NIM : 1865342025
1. = Teori mengenai ruang spiritual pada diri manusia dan kemungkinan terjadinya
konversi agama
Unsur penciptaan manusia itu sendiri terdiri dari ruh dan jasad. Nashori (2005,
23-24) mengatakan bahwa ruh yang ada di dalam diri manusia merupakan ruh
ilahi (the spirit of god). Hanya manusialah makhluk yang dalam unsur
penciptaannya terdapat ruh ilahi. Dengan adanya ruh ilahi ini manusia memiliki
potensi-potensi ketuhanan dalam dirinya. Maksudnya, dalam diri manusia melekat
sifat-sifat dasar atau potensi-potensi dasar sebagaimana yang dimiliki Allah.
Kecendrungan manusia untuk bertuhan dan memiliki potensi spiritual jelas
tergambarkan di dalam firman Allah Surat Al-A‟araf [7] ; 172 :
Dari Abu Hurairah r.a, Rasulallah saw bersabda: “Tiada seorang anak pun kecuali
dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikannya beragama Yahudi, Nasrani, dan Majusi. (HR. Muslim).
Menurut Clark (dalam Darajat, 2005, 160) konversi agama (religious conversion)
adalah suatu macam pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang mengandung
perubahan arah yang cukup berarti, dalam sikap terhadap ajaran agama dan tindak
agama. Lebih jelas dan lebih tegas lagi, konversi agama menunjukan suatu
perubahan emosi yang tiba-tiba ke arah mendapat hidayah Allah secara
mendadak, telah terjadi, yang mungkin saja sangat mendalam atau dangkal. Dan
mungkin pula terjadi perubahan tersebut secara berangsur-angsur.
= Peristiwa pencarian Tuhan oleh nabi Ibrahim a.s. atau peristiwa konversi yang dialami
oleh Umar bin Khattab!
Nabi Ibrahim as bukan saja tumbuh sehat jasmaninya, tetapi juga sangat cerdas
otaknya. Nabi Ibrahim as terus mengejar jawaban dari mana datangnya manusia,
siapakah penciptanya. Ketika orangtuanya mengatakan bahwa ia datang dari
ibunya, Nabi Ibrahim as kemudian menanyakan siapa yang mendatangkan ibunya,
demikian seterusnya dan tiada terjawablah pertanyaan itu.
Nabi Ibrahim as mulai menggunakan akal sehatnya untuk mencari Tuhannya yang
menciptakan jagad raya dan seisinya menjadi ada. Awalnya Nabi Ibrahim as
menganggap bintang yang menerangi malam itulah Tuhannya, namun Nabi
Ibrahim as menolaknya setelah bintang itu hilang cahayanya saat muncul bulan
yang lebih terang
Lagi-lagi Nabi Ibrahim as harus kecewa karena ternyata bulan juga tidak langsung
kenampakannya, hilang ketika fajar mulai menyingsing di pagi hari. Pagi harinya
ketika sang Surya memancarkan sinarnya yang membuat bumi terang benderang
maka Nabi Ibrahim as mengira telah menemukan apa yang dicarinya. Namun
ternyata matahari juga mengecewakan karena bisa hilang di waktu malam hari.
3. Sebagaimana yang tersebut dalam ayat sebelum ayat di atas, Allah menetapkan
(mewajibkan) hukum qishash di antara manusia.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-
orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan
wanita dengan wanita. Barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang
diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).
Hal itu adalah suatu keringanan dan rahmat dari Rabb kalian. Barang siapa yang
melampaui batas sesudah itu, baginya siksa yang sangat pedih.” (al-Baqarah: 178)
Berikut ini adalah beberapa dalil yang menunjukkan disyariatkannya hukum qishash.
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishashnya.” (al-Maidah: 45)
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah (membunuhnya)
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.” (al-Isra: 33)
Adapun di antara hadits yang menunjukkan masalah ini adalah riwayat dari Abdullah bin
Mas‟ud z, Rasulullah n bersabda:
“Darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak
diibadahi selain Allah dan bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah, tidak boleh
ditumpahkan melainkan karena tiga hal: jiwa dibalas dengan jiwa, orang yang telah
menikah yang melakukan zina, orang yang murtad dari Islam dan meninggalkan
persatuan bersama kaum muslimin.” (Muttafaqun „alaih)
Hukum Qishash Juga Berlaku dalam Agama Terdahulu
Pada dasarnya, qishash adalah ketetapan hukum yang juga berlaku dalam agama-agama
terdahulu sebelum Islam. Allah l berfirman:
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishashnya.” (al-Maidah: 45)
Ibnu Abbas berkata, “Dahulu di masa Bani Israil, orang yang membunuh diberlakukan
hukum qishash dan tidak ada diyat (bayar denda).”
Qatadah berkata, “Dahulu yang berlaku bagi para pengikut Taurat adalah qishash dan
pemaafan, tidak ada diyat (membayar denda). Adapun bagi para pengikut Injil hanya
berlaku pemaafan. Adapun bagi umat ini, Allah l menetapkan hukum adanya qishash,
pemaafan dan diyat.”
Karena sudah dijelaskan di al-qur'an bahwa allah membeci khamr,zina,riba,dan
pencurian.
Dahulu pada zaman rasulullah bagi orang yang melakukan kegiatan tersebut akan
mendapatkan hukumannya sendiri-sendiri,ada yang dihukum cambuk,ada juga yang
tangannya dipotong.
4. Saya setuju apabila pendidikan agama islam diajarkan diperguruan tinggi untuk
menambah wawasan agama bagi mahasiswa. Pro atau kontra tidak masalah itu tergantung
bagaimana cara yang paling mudah bagi dosen PAI adalah mahasiswa dibekali materi
agama sebanyak banyaknya. Namun, ketika selesai kuliah PAI mahasiswa tidak bisa
autodidak untuk mendalami ajaran agama, kecuali hanya bagi beberapa mahasiswa yang
memang memiliki dasar dan minat yang besar untuk mendalami agama.
5. Spritual islam adalah sikap dari setiap muslim yang merefleksikan Allah swt sebagai
sesuatu yang vital dan menentukan norma atau prinsip hidup. Al-qur'an dipandang
sebagai norma atau prinsip hidup oleh mereka yang ingin selamat. Spritualitas islam
mengajak kesadaran manusia untuk menjadikan Tuhan dengan segala representasinya
(keesan, sifat-sifat dan al-asma' al-husna, al-Qur'an) sebagai model pokok dari segala
bentuk ekspresi kemakhlukan manusia (Badruddin, 2011)