Anda di halaman 1dari 35

PEDOMAN DIAGNOSTIK BERDASARKAN PPDGJ III

1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau
lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. – Thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya
(tidak keras) dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda,
atau
- Thought insertion or withdrawal = isi pikiran yang asing dari luar masuk kedalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya
(Withdrawal) dan
- Thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umumnyamengetahuinya.
b. – Delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu
dari luar atau
- Delusion of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatantertentu
dari luar atau
- Delusion of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu
kekuatan dari luar; (tentang dirinya= secara jelas ,merujuk ke pergerakan tubuh/anggota
gerak atau kepikiran, tindakan atau penginderaan khusus).
- Delusion perception = pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas
bagi dirinya , biasanya bersifat mistik dan mukjizat.
c. Halusional Auditorik ;
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap prilaku pasien .
- Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang
berbicara atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar
dan sesuatu yang mustahi,misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu atau
kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca
atau berkomunikasi dengan mahluk asing atau dunia lain)
Atau paling sedikitnya dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
e. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja , apabila disertai baik oleh waham yang
mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun
disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap
hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation) yang
berakibat inkoherensia atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.
g. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu
(posturing) atay fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
h. Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan respons emosional yang menumpul
tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunya
kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau
medikasi neureptika.
* adapun gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan
atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal);
* Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall
quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self
absorbed attitute), dan penarikan diri secara sosial.
Perjalanan Gangguan Skizofrenik dapat diklasifikasi dengan menggunakan kode lima karakter
berikut: F20.X0 Berkelanjutan, F20.X1 Episodik dengan kemunduran progresif, F20 X2 episodik
dengan kemunduran stabil, F20.X3 Episode berulang , F20. X4 remisi tak sempurna, F20.X5
remisi sempurna, F20.X8. lainnya, F20.X9. Periode pengamatan kurang dari satu tahun.

F.20.0 Skizofrenia Paranoid


Pedoman diagnostik
1. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
2. Sebagai tambahan:
- Sebagai tambahan :
* Halusinasi dan/ waham arus menonjol;
(a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi
auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung (humming),
atau bunyi tawa (laughing).
(b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual , atau lain-lain
perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.
(c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of
control), dipengaruhi (delusion of influence) atau passivity (delussion of passivity), dan
keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas;
· Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara
relatif tidak nyata / tidak menonjol.
Diagnosa Banding :
- Epilepsi dan psikosis yang diinduksi oleh obat-obatan
- Keadaan paranoid involusional (F22.8)
- Paranoid (F22.0)

F20.1 Skizofrenia Hebefrenik


Pedoman Diagnostik
- Memenuhi Kriteria umum diagnosis skizofrenia
- Diagnosis hebefrenik untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau
dewasa muda (onset biasanya 15-25 tahun).
- Kepribadian premorbid menunjukan pemalu dan senang menyendiri (solitary),
namun tidak harus demikian untuk memastikan bahwa gambaran yang khas
berikut ini
- Untuk meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3
bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini
memang benar bertahan :perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak
dapat diramalkan, serta manerisme, ada kecenderungan untuk menyendiri
(solitaris) dan perilaku menunjukan hampa tujuan dan hampa perasaan. Afek
pasien yang dangkal (shallow) tidak wajar (inaproriate), sering disertai oleh
cekikikan (gigling) atau perasaan puas diri (self-satisfied), senyum-senyum
sendiri (self absorbed smiling) atau sikap tinggi hati (lofty manner), tertawa
menyerigai, (grimaces), manneriwme, mengibuli secara bersenda gurau
(pranks), keluhan hipokondriakalI dan ungkapan dan ungkapan kata yang
diulang-ulang (reiterated phrases), dan proses pikir yang mengalamu
disorganisasi dan pembicaraan yang tak menentu (rambling) dan inkoherens
- Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir biasanya
menonjol, halusinasi dan waham biasanya ada tapi tidak menonjol ) fleeting and
fragmentaty delusion and hallucinations, dorongan kehendak (drive) dan yang
bertujuan (determnation) hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga prilaku
tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose) Tujuan aimless
tdan tampa maksud (empty of puspose). Adanya suatu preokupasi yang dangkal,
dan bersifat dibuat-buar terhadap agama, filsafat, dan tema abstrak lainnya,
makin mempersukar orang memahami jalan pikirannya.

F20.2 Skizofrenia Katatonik


Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
 Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya :
(a) stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam
gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara):
(b) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak
dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
(c) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);
(d) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua
perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan kearah yang
berlawanan);
(e) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya
menggerakkan dirinya);
(f) Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak dan
tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
(g) Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara otomatis
terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.
· Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan
katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang
memadai tentang adanya gejala-gejala lain.
· Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnostik
untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan
metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan
afektif.
Selama stupor atau kegembiraan katatonik, pasien skizofrenik memerlukan pengawasan
yang ketat untuk menghindari pasien melukai dirinya sendiri atau orang lain. Perawatan
medis mungkin ddiperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan, hiperpireksia, atau
cedera yang disebabkan oleh dirinya sendiri.

F20.3 Skizofrenia Tak terinci (undifferentiated )


Pedoman diagnostik :
(1) Memenuhi kriteria umu untuk diagnosa skizofrenia
(2) Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia paranoid, hebefrenik, katatonik.’
(3) Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skiszofrenia
F20.4Depresi Pasca-Skizofrenia
Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
(a) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis umum
skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
(b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi
gambaran klinisnya); dan
(c) Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling sedikit
kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit
2 minggu.
· Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi episode
depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas dan menonjol, diagnosis harus
tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai.
F20.5 Skizofrenia Residual
Pedoman diagnostik:
Untuk suatu diagnostik yang menyakinkan , persyaratan berikut harus di penuhi semua:
(a) Gejala “Negatif” dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan psikomotorik,
aktifitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketidak adaan inisiatif,
kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non verbal yang buruk,
seperti ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri,
dan kinerja sosial yang buruk.
(b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimasa lampau yang memenuhi
kriteria untuk diagnosa skizofrenia
(c) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi
gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan
telah timbul sindrom negatif dari skizofrenia
(d) Tidak terdapat dementia, atau penyakit/gangguan otak organik lainnya, depresi kronis
atau institusionla yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut.

