Anda di halaman 1dari 98

BUKU INFORMASI

MENERAPKAN PRAKTIK KESEHATAN DAN


KESELAMATAN DI TEMPAT KERJA
M.692000.002.02

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN R.I.


DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK DAN TENAGA
KEPENDIDIKAN BIDANG BISNIS DAN MANAJEMEN
DEPOK
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................. 2


BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 4
A. TUJUAN UMUM................................................................................... 4
B. TUJUAN KHUSUS ................................................................................ 4
BAB II MENGIKUTI PROSEDUR KERJA UNTUK MENGIDENTIFIKASI BAHAYA
DAN PENGENDALIAN RISIKO
A. Pengetahuan yang diperlukan dalam Mengikuti Prosedur Kerja untuk
Mengidentifikasi Bahaya dan Pengendalian Risiko ……………………….
1. Definisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja …………………………….
2. Pengertian Bahaya dan Potensi Bahaya …………………………………
3. Sumber Bahaya …………………………………………………………………..
4. Identifikasi Bahaya ………………………………………………………………
5. Penilaian Risiko …………………………………………………………………..
6. Pengendalian Risiko …………………………………………………………….
7. Prosedur Identifikasi Bahaya, Penilaian dan Pengendalian Risiko.
8. Prosedur Kerja dan Instruksi Kerja dalam Pengendalian Risiko ..
9. Prosedur Tempat Kerja yang Berkaitan dengan Kecelakaan,
Api, dan Darurat ……………………………………………………………….
10. Penjagaan Seluruh Area Kerja Tetap Bersih dan Bebas
dari Gangguan ………………………………………………………………….
11. Mengenal Seluruh Pintu Darurat di Tempat Kerja …………………
B. Keterampilan yang Diperlukan dalam Mengikuti Prosedur Kerja untuk
Mengidentifikasi Bahaya dan Pengendalian Risiko .................................
C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam Mengikuti Prosedur Kerja untuk
Mengidentifikasi Bahaya dan Pengendalian Risiko .................................

BAB III BERKONTRIBUSI UNTUK BERPARTISIPASI DALAM PENGATURAN


MANAJEMEN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA.
A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam Berkontribusi untuk Berpartisipasi dalam
Pengaturan Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja
1. Definisi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja …….. .
2. Isu-Isu Kesehatan dan Keselamatan Kerja ………………………………….
3. Peran Kontribusi Perusahaan dalam Manajemen Kesehatan dan
Keselamatan Kerja …………………………………………………………………..
4. Mengidentifikasi Dokumen Kesehatan dan Keselamatan Kerja ………
5. Klarifikasi Kewajiban, Prosedur dan Praktik-Praktik Kesehatan dan
Keselamatan Kerja …………………………………………………………………..
B. Keterampilan yang Diperlukan dalam Berkontribusi untuk Berpartisipasi dalam
Pengaturan Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja ………………..
C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam Berkontribusi untuk Berpartisipasi dalam
Pengaturan Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja ……………….

BAB IV MENERAPKAN PRAKTIK-PRAKTIK KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA


A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam Menerapkan Praktik-Praktik Kesehatan
dan Keselamatan Kerja
1. Prosedur Kesehatan dan Keselamatan Kerja …………………………………
2. Peringatan Bahaya dan Tanda-Tanda Keselamatan ……………………….
3. Teknik-Teknik Penanganan Keselamatan Secara Manual dan Tehnik
Keselamatan Operasi Peralatan Setiap Waktu ……………………………….
4. Prosedur Pertolongan Pertama Secara Darurat …………………………….
5. Situasi yang Secara Potensial Berbahaya, Kegagalan dan Peralatan
Berbahaya ……………………………………………………………………………….
B. Keterampilan yang Diperlukan dalam Menerapkan Praktik-Praktik Kesehatan
dan Keselamatan Kerja ………………………………………………………………….
C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam Menerapkan Praktik-Praktik Kesehatan
dan Keselamatan Kerja ………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 22


A. Buku Referensi .......................................................................... 22
B. Referensi Lainnya ...................................................................... 22
DAFTAR ALAT DAN BAHAN ............................................................................ 23
A. DAFTAR PERALATAN/MESIN ...................................................... 23
B. DAFTAR BAHAN ......................................................................... 23
DAFTAR PENYUSUN ...................................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN

A. TUJUAN UMUM
Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mampu menerapkan praktik
kesehatan dan keselamatan di tempat bekerja.

B. TUJUAN KHUSUS
Adapun tujuan mempelajari unit kompetensi melalui buku informasi menerapkan
praktik kesehatan dan keselamatan di tempat bekerja ini guna memfasilitasi
peserta sehingga pada akhir diklat diharapkan memiliki kemampuan sebagai
berikut:
1. Mengikuti prosedur kerja untuk mengidentifikasi bahaya dan pengendalian
risiko.
2. Berkontribusi untuk berpartisipasi dalam pengaturan manajemen kesehatan
dan keselamatan kerja.
3. Menerapkan praktik-praktik kesehatan dan keselamatan kerja.
BAB II
MENGIKUTI PROSEDUR KERJA UNTUK MENGIDENTIFIKASI BAHAYA
DAN PENGENDALIAN RISIKO

A. Pengetahuan yang diperlukan dalam Mengikuti Prosedur Kerja untuk


Mengidentifikasi Bahaya dan Pengendalian Risiko

1. Definisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Keselamatan kerja dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi di mana karyawan


dalam melaksanakan pekerjaannya dengan terbebas dari kemungkinan terjadinya
kecelakaan sehingga mereka tidak merasa khawatir akan mengalami kecelakaan
(Suparyadi, 2015:384).

Keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat,


alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja dan
lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan (Suma’mur, 1996).

Pengertian lain dari keselamatan kerja adalah merupakan sarana utama untuk
mencegah terjadinya kecelakaan kerja yang dapat menimbulkan kerugian yang
berupa luka/cidera, cacat atau kematian, kerugian harta benda dan kerusakan
peralatan/mesin dan lingkungan secara luas (Tarwaka, 2008).

Keselamatan kerja merupakan tugas semua orang yang berada di perusahaan.


Dengan demikian, keselamatan kerja adalah dari, oleh dan untuk setiap tenaga
kerja dan orang lain yang berada di perusahaan serta masyarakat sekitar
perusahaan yang mungkin terkena dampak akibat suatu proses produksi
industri (suma’mur, 1996).

Sasaran keselamatan kerja adalah segala tempat kerja baik di darat, di dalam
tanah, di permukaan air maupun di udara. Tempat-tempat kerja demikian
tersebar pada segenap kegiatan ekonomi, seperti pertanian, industri,
pertambangan, perhubungan, pekerjaan umum, jasa dan lain-lain. Keselamatan
kerja menyangkut segenap proses produksi dan distribusi, baik barang maupun
jasa (Suma’mur, 1996).

Keselamatan kerja merupakan satu segi penting dari perlindungan tenaga


kerja. Dalam hubungan ini, bahaya yang dapat timbul dari mesin, pesawat, alat
kerja, bahan dan proses pengolahannya, keadaan tempat kerja, lingkungan,
cara melakukan pekerjaan, karakteristik fisik dan mental dari pekerjaannya,
harus sejauh mungkin diberantas dan atau dikendalikan (suma’mur, 1996).

Adapun tujuan keselamatan kerja adalah:

a) Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam melakukan


pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta
produktivitas nasional.
b) Menjamin keselamatan setiap orang yang berada di tempat kerja.
c) Sumber produksi dipeliharan dan dipergunakan secara aman dan efisien
(Suma’mur, 1996).

Selanjutnya kita beralih membahas mengenai pengertian kesehatan kerja.


Kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta
praktiknya yang bertujuan agar pekerja atau masyarakat pekerja memperoleh
derajat kesehatan setingi-tingginya, baik fisik atau mental, maupun social
dengan usaha preventif dan kuratif, terhadap penyakit-penyakit/gangguan-
gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan
kerja, serta terhadap penyakit-penyakit umum (Suma’mur, 1996).

Kesehatan kerja sebagai suatu aspek atau unsur kesehatan yang erat berkaitan
dengan lingkungan kerja dan pekerjaan, yang secara langsung maupun tidak
langsung dapat mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja (Tarwaka,
2008).

Adapun tujuan kesehatan kerja adalah:

a) Sebagai alat untuk mencapai derajat kesehatan tenaga kerja yang setingi-
tingginya.
b) Sebagai alat untuk meningkatkan produksi, yang berlandaskan kepada
meningginya efisiensi dan daya produktivitas factor manusia dalam
produksi (Suma’mur, 1996).

Dari pengertian keselamatan dan kesehatan kerja di atas, selanjutnya kita


dapat mengintegrasikan pengertian keduanya secara terpadu. Definisi
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) umumnya terbagi menjadi 3 (tiga) versi
di antaranya ialah pengertian K3 menurut Filosofi, Keilmuan serta menurut
standar OHSAS 18001:2007.

Berikut adalah pengertian dan definisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
tersebut :

Secara filosofis bahwa keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu


pemikiran dan upaya untuk menjamin keadaan, keutuhan dan kesempurnaan
baik jasmani ataupun rohani manusia serta karya dan budayanya tertuju pada
kesejahteraan manusia pada umumnya dan tenaga kerja pada khususnya
(Suma’mur, 1996).

Sedangkan secara keilmuan, keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu


cabang ilmu pengetahuan dan penerapannya yang mempelajari tentang cara
penanggulangan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja (Suma’mur, 1996).
Dengan kata lain, definisi K3 menurut keilmuan, Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3) adalah semua ilmu dan penerapannya untuk mencegah
terjadinya kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja (PAK), kebakaran, peledakan
dan pencemaran lingkungan.

Keselamatan dan kesehatan kerja secara praktis/hukum merupakan suatu


upaya perlindungan agar tenaga kerja selalu dalam keadaan selamat dan sehat
dalam melakukan pekerjaan di tempat kerja serta begitu pula orang lain yang
memasuki tempat kerja maupun sumber dari proses produksi dapat secara
aman dan efisien dalam pemakaiannya (Suma’mur, 1996).
Definisi K3 menurut OHSAS 18001:2007, Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3) adalah semua kondisi dan faktor yang dapat berdampak pada keselamatan
dan kesehatan kerja tenaga kerja maupun orang lain (kontraktor, pemasok,
pengunjung dan tamu) di tempat kerja.

Ketiga versi pengertian K3 di atas adalah pengertian K3 yang umum (paling


sering) digunakan di antara versi-versi pengertian K3 (Keselamatan dan
Kesehatan Kerja) lainnya.

Adapun tujuan keselamatan dan kesehatan kerja adalah:

a) Agar tenaga kerja dan setiap orang yang berada di tempat kerja selalu
dalam keadaan selamat dan sehat.
b) Agar sumber-sumber produksi dapat diakui dan digunakan secara aman
dan efisien.
c) Agar proses produksi dapat berjalan dengan lancer tanpa hambatan apapun
(Suma’mur, 1996).

Sedangkan sasaran keselamatan dan kesehatan kerja adalah:

a) Mencegah dan mengarungi kecelakaan, bahaya peledakan dan kebakaran.


b) Mencegah dan mengurangi timbulnya penyakit akibat kerja.
c) Mencegah dan mengurangi angka kematian, cacat tetap, dan luka ringan.
d) Mengamankan material bangunan, mesin, pesawat, bahan, alat kerja
lainnya.
e) Meningkatkan produktivitas.
f) Mencegah pemborosan tenaga kerja dan modal
g) Menjamin tempat kerja aman.
h) Memperlancar, meningkatkan, mengamankan sumber, dan proses produksi
(Suma’mur, 1996).
2. Pengertian Bahaya dan Potensi Bahaya
Pengertian (definisi) bahaya ( hazard) ialah semua sumber, situasi ataupun
aktivitas yang berpotensi menimbulkan cedera (kecelakaan kerja) dan
atau penyakit akibat kerja (PAK) - definisi berdasarkan OHSAS 18001:2007 .

Bahaya merupakan suatu kondisi, baik yang ada maupun yang berpotensi,
yang dengan sendirinya atau berinteraksi dengan kondisi lainnya, dapat
menimbulkan kejadian yang tidak diinginkan atau diharapkan seperti
kematian, cidera manusia, kerusakan fasilitas dan hilangnya fasilitas (Budi
Santoso, 1999).

Pengertian lain dari bahaya adalah sesuatu yang berpotensi menyebabkan


kerugian. Menurut Rudi Suardi (2005), bahaya adalah suatu yang berpotensi
menjadi penyebab kerusakan ini mencakup substansi, prosedur dan atau
aspek lainnya dari lingkungan kerja. Kemungkinan suatu bahan yang dalam
kondisi tertentu bisa menyebabkan kerugian pada makhluk hidup
(Pamapersada Nusantara, 1999).

Hazard adalah sumber atau situasi yang mempunyai daya potensial untuk
mengakibatkan cidera atau gangguan kesehatan, kerusakan alat, kerusakan
lingkungan tempat kerja atau kombinasi dari hal-hal tersebut (Cross Jane,
1998).

Menurut Depnaker RI (1996), potensi bahaya adalah suatu keadaan yang


memungkinkan atau dapat menimbulkan kecelakaan atau kerugian berupa
cidera, penyakit, kerusakan atau kemampuan untuk melaksanakan fungsi
yang telah ditetapkan.

Pengertian lain dari potensi bahaya ( hazard) adalah sesuatu yang berpotensi
menyebabkan terjadinya kerugian, kerusakan, cedera, sakit, kecelakaan atau
bahkan dapat mengakibatkan kerusakan dan kerugian (Tarwaka, 2008).
Setiap proses produksi, peralatan/mesin, dan tempat kerja yang digunakan
untuk menghasilkan suatu produk selalu mengandung potensi bahaya
tertentu yang jika tidak mendapatkan perhatian khusus dapat menimbulkan
kecelakaan kerja. Potensi bahaya yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja
dapat berasal dari berbagai kegiatan atau aktivitas dalam pelaksanaan
proses atau juga berasal dari luar proses. Potensi bahaya dapat
mengakibatkan kerusakan dan kerugian kepada:
a) Manusia, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung terhadap
pekerjaan.
b) Properti termasuk peralatan kerja dan mesin-mesin.
c) Lingkungan, baik lingkungan di dalam perusahaan maupun lingkungan di
luar perusahaan.
d) Kualitas produk barang dan jasa.
e) Nama baik perusahaan (Company’s Public Image ).

Menurut Tarwaka (2008) hazard atau potensi bahaya dapat dikelompokkan


berdasarkan kategori-kategori umum atau dapat juga disebut sebagai energy
potensi bahaya sebagai berikut:
a) Potensi bahaya dari bahan-bahan berbahaya (Hazardous Substances ).
b) Potensi bahaya udara bertekanan ( Pressure Hazard).
c) Potensi bahaya udara panas ( Thermal Hazard).
d) Potensi bahaya kelistrikan (Electrical Hazard).
e) Potensi bahaya mekanik ( Mechanical Hazard).
f) Potensi bahaya gravitasi dan aselerasi (Gravitational and Accelerational
Hazard).
g) Potensi bahaya radiasi ( Radiation Hazard).
h) Potensi bahaya mikrobiologi ( Microbiological Hazard).
i) Potensi bahaya kebisingan dan vibrasi ( Vibration and Noise Hazard ).
j) Potensi bahaya ergonomic ( Hazard Relating to Human Factor ).
k) Potensi bahaya lingkungan kerja ( Environmental Hazard).
l) Potensi bahaya yang berhubungan dengan kualitas produk dan jasa,
proses produksi, properti, image public, dan lain-lain.
3. Sumber Bahaya
Kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat menimbulkan kerugian, baik
kerugian langsung maupun kerugian tidak langsung. Kerugian ini bisa dikurangi
jika kecelakaan dan penyakit akibat kerja dicegah dengan cara dideteksi
sumber-sumber bahaya yang mengakibatkan kecelakaan dan penyakit akibat
kerja tersebut. Menurut Syukri Sahab (1997), sumber bahaya ini bisa berasal
dari:
a) Manusia
Manusia, termasuk pekerja dan manajemen. Kesalahan utama sebagian besar
kecelakaan, kerugian, dan kerusakan terletak pada karyawan yang kurang
bergairah, kurang terampil, kurang tepat, terganggu emosinya yang pada
umumnya menyebabkan kecelakaan dan kerugian (Bennet N.B Silalahi dan
Rumondang B. Silalahi, 1995). Selain itu apa yang diterima atau gagal diterima
melalui pendidikan, motivasi, serta penggunaan peralatan kerja berkaitan
langsung dengan sikap pimpinan (Freeport, 1995).

b) Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam suatu proses dapat menimbulkan bahaya jika
tidak digunakan sesuai dengan funsginya, tidak adanya latihan penggunaan
alat tersebut, tidak dilengkapi dengan pelindung dan pengaman serta tidak ada
perawatan dan pemeriksaan. Perawatan atau pemeriksaan dilakukan agar
bagian dari mesin atau alat yang berbahaya dapat dideteksi seini mungkin
(Syukri Sahab, 1997).

c) Bahan
Bahaya dari bahan meliputi berbagai risiko sesuai dengan sifat bahan antara
lain mudah terbakar, mudah meledak, menimbulkan alergi, menimbulkan
kerusakan pada kulit dan jaringan tubuh, menyebabkan kanker, mengakibatkan
kelainan pada janin, bersifat racun dan radio aktif.
d) Proses
Bahaya dari proses sangat bervariasi tergantung teknologi yang digunakan.
Industri kimia biasanya menggunakan proses yang berbahaya, dalam prosesnya
digunakan suhu, tekanan yang tinggi dan bahan kimia berbahaya yang
memperbesar risiko bahayanya. Dari proses ini kadang-kadang timbul asap,
debu, panas, bising, dan bahaya mekanis seperti terjepit, terpotong, atau
tertimpa bahan. Hal ini dapat mengakibatkan kecelakaan atau penyakit akibat
kerja. Tingkat bahaya dari proses ini tergantung pada teknologi yang digunakan
(Syukri Sahab, 1997).

e) Cara Kerja
Bahaya dari cara kerja dapat membahayakan karyawan itu sendiri dan orang
lain di sekitarnya. Cara kerja yang demikian antara lain: cara kerja yang
mengakibatkan hamburan debu dan serbuk logam, percikan api serta
tumpahan bahan berbahaya. Cara mengangkat dan mengangkut yang salah
mengakibatkan cedera, memakai alat pelindung diri yang tidak semestinya dan
cara memakai yang salah.

f) Bangunan, Peralatan dan Instalasi


Bahaya dari bangunan, peralatan dan instalasi perlu mendapat perhatian.
Konstruksi bangunan harus kokoh dan memenuhi syarat. Desain ruangan dan
tempat kerja harus menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja.
Pencahayaan dan ventilasi harus baik, tersedia penerangan darurat, marka dan
rambu yang jelas dan tersedia jalan penyelamatan diri. Instalasi harus
memenuhi persyaratan keselamatan kerja, baik dalam desain maupun
konstruksinya. Dalam industri juga digunakan berbagai peralatan yang
mengandung bahaya, yang bila tidak dilengkapi dengan alat pelindung dan
pengaman bisa menimbulkan bahaya seperti kebakaran, sengatan listrik,
ledakan, luka-luka atau cedera.
g) Lingkungan
Bahaya dari lingkungan kerja dapat digolongkan atas berbagai jenis bahaya
yang dapat mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan dan penyakit akibat
kerja serta penurunan produktivitas dan efisiensi kerja. Bahaya tersebut
adalah:
 Faktor Lingkungan Fisik. Bahaya yang bersifat fisik seperti ruangan yang
terlalu dingin, bising, kurang penerangan, getaran yang berlebihan dan
radiasi.
 Faktor Lingkungan Kimia. Bahaya yang bersifat yang berasal dari bahan-
bahan yang digunakan maupun bahan yang dihasilkan selama produksi.
Bahan ini berhamburan ke lingkungan karena cara kerja yang salah,
kerusakan atau kebocoran dari peralatan atau instalasi yang digunakan
dalam proses.
 Faktor Lingkungan Biologik. Bahaya biologi disebabkan oleh jasad renik,
gangguan dari serangga maupun dari binatang lainnya yang ada di tempat
kerja.
 Faktor Faal Kerja atau Ergonomi. Gangguan yang bersifat faal karena beban
kerja yang terlalu berat, peralatan yang digunakan tidak serasi.
 Faktor Psikologik. Gangguan jiwa dapat terjadi karena keadaan lingkungan
sosial tempat kerja yang tidak sesuai dan menimbulkan ketegangan jiwa
pada karyawan, seperti hubungan atasan dan bawahan yang tidak serasi.

