimaksud dan juga
contoh dari nilai. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa norma
sosial adalah patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat
tertentu. Norma sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma
menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani
interaksi sosialnya. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat
memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan
aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya, norma disusun agar
hubungan diantara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib
sebagaimana yang diharapkan. Tingkat norma dasar didalam
masyarakat dibedakan menjadi 4 (empat) yaitu cara, kebiasaan, tata
23

kelakuan, dan adat istiadat. Misalnya orang yang melanggar hukum


adat akan dibuang dan diasingkan ke daerah lain.

Anda mungkin juga menyukai