F20.6 Skizofrenia Simpleks


Pedoman diagnostik
- Skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada
pemantapan perkembangan yang berjalan berlahan dan progresif dari: (1) gejala
negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi
waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik. Dan (2) disertai dengan
perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai
kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu tanpa tujuan hidup, dan
penarikan diri secara sosial.
- Gangguan ini kurang jelas gejala psokotiknya dibanding dengan sub type
skisofrenia lainnya.
KONSEP GANGGUAN JIWA DALAM PPDGJ - III

Istilah yang digunakan dalam PPDGJ adalah gangguan Jiwa atau gangguan mental
(mental disorder), tidak mengenal istilah penyakit Jiwa (mental illness/mental
desease)

PPDGJ-III mengelompokkan diagnosis gangguan jiwa ke dalam 100 katagori


diagnosis, mulai dari F 00 sampai dengan F 98.
F 99 – Gangguan Jiwa YTT (Yang Tidak Tergolongkan), yaitu untuk mengelompokkan
Gangguan Jiwa yang tidak khas.

Konsep Gangguan Jiwa dari PPDGJ II merujuk ke DSM-III, sedang PPDGJ-III merujuk
pada DSM-IV.

Mental Disorder is conceptualized as clinically significant behavioural or


psychological syndrome or patern that occurs in an individual and that is associated
with present distress (eq., a painfull symptom) or disability (ie., impairment in one or
more important areas of functioning) or with a significant increased risk of suffering
death, pain, disability, or an important loss of freedom.

KONSEP DISABILITY
Konsep “ Disability” dari “ The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural
Disorder” :
Gangguan kinerja (performance) dalam peran sosial dan pekerjaan, tidak
digunakan sebagai komponen esensial untuk diagnosis gangguan jiwa, oleh karena
itu hal ini berkaitan dengan variasi sosial-budaya yang sangat luas.
Yang dikatakan sebagai “disability” adalah keterbatasan/ kekurangan kemampuan
untuk melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk
perawatan diri dan kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri,
buang air besar dan kecil).
Dari Konsep tersebut diatas, dapat dirumuskan bahwa didalam KONSEP GANGGUAN
JIWA, di dapatkan butir-butir :
1. Adanya Gejala Klinis yang bermakna, berupa :
- Sindrom atau Pola Perilaku
- Sindrom atau pola psikologik
2. Gejala klinis tersebut menimbulkan penderitaan (distress), a.l berupa rasa
nyeri,tidak nyaman, tidak tenteram, terganggu, disfungsi organ tubuh, dll.
3. Gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” dalam aktivitas kehidupan, sehari-
hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup (mandi,
berpakaian, malan, kebersihan diri, dll)
DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Tujuan dari diagnosis Multiaksial :
1. Mencakup informasi yang komprehensif (Gangguan Jiwa, kondisi fisik umum, masalah
Psikososial dan lingkungan, taraf fungsi secara global), sehingga dapat membantu
dalam :
· Perencanaan terapi
· Meramalkan “outcome” atau prognosis

2.Format yang “mudah” dan “sistematik”, sehingga dapat membantu dalam :


* Menata dan mengkomunikasikan informasi klinis
* Menangkap kompleksitas situasi klinis
* Menggambarkan heterogenitas individual dengan diagnosis klinis yang sama.

3. Memacu penggunaan “Model bio-psiko-sosial” dalam klinis, pendidikan dan penelitian

DIAGNOSIS MULTIAKSIAL TERDIRI DARI 5 AKSIS :

Aksis I : * Gangguan klinis


* Kondisi lain yang menjadi Fokus
Perhatian klinis

Aksis II : * Gangguan kepribadian


* Retardasi Mental

Aksis III : * Kondisi Medik Umum

Aksis IV : * Masalah Psikososial dan lingkungan

Aksis V : * Penilaian fungsi secara global

Catatan :
Ø Antara Aksis I, II, III tidak selalu harus ada hubungan etiologik atau patogenese
Ø Hubungan antara “Aksis I-II-III” dan “Aksis IV” dapat timbal balik saling
mempengaruhi

AKSIS I

F00 – F09 Gangguan Mental Organik & Simtomatik


F10 - F19 Gangguan Mental & perilaku akibat zat psikoaktif
F20 – F29 Skizofrenia, Gangguan skizotipal & gangguan waham
F30 – F39 Gangguan suasana perasaan (afektif/mood)
F40 – F49 Gangguan neurotik, gangguan somatoform & gangguan terkait stress
F50 – F59 Sindrom perilaku karena gangguan fisiologis/ fisik
F62–F68 Perubahan Kepribadian k non organic, gangguan impuls, gangguan seks
F80 – F89 Gangguan Perkembangan Psikologis
F90 – F98 Gangguan perilaku & emotional onset kanak –remaja
F99 Gangguan Jiwa YTT
AKSIS II

F60 Gangguan Kepribadian khas


F60.0 Gangguan Kepribadian Paranoid
F60.1 Gangguan Kepribadian schizoid
F60.2 Gangguan Kepribadian dissosial
F60.3 Gangguan Kepribadian emosional tak stabil
F60.4 Gangguan Kepribadian histrionik
F60.5 Gangguan Kepribadian anankastik
F60.6 Gangguan Kepribadian cemas(menghindar)
F60.7 Gangguan Kepribadian dependen
F60.8 Gangguan Kepribadian khas lainnya
F60.9 Gangguan Kepribadian YTT
F61 Gangguan Kepribadian Campuran dan lainnya
F61.0 Gangguan Kepribadian Campuran
F61.1 Perubahan Kepribadian yang bermasalah
Gambaran Kepribadian Maladaptif
Mekanisme Defensi Maladaptif
F70 –F79 Retardasi Mental

