Bahan Ajar 1 - Kejang PDF
Bahan Ajar 1 - Kejang PDF
KEJANG
Nama Mata Kuliah/Bobot SKS : Sistem Neuropsikiatri / 8 SKS
Standar Kompetensi : area kompetensi 5: landasan ilmiah
kedokteran
Kompetensi Dasar : menerapkan ilmu kedokteran klinik pada
sistem neuropsikiatri
Indikator : menegakkan diagnosis dan melakukan
penatalaksanaan awal sebelum dirujuk
sebagai kasus emergensi
Level Kompetensi : 3B
Alokasi Waktu : 2 x 50 menit
Isi Materi;
BAB 1
1
PENDAHULUAN
Kejang merupakan gejala yang timbul dari efek langsung atau tidak langsung
dari penyakit sistem saraf pusat ( SSP ). Obat – obat yang digunakan untuk terapi
berbagai penyakit vaskuler yang dapat mempengaruhi ambang kejang dan
memyebabkan kejang , selain itu penyakit dapat pula mendasari angka kejadian
kejang pada pasien stress. Kejang didefiniskan sebagai perubahan sementara dalam
keadaan atau tanda – tanda lain atau gejala yang dapat disebabkan oleh disfungsi
otak. disfungsi otak tersebut dapat disertai dengan motorik, sensorik dan gangguan
otonom tergantung paad daerah otak yang terlibat baik organ itu sendiri atau pun
penyebaran ke organ yang lain.1,2
Salah satu bentuk kejang yang sering dijumpai pada anak adalah kejang
demam. Kejang demam adalah kejang disertai demam ( suhu ≥ 100.4 ° F atau 38°C),
tanpa infeksi sistem saraf, yang terjadi pada bayi dan anak-anak 6 sampai 60 bulan.
Kejang demam terjadi pada 2% sampai 5% dari semua anak-anak, dengan demikian
menjadi bentuk yang paling umum terjadi. Pada tahun 1976, Nelson dan Ellenberg,
menggunakan data dari National Collaborative Perinatal Project dan ditetapkan
bahwa kejang demam diklasifikasikan sebagai simpleks atau kompleks. Kejang
demam simpleks didefinisikan sebagai kejang yang terjadi setelah demam, yang
berlangsung selama kurang dari 15 menit dan tidak berulang dalam waktu 24 jam.
Kejang demam kompleks didefinisikan sebagai kejang fokal, berlangsung lebih dari
15 menit, dan atau berulang dalam waktu 24 jam. Anak-anak yang mengalami kejang
2
demam simpleks tidak terbukti meningkat risiko kematiannya, hemiplegia, atau
keterbelakangan mental. Sebuah konsensus pada tahun 1980 dari National Institutes
of Health menyimpulkan bahwa kejang demam simpleks memiliki prognosis yang
sangat baik.2,4
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Risiko seumur hidup terhadap terjadinya kejang umum adalah 3-4% dengan
puncak kejadian pada awal kejang (kejang neonates atau tumor dan stroke)
kehidupan.Kita ketahui epilepsy adalah salah satu penyakit tertua di dunia dan
menempati urutan kedua dari penyakit saraf setelah gangguan peredaran otak.
Penyakit ini diderita oleh kurang lebih 50 juta orang di seluruh dunia. Epilepsi
4
bertanggung jawab terhadap 1% dari beban penyakit global, dimana 80% beban
tersebut berada di negara berkembang. Pada negara berkembang di beberapa area 80-
90% kasus tidak menerima pengobatan sama sekali.4
Secara keseluruhan insiden epilepsi pada negara maju berkisar antara 40-70
kasus per 100.000 orang per tahun. Di negara berkembang, insiden berkisar antara
100-190 kasus per 100.000 orang per tahun. Prevalensi dari epilepsi bervariasi antara
5-10 kasus per 1.000 orang.4
Di Indonesia belum ada data yang pasti mengenai penderita epilepsi, tetapi
diperkirakan ada 1-2 juta penderita epilepsi. Prevalensi epilepsi di Indonesia adalah
5-10 kasus per 1.000 orang dan insiden 50 kasus per 100.000 orang per tahun.4
Menurut Center for Disease and Prevention (CDC) pada tahun 2010 di AS,
epilepsy mempengaruhi 2,5 juta orang . Survie dari dokter, pelaporan diri, dan
penelitian dari campuran beberapa sumber ini, di simpulkan bahwa kejadian dan
prevalensi kejang dan epilepsi, kejang epilepsy pertama terjadi apada 300.000 orang
setiap tahunnya, 120.000 orang berusia > 18 tahun, dan antara 75.000 dan 100.00
diantaranya adalah anak- anak muda yang berusia 5 tahun yang mengalami kejang
demam. Laki – laki memiliki sedikit lebih beresiko daripada perempuan. 2
2.3 Etiologi
Kejang paling sering terlihat pada pasien kritis. Dalam sebuah penelitian 55
pasien dengan serangan kejang onset terbaru dalam perawatan intensif care unit
diperoleh hasil lebih dari sepertiga kejang disebabkan oleh gangguan metabolisme
akut seperti hiponatremia, dan delapan orang pasien diperoleh kejangya disebabkan
oleh penggunaan obat antiaritmia atau antibiotik.5
5
Penyebab lain yang mendasari timbulnya kejang adalah 6
2.4 Patogenesis
6
terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan
hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik.
Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat,
norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisiyang terkenal ialah
gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis
melepaskan muatan listrik dan terjadi transmisi impuls .Dalam keadaan istirahat,
membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan
polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan
seluruh sel akan melepaskan muatan listrik.7,8
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat mengubah fungsi
membran neuron sehingga membran mudah dilalui oleh ion Ca dan Na dari ruangan
ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran
dan melepaskan muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepasnya
muatan listrik dengan jumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu
serangan kejang. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat
serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah
pengaruh neuron-neuron sekitar tempat epileptic. Selain itu juga sistem-sistem
inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-
menerus melepaskan muatan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan
epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting
untuk fungsi otak.7,8
7
1. Kejang Parsial (fokal)
1.1. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1.1.1. Dengan gejala motorik
1.1.2. Dengan gejala sensorik
1.1.3. Dengan gejala otonomik
1.1.4. Dengan gejala psikik
1.2. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1.2.1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
1.2.1.1. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
1.2.1.2. Dengan automatisme
1.2.2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
1.2.2.1. Dengan gangguan kesadaran saja
1.2.2.2. Dengan automatisme
1.3. Kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik, tonik atau klonik)
1.3.1. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
1.3.2. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
1.3.3. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
berkembang menjadi kejang umum
2. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
2.1. lena/ absens
2.2. mioklonik
2.3. klonik
2.4. tonik
2.5. tonik-klonik
2.6. atonik/ astatik
3. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan
8
1. Kejang parsial simplek
Serangan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala
berupa:
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya
bertahan lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan
besar tidak akan mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi:
Gerakan seperti mencucur atau mengunyah
Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan
pakaiannya
Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling
dalam keadaan seperti sedang bingung
Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
9
3. Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal)
Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap:
tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini
pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini
biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum
serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga
berdengung.
Pada saat fase klonik: terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak
terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien
tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur
setelah serangan semacam ini.
Kejang ini di bagi menjadi kejang absans tipikal atau petit mal dan kejang
atipikal.Kejang absenstipikal ditandai dengan berhentinya aktivitas motorik motorik
anak secara tiba-tiba,kehilangan kesadaran sementara secara singkat,yang di sertai
dengan tatapan kosong.Sering tampak kedipan mata berulang saat episode kejang
terjadi.Episode kejang terjadi kurang dari 30 detik.Kejang ini jarang di jumpai pada
anak berusia kurang dari 5 tahun. Kejang absans atipikal di tandai dengan gerakan
10
seperti hentakan berulang yang bisa ditemukan pada wajah dan ekstremitas dan
disertai dengan perubahan kesadaran.
5. Kejang Mioklonik
Kejang yang ditandai dengan gerakan kepala seperti terjatuh secara tiba-tiba
dan di sertai dengan flexi lengan.Kejang tipe ini dapat terjadi ratusan kali perhari
11
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf
kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi
seperti hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema
mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang
terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis
dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil
mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi.” Dysmorphism “ dan gangguan
belajar mungkin ada kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia,
mioklonus yang makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan
neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di
lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan kelainan
fokus kontralateral dilobus temporalis.
1. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
2. PEMERIKSAAN ELEKTROENSEFALOGRAFI
12
membantu dalam membuat diagnosis, mengklarifikasikan jenis serangan kejang yang
benar dan mengenali sindrom epilepsi.
3. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian
pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk
epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh
karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal,
tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin
dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi:T1 dan
T2 weighted“ dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan
saggital.
4. PEMERIKSAAN NEUROPSIKOLOGI
2.7 Terapi
Obat anti epilepsi (AED) terapi, pengobatan utama untuk sebagian besar
pasien, memiliki empat tujuan: untuk menghilangkan kejang atau mengurangi
frekuensi mereka ke tingkat maksimum yang mungkin, untuk menghindari efek
13
samping yang berhubungan dengan pengobatan jangka panjang, dan untuk membantu
pasien dalam mempertahankan atau memulihkan kegiatan psikososial mereka , dan
dalam menjaga kestabilan kehidupan sehari –hari mereka. Keputusan untuk memulai
terapi obata anti epilepsy harus berdasarkan analisis informasi tentang kemungkinan
kejang kekambuhan, konsekuensi terus kejang untuk pasien, dan efek
menguntungkan dan merugikan dari farmakologis yang akan diberikan. 2
14
BAB III
KESIMPULAN
Obat anti epilepsi (AED) terapi, pengobatan utama untuk sebagian besar
pasien, memiliki empat tujuan: untuk menghilangkan kejang atau mengurangi
frekuensi mereka ke tingkat maksimum yang mungkin, untuk menghindari efek
samping yang berhubungan dengan pengobatan jangka panjang, dan untuk membantu
pasien dalam mempertahankan atau memulihkan kegiatan psikososial mereka , dan
dalam menjaga kestabilan kehidupan sehari –hari mereka.
15
Daftar Pustaka
16
Latihan
17