Anda di halaman 1dari 16

STEP 7

1. Mengapa dapat terjadi perdarahan post partum?


Jawab :
Sama kayak SGD 1 jelasin yg 4T

2. Jelaskan tujuan pemberian oksitosin dan kompresi bimanual!


Jawab :
a. OKSITOSIN
Sebagian besar hormon yang bersirkulasi dalam tubuh akan mempengaruhi kontraksi otot polos
hingga derajat tertentu, dan beberapa diantaranya mempunyai pengaruh yang sangat besar.
Diantara hormon dalam darah yang penting tersebut adalah norepinefrin, epinefrin, asetilkolin,
angiotensin, endothelin, vasopressin, oksitosin, serotonin, dan histamine (Guyton C & Hall JE, 2006).

Oksitosin adalah neuropeptida yang terdiri dari sembilan asam amino, disintesis oleh neuron-
neuron magnoseluler pada supraoptik dan paraventrikular hipotalamus. Oksitosin dibebaskan
menuju sirkulasi melaui proses eksositosis dari pituitary posterior dan terminal saraf sebagai
respon terhadap berbagai rangsang (Vrachnis N et al, 2012). Oksitosin merupakan suatu hormon
yang disekresikan oleh neurohipofisis yang secara khusus menyebabkan kontraksi uterus.
Oksitosin meningkatkan kontraksi otot polos melalui mekanisme:
1) Otot uterus meningkatkan jumlah reseptor- reseptor oksitosin sehingga meningkatkan
responnya terhadap dosis oksitosin yang diberikan selama beberapa bulan kehamilan
2) Kecepatan sekresi oksitosin oleh neurohipofisis sangat meningkat pada saat persalinan
3) Pada hewan yang mengalami hipofisektomi masih dapat melahirkan bayinya pada kehamilan
aterm, persalinannya akan berlangsung lama
4) Iritasi atau regangan pada serviks uteri, seperti yang terjadi selama persalinan, dapat
menyebabkan sebuah refleks neurogenik melalui nucleus paraventrikular dan supraoptik
hipotalamus yang dapat menyebabkan kelenjar neurohipofisis meningkatkan sekresi
oksitosinnya (Guyton C & Hall JE, 2006).

PENGARUH OKSITOSIN TERHADAP KONTRAKSI OTOT POLOS UTERUS


Hormon oksitosin, sesuai dengan namanya, sangat kuat merangsang uterus yang hamil, terutama
pada akhir kehamilan. Oleh karena itu banyak ahli kebidanan yang meyakini bahwa hormon ini
berperan dalam persalinan bayi (Guyton C & Hall JE, 2006). Oksitosin tidak hanya memicu
pengeluaran Ca2+ intraseluler, tetapi juga meningkatkan aktivitas Ca2+ terhadap uterus
melalui mekanisme yang melibatkan G-protein (Tahara M et al, 2002). Faktor-faktor yang
menentukan pengaruh oksitosin terhadap kontraksi uterus adalah kadar reseptor, desensitisasi
reseptor, dan produksi oksitosin lokal (Vrachnis N et al, 2011). Oksitosin merangsang kontraksi
uterus melalui mekanisme Ca2+ dependent dan Ca2+ independent. Jalur Ca2+ independent
adalah dengan melalui jalur Rho kinase (Tahara M et al, 2002).

