Anda di halaman 1dari 46

PERKEMBANGAN STRUKTUR, POLA DAN FUNGSI RUANG SECARA HORIZONTAL DAN

VERTIKAL DI KECAMATAN GENUK KOTA SEMARANG


Disusun guna memenuhi tugas besar mata kuliah Morfologi Kota (TPW 21243)

Dosen Pengampu :
Retno Susanti, ST.,
Prof. Dr.Ir. Sugiono Soetomo, CES., DEA
Ir. Parfi Khadiyanto, M.Si
Ir. Nurini, MT
Dr. Ing. Santy Paulla Dewi, ST.,MT
Grandy Loranesa Wungo , ST.,MT

Kelompok A2 :

Ronaldo Manuel Silaen (21040118110001)

Prasmana Soesanto (21040118110003)

Zeldania Amara Heratri (21040118120015)

Salma Ayyasi (21040118120021)

Nadya Ervicha Ayuningtyas (21040118120028)

Arfika Iffada Putri (21040118120036)

Citra Tatius (21040118120042)

Reza Nasrudin (21040118120048)

Rizqita Shofa Nida (21040118120050)

Aryo Widyatmoko (21040118140147)

DEPARTEMEN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2019
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kota merupakan sebuah wilayah yang menjadi pusat aktivitas . Kota memiliki ciri-ciri
seperti kepadatan penduduk yang tinggi, sifat penduduk yang heterogen dan wewenangnya
terbatas oleh suatu peraturan atau kebijakan. Morfologi kota merupakan ilmu yang
mempelajari bentuk dan kondisi fisik suatu kota, dalam perencanaan wilayah dan kota
morfologi kota menjadi salah satu mata kuliah yang mempelajari bentuk fisik sebuah kota
dan perkembangannya dari dahulu hingga sekarang. Bentuk morfologi kawasan tercermin
pada pola tata ruang, bentuk arsitektur bangunan, serta elemen-elemen fisik kota lainnya
pada keseluruhan konteks perkembangan kota (Wahyuni,2015).
Perkembangan dan pertumbuhan suatu kota dibentuk oleh adanya aktivitas penduduk .
Selain itu, Perkembangan kota sangat berkaitan dengan fungsi waktu, hal ini mengingatkan
kita pada masa lampau yaitu aspek kesejarahan memegang peranan yang sangat penting
dalam membentuk morfologi kota (Mumford,1967). Waktu menjadi sebuah tolak ukur
perubahan pertumbuhan dan perkembangan suatu kota .Bentuk kota bukan hanya sekedar
produk, tetapi juga merupakan proses akumulasi menifestasi fisik dari kehidupan non fisik,
yang dipengaruhi oleh sistem nilai dan norma-norma yang berlaku pada masa
pembentukannya (Danisworo,1989). Melalui faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan kota tersebut dapat dilihat bentuk dan pola dari suatu wilayah.
Pentingnya dilakukannya kebutuhan studi/ kajian mengenai morfologi di suatu wilayah
karena ada kaitan antara perencanaan kota dan perancangan kota dengan segala
persoalannya yang memerlukan penelitian dan arahan. Argumentasi dikemukakan oleh
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 2 Tahun 1987 yang menekankan pada kebutuhan
mempelajari semua aspek permasalahan dalam perencanaan kota termasuk mempelajari
morfologi untuk perancangan kota. Selain itu, kebutuhan tersebut diperlukan pertama karena
sejalan dengan semakin kompleks kehidupan kota muncul masalah bentukan fisik kota.
Kedua karena tuntutan tujuan perancangan kota itu sendiri yang mengharapkan terciptanya
kualitas lingkungan fisik fungsional dan visual kota yang baik (Hamid Sarvani, 1985). Aspek
morfologi ini merupakan salah satu aspek pertimbangan dalam melakukan proses
perencanaan kota/ wilayah kedepannya. Proses perencanaan kota/ wilayah tersebut
bertujuan untuk mewujudkan peningkatan kualitas lingkungan kehidupan dan penghidupan
masyarakat kota dalam mencapai kesejahteraan sesuai aspirasi warga kota.
Wilayah studi penelitian terletak di Kecamatan Genuk, Kota Semarang, Provinsi Jawa
Tengah, Indonesia. Terletak di sebelah Timur Laut kota Semarang. Kecamatan Genuk
memiliki luas sebesar 27,39 km² dengan Kepadatan penduduk mencapai 3.371,29 jiwa/km².
Dengan mempunyai RT dan RW bertutut-turut sejumlah 528 dan 82. Kecamatan Genuk
terbentuk dari tahun 1976 yang mana Kecamatan Genuk sebelumnya merupakan bagian dari
Kabupaten Demak. Pada tahun 1976 dilakukan penambahan jumlah kecamatan, sehingga di
Kota Semarang terbentuklah 16 kecamatan yang salah satunya adalah Kecamatan Genuk.
Kecamatan Genuk berasal dari kata dalam bahasa jawa yaitu gentong, konon katanya
seseorang berkata ini tempat yang indah dan disini ada sebuah genuk(gentong) maka tempat
ini diberi nama genuk sari yang artinya gentong yang ada di tempat yang indah. Oleh sebab
itu, maka orang-orang pun menyebut daerah itu dengan nama Genuk. Kecamatan Genuk
memiliki perkembangan wilayah dan proses pertumbuhan bentuk wilayah yang akan di
analisis dalam penelitian ini melalui 3 pendekatan pokok perancangan wilayah yang
dikemukakan oleh Roger Trancik dalam bukunya Finding Lost Space, yaitu Figure Ground
Theory, Linkage Theory dan Place Theory.

1.2 Rumusan Masalah


Kecamatan Genuk terletak di Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah merupakan sebuah
kecamatan yang penggunaan lahannya didominasi oleh industri dan permukiman.
Penggunaan lahan di Genuk lama-kelamaan mengalami perubahan karena pertumbuhan
penduduk dari tahun ke tahun yang terjadi akibat perkembangan aktivitas industri,
perdagangan dan jasa, dan lainnya yang terus berkembang di kecamatan tersebut.
Berdasarkan hal-hal tersebut dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana sejarah perkembangan wilayah yang terjadi di Kecamatan Genuk?
b. Bagaimana perubahan struktur, pola, dan fungsi ruang di Kecamatan Genuk?
c. Bagaimana perubahan aktivitas dan perubahan budaya yang terjadi akibat dari
perubahan struktur, pola, dan fungsi kawasan yang berada di Kecamatan Genuk?

1.3 Tujuan dan Sasaran


1.3.1 Tujuan
Tujuan dari laporan ini adalah untuk mengidentifikasi perkembangan Kota Semarang
secara horizontal dan vertikal khususnya pada wilayah studi Kecamatan Genuk, Kota
Semarang.

1.3.2 Sasaran

 Mengidentifikasi aspek morfologi seperti struktur dan bentuk pada daerah Kecamatan
Genuk.
 Mengidentifikasi karakteristik sosial budaya pada daerah Kecamatan Genuk.
 Mengidentifikasi sejarah perkembangan wilayah Kecamatan Genuk.
 Mengidentifikasi karakter khusus yang terdapat pada Kecamatan Genuk.

1.4 Ruang Lingkup


1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah
Ruang lingkup yang dibahas dalam laporan ini adalah kawasan di Kecamatan Genuk.
Kecamatan Genuk merupakan salah satu kecamatan yang berada di pesisir Kota Semarang.
Ruang lingkup wilayah terdiri dari ruang lingkup makro yaitu Kota Semarang, dan ruang
lingkup mikro, yaitu Kecamatan Genuk.

a. Ruang Lingkup Wilayah Makro :


Kota Semarang terdiri dari 16 kecamatan yaitu, Kelurahan Banyumanik, Candisari,
Gajahmungkur, Gayamsari, Genuk, Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, Pedurungan, Semarang
Barat, Semarang Selatan, Semarang Tengah, Semarang Timur, Semarang Utara,
Tembalang, dan Tugu. Luas Kota Semarang adalah 373,70 km2. Kota Semarang memiliki
batas-batas administrasi sebagai berikut :
 Batas Utara : Laut Jawa
 Batas Selatan : Kabupaten Semarang
 Batas Timur : Kabupaten Demak
 Batas Barat : Kabupaten Kendal

b. Ruang Lingkup Wilayah Mikro


Kecamatan Genuk terdiri dari 13 Kelurahan yaitu, Kelurahan Trimulyo, Terboyo Wetan,
Terboyo Kulon, Gebangsari, Genuksari, Banjardowo, Kudu, Karangroto, Muktiharjo Lor,
Bangetayu Wetan, Bangetayu Kulon, Sambungharjo, dan Pengggaron Lor. Berdasarkan
RTRW Kota Semarang, Kecamatan Genuk termasuk dalam BWK IV. Kecamatan Genuk
dilewati oleh jalur pantura yang meliputi jalan Demak-Semarang dan Tuban-Semarag,
Penggunaan lahan di Kecamatan Genuk mayoritas adalah pada sektor Industri dengan
luas wilayah Kecamatan Genuk adalah 27,39 km2. Kecamatan Genuk memiliki batas-batas
asministrasi sebagai berikut :
 Batas Utara : Laut Jawa
 Batas Selatan : Kecamatan Pedurungan
 Batas Timur : Kabupaten Demak
 Sebelah Barat : Kecamatan Gayamsari
1.4.2 Ruang Lingkup Materi
Ruang lingkup materi dalam laporan ini berkaitan dengan mengidentifikasi dan
menganalisis komponen fisik spasial dari struktur perkotaan, dan aspek-aspek yang
menyebabkan perubahan-perubahan dalam lingkungan perkotaan. Selain itu, ruang lingkup
materi laporan ini juga membahas mengenai karakter fisik alam, human settlement, bentuk
kota, perubahan pola terbangun dan tidak terbangun, arsitektur kota, citra kota dan
townscape, serta teori urban desain sebagai bagian dari proses evolusi perkembangan kota.

1.5 Metode
Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan kualitatif, dimana
pendekatan penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk meneliti pada
kondisi objek alamiah, dimana peneliti merupakan instrumen kunci (Sugiyono, 2005).
Pendekatan kualitatif ini akan dilakukan dalam penelitian terhadap objek atau fenomena
yang ada melalui periaku,tindakan dan kata-kata misalnya dengan cara wawancara dan turun
langsung ke Kecamatan Genuk. Untuk jenis penelitian ini adalah deskriptif dimana objek atau
fenomena yang diamati dalam penelitian dilakukan dengan mendiskripsikan apa yang ada
atau mengobservasi. Selain itu dilakukan juga penelitian jenis survey dimana nantinya
peneliti meneliti objek atau fenomena yang ada dengan cara datang langsung ke tempat
penelitian dan mengambil data primer melalui beberapa sampel.