Menurut Bennett N.B. Silalahi dan Rumandaong B. Silalahi (1995), keadaan


lingkungan yang dapat merupakan keadaan berbahaya antara lain:
a) Suhu dan kelembaban udara.
b) Kebersihan udara.
c) Penerapan dan kuat cahaya.
d) Kekuatan bunyi.
e) Cara dan proses kerja.
f) Udara, gas-gas bertekanan.
g) Keadaan lingkungan setempat.
h) Keadaan mesin-mesin, perlengkapan dan peralatan kerja serta bahan-
bahan.

4. Identifikasi Bahaya

Identifikasi Bahaya, Penilaian Risiko dan Pengendalian Risiko merupakan salah


satu syarat elemen Sistem Manajemen Keselamatan Kerja (OHSAS 18001:2007
klausul 4.3.1).

Identifikasi bahaya merupakan suatu proses yang dapat dilakukan untuk


mengenali seluruh situasi atau kejadian yang berpotensi sebagai penyebab
terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang mungkin timbul di tempat
kerja (Tarwaka, 2008).

Sedangkan menurut Pamapersada Nusantara (1999) identifikasi bahaya adalah


proses pencarian terhadap bahaya yang ada pada semua jenis kegiatan, situasi,
produk dan jasa yang dapat menimbulkan potensi cedera ataupun sakit.

Identifikasi bahaya merupakan tindakan awal dari suatu sistem manajemen


pengendalian risiko yang merupakan suatu cara untuk mencari dan mengenali
terhadap semua jenis kegiatan, alat, produk dan jasa yang dapat menimbulkan
potensi cedera atau sakit yang bertujuan dalam upaya mengurangi dampak
negatif risiko yang dapat mengakibatkan kerugian asset perusahaan, baik
berupa manusia sebagai tenaga kerja, material, mesin, hasil produksi, maupun
financial (slamet Ichsan, 2004).

Proses identifikasi hazard atau potensi bahaya antara lain, yaitu:


a) Membuat daftar semua objek (mesin, peralatan kerja, bahan, proses kerja,
sistem kerja, kondisi kerja, dan lain-lain) yang ada di tempat kerja.
b) Memeriksa semua objek yang ada di tempat kerja dan sekitarnya.
c) Melakukan wawancara dengan tenaga kerja yang bekerja di tempat kerja
yang berhubungan dengan objek-objek tersebut.
d) Mereview kecelakaan, catatan P3K dan informasi lainnya.
e) Mencatat seluruh hazard yang telah diidentifikasi (Tarwaka, 2008).

Identifikasi Bahaya dilaksanakan guna menentukan rencana penerapan


Kesehatan dam Keselamatan Kerja (K3) di lingkungan Perusahaan.
Identifikasi bahaya termasuk di dalamnya ialah identifikasi aspek dampak
lingkungan operasional perusahaan terhadap alam dan penduduk sekitar di
wilayah Perusahaan menyangkut beberapa elemen seperti tanah, air, udara,
sumber daya energi serta sumber daya alam lainnya termasuk aspek flora dan
fauna di lingkungan perusahaan.

Identifikasi bahaya dilakukan terhadap seluruh aktivitas operasional perusahaan


di tempat kerja meliputi :

a) Aktivitas kerja rutin maupun non-rutin di tempat kerja.


b) Aktivitas semua pihak yang memasuki termpat kerja termasuk kontraktor,
pemasok, pengunjung dan tamu.
c) Budaya manusia, kemampuan manusia dan faktor manusia lainnya.
d) Bahaya dari luar lingkungan tempat kerja yang dapat
mengganggu keselamatan dan kesehatan kerja tenaga kerja yang berada di
tempat kerja.
e) Infrastruktur, perlengkapan dan bahan (material) di tempat kerja baik yang
disediakan Perusahaan maupun pihak lain yang berhubungan dengan
Perusahaan.
f) Perubahan atau usulan perubahan yang berkaitan dengan aktivitas maupun
bahan/material yang digunakan.
g) Perubahan Sistem Manajemen K3 termasuk perubahan yang bersifat
sementara dan dampaknya terhadap operasi, proses dan aktivitas kerja.
h) Penerapan peraturan perundang-undangan dan persyaratan lain yang
berlaku.
i) Desain tempat kerja, proses, instalasi mesin/peralatan, prosedur operasional,
struktur organisasi termasuk penerapannya terhadap kemampuan manusia.
Identifikasi bahaya yang dilaksanakan memperhatikan faktor-faktor bahaya
sebagai berikut :

a) Biologi (jamur, virus, bakteri, mikroorganisme, tanaman, binatang).


b) Kimia (bahan/material/gas/uap/debu/cairan beracun, berbahaya, mudah
meledak/menyala/terbakar, korosif, iritan, bertekanan, reaktif, radioaktif,
oksidator, penyebab kanker, bahaya pernafasan, membahayakan
lingkungan, dsb).
c) Fisik/Mekanik (infrastruktur, mesin/alat/perlengkapan/kendaraan/alat berat,
ketinggian, tekanan, suhu, ruang terbatas/terkurung, cahaya, listrik, radiasi,
kebisingan, getaran dan ventilasi).
d) Biomekanik (postur/posisi kerja, pengangkutan manual, gerakan berulang
serta ergonomi tempat kerja/alat/mesin).
e) Psikis/Sosial (berlebihnya beban kerja, komunikasi, pengendalian
manajemen, lingkungan sosial tempat kerja, kekerasan dan intimidasi).
f) Dampak Lingkungan (air, tanah, udara, ambien, sumber daya energi, sumber
daya alam, flora dan fauna).

5. Penilaian Risiko
Menurut Tarwaka (2008) risiko adalah suatu kemungkinan terjadinya
kecelakaan atau kerugian pada periode waktu tertentu atau siklus operasi
tertentu.

Sedangkan tingkat risiko merupakan perkalian antara tingkat kekerapan


(probability) dan keparahan (concequensce/severity) dari suatu kejadian yang
dapat menyebabkan krerugian, kecelakaan atau cedera sakit yang mungkin
timbul dari pemaparan suatu hazard di tempat kerja. Menurut Widodo
Siswowardodjo (2007), tingkat risiko adalah perhitungan antara konsekuensi
atau dampak yang mungkin timbul dan probabilitas.

Menurut Permenaker PER 05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen


Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lampiran I mengenai Pedoman Penerapan
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja bahwa penilaian risiko
adalah proses untuk menentukan prioritas pengendalian terhadap tingkat risiko
kecelakaan atau penyakit akibat kerja.

Penilaian risiko adalah pelaksanaan metode-metode untuk menganalisa tingkat


risiko, mempertimbangkan risiko tersebut dalam tingkat bahaya ( danger) dan
mengevaluasi apakah sumber bahaya itu dapat dikendalikan secara memadai
serta mengambil langkah-langkah yang tepat (Widodo Siswowardodjo, 2007).

Besarnya nilai risiko yang diperoleh digunakan sebagai dasar dalam melakukan
tindakan perbaikan untuk mencegah kecelakaan kerja yang sama terulang dan
untuk mengetahui bahaya yang harus mendapat perhatian lebih dahulu. Hasil
analisis potensi bahaya dapat dimanfaatkan antara lain sebagai berikut:

a) Evaluasi sejauh mana diperlukan perubahan mesin atau peralatan yang jadi
objek analisa serta perbaikan desain teknik.
b) Perbaikan metode kerja.
c) Mempersiapkan instruksi kerja.
d) Mempersiapkan peraturan keselamatan kerja atau panduan untuk objek
yang diteliti (Syukri Sahab, 1997).

Dalam melakukan penilaian risiko harus dilakukan secara sistematis dan


terencana dengan mengikuti tahapan-tahapan proses penilaian risiko. Proses
penilaian risiko ini dilakukan untuk menilai tingkat risiko kecelakaan atau cedera
dan sakit dan merupakan proses kelanjutan dari proses identifikasi hazard.
Proses penilaian risiko tersebut antara lain, yaitu:

a) Tingkat Kekerapan (probability)


Tingkat kekerapan atau keseringan terjadinya kecelakaan atau sakit akibat
kerja, harus mempertimbangkan tentang berapa sering dan berapa lama
seorang tenaga kerja terpapar potensi bahaya. Dengan demikian dapat dibuat
keputusan tentang tingkat kekerapan kecelakaan atau sakit yang terjadi untuk
setiap potensi bahaya yang diidentifikasi. Integritas dan efektivitas tindakan
pengendalian risiko perlu disertakan pada saat mempertimbangkan kekerapan
atau kemungkinan. Kategori tingkat kekerapan atau kemungkinan tergantung
dari kebutuhan perusahaan mulai dari tingkat kemungkinan kecil sekali sampai
tingkat kemungkinan yang besar.

b) Tingkat Keparahan (concequence/severity)


Setelah diketahui tingkat kekerapan kecelakaan atau sakit yang terjadi,
selanjutnya harus dibuat keputusan tentang seberapa parah kecelakaan atau
sakit yang mungkin terjadi. Penentuan tingkat keparahan dari suatu kecelakaan
juga memerlukan suatu pertimbangan tentang berapa banyak orang yang ikut
terkena dampak akibat kecelakaan dan bagian-bagian tubuh mana saja yang
dapat terpapar potensi bahaya. Kateogori tingkat keparahan tergantung dari
perusahaan mulai dari tingkat keparahan kecil sekali sampai dengan tingkat
keparahan yang sangat besar.
c) Tingkat Risiko
Setelah dilakukan penaksiran terhadap tingkat kekerapan dan keparahan
terjadinya kecelakaan atau penyakit yang mungkin timbul, selanjutnya dapat
ditentukan tingkat risiko dari masing-masing hazard yang telah diidentifikasi
dan dinilai.

d) Prioritas Risiko

Setelah dilakukan penentuan tingkat risiko, selanjutnya harus dibuat skala


prioritas risiko untuk setiap potensi bahaya yang diidentifikasi dalam upaya
menyusun rencana pengendalian risiko.

6. Pengendalian Risiko
Pengendalian merupakan metode untuk menurunkan tingkat faktor bahaya dan
potensi bahaya sehingga tidak membahayakan. Apabila suatu risiko terhadap
kecelakaan dan penyakit akibat kerja telah diidentifikasi dan dinilai, maka
pengendalian risiko harus diimplementasikan untuk mengurangi risiko sampai
batas-batas yang dapat diterima berdasarkan ketentuan, peraturan dan standar
yang berlaku.
Di dalam memperkenalkan suatu sarana pengendalian risiko, harus
mempertimbangkan apakah sarana pengendalian risiko tersebut dapat
diterapkan dan dapat memberikan manfaat kepada masing-masing tenaga
kerjanya. Cara pengendalian yang dapat dilakukan antara lain:

a) Pengendalian Langsung pada Sumber Bahaya, misalnya:


 Eliminasi, upaya menghilangkan bahaya yang ada secara langsung.
 Substitusi, mengganti bahan yang memiliki potensi risiko tinggi dengan
bahan yang potensi risikonya rendah.
 Isolasi, pemisahan bahaya dari manusia agar tidak terjadi kontak
langsung.

b) Pengendalian pada Lingkungan:

 Lay out (tata ruang) dan house keeping.


 Ventilasi keluar setempat.
 Ventilasi umum untuk memasukkan udara segar dari luar.
 Mengatur antara jarak sumber bahaya dengan tenaga kerja.

c) Pengendalian pada Tenaga Kerja


Pengendalian risiko terhadap tenaga kerja dapat dilakukan dengan cara:
 Mutasi tenaga kerja.
 Peningkatan kesadaran K3 di kalangan karyawan.

Menurut Bennet N.B. Silalahi dan Rumandang B. Silalahi (1995) bahwa pokok
peningkatan kesadaran K3 di kalangan karyawan adalah:
a) Pengertian, pelatihan, penyuluhan, dan motivasi pekerja.
b) Contoh kerja.
c) Teladan kerja.
d) Dasar keselamatan kerja.
e) Pelaksanaan kerja.
f) Tanggung jawab kerja.
g) Keinsyafan.
h) Pengamatan lingkungan.
i) Kebiasaan/perilaku.
 Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) yang baik dan benar.
Ketentuan APD sebagai berikut:
a) Memberi perlindungan adekuat terhadap bahaya yang spesifik.
b) Berat alat seringan mungkin.
c) Dipakai secara fleksibel.
d) Bentuk menarik.
e) Tahan lama.
f) Memenuhi standar.
g) Tidak menimbulkan bahaya tambahan karena salah penggunaan.
h) Tidak membatasi gerakan dan persepsi sensoris pemakai.
i) Suku cadang mudah didapat (A. Siswanto, 1983).

Pengendalian risiko didasarkan pada hierarki sebagai berikut :


a) Eliminasi (menghilangkan sumber/aktivitas berbahaya).
b) Substitusi (mengganti sumber/alat/mesin/bahan/material/aktivitas/area
yang lebih aman).
c) Perancangan (modifikasi/instalasisumber/alat/mesin/bahan/material/aktivits/
area supaya menjadi aman).
d) Administrasi (penerapan prosedur/aturan kerja, pelatihan dan pengendalian
visual di tempat kerja).
e) Alat Pelindung Diri (penyediaan alat pelindung diri bagi tenaga kerja dengan
paparan bahaya/risiko tinggi).

Keseluruhan identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko


didokumentasikan dan diperbarui sebagai acuan rencana penerapan K3 di
lingkungan perusahaan.
7. Prosedur Identifikasi Bahaya, Penilaian dan Pengendalian Risiko

Prosedur Identifikasi Bahaya, Penilaian dan Pengendalian Risiko K3 merupakan


sebuah prosedur yang wajib disusun untuk memenuhi kriteria OHSAS
180001:2007 klausul 4.3.1. Hazard Identification, Risk Assessment and
Determining Control.

Prosedur ini merupakan langkah awal dari perencanaan Sistem Manajemen


Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di tempat kerja. Dari hasil identifikasi
bahaya, penilaian risiko dan pengendalian risiko K3 dapat ditentukan langkah-
langkah lanjutan yang diperlukan untuk membangun SMK3 di tempat kerja.

Secara umum prosedur identifikasi bahaya, penilaian risiko dan pengendalian


risiko K3 meliputi hal sebagai berikut :

a. Pengumpulan data :
 Denah/Peta Lokasi Perusahaan.
 Kebijkan K3.
 Struktur Organisasi Perusahaan.
 Diagram Alir Proses.
 Prosedur, Instruksi Kerja serta peralatan yang digunakan.
 Komposisi Tenaga Kerja.
 Daftar Fasilitas Umum dan Fasilitas Penunjang Operasional Perusahaan.
 Daftar mesin tenaga dan produksi.
 Daftar pesawat uap dan bejana tekan yang digunakan
 Daftar alat berat dan kendaraan operasional yang digunakan.
 Daftar bahan baku.
 Daftar produk.
 Daftar sampah, limbah dan emisi yang dihasilkan.
 Laporan Insiden sebelumnya.
 Masukan/informasi dari tenaga kerja ataupun pihak ke-3 di luar
Perusahaan.
 Aktivitas keamanan, lalu-lintas, lingkungan dan situasi darurat.
 Perizinan, Perundang-undangan dan kontrak dengan pihak ke tiga.
 Daftar pihak lain yang beraktivitas di wilayah Perusahaan.
 Perubahan Manajemen, dsj.

b. Melaksanakan observasi lapangan.


c. Melaksanakan identifikasi bahaya berdasarkan 5 faktor bahaya di tempat
kerja.
d. Melaksanakan penialaian risiko berdasarkan matriks risiko.
e. Menentukan pengendalian risiko berdasarkan 5 hierarki pengendalian
risiko/bahaya K3.
f. Melaporkan hasil identifikasi bahaya, penilaian risiko dan pengendalian
risiko kepada pimpinan perusahaan.
Diagram alir Prosedur Identifikasi Bahaya, Penilaian Risiko dan Pengendalian
Risiko:
8. Prosedur Kerja dan Instruksi Kerja dalam Pengendalian Risiko

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (2008:1106) prosedur


diartikan sebagai: (1) tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas; (2)
metode langkah demi langkah secara pasti dalam memecahkan suatu masalah.
Berikut arti prosedur menurut para ahli:
a. Menurut Muhammad Ali (2000 : 325) “Prosedur adalah tata cara kerja atau
cara menjalankan suatu pekerjaan” ( Yahya Mubbir, 2014).
b. Menurut Amin Widjaja (1995 : 83) “Prosedur adalah sekumpulan bagian
yang saling berkaitan misalnya : orang, jaringan gudang yang harus dilayani
dengan cara yang tertentu oleh sejumlah pabrik dan pada gilirannya akan
mengirimkan pelanggan menurut proses tertentu” (Yahya Mubbir, 2014).
c. Menurut Kamaruddin (1992 : 836 – 837) “Prosedur pada dasarnya adalah
suatu susunan yang teratur dari kegiatan yang berhubungan satu sama
lainnya dan prosedur-prosedur yang berkaitan melaksanakan dan
memudahkan kegiatan utama dari suatu organisasi” (Yahya Mubbir, 2014).
d. Menurut Ismail masya (1994 : 74) mengatakan bahwa “Prosedur adalah
suatu rangkaian tugas-tugas yang saling berhubungan yang merupakan
urutan-urutan menurut waktu dan tata cara tertentu untuk melaksanakan
suatu pekerjaan yang dilaksanakan berulang-ulang” (dalam Yahya Mubbir,
2014).
e. Menurut ISO 9001; 2000, Prosedur Kerja adalah pedoman kerja berisi
mekanisme dan urutan/proses kerja dari suatu kegiatan/aktifitas pada satu
unit dalam rangka menunjang penerapan sistem manjemen mutu(Van
Houten, 2000).