AKSIS III

A00 – B99 Penyakit infeksi dan parasit tertentu


I C00 –D48 Neoplasma
V E00 – G90 Penyakit endokrin, Nutrisi, & metabolik
VI G00 – G99 Penyakit susunan syaraf
VII H00 – H59 Penyakit Mata & adneksa
VIII H60 – H95 Penyakit telinga & Prosesus Mastoid
X I00 – I99 Penyakit sistem sirkulasi
X J00 – J99 Penyakit sistem Pernafasan
XI K00 – K93 Penyakit sistem Pencernakan
XII L00 – L99 Penyakit kulit & jaringan subkutan
XIII M00 – M99 Penyakit sistem musculoskeletal &
Jaringan ikat
XIV N00 – N99 Penyakit sistem genito-urinaria
XV O00 – O99 Kehamilan, kelahiran anak & masa Nifas
XVII Q00 – Q99 Malformasi congenital, deformasi, Kel.
XVIII R00 – R99 Gejala, tanda & temuan klinis-lab.
XIX S00 – T98 Cedera, keracunan & akibat kausa ekst
XX V01 – V98 Kausa eksternal dari Morb. & mort.
XXI Z00 – Z99 Faktor status kes. & Pelayanan kes

AKSIS IV

Masalah dengan “Primary support group” (keluarga)


Masalah berkaitan dengan lingkungan sosial
Masalah Pendidikan
Masalah Pekerjaan
Masalah Perumahan
Masalah Ekonomi
Masalah Akses ke pelayanan Kesehatan
Masalah Berkaitan interaksi dengan hukum/kriminal
Masalah Psikososial & Lingkungan lain

AKSIS V

GLOBAL ASSESSMENT OF FUNCTIONING (GAF) SCALE


100 – 91Gejala tidak ada, berfungsi maksimal, tidak ada masalah yang tak tertanggulangi.
90 – 81 Gejala minimal, berfungsi baik, cukup puas, tidak lebih dari masalah harian yang biasa.
80 – 71 Gejala sementara & dapat diatasi, disabilitas ringan dalam sosial, pekerjaan, sekolah dll.
70 – 61 Beberapa gejala ringan & menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum masih
baik.
60 – 51 Gejala sedang (moderate), disabilitas sedang.
50 – 41 Gejala berat (serious), disabilitas berat.
40 – 31 Beberapa disabilitas dalam hubungan dengan realita & komunikasi, disabilitas berat
dalam beberapa fungsi.
30 – 21 Disabilitas berat dalam komunikasi & daya nilai, tidak mampu berfungsi hampir semua
bidang.
20 – 11 Bahaya mencederai diri/orang lain, disabilitas sangat berat dalam komunikasi &
mengurus diri.
10 – 01 Seperti diatas => persisten & lebih serius.
0 Informasi tidak adekuat.
Klasifikasi dan Urutan Hierarki Blok Diagnosis gangguan Jiwa berdasarkan PPDGJ-III

F.0. Gangguan mental organik termasuk gangguan mental simtomatik


F.00. –F. 03. Demensia
F.04- F.07, F. 09 Sindrom Amnestik & Gangguan Mental Organik

F.1. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alkhohol dan zat psikoaktif lainnya.
F.10. Gangguan mental dan perilaku akibat
Penggunaan alkhohol
F.11, F.12, F.14. Gangguan mental & perilaku akibat
Penggunaan Opioida /kanabinoida/kokain
. Gangguan mental & perilaku akibat penggunaan
Sedativa atau Hipnotika/stimulansia lain/
Hallusinogenika
F.17, F.18, F.19. Gangguan Mental & perilaku akibat penggunaan
Tembakau/pelarut yang mudah menguap/ zat
Multiple & Zat psikoaktif lainnya

F.2. Skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham.


F. 20, F.21, F.23. Skizofrenia, Gangguan skizitipal,
Psikotik akut dan sementara
F.22, F. 24 Gangguan waham menetap, gangguan
Waham terinduksi
F. 25. Gangguan Skizoafektif
F. 28, F. 29 Gangguan Psikoaktif non-organik lainnya
Atau YTT

F.3. Gangguan suasana perasaan (mood / afektif)


F.30, F.31. Episode manik, Gangguan afektif bipolar
F. 32-F.39. Episode depressif, Gangguan depressi
Berulang, Gangguan suasana Perasaan
(Mood/afektif) menetap/lainnya/YTT.

F. 4. Gangguan Neurotik, Gangguan somatoform, dan gangguan terkait stress


F. 40, F.41. Gangguan anxietas, Fobik atau lainnya
F. 42. Gangguan Obsesif- kompulsif
F. 43, F.45, F.48 Reaksi terhadap stres berat, &
gangguan penyesuaian, gangguan somatoform,
Gangguan neurotik lainnya.
F. 44. Gangguan dissosiatif (konversi)

F. 5. Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik
F.50- F.55, F.59 Gangguan makan, gangguan tidur, Disfungsi
Seksual, atau gangguan perilaku lainnya

F. 6. Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa


Gangguan kepribadian, gangguan kebiasaan danImpuls, gangguan identitas & preferensi
seksual

F. 7. Retardasi Mental
F. 70 –F.79. Retardasi Mental

F. 8. Gangguan Perkembangan Psikologis

F.80- F.89 Gangguan Perkembangan Psikologis

F. 9. Gangguan Perilaku dan emosional dengan onset biasanya pada masa anak dan remaja
Gangguan Hiperkinetik, Gangguan tingkah laku, Gangguan emosional atau gangguan fungsi
sosial Khas, gangguan “tic”, atau gangguan perilaku & Emosional lainnya.
STIK DARI PPDGJ – III

1. Pedoman diagnostik disusun berdasarkan atas jumlah dan keseimbangan gejala-


gejala, yang biasanya ditemukan pada kebanyakan kasus untuk dapat menegakkan
suatu diagnosis pasti.

2. Apabila syarat-syarat yang tercantum didalam pedoman diagnostik dapat dipenuhi,


maka diagnosis dapat dianggap pasti. Namun apabila hanya sebagian saja terpenuhi,
maka diagnosis masih bermanfaat direkam untuk berbagai tujuan. Keadaan ini
sangat tergantung kepada pembuat diagnosis dan para pemakai lainnya untuk
menetapkan apakah akan merekam suatu diagnosis pasti atau diagnosis dengan
tingkat kepastian yang rendah.