CA2+ DEPENDENT
Beberapa reseptor hormon pada membran otot polos akan membuka kanal ion kalsium dan
natrium serta menimbulkan depolarisasi membran. Kadang timbul potensial aksi, atau
justru makin memperkuat potensial aksi yang telah terjadi. Pada keadaan lain, terjadi
depolarisasi tanpa disertai dengan potensial aksi, dan depolarisasi ini membuat ion kalsium
masuk ke dalam sel sehingga terjadi kontraksi (Guyton C & Hall JE, 2006). Kadang kontraksi otot
polos dicetuskan oleh hormon tanpa secara langsung menyebabkan perubahan pada potensial
membran. Pada keadaan ini, hormon dapat mengaktifkan suatu reseptor membran yang tidak
membuka kanal ion manapun namun justru menyebabkan perubahan internal pada serabut otot,
seperti pelepasan ion kalsium dari retikulum sarkoplasma intrasel, ion kalsium kemudian
menginduksi terjadinya kontraksi (Guyton C & Hall JE, 2006). Oksitosin hanya memiliki satu
reseptor, yang termasuk dalam klas 1 G protein, tipe rodopsin. Gen untuk reseptor oksitosin terletak
pada kromosom 3p25, mengandung tiga intron dan empat ekson. Permukaan membran sel
mengalami aktivasi setelah reseptor oksitosin berikatan dengan molekul oksitosin, kemudian
reseptor tersebut akan menyebabkan aktivasi berbagai macam jalur signal intraseluler, sehingga
menghasilkan beberapa efek dari kerja hormon, termasuk kontraksi. Reseptor oksitosin
berpasangan dengan Gq/11a, dari golongan GTP binding protein. Pengikatan oksitosin melalui
Gαq/11, fosfolipase C(PLC) yang menghidrolisis fosfatidilinositol 4,5- bifosfat (PIP2) menjadi
inositol 1,4,5- trifosfat (IP3) dan diasilgliserol (DAG). IP3 menyebabkan ion-ion kalsium keluar dari
depo intraseluler, sedangkan DAG mengaktivasi protein kinase tipe C (PKC), yang kemudian
memfosforilasi protein lain. Keluarnya ion-ion kalsium dari depo intraseluler menyebabkan
kalsium berikatan dengan kalmodulin dan mengaktifkan fosforilasi rantai ringan miosin sehingga
menyebabkan otot uterus berkontraksi (Vrachnis N et al, 2012)
CA2+ INDEPENDENT
Reseptor oksitosin mengaktivasi mitogen activated protein kinase (MAPK) dan jalur Rho kinase.
Aktivasi reseptor oksitosin dan MAPK menyebabkan peningkatan aktivitas sitosolik fosfolipase A2
(cPLA2). cPLA2 menghidrolisis fosfolipid dan membebaskan asam arakhidonat, sehingga
menyebabkan peningkatan produksi prostaglandin melalui cyclooxygenase-1 (COX-2), sebuah
enzim yang ditingkatkan oleh MAPK. Rho kinase meningkatkan fosforilasi rantai ringan pada kepala
miosin (Vrachnis N et al, 2012). Rho (Ras homology) protein adalah monomer kecil dari GTP-
binding protein yang mengatur polimerisasi aktin dan fosforilasi miosin pada sel-sel otot polos
(Lartey J & Bernal AL, 2009). Peningkatan fosforilasi rantai ringan miosin atau kekuatan kontraksi
yang dipicu oleh stimulasi agonis lebih dominan dibandingkan dengan efek yang ditimbulkan dari
peningkatan ion kalsium, fenomena ini disebut “Ca2+ sensitization”. Rho yang telah teraktivasi
meningkatkan fosforilasi rantai ringan miosin pada konsentrasi kalsium yang konstan, ini
menunjukkan bahwa Rho memiliki peran pada mekanisme pengaturan “Ca2+ sensitization” (Tahara
M et al, 2002). Fenomena “Ca2+ sensitization” terjadi setelah stimulasi agonis berlangsung lama dan
dapat berlangsung selama beberapa jam atau bahkan beberapa hari. (Vrachnis N et al, 2011).
Mekanisme molekuler “Ca2+ sensitization” sampai saat ini masih sedang diteliti. Pada beberapa tipe
jaringan, Rho protein memicu terjadinya “Ca2+ sensitization”. Aktivasi terjadi karena adanya
stimulasi pada reseptor Gα12,13; Gαq; atau Gαi, yang mengubah RhoA-GDP inaktif menjadi RhoA-
GTP aktif melalui perubahan pada faktor-faktor guanin nukleotida. (Shmygol A et al, 2006). Pada
saat aktivasi, RhoA-GTP berikatan dengan efektor kinase, seperti Rho kinase (ROCK) untuk
mengatur kontraksi otot polos dengan cara ROCK mengaktifkan miosin otot polos melalui
proses fosforilasi dan menghambat miosin fosfatase (Lartey J & Bernal AL, 2009). Aktivasi ROCK
dan proses fosforilasi miosin berlangsung secara bersamaan selama kontraksi uterus yang
dirangsang oleh oksitosin (Tahara M et al, 2002).