Dari beberapa definisi tersebut, dapat kita simpulkan bahwa prosedur merupakan
tahapan yang dilakukan dari berbagai kegiatan pada suatu operasi tertentu
berdasarkan urutan waktu dan tata cara tertentu yang telah ditetapkan secara
berulang-ulang .

Manfaat prosedur kerja K3 ini tidak hanya berdampak pada karayawan akan
tetapi juga berdapak pada perusahaan itu sendiri. Berikut ini manfaat yang bisa
diambil jika perusahaan itu menerapkan prosedur kerja K3.
a. Pekerja merasa aman melakukan pekerjaannya dan perusahaan juga
diuntungkan karena tidak harus mengeluarkan biaya penyembuhan terhadap
karyawan yang celaka akbit kerja.
b. Hemat waktu-karena kawayan tidak harus berpikir panjang dan hanya
mengikuti prosedur yang telah diterapkan.
Sebenarnya masih banyak manfaat yang bisa didapatkan baik itu oleh
perusahaan atau pun karyawan dengan adanya prosedur kerja K3 yang jelas.

Sedangkan untuk instruksi kerja, menurut ISO 9001; 2000 Instruksi Kerja adalah
dokumen mekanisme kerja yang mengatur secara rinci dan jelas urutan suatu
aktifitas yang hanya melibatkan satu fungsi saja sebagai pendukung Prosedur
Mutu atau Prosedur Kerja.

Secara prinsip instruksi kerja menguraikan bagaimana satu langkah dalam suatu
prosedur dilakukan. Terkadang penulisan prosedur sangat panjang sehingga
tidak rinci penguraiannya sehingga memerlukan penjelasan yang lebih detail dan
rinci dengan menggunakan instruksi kerja. Namun terkait pembuatan instruksi
kerja masih terdapat perdebatan, instruksi kerja dibuat untuk menjelaskan
bagian dari prosedur secara rinci namun juga terdapat juga beberapa pendapat
ahli yang mengatakan bahwa instruksi kerja dapat dibuat apabila belum ada
prosedur standar yang dibuat. Namun dalam hal ini penulis termasuk yang
mendukung bahwa instruksi kerja merupakan bagian dari prosedur. Apabila
belum ada prosedurnya, maka tentunya perlu dibuat terlebih dahulu. Tidak
semua prosedur memerlukan instruksi kerja. Apabila prosedur sudah cukup jelas
menggambarkan proses maka tentunya tidak diperlukan instruksi kerja.

Sebagaimana halnya pengertian prosedur kerja yang di bahas di atas, di sini


penulis coba mendefinisikan tentang prosedur kerja K3 yang merupakan cara
untuk melakukan pekerjaan mulai awal hingga akhir yang didahului dengan
penilaian risiko terhadap pekerjaan tersebut yang mencakup keselamatan dan
kesehatan terhadap karyawan.

Kita pernah melihat suatu pekerjaan itu diselesaikan tetapi kecelakaan masih
juga terjadi. Setelah di investigasi ternyata pekerja tersebut telah mengikuti
prosedur kerja yang diberikan oleh perusahaan. Setelah ditemukan akar
permasalahannya, ternyata prosedur kerja yang disosialisasikan tidak
mempertimbangkan segi keselamatannya sehingga kecelakaan pun terjadi.

Disinilah pentingnya pembuatan prosedur kerja K3 yang didasari oleh penilaian


risiko baik itu risiko cidera, sakit akibat kerja, kerusakan peralatan dan
lingkungan.

Perusahaan menerapkan pengendalian operasi yang diperlukan untuk mengelola


risiko-risiko terkait bahaya-bahaya K3 di tempat kerja serta untuk memenuhi
peraturan perundang-undangan dan persyaratan lainnya terkait dengan
penerapan K3 di tempat kerja.

Keseluruhan pengendalian operasi bertujuan untuk mengelola risiko-risiko K3


untuk memenuhi Kebijakan K3 Perusahaan.
Prioritas pengendalian operasi ditujukan pada pilihan pengendalian yang memiliki
tingkat kehandalan tinggi selaras dengan hierarki pengendalian risiko/bahaya K3
di tempat kerja.

Pengendalian operasi akan diterapkan dan dievaluasi secara bersamaan untuk


mengetahui tingkat keefektifan dari pengendalian operasi serta terintegrasi
(tergabung) dengan keseluruhan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Perusahaan.

Beberapa pengendalian operasi K3 Perusahaan mencakup antara lain:


a. Umum :
 Perawatan dan perbaikan fasilitas/mesin/alat reguler.
 Kebersihan dan perawatan tempat kerja.
 Pengaturan lalu lintas manusia/barang, dsb.
 Pemasokan dan Perawatan Fasilitas Kerja/Fasilitas Umum.
 Perawatan suhu lingkungan kerja.
 Perawatan sistem ventilasi dan sistem instalasi listrik.
 Perawatan sarana tanggap darurat.
 Kebijakan terkait dinas luar, intimidasi, pelecehan, penggunaan obat-
obatan dan alkohol.
 Program-program kesehatan dan pengobatan umum.
 Program pelatihan dan pengembangan pengetahuan.
Pengendalian akses tempat kerja.

b. Pekerjaan Bahaya Tinggi :


 Penggunaan prosedur, instruksi kerja dan cara kerja aman.
 Penggunaan peralatan/mesin yang tepat.
 Sertifikasi pelatihan tenaga kerja keahlian khusus.
 Penggunaan izin kerja.
 Prosedur pengendalian akses keluar masuk tenaga kerja di tempat kerja
bahaya tinggi.
 Pengendalian untuk pencegahan penyakit akibat kerja.
c. Penggunaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) :

 Pembatasan area-area penggunaan bahan berbahaya dan beracun (B3) di


tempat kerja.
 Pengamanan pemasokan dan pengendalian akses keluar masuk
penyimpanan bahan berbahaya dan beracun (B3).
 Barikade sumber radiasi.
 Isolasi pencemaran biologis.
 Pengetahuan penggunaan dan ketersediaan perlengkapan darurat.

d. Pembelian Barang, Peralatan dan Jasa :


 Menyusun persyaratan pembelian barang, peralatan dan jasa.
 Komunikasi persyaratan pembelian barang kepada pemasok.
 Persyaratan transportasi/pengiriman bahan berbahaya dan beracun (B3).
 Seleksi dan penilaian pemasok.
 Pemeriksaan penerimaan barang/peralatan/jasa.

e. Kontraktor :
 Kriteria pemilihan kontraktor.
 Komunikasi persyaratan kepada kontraktor.
 Evaluasi dan penilaian kinerja K3 berkala.

f. Tamu, Pengunjung dan Pihak Luar :


 Pengendalian akses masuk.
 Pengetahuan dan kemampuan mengenai izin penggunaan
peralatan/perlengkapan/mesin/material di tempat kerja.
 Penyediaan pelatihan/induksi yang diperlukan.
 Pengendalian administratif rambu dan tanda bahaya di tempat kerja.
 Cara pemantauan perilaku dan pengawasan aktivitas di tempat kerja.

Penetapan kriteria operasi K3 Perusahaan mencakup beberapa hal sebagai


berikut :
a. Pekerjaan Bahaya Tinggi :
 Penggunaan peralatan/perlengkapan yang telah ditentukan beserta
prosedur/instuksi kerja penggunaannya.
 Persyaratan kompetensi keahlian.
 Petunjuk individu mengenai penilaian risiko terhadap kejadian yang muncul
tiba-tiba dalam pekerjaan.

b. Penggunaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) :


 Daftar bahan berbahaya dan beracun (B3) yang disetujui.
 Penentuan Nilai Ambang Batas (NAB).
 Penentuan Nilai Ambang Kuantitas (NAK).
 Penentuan lokasi dan kondisi penyimpanan.

c. Area Kerja Bahaya Tinggi :


 Penentuan APD (Alat Pelindung Diri).
 Penentuan persyaratan masuk.
 Penentuan persyaratan kondisi kesehatan/kebugaran.

d. Kontraktor :
 Persyaratan kriteria kinerja K3.
 Persyaratan pelatihan maupun kompetensi keahlian terhadap personel di
bawah kendali kontraktor.
 Persyaratan pemeriksaan peralatan/ perlengkapan/ bahan/ material
kontraktor.

e. Tamu, Pengunjung dan Pihak Luar :


 Pengendalian dan pembatasan akses masuk dan akses keluar tempat
kerja.
 Persyaratan APD (Alat Pelindung Diri).
 Induksi K3.
 Persyaratan tanggap darurat.
9. Prosedur Tempat Kerja yang Berkaitan dengan Kecelakaan, Api,
dan Darurat

a) Kecelakaan Kerja
Kecelakaan kerja merupakan suatu kejadian yang jelas tidak dikehendaki dan
seringkali tidak terduga semula yang dapat menimbulkan kerugian baik waktu,
harta benda atau property maupun korban jiwa yang terjadi di dalam suatu
proses kerja atau yang berkaitan dengannya.

Kecelakaan kerja adalah kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak diduga,
kapan dan di mana yang dapat menimbulkan cedera fisik terhadap orang, dan
atau kerusakan atau kerugian harta benda atau kerusakan atau pencemaran
lingkungan (PT. United Tractors Tbk., 2010).

Kecelakaan terjadi oleh karena adanya kontak dengan suatu sumber energi
atau bahan baku yang melampaui NAB dari bahan atau struktur. Sumber energi
ini dapat berupa tenaga mekanis, kinetis, kimia, listrik, dan lain sebagainya
(Sucofindo, 1998).

Pada dasarnya kecelakaan disebabkan oleh dua hal, yaitu unsafe act (tindakan
yang tidak aman) dan tindakan unsafe condition ( kondisi yang tidak aman ).
Oleh karena itu sumber daya manusia dalam hal ini memegang peranan
penting dalam penciptaan keselamatan dan kesehatan kerja. Tenaga kerja yang
mau membiasakan dirinya dalam keadaan aman dan melakukan pekerjaan
dengan aman akan sangat membantu dalam memperkecil angka kecelakaan
kerja (Suma’mur, 1996).

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 03/MEN/1998 tentang Tata


Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan, kecelakaan adalah suatu kejadian
yang tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan
korban manusia dan atau harta benda. Dan dapat dikatakan nyaris celaka (near
miss) bila suatu kejadian yang tidak diinginkan yang bila keadaannya sedikit
saja berbeda dapat mengakibatkan luka pada manusia, kerusakan harta benda,
kerugian proses (Widodo Siswowardodjo, 2007).

Near miss merupakan kejadian kecelakaan yang tidak menimbulkan cedera


atau kerugian, tetapi jika terulang lagi kemungkinan dapat menimbulkan cedera
atau kerugian (PT. United Tractors Tbk. 2010).

b) Keselamatan Kerja dalam Kebakaran


Banyak benda padat, cair dan gas yang dapat terbakar dengan mudah. Hanya
dibutuhkan sumber penyalaan, mungkin suatu api kecil atau percikan api listrik
sudah dapat mengakibatkan kebakaran. Setiap kejadian kebakaran dapat
berdampak terhadap kesehatan, keselamatan, kerusakan dan penundaan
pekerjaan yang merugikan. Banyak kebakaran yang dapat dicegah dengan
perencanaan yang hati-hati dan pengendalian aktifitas pekerjaan. Lingkungan
yang baik dan teratur penting dan tidak saja untuk mencegah kebakaran, tetapi
juga untuk meyakinkan bahwa jalur darurat tidak terhalang.

1) Langkah-Langkah Penanggulangan Kebakaran :


a) Jika terjadi kebakaran, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
memadamkan secara langsung dengan alat pemadam yang sesuai yang
diletakkan pada tempat terdekat.

b) Jika api tidak padam, panggil teman terdekat dan segera hubungi kepala
gedung (fire marshall).

c) Bunyikan alarm / tanda bahaya kebakaran jika api belum padam.

d) Apabila alarm otomatis berbunyi, bantu evakuasi (pengosongan gedung)


melalui pintu darurat dan segera lakukan pemadam dengan alat
pemadam yang tersedia.

e) Hubungi unit pemadam kebakaran untuk minta bantuan dengan identitas


yang jelas

f) Amankan lokasi dan bantu kelancaran evakuasi (pengosongan gedung)


dan bantu kelancaran petugas pemadam
g) Beritahu penolong atau petugas pemadam tempat alat pemadam dan
sumber air

h) Utamakan keselamatan jiwa dari pada harta benda

2) Penyelamatan Diri
a) Buat rencana penyelamatan diri, dengan menentukan sedikitnya dua
jalur keluar dari setiap ruangan. Ini bisa melalui pintu ataupun jendela,
jadi perhatikan apakah pembatas ruangan akan mengganggu rencana
ini. Buatlah denah penyelamatan diri.

b) Persiapkan petunjuk arah di pintu darurat.

c) Saat kebakaran, sebenarnya asap yang membuat orang menjadi panik


dan tidak dapat bernafas dengan leluasa. Merangkaklah atau merunduk
di bawah, tutup mulut dan hidung dengan kain yang dibasahi.

d) Keluarlah dari pintu atau jendela yang terdekat menuju ke tempat yang
aman. Pastikan bahwa pintu dapat dengan cepat dibuka pada kondisi
darurat, demikian pula jika harus melalui jendela.

e) Apabila terjebak api, pastikan balut tubuh anda dengan selimut tebal
yang dibasahi. Ini hanya dilakukan sebagai pilihan terakhir apabila tidak
ada jalan lain kecuali menerobos kobaran api.

3) Perhatikan Faktor Penting dalam Pemadaman


a) Arah angin.

b) Jenis benda yang terbakar.

c) Volume benda yang terbakar.

d) Berapa lama telah terbakar.

e) Situasi, kondisi dan lingkungan.

f) Keselamatan diri :

 Peralatan dan perlengkapan yang digunakan seperti kain pelindung,


selimut api dll.

 Asap tebal akibat proses kebakaran.


 Kemungkinan terjadinya ledakan.

 Kemungkinan terjadinya radiasi.

4) Sikap dan Tindakan dalam Pemadaman Kebakaran


a) Harus selalu disertai resque operator (fire marshall)
1) Tegas dan disiplin

2) Yakin akan kemampuan diri

3) Tenang, waspada, tanggap akan situasi

4) Kompak dalam kerjasama (team work)

5) Cepat bertindak dan efisien

b) Perlu latihan secara rutin


c) Mengenal alat pemadam api dan cara penggunaannya
Alat pemadam api tradisional:
1) Pasir

2) Tanah

3) Air

4) Dan lain-lain.

 Sangat baik untuk pemadaman awal.

 Terutama dalam rumah tangga atau perkantoran yang tidak begitu


luas.

Alat pemadam api modern


1) Kimia:

 Co2

 Dry chemical powder

 Busa

 Hermatic

2) Hidrant kebakaran

 Penggunaan Alat Pemadam Tradisional


1) Pasir / Tanah:
 Sangat baik untuk kebakaran lantai/tanah datar.
 Dapat dipakai untuk membendung tumpahan minyak, sehingga
kebakaran tidak meluas.

 Dapat dipakai untuk pemadaman awal semua jenis kebakaran.

Cara pemakaian: (sistim isolasi).


Pasir/tanah ditaburkan mulai dari tepi hingga seluruh permukaan yang
terbakar tertutup rata.

 Selimut Api/Karung Goni:


a. Cocok uktuk kebakaran kompor (kebakaran minyak) dan semua jenis
kebakaran, kecuali kebakaran listrik.
b. Bahan murah dan mudah didapat.

Cara pemakaian (sistim pendinginan) :


Basahi karung goni dengan air kemudian tutupkan secara rata pada bagian
yang terbakar, jika dengan satu karung tidak cukup, tambah lagi.

 Syarat Penempatan Apar


1) Pada jalur keluar,

2) Dekat dengan daerah yang mempunyai risiko kebakaran tinggi,

3) Mudah dilihat, dijangkau dan diambil oleh pengguna,

4) Diberi tanda yang menunjukkan tentang adanya apar dengan warna merah

 Catatan:
 Pada posisi yang sama di setiap lantai,

 Pada sudut-sudut koridor,

 Dekat dengan pintu

 Petunjuk Pemadaman Menggunakan Hydrant Kebakaran


1) Menggelar Slang (Fire House):

 Pegang ujung slang pada sisi betina dan lemparkan gulungan slang
ke arah api;
 Bila kurang panjang, tambah lagi dan sambungkan satu dengan
lainnya;

 Sambungkan pangkal slang (sisi betina) dengan hydrant pilar.

2) Pegang Nozle:

 Ambil posisi dengan benar (kuda-kuda) setelah siap beri kode agar
air segera dialirkan;

 Tangan kiri pegang ujung nozle, tangan kanan pada pangkal nozle
sambil dijepit dengan ketiak.

3) Mengalirkan Air:

 Beri kode operator dengan tangan lurus ke atas;

 Untuk menghentikan aliran air, tangan atas diturunkan dengan


membuat gerakan melipat sebatas siku berulang-ulang.

AIR : media yang paling banyak digunakan.

Keuntungan:
 Mudah didapat dalam jumlah banyak;

 Mudah diangkut dan dialirkan;

 Daya serap terhadap panas besar;

 Daya mengembang menjadi uap besar;

Kelemahan:
 Tidak bisa untuk kebakaran listrik;

 Untuk kebakaran minyak harus dengan cara spray dan teknik yang benar;

 Penanggulangan Kebakaran :
Tindakan Pencegahan/Preventif
Segala upaya yang dilakukan agar kebakaran tidak terjadi kebakaran :
1) Memberikan penyuluhan, pendidikan dan pelatihan;

2) Menempatkan barang-barang yang mudah terbakar di tempat yang


aman dan jauh dari api;
3) Tidak merokok dan melakukan pekerjaan panas di tempat barang-barang
yang mudah terbakar;

4) Tidak membuat sambungan listrik sembarangan;

5) Tidak memasang steker listrik bertumpuk-tumpuk;

6) Memasang tanda-tanda peringatan pada tempat yang mempunyai risiko


bahaya kebakaran tinggi;

7) Menyediakan apar ditempat yang strategis;

8) Matikan aliran listrik bila tidak digunakan;

9) Buang puntung rokok di asbak dan matikan apinya;

10) Bila akan menutup tempat kerja, periksa dahulu hal-hal yang dapat
menyebabkan kebakaran.

Tindakan Pemadaman/Represif
Tindakan yang dilakukan untuk memadamkan kebakaran sebagai upaya
memperkecil kerugian yang ditimbulkan dan mencegah agar kebakaran tidak
meluas.

 Teknik dan Taktik Penanggulangan Kebakaran


Teknik Penanggulangan Kebakaran
Kemampuan maksimal dalam menggunakan peralatan yang tersedia guna
memadamkan kebakaran.

Taktik Penanggulangan Kebakaran


Kemampuan maksimal tentang cara-cara yang digunakan dalam rangka
pemadaman kebakaran.