3. Deskripsi klinis dari pedoman diagnostik ini tidak mengandung implikasi teoritis, dan
bukan merupakan pernyataan yang komprehensif mengenai tingkat pengetahuan
yang mutahir dari gangguan tersebut. Pedoman ini hanya merupakan suatu kumpulan
gejala dan konsep yang telah disetujui oleh sejumlah besar pakar dan konsultan dari
berbagai negara, untuk dijadikan dasar yang rasional dalam memberikan batasan
terhadap kategori-kategori diagnosis dan diagnosis gangguan jiwa.

4. Disarankan agar para klinisi mengikuti anjuran umum untuk mencatat sebanyak
mungkin diagnosis yang mencakup seluruh gambaran klinis.
Bila mencantumkan lebih dari satu diagnosis, diagnosis utama diletakkan paling atas
dan selanjutnya diagnosis lain sebagai tambahan. Diagnosis utama dikaitkan dengan
kebutuhan tindakan segera atau tuntutan pelayanan terhadap kondisi pasien saat ini
atau tujuan lainnya. Bila terdapat keraguan mengenai urutan untuk merekam
beberapa diagnosis, atau pembuat diagnosis tidak yakin tentang tujuan untuk apa
informasi itu akan digunakan, agar mencatat diagnosis menurut urutan numerik
dalam klasifikasi.
GANGGUAN JIWA

Gangguan jiwa merupakan kondisi terganggunya kejiwaan manusia sedemikian


rupa sehingga mengganggu kemampuan individu itu untuk berfungsi secara normal
didalam masyarakat maupun dalam menunaikan kewajibannya sebagai insan dalam
masyarakat itu.
(Dep Kes RI, 1997)
Gangguan jiwa adalah perubahan perilaku yang terjadi tanpa alasan yang masuk
akal, berlebihan, berlangsung lama dan menyebabkan kendala terhadap individu
tersebut atau orang lain . ( Suliswati, 2005)

FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN JIWA

Gangguan jiwa dipengaruhi oleh banyak faktor. Dalam diktat kuliah psikiatri, Dr. dr.
Luh Ketut Suryani mengungkapkan bahwa gangguan jiwa dapat terjadi karena tiga
faktor yang bekerja sama yaitu faktor biologik, psikologik, dan sosiobudaya.

FAKTOR BIOLOGIK
Untuk membuktikan bahwa gangguan jiwa adalah suatu penyakit seperti kriteria
penyakit dalam ilmu kedokteran, para psikiater mengadakan banyak penelitian di
antaranya mengenai kelainan-kelainan neurotransmitter, biokimia, anatomi otak, dan
faktor genetik yang ada hubungannya dengan gangguan jiwa.
Gangguan mental sebagian besar dihubungkan dengan keadaan neurotransmitter di
otak, misalnya seperti pendapat Brown et al, 1983, yaitu fungsi sosial yang kompleks
seperti agresi dan perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh impuls serotonergik ke
dalam hipokampus.
Demikian juga dengan pendapat Mackay, 1983, yang mengatakan noradrenalin yang
ke hipotalamus bagian dorsal melayani sistem monoamine di limbokortikal berfungsi
sebagai pemacu proses belajar, proses memusatkan perhatian pada rangsangan yang
datangnya relevan dan reaksi terhadap stres.
Pembuktian lainnya yang menyatakan bahwa gangguan jiwa merupakan suatu
penyakit adalah di dalam studi keluarga.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa keluarga penderita gangguan afektif, lebih
banyak menderita gangguan afektif daripada skizofrenia (Kendell dan Brockington,
1980), skizofrenia erat hubungannya dengan faktor genetik (Kendler, 1983). Tetapi
psikosis paranoid tidak ada hubungannya dengan faktor genetik, demikian pendapat
Kender, 1981).

Walaupun beberapa peneliti tidak dapat membuktikan hubungan darah mendukung


etiologi genetik, akan tetapi hal ini merupakan langkah pertama yang perlu dalam
membangun kemungkinan keterangan genetik. Bila salah satu orangtua mengalami
skizofrenia kemungkinan 15 persen anaknya mengalami skizofrenia.
Sementara bila kedua orangtua menderita, maka 35-68 persen anaknya menderita
skizofrenia, kemungkinan skizofrenia meningkat apabila orangtua, anak dan saudara
kandung menderita skizofrenia (Benyamin, 1976). Pendapat ini didukung Slater, 1966,
yang menyatakan angka prevalensi skizofrenia lebih tinggi pada anggota keluarga
yang individunya sakit dibandingkan dengan angka prevalensi penduduk umumnya.

FAKTOR PSIKOLOGIK

Hubungan antara peristiwa hidup yang mengancam dan gangguan mental sangat
kompleks tergantung dari situasi, individu dan konstitusi orang itu. Hal ini sangat
tergantung pada bantuan teman, dan tetangga selama periode stres. Struktur sosial,
perubahan sosial dan tigkat sosial yang dicapai sangat bermakna dalam pengalaman
hidup seseorang.

Kepribadian merupakan bentuk ketahanan relatif dari situasi interpersonal yang


berulang-ulang yang khas untuk kehidupan manusia. Perilaku yang sekarang bukan
merupakan ulangan impulsif dari riwayat waktu kecil, tetapi merupakan retensi
pengumpulan dan pengambilan kembali.
Setiap penderita yang mengalami gangguan jiwa fungsional memperlihatkan
kegagalan yang mencolok dalam satu atau beberapa fase perkembangan akibat tidak
kuatnya hubungan personal dengan keluarga, lingkungan sekolah atau dengan
masyarakat sekitarnya. Gejala yang diperlihatkan oleh seseorang merupakan
perwujudan dari pengalaman yang lampau yaitu pengalaman masa bayi sampai
dewasa.