KESIMPULAN
Oksitosin mempengaruhi kontraksi otot polos uterus melalui mekanisme “Ca2+ dependent” dan
“Ca2+ independent”. Pada mekanisme “Ca2+ dependent”, reseptor oksitosin pada membran otot
polos akan membuka kanal ion kalsium dan natrium serta menimbulkan depolarisasi membran.
Selain itu reseptor oksitosin pada membran yang tidak membuka kanal ion manapun dapat
menyebabkan perubahan internal pada serabut otot, seperti pelepasan ion kalsium dari retikulum
sarkoplasma intrasel, ion kalsium kemudian menginduksi terjadinya kontraksi. Sedangkan pada
mekanisme “Ca2+ independent”, Rho yang telah berikatan dengan ROCK mengaktifkan miosin otot
polos melalui proses fosforilasi dan menghambat miosin fosfatase

Sumber : El-Hayah Vol. 5, No.1 September 2014. Pengaruh Oksitosin terhadap Kontraksi Otot
Polos Uterus. Risma Aprinda Kristanti Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Halaman 18-21

KOMPRESI BIMANUAL
Tindakan kompresi bimanual interna dan atau eksterna, merupakan salah satu cara yang baik dalam
mengatasi perdarahan pascasalin. Perlakuan kompresi bimanual ditujukan guna melakukan
penjepitan pembuluh darah pada uterus sehingga perdarahan dapat berhenti.

a. Kompresi bimanual interna adalah penekanan uterus diantara telapak tangan pada dinding
abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah di dalam miometrium

Gb. 2 Kompresi Bimanual


Interna
b. Kompresi bimanual eksterna adalah penekanan uterus melalui abdomen dengan jalan saling
mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus

Gb. 3 Kompresi Bimanual


Eksterna

3. Jelaskan interpretasi dari PF! Tambahin nilai normalnya ya!


Jawab :

Sumber : Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Perdarahan Pasca Salin. Perkumpulan Obstetri
Dan Ginekologi Indonesia. Himpunan Kedokteran Feto Maternal. 2016. Halaman 7

4. Jelaskan DD dan Dx dari kasus di scenario!


Jawab :
-
5. Jelaskan FR dari kasus di scenario!
Jawab :
Sumber : Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Perdarahan Pasca Salin. Perkumpulan Obstetri
Dan Ginekologi Indonesia. Himpunan Kedokteran Feto Maternal. 2016. Halaman 8

Penjelasan
1) Kala III Memanjang
Untuk pencegahan pada perdarahan post partum diberikan tindakan pengobatan uterotonika
profilaksis dan manajemen aktif kala III. Komponen manajemen aktif kala III adalah :
a. Uterotonika (Oksitosin 10 U)
Manajemen Aktif kala III mencegah terjadinya perdarahan post partum dan atonia uteri.
Hasil penelitian dari RCT tahun 2001 yang melibatkan 3000 orang wanita adalah oksitosin
profilaksis berhungan dengan pengurangan resiko perdarahan post partum sebayak 50 %
dibandingkan wanita yang tidak diberikan uterotonika oksitosin. Oksitosin merupakan
pilihan utama uterotonika karena sangat efisien dan sedikit efek samping.

b. Penegangan Tali Pusat Terkendali (PTT)


Penegangan Tali Pusat Terkendali (PTT) merupakan suatu tindakan yang membantu
pelepasan dan kelahiran plasenta. Prinsipnya adalah melakukan penegangan secara lembut
ditali pusat,tetapi dengan tekanan yang terkendali. Sejauh ini belum ada yang menyatakan
bahwa PTT berhubungan dengan perdarahan post partum. PTT bisa berhasil jika
dikombinasi dengan langkah pemberian oksitosin karena merupakan sebuah rangkaian
tindakan dari Manajemen Aktif Kala III.

c. Massase Uterus
Massase uterus dipercaya dapat menstimulasi pengeluaran prostaglandin sehingga terjadi
kontraksi uterus. Pada tahun 2004 ICM dan FIGO menambahkan massase uterus pada
pedoman Manajemen aktif Kala III. Hasil ketentuan dari standar prosedur, pada tiga
intervensi tersebut dapat mengurangi kejadian perdarahan post partum. Dalam sebuah
penelitian yang berjudul “How Effective Are The Components of Active Management of The
Third Stage of Labor” menyatakan terdapat perbedaan yang signifikan dalam mengurangi
pengeluran darah pada ibu yang dilakukan peregangan tali pusat dengan massage uterus
dibandingkan tanpa melakukan massage uterus.

2) Kehamilan Ganda
3) Makrosomia Dikaitkan dengan overdistensi sehingga daya kontraksi
4) Polihidramnion uterus cendrung buruk
5) Riwayat perdarahan yang lalu
6) Episiotomi
Episiotomi dapat menimbulkan kehilangan darah mencapai 200 cc, jika arteri dan vena varikosa
yang besar turut terpotong darah yang yang keluar akan lebih banyak lagi. Apabila hal itu terjadi,
pembuluh darah yang terputus harus segera dijepit dengan menggunakan klem.