Ada dua metodologi yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain :

1.5.1 Metode Pengumpulan Data


a. Wawancara
Dalam metode wawancara ini peneliti akan mengetahui perkembangan struktur,
pola, dan fungsi ruang secara horizontal dan vertikal di Kecamatan Genuk yang
didapat melalui wawancara langsung kepada Lurah di masing-masing kelurahan di
Kecamatan Genuk, peneliti akan melakukan tanya jawab terkait dengan
perkembangan struktur, pola, dan fungsi ruang secara horizontal dan vertikal di
Kecamatan Genuk.
b. Observasi
Dalam metode observasi ini peneliti akan mengamati perkembangan struktur, pola,
dan fungsi ruang secara horizontal dan vertikal di Kecamatan Genuk dengan datang
langsung ke setiap kelurahan di Kecamatan Genuk.
1.5.2 Metode Analisis
Metode analisis ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dimana metode ini
menggunakan data yang telah didapatkan. Setelah mendapat data melalui observasi dan
wawancara baik data primer maupun sekunder, data itu akan dianalisis dan diolah. Hasil
olahan data itu kemudian akan diinterpretasi kedalam teori yang terkait dengan
penelitian. Tidak lupa dalam melakukan analisis ini akan menyertakan sumber informasi.
Dalam penelitian ini data primer dan data sekunder yang telah didapat yaitu data hasil
wawancara dengan Lurah di setiap kelurahan di Kecamatan Genuk tentang
perkembangan struktur, pola, dan fungsi ruang secara horizontal dan vertikal di
Kecamatan Genuk dan data monografi dari setiap kelurahan di Kecamatan Genuk serta
data Kecamatan Genuk dalam angka dari BPS akan diolah dan dianalisis berdasarkan
teori tentang perkembangan struktur, pola, dan fungsi ruang secara horizontal dan
vertikal, lalu setelah itu di interpretasi untuk disajikan.
1.5.3 Data
a. Data Primer
Data primer ini merupakan data mentah yang belum diolah biasanya data ini didapat
dengan observasi langsung ke tempat penelitian atau bisa juga dengan wawancara
langsung pada warga atau masyarakat yang terkait dengan objek atau fenomena
penelitian. Dalam penelitian ini data primernya adalah data hasil wawancara kepada
Lurah di setiap kelurahan di Kecamatan Genuk terhadap perkembangan struktur,
pola, dan fungsi ruang secara horizontal dan vertikal di Kecamatan Genuk.
b. Data Sekunder
Data sekunder ini merupakan data yang telah diolah biasanya data ini didapat dari
intansi-intansi yang terkait dengan penelitian atau intansi lain yang memiliki data
yang berhubungan dengan objek atau fenomena penelitian yang kiranya bisa
mendukung penelitian ini. Dalam penelitian ini data primernya adalah data monografi
dari setiap kelurahan di Kecamatan Genuk, data Kecamatan Genuk dalam angka dari
BPS dan lain-lain.

1.6 Kerangka Pikir

Perkembangan dan Pertumbuhan Kota

Struktur dan Pola Ruang Kota

Kondisi Lingkungan Alam dan Fisik

Aktivitas yang Ada di wilayah tersebut

Timbulnya masalah di wilayah tersebut

Evaluasi dan Rekomendasi

1.7 Sistematika Pembahasan


Bab I Pendahuluan
Bab ini berisi tentang gambaran umum pada isi laporan tersebut yang meliputi latar
belakang, tujuan dan sasaran, ruang lingkup studi, metode, kerangka pikir, serta
sistematika penulisan.
Bab II Kajian Teori
Bab ini menjelaskan tentang uraian teori yang terkait dengan pembahasan laporan,
yaitu dengan morfologi kota dan bangunan yang terjadi pada Kecamatan Genuk.
Bab III Gambaran Umum Wilayah
Bab ini menjelaskan tentang gambaran umum wilayah dari Kecamatan Genuk
meliputi kondisi geografis, batas administratif, kondisi kependudukan, serta kondisi
sosial, budaya, dan ekonomi.
Bab IV Identifikasi Morfologi Kecamatan Genuk
Bab ini berisi tentang analisis morfologi kota dan estetika bangunan pada Kecamatan
Genuk, dengan memuat mengenai aspek historis Kawasan dan kondisi eksisting
wilayah.
Bab V Penutup
Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan, saran atau rekomendasi dari hasil
identifikasi bentuk morfologi pada Kecamatan Genuk.
BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Definisi Morfologi Kota


Secara harafiah, kata morfologi berasal dari 2 suku kata, yaitu ‘’morf’’ yang berarti
bentuk dan ‘’logos’’ yang berarti ilmu. Sedangkan kota, menurut Gallion dan Eisner (1992)
didefinisikan sebagai suatu laboratorium tempat pencarian kebebasan dilaksanakan
percobaan uji bentukan-bentukan fisik. Sehingga dari definisi 2 kata tersebut, dapat
ditarik pengertian morfologi kota secara sederhana dan secara luas. Morfologi kota secara
sederhana didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari produk bentuk-bentuk fisik kota
secara logis. Sedangkan, secara luas, morfologi kota adalah ilmu terapan yang
mempelajari tentang sejarah terbentuknya pola ruang suatu kota dan mempelajari
tentang perkembangan suatu kota mulai awal terbentuknya kota tersebut hingga
munculnya daerah-daerah hasil ekspansi kota tersebut.
Zahnd (1999) menyatakan bahwa kota adalah salah satu ungkapan kehidupan
manusia yang mungkin paling kompleks. Suatu kota tidak dapat didefinisikan dari suatu
ciri bentuk, morfologi, serta ukuran tertentu saja dengan implikasi kehidupan di
dalamnya. Suatu perkotaan dirumuskan dan dibentuk secara hierarkis dengan memakai
prinsip-prinsip yang ada di dalamnya berdasarkan parameter-parameter tertentu.
Pendekatan-pendekatan teori yang dibahas berfokus pada konsep urbanisme
(perkotaan) sebagai landasan yang mengutamakan hubungan lingkungan perkotaan
secara spasial serta morfologis yang bersifat ‘’publik’’ di dalam perancangan kawasan
perkotaan.
Dalam perumusan suatu perkotaan, akan jelas bahwa prinsip-prinsip dan elemen-
elemen arsitektur perkotaan secara fisik perlu diciptakan dan disusun secara dinamis
dengan cara tertentu yang sesuai dengan lokasi kawasan di dalam kota. Ciptaan dan
susunan tersebut dapat diklasifikasikan dan direalisasikan dengan memperhatikan dua
arah perhatian, yaitu melalui perhatian massa atau ruang. Bagi kebanyakan perancang,
massa perkotaan (struktur positif) tidak begitu sulit untuk diperhatikan, tetapi ruang
perkotaan (struktur negatif) sering kurang diperhatikan. Oleh karena perhatian yang
sepihak saja, masuk akal jika penataan kota, baik secara keseluruhan maupun bagiannya,
sering kurang berhasil di dalam realitas pembangunan kota secara arsitektural.
Penyebabnya adalah pada keterbatasan perhatian dalam penataan kota, di mana muncul
lebih sedikit elemen-elemen perkotaan yang spasial, akibat perhatian hanya diberikan
pada elemen yang bersifat massa. (Sumber: Zahnd, Markus. 1999. Perancangan Kota
Secara Terpadu. Yogyakarta: Kanisius)
Bentuk morfologi suatu kota atau suatu kawasan tercermin pada pola tata ruang,
bentuk arsitektur bangunan, dan elemen-elemen fisik kota lainnya pada keseluruhan
konteks perkembangan kota. Kemudian, pada tahap yang selanjutnya, terjadi aktivitas
sosial, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat sehingga membawa suatu perubahan bagi
karakteristik bentuk morfologi kota. Yunus (2000) menjelaskan bahwa wilayah
perkotaan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, yang dipengaruhi oleh
berbagai aspek, yaitu meliputi aspek politik, aspek social, aspek budaya, aspek ekonomi,
aspek teknologi, dan aspek fisik. Perkembangan wilayah perkotaan yang tampak dan
mudah untuk diamati adalah perkembangan fisik kota, yang ditandai dengan adanya
perkembangan penggunaan lahan.
Adapun manfaat dalam mempelajari morfologi kota antara lain adalah untuk:
a. Mendefinisikan dan mengidentifikasi pola dan karakteristik suatu kota yang
menciptakan keunikan sense of place
b. Membantu menilai keberhasilan atau kegagalan bentuk kota dan dapat mengkaji
proses yang membentuk perubahan di masa lalu atau menggambarkan ketepatan
urban fabric masa kini.
c. Menjelaskan batasan kota, memberi masukan pengendalian pembangunan dan
membentuk landasan untuk panduan rancang pada wilayah yang memiliki
keunikan dan sejarah.

2.2. Proses Terbentuknya Kota


Bentuk kota merupakan hasil proses budaya manusia dalam menciptakan ruang
kehidupannya pada kondisi geografi. Bentuk suatu kawasan atau kota akan terus
berkembang menurut proses sejarahnya. Menurut Spiro Kostof (1991), Kota adalah
Leburan dari bangunan dan penduduk, sedangkan bentuk kota pada awalnya adalah
netral tetapi kemudian berubah sampai hal ini dipengaruhi dengan budaya yang tertentu.
Menurut Kostof, bentuk kota yang didasarkan pada bentuk geometri kota dibagi
menjadi dua, yaitu Planned dan Unplanned City. Perbedaan yang mendasar dan signifikan
dari dua bentuk kota ini yaitu planned city umumnya memiliki orientasi bangunan ke arah
bangunan utama, yang dapat berupa kerajaan, kuil, atau tempat ibadat, sehingga
menghasilkan pola penyusunan fisik spasial yang bersifat memusat. Sedangkan untuk
unplanned city, orientasi bangunan paling jelas mengarah ke potensi sumber daya alam
yang memberikan dampak terhadap perencanaan bangunan semenjak kota tersebut awal
didirikan.
a. Planned City
Planned City (kota terencana) merupakan satu segmen kota yang proses
perkembangannya sudah direncanakan dari awal, mengikutsertakan peran
perencana, serta tumbuh mengikuti alur perencanaan tersebut. Bentuk Planned City
(terencana) ini dapat dijumpai pada kota-kota eropa abad pertengahan dengan
pengaturan kota yang selalu regular dan rancangan bentuk geometrik.
 Pola Grid
Pola kota dengan sistem grid dapat ditemui hampir di semua kebudayaan
dan merupakan salah satu bentuk kota tua. Pola kota dengan sistem grid ini
dikembangkan oleh Hippodamus, salah satu contohnya adalah kota Miletus. Pola
grid merupakan mekanisme yang cukup universal dalam mengatur lingkungan
dan pola ini terbentuk karena adanya kebutuhan suatu sistem yang berbentuk
segi empat (grid iron) guna memberikan suatu bentuk geometri pada
ruangruang perkotaan. Blok-blok permukimannya dirancang untuk
memungkinkan 18 rumah tersebut dihubungkan kepada bangunan dan ruang
publik (Kostof, 1991).
Gambar 1
Bentuk Kota Miletus
 Pola Diagram
Pola kota dengan sistem diagram merupakan pola yang terbentuk setelah
adanya pola grid, yang merupakan penyempurnaan atas pola grid. Pola diagram
biasanya digambarkan dalam simbol atau hirarki yang mencerminkan bentuk
sistem sosial dan kekuasaan yang berlaku saat itu. Berbeda dengan sistem grid
yang lebih mengutamakan efisiensi dan nilai ekonomis, motivasi dasar dari pola
kota dengan sistem diagram ini adalah (Kostof, 1991) :
 Regitimation, sistem kota yang dibentuk berdasarkan simbol kekuasaan
dan dari segi politik berfungsi untuk mengawasi/mengorganisir sistem
masyarakatnya. Seperti bentuk kerajaan atau monarki (Versailles) dan
demokrasi (Washington DC).

Gambar 2
Bentuk Versailles
Gambar 3
Bentuk Washington DC

 Holy City, kota yang dibangun berdasarkan sistem kepercayaan


masyarakatnya dengan agama sebagai patokan pembangunannya.
Contohnya yaitu seperti kota Srirangan, India Selatan. Yang mana pada
kota tersebut, terdapat pusat kota suci dan area ziarah di Sungai Cauvery.

