Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“RANGKUMAN TINGKAT KECAKUPAN ENERGI PROTEIN PADA IBU
HAMIL TRIMESTER PERTAMA DAN KEJADIAN KEKURANGAN ENERGI
KRONIS” dengan baik. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada ibu Ns.
Andhini Restu Marsiwi S.Kep.M.Kep selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan tugas ini kepada penulis, dengan ini penulis bisa mengetahui dan
mengerti tingkat kecakupan energi protein pada ibu hamil trimester pertama dan
kejadian kekurangan energi ronis. Tak lupa kepada semua pihak yang
bersangkutan, kami ucapkan terima kasih karena telah mendukung dalam
menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pihak pembaca di perlukan bagi penulis. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi pembaca untuk menambah pengetahuan.
Penulis
i
DAFTAR ISI
PENUTUP............................................................................................................................24
A. KESIMPULAN.............................................................................................................24
ii
B. SARAN........................................................................................................................24
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Gizi ibu pada waktu hamil sangat penting untuk pertumbuhan janin yang
dikandungnya. Angka kejadian BBLR (berat badan lahir rendah) lebih tinggi
dinegara-negara yang sedang berkembang daripada dinegara-negarayang sudah
maju. Hal ini disebabkan oleh keadaan sosial ekonomi yang rendah
mempengaruhi diet ibu. Gizi ibu yang baik diperlukan agar pertumbuhan janin
berjalan pesat dan tidak mengalami hambatan. Dimulai dari satu sel telur yang
setelah dibuahi tumbuh dengan pesat, sehingga diperkirakan pertumbuhan
janin sejak konsepsi sampai lahir (soetjiningsih,1995
1
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Pancasila
Pancasila adalah suatu ideologi dan dasar negara yang menjadi
landasan dari segala keputusan yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia.
Yang juga mencerminkan kepribadian dari bangsa Indonesia itu sendiri.
Secara etimologi, kata Pancasila berasal dari bahasa –[sangsekerta india,
pada kasta Brahmana. Yang dimana arti dari kata panca adalah lima, dan
arti dari kata sila adalah dasar. Sehingga pengertian kata Pancasila secara
harfiah adalah lima dasar, yang kemudian dibuatlah masing-masing
lambang dari Pancasila tersebut yang jumlahnya lima. Isi dari Pancasila ini
juga berjumlah lima sesuai arti kata Pancasila.
Pancasila menurut Ir. Soekarno adalah, isi dari jiwa bangsa
Indonesia yang telah turun temurun dan sudah berabad-abad lamanya
terpendam dengan bisu dalam kebudayaan Bangsa Indonesia. Dengan
demikian, Pancasila ini bukan hanya sekedar falsafah di dalam negara kita,
tetapi maknanya lebih luas lagi yaitu falsafah bagi bangsa Indonesia.
Sedangkan menurut Notonegoro, Pancasila adalah dasar falsafah dan
juga ideologi negara yang diharapkan akan menjadi pandangan hidup
bangsa Indonesia, lambang dari persatuan dan kesatuan, dan sebagai
pertahanan dari bangsa dan Negara Indonesia. Dan menurut Muh.Yamin
adalah kata panca yang berarti lima, dan sila berarti sendi atas dasar atau
peraturan tingkah laku yang penting dan juga baik.
3
4
2. Pengertian sistem
Istilah sistem sering digunakan dalam menyebutkan sesuatu,
misalnya sistem pertahanan, sistem pendidikan, dan lain sebagainya. Namun
dalam hal ini pengertian sistem dikaitkan dengan sistem Pancasila.