6. Bagaimana pengkajian dari kasus di scenario!


Jawab :
-
7. Bagaimana dx keperawatan dari kasus di scenario!
Jawab :
-
8. Bagaimana intervensi keperawatan yg dilakukan?
Jawab :
-
9. Bagaimana cara pencegahan perdarahan post partum?
Jawab :
-

10. Jelaskan tatalaksana dari kasus di scenario!


Jawab :
ALGORITMA PPP
Sumber : Mengenal tanda, gejala, penegakan diagnosis perdarahan postpartum dan manajemen
aktif kala III. Yudianto Budi Saroyo Divisi Fetomaternal Departemen Obstetri & Ginekologi RSUPN
dr. Cipto Mangunkusumo. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Seminar Penanganan
Perdarahan Postpartum Dini, 29-30 Oktober 2010 Yogyakarta. Halaman 12
Sumber : Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Perdarahan Pasca Salin. Perkumpulan Obstetri
Dan Ginekologi Indonesia. Himpunan Kedokteran Feto Maternal. 2016. Halaman 32

ALGORITMA TX ATONIA UTERI


Sumber : Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal Neonatal. Didien Ika Setyarini dan
Suprapti. 2016. Kementerian Kesehatan RI. Pusat Pendidikan SDM Kesehatan. Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan. Halaman 122
OBSERVASI

Sumber : Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Perdarahan Pasca Salin. Perkumpulan Obstetri
Dan Ginekologi Indonesia. Himpunan Kedokteran Feto Maternal. 2016. Halaman 15

11. Jelaskan komplikasi dari kasus di scenario!


Jawab :
-

12. Jelaskan Hubungan lama persalinan dg PPP?


Jawab :
Hubungan Partus Lama dengan Perdarahan Postpartum
Variabel partus lama mempunyai nilai p 0,559, yang artinya tidak ada hubungan yang signifikan
antara partus lama dengan kejadian perdarahan postpartum (jika <0,05  terdapat hubungan yang
signifikan). Hasil penelitian diperoleh bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara partus lama
dengan kejadian perdarahan postpartum. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Nurma
(2009), bahwa tidak ada hubungan antara lama kala I dengan kejadian perdarahan postpartum
primer di RB Mitra Husada Malang.

Partus lama adalah persalinan lebih dari 24 jam pada primigravida dan lebih dari 18 jam pada
multigravida.

Partus lama ditandai dengan partograf yang melewati garis waspada pada kala I fase aktif dan lama
kala II melebihi 2 jam pada primipara dan melebihi 1 jam pada multipara. Pada primipara semua
otot jalan lahir masih kaku dan belum meneran dengan baik, sedangkan pada multipara proses
persalinan pada kala II akan terjadi lebih cepat karena adanya pengalaman persalinan yang lalu dan
disebabkan otot-otot jalan lahir yang lebih lemas. His yang tidak normal dalam kekuatan dan
sifatnya menyebabkan rintangan pada jalan lahir. Terdapat pada setiap persalinan dan tidak
dapat diatasi sehingga persalinan mengalami hambatan atau kemacetan (Wahyuningsih, 2010).
Partus lama baik fase aktif memanjang maupun kala II memanjang menimbulkan efek
terhadap ibu maupun janin. Terdapat kenaikan terhadap insidensi atonia uteri, laserasi
perineum, perdarahan, infeksi, kelelahan ibu dan syok. Angka kelahiran dengan tindakan yang
tinggi semakin memperburuk bahaya bagi ibu (Oxorn dan Forte, 2010)

Sumber : Jurnal Biometrika dan Kependudukan, Vol. 4, No. 2 Desember 2015: 118–124
Hubungan dan Faktor Risiko Partus Lama Riwayat Perdarahan Postpartum dan Berat Bayi Lahir
Besar dengan Kejadian Perdarahan Postpartum Anisa Fitria, Nunik Puspitasari Departemen
Biostatistika dan Kependudukan FKM UNAIR Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.
Halaman 121

13. Jelaskan hubungan bayi besar dg PPP!


Jawab :
Hubungan Berat Bayi Lahir dengan Kejadian Perdarahan

Hasil analisis regresi logistik diperoleh variabel riwayat perdarahan postpartum dan bayi besar
mempunyai hubungan dengan kejadian perdarahan postpartum dengan nilai signifikan <
0,05.Ibu yang melahirkan bayi besar berisiko 19,858 kali lebih besar mengalami perdarahan
postpartum dibandingkan dengan ibu yang tidak melahirkan bayi besar.

Ada dua kategori berat bayi lahir yaitu makrosomi dan non makrosomi. Makrosomi yaitu berat
bayi lahir > 4000 gram dan non makrosomi berat bayi lahir ≤ 4000 gram.