Gambar 4
Kota Srirangan, India Selatan

b. Unplanned City
Unplanned City (kota tidak terencana) merupakan satu segmen kota yang proses
perkembangan dan pertumbuhannya tidak ada campur tangan perencana dan tidak
direncanakan sebelumnya. Bentuk kota ini banyak terjadi pada kota metropolitan,
dimana satu segmen kota berkembang secara spontan mengikuti bermacam-macam
kepentingan dan kebutuhan mendesak yang saling terkait serta menyesuaikan
dengan kondisi geografis di wilayah tersebut sehingga kota memiliki bentuk yang
tidak teratur dan tidak geometris.
Menurut Christopher Alexander (1987), unplanned city memiliki ciri-ciri yaitu:
 Pertumbuhan terjadi secara bertahap
 Pertumbuhan tidak diketahui kapan awal mula dan kapan berakhirnya
 Masyarakat berperan besar dalam proses pembentukan kota.
Pola yang terbentuk dari unplanned city merupakan pola organik. Pola organik
merupakan organisme yang berkembang sesuai dengan nilai-nilai budaya dan sosial
dalam masyarakatnya dari waktu ke waktu tanpa adanya perencanaan. Pola organik
terbentuk secara spontan dan mengikuti kondisi topografi wilayah yang ada. Sifat
pola organik ini adalah fleksibel, tidak geografis, biasanya berupa garis melengkung
dan dalam perkembangan masyarakat mempunyai peran yang besar dalam
menentukan bentuk kotanya. Berbeda dengan bentuk grid dan diagram yang
biasanya ditentukan penguasa kotanya (Kostof, 1991).
Elemen-elemen pembentuk kota yang memiliki pola organik, oleh Kostol
dianalogikan secara biologis seperti organ tubuh manusia, yaitu:
 Square, open space sebagai paru-paru.
 Center, pusat kota sebagai jantung yang memompa darah (traffic).
 Jaringan jalan sebagai saluran arteri darah dalam tubuh.
 Kegiatan ekonomi kota sebagai sel yang berfikir.
 Bank, pelabuhan, kawasan industri sebagai jaringan khusus dalam tubuh.
 Unsur kapital (keuangan dan bangunan) sebagai energi yang mengalir ke
seluruh sistem perkotaan.
Salah satu contoh dari Unplanned City yaitu salah satu kota di Eropa, Kota
Tashkent, ibukota negara Uzbekistan.

Gambar 5
Kota Tashkent
Kota Semarang termasuk dalam klasifikasi kota yang termasuk dalam irisan dari
planned dan unplanned city. Pada mulanya Kota Semarang termasuk dalam
klasifikasi planned, karena Kota Semarang direncanakan sebagai kawasan
perniagaan dan kawasan penyebaran agama Islam. Dengan letaknya yang berada di
pesisir, Kota Semarang pun mengalami perkembangan dan pembangunan yang
pesat. Namun, seiring berjalannya waktu, perkembangan yang pesat dari Kota
Semarang semakin tidak terkontrol dan terjadi fenomena urban sprawl. Hal ini
mengindikasikan Kota Semarang termasuk ke dalam klasifikasi unplanned city.
2.3. Struktur Ruang dan Pola Ruang Kota
Berdasarkan Undang-Undang nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang,
pengertian dari struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem
jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial
ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Sedangkan
pengertian dari pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi
budidaya.
Menurut Yunus (2000), terdapat 5 macam pendekatan untuk mengidentifikasi
struktur ruang kota, antara lain:
a. Pendekatan Ekologikal (Ecological Approach)
b. Pendekatan Ekonomi (Economic Approach)
c. Pendekatan Morfologikal (Urban Morphological Approach)
d. Pendekatan Sistem Kegiatan (Activity Systems Approach)
e. Pendekatan Ekologi Faktoral (Factoral Ecology Approach)
Berdasarkan pendekatan ekologikal, yang memandang manusia sebagai makhluk
hidup yang mempunyai hubungan interrelasi dengan lingkungannya yang terwujud
dalam bentuk penggunaan lahan, terdapat 3 macam teori struktur tata ruang kota. 3 teori
tersebut antara lain:
a. Teori Konsentris
Teori ini dikemukakan oleh Burgess, yang mana bentuk guna lahan suatu kota
membentuk suatu zona konsentris. Burgess mengemukakan bahwa wilayah kota
dibagi dalam 5 (lima) zona penggunaan lahan yaitu:
 Lingkaran dalam terletak pusat kota (central business district atau CBD) yang
terdiri bangunan-bangunan kantor, hotel, bank, bioskop, pasar dan pusat
perbelanjaan.
 Lingkaran kedua terdapat jalur atau zona peralihan yang terdiri dari: rumah-
rumah sewaan, kawasan industri, dan perumahan buruh.
 Lingkaran ketiga terdapat jalur atau zona rumah buruh, yaitu kawasan
perumahan untuk tenaga kerja pabrik.
 Lingkaran keempat terdapat kawasan perumahan yang luas untuk tenaga kerja
kelas menengah, yang merupakan permukiman yang lebih baik.
 Lingkaran kelima merupakan zona penglaju yang merupakan tempat kelas
menengah dan kaum berpenghasilan tinggi.
Gambar 6
Teori Konsentris

b. Teori Sektor
Teori ini dikemukakan oleh Homer Hoyt. Hoyt menyatakan bahwa
perkembangan-perkembangan baru yang terjadi di dalam suatu kota, berangsur-
angsur menghasilkan kembali karakter yang dipunyai oleh sector-sektor yang sama
terlebih dahulu. Alasan ini terutama didasarkan pada adanya kenyataan bahwa di
dalam kota-kota yang besar terdapat variasi sewa tanah atau sewa rumah yang besar.
Dalam teori ini Hoyt mengemukakan beberapa masukan tambahan dari bentuk
guna lahan kota yang berupa suatu penjelasan dengan penggunaan lahan
permukiman yang lebih memfokusan pada pusat kota dan sepanjang jalan
transportasi. Dalam teorinya ini, Hoyt membagi wilayah kota dalam beberapa zona,
yaitu:
 Lingkaran pusat, terdapat pusat kota atau CBD
 Sektor kedua terdapat kawasan perdagangan dan industry
 Sektor ketiga terdapat kawasan tempat tinggal kelas rendah
 Sektor keempat terdapat kawasan tempat tinggal kelas menengah
 Sektor kelima terdapat kawasan ternpat tinggal kelas atas.

Gambar 7
Teori Sektor

c. Teori Banyak Pusat


Teori ini dikemukakan oleh R.D. McKenzie. McKenzie menyatakan bahwa teori
banyak pusat ini didasarkan pada pengamatan lingkungan sekitar yang sering
terdapat suatu kesamaan pusat dalam bentuk pola guna lahan kota daripada satu
titik pusat yang dikemukakan pada teori sebelumnya. Teori banyak pusat ini
selanjutnya dikembangkan oleh Chancy Harris dan Edward Ullman yang kemudian
membagi kawasan kota menjadi beberapa penggunaan lahan, yaitu:
 Pusat kota atau CBD
 Kawasan perdagangan dan industry
 Kawasan ternpat tinggal kelas rendah
 Kawasan ternpat tinggal kelas menengah
 Kawasan tempat tinggal kelas atas
 Pusat industri berat
 Pusat niaga/perbelanjaan lain di pinggiran
 Kawasan tempat tinggal sub-urban
 Kawasan industri suburban

Gambar 8
Teori Banyak Pusat

Selain dari pendekatan ekologikal, struktur ruang suatu kota juga dapat dilihat
melalui pendekatan morfologikal. Pendekatan morfologikal ditekankan pada bentuk-
bentuk- fisikal dari lingkungan kekotaan dan hal ini dapat diamati dari kenampakan kota
secara fisikal yang antara lain tercermin pada sistern jalan-jalan yang ada, blok-blok
bangunan baik daerah hunian ataupun bukan (perdagangan/ industri) dan juga bangunan
bangunan individual (Herbert, 1973). Pendekatan morfologikal tersebut dapat dilihat
melalui ekspresi keruangan morfologi kota.
Struktur ruang Kota Semarang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang dan
mengikuti perkembangan zaman. Pada masa orde lama, Kota Semarang memiliki struktur
kota yang konsentris, dengan pembangunan yang berpusat di Kawasan CBD yaitu
Kawasan Simpang Lima. Kemudian pada masa orde baru dan reformasi pembangunan,
mulai muncul pusat-pusat pelayanan baru di Kota Semarang yang membuat struktur
ruang Kota Semarang menjadi banyak pusat.

2.4. Ekspresi Keruangan Morfologi Kota


Secara umum, bentuk ekspresi keruangan morfologi kota dibagi menjadi dua.
Pembagian tersebut yaitu bentuk kompak dan bentuk tidak kompak.
a. Bentuk Kompak
 Square Cities
The Square Cities merupakan bentuk yang mempunyai kesempatan perluasan
ke segala arah secara seimbang. Selain itu dalam penerapan bentuk kota seperti
ini, tidak mempunyai kendala yang berarti, karena pengembangannya yang
merata dan seimbang. Namun dalam pertumbuhannya, lebih cenderung
meningkat pada sisi-sisi jalur transportasi utama saja.
 Rectangular Cities

The Rectagular Cities atau biasa disebut 4 persegi Panjang merupakan bentuk
yang mempunyai space atau lahan kosong yang cukup besar dan luas guna
pengembangan wilayah. Biasanya daerah yang menggunakan bentuk ini adalah
daerah yang bertopografi perairan, hutan, gurun pasir, dan berlereng.
 Fan shaped Cities

Fan Shapes Cities (kipas) merupakan bentuk yang biasanya digunakan untuk
bemtuk lahan aluvial atau pesisir. Pada perkembangannya dominasi kota
pelabuhan atau coastal menggunakan bentuk ini karena cukup baik untuk
perkembangan perdagangan. Kendala yang dihadapi yaitu berasal dari perairan,
berada pada delta sungai yang besar.
 Rounded Cities
Bentuk rounded cities atau bentuk bulat ini adalah bentuk yang paling ideal
untuk kota, karena mempunyai kelebihan yaitu perkembangannya kesegala
penjuru arah dan juga seimbang. Dalam bentuk ini, bisa dilakukan
peraturan/perencanaan yaitu:
 bila lambat ; dipacu dg Planned Unit Development
 bila terlalu cepat ; dapat dihentikan
 batas luar ; green belt zoning / growth limitation
 Ribbon shaped Cities

Ribbon Shaped Cities (pita), bentuk ini sangat dipengaruhi oleh jalur
transportasi dan terhambatnya perluasan areal ke samping.
 Octopus/Star shaped Cities

Octopus/Star Shape Cities (gurita/bintang) merupakan bentuk yang memiliki


beberapa jalur transportasi yang dominan, terdapat juga daerah hinterland,
selain itu pada tepi pinggirannya tidak ada kendala fisik yang berarti. Hinterland
adalah tanah atau kabupaten di belakang batas-batas suatu pantai atau sungai.
Secara khusus, dengan doktrin pedalaman, kata tersebut diterapkan pada
daerah pedalaman berbaring di belakang port, diklaim oleh negara yang
memiliki pantai. Daerah dari produk mana yang dikirim ke pelabuhan untuk
pengiriman di tempat lain adalah pedalaman yang pelabuhan.
b. Bentuk Tidak Kompak
 Fragment Cities

Fragment Cities (terpecah), bentuk awalnya adalah bentuk kompak namun


dalam skala yang kecil,dan akhirnya saling menyatu dan membentuk kota yang
besar. Bentuk ini berkembang, namun perluasan areal kota tidak langsung
menyatu dengan kota induk (membentuk enclaves) pada daerah-daerah
pertanian di disekitarnya. Pada negara berkembang, enclaves merupakan
permukiman-permukiman yang berubah dari sifat pedesaan menjadi perkotaan.
 Chained Cities

Chained Cities (berantai), bentuk ini terpecah namun hanya terjadi di sepanjang
rute tertentu. Jarak antara kota induk dan kenampakan-kenampakan kota baru
tidak terlalu jauh, maka beberapa bagian membentuk kesatuan fungsional yang
sama (khususnya dibidang ekonomi). Bentuk ini juga bisa disebut Ribbon City
dengan skala yang besar.
 Split Cities

Split Cities (terbelah), bentuk ini menggambarkan bentuk kota yang kompak
namun sektor terbelah oleh perairan yang lebar. Pada perpotongan ini biasanya
dihubingkan oleh kapal/jembatan. Contoh kota yang menerapkan bentuk ini
adalah kota Buda (barat) dan Pest (timur) di sungai Danube, sehingga dikenal
sebagai kota Budapest.
 Stellar Cities

Stellar Cities (satelit), bentuk kota ini biasanya didukung oleh teknologi
transportasi yang maju dan juga komunikasi yang maju. Karena modernisasi
maka terciptalah megapolitan kota besar, yang dikelilingi oleh kota satelit.