 Sistem Pemadaman
Sistem Isolasi
Cara pemadaman dengan tidak memberi oksigen pada benda yang terbakar
 Menutup dengan karung basah;

 Menimbun dengan tanah, pasir atau lumpur;


Sistem Pendinginan
Cara pemadaman dengan menurunkan suhu pada benda yang terbakar
 Menyiram dengan air;

 Menimbun dengan daun, batang pohon yang mengandung air.

Sistem Urai
Cara pemadaman dengan membagi-bagi benda yang terbakar menjadi bagian
kecil sehingga api mudah dikendalikan. Bila sistem isolasi dan pendinginan
tidak dapat dilakukan.

 Pengertian Api dan Kebakaran


Api adalah gas pijar yang mengeluarkan panas. Bila panas yang dikeluarkan
itu melebihi batas maksimal, maka dapat menimbulkan kebakaran.

Terjadinya Api :
Persenyawaan Tiga Unsur :
 Panas

 Benda / bahan bakar

 Udara

Api terkendali menjadi kawan :


Selama api dapat dikendalikan atau dikuasai, besar atau kecil, selama itu pula
api akan menjadi kawan bahkan menguntungkan dan menghasilkan.

Api tak terkendali menjadi lawan :


Betapapun kecilnya api, selama tidak dikendalikan atau dikuasai dan
menimbulkan kerugian, cacat bahkan korban jiwa manusia maka selama itu
pula api dikatakan menjadi lawan dan disebut perisatiwa kebakaran.
 Perbedaan Api dengan Kebakaran
Api :
1) Dibutuhkan

2) Mudah dikendalikan

3) Menguntungkan

Kebakaran :
1) Tidak dibutuhkan

2) Sulit dikendalikan

3) Merugikan

Kebakaran :
Suatu peristiwa yang disebabkan dari api yang tidak dapat dikendalikan atau
dikuasai baik besar maupun kecil, disengaja atau tidak dan menimbulkan
kerugian harta benda, cacat bahkan korban jiwa manusia.

Sebab Kebakaran :
1) Kelalaian.

2) Kurangnya pengertian dalam penanggulangan.

3) Peristiwa alam.

4) Disengaja/ulah manusia.

Akibat Kebakaran :
1) Menghambat kelancaran pemerintahan/pembangunan.

2) Menghambat kelancaran perekonomian.

3) Timbulnya pengangguran.

4) Terganggunya stabilitas kamtibmas psikologi.


Klasifikasi Kebakaran :
Menurut Peraturan Menteri Nakertrans Nomor : Pe-04/80 Tanggal 14 April
1980 kebakaran dibedakan menjadi.

Klas a : kebakaran benda padat


Klas b : kebakaran benda cair/gas
Klas c : kebakaran akibat listrik
Klas d : kebakaran logam

Dengan mengetahui klasifikasi kebakaran, maka akan memudahkan dalam


menentukan/memilih media pemadam yang sesuai.

 Penempatan Fungsi Alat Pemadam


Fire extinguisher atau alat pemadam api ringan (apar) merupakan alat
pemadam api yang pemakaiannya dilakukan secara manual dan langsung
diarahkan pada posisi dimana api berada. Apar disediakan pada tempat-
tempat strategis yang disesuaikan dengan peraturan dinas pemadam
kebakaran :
1) Untuk setiap 200 m2 ruang terbuka disediakan 1 unit apar type a dengan
jarak antara setiap unit maksimum 20 meter.

2) Untuk ruang yang dilengkapi dengan pembagi / pembatas ruang,


disediakan 1 unit apar type a tanpa memperhatikan luas ruang.

3) Untuk daerah/ruang mekanikal-elektrikal berskala kecil disediakan 1 unit


apar type a dan 1 unit apar type b

4) Untuk daerah/ruang mekanikal-elektrikal berskala besar disediakan 1 unit


apar type a, 1 unit apar type c dan 1 unit apar type d.

 Peralatan Utama & Fungsi Apar


1) Type a : multipurpuse dry chemical powder 3,5 kg apar.

2) Type b : gas co2 6,8 kg apar.

3) Type c : gas co2 10 kg apar.


4) Type d : multipurpuse dry chemical powder 25 kg (dilengkapi dengan
trolley).

10. Penjagaan Seluruh Area Kerja Tetap Bersih dan Bebas dari
Gangguan

Bicara tentang kebersihan, kita sebagai manusia memiliki tanggung jawab


untuk menjaga kebersihan di lingkungan sekitar, termasuk lingkungan tempat
kerja. Pernahkah terbayang, bagaimana rasanya kalau lingkungan tempat kita
bekerja tidak bersih? Pastinya akan tumbuh rasa ketidaknyamanan dalam
bekerja dan beraktivitas.

Berikut beberapa akibat dari pengaturan tempat kerja yang tidak rapi dan
bersih:
Tempat kerja yang padat.
 Kesulitan mencari perkakas, material.
 Dapat menimbulkan stress.

Sedangkan keuntungan dari menjaga kebersihan di lingkungan tempat kerja


adalah sebagai berikut:

 Berkurangnya risiko kecelakaan dan cidera.


 Mewujudkan tenaga kerja yang sehat dan produktif.
 Berkurangnya risiko kebakaran.
 Berkurangnya waktu yang terbuang untuk mencari perkakas, material dan
peralatan.

Untuk menciptakan suasana kerja yang bersih dan rapi, berikut beberapa tips
yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan kerja:

 Memisahkan barang yang diperlukan dan tidak diperlukan lagi.


 Menentukan tata letak dengan rapi, sehingga dapat dengan mudah
menemukan barang yang diperlukan.
 Tidak menimbun sampah di sekitar meja kerja.
 Memelihara barang agar tetap bersih dan jauh dari debu.

Mari kita dimulai sedini mungkin, karena “Kebersihan adalah Sebagian dari
Iman”. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

Kebersihan tempat kerja sangat terkait dengan program sistem manajemen


lingkungan. Dengan tempat kerja yang bersih berarti di lokasi kerja terbebas
dari sampah-sampah, sehingga setiap pekerja merasa nyaman dalam bekerja.

Dalam istilah 5 S, kegiatan pembersihan termasuk dalam kegiatan inspeksi,


karena pada saat melakukan kegiatan kebersihan berarti melakukan
pengontrolan terhadap barang-barang yang tidak dipergunakan di tempat
kerja. Tujuan jangka panjang dari kegiatan ini adalah meminimalkan
terjadinya kesalahan-kesalahan kecil yang bisa mengganggu proses produksi,
sehingga kualitas produk yang dihasilkan tetap terjaga.

Langkah-langkah yang dapat menunjang kebersihan tempat kerja adalah :


 Kebersihan merupakan tanggung jawab seluruh karyawan.
 Melakukan kegiatan pembersihan tempat kerja 3 menit setiap hari.
 Seluruh karyawan adalah petugas kebersihan.
 Bersihkan setiap tempat walaupun jarang digunakan.
 Biasakan kebersihan merupakan inspeksi awal untuk menemukan
kesalahan-kesalahan kecil.
Untuk menjaga kebersihan tempat kerja, hal yang perlu dilakukan adalah :
 Tentukan penanggung jawab kebersihan untuk setiap bagian.
 Tentukan apa saja yang perlu dibersihkan.
 Patuhi aturan yang telah disepakati.
Penanggungjawab kebersihan
Secara umum seperti yang disebutkan di atas, kebersihan merupakan
tanggung jawab setiap orang. Tetapi pada pelaksanaannya sering kali tidak
bisa berjalan dengan baik karena tidak ada penanggung jawab kebersihan
untuk area tertentu. Penanggung jawab kebersihan akan sangat diperlukan
terutama untuk tempat-tempat yang sering dipakai bersama-sama.

Apa yang perlu dibersihkan


Hal ini perlu merupakan kesepakatan bersama agar setiap orang mempunyai
keseragaman dan tidak melakukan kesalahan dalam melakukan kegiatan
pembersihan tempat kerja. Sehingga setiap orang harus memahami
pentingnya pembersihan dan dapat mengurangi penyebab terjadinya
pengotoran di tempat kerja.

Patuhi aturan
Aturan yang telah disepakati, bisa berjalan dengan baik apabila setiap orang
berusaha mematuhi kesepakatan tersebut.

Kebersihan tempat kerja merupakan dasar dari pelaksanaan 5 S. Dengan


melakukan langkah pembersihan tempat kerja secara teratur tujuan jangka
panjang perusahaan untuk menerapkan sistem manajemen mutu, sistem
manajemen lingkungan dan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan
kerja akan lebih mudah.

11. Mengenal Seluruh Pintu Darurat di Tempat Kerja


Bangunan pabrik atau gedung perkantoran yang dijadikan ruang produksi dan
bekerja para karyawan sangat penting untuk memperhatikan beberapa syarat
tentang keselamatan kerja terutama keberadaan pintu keluar darurat dan
rambu-rambunya. Beberapa pabrik yang memiliki risiko kebakaran sangat
tinggi (kimia, kayu, textile) diharuskan oleh pemerintah untuk memahami
secara keseluruhan sistem keamanan tersebut.
Beberapa hal penting tentang pintu keluar darurat sebagaimana kita ketahui
adalah sebagai berikut:

 Pada sebuah bangunan ruang produksi harus memiliki minimal 2 pintu


keluar. Apabila terjadi situasi darurat dan pintu yang pertama tidak bisa
diakses, maka pintu kedua bisa menjadi alternatif.
 Pintu darurat harus SELALU dalam keadaan tidak terkunci, atau untuk
alasan keamanan, kunci harus diletakkan pada posisi yang mudah dan
cepat dijangkau.
 Tidak boleh ada benda-benda yang bisa menghalangi akses menuju pintu
darurat.
 Perlu adanya rambu yang menunjukkan letak pintu keluar darurat.
 Rambu yang digunakan harus mudah dilihat dan dikenal dalam keadaan
gelap atau pada waktu tidak ada tenaga listrik.
 Jalur keamanan menuju pintu keluar darurat harus jelas tergambar pada
lantai atau dinding bangunan.

Beberapa rambu untuk pintu darurat banyak tersedia dalam berbagai macam
dan desain. Rambu dengan lampu aliran listrik dan dilengkapi dengan lampu
darurat (baterai) adalah merupakan pilihan yang terbaik tetapi dengan biaya
yang cukup mahal. Walau bagaimanapun yang paling utama adalah
pemahaman akan pentingnya beberapa hal tersebut di atas pada sebuah
bangunan produksi yang berisiko besar terjadinya kebakaran ataupun
bencana yang lain.

Simbol Pintu Darurat Berwarna Hijau


B. Keterampilan yang diperlukan dalam Mengikuti Prosedur Kerja untuk
Mengidentifikasi Bahaya dan Pengendalian Risiko

1. Menjelaskan definisi keselamatan dan kesehatan kerja.


2. Menjelaskan pengertian bahaya dan potensi bahaya.
3. Menjelaskan sumber bahaya.
4. Menjelaskan prosedur identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko.
5. Melakukan prosedur kerja dan instruksi kerja dalam pengendalian risiko.
6. Melakukan prosedur tempat kerja yang berkaitan dengan kecelakaan, api,
dan darurat.
7. Menjaga seluruh area kerja tetap bersih dan bebas dari gangguan.
8. Mengenali seluruh pintu darurat di tempat kerja.

C. Sikap kerja yang diperlukan dalam Mengikuti Prosedur Kerja untuk


Mengidentifikasi Bahaya dan Pengendalian Risiko
Harus bersikap secara:
1. Cermat dan teliti dalam mengidentifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian
risiko;
2. Taat asas dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas sesuai dengan
prosedur kerja dan instruksi kerja dalam pengendalian risiko dan menjaga
seluruh area kerja tetap bersih dan bebas dari gangguan.
3. Berpikir analitis serta evaluatif dalam melakukan melakukan analisis.
BAB III
BERKONTRIBUSI UNTUK BERPARTISIPASI DALAM PENGATURAN
MANAJEMEN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA

A. Pengetahuan yang diperlukan dalam Berkontribusi untuk Berpartisipasi


dalam Pengaturan Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja

1. Definisi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Definisi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) secara


umum merujuk pada 2 (dua) sumber, yaitu Permenaker No 5 Tahun 1996
tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan pada Standar
OHSAS 18001:2007 Occupational Health and Safety Management Systems .

Definisi Sistem Manajemen K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) menurut


Permenaker No 5 Tahun 1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja ialah bagian dari sistem secara keseluruhan yang meliputi
struktur organisasi, perencanaan, tanggung-jawab, pelaksanaan, prosedur,
proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan,
pencapaian, pengajian dan pemeliharaan kebijakan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja
guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.

Sedangkan definisi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja


menurut standar OHSAS 18001:2007 ialah bagian dari sebuah sistem
manajemen organisasi (perusahaan) yang digunakan untuk mengembangkan
dan menerapkan Kebijakan K3 dan mengelola risiko K3 organisasi (perusahaan)
tersebut.

Elemen-Elemen Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja bisa


beragam tergantung dari sumber (standar) dan aturan yang kita gunakan.
Secara umum, Standar Sistem Manajemen Keselamatan Kerja yang sering
(umum) dijadikan rujukan ialah Standar OHSAS 18001:2007, ILO-OSH:2001 dan
Permenaker No 5 Tahun 1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.

Tabel di bawah menjelaskan uraian singkat dari elemen-elemen


Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja berdasarkan
standar-standar di atas :

Sasaran (Tujuan/Target) dan Program K3 (OH&S Objectives and


Programmes) dalam klausul 4.3.3 OHSAS 18001:2007 didefinisikan sebagai
cita-cita terukur dari suatu manajemen organisasi (perusahaan) terhadap risiko
K3 yang ingin dicapai.

Dalam klausul 4.3.3. OHSAS 18001 : 2007 terdapat syarat-syarat


dalam menyusun sasaran/target/tujuan K3 antara lain :

1. Didokumentasikan, diterapkan dan dirawat.


2. Terukur, dapat diterapkan dan sesuai dengan Kebijakan K3 organisasi
(perusahaan).
3. Mengacu pada pemenuhan peraturan perundang-undangan terkait risiko
K3 (termasuk pada pilihan teknologi, pendanaan, persyaratan bisnis dan
operasional serta pandangan pihak ke tiga yang berhubungan dengan
aktivitas operasional organisasi/perusahaan).

Untuk syarat-syarat dalam menyusun program-program K3 untuk


mencapai sasaran/tujuan/target K3 antara lain ialah :

1. Penetapan Tanggung Jawab terkait tingkatan struktur organisasi


(perusahaan).
2. Terdapat kerangka jadwal rencana pencapian program-program K3.
3. Ditinjau secara berkala yang direncanakan menurut jangka waktu tertentu
dan disesuaikan seperlunya untuk menjamin tercapainya
sasaran/tujuan/target K3 organisasi (perusahaan).
Contoh Tujuan (Sasaran/Target) dan Program K3 secara sederhana :

No Sasaran Program Jadwal Kewenangan

Merekrut Ahli K3
Umum untuk
merencanakan
Tidak ada kecelakaan Sistem
kerja yang Manajemen
menghilangkan Keselamatan dan
waktu kerja tenga Kesehatan Kerja
Februari
1. kerja melebihi 2x24 dan HRD
2013
jam dan atau Penerapannnya
terhentinya proses serta melakukan
melebihi shift identifikasi
berikutnya bahaya dan
rencana
pengendalian
terhadapnya

Membentuk Panitia
Pembina
Keselamatan dan
Kesehatan Kerja
(P2K3) sesuai
perundang-undangan
Pimpinan
yang berlaku untuk Maret 2013
Perusahaan
mendukung
berjalannya
penerapan Sistem
Manajemen
Keselamatan dan
Kesehatan Kerja

Menyediakan sumber
daya yang
dibutuhkan sesuai
identifikasi bahaya
Juni 2013 HRD
dan perencanaan
penerapan Sistem
Manajemen
Keselamatan dan
No Sasaran Program Jadwal Kewenangan

Kesehatan Kerja

Ikut serta dalam


program BPJS
Meningkatkan derajat
Kesehatan dan HRD dan Ahli
2. kesehatan kerja Maret 2013
BPJS K3 Umum
tenaga kerja
Ketenagakerjaan
Pemerintah

Melaksanakan
kerjasama dengan
rumah sakit terdekat
sebagai rujukan
penanganan Maret 2013 HRD
kecelakan kerja
ataupun keadan
darurat di tempat
kerja

Menyediakan kantin
tenaga kerja dan
bekerja sama dengan
HRD dan
jasa katering
Mei 2013 Ahli K3
penyedia makanan
Umum
sehat dengan harga
yang terjangkau oleh
tenaga kerja

Melaksanakan
pendidikan dan
pelatihan
Meningkatkan
Keselamatan dan
pengetahuan tenaga
Kesehatan Kerja
kerja mengenai HRD dan Ahli
3. sesuai dengan Juni 2013
Keselamatan dan K3 Umum
kebutuhan,
Kesehatan Kerja di
keahlian dan
tempat kerja
kompetensi
tenaga kerja
secara rutin baik
No Sasaran Program Jadwal Kewenangan

dilaksanakan
sendiri maupun
pihak luar

Menjalin kerjasama
dengan dinas-dinas
terkait yang memiliki HRD dan
kewenangan khusus Mei 2013 Ahli K3
untuk memberikan Umum
pelatihan/pendidikan
K3 di tempat kerja

Melaksanakan
audit internal
Sistem
Manajemen
Keselamatan
Kerja minimal
setiap enam
bulan sekali
Meningkatkan dan ataupun jika ada
Januari
4. memelihara kinerja kondisi yang P2K3
2014
K3 Perusahaan memerlukan
tindakan audit
Sistem
Manajemen
Keselamatan dan
Kesehatan Kerja
baik secata
internal maupun
eksternal
Nama Perusahaan
Logo

Sasaran dan Program K3


Sasaran Program Jadwal Wewenang
Tidak ada Merekrut Ahli K3 Umum untuk merencanakan Februari HRD
kecelakaan kerja Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan 2018
yang Kerja dan Penerapannnya serta melakukan
menghilangkan identifikasi bahaya dan rencana pengendalian
waktu kerja terhadapnya
tenga kerja Membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan Maret Pimpinan
melebihi 2x24 Kesehatan Kerja (P2K3) sesuai perundang- 2018 Perusahaan
jam dan atau undangan yang berlaku untuk mendukung
terhentinya berjalannya penerapan Sistem Manajemen
proses melebihi Keselamatan dan Kesehatan Kerja
shift berikutnya Menyediakan sumber daya yang dibutuhkan Juni HRD
sesuai identifikasi bahaya dan perencanaan 2018
penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja
Meningkatkan Ikut serta dalam program BPJS Kesehatan dan Maret HRD dan Ahli
derajat BPJS Ketenagakerjaan Pemerintah 2018 K3 Umum
kesehatan kerja Melaksanakan kerjasama dengan rumah sakit Maret HRD
tenaga kerja terdekat sebagai rujukan penanganan kecelakan 2018
kerja ataupun keadan darurat di tempat kerja
Menyediakan kantin tenaga kerja dan bekerja Mei 2018 HRD dan Ahli
sama dengan jasa katering penyedia makanan K3 Umum
sehat dengan harga yang terjangkau oleh tenaga
kerja
Meningkatkan Melaksanakan pendidikan dan pelatihan Juni HRD dan Ahli
pengetahuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja sesuai dengan 2018 K3 Umum
tenaga kerja kebutuhan, keahlian dan kompetensi tenaga kerja
mengenai secara rutin baik dilaksanakan sendiri maupun
Keselamatan pihak luar
dan Kesehatan Menjalin kerjasama dengan dinas-dinas terkait Mei 2018 HRD dan Ahli
Kerja di tempat yang memiliki kewenangan khusus untuk K3 Umum
kerja memberikan pelatihan/pendidikan K3 di tempat
kerja
Meningkatkan Melaksanakan audit internal Sistem Manajemen Januari P2K3
dan memelihara Keselamatan Kerja minimal setiap enam bulan 2018
kinerja K3 sekali ataupun jika ada kondisi yang memerlukan
Perusahaan tindakan audit Sistem Manajemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja baik secata internal maupun
eksternal

Jakarta, 01 Januari 2018

Nama Terang
Pimpinan Perusahaan
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) merupakan tata
kelola atas adanya jaminan keselamatan dan kesehatan kerja bagi karyawan
agar mereka merasa aman dan nyaman dalam melaksanakan pekerjaannya,
sehingga dapat berkonsentrasi secara penuh, dan mampu bekerja secara
produktif. SMK3 tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian yang tidak
terpisahkan atau menjadi bagian integral dari keseluruhan sistem manajemen
perusahaan. Masalah keselamatan dan kesehatan karyawan dapat berpengaruh
terhadap produkstivitas kerja mereka. Artinya adalah bahwa keselamatan dan
kesehatan karyawan dapat mempengaruhi tercapai atau tidaknya tujuan
perusahaan (Suparyadi, 2015:379).