Hasil analisis dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara berat bayi lahir dengan
kejadian perdarahan postpartum. Hasil penelitian Bonnet et al (2013), di Kanada, menjelaskan
bahwa ada hubungan signifikan antara bayi besar (>4000 gram) dengan kejadian perdarahan
postpartum dengan nilai p Value 0,001 dan mempunyai probabilitas 1,68. Artinya seorang ibu
yang melahirkan bayi makrosomi mempunyai peluang 1,68 kali lebih besar mengalami
perdarahan postpartum dari pada ibu yang tidak melahirkan bayi makrosomi. Berdasarkan
teori yang ada, perdarahan postpartum terjadi pada kelahiran dengan berat badan lahir besar, ini
disebabkan karena besarnya janin menyebabkan regangan pada uterus mulai sejak
kehamilan sampai persalinan. Sehingga, menyebabkan kelelahan miometrium dan
terganggunya kontraksi uterus setelah melahirkan dan pada persalinan normal bayi besar
juga bisa menyebabkan ruptur perineum yang merupakan salah satu penyebab perdarahan
postpartum (Prawirohardjo, 2009). Berat bayi lahir yang lebih dari normal atau yang dalam
penelitian ini disebut makrosomia dapat menyebabkan perdarahan postpartum karena uterus
meregang berlebihan dan mengakibatkan lemahnya kontraksi sehingga dapat terjadi perdarahan
postpartum. Kondisi ini karena uterus mengalami overdistensi sehingga mengalami hipotoni atau
atonia uteri setelah persalinan. Adapun beberapa keadaan overdistensi uterus yang juga dapat
menyebabkan atonia uteri yaitu kehamilan ganda dan hidramnion (Cuningham et al, 2005). Akibat
lain dari makrosomia jika dibandingkan dengan panggul ibunya yaitu dapat menyebabkan
trauma lahir pada bayi (perdarahan intrakranial dan distosia bahu) sedangkan pada ibu
(ruptur uteri, serviks, vagina dan robekan perineum) yang dapat pula menyebabkan
perdarahan post partum. Perbedaan sementara antara perdarahan akibat atonia uteri dan akibat
laserasi ditegakkan berdasarkan kondisi uterus. Apabila perdarahan terus berlanjut walaupun
uterus berkontraksi kuat, penyebab perdarahan kemungkinan besar adalah laserasi. Darah yang
keluar berwarna merah segar juga mengisyaratkan adanya laserasi. Untuk memastikan penyebab
perdarahan adalah laserasi maka harus dilakukan inspeksi yang cermat terhadap vagina, serviks
dan uterus (Cuningham et al, 2005). Bonet et al (2013), menambahkan makrosomi adalah masalah
yang meningkat di negara maju, khususnya Amerika Utara. Lahirnya bayi besar terkait dengan
indeks massa tubuh dan penyakit diabetes mellitus. Oleh karena itu pentingnya pemeriksaan
antenatal care saat hamil, agar dapat di deteksi secara dini kemungkinan berat badan janin. Resiko
yang ditimbulkan jika melahirkan bayi besar adalah meningkatnya risiko induksi
persalinan, terjadinya atonia uteri dan persalinan sesar dan kemungkinan perdarahan akan
meningkat juga. Penilaian dini oleh tenaga kesehatan terhadap perkiraan berat janin pada ibu yang
akan bersalin memegang peranan yang cukup penting dalam langkah pencegahan terjadinya
perdarahan postpartum yang disebabkan oleh ruptur perineum dan atonia uteri. Ibu hamil yang
memiliki tafsiran berat badan janin > 4000 gram harus memeriksakan kehamilannya secara teratur
dan melahirkan di tenaga kesehatan yang terampil supaya jika terjadi keluhan dan perdarahan post
partum saat persalinan bisa diatasi dengan tepat (Rochjati, 2003).

Sumber : Jurnal Biometrika dan Kependudukan, Vol. 4, No. 2 Desember 2015: 118–124
Hubungan dan Faktor Risiko Partus Lama Riwayat Perdarahan Postpartum dan Berat Bayi Lahir
Besar dengan Kejadian Perdarahan Postpartum Anisa Fitria, Nunik Puspitasari Departemen
Biostatistika dan Kependudukan FKM UNAIR Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.
Halaman 121-123

14. Bagaimana cara membedakan perdarahan pada persalinan itu gawat atau tidak?
15. Jelaskan hubungan usia kehamilan dg PPP!
16. Bagaimana manajemen kala 3 pada PPP?
17. Bagaimana mekanisme rujukan pada PPP?

Anda mungkin juga menyukai