Berdasarkan beberapa ekspresi keruangan di atas, maka untuk Kota Semarang


memiliki ekspresi keruangan dengan bentuk kompak yaitu Fan Shaped Cities. Begitu pun
juga secara khusus untuk Kecamatan Genuk memiliki ekspresi keruangan bentuk
kompak, Fan Shaped Cities. Hal ini dikarenakan Kota Semarang merupakan kota yang
memilki pesisir atau dapat dikatakan sebagai kota pelabuhan, serta Kecamatan Genuk
yang merupakan salah satu kecamatan di Kota Semarang yang terletak di daerah pesisir
(berbatasan dengan laut).

2.5. Teori Urban Design

Roger Trancik, salah satu tokoh perancangan kota, menulis buku yang berisi
tentang tiga pendekatan terhadap urban design theory yaitu: Figure-ground theory,
Linkage-system theory, dan Place theory.
a. Figure Ground Theory
Teori-teori figure ground dipahami dari tata kota sebagai hubungan tekstual
antara bentuk yang dibangun (Building Mass) dan ruang tebuka (Open Space).
Analisis figure ground merupakan alat untuk mengidentifikasi tekstur dan pola
ruang, serta sebagai alat untuk mengidentifikasi masalah keteraturan massa atau
ruang perkotaan. Setelah dilakukan analisis ini, manfaat yang didapatkan yaitu dapat
menangani masalah ketepatan dan perubahan dalam perancangan kota, dan
menentukan pedoman dasar dalam perancangan kota yang konkret sesuai dengan
tekstur konteksnya.
Figure Ground Plan merupakan suatu peta hitam putih yang memperhatikan dan
menjelaskan suatu komposisi yang menarik antara ruang luar (eksterior) dan ruang
dalam (interior), yaitu antara ruang positif yang telah terisi figure (urban solid) dan
ground (urban void).
 Figure (Urban Solid)
Blok-blok massa bangunan dari suatu elemen unsur masif yang
mempunyai fungsi wadah aktifitas manusia sehingga memberikan suatu
kehadiran massa dan obyek pada jalan atau tapak yang cenderung bersifat
‘private domain’. Biasanya digambarkan dengan tekstur warna hitam.
Adapun beberapa tipologi urban solid antara lain:
 Single Block (Blok Tunggal)
Satu massa bangunan dalam sebuah blok yang dibatasi jalan atau elemen
alamiah.
 Edge Defining Block (Blok sebagai Tepi)
Konfigurasi massa bangunan yang menjadi pembatas sebuah ruang.
 Field Block (Blok Medan)
Konfigurasi yang terdiri dari kumpulan massa bangunan tersebar secara
luas.
 Ground (Urban Void)
Merupakan latar yang berupa ruang terbuka jalan (urban space, open
space), plasa, poche, taman, dan sebagainya. Umumnya urban void digambarkan
dengan tekstur warna putih.
Adapun beberapa tipologi urban void antara lain:

 Sistem tertutup yang linear


Ruang yang dibatasi oleh massa bangunan yang memanjang dengan kesan
tertutup, biasanya adalah ruang berada di dalam atau belakang bangunan
dan umumnya bersifat private atau khusus.
 Sistem tertutup yang sentral
Ruang yang dibatas oleh massa bangunan dengan kesan tertutup.
 Sistem terbuka yang linear
ruang yang dibatasi oleh massa dimana kesan ruang bersifat terbuka namun
masih tampak terfokus (misalnya alun-alun, taman kota, dan lain-lain)
 Sistem terbuka yang sentral
Tipologi ruang yang berkesan terbuka dan linear.
 Pola Tekstur Perkotaan
Tekstur adalah derajat keteraturan dan kepadatan massa dan ruang.
Berdasarkan variasi dari massa dan ruang, terdapat 3 tipologi pola tekstur
perkotaan. Pola-pola tersebut antara lain:
 Tekstur Homogen
Konfigurasi yang dibentuk oleh massa dan ruangnya yang realtif sama baik
dari ukuran, bentuk dan kerapatan.
 Tekstur Heterogen
Konfigurasi yang dibentuk oleh massa dan ruangnya yang ukuran, bentuk
dan kerapatannya berbeda.
 Tekstur Tidak Jelas
Konfigurasi yang dibentuk oleh massa dan ruangnya yang ukuran, bentuk
dan kerapatannya sangat heterogen sehingga sulit mendefinisikannya.

 Pola dan Massa Ruang Secara Diagramatis


Secara teoritik ada enam tipologi pola yang dibentuk oleh hubungan
massa dan ruang yaitu pola angular, aksial, grid, kurva linier, radial konsentris
dan organis.

 Pola Angular
Konfigurasi yang dibentuk oleh massa dan ruang secara menyiku.
 Pola Aksial
Konfigurasi massa bangunan dan ruang di sekitar poros keseimbangan yang
tegak lurus terhadap suatu bangunan monumentalis.
 Pola Grid
konfigurasi massa dan ruang yang dibentuk perpotongan jalan-jalan secara
tegak lurus.
 Pola Kurva Linier
konfigurasi massa bangunan dan ruang secara linier (lurus menerus
melengkung).
 Pola Radial Konsentris
Konfigurasi massa dan ruang yang memusat.
 Pola Organis
Konfigurasi massa dan ruang yang dibentuk secara tidak beraturan.
b. Linkage System Theory
Linkage system adalah hubungan sebuah tempat dengan tempat yang lain sebagai
suatu generator perkotaan. Hubungan ini dapat berupa garis semu, dan garis
tersebut dapat berbentuk jaringan jalan, jalur pedestrian, ruang terbuka yang
berbentuk segaris dan sebagainya.
Terdapat 3 macam pendekatan linkage system theory, antara lain:
 Linkage Visual
Dalam linkage yang visual dua atau lebih fragmen kota dihubungkan menjadi
satu kesatuan yang secara visual, mampu menyatukan daerah kota dalam
berbagai skala.
Terdapat 5 elemen linkage visual, yang merupakan elemen yang memiliki ciri
khas dan suasana tertentu yang mampu menghasilkan hubungan secara visual.

 Garis
Menghubungkan secara langsung dua tempat dengan satu deretan massa
(bangunan atau pohon).
 Koridor
Dibentuk oleh dua deretan massa (bangunan atau pohon) yang membentuk
sebuah ruang.
 Sisi
Menghubungkan dua kawasan dengan satu massa. Mirip dengan elemen
garus namun sisi bersifat tidak langsung.
 Sumbu
Mirip dengan elemen koridor, namun dalam menghubungkan dua daerah
lebih mengutamakan salah satu daerah saja.
 Irama
Menghubungkan dua tempat dengan variasi massa dan ruang
 Linkage Struktural
Merupakan jenis pendekatan linkage system yang menggabungkan dua atau
lebih bentuk struktur kota menjadi satu kesatuan tatanan. Pendekatan ini
menyatukan beberapa kawasan melalui bentuk jaringan struktural yang lebih
dikenal dengan sistem kolase (collage). Tidak setiap kawasan memiliki arti
struktural yang sama dalam kota, sehingga cara menghubungkannya secara
hierarkis juga dapat berbeda.
Terdapat 3 elemen linkage struktural yang mencapai hubungan secara
arsitektural, yaitu:
 Tambahan
Melanjutkan pola pembangunan yang sudah ada sebelumnya.
 Sambungan
Memperkenalkan pola baru pada lingkungan kawasan.
 Tembusan
Terdapat dua atau lebih pola yang sudah ada di sekitarnya dan akan
disatukan sebagai pola-pola yang sekaligus menembus didalam suatu
kawasan
 Linkage Bentuk yang Kolektif
Teori linkage memperhatikan susunan dari hubungan bagian-bagian kota
satu dengan lainnya. Dalam teori linkage, sirkulasi merupakan penekanan pada
hubungan pergerakan yang merupakan kontribusi yang sangat penting. Linkage
memperhatikan dan mempertegaskan hubungan-hubungan dan pergerakan-
pergerakan (dinamika) sebuah tata ruang perkotaan (urban fabric).
Menurut Fumuhiko Maki, Linkage adalah semacam perekat kota yang
sederhana, suatu bentuk upaya untuk mempersatukan seluruh tingkatan
kegiatan yang menghasilkan bentuk fisik suatu kota. Teori ini terbagi menjadi 3
tipe linkage urban space yaitu:

 Compositional form
Bentuk ini tercipta dari bangunan yang berdiri sendiri secara 2 dimensi.
Dalam tipe ini hubungan ruang jelas walaupun tidak secara langsung
 Mega form
Susunan-susunan yang dihubungkan ke sebuah kerangka berbentuk garis
lurus dan hirarkis.
 Group form
Bentuk ini berupa akumulasi tambahan struktur pada sepanjang ruang
terbuka. Kota-kota tua dan bersejarah serta daerah pedesaan menerapkan
pola ini.
c. Place Theory
Teori place berkaitan dengan makna sebuah kawasan sebagai sebuah tempat
perkotaan secara arsitektural. Manusia memerlukan sistem places yang memiliki arti
dan stabil untuk mengembangkan kehidupannya dan budayanya. Trancik
merumuskan bahwa sebuah space akan muncul bila dibatasi void, dan kemudian
sebuah space akan menjadi place ketika ruang tersebut mempunyai arti dari
lingkungan yang berasal dari budaya manusia di dalamnya.
Salah satu bentuk keberhasilan pembentuk place adalah seperti aturan yang
dikemukakan Kevin Lynch untuk desain ruang kota:
 Legibillity (kejelasan)
Sebuah kejelasan emosional suatu kota yang dirasakan secara jelas oleh warga
kotanya. Suatu kawasan bisa dikenali dengan cepat dan jelas mengenai
distriknya, landmarknya atau jalur jalannya dan bisa langsung dilihat pola
keseluruhannya.
 Identitas dan susunan
Identitas artinya image orang akan menuntut suatu pengenalan atas suatu obyek
dimana didalamnya harus tersirat perbedaan obyek tersebut dengan obyek yang
lainnya, sehingga orang dengan mudah bisa mengenalinya.
Sedangkan untuk susunan atau struktur artinya adalah adanya kemudahan
pemahaman pola suatu blok-blok kota yang menyatu antar bangunan dan ruang
terbukanya.
 Imageability
Kualitas secara fisik suatu obyek yang memberikan peluang yang besar untuk
timbulnya image yang kuat yang diterima orang. Image tersebut ditekankan
pada kualitas fisik suatu kawasan atau lingkungan yang menghubungkan atribut
identitas dengan strukturnya.
2.6. Townscapes
Townscapes adalah cara untuk mengenal bentuk fisik kota dari segi kualitas fisik atau
visual maupun emosional. Townscapes dapat dikenali dari perletakan bangunan, jalan,
yang berkaitan dengan tingkat perasaan dan emosi pengamat. Pengamatan dan analisis
terdapat townscapes ini berfungsi untuk mengenali wajah kota. Berbeda dengan citra
kota, analisis townscapes lebih menitikberatkan pada seni, sehingga menimbulkan emosi.
Dalam bukunya yang berjudul The Concise Townscape, Gordon Cullen mengemukakan 4
nilai utama dalam pengamatan terhadap Townscapes. Nilai-nilai tersebut antara lain:
a. Place
Place adalah suatu space yang mempunyai makna sehingga menimbulkan emosi dan
perasaan terhadap pengamatnya. Suatu place memiliki keunikan dan karakter
khusus.
b. Content
Content adalah isi suatu kawasan yang mempengaruhi perasaan terhadap keadaan
lingkungan kota. Content dapat berupa warna, tekstur, skala, gaya, karakter, dan
keunikan. Content tergantung pada dua factor yaitu tingkat kesesuaian dan tingkat
kreativitas.
c. The Functional Tradition
The functional tradition adalah kualitas elemen-elemen yang membentuk lingkungan
perkotaan yang memiliki segi ekonomis, efektif, dan efesien.
d. Serial Vision
Serial vision adalah gambaran visual yang ditangkap pengamat yang terjadi saat
berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga menjadi potongan gambar
yang bertahap.
Selain Cullen, terdapat tokoh lain yaitu Jim McCluskey yang menulis buku Road Form and
Townscape. Dalam tulisannya, McCluskey menitikberatkan pada bentuk jalan, dimana
dimana jalan lebih dari sekadar rute, tetapi terdapat aktivitas di dalamnya. McCluskey
mengklasifikasikan Townscape dalam 6 kategori, antara lain:
a. Junction
 T-Junction
Disebut juga pertigaan, digunakan untuk memberikan rasa tertentu pada
suatu jalan dengan memblokir pemandangan lain kecuali di depannya.
 Y-Junction

Pertigaan berbentuk V yang digunakan untuk memberikan dua pilihan dari


tempat semula.
 Multiple Views

Persimpangan yang bertujuan untuk memberi dua pilihan dalam


pemandangan yang berbeda.
b. Width
 Fluctuation

Adanya pergerakan dalam keterhubungan antar ruang, misalnya dari tempat


sempit keluar menuju tempat terbuka. Jadi, suatu jalan mengalami suatu
pelebaran ke arah samping, karena di bagian tengah jalan tersebut
digunakan sebagai ruang terbuka (taman, boulevard, dan lain-lain), tetapi
setelah melewati ruang terbuka tersebut, maka jalan kembali menyempit.
 Narrowing

Narrowing dapat terjadi karena adanya bangunan yang menjorok keluar


dari garis bangunan yang memberikan makna penyempitan permukaan
jalan. Selain itu, narrowing juga dapat terjadi akibat adanya kegiatan atau
aktivitas di sekitar jalan, misalnya aktivitas perdagangan, sehingga
menyebabkan lebar jalan menjadi semakin menyempit.
 Funelling

Funelling adalah penyempitan lebar ruang atau jalan secara bertahap. Jadi,
semakin lama jalan yang dilalui, maka lebarnya akan menjadi semakin
menyempit, seperti memasuki suatu jalan yang awalnya lebar kemudian lama
kelamaan menjadi menyempit.
 Widening

Widening berupa pergerakan dari tekstur ruang sempit ke ruang yang besar.
Jalan yang kita lalui awalnya sempit kemudian semakin lama akan menjadi
semakin lebar, sehingga membuat perasaan kita menjadi lebih lapang dan
tidak lagi merasa terkurung.
 Constriction

Constriction adalah penyempitan ruang dari yang lebar menjadi menyempit


juga merupakan kesan visual yang kontras terlihat sehingga dengan
terjadinya pemberhentian/penyempitan ruang akan menimbulkan rasa
seakan menekan.
 Wing

Wing terjadi ketika struktur bangunan dikeluarkan dari garis bangunan


sehingga terlihat tidak merata dan ada penghalang bagi jalan di depannya di
salah satu sisi.
c. Line
 Curve

Penutupan pemandangan seseorang dari struktur bangunan dan juga


merupakan jalan yang mempunyai bentuk melengkung, sehingga tidak
dapat menjangkau pandangan yang lebih jauh kedepan
 Angles
Garis yang berupa tikungan yang berbentuk seperti patahan serta terjadi
perubahan sudut garis arah jalan yang memperlihatkan sisa-sisa
pemandangan yang panjang dan sebagian tertutup, sehingga kita
mengalami kesulitan untuk memiliki jangkauan pandangan ke depan yang
luas dan leluasa.
 The Pivot
Adanya poros/pusat pada suatu bangunan, sehingga jalan nampak menjadi
bagian yang menyatu dan saling mengikat dengan bangunan lain di
sekitarnya atau terkesan seperti berputar atau berbentuk lingkaran.
 Deviation
Adanya sebuah simpangan kecil yang memisahkannya ke dalam tempat yang
berbeda.
 Deflection

Sebuah struktur yang sumbunya merupakan sebuah sudut ke arah utama


pada sebuah rute, yang dapat muncul untuk membelokan pengguna ke arah
yang baru juga merupakan rute dalam suatu gang yang didalamnya masih
terdapat beberapa percabangan gang lainnya yang menuju arah yang
berlainan tempat.
 Level Change

Level change merupakan perubahan tingkatan dari posisi yang lebih tinggi
ke posisi yang rendah yang juga dipengaruhi oleh keadaan topografi suatu
kawasan tersebut atau perubahan lebar jalan dari posisi terbuka ke posisi
yang tertutup, sehingga justru dapat menambah keunikan dari suatu
kawasan.
d. Containment
 Closure
Suatu bentukan massa mengelilingi atau membatasi ruang (seolah
membentuk ruang tersendiri).
 Enclosure
Enclosure merupakan suatu ruang terbuka yang cukup lapang untuk
melakukan berbagai macam aktivitas. Enclosure dapat berupa taman, jalan
yang sangat luas, dan lain sebagainya.
 Going into
Going into merupakan pintu gerbang yang menunjukan pengurungan. Jadi,
setelah kita memasuki pintu, maka seolah-olah kita memiliki perasaan
terkurung.
 Dead End
Dead end merupakan gang buntu, yang merupakan akhir dari sebuah jalan.
Dead end ini biasanya terletak di kawasan permukiman dimana terdapat
jalan-jalan kecil yang tidak terhubung dengan jalan yang lain.
e. Overhead
 The Chasm
The chasm merupakan suatu lorong sempit panjang yang dapat memberi
kesan menakutkan ataupun menyenangkan,
 The Colonnade

The collonade merupakan elemen barisan tiang atau kolom berupa pilar-
pilar sebagai penyangga bangunan yang sejajar dengan garis jalan, dan
mampu menimbulkan kesan yang indah, sehingga mampu menimbulkan
perasaan ketertarikan dan penasaran orang-orang untuk masuk ke dalam
bangunan.
 The Overhang

The overhang merupakan bagian bangunan yang menjorok keluar


sehingga ruang di bawahnya dapat dimanfaatkan bagi orang sekitarnya,
seperti: ruang untuk aktivitas berdagang juga ruang bagi pejalan kaki untuk
menghindari panas dan lain-lain.
 The Arch
suatu tempat yang memiliki bentuk melengkung dan indah. The arch ini
merupakan suatu simbol yang unik dan kuat untuk menarik orang untuk
memasuki bangunan atau suatu kawasan tertentu.
 The Bridge

Jembatan penghubung antara suatu tempat ke tempat lainnya, the bridge juga
dapat digunakan dalam berbagai cara yang berbeda, seperti aktivitas
berjalan di bawah jembatan, penekanan keterpisahan ruang, efek
penampakan bangunan pada saat turun dari lengkungan.
 The Maw
The maw merupakan terowongan gelap yang tertutup atau pintu masuk di
dalam bangunan yang dapat di jalani untuk menghubungkan ke tempat
lain, seperti subway, terowongan bawah tanah, dan lain sebagainya yang
sejenis.
 Going Through

Going through merupakan bukaan dalam sebuah struktur bangunan di


lintasan jalan. Jadi, terdapat suatu bangunan yang didirikan di atas jalan,
dimana masyarakat dapat melintas atau melakukan aktivitas di bawah
bangunan tersebut (sejenis terowongan).
f. Feature
 Hinting

Hinting merupakan salah satu dari beberapa tampilan konfigurasi, yang


hasilnya membantu seseorang agar dapat memasuki sebuah ruang yang tidak
hanya memberikan sebuah tanda jalan masuk.
 Enticing
Enticing merupakan suatu poin petunjuk atau bagian dari sebuah bangunan
(seperti menara) yang menarik perhatian orang untuk mencapainya, tetapi
tidak dapat dicapai secara langsung.
 Isolation
Isolation merupakan sebuah efek yang dramatis yang dapat dicapai karena
melalui suatu jalan yang terisolasi, dimana di sekitar jalan tersebut terdapat
bangunan yang berbeda dengan bangunan yang lain (memiliki bentuk jenis
bangunan yang berbeda).
 Framing

Framing dapat diartikan sebagai bingkai. Framing dapat berupa bangunan-


bangunan yang seolah membingkai landmark dari suatu kota.
 Vistas
Vistas merupakan suatu jalan dimana di pinggir jalan tersebut terdapat
bangunan-bangunan sebagai batas jalan. Vistas berfungsi untuk
memperlihatkan pemandangan atau panorama kota yang berada di hadapan
kita.
 Incident
Incident merupakan pemandangan yang dapat kita lihat di sebuah jalan, dan
mampu menarik perhatian bagi orang yang sedang berada di jalan tersebut,
seperti menara, lonceng, dan lain sebagainya.
 Punctuation
Punctuation digunakan untuk menunjukan akhiran dari suatu ruang dan
permulaan bagi ruang yang lain.
 Landmark

Landmark adalah bangunan atau elemen penting yang merupakan ciri khas,
identitas suatu daerah. Landmark membantu orang untuk mengorientasikan
diri di dalam kota dan membantu orang mengenali suatu daerah.
BAB III GAMBARAN WILAYAH STUDI

3.1 Orientasi Lokasi


Kecamatan Genuk merupakan salah satu dari 16 kecamatan di Kota Semarang yang
diresmikan oleh Gubernur Tingkat I Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 17 April 1993.
Kecamatan Genuk terletak di sebelah timur dan berbatasan atau berdekatan dengan
kabupaten demak. Kecamatan Genuk memiliki luas wilayah ± 28 km2 / 2.798,442 Ha
secara administratif terbagi dalam 13 Kelurahan. Kecamatan Genuk terletak di sisi timur
wilayah Kota Semarang dengan batas sebelah utara adalah Laut Jawa, sebelah timur
adalah Kabupaten Demak, sebelah selatan adalah Kecamatan Pedurungan, dan sebelah
barat adalah Kecamatan Gayamsari.