Guna melaksanakan SMK3 diperlukan biaya. Besar atau kecilnya biaya yang
dikeluarkan ini sangat relative. Namun, hal yang sangat penting dan perlu
disadari adalah bahwa untuk mencapai tujuan perusahaan, karyawan memiliki
posisi sentral dan peranan yang vital. Manajemen perlu menyadari bahwa tanpa
karyawan, manajemen tidak akan mampu berbuat banyak dalam upaya
mencapai tujuan perusahaan. Oleh karena itu, masalah keselamatan dan
kesehatan kerja bagi karyawan perlu dikelola secara sistematik agar terarah
dengan baik, supaya benar-benar dapat diwujudkan adanya jaminan
keselamatan dan kesehatan kerja bagi karyawan (Suparyadi, 2015:380).

 Tujuan
Berdasarkan Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2012
tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3), yang
dinyatakan bahwa SMK3 memiliki tujuan sebagai berikut:
a. Meningkatkan efektivitas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja
yang terencana, terstruktur, dan terintegrasi.
b. Mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja
dengan melibatkan unsur manajemen, pekerja/buruh, dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh.
c. Menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman, dan efisien untuk mendorong
produktivitas.
 Manfaat
a. Terciptanya lingkungan kerja yang aman dan nyaman;
b. Lebih produktif;
c. Berkurangnya risiko terjadinya kecelakaan dan gamgguan kesehatan;
d. Berkurangnya risiko kerugian yang lebih besar;
e. Terbebas dari sanksi;
f. Kebijakan;
g. Dibentuk ortanisasi SMK3;
h. Perencanaan secara terintegrasi;
i. Pembagian wewenang;
j. Tanggung jawab organisasi atau perusahaan dan individu secara
proporsional;
k. Dukungan anggaran yang cukup;
l. Pengawasan dan pengendalian internal.

2. Isu-Isu Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Keselamatan kerja dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi di mana karyawan
dalam melaksanakan pekerjaannya dengan terbebas dari kemungkinan terjadinya
kecelakaan sehingga mereka tidak merasa khawatir akan mengalami kecelakaan.
Ketika akan melaksanakan suatu pekerjaan, seseorang memiliki rasa khawatir
akan risiko mengalami kecelakaan. Dengan demikian, orang ini akan bertindak
ragu-ragu sehingga dapat mengganggu konsentrasinya dalam bekerja, hasil
pekerjaannya tidak optimal, atau bahkan tidak memiliki keberanian untuk
melaksanakan pekerjaannya. Misalnynya, seorang petugas layanan kebersihan
yang harus membersihkan kaca-kaca dari gedung yang tinggi, tetapi hanya
berbekal alat-alat pembersih dan tangga yang terbuat dari bambu yang
disambung-sambung sampai 30 M, maka petugas ini akan merasa khawatir dapat
jatuh dari tangga atau tangganya roboh, dan sebagainya. Adanya rasa khawatir
ini dapat mengakibatkan hasil kerjanya tidak optimal. Lain halnya apabila mereka
diperlengkapi dengan gondala yang mudah dioperasikan untuk dinaikkan-
diturunkan, dan digeser ke samping kanan-kiri, maka hasil kerjanya dapat
optimal, karena tidak adanya kekhawatiran dapat jatuh dan adanya gerakan yang
fleksibel (Suparyadi, 2015:384).

Menurut menurut Swasto (2011) Keselamatan kerja menyangkut segenap proses


perlindungan tenaga kerja terhadap kemungkinan adanya bahaya yang timbul
dalam lingkungan pekerjaan. Sedangkan Mangkunegara (2009) mengungkapkan
bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah kondisi yang aman atau
selamat dari penderitaan, kerusakan atau kerugian ditempat kerja. Risiko
keselamatan kerja merupakan aspek-aspek dari lingkungan kerja yang dapat
menyebabkan kebakaran, ketakutan aliran listrik yang terpotong, luka memar,
keseleo, patah tulang, kerugian alat tubuh, penglihatan dan pendengaran.

Banyak perusahaan yang tidak peduli pada keselamatan dan kesehatan kerja
para karyawannya, sehingga berakibat pada sering terjadinya kecelakaan kerja
dan gangguan kesehatan pada para karyawan, sesungguhnya yang merugi
bukan hanya karyawan itu sendiri dan keluarganya, tetapi perusahaan juga
sangat merugi. Perusahaan harus mengeluarkan biaya untuk pengobatan atau
memberi santunan, yang mana biaya ini tidak perlu dikeluarkan apabila tidak
terjadi kecelakaan kerja atau gangguan kesehatan pada karyawannya. Di
samping itu, apabila kecelakaan kerja dan gangguan kesehatan pada karyawan
itu berakibat meninggalnya karyawan atau karyawan tersebut tidak mampu
bekerja semula lagi, maka kerugian perusahaan akan menjadi makin besar
karena karyawan itu merupakan investasi paling mahal dan sangat penting.
Perusahaan harus merekrut karyawan baru, melatih dan mengembangkannya
agar dapat memiliki kualitas kompetensi seperti karyawan yang meninggal atau
karyawan yang sudah tidak mampu bekerja seperti semula lagi itu (Suparyadi,
2015:377-378).

Kita menyadari bahwa unsur manusia dalam sebuah organisasi itu bernilai sangat
tinggi karena memiliki peran yang sentral dalam setiap gerak langkah organisasi;
merupakan sumber daya organisasi yang “pengadaannya” memerlukan biaya
yang sangat mahal, seperti untuk perekrutan, seleksi dan pengujian, pelatihan
dan pengembangan; serta merupakan satu-satunya sumber daya organisasi yang
dari waktu ke waktu mampu memberikan kontribusi yang makin meningkat
seiring makin meningkatnya kualitas kompetensi yang dimilikinya. Oleh karena itu,
sebagian ahli manajemen sumber daya manusia menyebut unsur manusia dalam
sebuah organisasi sebagai modal atau human capital. Ketidaksadaran atas begitu
krusial dan berharganya unsur manusia dalam organisasi nampak pada perilaku
organisasi yang tidak mengelola unsur manusia ini secara baik, antara lain dalam
hal menjamin keselamatan dan kesehatan kerja para karyawannya (Suparyadi,
2015:377).

Tenaga kerja merupakan asset perusahaan yang harus diberi perlindungan oleh
pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), mengingat ancaman bahaya
yang berhubungan dengan suatu pekerjaan. Kualitas pekerja dapat dipengaruhi
oleh salah satunya yaitu dengan pelaksanaan program Keselamatan dan
Kesehatan Kerja yang baik, karena kecelakaan kerja dapat menyangkut masalah
produktivitas. Peraturan perundangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
merupakan salah satu upaya dalam pencegahan kecelakaan kerja, penyakit akibat
kerja, peledakan, kebakaran, dan pencemaran lingkungan kerja yang
penerapannya menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan serta kondisi
lingkungan kerja. (Silaban, 2008:35).

Kecelakaan kerja selalu terjadi di mana-mana pada semua sektor aktivitas


manusia, di dalam rumah, di jalanan, maupun di perusahaan-perusahaan.
Namun, kecelakaan kerja yang terjadi itu sepertinya tidak pernah menjadi
pembelajaran bagi manusia, sehingga kecelakaan demi kecelakaan terus terjadi,
dan sangat mungkin kecelakaan itu tidak akan pernah berhenti sampai kapan
pun karena begitu banyaknya faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya
kecelakaan tersebut. Kecelakaan tidak sekadar menimbulkan kerugian materiil,
tetapi juga kerugian manusia, baik karena luka-luka, cacat, bahkan tidak sedikit
yang meninggal dunia (Suparyadi, 2015:378).
Misalnya, telah terjadi kecelakaan pada hari minggu, 13 Januari 2013 lalu sekitar
pukul 16.00 WIB, terjadi sebuah kecelakaan kerja di Apartemen Green Lake
View, Tangerang Selatan , Banten. Tower crane di proyek pembangunan
apartemen tersebut roboh dan menimpa beberapa orang pekerja. Akibatnya, tiga
orang dinyatakan tewas, yaitu Yoto (30 tahun), Jalil (yang merupakan ketua Tim
Checking proyek tersebut, 45 tahun), dan Leman (50 tahun) , sedangkan yang
mengalami luka berat adalah Wanto (25 tahun). Hingga saat ini, penyebab pasti
kecelakaan kerja tersebut masih dalam penyelidikan. (sumber:https:
//news.liputan6.com/read/486581/tower-crane-apartemen-di-ciputat-ambruk-3-
pekerja-tewas , diakses pada 13 Maret 2018).

Kasus tersebut hanya sebagian kecil dari sejumlah kasus kecelakaan kerja yang
terjadi di Indonesia. Sejak tahun 2007, angka kecelakaan kerja di Indonesia
terus mengalami peningkatan. Data dari Jamsostek menyebutkan pada tahun
2007 terjadi sebanyak 83.714 kasus, tahun 2008 sebanyak 94.736 kasus, tahun
2009 sebanyak 96.314 kasus, tahun 2010 sebanyak 98.711 kasus, tahun 2011
mencapai, 99.491 kasus (sumber: https: //nasional.inilah.com/ read/ detail/
1839600/ 99-ribu-kasus-kecelakaan-kerja-di-2011#.UQoEnpaOzDo).

Hal senada dinyatakan International Labor Organization yang mengungkap


bahwa tingkat keparahan kecelakaan kerja di Indonesia cukup tinggi, karena
setiap 100.000 orang pekerja yang mengalami kecelakaan, 20 orang kondisinya
sangat fatal. (sumber: https://www.hrcentro.com/ berita_sdm/
KECELAKAAN_KERJA_ILO_Laporkan_Kasus_Di_RI_Terbilang_Tinggi__130116.ht
ml). Bahkan menurut Muji Handaya, Dirjen Pembinaan Pengawas
Ketenagakerjaan Kemenakertrans, pada tahun 2010, dari sekitar 90.000 kasus,
1.200 kasus di antaranya mengakibatkan pekerja meninggal dunia.
(https://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/10/13/15032222/Kecelakaan.Ker
ja.di.Indonesia.Tergolong.Tinggi).

Di Indonesia angka kecelakaan kerja menunjukkan angka yang sangat


mengkhawatirkan. Bahkan menurut penelitian International Labor Organization
(ILO), Indonesia menempati urutan ke 52 dari 53 negara dengan manajemen K3
yang buruk. Padahal biaya yang akan dikeluarkan oleh perusahaan akan sangat
besar apabila sampai terjadi kecelakaan di tempat kerja (Hanggraeni, 2012).

Seperti yang di lansir dari news.detik.com, kasus pekerja proyek Kali Ciliwung
yang tertimpa paku bumi Oktober 2016 silam dapat menjadi contoh bahwa faktor
mekanis dan lingkungan dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Kejadian tersebut
terjadi di proyek Kali Ciliwung, Bukit Duri RT 10/12, Tebet, Jakarta Selatan. Dari
informasi yang didapat, kecelakaan terjadi ketika Muaf Jaelani (korban) sedang
mengarahkan crane untuk memasang paku bumi. Namun sling yang mengikat
paku bumi yang akan dipasang terlepas dari crane. Muaf yang berdiri di
dekat crane pun tidak dapat menghindar. Paku bumi tersebut kemudian menimpa
korban. Akibat dari kecelakaan tersebut, Muaf mengalami luka-luka yang cukup
parah dan kaki kanan nya putus hingga paha.

Muaf Jaelani dikenal sebagai pekerja yang cukup berhati-hati dan selalu
menggunakan pakaian pengaman yang lengkap sebelum memulai pekerjaan nya.
Namun faktor mekanis yang tak diduga dapat menjadi pemicu kecelakaan yang
fatal. Meskipun begitu, kecelakaan yang dialami oleh Muaf tidak di biarkan begitu
saja. Korban dengan segera dilarikan ke Rumah Sakit Premier Jatinegara, Jalan
Jatinegara Barat, Jakarta Timur. Berbagai penanganan medis dilakukan untuk
mengobati luka-luka yang di alami Muaf termasuk mengamputasi kaki kanan
korban.

Meskipun begitu, Muaf Jaelani merupakan salah satu korban kecelakaan kerja
yang cukup beruntung karena namanya tercantum dalam salah satu pekerja yang
terdaftar dalam program perlindungan BPJSTK program Jaminan Kecelakaan
Kerja (JKK) di Kantor Cabang Salemba. Menurut Direktur Utama BPJSTK Agus
Susanto, semua biaya pengobatan Muaf ditanggung oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJSTK). Ia juga memastikan bahwa seluruh
pengobatan dibiayai sampai korban pulih dan untuk cacat yang dialami oleh
korban juga akan diberikan santunan sesuai dengan ketentuan yang sudah ada.
Budaya keselamatan dalam bekerja akan menjadi lebih efektif apabila komitmen
dilaksanakan secara nyata dan terdapat keterlibatan langsung dari pekerja dan
pengusaha dalam upaya keselamatan kerja. Keterlibatan pekerja dalam
keselamatan kerja tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, berupa
keaktifan pekerja dalam kegiatan K3, memberikan masukan mengenai adanya
kondisi berbahaya di lingkungan, menjalankan dan melaksanakan kegiatan
dengan cara yang aman, memberikan masukan dalam penyusunan prosedur dan
cara kerja aman, dan mengingatkan pekerja lain mengenai bahaya K3 (Ramli,
2010).

Dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari, manusia akan selalu di hadapkan


dengan sebuah risiko. Risiko yang muncul dapat berupa risiko kecil maupun risiko
besar. Risiko berpotensi menimbulkan bahaya, dan efek dari bahaya tersebut
dapat terjadi secara langsung atau di waktu yang akan datang. Tetapi sekecil
apapun sebuah risiko akan tetap berpotensi untuk menimbulkan akibat, bahaya,
dan kecelakaan yang mungkin saja tidak hanya menimpa diri sendiri namun juga
orang lain.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan Hak Asasi Manusia (HAM)
yang dimiliki oleh seluruh pekerja yang bekerja. Kemungkinan terjadinya sebuah
kecelakaan kerja atau penyakit yang ditimbulkan oleh suatu pekerjaan dan
berakibat kematian, atau kemungkinan para pekerja mengalami cacat dan tidak
bisa bekerja, dapat menurunkan produktivitas kerja pekerja tersebut dan dapat
mempengaruhi perusahaan. Oleh karena itu dibutuhkan kesadaran yang dimiliki
oleh para pekerja maupun perusahaan akan pentingnya Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3). Pentingnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) harus
selalu dihimbau dan dipahami oleh para pekerja maupun pengusaha.

Meskipun program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) sudah dihimbau


dengan baik, kadang para pekerja sendiri yang kurang memperhatikan dan lalai
akan keselamatan bekerjanya. Menurut Suma’mur (2009) terjadinya kecelakaan
kerja disebabkan karena dua golongan. Golongan pertama adalah faktor mekanis
dan lingkungan (unsafe condition), sedangkan golongan kedua adalah faktor
manusia (unsafe action). Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa faktor manusia menempati posisi yang sangat penting terhadap terjadinya
kecelakaan kerja yaitu antara 80–85%.

McCormick dan Anastasia dalam Winarsunu (2008) menggunakan istilah unsafe


behaviordan accient behavior untuk menggambarkan perilaku berbahaya dalam
bekerja seperti memakai perlengkapan keselamatan kerja secara tidak tepat,
kurangnya keterampilan dan kegagalan dalam mendeteksi waktu. Disamping
menggunakan istilah unsafe behavior tetapi juga hazardous behavior untuk
menggambarkan perilaku berbahaya dalam bekerja, misalnya tidak adanya
perhatian ketika bekerja, bekerja dengan cara yang kasar atau sambil berkelakar.

3. Peran Kontribusi Perusahaan dalam Manajemen Kesehatan dan


Keselamatan Kerja
Tingginya angka kasus kecelakaan kerja sebagaimana telah dikemukakan di atas,
menimbulkan pertanyaan bagaimana peran kontribusi perusahaan untuk dapat
menekan terjadinya kasus tersebut. Perusahaan memiliki kewajiban untuk
menjaga keselamatan setiap pekerja yang juga merupakan stakeholdernya.
Apabila terjadi banyak kecelakaan, karyawan banyak yang menderitam absensi
meningkat, produksi menurun, dan biaya pengobatan semakin besar. Hal
tersebut akan menimbulkan kerugian bagi karyawan maupun perusahaan yang
bersangkutan, karena mungkin karyawan terpaksa berhenti bekerja sebab cacat
dan perusahaan akan kehilangan pekerjaannya (Hasibuan, 2011:188).

Undang-Undang no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada pasal 35 ayat


3 menyebutkan bahwa pemberi kerja (dalam hal ini perusahaan) dalam
mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup
kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan, baik mental maupun fisik tenaga
kerja. Dan pada pasal 86 ayat 2 disebutkan bahwa untuk melindungi
keselamatan pekerja tersebut bertujuan untuk mewujudkan produktivitas yang
optimal, diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. Untuk itu,
seharusnya setiap perusahaan wajib memiliki dan mengimplementasikan sistem
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem
manajemen perusahaan.