Sebelum membahas Pancasila sebagai suatu sistem etika ada baiknya kita
pahami pengertian sistem terlebih dahulu. Sistem adalah bekerjanya masing-
masing unsur atau elemen yang berbeda dalam suatu kelompok dimana
yang satu dan yang lainnya saling terkait dan saling bergantungan untuk
mencapai tujuan tertentu demi mencapai kesuksesan bersama. Misal sepeda
merupakan sebuah sistem yang didalamnya terdapat unsur-unsur yang satu
dan yang lain saling terkait, unsur tersebut velg, ban luar, ban dalam,
pentil,rantai, stang,dan bagian lainnya.
unsur tersebut saling terkait sehingga sepeda tersebut dapat
digunakan sebagai alat transportasi untuk mengantarkan manusia dari suatu
tempat ke tempat lain. Jika salah satu unsur tidak ada, misalnya pentil yang
berfungsi sebagai penahan udara yang berada di dalam ban maka ban akan
kempes, sistem sepeda tadi bisa berjalan akan teteapi perjalanannya tidak
normal seperti biasanya. Begitu juga dengan Pancasila, jika salah satu dari
isi Pancasila tidak ada maka sistem nya tidak akan normal dan tidak akan
sempurna, karena Pancasila adalah suatu sistem yang unsur-unsur nya tidak
dapat dipisahkan. Nah dari situ terlihat betapa pentingnya setiap unsur yang
memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing.
5
3. Pengertian Etika
Istilah etika berasal dari bahasa yunani, “ethos” yang artinya tempat
tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak,
perasaan, sikap, cara berpikir. Secara etimologis,etika berarti ilmu tentang
segala sesuatu yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Dalam arti ini, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara
hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun
masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu
generasi ke generasi yang lain. Dalam artian ini, etika sama maknanya
dengan moral. Etika dalam arti yang luas ialah ilmu yang membahas tentang
kriteria baik dan buruk (Bertens, 1997:4—6).
Etika pada umumnya dimengerti sebagai pemikiran filosofis
mengenai segala sesuatu yang dianggap baik atau buruk dalam perilaku
manusia. Keseluruhan perilaku manusia dengan norma dan prinsip-prinsip
yang mengaturnya itu kerap kali disebut moralitas atau etika (sastrapratedja,
2002:81). Etika selalu terkait dengan masalah nilai sehingga perbincangan
tentang etika, pada umumnya membicarakan tentang masalah nilai (baik
atau buruk). Frondzi menenrangkan bahwa nilai membutuhkan pengemban
untuk berada (2001:7). Misalnya, nilai kejujuran melekat pada sikap dan
kepribadian seseorang. Istilah nilai mengandung penggunaan yang
kompleks dan bervariasi. Lacey menjelaskan bahwa paling tidak ada enam
pengertian nilai dalam penggunaan secara umum, yaitu sebagai berikut:
1. Sesuatu yang fundamental yang dicari orang sepanjang hidupnya.
2. Suatu kualitas atau tindakan yang berharga, kebaikan, makna atau
pemenuhan karakter untuk kehidupan seseorang.
3. Suatu kualitas atau tindakan sebagian membantuk identitas seseorang
sebagai pengevaluasian diri, penginterpretasian diri, dan pembentukan
diri.
4. Suatu kriteria fundamental bagi seseorang untuk memilih sesuatu yang
baik diantara berbagai kemungkinan tindakan.
6
Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping
sistem sosial dan karya.
9
Moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan,
kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang
menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang
taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma-norma yang berlaku
dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak secara moral. Jika
sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral
dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip
yang benar, baik terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan,
kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
1. Nilai Dasar
Meskipun nilai bersifat abstrak dan tidak dapat diamati oleh panca
indra manusia, namun dalam kenyataannya nilai berhubungan dengan
tingkah laku manusia. Setiap orang miliki nilai dasar yaitu berupa hakikat,
esensi, intisari atau makna yang dalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar
berifat universal karena karena menyangkut kenyataan obyek dari segala
sesuatu. Contohnya tentang hakikat Tuhan, manusia serta mahkluk hidup
lainnya. Nilai dasar yang berkaitan dengan hakikat manusia maka nilai-nilai
itu harus bersumber pada hakikat kemanusiaan yang dijabarkan dalam
norma hukum yang diistilahkan dengan hak dasar (hak asasi manusia). Dan
apabila nilai dasar itu berdasarkan kepada hakikat suatu benda (kuantitas,
11
aksi, ruang dan waktu) maka nilai dasar itu juga dapat disebut sebagai
norma yang direalisasikan dalam kehidupan yang praksis. Nilai Dasar yang
menjadi sumber etika bagi bangsa Indonesia adalah nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.