FAKTOR SOSIOBUDAYA
Gangguan jiwa yang terjadi di berbagai negara mempunyai perbedaan terutama
mengenai pola perilakunya. Karakteristik suatu psikosis dalam suatu sosiobudaya
tertentu berbeda dengan budaya lainnya. Adanya perbedaan satu budaya dengan
budaya yang lainnya, menurut Zubin, 1969, merupakan salah satu faktor terjadinya
perbedaan distribusi dan tipe gangguan jiwa.
Begitu pula Maretzki dan Nelson, 1969, mengatakan bahwa alkulturasi dapat
menyebabkan pola kepribadian berubah dan terlihat pada psikopatologinya. Pendapat
ini didukung pernyataan Favazza

(1980) yang menyatakan perubahan budaya yang cepat seperti identifikasi, kompetisi,
alkulturasi dan penyesuaian dapat menimbulkan gangguan jiwa.
Selain itu, status sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa
Goodman (1983) yang meneliti status ekonomi menyatakan bahwa penderita yang
dengan status ekonomi rendah erat hubungannya dengan prevalensi gangguan
afaktif dan alkoholisma. (litbang)
http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2005/8/3/k4.htm

Konsep penyebab gangguan jiwa yang popular adalah kombinasi bio-psiko-sosial.


Gangguan jiwa disebabkan karena gangguan fungsi komunikasi sel-sel saraf di otak,
dapat berupa kekurangan maupun kelebihan neurotransmitter atau substansi
tertentu. Pada sebagian kasus gangguan jiwa terdapat kerusakan organik yang nyata
padas struktur otak misalnya pada demensia. Jadi tidak benar bila dikatakan semua
orang yang menderita gangguan jiwa berarti ada sesuatu yang rusak di otaknya. Pada
kebanyakan kasus malah faktor perkembangan psikologis dan sosial memegang
peranan yang lebih krusial. Misalnya mereka yang gemar melakukan tindak kriminal
dan membunuh ternyata setelah diselidiki disebabkan karena masa perkembangan
mereka sejak kecil sudah dihiasi kekerasan dalam

rumah tangga yang ditunjukkan oleh bapaknya yang berprofesi dalam militer. Jadi
ilmu jiwa justru merupakan satu-satunya ilmu yang mengenali penyakit medis secara
komplet, yaitu dari segi fisik, pola hidup dan juga riwayat perkembangan psikologis
atau kejiawaan seseorang. Oleh karena itu pengobatan ilmu kejiwaan juga bersifat
menyeluruh, tidak sekedar obat minum saja, tetapi meliputi terapi psikologis, terapi
perilaku dan terapi kognitif/konsep berpikir.
Setiap individu hendaknya mengetahui konsep-konsep tentang gangguan jiwa dan
pencegahannya. Mungkin saat ini cukup banyak masyarakat awam yang rajin
membaca rubrik kesehatan baik lewat tabloid maupun internet, tapi sayangnya
permasalahan gangguan jiwa kurang popular jika dibandingkan masalah
osteoporosis, hipertensi, penyakit jantung, stroke, makanan sehat maupun kesehatan
kulit. Padahal yang perlu diketahui, gangguan jiwa dapat mengenai siapa saja.
Apalagi di tengah kehidupan yang semakin dipenuhi stressor seperti sekarang ini.
Tahukah Anda bahwa profesi yang paling banyak melakukan bunuh diri di USA itu
justru dokter spesialis kejiwaan?

Oleh karena itu mempelajari ilmu kejiwaan adalah penting dan lebih penting lagi untuk
dapat mempraktekkan kiat-kita untuk mendapatkan jiwa yang sehat.

Konsep yang perlu Anda pahami adalah ada 3 mekanisme pertahanan utama jiwa kita
untuk menolak terjadinya gangguan jiwa di tengah terpaan badai kehidupan
sebagaimanapun. Ketiga benteng jiwa yang sehat itu adalah personality yang
tangguh, persepsi yang positif (positif thinking) dan kemampuan adaptasi.
Kepribadian yang tangguh adalah hasil pembelajaran selama proses perkembangan
sejak kecil, dan tentunya hal ini didapatkan dengan banyaknya asupan nilai-nilai yang
ditanamkan di keluarga dan disekolah serta didapatkan dari banyaknya pengalaman
langsung. Nilai-nilai hanya dapat berfungsi jika diterapkan langsung dalam keadaan
nyata yaitu dengan banyak bergaul baik dengan lingkungan benar maupun salah.
Apabila kita berani SAY YES di lingkungan yang benar dan SAY NO saat di
lingkungan salah, lama kelamaan kepribadian kita akan tangguh. Mengurung anak
dengan tujuan menghindarinya dari perkenalan dengan narkoba tidak menjamin
bahwa kemudian ia tidak terjebak narkoba, yang benar adalah menanamkan nilai-nilai
yang tangguh kepada si anak serta membiarkannya mengenal narkoba.
Kepribadiannya yang tangguh itu sendiri yang akan membuatnya berani menolak
narkoba seumur hidupnya.
Persepsi juga perlu sebagai benteng kejiwaan. Seseorang yang selalu memandang
peristiwa yang menimpanya dengan positif dan memandang hari depannya dengan
optimis maka ia memiliki jiwa

yang sehat. Persepsi positif diperlukan terutama menghadapi kegagalan-demi


kegagalan dalam hidup sehingga tidak membuat diri menjadi frustasi berlebih
maupun menyalahi diri sendiri bahkan bunuh diri.
Dan yang tidak kalah penting adalah kemampuan adaptasi karena segala sesuatu
dalam hidup ini potensial untuk berubah. Hari ini bisa hidup mapan, tapi hari esok
siapa tahu. Hari ini bisa bertemu kelompok orang yang asyik, hari esok siapa yang
dapat menjanjikan. Adaptasi akan membuat jiwa kita meliuk-liuk dalam kehidupan
seperti air yang mengalir. Dengan demikian kita dapat selalu menyesuaikan diri
dengan perubahan yang ada. Setiap menghadapi bencana maka kita dapat mengubah
pemikiran dari “mengapa semua ini harus kualami” menjadi “ setelah semua ini
menimpaku, aku harus melakukan apa?”. Dengan demikian kita akan dapat bangkit
dan semakin maju setiap kali terjatuh. Lain padang lain belalang, lain lubuk lain pula
ikannya. Artinya, jadilah seseorang yang flexible dengan keadaan yang ada, NOW and
HERE.