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/Men/1996 tentang SMK3, sistem
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah bagian dari sistem
manajemen perusahaan secara keseluruhan yang dibutuhkan bagi
pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan
kebijakan K3, dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan
kerja, dan guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.
Tempat kerja yang di maksud adalah tempat kerja di darat, dalam tanah,
permukaan air, dalam air, maupun di udara dengan unsur dilakukan usaha, ada
tenaga kerja yang bekerja, dan ada sumber bahaya. Dasar hukum dari peraturan
menteri tersebut antara lain pasal 5,20, dan 27 ayat (2) UUD 1945 ; pasal 86, 87
Paragraf 5 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; UU No. 1 tahun
1970 tentang Keselamatan Kerja serta Peraturan Pelaksanaan yang dibagi
menjadi Peraturan Khusus dan Peraturan Pemerintah, termasuk Peraturan
Menteri.

Tujuan penerapan SMK3 di antaranya menempatkan tenaga kerja sesuai dengan


harkat dan martabatnya sebagai manusia, meningkatkan komitmen pimpinan
perusahaan dalam melindungi tenaga kerja, meningkatkan efisiensi dan
produktivitas kerja untuk menghadapi kompetisi perdagangan global, dan
meningkatkan pelaksanaan kecelakaan melalui pendekatan sistem. Dalam
Permenaker tersebut juga diatur bahwa kriteria perusahaan yang wajib memiliki
SMK3 ini adalah perusahaan dengan tenaga kerja 100 orang atau lebih dan atau
potensi bahaya peledakan, kebakaran, pencematan, dan penyakit akibat kerja.

Perusahaan juga berperan dalam mensosialisasikan praktik K3 kepada


karyawannya melalui penyuluhan dan pembinaan dengan baik sehingga pekerja
menyadari pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja bagi dirinya maupun
bagi perusahaan. Menurut Hasibuan (2011:188), K3 dapat menjadi tindakan
kontrol preventif yang mendorong terwujudnya pemeliharaan karyawan yang
baik. Misalnya dengan memberlakukan sanksi bagi karyawan yang tidak memakai
alat pengaman ketika bekerja, seperti masker, sarung tangan, helm, dan lain-
lain.

Berdasarkan uraian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa untuk menekan angka


kecelakaan kerja, perusahaan memiliki dua peran penting. Pertama, berperan
menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) yang
terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan dan meningkatan kesadaran
pekerja akan pentingnya pengetahuan mengenai K3 melalui pembinaan dan
penyuluhan. Hal ini tentunya akan lebih efektif jika pekerja juga memiliki
kesadaran untuk memperhatikan keselamatan dirinya, seperti menggunakan
seperti masker, sarung tangan, helm, dan pengaman lainnya saat bekerja.

4. Mengidentifikasi Dokumen Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Formulir Daftar Dokumen Induk K3 digunakan untuk mengidentifikasi dokumen-
dokumen apa saja yang digunakan dalam penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Formulir ini juga bermanfaat untuk
mengendalikan dokumen-dokumen K3 yang terdistribusi dalam penerapan
Sistem Manajemen K3.

Identifikasi dokumen memuat antara lain :


a) Jenis dan Tingkatan (Level) Dokumen K3.
b) Nomor Dokumen K3.
c) Tanggal Terbit Dokumen K3.
d) Judul Dokumen K3.
e) Nomor Revisi Dokumen K3.
f) Tanggal Revisi Dokumen K3.
g) Penyusun Dokumen K3.
h) Pemberi Persetujuan Dokumen K3.
i) Penanggung Jawab Perawatan dan Penyimpanan Dokumen K3.
j) Lokasi Penyimpanan Dokumen K3.
k) Masa Simpan Dokumen K3.
l) Keterangan lain-lain yang relevan dengan dokumen K3.

Beberapa Jenis dan Tingkatan (Level) Dokumen K3 antara lain :

a) Dokumen Tingkat I (Satu): Pedoman (Manual) Sistem Manajemen


Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
b) Dokumen Tingkat II (Dua): Prosedur Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
c) Dokumen Tingkat III (Tiga): Instruksi Kerja Keselamatan dan Kesehatan
Kerja.
d) Dokumen Tingkat IV (Empat): Formulir/Catatan/Rekaman/Laporan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
e) Dokumen Tingkat IV (Lima): Pengumuman dan Surat-Menyurat.

Diharapkan dengan formulir ini, petugas K3 dapat dengan lebih mudah


mengidentifikasi serta mengelola dokumen-dokumen apa saja yang digunakan
dalam penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Contoh Formulir Daftar Dokumen Induk K3 :
5. Klarifikasi Kewajiban, Prosedur dan Praktik-Praktik Kesehatan dan
Keselamatan Kerja
Dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari sebagai tenaga kerja harus ikut serta
dalam menciptakan area kerja yang aman dan menjalankan pekerjaan tanpa
mengalami kecelakaan. Berikut adalah Kewajiban dan Hak Tenaga kerja yang
diatur dalam UU No 01 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
a) Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan
atau ahli keselamatan kerja;
b) Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan;
c) Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan
kerja yang diwajibkan;
d) Meminta pada pengurus (perusahaan) agar dilaksanakan semua syarat
keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan;
e) Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan dan
kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan
olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas
dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggungjawabkan.

Tenaga kerja atau karyawan diwajibkan memberikan keterangan yang benar


saat dimintai seperti pada saat pemeriksaan kecelakaan, dan senantiasa
mengikuti aturan yang berlaku di lingkungan perusahaan.

Selain itu, karyawan atau tenaga kerja juga dapat menolak jika syarat
keselamatan diragukan atau tidak tersedia, sebagai contoh saat diperintahkan
melakukan pekerjaan di atas ketinggian namun perlengkatan keselamatan
seperti safety harness tidak tersedia (Sumber : www.darmawansaputra.com).
B. Keterampilan yang diperlukan dalam Berkontribusi untuk
Berpartisipasi dalam Pengaturan Manajemen Kesehatan dan
Keselamatan Kerja
1. Menjelaskan definisi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
2. Menginformasikan isu-isu kesehatan dan keselamatan kerja kepada aparat
yang berwenang sesuai dengan prosedur tempat kerja yang relevan;
3. Melakukan kontribusi kepada manajemen kesehatan dan keselamatan kerja di
tempat kerja sesuai dengan kebijakan dan prosedur organisasi dan dalam
lingkup tanggung jawab dan kompetensi karyawan;
4. Mengidentifikasi Dokumen Kesehatan dan Keselamatan Kerja, memeriksa
dokumen tersebut secara periodik, dan menindaklanjuti rekomendasinya;
5. Meninjau kembali mengenai klarifikasi kewajiban, prosedur dan praktik-praktik
kesehatan dan keselamatan kerja.

C. Sikap kerja yang diperlukan dalam Berkontribusi untuk Berpartisipasi


dalam Pengaturan Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Harus bersikap secara:
1. Cermat dan teliti dalam menginformasikan isu-isu kesehatan dan
keselamatan kerja kepada aparat yang berwenang sesuai dengan prosedur
tempat kerja yang relevan;
2. Taat asas dan tanggung jawab dalam melakukan kontribusi kepada
manajemen kesehatan dan keselamatan kerja di tempat kerja sesuai dengan
kebijakan dan prosedur organisasi dan dalam lingkup tanggung jawab dan
kompetensi karyawan;
3. Cermat dan teliti dalam mengidentifikasi dokumen kesehatan dan
keselamatan kerja, memeriksa dokumen tersebut secara periodik, dan
menindaklanjuti rekomendasinya;
4. Berpikir analitis dan evaluatif dalam meninjau kembali mengenai klarifikasi
kewajiban, prosedur dan praktik-praktik kesehatan dan keselamatan kerja.
BAB IV
MENERAPKAN PRAKTIK-PRAKTIK KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA

A. Pengetahuan yang diperlukan dalam Menerapkan Praktik-Praktik


Kesehatan dan Keselamatan Kerja

1. Prosedur Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Keamanan kerja merupakan unsur-unsur penunjang yang mensupport
terwujudnya situasi kerja yang aman, baik berbentuk materil ataupun non
materil. Unsur penunjang keamanan yang berbentuk materiil, yakni : pakaian,
helm, kacamata dan sarung tangan. Sedangkan unsur penunjang keamanan
yang berbentuk nonmaterial, yakni: buku-buku panduan pemakaian alat, rambu-
rambu dan isyarat bahaya, himbauan-himbauan dan petugas keamanan.

Prasyarat lingkungan kerja yang aman, yakni :


a) Ada pembagian pekerjaan dan tanggung jawab dan wewenang yang pasti.
b) Ada ketentuan kerja yang fleksibel.
c) Ada penghargaan atas hak dan keharusan pekerja senantiasa diberikan.
d) Ada prosedur kerja sesuai sama ketentuan SOP.

Kesehatan kerja merupakan bagian dari pengetahuan kesehatan sebagai unsur-


unsur yang mendukung pada ada jiwa raga dan lingkungan kerja yang sehat.
Unsur penunjang kesehatan jasmani di tempat kerja, yakni mencakup: makanan
dan minuman bergizi, saat istirahat, asuransi kesehatan karyawan dan buku tips
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Unsur penunjang kesehatan rohani di
tempat kerja, yakni mencakup: fasilitas dan prasarana beribadah, penyuluhan
kerohanian teratur, dan tabloid kerohanian di tempat kerja.

Keselamatan kerja yaitu beberapa ilmu dan pengetahuan yang aplikasinya


sebagai unsur-unsur penunjang seseorang karyawan supaya selamat saat tengah
bekerja dan sesudah melaksanakan pekerjaannya.
Unsur penunjang keselamatan kerja, yakni ada unsur keamanan dan kesehatan
kerja, kesadaran keamanan dan kesehatan kerja, cermat dalam bekerja dan
melakukan prosedur kerja.

Maksud K3 yaitu untuk tercapainya kesehatan dan keselamatan karyawan saat


bekerja dan sesudah bekerja dan untuk lebih tingkatkan kemampuan saat omzet
perusahaan.

Prosedur bekerja dengan aman dan teratur pada umunya sudah dibuat
berbentuk tata teratur ketentuan keperilakuan (code of conduct) pada tiap-tiap
perusahaan.

Semua bentuk tingkah laku dan peristiwa yang mencurigakan mesti dilaporkan
baik dengan cara tercatat ataupun lisan kepada pihak yang berwenang di
perusahaan untuk di tindaklanjuti kepada pihak berwajib.

Euis Honiatri, dkk. (2010) dalam bukunya Menerapkan Keselamatan, Kesehatan,


Keamanan Kerja dan lingkungan hidup (K3LH), menjelaskan agar setiap tenaga
kerja mendapat perlindungan atas keselamatan dalam melakukan pekerjaan,
maka setiap unsur yang ada di dalam organisasi/instansi/perusahaan perlu
mengetahui dan melaksanakan prosedur K3. Prosedur K3 ini merupakan tahap
atau proses suatu kegitan untuk menyelesaikan aktivitas atau metode (cara)
langkah demi langkah secara pasti dalam pekerjaan dengan memperhatikan
keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja.

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam suatu organisasi/instansi/perusahaan/


yayasan, yaitu :
a. Tenaga kerja: Adalah orang yang mampu melakukan pekerjaan, baik di
dalam maupun diluar hubungan kerja, guna menghasilkan jasa atau barang
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

b. Pengusaha adalah :
 Orang, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri.
 Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya.
 Orang, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia dalam
huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

c. Perusahaan adalah setiap bentuk badan usaha yang memperkerjakan tenaga


kerja dengan tujuan mencari untung atau tidak, baik milik swasta maupun
Negara.

d. Tempat kerja adalah setiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka
bergerak atau tetap di mana tenaga kerja bekerja, atau sering dimasuki
tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan di mana terdapat sumber atau
sumber-sumber bahaya, baik darat, di dalam tanah, di permukaan air, di
dalam air, maupun di udara yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum
Republik Indonesia.

Pihak pengusha atau perusahaan melakukan prosedur bekerja dengan aman dan
tertib dengan cara :
a) Menetapkan standar K3;

b) Menetapkan tata tertib yang harus dipatuhi;

c) Menetapkan peraturan-peraturan;

d) Mensosialisasikan peraturan dan perundang-undangan K3 ini kepada seluruh


tenaga kerja;

e) Memonitor pelaksanaan peraturan-peraturan;

Beberapa faktor penyebab timbulnya kecelakaan kerja, antara lain :


a. Faktor nasib dari para tenaga kerja;

b. Faktor lingkungan fisik tenaga kerja, seperti mesin, gedung, ruang, peralatan;

c. Faktor kelalaian manusia;


d. Faktor ketidakserasian kombinasi faktor-faktor produksi yang dikelola dalam
perusahaan.

 Cara Mengantisipasi Kecelakaan Kerja


1) Menerapkan prosedur bekerja sesuai dengan SOP (Standard Operational
Procedure)
a. Seluruh unsur yang ada harus mengetahui sarana, peraturan kesehatan
dan prosedur kemanan organisasi;
b. Seluruh staf bekerja sesuai dengan tugas atau kewajibannya;
c. Tenaga kerja yang tidak dapat melakasanakan kewajiban harus
melapor kepada pihak yang berwenang agar ada antisipasi jika timbul
masalah.

2) Melaksanakan prosedur dengan memperhatikan K3, yaitu seluruh unsur


yang ada (pimpinan, karyawan mempunyai “tugas perawatan” yang
berkaitan dengan masalah K3.

a. Pimpinan atau pengusaha harus menyiapkan dan menyediakan :


 Kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan bagi karyawan/tenaga
kerja di tempat kerja;
 Akses yang aman di tempat kerja;
 Informasi, pelatihan, dan supervisi.

b. Karyawan atau tenaga kerja harus :


 Bekerja sama dengan pimpinan dna tenaga kerja yang lain secara
baik;
 Bekerja dan menggunakan peralatan dengan aman;
 Memperhatikan keselamatan dan kesehatan orang lain di tempat
kerja;
 Bekerja sesuai dengan peraturan atau prosedur kerja.

3) Menginformasikan laporan kepada pihak yang terkait dengan segera

a. Secara langsung, datang ke tempat yang dimintai pertolongan;


b. Secara tidak langsung, dengan menggunakan media komunikasi, seperti
telepon, handphone, internet, pesan SOS, e-mail, dan surat.
4) Melaporkan kejadian yang mencurigakan secara tertulis/lisan.

Jika terjadi hal-hal yang tidak seperti biasanya, ganjil, atau aneh, segera
laporkan kepada pihak yang berwenag (atasan atau kepolisian), baik secara
tertulis maupun secara lisan.

 CONTOH KASUS

a. Kasus Kecelakaan Kerja di Darat

Kasus :
Bau gas tercium di sebuah supermarket di Jakarta, yang menyebabkan
karyawan pinggsan.
Cara Penyelesaian:
Bagian keamanan seharusnya selalu mengecek secara rutin semua ventilasi dan
mengantisipasi adanya kebocoran gas.

b. Kasus Kecelakaan Kerja di Permukaan Air dan di Dalam Air

Kasus: :
Seorang ilmuwan, ahli biologi, dan peneliti mengadakan ekspedisi penjelajahan
ke dalam laut untuk menyelidiki perihal ikan paus dan ikan hiu. Ternyata tanpa
diduga dia diserang oleh ikan hiu sehingga kehilangan tangannya sampai putus.

Cara Penyelesaian :
Keadaan di dalam air/laut memang sangat tidak terduga dan ganas. Jangan
karena merasa ahli dan berpengalaman, mengabaikan faktor keselamatan. Oleh
karena itu, peneliti harus menggunakn sarana pengaman yang lengkap dan
pengawalan.

c. Kasus Kecelakaan Kerja di Udara

Kasus: :
Helicopter superpuma yang sedang diperbaiki di lapangan terbang Pondok
Cabe, Banten mengalami kecelakaan. Padahal pesawat itu hanya terbang di
atas permukaan tanah sekitar satu meter lalu jatuh. Baling-balingnya menimpa
dan menewaskan dua orang teknisinya dan pilotnya luka.

Cara Penyelesaian :
Kecelakaan sering terjadi secara tidak terduga. Para teknisi seharusnya tidak
berada di dekat pesawat terbang untuk mengantisipasi jika ada kecelakaan.
Selain itu, semua peralatan pengaman harus dipersiapkan.

 Hadapi Beberapa Kondisi Darurat/Emergency:


Beberapa jenis bahaya di tempat kerja, yakni mencakup:
a) Bahaya spesial yaitu bahaya yang diakibatkan dari fasilitas dan prasarana
kerja.
b) Bahaya umum yaitu bahaya yang dikarenakan oleh karyawan tersebut.
c) Menggunakan perlengkapan safety, seperti sepatu safety, baju, rompi, helm,
kaca mata, safety belt, sarung tangan dan lain-lain.

 Tanda-tanda ciri-ciri tamu yang mencurigakan:


a) Berbelit-belit dalam berbicara;
b) Tatapan mata tak fokus;
c) Lirika mata cepat;
d) Tak ada rangkuman perbincangan;
e) Mengulur waktu;
f) Posisi badan berpaling dari hadapan perbincangan;
g) Perbincangan tak nyambung;
h) Tak ada keselarasan pada bahasa lisan dan bahasa badan.
 Prosedur Perlakuan Kondisi Darurat di Perusahaan, Salah Satunya
Seperti Berikut :
a) Tiap-tiap karyawan mesti melindungi keselamatan dianya dan karyawan yang
lain;
b) Harus menggunakan alat-alat keselamtan keraja yang sudah disiapkan oleh
perusahaan;
c) Mematuhi bebrapa ketetapan tentang keselamatan kerja dan perlindungan
kerja yang berlaku;
d) Jika karyawan menjumpai beberapa hal yang bisa membahayakan pada
keselamatan karyawan di perusahaan, mesti selekasnya melaporkannya pada
pimpinan perusahaan atau atasannya;
e) Di luar saat kerja yang ditetapakan oleh perusahaan, tiap-tiap buruh tak
diijinkan menggunakan/memakai alat-alat atau peralatan kerja punya
perusahaan untuk kebutuhan pribadi;
f) Tiap-tiap pekerja harus pelihara alat-alat atau peralatan kerja dengan baik
dan cermat.

2. Peringatan Bahaya dan Tanda-Tanda Keselamatan


Sinyal peringatan di tempat kerja, berbentuk gambar, kalimat, himbauan, lampu
warna, dan isyarat badan. Sinyal sudah terjadinya bahaya di tempat kerja bisa
berbentuk alarm kebakaran, alarm pencurian, alarm kebocoran gas, sirine
ambulan dan nada tembakan. Di antara kondisi yang bisa menyebabkan bahaya
di tempat kerja bisa bersumber dari fisik, biologis, kimia, faal dan psikologis.

a) Flammable (Mudah Terbakar)


Jenis bahaya flammable dibagi menjadi dua yaitu Extremely flammable (amat
sangat mudah terbakar) dan Highly flammable (sangat mudah terbakar). Untuk
Bahan-bahan dan formulasi yang ditandai dengan notasi bahaya “extremely
flammable “ merupakan likuid yang memiliki titik nyala sangat rendah (di bawah
0 0C) dan titik didih rendah dengan titik didih awal (di bawah +350 C). Bahan
amat sangat mudah terbakar berupa gas dengan udara dapat membentuk suatu
campuran bersifat mudah meledak di bawah kondisi normal. Frase-R untuk
bahan amat sangat mudah terbakar adalah R12. Sedangkan untuk bahan dan
formulasi ditandai dengan notasi bahaya highly flammable adalah subyek untuk
self-heating dan penyalaan di bawah kondisi atmosferik biasa, atau mereka
mempunyai titik nyala rendah (di bawah +21 0C). Beberapa bahan sangat mudah
terbakar menghasilkan gas yang amat sangat mudah terbakar di bawah
pengaruh kelembaban. Bahan-bahan yang dapat menjadi panas di udara pada
temperatur kamar tanpa tambahan pasokan energi dan akhirnya terbakar, juga
diberi label sebagai highly flammable. Frase-R untuk bahan sangat mudah
terbakar yaitu R11.