a. Nilai Instrumental
Nilai instrumental adalah nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan
dari nilai dasar. Nilai dasar belum dapat bermakna sepenuhnya apabila
belum memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas dan
konkrit. Apabila nilai instrumental itu berkaitan dengan tingkah laku
manusia dalam kehidupan sehari-hari maka itu akan menjadi norma
moral. Namun apabila nilai instrumental itu berkaitan dengan suatu
organisasi atau Negara, maka nilai instrumental itu merupakan suatu
arahan, kebijakan, atau strategi yang bersumber pada nilai dasar sehingga
dapat juga dikatakan bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu
eksplisitasi dari nilai dasar. Dalam kehidupan ketatanegaraan Republik
Indonesia, nilai-nilai instrumental dapat ditemukan dalam pasal-pasal
undang-undang dasar yang merupakan penjabaran Pancasila.
b. Nilai praksis
Nilai praksis merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai
instrumental dalam kehidupan yang lebih nyata dengan demikian
nilai praksis merupakan pelaksanaan secara nyata dari nilai-nilai
dasar.
a. Etika Deontologi
Etika deontologi memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk
berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika
deontologi tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut, baik atau
buruk. Kebaikan adalah ketika seseorang melaksanakan apa yang sudah
menjadi kewajibannya.
Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Immanuel Kant (1734-
1804). Kant menolak akibat suatu tindakan sebagai dasar untuk menilai
tindakan tersebut karena akibat tadi tidak menjamin universalitas dan
konsistensi dalam bertindak dan menilai suatu tindakan (Keraf, 2002: 9).
Kewajiban moral sebagai manifestasi dari hukum moral adalah sesuatu yang
sudah tertanam dalam setiap diri pribadi manusia yang bersifat universal.
Manusia dalam dirinya secara kategoris sudah dibekali pemahaman tentang
suatu tindakan itu baik atau buruk, dan keharusan untuk melakukan
kebaikan dan tidak melakukan keburukan harus dilakukan sebagai perintah
tanpa syarat (imperatif kategoris).
Kewajiban moral untuk tidak melakukan korupsi, misalnya, merupakan
tindakan tanpa syarat yang harus dilakukan oleh setiap orang. Bukan karena
hasil atau adanya tujuan-tujuan tertentu yang akan diraih, namun karena
secara moral setiap orang sudah memahami bahwa korupsi adalah tindakan
yang dinilai buruk oleh siapapun. Etika deontologi menekankan bahwa
kebijakan/tindakan harus didasari oleh motivasi dan kemauan baik dari
dalam diri, tanpa mengharapkan pamrih apapun dari tindakan yang
dilakukan (Kuswanjono, 2008: 7).
Ukuran kebaikan dalam etika deontologi adalah kewajiban, kemauan baik,
kerja keras dan otonomi bebas. Setiap tindakan dikatakan baik apabila
dilaksanakan karena didasari oleh kewajiban moral dan demi kewajiban
moral itu. Tindakan itu baik bila didasari oleh kemauan baik dan kerja keras
dan sungguh-sungguh untuk melakukan perbuatan itu, dan tindakan yang
baik adalah didasarkan atas otonomi bebasnya tanpa ada paksaan dari luar.
13
b. Etika Teleologi
Pandangan etika teleologi berkebalikan dengan etika deontologi,
yaitu bahwa baik buruk suatu tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau
akibat dari perbuatan itu. Etika teleologi membantu kesulitan etika
deontologi ketika menjawab apabila dihadapkan pada situasi konkrit
ketika dihadapkan pada dua atau lebih kewajiban yang bertentangan satu
dengan yang lain. Jawaban yang diberikan oleh etika teleologi bersifat
situasional yaitu memilih mana yang membawa akibat baik meskipun
harus melanggar kewajiban, nilai norma yang lain.
Ketika bencana sedang terjadi situasi biasanya chaos. Dalam
keadaan seperti ini maka memenuhi kewajiban sering sulit dilakukan.
