Anda di halaman 1dari 6

MATERI KULIAH PERTEMUAN 3

FITRAH BERAGAMA BAGI MANUSIA

A. Manusia Terlahir Dalam Keadaan Fitrah


Agama dan manusia adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan
antara satu dengan yang lain. Manusia hidup memerlukan agama sebagai tempat
mencari ketenangan dan keridhaan Tuhan dan agama hadir untuk menjadi petunjuk
bagi umat manusia. Menurut Islam, agama berarti suatu peraturan atau penetapan
Tuhan yang membimbing manusia kepada aqidah yang benar, ibadah yang baik dan
mu’amalah yang baik pula. Sedangkan manusia adalah hayawan al-nathiq (makhluk
yang berpikir), yang pada hakikatnya adalah makhluk pencari kebenaran. Di sini
bertemu antara agama sebagai satu hakikat yang benar dan manusia (dengan akal dan
hatinya) sebagai makhluk pencari kebenaran.
Manusia adalah makhluk Allah SWT yang diciptakan sesuai dengan
fitrahnya,sesuai dengan hadits Rasulullah SAW :
) ‫َما مِنْ َم ْول ُ ْو ٍد ا اَِّل ُي ْولَ ُد َعلَى ْالف ِْط َر ِة (رواه مسلم‬
”Tidaklah dilahirkan seorang anak melainkan atas fitrahnya” (HR. Muslim)
Dalam bukunya Membumikan Al-Quran, Quraisy Shihab mengartikan fitrah itu
sebagai ”Agama Yang Benar”, ”Kesucian” atau ”Asal Kejadian”. Asy-Syarif Ali bin
Ahmad al-Jurjani seorang ahli bahasa Arab dari Persia mendefinisikan fitrah sebagai
watak yang senang menerima agama. Sedangkan para fuqaha (ahli fiqih)
mengartikannya sebagai tabi’at yang suci dan asli yang dibawa manusia sejak lahir,
belum pernah disentuh oleh cacat atau aib apapun.
Di antara fitrah manusia itu adalah: beragama, mempertahankan hidup,
melanjutkan jenis, mempertinggi taraf hidup, rasa keadilan, ingin senang, ingin selamat,
ingin bahagia, ingin hidup bersama, ingin berkuasa, ingin kaya, ingin baik, ingin dihargai
dan lain sebagainya. Namun, di antara sekian banyak fitrah manusia itu, fitrah
beragama adalah fitrah yang paling utama dan paling murni sebagaimana yang di
jelaskan oleh Prof. Dr. Hamka yang mengatakan bahwarasa ber-Tuhan adalah
perasaan yang semurni-murninya dalam jiwa manusia. Sedangkan Sayid Sabiq
mengatakan fitrah keagaamaan adalah satu-satunya fitrah yang membedakan antara
manusia dengan hewan, yakni instink keagamaan (Religious instinct).
William James menegaskan bahwa, ”Selama manusia masih memiliki naluri
cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama (berhubungan dengan Tuhan).”
Itulah sebabnya mengapa perasaan takut merupakan salah satu dorongan yang
terbesar untuk beragama. Karena itulah, manusia membutuhkan agama, paling tidak,
karena alasan berikut; (1) karena keterbatasan akal dan kemampuan manusia, (2)
sebagai obat kegelisahan dan kegersangan hati, dan (3) sebagai tempat mencari
keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dan fitrah manusia juga adalah
ingin mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Tujuan
beragama itu antara lain dijelaskan oleh Allah SWT;

             

”Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu


dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Yunus/10: 57)

Dalam pandangan ilmuan Islam, agama yang diwahyukan Tuhan, benihnya


muncul dari pengenalan dan pengalaman manusia pertama di pentas bumi ini. Di sini ia
menemukan tiga hal, yaitu, keindahan, kebenaran dan kebaikan. Gabungan ketiganya
dinamai suci atau kesucian. Manusia ingin mengetahui siapa atau apa yang maha suci,
dan ketika itulah ia menemukan Tuhan, dan sejak itu pula ia berusaha berhubungan
dengan Tuhannya bahkan berusaha untuk meneladani sifat-sifat-Nya. Usaha itulah
yang dinamai beragama, atau dengan kata lain, keberagamaan adalah terpatrinya rasa
kesucian dalam jiwa seseorang. Karena itu seseorang yang beragama akan selalu
berusaha untuk mencari dan mendapatkan yang benar, yang baik, dan yang indah.
Mencari yang benar menghasilkan ilmu, mencari yang baik menghasilkan akhlak,
mencari yang indah menghasilkan seni. Dengan demikian agama bukan saja
merupakan kebutuhan manusia tetapi juga selalu relevan dengan kehidupannya.
Karena itu, manusia yang tidak beragama (beriman) di mata Allah SWT dipandang
sama dengan hewan, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran:
         

”Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-
orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman”. (QS. Al-Anfal/8: 55)

Raghib al-Isfahani, ahli bahasa Arab dari kalangan Sunni, mengatakan bahwa
fitrah yang Allah SWT berikan kepada manusia ialah menciptakan manusia dalam
keadaan siap atau terlatih untuk melakukan pekerjaannya di dunia, atau kekuatan dan
kemampuan yang diberikan Allah SWT kepada manusia untuk mengenal iman. Dengan
kekuatan dan kemampuannya itu, ia dapat mengetahui agama yang benar dan Tuhan
yang menciptakannya. Hal ini dijelaskan dalam Al-Quran:

        

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan
mereka, niscaya mereka menjawab: "Allah", maka bagaimanakah mereka dapat
dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. Azh-zhukhruf/43: 87)