Bahaya : mudah terbakar


Meliputi :
1) Zat terbakar langsung, contohnya aluminium alkil fosfor; keamanan: hindari
campuran dengan udara.
2) Gas amat mudah terbakar. Contoh: butane, propane. Keamanan: hindari
campuran dengan udara dan hindari sumber api.
3) Zat sensitive terhadap air, yakni zat yang membentuk gas mudah terbakar
bila kena air atau api.
4) Cairan mudah terbakar, cairan dengan titik bakar di bawah 21 0C. contoh:
aseton dan benzene. Keamanan: jauhkan dari sumber api dan loncatan
bunga api.

b) Corrosive (Korosif)
Bahan dan formulasi dengan notasi corrosive adalah merusak jaringan hidup.
Jika suatu bahan merusak kesehatan dan kulit hewan uji atau sifat ini dapat
diprediksi karena karakteristik kimia bahan uji, seperti asam (pH <2)>11,5),
ditandai sebagai bahan korosif. Frase-R untuk bahan korosif yaitu R34 dan R35.
 Bahaya : korosif atau merusak jaringan tubuh manusia.
 Contoh : klor, belerang dioksida.
 Keamanan : hindari terhirup pernapasan, kontak dengan kulit dan mata.

c) Toxic (Beracun)
Bahan dan formulasi yang ditandai dengan notasi bahaya toxic dapat
menyebabkan kerusakan kesehatan akut atau kronis dan bahkan kematian pada
konsentrasi sangat tinggi jika masuk ke tubuh melalui inhalasi, melalui mulut
(ingestion), atau kontak dengan kulit.
Suatu bahan dikategorikan beracun jika memenuhi kriteria berikut:
LD50 oral (tikus) 25 – 200 mg/kg berat badan.
LD50 dermal (tikus atau kelinci) 50 – 400 mg/kg berat badan.
LC50 pulmonary (tikus) untuk aerosol /debu 0,25 – 1 mg/L.
LC50 pulmonary (tikus) untuk gas/uap 0,50 – 2 mg/L.
Frase-R untuk bahan beracun yaitu R23, R24 dan R25.
 Bahaya : toksik; berbahaya bagi kesehatan bila terhisap, terteln atau
kontak dengan kulit, dan dapat mematikan.
 Contoh : arsen triklorida, merkuri klorida
 Kemananan : hindari kontak atau masuk dalam tubuh, segera berobat ke
dokter bila kemungkinan keracunan.

d) Harmful Irritant (Bahaya Iritasi)


Ada sedikit perbedaan pada simbol ini yaitu dibedakan dengan kode Xn dan Xi.
Untuk Bahan dan formulasi yang ditandai dengan kode Xn memiliki resiko
merusak kesehatan sedangkan jika masuk ke tubuh melalui inhalasi, melalui
mulut (ingestion), atau kontak dengan kulit.
Suatu bahan dikategorikan berbahaya jika memenuhi kriteria berikut:
LD50 oral (tikus) 200-2000 mg/kg berat badan.
LD50 dermal (tikus atau kelinci) 400-2000 mg/kg berat badan.
LC50 pulmonary (tikus) untuk aerosol /debu 1 – 5 mg/L.
LC50 pulmonary (tikus) untuk gas/uap 2 – 20 mg/L.
Frase-R untuk bahan berbahaya yaitu R20, R21 dan R22.

Sedangkan Bahan dan formulasi dengan notasi irritant atau kode Xi adalah tidak
korosif tetapi dapat menyebabkan inflamasi jika kontak dengan kulit atau selaput
lendir. Frase-R untuk bahan irritant yaitu R36, R37, R38 dan R41
Kode Xn (Harmful)
 Bahaya : menimbulkan kerusakan kecil pada tubuh,
 Contoh : peridin
 Kemanan : hindari kontak dengan tubuh atau hindari menghirup, segera
berobat ke dokter bila kemungkinan keracunan.
Kode Xi (irritant)
 Bahaya : iritasi terhadap kulit, mata, dan alat pernapasan.
 Contoh : ammonia dan benzyl klorida.
 Keamanan : hindari terhirup pernapasan, kontak dengan kulit dan mata.

e) Explosive (Bersifat Mudah Meledak)


Bahan dan formulasi yang ditandai dengan notasi bahaya explosive dapat
meledak dengan pukulan/benturan, gesekan, pemanasan, api dan sumber nyala
lain bahkan tanpa oksigen atmosferik. Ledakan akan dipicu oleh suatu reaksi
keras dari bahan. Energi tinggi dilepaskan dengan propagasi gelombang udara
yang bergerak sangat cepat. Resiko ledakan dapat ditentukan dengan metode
yang diberikan dalam Law for Explosive Substances di laboratorium, campuran
senyawa pengoksidasi kuat dengan bahan mudah terbakar atau bahan pereduksi
dapat meledak . Sebagai contoh, asam nitrat dapat menimbulkan ledakan jika
bereaksi dengan beberapa solven seperti aseton, dietil eter, etanol, dll. Produksi
atau bekerja dengan bahan mudah meledak memerlukan pengetahuan dan
pengalaman praktis maupun keselamatan khusus. Apabila bekerja dengan
bahan-bahan tersebut kuantitas harus dijaga sekecil/sedikit mungkin baik untuk
penanganan maupun persediaan/cadangan. Frase-R untuk bahan mudah
meledak : R1, R2 dan R3.
 Bahaya : eksplosif pada kondisi tertentu.
 Contoh : ammonium nitrat, nitroselulosa, TNT.
 Keamanan : hindari benturan, gesekan, loncatan api, dan panas.
 Simbol Peringatan Bahaya di Tempat Kerja
Kumpulan rambu-rambu K3 : rambu-rambu peringatan bahaya K3 di tempat
kerja yang bermanfaat sebagai manajemen visual di tempat kerja.
3. Teknik-Teknik Penanganan Keselamatan Secara Manual dan Tehnik
Keselamatan Operasi Peralatan Setiap Waktu
Setelah seluruh bahaya K3 di tempat kerja telah diidentifikasi dan dipahami,
Perusahaan menerapkan pengendalian operasi yang diperlukan untuk
mengelola resiko-resiko terkait bahaya-bahaya K3 di tempat kerja serta untuk
memenuhi peraturan perundang-undangan dan persyaratan lainnya terkait
dengan penerapan K3 di tempat kerja.

Keseluruhan pengendalian operasi bertujuan untuk mengelola resiko-resiko K3


untuk memenuhi Kebijakan K3 Perusahaan. Prioritas pengendalian operasi
ditujukan pada pilihan pengendalian yang memiliki tingkat kehandalan tinggi
selaras dengan hierarki pengendalian resiko/bahaya K3 di tempat kerja.

Pengendalian operasi akan diterapkan dan dievaluasi secara bersamaan untuk


mengetahui tingkat keefektivan dari pengendalian operasi serta terintegrasi
(tergabung) dengan keseluruhan Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Perusahaan.
Beberapa pengendalian operasi K3 Perusahaan mencakup antara lain:
a. Umum :
 Perawatan dan perbaikan fasilitas/mesin/alat reguler.
 Kebersihan dan perawatan tempat kerja.
 Pengaturan lalu lintas manusia/barang, dsb.
 Pemasokan dan Perawatan Fasilitas Kerja/Fasilitas Umum.
 Perawatan suhu lingkungan kerja.
 Perawatan sistem ventilasi dan sistem instalasi listrik.
 Perawatan sarana tanggap darurat.
 Kebijakan terkait dinas luar, intimidasi, pelecehan, penggunaan obat-
obatan dan alkohol.
 Program-program kesehatan dan pengobatan umum.
 Program pelatihan dan pengembangan pengetahuan.
 Pengendalian akses tempat kerja.
b. Pekerjaan Bahaya Tinggi :
 Penggunaan prosedur, instruksi kerja dan cara kerja aman.
 Penggunaan peralatan/mesin yang tepat.
 Sertifikasi pelatihan tenaga kerja keahlian khusus.
 Penggunaan izin kerja.
 Prosedur pengendalian akses keluar masuk tenaga kerja di tempat
kerja bahaya tinggi.
 Pengendalian untuk pencegahan penyakit akibat kerja.

c. Penggunaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) :


 Pembatasan area-area penggunaan bahan berbahaya dan beracun
(B3) di tempat kerja.
 Pengamanan pemasokan dan pengendalian akses keluar masuk
penyimpanan bahan berbahaya dan beracun (B3).
 Barikade sumber radiasi.
 Isolasi pencemaran biologis.
 Pengetahuan penggunaan dan ketersediaan perlengkapan darurat.

d. Pembelian Barang, Peralatan dan Jasa :


 Menyusun persyaratan pembelian barang, peralatan dan jasa.
 Komunikasi persyaratan pembelian barang kepada pemasok.
 Persyaratan transportasi/pengiriman bahan berbahaya dan beracun
(B3).
 Seleksi dan penilaian pemasok.
 Pemeriksaan penerimaan barang/peralatan/jasa.

e. Kontraktor :
 Kriteria pemilihan kontraktor.
 Komunikasi persyaratan kepada kontraktor.
 Evaluasi dan penilaian kinerja K3 berkala.

f. Tamu, Pengunjung dan Pihak Luar :


 Pengendalian akses masuk.
 Pengetahuan dan kemampuan mengenai izin penggunaan
peralatan/perlengkapan/mesin/material di tempat kerja.
 Penyediaan pelatihan/induksi yang diperlukan.
 Pengendalian administratif rambu dan tanda bahaya di tempat kerja.
 Cara pemantauan perilaku dan pengawasan aktivitas di tempat kerja.

Penetapan kriteria operasi K3 Perusahaan mencakup beberapa hal sebagai


berikut :
a. Pekerjaan Bahaya Tinggi :
 Penggunaan peralatan/perlengkapan yang telah ditentukan beserta
prosedur/instuksi kerja penggunaannya.
 Persyaratan kompetensi keahlian.
 Petunjuk individu mengenai penilaian resiko terhadap kejadian yang
muncul tiba-tiba dalam pekerjaan.

b. Penggunaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) :


 Daftar bahan berbahaya dan beracun (B3) yang disetujui.
 Penentuan Nilai Ambang Batas (NAB).
 Penentuan Nilai Ambang Kuantitas (NAK).
 Penentuan lokasi dan kondisi penyimpanan.
c. Area Kerja Bahaya Tinggi :
 Penentuan APD (Alat Pelindung Diri).
 Penentuan persyaratan masuk.
 Penentuan persyaratan kondisi kesehatan/kebugaran.
d. Kontraktor :
 Persyaratan kriteria kinerja K3.
 Persyaratan pelatihan maupun kompetensi keahlian terhadap personel di
bawah kendali kontraktor.
 Persyaratan pemeriksaan peralatan/perlengkapan/bahan/material
kontraktor.
e. Tamu, Pengunjung dan Pihak Luar :
 Pengendalian dan pembatasan akses masuk dan akses keluar tempat
kerja.
 Persyaratan APD (Alat Pelindung Diri).
 Induksi K3.
 Persyaratan tanggap darurat.

4. Prosedur Pertolongan Pertama Secara Darurat

Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) merupakan pertolongan pertama


yang harus segera diberikan kepada korban yang mendapatkan kecelakaan atau
penyakit mendadak dengan cepat dan tepat sebelum korban dibawa ke tempat
rujukan atau Rumah sakit. P3K yang dimaksud yaitu memberikan perawatan
darurat pada korban, sebelum pertolongan pertama yang lengkap diberikan oleh
dokter atau petugas kesehatan lainnya.

P3K diberikan untuk menyelamatkan korban, meringankan penderitaan korban,


mencegah cidera atau penyakit yang lebih parah, mempertahankan daya tahan
korban, dan mencarikan pertolongan yang lebih lanjut. Adapun prinsip-prinsip
pertolongan terhadap korban serta beberapa peralatan yang diperlukan terhadap
korban namun tidak semua ada, akan tetapi kita dituntut kreatif dan mampu
menguasai setiap keadaan.

 Prinsip Dasar
Adapun prinsip-prinsip dasar dalam menangani suatu keadaan darurat tersebut
diantaranya:
1) Pastikan anda bukan menjadi korban berikutnya. Seringkali kita lengah atau
kurang berfikir panjang bila kita menjumpai suatu kecelakaan. Sebelum kita
menolong korban, periksa dulu apakah tempat tersebut sudah aman atau
masih dalam bahaya.
2) Pakailah metode atau cara pertolongan yang cepat, mudah dan efisien.
Hindarkan sikap sok pahlawan. Pergunakanlah sumber daya yang ada baik
alat, manusia maupun sarana pendukung lainnya. Bila anda bekerja dalam
tim, buatlah perencanaan yang matang dan dipahami oleh seluruh anggota.

3) Biasakan membuat catatan tentang usaha-usaha pertolongan yang telah


anda lakukan, identitas korban, tempat dan waktu kejadian, dan sebagainya.
Catatan ini berguna bila penderita mendapat rujukan atau pertolongan
tambahan oleh pihak lain.

 Sistematika Pertolongan Pertama


Secara umum urutan Pertolongan Pertama pada korban kecelakaan adalah :
1) Jangan Panik
Berlakulah cekatan tetapi tetap tenang. Apabila kecelakaan bersifat massal,
korban-korban yang mendapat luka ringan dapat dikerahkan untuk membantu
dan pertolongan diutamakan diberikan kepada korban yang menderita luka yang
paling parah tapi masih mungkin untuk ditolong.

2) Jauhkan atau hindarkan korban dari kecelakaan berikutnya.


Pentingnya menjauhkan dari sumber kecelakaannya adalah untuk mencegah
terjadinya kecelakan ulang yang akan memperberat kondisi korban. Keuntungan
lainnya adalah penolong dapat memberikan pertolongan dengan tenang dan
dapat lebih mengkonsentrasikan perhatiannya pada kondisi korban yang
ditolongnya. Kerugian bila dilakukan secara tergesa-gesa yaitu dapat
membahayakan atau memperparah kondisi korban.

3) Perhatikan pernafasan dan denyut jantung korban.


Bila pernafasan penderita berhenti segera kerjakan pernafasan bantuan.

4) Pendarahan.
Pendarahan yang keluar pembuluh darah besar dapat membawa kematian dalam
waktu 3 sampai 5 menit. Dengan menggunakan saputangan atau kain yang
bersih tekan tempat pendarahan kuat-kuat kemudian ikatlah saputangan tadi
dengan dasi, baju, ikat pinggang, atau apapun juga agar saputangan tersebut
menekan luka-luka itu. Kalau lokasi luka memungkinkan, letakkan bagian
pendarahan lebih tinggi dari bagian tubuh.

5) Perhatikan tanda-tanda shock.


Korban-korban ditelentangkan dengan bagian kepala lebih rendah dari letak
anggota tubuh yang lain. Apabila korban muntah-muntah dalm keadaan
setengah sadar, baringankan telungkup dengan letak kepala lebih rendah dari
bagian tubuh yang lainnya. Cara ini juga dilakukan untuk korban-korban yang
dikhawatirkan akan tersedak muntahan, darah, atau air dalam paru-parunya.
Apabila penderita mengalami cidera di dada dan penderita sesak nafas (tapi
masih sadar) letakkan dalam posisi setengah duduk.

6) Jangan memindahkan korban secara terburu-buru.


Korban tidak boleh dipindahakan dari tempatnya sebelum dapat dipastikan jenis
dan keparahan cidera yang dialaminya kecuali bila tempat kecelakaan tidak
memungkinkan bagi korban dibiarkan ditempat tersebut. Apabila korban hendak
diusung terlebih dahulu pendarahan harus dihentikan serta tulang-tulang yang
patah dibidai. Dalam mengusung korban usahakanlah supaya kepala korban
tetap terlindung dan perhatikan jangan sampai saluran pernafasannya tersumbat
oleh kotoran atau muntahan.

7) Segera transportasikan korban ke sentral pengobatan.


Setelah dilakukan pertolongan pertama pada korban setelah evakuasi korban ke
sentral pengobatan, puskesmas atau rumah sakit. Perlu diingat bahwa
pertolongan pertama hanyalah sebagai life saving dan mengurangi kecacatan,
bukan terapi. Serahkan keputusan tindakan selanjutnya kepada dokter atau
tenaga medis yang berkompeten.

Setiap pemberian pemberian pertolongan pada kecelakaan secara terinci tentu


berbeda, tergantung pada jenis kecelakaan yang terjadi, jenis dan bentuk cidera
serta situasi dan kondisi korban. Namun pada dasarnya pertolongan pertama
pada kecelakaan harus dilakukan secara sistematis berdasar kepada DR CAB,
yaitu :
a. Danger (Bahaya)
Pastikan Keadaan Aman untuk Menolong. Sebelum menolong korban, sebaiknya
anda memastikan bahwa lokasi benar-benar aman bagi anda sebagi penolong,
orang-orang di sekitar lokasi kejadian, dan korban itu sendiri. Periksalah segala
sesuatu yang dapat yang mengancam keselamatan. Gunakan pelindung diri yang
ada, seperti sarung tangan dan masker untuk mencegah faktor risiko infeksi
menular. Jangan mengambil risiko untuk menjadi korban berikutnya.

2) Response (Respon)
Pastikan Kondisi Kesadaran Korban. Periksa kesadaran korban dengan cara
memanggil namanya jika anda kenal, atau bersuara yang agak keras di dekat
telinga korban, jika tidak ada respon juga, tepuk pundak korban perlahan namun
tegas, berikan rangsangan nyeri (misalnya mencubit bagian telinga korban). Jika
korban masih tidak ada respon, segara panggil bantuan medis, dan lakukan
tahap selanjutnya, karena anda masih mempunyai waktu untuk menunggu
bantuan medis datang.