Leonardo Paskah Suciadi


http://www.wikimu.com/News/2008.

NEUROSA dan PSIKOSA


Angka kejadian/ Insidensi
*GANGGUAN JIWA RINGAN( NON-PSIKOTIK)
20 – 60 PERMIL
*GANGGUAN JIWA BERAT (PSIKOTIK)
1– 3 PERMIL

A. NEUROSA (PSIKONEUROSA)
Neurosa adalah kesalahan penyesuaian diri secara emosional karena tidak dapat
diselesaikannya suatu konflik tidak sadar, kecemasan yang timbul dirasakan secara
langsung atau diubaholeh berbagai mekanisme pembelaan psikologik =>dan
muncullah gejala-gejala subyektif yang mengganggu.

Neurosa merupakan istilah yang dipakai dalam sejarah penemuan gangguan ini, dan
secara diskriptif digunakan untuk menerangkan gangguan cemas, histeria, dan
obsesi tanpa kelainan fisik penderita.

Neurosa mengandung unsur etiologik dengan hakekat adanya konflik, dan penderita
bereaksi secara menyimpang terhadap beban kehidupan.
Gangguan yang timbul :
Ketegangan yang terjadi dari hubungan antar manusia yang mengecewakan sejak
kecil, sehingga mengganggu penyesuaiannya (adaptasi)
Reaksi itu dapat berupa :
Ø Gangguan lihat
Ø Kelumpuhan
Ø Tremor
Ø Rasa takut
Ø Cemas
Tanpa ada kerusakan organis.

Neurosa merupakan istilah yang menerangkan sekelompok gangguan jiwa yang


disebabkan oleh faktor psikologik tanpa dasar fisik atau organik yang ditandai
dengan kecemasan sebagai gejala utama serta diikuti oleh tingkah laku yang tidak
wajar.

PATOGENESE DAN DINAMIKA NEUROSA

Semua bentuk sumber kecemasan


Menimbulkan kecemasan

Berakar dalam kepribadian

dianggap sebagai sifat konstitusional

MASALAH YANG TIMBUL PADA GANGGUAN NEUROTIK

Kecemasan yang mengambang bebas, biasanya serangannya mendadak


Menyerupai gangguan fisik, mencakup gejala sensorik, motorik atau penyakit somatik
Amnesia, fuque, kepribadian ganda, somnambulisme
Ketakutan irrasional yang disadari oleh klien
ulsif Impuls atau pikiran irasional yang muncul yang disadari oleh klien
Perasaan kesal, putus asa, celaan yang berlebihan terhadap diri sendiri
Perasaan lemah, lelah, kurang minat, keluhan badaniah
si Perasaan asing dan tidak wajar terhadap dirinya sendiri, tubuh dan lingkungannya yang
biasanya disadari oleh klien.
Perasaan cemas tentang adanya penyakit pada berbagai organ tubuhnya.

B. PSIKOSA
Menurut PPDGJ I Th. 1973
Adalah suatu gangguan fungsi kepribadian (mental) seseorang sampai suatu taraf
tertentu, sehingga tidak memungkinkannya lagi melakukan beberapa tugas secara
memuaskan seperti :
· Daya kemampuan menilai realitas
· Daya kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan dunia luar
· Daya kemampuan tanggapan Pancaindera
· Daya kemampuan tanggapan perasaan (afektif)

Menurut PPDGJ II Th. 1983


Adalah suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan (sense of reality.)
Hal ini dapat diketahui dengan terdapatnya
*Gangguan pada hidup perasaan (afek dan emosi)
*Gangguan pada proses berfikir
*Gangguan pada psikomotorik dan kemauan, sehingga :
Semuanya tidak sesuai lagi dengan kenyataan, pasien tidak dapat “dimengerti” atau
“dirasai” lagi oleh orang normal.
Orang awam sering menyebut “GILA”, tetapi pasien sendiri merasa tidak sakit.

Menurut PPDGJ III Th. 1993


Istilah “Psikotik” dipertahankan sebagai suatu istilah diskriptif, khususnya dalam
F.23. Gangguan psikotik akut dan sementara. Penggunaannya tidak melibatkan
asumsi mekanisme psikodinamik, dan hanya menunjukkan adanya hallusinasi,
waham, atasu sejumlah kelainan perilaku tertentu, seperti eksitasi (kegairahan), dan
overactivity (aktivitas yang berlebih), retardasi psikomotor yang berat dan perilaku
katatonik.

Konsep gangguan jiwa menurut PPDGJ-III yang merujuk pada SDM IV adalah :
“ Mental disorder is conceptualized as clinically significant behavioral or
psychological syndrome or pattera that occurs in an individual and that is associated
with present distress (eg. A painfull symtom) or disability (ic, impairment in one or
more important areas of functioning) or with a significant increased ask of suffering
death pain, disability, or an important loss of freedom (Maskun Rusdi, 1998)

Evaluasi klien psikiatrik terdiri atas dua bagian : informasi subyektif yang dikaitkan
oleh pasien, dan informasi obyektif yang didapat melalui observasi. Hal ini merupakan
dasar dari suatu penilaian psikiatrik. Ini berlaku untuk individu pasien anak, dewasa,
pasangan dan keluarga (Dep Kes RI, 1997).