3.2 Sejarah Perkembangan Wilayah Kecamatan Genuk


3.2.1 Kelurahan Sembungharjo
Kelurahan Sembungharjo yang memiliki luas wilayah sebesar 2,51 km² ini pada
mulanya terdiri dari 2 kelurahan, yaitu Kelurahan Sembung dan Gayim. Dahulu,
kehidupan di kedua kelurahan ini tidak Makmur. Oleh karena itu, kedua kelurahan ini
pun digabungkan atau disambung untuk mewujudkan kehidupan yang lebih makmur
atau dalam Bahasa Jawa ‘’harjo’’. Peristiwa ini yang kemudian menjadi asal usul dari
nama Kelurahan Sembungharjo. Sebagian dari Kelurahan Kudu, Kelurahan Bangetayu
Wetan, dan Kelurahan Banjardowo merupakan bagian dari Kelurahan Sembungharjo.
Hingga akhirnya pada tahun 1993 saat pemetaan wilayah, kelurahan-kelurahan
tersebut akhirnya berdiri sendiri. Secara administrasi, Kelurahan Sembungharjo
terdiri atas 10 RW dan 71 RT. Penduduk di Kelurahan Sembungharjo ini didominasi
oleh pendatang yang mayoritas bekerja sebagai karyawan pabrik di Kelurahan
Trimulyo atau Kabupaten Demak. Penggunaan lahan di Kelurahan Sembungharjo
didominasi oleh permukiman.
Di Kelurahan Sembungharjo, terdapat suatu lapangan sepakbola yang terletak pada
perbatasan dengan Kelurahan Bangetayu Wetan. Lapangan sepakbola ini memiliki
kualitas yang tergolong baik di Kecamatan Genuk, sehingga sering digunakan untuk
acara tingkat kecamatan. Selain itu, terdapat sungai di Kelurahan Sembungharjo.
Sungai tersebut mengarah ke Banjir Kanal Timur di sebelah Barat, dan mengarah ke
Pucang Gading di sebelah Timur.
3.2.2 Kelurahan Kudu
Kota Semarang mengalami pertumbuhan dan perkembangan sehingga menghasilkan
suatu bentuk struktur kota yang ditemui hingga sampai sekarang. Kelurahan Kudu
yang berada di Kecamatan Genuk mengalami hal serupa sehingga terjadi sejarah
perkembangan bentuk strukturnya. Awal sejarah dinamakan Kelurahan Kudu ketika
dahulu banyak pohon mengkudu yang berada di sekitar Kelurahan Kudu sehingga
disebut Kelurahan Kudu. Awal mula terbentuk
Kelurahan Kudu dikarenakan terjadi
pemekaran dari wilayah Penggaron sehingga
terbentuklah Kelurahan Kudu. Pada tahun
1976 ,Kelurahan Kudu dikenal dengan
wilayah yang memiliki jalan yang belum
terjamah, pengguna lahannya di dominasi
dengan perkebunan mengkudu, persawahan,
kebon pisang dan jagung. Hingga pada saat ini
hampir 90 % penggunaan lahan di Kelurahan
Kudu digunakan sebagai permukiman sisanya
perkebunan dan industri.

3.2.3 Kelurahan Genuksari


Nama kelurahan Genuksari berawal dari kisah Ki Ageng Pandanaran yang dalam
perjalanannya menemukan yang memiliki nama lain “Genuk”, dan Ki Ageng
Pandanaran berpesan agar tempat tersebut kelak dinamai Genuksari. Dengan “Genuk”
berarti gentong, dan “sari” berarti indah. Kelurahan Genuksari merupakan pemekaran
dari Kelurahan Bandardowo pada tahun 1996. Genuksari dulunya pangkalan truk,
gudang, menjadi tempat transit komoditas yang berasal dari luar kota.
Kelurahan Genuksari memiliki sejarakelurahan Genuksari yang memiliki luas wilayah
244,5 Ha dimana sebagian besar wilayahnya adalah pemukiman dan hanya memiliki
beberapa pergudangan, selain itu Kelurahan Genuksari sari juga memiliki Pasar
tradisonal yaitu sering kita sebut sebagai Pasar Genuk, Pasar Genuk sendiri sekarang
ini disebut juga pasar modern karena banyaknya pertokoan yang berada di Pasar
Genuk.
Kelurahan Genuksari memiliki jumlah penduduk 14.610 jiwa yang terdiri dari
penduduk laki-laki sebanyak 7.317 jiwa dan Perempuan 7.293 jiwa, dimana kerapatan
penduduk setiap 1 km sebanyak 55 Jiwa, dengan melihat jumlah penduduka sebesar
itu, kelurahan Genuksari memiliki RW sebanyak 9 dan RT sebanyak 74.

3.2.4 Kelurahan Banjardowo


Sejarah Kelurahan Banjardowo tidak terlepas dari namanya. Dahulu pada wilayah ini,
bentuk susunan bangunan membentuk suatu banjar atau baris. Barisan bangunan
tersebut memiliki karakteristik yang panjang atau dalam Bahasa Jawa ‘’dowo’’.
Sehingga ketika digabungkan, makna dari nama Kelurahan Banjardowo berarti suatu
barisan yang panjang.
Kelurahan Banjardowo memiliki luas 324,16 Ha dengan administrasi yang terdiri atas
8 RW dan 54 RT. Hingga saat ini Kelurahan Banjardowo mengalami perkembangan
dalam pembangunannya. Karena letaknya yang berdekatan dengan Kabupaten Demak,
banyak masyarakat dari Kabupaten Demak yang melakukan migrasi masuk ke
Kelurahan Banjardowo, sehingga penduduk di kelurahan ini didominasi oleh
pendatang.
Kelurahan Banjardowo termasuk ke dalam
Kawasan Rawan Banjir. Dalam upaya
penanganan banjir tersebut, dibangun sebuah
polder di Kelurahan Banjardowo pada lahan
yang dulunya merupakan lapangan. Dalam
pembangunan polder tersebut, sempat ada
suatu konflik di antara warga setempat dan
pemerintah yang dikarenakan lapangan
tersebut merupakan tempat berkumpulnya
masyarakat. Sebagai penyelesaian, lapangan
tersebut kemudian dipindahkan ke lahan
kosong di belakang polder.

3.2.5 Kelurahan Bangetayu Kulon


Dahulu wilayah kelurahan Bangetayu Kulon menjadi satu keluarahan dengan
Bangetayu Wetan dan tergabung dengan nama kelurahan Bangetayu. Pada tahun 2003
ketika adanya penataan wilayah dari Dinas Tata Ruang Kota Semarang akhirnya
kelurahan Bangetayu tersebut dipecah menjadi 2 kelurahan yaitu Bangetayu Kulon
dan Bangetayu Wetan.
Kelurahan Bagetayu Kulon dulunya terdiri dari 5 RW lalu sekarang menjadi 11 RW
dengan 94 RT. Berdasarkan penuturan dari lurah Bangetayu Kulon, Pak Puryadi
bahwa 94 RT yang tercatat di kelurahan merupakan RT yang resmi karena pada fakta
di lapangan bahwa masih ada beberapa RT baru yang terpecah dari RT sebelumnya
yang belum tercatat di kelurahan.
Kelurahan Bangetayu Kulon untuk penggunaan lahannya telah mengalami banyak
perubahan, yang dulunya masih terdapat banyak sawah sekarang sudah berubah
menjadi lahan permukiman dan industri. Perubahan tersebut mulai terjadi dan terlihat
sangat jelas sejak tahun 2017 hingga saat ini, perubahan penggunaan lahan dari sawah
menjadi permukiman mencapai 90% menurut lurah Bangetayu Kulon.

3.2.6 Kelurahan Bangetayu Wetan


Berbatasan dengan kelurahan Bangetayu Kulon, dahulu kedua kelurahan ini tergabung
menjadi 1 kelurahan lalu akhirnya terpecah hingga saat ini. Saat awal terpecah,
kelurahan Bangetayu Wetan memiliki luas wilayah 250 Ha namun luasnya saat ini
berkurang karena sebagian wilayah kelurahan Bangetayu Wetan terpecah lagi menjadi
kelurahan Sembungharjo sehingga saat ini luas wilayah Bangetayu Wetan adalah
188,38 Ha.
Kelurahan Bangetayu Wetan memiliki 9 RW dan 78 RT dengan penggunaan lahan
terbesar di kelurahan ini adalah permukiman. Berdasarkan penuturan dari lurah
Bangetayu Wetan, Ibu Sugiarti bahwa adanya perubahan penggunaan lahan dari yang
dulunya sawah, lading, dan kebun menjadi permukiman terjadi sejak tahun 2005. Pada
tahun 2005 lahan sawah dan lading miliki warga dijual menjadi kavling untuk
didirikan perumahan oleh pengembang (developer) yang datang ke Bangetayu Wetan.
Menurut lurah Bangetayu Wetan adanya perkembangan lahan permukiman di
wilayahnya masih diikuti juga dengan masih adanya ruang terbuka seperti Taman
Bangetayu yang terletak persis di sebelah Kantor Kelurahan dan lahan permukiman
yang masih ideal untuk jumlah penduduk di kelurahan Bangetayu Wetan sehingga saat
ini tidak terjadi kepadatan di wilayah tersebut.
3.2.7 Kelurahan Penggaron Lor
Kelurahan Penggaron Lor mengalami perubahan perkembangan bentuk dan ruang
seiring berjalannya waktu. Kelurahan Penggaraon Lor terbentuk akibat dipecahnya
wilayah Penggaron pada Mei 1993, tidak hanya terpecah menjadi bagian Kecamatan
Genuk, terdapat pecahan yang juga masuk ke dalam administrasi Kecamatan
Pedurungan.Sebelum disebut Penggaron Lor, terdapat Kelurahan Penggaron yang
terpecah menjadi beberapa bagian yaitu sebagian dari Kelurahan Kudu, Sebagian
Kelurahan Sembungharjo dan Kelurahan Penggaron Lor. Sebelum terbentuk
Kelurahan Penggaron Lor, daerah ini merupakan daerah yang kering sehingga
banyak ditanami pohon pisang. Kelurahan Penggaron Lor juga berbatasan langsung
dengan Kabupaten Demak sehingga menjadikan daerah ini sebagai daerah yang
bersejarah karena ditemukan beberapa fragmen arca pra sejarah dari Kerajaan
Demak.

3.2.8 Kelurahan Trimulyo


Kelurahan Trimulyo memiliki 4 RW dan 20 RT dengan penggunaan lahan terbesar di
kelurahan ini adalah Industri dan kedua adalah Tambak. Berdasarkan penuturan dari
lurah Trimulyo, beliau menuturkan bahwa sejak dari dulu kelurahan ini memiliki lahan
tambak yang luas, namun pada saat dahulu belum banyak bangunan industri yang
didirikan. Semenjak kota semarang semakin lama semakin berkembang, lalu muncul
banyak bangunan industri di kelurahan ini. Hal ini dapat diamati melalu time series
citra satelit google earth yang menunjukan semenjak awal tahun 2000, sudah berdiri
beberapa bangunan industri yang lama kemudian semakin bertambah seperti saat ini.
Hal tersebut hampir mirip dengan perkembangan penggunaan lahan di Kelurahan
Terboyo Wetan, akan tetapi di kelurahan ini pada awalnya areal tambak merupakan
daerah dominan akhirnya tergantikan dengan areal industri, berbeda dengan
Kelurahan Terboyo Wetan yang areal tambaknya masih dominan meskipun
mengalami perkembangan di areal industri.