3) Compression (Tekanan pada Dada)


Setelah memastikan korban tidak memberi respon dan sudah memanggil bantuan
medis, lakukan kompresi dada yang biasa di kenal RJP (Resusitasi Jantung Paru-
paru) atau disebut CPR (Cardio Pulmonary Resutation). Melakukan RJP yang
benar adalah dengan meletakkan korban pada permukaan datar dan keras.
Adapun langkah-langkah dalam melakukan RJP pada korban dewasa adalah:
 Berlutut di samping korban.
 Tentukan posisi kompresi dada, dengan menemukan titik tengah pertemuan
tulang iga dada korban.
 Setelah menemukan titik kompresi, tempatkan tumit tangan anda pada titik
tersebut, dengan satu tangan lagi diatasnya.
 Posisikan tangan anda tegak lurus dan jaga agar tetap tegak lurus pada saat
melakukan kompresi, dan lalu tekan dada korban.
 Berikan 30 kali kompresi dada, lakukan dengan cepat dan pertahankan
kecepatannya.
 Berikan kompresi dengan kedalaman 2 inchi (5 cm).

4) Airway (Jalan Nafas)


Setelah melakukan 30 kompresi, buka jalan nafas korban dengan metode Head-
tilt chin-lift. Tujuannya adalah untuk membuka jalan nafas korban yang
tersumbat oleh lidah yang tertarik ke tenggorokan sehingga menutupi jalan
nafas. Cara melakukan metode Head-tilt chin-lift yaitu:
 Letakkan telapak tangan anda di dahi korban dan letakkan jari-jari tangan
anda yang lain di bawah dagu korban.
 Kemudian tekan dahi ke bawah sambil angkat dagu keatas sehingga kepala
korban mendongak keatas dan mulut korban terbuka.
5) Breathing (Bernafas)
Setelah jalan nafas terbuka, lanjutkan dengan pemberian 2 kali nafas bantuan
dari mulut ke mulut. Perhatikan membusungnya dada korban untuk memastikan
Volume tidal. Volume tidal adalah jumlah udara yang dihirup dan dihembuskan
setiap kali bernafas, dimana volume tidal normal sesorang adalah 350-400ml.
Adapun cara memberikan nafas bantuan sebagai berikut :
 Pastikan jalan nafas korban masih dalan posisi terbuka dengan metode Head-
tilt chin-lift sebelumnya.
 Tekan hidung korban untuk memastikan tidak ada udara yang bocor melalui
hidung, ambil nafas dengan normal lalu tempelkan mulut serapat mungkin
pada mulut korban dan tiupkan nafas Anda melalui mulut.
Lakukan dengan perbandingan 30:2 yaitu 30 kompresi dada dan 2 kali napas
bantuan, sampai ada respon dari korban atau sampai bantuan medis tiba.
Perlu diketahui, bahwa otak tidak boleh kekurangan oksigen lebih dari 4 menit
terutama saat diketahui jantung seseorang berhenti. Itu artinya Anda hanya
punya waktu kurang dari 4 menit untuk melakukan RJP atau CPR pada
korban.
 Resusitasi jantung paru-paru (Cardio Pulmonary Resuscitation/CPR)
Ini adalah langkah-langkah penyelamatan jiwa seseorang dimana denyut
jantung telah berhenti. CPR adalah kombinasi dari masase jantung dari luar
dan resusitasi mulut ke mulut. Untuk melakukan CPR dengan seharusnya
Anda sudah mengikuti latihan sehingga berkurang kemungkinan Anda
melakukan kesalahan yang malah bertambah cedera pada penderita.

Adapun susunan prioritas pemberian pertolongan pertama pada kecelakaan


yaitu pada korban:
a) Henti napas.
b) Henti jantung.
c) Pendarahan berat.
d) Syok ketidak sadaran.
e) Pendarahan ringan.
f) Patah tulang atau cidera lain.
Tindakan penolong selama melakukan pertolongan pertama, harus di
perhatikan pula:

1) Hindari memindahkan korban.


Memindahkan korban adalah hal yang sangat berbahaya jika tidak menguasai
dengan baik teknik cara memindahkan korban. Hal in dapat menebabkan hal
yang serius bahkan menambah buruk kondisi korban, terutama pada kasus
cidera tulang belakang.
2) Jangan pernah ragu.
Lakukan tindakan pertolongan pertama pada kecelakaan dengan penuh
keyakinan dan tiada ragu secara cepat dan tepat, karena keraguan dalam
melakukan tindakan pertolongan pertama pada kecelakaan adalah mati.
3) Hubungi petugas yang berwenang.
Menghubungi orang atau petugas yang menguasai dengan baik teknik
pertolongan pertama sebaiknya dilakukan sebaik mungkin.

Adapun kasus-kasus kecelakaan atau gangguan dalam kegiatan alam terbuka


berikut gejala dan penanganannya, yaitu sebagai berikut:

1) Pingsan (Syncope/collapse) yaitu hilangnya kesadaran sementara karena otak


kekurangan O2, lapar, terlalu banyak mengeluarkan tenaga, dehidrasi
(kekurangan cairan tubuh), hiploglikemia, animea.
Gejalanya:
 Menguap berlebihan
 Tak respon (beberapa menit)
 Denyut nadi Perasaan limbung
 Pandangan berkunang-kunang
 Telinga berdenging
 Nafas tidak teratur
 Muka pucat
 Lemas
 Keringat dingin lambat
Penanganan:
 Baringkan korban dalam posisi terlentang
 Tinggikan tungkai melebihi tinggi jantung
 Longgarkan pakaian yang mengikat dan hilangkan barang yang
menghambat pernafasan
 Beri udara segar
 Periksa kemungkinan cedera lain
 Selimuti korban
 Korban diistirahatkan beberapa saat
 Bila tak segera sadar, periksa nafas dan nadi posisi stabil, rujuk ke instansi
kesehatan.
2) Dehidrasi yaitu suatu keadaan dimana tubuh mengalami kekurangan cairan.
Hal ini terjadi apabila cairan yang dikeluarkan tubuh melebihi cairan yang
masuk. Keluarnya cairan ini biasanya disertai dengan elektrolit (K, Na, Cl, Ca).
Dehidrasi disebabkan karena kurang minum dan disertai kehilangan
cairan/banyak keringat karena udara terlalu panas atau aktivitas yang terlalu
berlebihan.
Gejala dan tanda dehidrasi:
a) Dehidrasi ringan:
 Defisit cairan 5% dari berat badan
 Penderita merasa haus
 Denyut nadi lebih dari 90x/menit
b) Dehidrasi sedang:
 Defisit cairan antara 5-10% dari berat badan
 Nadi lebih dari 90x/menit
 Nadi lemah
 Sangat haus
c) Dehidrasi berat:
 Defisit cairan lebih dari 10% dari berat badan
Hipotensi;
 Mata cekung;
 Nadi sangat lemah, sampai tak terasa;
 Kejang-kejang.

Penanganan:
 Mengganti cairan yang hilang dan mengatasi shock;
 mengganti elektrolit yang lemah;
 Mengenal dan mengatasi komplikasi yang ada;
 Memberantas penyebabnya;
 Rutinlah minum jangan tunggu haus.
3) Asma yaitu penyempitan/gangguan saluran pernafasan.
Gejala:
 Sukar bicara tanpa berhenti, untuk menarik nafas;
 Terdengar suara nafas tambahan;
 Otot Bantu nafas terlihat menonjol (di leher);
 Irama nafas tidak teratur;
 Terjadinya perubahan warna kulit (merah/pucat/kebiruan/sianosis)
Kesadaran menurun (gelisah/meracau).
Penanganan:
 Tenangkan korban;
 Bawa ketempat yang luas dan sejuk;
 Posisikan ½ duduk;
 Atur nafas;
 Beri oksigen (bantu) bila diperlukan.

4) Pusing/Vertigo/Nyeri Kepala yaitu sakit kepala yang disebabkan oleh


kelelahan, kelaparan, gangguan kesehatan dan lain-lain.
Gejala:
 Kepala terasa nyeri/berdenyut
 Kehilangan keseimbangan tubuh
 Lemas

Penanganan:
 Istirahatkan korban;
 Beri minuman hangat;
 beri obat bila perlu;
 Tangani sesuai penyebab.

5) Maag/Mual yaitu gangguan lambung/saluran pencernaan.


Gejala:
 Perut terasa nyeri/mual
 Berkeringat dingin
 Lemas
Penanganan:
 Istirahatkan korban dalam posisi duduk ataupun berbaring sesuai kondisi
korban;
 Beri minuman hangat (teh/kopi);
 Jangan beri makan terlalu cepat.
6) Lemah jantung yaitu nyeri jantung yang disebabkan oleh sirkulasi darah
kejantung terganggu atau terdapat kerusakan pada jantung.
Gejala:
 Nyeri di dada;
 Penderita memegangi dada sebelah kiri bawah dan sedikit membungkuk;
 Kadang sampai tidak merespon terhadap suara;
 Denyut nadi tak teraba/lemah;
 Gangguan nafas;
 Mual, muntah, perasaan tidak enak di lambung;
 Kepala terasa ringan;
 Lemas;
 Kulit berubah pucat/kebiruan;
 Keringat berlebihan;
Tidak semua nyeri pada dada adalah sakit jantung. Hal itu bisa terjadi karena
gangguan pencernaan, stress, tegang.

Penanganan:
 Tenangkan korban;
 Istirahatkan;
 Posisi ½ duduk;
 Buka jalan pernafasan dan atur nafas;
 Longgarkan pakaian dan barang barang yang mengikat pada badan;
 Jangan beri makan/minum terlebih dahulu;
 Jangan biarkan korban sendirian (harus ada orang lain didekatnya).

7) Histeria yaitu sikap berlebih-lebihan yang dibuat-buat (berteriak, berguling-


guling) oleh korban; secara kejiwaan mencari perhatian.
Gejala:
 Seolah-olah hilang kesadaran;
 Sikapnya berlebihan (meraung-raung, berguling-guling di tanah);
 Tidak dapat bergerak/berjalan tanpa sebab yang jelas.
Penanganan:
 Tenangkan korban;
 Pisahkan dari keramaian;
 Letakkan di tempat yang tenang;
 Awasi.

8) Mimisan yaitu pecahnya pembuluh darah di dalam lubang hidung karena suhu
ekstrim (terlalu panas/terlalu dingin)/kelelahan/benturan.
Gejala:
 Dari lubang hidung keluar darah dan terasa nyeri;
 Korban sulit bernafas dengan hidung karena lubang hidung tersumbat oleh
darah;
 Kadang disertai pusing

Penanganan:
 Bawa korban ke tempat sejuk/nyaman;
 Tenangkan korban;
 Korban diminta menunduk sambil menekan cuping hidung;
 Diminta bernafas lewat mulut;
 Bersihkan hidung luar dari darah;
 Buka setiap 5/10 menit. Jika masih keluar ulangi tindakan Pertolongan
Pertama.

Inilah beberapa contoh kasus – kasus kecelakaan atau gangguan kegiatan


dialam terbuka, dan masih banyak lagi contoh – contoh dan kasus – kasus
lainnya dialam terbuka.
Adapun beberapa Alat Pelindung Diri (APD) dan Peralatan yang digunakan
terhadap Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan, yaitu sebagai berikut:
a) Sarung tangan Lateks;
b) Kacamata Pelindung;
c) Masker Penolong;
d) Masker Resusitasi.
Pemakaian APD tidak sepenuhnya dapat melindungi penolong. Ada beberapa
tindakan lain yang harus dilakukan sebagai tindakan pencegahan, yaitu:
a) Mencuci Tangan;
b) Membersihkan Peralatan.

 Peralatan Pertolongan Pertama


Adapun Peralatan Pertolongan Pertama lainnya adalah:
1) Penutup Luka
– Kasa Steril
– Bantalan Kasa
2) Pembalut, contoh:
– Pembalut Gulung / Pipa
– Pembalut Segitiga / Mitela
– Pembalut Tubuler / Tabung
– Pembalut Rekat / Plester
3) Cairan Antiseptik, contoh:
– Alkohol 70%
– Povidone iodine 10%
4) Cairan Pencuci Mata
– Boorwater
5) Peralatan Stabilisasi, contoh:
– Bidai
– Papan Spinal Panjang
– Papan Spinal Pendek
6) Gunting Pembalut
7) Pinset
8) Senter
9) Kapas
10) Selimut.
11) Kartu Korban
12) Alat Tulis
13) Oksigen
14) Tensimeter dan Stetoskop
15) Tandu
Semua peralatan di atas kecuali yang berukuran besar, dapat dimasukkan ke
dalam tas atau sejenisnya. Daftar peralatan di atas tidaklah harus selalu sama,
dapat bervariasi tergantung dari kemampuan penolong dan juga ketersediaan
peralatan tersebut.

Catatan : Sebagai Pelaku Pertolongan Pertama, kita harus mampu


berimprovisasi mempergunakan bahan atau peralatan yang ada jika terjadi
kekurangan atau ketiadaan peralatan tersebut, sehingga korban bisa ditolong
dengan maksimal.

5. Situasi yang Secara Potensial Berbahaya, Kegagalan dan Peralatan


Berbahaya

Potensi bahaya (hazard) adalah setiap kondisi, situasi kerja, bahan atau proses
yang berpotensi menyebabkan kerugian materi/ peralatan, kecelakaan ataupun
penyakit terhadap manusia, termasuk bayi yang ada dalam kandungannya, dan
sebagainya.

 Jenis-jenis potensi bahaya utama


a) Potensi Bahaya Fisik.
 Bising / suara diatas NAB (excessive noise);
 Getaran yang berlebihan;
 Radiasi;
 Permukaan yang licin;
 Benda-benda / objek penghalang;
 Permukaan panas/dingin;
 Penerangan yang tidak memadai;
 Alat/ mesin tanpa pelindung.
b) Potensi Bahaya Kimia
 solvents-kebutaan (blindness);
 asbestos-gangguan kesehatan (silicosis, asbestosis, blood cancer);
 metal dioxides-gangguan kulit (iritation, burnt, etc.);
 arsenic-kepekaan menurun (decrease mental alertness).

c) Potensi Bahaya Biologi


Setiap bahan yang berasal dari makhluk hidup ( debu organik, jamur,
serangga, kutu, bakkteri, virus, enzim, dsb ) yang mampu menyebabkan
reaksi allergy, atau penyakit terhadap manusia.

d) Potensi Bahaya Ergonomis


Setiap tempat kerja atau kegiatan yang bisa menyebabkan/ menimbulkan
tekanan fisik atau jiwa ataupun perlakuan yang tidak pantas terhadap
bagian tubuh seseorang.
 Desain lokasi kerja yang buruk (poor work station design);
 Tata ruang kerja buruk (poor work place layout);
 Bekerja berlebihan tidak diimbangi dengan istirahat yang cukup;
 Menggunakan peralatan yang rusak atau tidak nyaman;
 Bekerja dengan gerakan/cara yang memaksa urat (stretching).

e) Potensi Bahaya Prosedur Kerja


Prosedur kerja adalah alat yang harus dipercaya dan digunakan apa
adanya tanpa dipengaruhi waktu atau faktor lainnya. oleh karenanya,
prosedur kerja bisa dijadikan pekerja celaka bila digunakan tidak utuh,
atau lazim di sebut jalan-pintas (short cut).
 Contoh-contohnya, melangkahi urutan prosedur kerja;
 Tidak mengenakan PPE;
 Menyepelekan lock out;
 Bekerja tanpa WP atau sebelum WP divalidasi.
 Pengendalian Hazard
Tindakan pengontrolan (control measures) merupakan langkah-langkah yang
harus diambil untuk mencegah atau mengurangi akibat suatu kecelakaan.

Kita kenal apa yang disebut hirarki pengontrolan potensi bahaya (yang juga
sebagai Filosofi Keselamatan Kerja)
 Elimination (Meniadakan) prioritas utama;
 Substitution (Mengurangi tingkat bahaya);
 Administrative control (membuat daftar in/out );
 Equipment enginnering controls (baricade, signs, etc.).

 Training & Personal Protective Equipment:


 Training & Personal Protective Equipment Training disarankan untuk
membuat pekerjaan mengerti cara melakukan pekerjaan secara benar dan
selamat.
 PPE adalah merupakan prioritas terakhir.
 PPE tidak menjamin kerja untuk tidak celaka, namun dengan PPE jika
terjadi kecelakaan maka keparahannya bisa di minimalisir. jadi PPE atau
APD tetap sebagai suatu yang mutlak harus di gunakan.

B. Keterampilan yang diperlukan dalam Menerapkan Praktik-Praktik


Kesehatan dan Keselamatan Kerja

1. Menerapkan prosedur kesehatan dan keselamatan kerja setiap waktu dalam


pekerjaan sehari-hari;

2. Mengobservasi mengenai peringatan bahaya dan tanda-tanda keselamatan;

3. Mengenali peringatan bahaya dan tanda-tanda keselamatan;

4. Menerapkan teknik-teknik penanganan keselamatan secara manual dan tehnik


keselamatan operasi peralatan diterapkan setiap waktu;

5. Mengikuti prosedur pertolongan pertama secara darurat;

6. Mengidentifikasi situasi yang secara potensial berbahaya, meliputi kegagalan


dan peralatan berbahaya;
7. Melaporkan secara langsung situasi yang secara potensial berbahaya, meliputi
kegagalan dan peralatan berbahaya.

C. Sikap kerja yang diperlukan dalam Menerapkan Praktik-Praktik


Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Harus bersikap secara:

1. Taat asas, tanggung jawab, cermat dan teliti dalam menerapkan prosedur
kesehatan dan keselamatan kerja setiap waktu dalam pekerjaan sehari-hari;

2. Cermat dan teliti dalam mengobservasi mengenai peringatan bahaya dan


tanda-tanda keselamatan;

3. Taat asas, tanggung jawab dalam menerapkan teknik-teknik penanganan


keselamatan secara manual dan tehnik keselamatan operasi peralatan
diterapkan setiap waktu;

4. Taat asas dan tanggung jawab dalam mengikuti prosedur pertolongan


pertama secara darurat;

5. Cermat, teliti, berpikir analitis dan evaluatif dalam mengidentifikasi situasi


yang secara potensial berbahaya, meliputi kegagalan dan peralatan
berbahaya;

6. Taat asas dan tanggung jawab dalam melaporkan secara langsung situasi yang
secara potensial berbahaya, meliputi kegagalan dan peralatan berbahaya.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Referensi
a. Suma’mur, 1987. Kesehatan Kerja dan Pencegahan Kesehatan. Jakrta: Haji
Mas Agung.
b. Wuryantari S. & Puspitasari D., 2007. Keamanan, Keselamatan dan
Kesehatan Kerja. Depok: Arya Duta.

B. Referensi Lainnya

a. The Essentials of Language Teaching, PLANNING A LESSON,


www.nclrc.org/essentials A project of the National Capital Language
Resource Center ©2003-2007
b. American Federation of Teachers, Teacher Resorces: Managing Your First
Day of School, www.aft.org
DAFTAR ALAT DAN BAHAN

A. Daftar Peralatan/Mesin

No. Nama Peralatan/Mesin Keterangan


1. Laptop, infocus, laserpointer Untuk di ruang teori
2. Laptop Untuk setiap peserta
3.
4.
5.
6.
7.

B. Daftar Bahan

No. Nama Bahan Keterangan


1. Setiap peserta
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9. Setiap peserta
DAFTAR PENYUSUN

No. Nama Profesi

1. Instruktur …
1. .. 2. Asesor …
3. Anggota …

Anda mungkin juga menyukai