Pengertian Psikosa
Adalah suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan (“sense of
reality”) Hal ini diketahui dengan terdapatnya gangguan pada hidup perasaan (afek
dan emosi), proses berfikir, psikomotorik kemauan, sedemikian rupa sehingga semua
ini tidak sesuai dengan kenyataan lagi.
Penderita tidak dapat “dimengerti” dan tidak dapat “dirasai” lagi oleh orang normal,
karena itu seorang awampun dapat menyatakan bahwa orang itu “gila”, bila psikosa
itu sudah jelas. Penderita sendiri juga tidak memahami penyakitnya, ia tidak merasa
sakit
( WF Maramis, 2004).
Adalah suatu gangguan jiwa yang serius, yang timbul karena penyebab organik
ataupun emosional (fungsional) dan yang menunjukkan gangguan kemampuan
berfikir, bereaksi secara emosional, mengingat, berkomunikasi, menafsirkan
kenyataan dan bertindak sesuai dengan kenyataan itu, sedemikian rupa sehingga
kemampuan untuk memenuhi tuntutan hidup sehari-hari sangat terganggu (WF
Maramis,2004).
Psikosa ditandai dengan perilaku yang regrasif, hidup perasaan yang tidak sesuai,
berkurangnya pengawasan terhadap impuls-impuls serta waham dan hallusinasi.
Istilah psikosa dapat dipakai untuk keadaan seperti yang disebutkan diatas dengan
variasi yang luas mengenai

berat dan lamanya. Menninger menyebutkan lima sindroma klasik yang menyertai
sebagian besar pola psikotik, yaitu :
1. Perasaan sedih, rasa bersalah dan rasa tidak mampu yang mendalam
2. Keadaan rangsang yang tidak menentu dan tidak terorganisasi, disertai
pembicaraan dan motorik yang berlebihan
3. Regresi ke otisme (“ Autism”), Manerisme pembicaraan dan perilaku, isi pikiran
yang berwaham, acuh tak acuh terhadap harapan sosial
4. Pre okupasi yang berwaham, disertai kecurigaan, kecenderungan membela diri atau
rasa kebesaran
5. Keadaan bingung dan delirium dengan disorientasi dan hallusinasi
(WF Maramis, 2004)

Dapat digambarkan secara umum bahwa Psikosa adalah suatu gangguan jiwa yang
serius yang timbul karena penyebab organik ataupun fungsional (emosional
/psikogenik) dan menunjukkan gangguan kemampuan :
· Berfikir
· Bereaksi secara emosional
· Mengingat
· Berkomunikasi

· Menafsirkan kenyataan dan bertindak sesuai dengan kenyataan itu.


Sehingga tuntutan pemenuhan hidup sehari-hari sangat terganggu, ditandai dengan
adanya :
Ø Perilaku yang regressif
Ø Alam perasaan yang tidak sesuai
Ø Berkurangnya pengawasan terhadap impuls-impuls
Ø Adanya waham dan hallusinasi

Pada umumnya keluhan atau gejala pasien secara garis besar sbb:
a. Adanya gejala psikotik
b. Kecemasan yang tidak rasional dan perilaku menghindar
c. Gangguan afek
d. Perilaku antisosial
e. Keluhan fisik dan kecemasan yang tidak rasional tentang penyakit fisik
f. Kesulitan belajar dan konsentrasi

Masalah klasik yang timbul sehubungan dengan psikotik berkisar pada hal –hal
berikut :
1. Gangguan pada alam perasaan, sedih, rasa bersalah dan perasaan tidak mampu yang
mendalam
2. Irritabilitas yang tidak menentu dan tidak terorganisasi, pembicaraan dan motorik
yang berlebihan
3. Gangguan komunikasi, regressi ke otisme, manerism pembicaraan dan perilaku
4. Gangguan isi pikiran yang berwaham
5. Acuh tak acuh terhadap masa depan
6. Gangguan curiga, kecenderungan membela diri atau rasa kebesaran
7. Gangguan bingung dan delirium dengan gangguan orientasi dan hallusinasi.

Skizofrenia (Psikosa Fungsional)

Pengertian :
Skizofrenia adalah Demensia prekoks, dalam perjalanan penyakitnya memperlihatkan
adanya deteriorasi. Digolongkan katatonik, hebrefrenik dan keadaan paranoid, dasar
gangguan ini adalah terpecahnya fungsi-fungsi psikologik. Ia memberi nama baru
dengan istilah “Skizofrenia”, deteriorasi tidak selalu harus ada, isi dan arti dari gejala-
gejala psikotik lebih diutamakan
(WF Maramis, 2004)

Psikopatologi

Penyebab gangguan skizofrenia belum diketahui dengan pasti. Ada beberapa teori
penyebab :
1. Teori Somatogenik

(1) Keturunan :diturunkan melalui gen yang resesif


:sering timbulnya skizofrenia pada waktu pubertas, Kehamilan dan puerperium
: Mungkin disebabkan oleh kesalahan metabolisme (inborn error of metabolism)
pusat : Diduga ada kelainan susunan saraf pusat yang dapat menyebabkan gangguan
neurotransmitter
2. Teori Psikogenik

(1) Adolf Meyer : suatu kondisi mal-adaptasi


(2) Sigmund Freud : adanya kelemahan ego
(3) Eugen Bleuler : adanya jiwa yang terpecah belah atau disharmoni
(4) Stres psikologik : adanya persaingan antara saudara kandung,
hubungan yang kurang baik dalam keluarga, pekerjaan dan Masyarakat
3. Teori Sosiogenik

(1) Keadaan sosial ekonomi


(2) Pengaruh keagamaan
(3) Nilai-nilai moral dan lain-lain
4.Akhirnya muncul teori yang menganggap bahwa skizofrenia dapat disebabkan oleh
bermacam-macam sebab, meliputi ketiga teori diatas ( Pandangan holistik)

(Pedoman Diagnosis dan terapi lab/UPF Ilmu Kedokteran Jiwa, 1997).