Contoh sederhana kewajiban mengenakan helm bagi pengendara motor
tidak dapat dipenuhi karena lebih fokus pada satu tujuan yaitu mencari
keselamatan. Kewajiban membayar pajak dan hutang juga sulit dipenuhi
karena kehilangan seluruh harta benda. Dalam keadaan demikian etika
teleologi perlu dipertimbangkan yaitu demi akibat baik, beberapa
kewajiban mendapat toleransi tidak dipenuhi.
Persoalan yang kemudian muncul adalah akibat yang baik itu, baik
menurut siapa? Apakah baik menurut pelaku atau menurut orang lain?
Atas pertanyaan ini, etika teleologi dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu egoisme etis dan utilitarianisme.
1). Egoisme etis memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan
yang berakibat baik untuk pelakunya. Secara moral setiap orang
dibenarkan mengejar kebahagiaan untuk dirinya dan dianggap salah atau
buruk apabila membiarkan dirinya sengsara dan dirugikan.
2). Utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan
tergantung bagaimana akibatnya terhadap banyak orang. Tindakan
dikatakan baik apabila mendatangkan kemanfaatan yang besar dan
memberikan kemanfaatan bagi sebanyak mungkin orang. Di dalam
menentukan suatu tindakan yang dilematis maka yang pertama adalah
14
dilihat mana yang memiliki tingkat kerugian paling kecil dan kedua dari
kemanfaatan itu mana yang paling menguntungkan bagi banyak orang,
karena bisa jadi kemanfaatannya besar namun hanya dapat dinikmati
oleh sebagian kecil orang saja. Etika utilitarianisme ini tidak terpaku
pada nilai atau norma yang ada karena pandangan nilai dan norma
sangat mungkin memiliki keragaman. Namun setiap tindakan selalu
dilihat apakah akibat yang ditimbulkan akan memberikan manfaat bagi
banyak orang atau tidak.
E. Etika Pancasila
Etika Pancasila tidak memposisikan secara berbeda atau bertentangan
dengan aliran-aliran besar etika yang mendasarkan pada kewajiban, tujuan
tindakan dan pengembangan karakter moral, namun justru merangkum dari
aliran-aliran besar tersebut. Etika Pancasila adalah etika yang mendasarkan
penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan.Suatu perbuatan dikatakan
baik bukan hanya apabila tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, namun
juga sesuai dan mempertinggi nilai-nilai Pancasila tersebut. Nilai-nilai
17
Maha Esa berdasar atas kemanusiaan yang adil dan beradab. Konsekuensinya
dalam penyelenggaran kenegaraan antara lain oprasional pemerintahan negara,
pembangunan negara, pertahanan keamanan negara, politik negeri serta
pelaksanaan demokrasi negara harus senantiasa berdasarkan pada moral
ketuhanan dan kemanusiaan.
Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan negara republik Indonesia
merupakan nilai yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing
silanya. Untuk lebih memahami nilai-nilai yang terkandung dalam masing-
masing sila Pancasila, maka dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa, meliputi dan menjiwai keempat sila lainnya.
Dalam sila ini terkandung nilai bahwa negara yang didirikan adalah tujuan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, kemanusiaan berasal dari kata manusia
yaitu makhluk yang berbudaya dengan memiliki potensi pikiran, rasa, karsa,
dan cipta.potensi itu yang mendudukan manusia pada tingkatan mantabat
yang tinggi dan menyadari nilai-nilai dan norma-norma. Kemanusiaan
terutama berarti hakikat dan sifat-sifat khas manusia sesuai dengan
martabat.
3. Persatuan Indonesia. Persatuan mengandung pengertian bersatunya
bermacam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan.
Persatuan Indonesia dalam sila ketiga ini mencakup persatuan dalam arti
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan. Persatuan
Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami seluruh wilayah Indonesia.
Persatuan Indonesia merupakan faktor yang dinamis dalam kehidupan.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan kerakyatan. Rakyat merupakan sekelompok
manusia yang berdiam dalam satu wilayah negara tertentu. Dengan sila ini
berarti bahwa bangsa Indonesia menganut sistem demokrasi yang
menempatkan rakyat di posisi tertinngi dalam hierarki kekuasaan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial berarti
keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan, baik
21