Dalam kitab Tafsir al-Azhar, Hamka menjelaskan bahwa fitrah dalam arti
keinginan yang kuat untuk beragama Tauhid sudah diciptakan Allah SWT pada diri
manusia sejak manusia itu berada di alam wujud ”ilmi” (alam roh) seperti yang
dijelaskan Allah SWT:

                   

        

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari


sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS. Al-A’raaf/8: 172)

Agama Islam yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW sebagai


agama terakhir dan penyempurna dari agama-agama sebelumnya (Yahudi dan
Nasrani) adalah satu-satunya agama yang selaras dan sesuai dengan fitrahmanusia,
karena Islam hingga kini merupakan agama yang masih murni mentauhidkan Allah
SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran surah
ar-Ruum ayat 30 :

                   

    

”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”. (QS. Ar-Ruum/30: 30)

Fitrah Allah dalam ayat di atas maksudnya adalah ciptaan Allah SWT. Manusia
diciptakan oleh Allah SWT mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid.Kalau ada
manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama
tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan. Sebaliknya, jika ada yang beragama
selain beragama tauhid, berarti agamanya tidak sesuai dengan fitrahnya sebagai
manusia seperti ditegaskan dalam Al-Quran;

            

”Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”.
(QS. Ali Imran/3: 85)
B. Beragama Merupakan Fitrah Manusia
Fitrah ini menjadi naluri yang alami bagi manusia dimana keinginan timbul dari
akal pikiran, perasaan dan dorongan- dorongan kejiwaan lainnya sehingga terjadi suatu
keyakinan yang mendorong ke arah kesempurnaan dirinya atau beragama. Fitrah
sebagai ciptaan Allah, pada dasarnya tidak ada perubahan baginya. Akan tetapi dalam
pertumbuhan dan perkembangannya fitrah itu mempunyai kemungkinan mengalami
perubahan. Agar fitrah itu tetap dalam kondisinya semula, diperlukan adanya faktor
yang mendukung dan mengarahkan perkembangan stabilnya. Dengan demikian tidak
terjadi penyimpangan dari perkembangannya, sehingga naluri pokoknya akan
mengarah kepada kecenderungan kebutuhan alami yang di terima, yakni kebutuhan
sejak manusia masih di alam arwah dan dibawa sejak lahirnya ke dunia, yaitu
kecenderungan terhadap tauhid dan agama haq.
Akan tetapi jika pokok kecenderungan dan dasar kemampuan tersebut
mengalami pengarahan dalam perkembangannya, maka Manusia akan mempunyai
naluri yang bersifat fitriyyah, yaitu percaya kepada Allah SWT, maka secara langsung
manusia mempunyai kecenderungan beragama. Kecendrungan ini mempunyai
landasan alamiyyah dalam watak manusia, dimana terasakan dalam lubuk hatinya
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fitrah itu. Dorongan beragama merupakan
dorongan psikis yang mempunyai landasan alamiyyah dalam bentuk watak kejadian
manusia. Dalam relung jiwanya, manusia merasakan adanya dorongan yang
membawanya untuk mencari dan memikirkan Sang Pencipta dan alam semesta.
Beragama merupakan fitrah manusia, Ini berarti manusia cinta kesucian dan
kebenaran. Kemudian kebenaran yang dicintai itu akan terwujud, jika manusia tetap
memegang fitrahnya dengan tetap menghadapkan diri kepada kebenaran yang mutlak
dan hakiki. Dalam firman Allah surat Ar-Rum ayat 30
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui”
Agama dapat dikatakan pedoman dan tuntutan hidup manusia yang
mengandung perintah yang harus dilaksanakan dan larangan yang harus ditinggalkan.
Manusia jauh dalam lubuk hatinya cendrung mencari dan ingin menemukan sesuatu hal
yang amat nyata sebagai kebenaran hakiki. Kebenaran yang amat pokok dalam
memenuhi kebutuhannya. Sesungguhnya kebenaran tersebut ialah diperoleh dari
perjanjian yang dilakukan manusia sejak di alam arwah, yaitu sejak masih dalam proses
kejadian dirinya dan setelah dilahirkan ke dunia. Hal ini menjadikan ia cenderung
menuju kepada kesucian dan kebenaran, yaitu percaya kepada Allah dan agama yang
lurus sebagai fitrahnya.
Nyatalah bahwa dalam diri manusia terdapat naluri beragama yang menjadi
dasar sikap kemanusiannya. Naluri itu cenderung mengajaknya percaya kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan kepada agama yang haq, sebagai lanjutan untuk memenuhi
kebutuhan dalam hiduppnya.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa keyakinan dalam pengertian keimanan
terhadap Allah merupakan fitrah setiap manusia. Fitrah ini yang menjadikan manusia
mampu menerima taklif (penerapan hukum syara’), beban tanggug jawab atas
predikatnya sebagai khalifah. Oleh karena itu manusia dilahirkan dengan fitrahnya
sebagaimana sabda Nabi SAW:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang
menjadikan ia yahudi, Nasrani, atau Majus sebagaimana biatang yang dilahirkan
dengan lengkap. Apakah kamu sekalian melihat binatang yang baru dilahirkan itu putus
hidung atau telingganya”.
Dengan demikian, maka untuk menjaga stabilitas perkembangan dan
pertumbuhan fitrah beragama itu harus dipelihara dan diarahkan sehingga tidak banyak
hal-hal yang mempengaruhinya akan tetapi sesuai dengan kondisi yang semestinya.

Sumber:
Tim Dosen PAI Universitas Jambi. (2018). Pendidikan Agama Islam berbasis karakter
dan moderasi Islam. Ciputat: REFERENSI (GP Press Group)

Anda mungkin juga menyukai