3.2.9 Kelurahan Terboyo Kulon


Dahulu wilayah kelurahan Terboyo Kulon menjadi satu kelurahan dengan Terboyo
Wetan dan pada akhirnya terpecah hingga saat ini. Saat sebelum terpecah, kelurahan
Terboyo memiliki luas wilayah 440 Ha namun setelah dipecah, Kelurahan Terboyo
Kulon memiliki luas wilayah 197 Ha.
Kelurahan Terboyo Kulon memiliki 2 RW dan 6 RT dengan penggunaan lahan
terbesar di kelurahan ini adalah Tambak (140 Ha) dan kedua adalah Areal Kampus
Universitas Islam Sultan Agung. Berdasarkan laman dari universitas Universitas
Islam Sultan Agung atau Unissula, didirikan oleh Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung
(YBWSA) pada tanggal 16 Dzulhijjah 1381 H yang bertepatan dengan tanggal 20 Mei
1962 M. Nama Sultan Agung diambil dari nama Sultan Agung yang merupakan salah
satu pahlawan nasional yang sangat berjasa bagi bangsa Indonesia.
Namun, sejak dari tahun 1962 Unissula didirikan hingga saat ini lahan tambak tetap
mendominasi penggunaan lahan di kelurahan ini. Selain adanya tambak dan
universitas, terdapat beberapa industri yang berkembang di kelurahan ini. Hal ini
dapat diamati melalu time series citra satelit google earth yang menunjukan
semenjak awal tahun 2000, sudah berdiri beberapa bangunan industri yang lama
kemudian semakin bertambah seperti saat ini.
Jika disimpulkan, Kelurahan Terboyo Kulon untuk penggunaan lahannya tidak
terlalu banyak mengalami perubahan karena sejak dari dahulu sudah banyak areal
tambak yang didirikan dan untuk areal pendidikan, berdirinya Unissula juga sudah
sejak lama dari tahun 1962. Dan yang terakhir adalah perkembangan daerah industri
seiring dengan berkembangnya aktivitas dan penduduk di Kota Semarang.

3.2.10 Kelurahan Terboyo Wetan


Berbatasan dengan kelurahan Terboyo Kulon, dahulu kedua kelurahan ini tergabung
menjadi 1 kelurahan lalu akhirnya terpecah hingga saat ini. Saat sebelum terpecah,
kelurahan Terboyo memiliki luas wilayah 440 Ha namun setelah dipecah, Kelurahan
Terboyo Wetan memiliki luas wilayah 243 Ha.
Kelurahan Terboyo Wetan memiliki 2 RW dan 8 RT dengan penggunaan lahan
terbesar di kelurahan ini adalah Tambak dan Industri. Berdasarkan penuturan dari
lurah Terboyo Wetan, beliau menuturkan bahwa sejak dari dulu kelurahan ini
memiliki lahan tambak yang luas, namun pada saat dahulu belum banyak bangunan
industri yang didirikan. Semenjak kota semarang semakin lama semakin
berkembang, lalu muncul banyak bangunan industri di kelurahan ini. Hal ini dapat
diamati melalu time series citra satelit google earth yang menunjukan semenjak awal
tahun 2000, sudah berdiri beberapa bangunan industri yang lama kemudian semakin
bertambah seperti saat ini.
Di kelurahan ini merupakan lokasi dari terminal terboyo yang melayani penumpang
dari berbagai kabupaten dan kota di Pulau Jawa khusunya Provinsi Jawa Tengah.
Namun, semenjak tahun 2018, terjadi perubahan struktur terminal terboyo yang
pada awalnya merupakan terminal tipe A (angkutan antar kota dan kabupaten)
menjadi terminal tipe c untuk truk peti kemas dan angkutan intra kota. Hal tersebut
menyebabkan munculnya terminal bayangan di sepanjang jalan masuk ke terminal
terboyo tipe c.
3.2.11 Kelurahan Gebangsari
3.2.12 Kelurahan Muktiharjo Lor
3.2.13 Kelurahan Karangroto

3.3 Gambaran Fisik Alamiah


Kecamatan Genuk secara geografis berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara,
Kabupaten Demak di sebelah timur, Kecamatan Pedurungan di sebelah selatan, dan
Kecamatan Gayamsari di sebelah barat. Kecamatan Genuk memiliki kondisi topografi berupa
dataran rendah dengan kelerengan sebesar 0-2%. Kecamatan Genuk terletak pada ketinggian
2,5 mdpl sehingga dengan kondisi ketinggian tersebut Kecamatan Genuk termasuk ke dalam
salah satu kecamatan di Kota Semarang yang rawan bencana banjir. Karakteristik alamiah
yang ada di Kecamatan Genuk adalah sungai dan tambak. Penggunaan lahan di Kecamatan
Genuk di dominasi oleh permukiman dan industri, tetapi masih ada juga terdapat beberapa
lahan persawahan atau ladang.
3.4 Gambaran Ruang Terbangun
Berdasarkan RTRW Kota Semarang 2011-2031 BWK IV, Kecamatan Genuk direncakana
memiliki lahan sebagai berikut :

Berdasarkan Pengamatan dari Google Earth Tahun 2003, lebih banyak terdapat ruang
terbuka dibandingkan dengan ruang terbangun. Daerah Permukiman penduduk masih
bercirikan daerah rural yang mana terdapat banyak ruang terbuka di sekitar ruang
terbangun. Karena Kecamatan genuk baru sekitar 10 tahun diresmikan masuk ke Daerah
Administrasi Kota Semarang pada tanggal 17 April 1993.
Daerah Industri di genuk pada tahun 2003 cenderung relatif sedikit dibandingkan dengan
tahun-tahun berikutnya. Dan daerah permukimannya pun masih lebih terpusat di dekat
daerah industri dan belum menyebar secara merata ke daerah selatan kecamatan genuk.
Dapat disimpulkan bahwa ruang terbangun Kecamatan Genuk pada tahun 2003 luasnya
lebih sedikit dibandingkan dengan ruang terbuka.
Berdasarkan Pengamatan dari Google Earth Tahun 2013, sudah terlihat makin banyaknya
daerah terbangun di kecamatan genuk. Permukiman dan industri semakin bertambah dan
daerah ruang terbuka semakin berkurang. Hal ini menunjukan perkembangan Kecamatan
genuk yang sedang berubah dari daerah yang berciri rural menjadi daerah yang berciri
urban.
Daerah permukiman di Kecamatan genuk mulai berkembang danmenyebar ke selatan.
Daerah industrinya juga semakin bertambah dan mengurangi daerah tambak yang terdapat
di bagian utara kecamatan genuk. Dapat disimpulkan bahwa ruang terbangun sedang
berkembang seiring dengan semakin kentalnya ciri daerah urban dan daerah ruang tertutup
sedang berkurang seiring dengan berkurang kentalnya ciri daerah rural.

Berdasarkan Pengamatan dari Google Earth Tahun 2018, daerah terbangun hampir
mendominasi areal penggunaan lahan dibandingkan dengan daerah terbuka. Permukiman
dan industri semakin bertambah dan daerah ruang terbuka semakin berkurang. Dalam
waktu sekarang, ciri urban di kecamatan genuk tampak lebih dominan dari pada ciri rural
Daerah permukiman di Kecamatan genuk sudah berkembang dan menyebar ke selatan dan
di daerah selatannya juga sudah mulai terakumulasi menjadi daerah yang padat bangunan.
Daerah industrinya juga semakin bertambah terakumulasi menjadi daerah padat bangunan.
Dapat disimpulkan bahwa ruang terbangun sudah mulai mendominasi penggunaan lahan di
Kecamatan Genuk.
3.5 Gambaran Ruang Terbuka
Ruang terbuka, adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam
bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana dalam
penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Ruang terbuka
terdiri atas ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non hijau.
a. Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh
tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Menurut Perda Nomor 7 Tahun
2010 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau mengatur luasan RTH yang harus dipenuhi
oleh suatu daerah. Proporsi RTH pada wilayah di perkotaan mencakup 20% ruang
terbuka publik dan 10% ruang terbuka privat. Suatu wilayah harus mencapai 30% dari
luas wilayahnya. Apabila luasan RTH di suatu
daerah belum terpenuhi maka perlu adanya
program dari pemerintah untuk menambah luasan
RTH berdasarkan peraturan atau kebijakan yang
ada. Kecamatan Genuk memiliki luas 2.738,44 ha,
sedangkan luas ruang terbuka hijaunya seluas
1.368,36 ha. sehingga kecamatan Genuk memiliki
ruang terbuka hijau 49,97%. Yang terdiri dari
taman, pekarangan rumah, dan lapangan olahraga.
Taman Bangetayu merupakan salah satu taman
yang berada di Kecamatan Genuk. Taman ini
merupakan taman yang menjadi pusat aktivitas di
kelurahan Bangetayu Kulon.

b. Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH)


Ruang terbuka non hijau, adalah ruang terbuka di wilayah perkotaan yang tidak termasuk
dalam kategori RTH, berupa lahan yang diperkeras maupun yang berupa badan air.
Manfaat RTNH secara langsung merupakan manfaat dalam jangka pendek:
berlangsungnya aktivitas masyarakat, seperti misalnya kegiatan olahraga, kegiatan
rekreasi, kegiatan parkir, dan lain-lain; keindahan dan kenyamanan, seperti misalnya
penyediaan plasa, monumen, landmark, dan lain sebagainya; serta keuntungan ekonomis,
seperti misalnya retribusi parkir, sewa lapangan olahraga, dan lain sebagainya.
Kecamatan genuk memiliki ruang terbuka non hijau yang berupa terminal, yaitu Terminal
Terboyo dan Terminal Penggaron.
3.6 Jaringan Pergerakan
Jaringan pergerakan merupakan jaringan jalan yang memudahkan masyarakat untuk
melakukan mobilisasi. Sebagaimana diketahui, Kecamatan Genuk merupakan kecamatan yang
berada di ujung Kota Semarang sehingga berbatasan langsung dengan Kab. Demak. Adanya
pergerakan antar Kabupaten Demak menuju Kota Semarang ataupun sebaliknya untuk
melakukan aktivitas digunakanlah sebuah jaringan pergerakan berupa jalan untuk
mempermudah akses transportasi. Jaringan jalan yang ada di Kecamatan Genuk terdiri dari Jalan
Arteri, Jalan Kolektor, Jalan Lokal, dan Lingkungan.
 Sebelah utara berbatasan dengan Jalan Arteri Kaligawe

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Lokal Raya Godo Jamu

 Sebelah barat berbatasan dengan Jalan Kolektor Muktiharjo Raya


 Sebelah timur terdapat perbatasan jalan lingkungan di sekitar Kec. Genuk

Jaringan jalan yang terdapat diantara pemukiman yaitu jalan-jalan lokal dengan lebar
jalan yang beragam. Terdapat banyak cabang dan belokan sehingga tidak sedikit pula jalan lokal
yang hanya bisa diakses oleh kendaraan roda dua. Salah satu penyebab keragaman dan
ketidakteraturan sistem jaringan jalan yang ada di Kecamatan Genuk yaitu topografi wilayah
yang memiliki tingkat kelerengan yang berbeda-beda.
Perkerasan jalan yang ada di Kecamatan Genuk bervariasi ada yang menggunakan cor
beton, aspal, paving dan tanah. Jalan arteri menggunakan perkerasan cor beton, untuk jalan
kolektor menggunakan aspal , jalan lokal bervariasi ada yang aspal dan sebagian menggunkan
cor beton, sedangkan untuk paving dan perkerasan tanah digunakan di jalan lingkungan.
Jaringan pergerakan Kecamatan Genuk yaitu berupa pola jaringan jalan yang keadaanya sudah
dibilang cukup baik karena ada pembatas jalan yang menjadikan jalan lebih teratur dan tidak
terjadi kesemrawutan untuk penyebarangan transportasi ataupun putar balik arah menjadi lebih
terarah di sepanjang jalan arteri. Namun, keadaan jalan belum sepenuhnya baik , hal tersebut
terjadi berdasarakan kondisi perkerasan yang rusak yang diakibatkan oleh kendaraan berat yang
sering melintasi jalan di sekitar Kecamatan Genuk tanpa memperhatikan keharusan dari
peruntukkan penggunaan jalan seperti lebar badan jalan yang tidak sesuai dengan moda
transportasi yang melintas.
3.7 Kependudukan
Jumlah penduduk di Kecamatan Genuk Kota Semarang tahun 2018 menurut BPS Kota
Semarang Dalam Angka 2019 berjumlah 115.174 jiwa yang terdiri dari 58.681 laki-laki dan
58.493 perempuan.
a. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

LAKI-LAKI 40.219 42.893 44.638 45.928 46.912 47.854 49.086 50.149 56.681

PEREMPUAN 40.381 42.984 44.329 45.599 46.527 47.357 48.459 49.359 58.493

JUMLAH 80.600 85.877 88.967 91.527 93.439 95.211 97.545 99.508 115.174

b. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018


ISLAM 76.033 81.181 84.102 86.522 88.330 90.012 92.211 94.067 110.767
KATHOLIK 2.222 2.279 2.361 2.429 2.480 2.527 2.589 2.641 3.110
PROTESTAN 1.777 2.204 2.283 2.349 2.398 2.443 2.503 2.554 3.007
BUDHA 100 109 113 116 119 121 124 126 149
HINDU 86 103 107 110 113 115 118 120 141
JUMLAH 80.218 85.876 88.966 91.526 93.440 95.218 97.545 99.508 117.174

c. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian/Pekerjaan

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018


PETANI
2.562 5.894 6.399 6.581 6.635 6.581 6.685 6.791 13.698
SENDIRI
PETANI
2.462 2.681 2.911 2.993 3.018 2.993 3.041 3.089 6.231
BURUH
NELAYAN 53 54 59 60 61 60 61 62 125

PENGUSAHA 1.341 113 123 126 127 126 128 130 263
BURUH
19.570 16.804 18.244 18.244 18.917 18.762 19.059 19.362 39.053
INDUSTRI
BURUH
4.310 5.276 5.728 5.728 5.940 5.891 5.984 6.079 12.261
BANGUNAN
PEDAGANG 4.530 4.715 5.119 5.119 5.308 5.264 5.348 5.433 10.958

ANGKUTAN 1.124 951 1.033 1.033 1.071 1.062 1.079 1.096 2.210

PNS/ABRI 1.329 2.132 2.315 2.315 2.400 2.380 2.418 2.457 4.955
PENSIUNAN 538 501 544 544 564 559 568 577 1.164

JASA/LAINNYA 11.466 2.431 2.639 2.639 2.737 2.714 2.757 2.801 5.649

JUMLAH 49.285 41.552 45.114 45.382 46.778 46.392 47.128 47.877 96.567

d. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan Yang Ditamatkan

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018


TIDAK
4.962 5.096 5.278 5.429 5.542 5.647 5.785 5.934 6.988
SEKOLAH
BELUM
8.543 8.774 9.087 9.347 9.542 9.722 9.960 10.217 12.031
TAMAT SD
TIDAK
6.922 7.109 7.363 7.574 7.731 7.877 8.070 8.278 9.748
TAMAT SD
TAMAT SD 17.349 17.818 18.454 18.982 19.376 19.743 20.226 20.747 24.431
TAMAT SLTP 15.389 15.804 16.369 16.837 17.187 17.512 17.941 18.403 21.671
TAMAT SMA 16.012 16.444 17.032 17.519 17.883 18.221 18.667 19.148 22.548
TAMAT
AKADEMI/D 3.298 3.387 3.508 3.609 3.684 3.753 3.845 3.944 4.645
III
TAMAT
PERGURUAN 3.421 3.464 3.588 3.691 3.768 3.839 3.933 4.034 4.750
TINGGI
JUMLAH 75.896 77.896 80.679 82.988 84.713 86.314 88.427 90.705 106.812

e. Kepadatan Penduduk Netto dan Kepadatan Penduduk Bruto


1. Kepadatan Penduduk Netto
Hasil perhitungan dari jumlah penduduk tahun tersebut dalam satuan jiwa dibagi
dengan luas lahan terbangun dalam satuan hektar. Kepadatan penduduk netto
berguna untuk mengetahui penggunaan lahan untuk pembangunan.

Jumlah penduduk (jiwa)


KA = Luas Lahan Terbangun (Ha)

Berdasarkan pengertian tersebut, kawasan Kecamatan Genuk 2018 memiliki jumlah


penduduk 115.174 jiwa dengan luas lahan terbangun seluas 1.097.148 Ha

115.174 jiwa
KA = 1.097.148 Ha = 0,1049 jiwa/Ha

2. Kepadatan Penduduk Bruto


Kepadatan penduduk bruto (crude density population) adalah hasil perhitungan dari
jumlah penduduk tahun tersebut dalam satuan jiwa dibagi dengan luas lahan yang
ada dalam satuan kilometer persegi.

Jumlah penduduk (jiwa)


KPK = Luas Wilayah (𝑘𝑚2 )

Berdasarkan pengertian tersebut, kawasan Kecamatan Genuk 2018 memiliki jumlah


penduduk 115.174 jiwa dengan luas wilayah seluas 2.610.147 km2 .
115.174 jiwa
KPK = 2.610.147 Ha = 0,0441 jiwa/km2

3.8 Sosial dan Budaya


Kecamatan Genuk terdapat banyak aktivitas yang menyangkut dengan sosial budaya yang
ada di Kecamatan Genuk, beberapa aktivitas atau juga bisa disebut pusat aktivitas terkait
sosial budaya di Kecamatan Genuk antara lain :
a. Wisata Religi Makam Waliyullah Syech Jumadil Qubro
Di Kelurahan Terboyo Kulon terdapat pusat aktivitas
atau terdapat sebuah tempat yang menjadi tempat
aktivitas. Tempat tersebut dijadikan wisata religi,
tempat itu adalah makam dari Waliyullah Syech Jumadil
Qubro yang berada di tepi jalan arteri Jos Sudarso.
Tempat ini memiliki potensi besar untuk dikembangkan
sebagai tempat berziarah karena setiap harinya ada
ratusan peziarah yang mendatangi makam tersebut.

b. Terminal Terboyo
Terminal Terboyo merupakan terminal yang terletak di kelurahan Terboyo Wetan,
Kecamatan Genuk. Terminal ini juga merupakan salah satu tempat yang penting di Kecamatan
Genuk terutama Kota Semarang karena terminal ini merupakan salah satu terminal yang
berperan penting di Kota Semarang. Meskipun banyak terminal di Semarang namun sejak
dulu Terminal Terboyo yang menjadi pilihan
tempat pemberhentian orang-orang, bahkan
hampir menjadi terminal icon di Semarang.
Eksistensi Terminal Terboyo pun masih berlanjut
bahkan hingga kini meskipun Terminal Terboyo
telah dialihfungsikan untuk terminal truk atau
tempat pemberhentian truk namun masih banyak
juga penumpang dan bus-bus yang menunggu di
Terminal Terboyo. Hal ini juga didukung oleh letak
terminal yang strategis karena berada di jalur
pantura.

c. Universitas Sultan Agung (UNISSULA)


Universitas Sultan Agung atau biasa disebut
UNISSULA merupakan salah satu perguruan tinggi
swasta favorit di Kota Semarang. UNISSULA
terletak di kelurahan Terboyo Kulon dan menjadi
salah satu tempat penting yang ada di Kecamatan
Genuk karena menjadi salah satu pusat aktivitas di
Kecamatan Genuk.
d. Rumah Sakit Islam Sultan Agung
Rumah Sakit Islam Sultan Agung merupakan
salah satu rumah sakit yang terdapat di Kecamatan
Genuk tepatnya di Kelurahan Terboyo Kulon.
Rumah sakit ini menjadi salah satu tempat penting
di Kecamatan Genuk karena merupakan rumah
sakit besar dan terkenal, bahkan pasien yang
datangpun tidak hanya dari Kecamatan Genuk
ataupun Kota Semarang karena rumah sakit ini juga
sering dijadikan tempat rujukan dari klinik-klinik
atau puskemas di Kecamatan Genuk maupun Kota
semarang atau wilayah lain.

e. Pasar Genuk
Pasar Genuk ini berada di kelurahan Genuksari dan merupakan salah satu tempat yang
memiliki peran penting bagi Kecamatan Genuk. Hal ini karena peran pasar penting dalam
kehidupan terkait dengan pemenuhan kebutuhan,
pasti akan banyak orang yang berdatangan ke
pasar terlebih jika pasar besar pasti orang akan
lebih memilih datang kesana karena barang atau
produk yang dijual lebih lengkap. Selain itu dari
segi sejarahnya juga Pasar Genuk sangat kental
dengan terbentuknya Genuk dan tokoh-tokoh
dibalik terbentuknya Genuk, seperti menurut
cerita warga tentang wafat dan dimakamkannya
ajudan Sunan Kalijaga yang dipercaya warga
berada di tengah Pasar Genuk.

f. Masjid Jami’ Baitul Izzah


Sebagai salah satu masjid terbesar di Kecamatan Genuk, masjid ini juga berperan penting
dalam perkembangan kecamatan Genuk. Masjid yang berada di kelurahan Terboyo Wetan
ini sering sekali dikunjungi orang-orang baik dari luar maupun dari dalam Genuk, terutama
ketika hari libur atau hari-hari besar seperti hari raya yaitu ketika mudik pasti masjid ini
akan ramai dikunjungi oleh pemudik baik untuk melaksanakan sholat atupun hanya sekedar
istirahat. Ramainya pengunjung untuk datang ke
Masjid ini karena letaknya yang strategis yaitu
dipinggir jalan pantura yang mana jalan pantura ini
pasti menjadi jalur bagi para pemudik. Selain itu dari
segi sejarah masjid ini juga menjadi masjid yang
memiliki pengaruh bagi sejarah di kecamatan Genuk
dimana masjid yang dibangun oleh Kyai
Abdurrahman ini sempat dibakar oleh belanda
namun mustaka masjid tidak ikut terbakar, kemudian
masjid ini dibangun kembali dan mustaka masjid
diperbesar dan dipasang lagi.
Berikut adalah peta persebaran tempat-tempat penting di Kecamatan Genuk berdasarkan
aktivitas sosial dan budayanya :

Anda mungkin juga menyukai