Gejala-gejala skizofrenia dibagi menjadi 2(dua) kelompok :

1. Gejala-gejala primer

(1) Gangguan proses pikiran


(2) Gangguan emosi
(3) Gangguan kemauan
(4) Gangguan otisme

2. Gejala-gejala sekunder

(1) Waham
(2) Hallusinasi
(3) Gejala katatonik atau gangguan psikomotorik yang lain

(WF Maramis, 2004)

Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa tipe menurut PPDGJ III tahun 1993,

yaitu :

F 20. 0 Skizofrenia paranoid


F 20. 1 Skizofrenia hebefrenik
F 20. 2 Skizofrenia katatonik
F 20. 3 Skizofrenia tak terinci (undifferentiated)
F 20. 4 Skizofrenia pasca-skizofrenia
F 20. 5 Skizofrenia residual
F 20. 6 Skizofrenia simpleks
F 20. 7 Skizofrenia lainnya
F 20. 8 Skizofrenia YTT

DIAGNOSA DAN DIAGNOSA BANDING


Menurut Eugen Bleuler diagnosa skizofrenia sudah boleh dibuat bila terdapat gejala-
gejala primer dan disharmoni (keretakan, perpecahan atau ketidak seimbangan) pada
unsur-unsur kepribadian (proses pikir, afek/emosi, kemauan dan psikomotorik),
diperkuat dengan adanya gejala-gejala sekunder.
Kurt Schneider (1939) menyusun gejala rangking pertama (“first rank symtoms) dan
berpendapat bahwa diagnosa skizofrenia sudah boleh dibuat bila terdapat satu gejala
dari kelompok A dan satu gejala dari kelompok B, dengan syarat bahwa kesadaran
penderita tidak menurun. (WF Maramis, 2004).

Gejala-gejala rangking pertama menurut Schneider ialah

1. Hallusinasi pendengaran
(1) Pikirannya dapat didengar sendiri
(2) Suara-suara yang sedang bertengkar
(3) Suara-suara yang mengkomentari perilaku penderita

2. Gangguan batas ego


(1)Tubuh dan gerakan-gerakan penderita dipengaruhi oleh suatu kekuatan dari luar

(2) Pikirannya diambil atau disedot keluar


(3) Pikirannya dipengaruhi oleh orang lain atau pikirannya dimasukkan kedalam pikiran
orang lain
(4) Pikirannya diketahui orang lain atau pikirannya disiarkan keluar secara umum
(5) Perasaannya dibuat oleh orang lain
(6) Kemauannya atau tindakannya dipengaruhi oleh orang lain
(7) Dorongannya dikuasai orang lain
(8) Persepsi yang dipengaruhi oleh waham
Menurut Prof. Kusumanto Setyonegoro (1967) membuat diagnosa skizofrenia dengan
memperlihatkan gejala-gejala pada tiga buah koordinat, yaitu :
(1) Koordinat pertama (intinya organobiologik)
Yaitu :Otisme, gangguan afek dan emosi, gangguan assosiasi(proses berfikir), ambivalensi
(gangguan kemauan), gangguan aktivitas (abulia atau kemauan yang menurun) dan
gangguan konsentrasi.

(2) Koordinat kedua (intinya psikologik)

Yaitu :gangguan pada cara berfikir yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan kepribadian
dengan memperhatikan perkembangan ego, sistematik motivasi dan psikodinamika
dalam interaksi dengan lingkungan
(WF Maramis, 2004)

PROGNOSA
Dahulu bila diagnosa skizofrenia dibuat, maka ini berarti bahwa sudah tidak ada
harapan lagi bagi orang yang bersangkutan, bahwa kepribadiannya selalu akan
menuju kemunduran mental (deteriorasi mental).
Dan bila seorang dengan skizofrenia kemudian menjadi sembuh, maka diagnosanya
harus diragukan.
Sekarang dengan pengobatan modern, ternyata bahwa bila penderita itu datang
berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama, maka kira-kira sepertiga dari
mereka akan sembuh sama sekali (“ Full remission atau recovery), sepertiga yang lain
dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih harus sering diperiksa dan
diobati selanjutnya (“Social recovery”), sepertiga sisanya biasanya mempunyai
prognosa yang jelek, mereka tidak dapat berfungsi didalam masyarakat dan menuju

kekemunduran mental, sehingga mungkin menjadi penghuni tetap di Rumah Sakit


Jiwa.

Untuk menetapkan prognosa, kita harus mempertimbangkan semua faktor dibawah


ini :
1. Kepribadian Pre-psikotik : bila skizoid dan hubungan antar manusia
memang kurang memuaskan, maka prognosanya lebih jelek. Bila skizofrenia timbul
secara akut, maka prognosa lebih baik dari pada bila penyakit itu mulai secara pelan-
pelan.
2. Jenis skizofrenia : jenis katatonik memiliki prognosa paling baik dari pada
semua jenis. Jenis hebefrenia dan simpleks memiliki prognosa yang sama jelek.
3. Umur : Semakin muda umur permulaannya, semakin jelek
prognosanya
4. Pengobatan : Semakin lekas mendapat pengobatan, semakin baik
prognosanya
5. Faktor keturunan : prognosa menjadi lebih berat bila didalam keluarga
terdapat seorang atau lebih yang juga menderita skizofrenia.

(WF Maramis, 2004)

PENGOBATAN
Pengobatan harus secepat mungkin diberikan, karena keadaan psikotik yang lama
menimbulkan kemungkinan yang lebih besar bahwa penderita menuju kekemunduran
mental.
Terapis jangan melihat kepada penderita skizofrenia sebagai penderita yang tidak
dapat disembuhkan lagi atau sebagai suatu makhluk yang aneh dan inferior. Keluarga
atau orang lain dilingkungan penderita diberi penerangan (manipulasi lingkungan)
agar mereka lebih sabar menghadapinya.

Macam-macam pengobatan
1. Farmako terapi
2. Terapi elektro- konvulsi (TEK)
3. Terapi koma insulin
4. Psikoterapi dan rehabilitasi
5. Lobotomi Prefrontal

(WF Maramis, 1998)


Farmakoterapi
Dari sudut organobiologi sudah diketahui bahwa pada skizofrenia (dan juga
gangguan jiwa lainnya) terdapat gangguan pada fungsi neurotransmitter sel-sel
susunab saraf pusat (otak) yaitu pelepasan zat dopamin dan serotonin yang
mengakibatkan gangguan proses pikiran, alam perasaan dan perilaku sebagaimana
yang telah diuraikan pada bab III : gejala klinis skizofrenia. Oleh karena itu obat
psikofarmaka yang akan diberikan ditujukan pada gangguan fungsi neurotransmitter
tadi, sehingga gejala-gejala klinis tadi dapat dihilangkan atau dengan kata lain
penderita skizofrenia dapat diobati
(Dadang Hawari, 2001)

(1) Pemberian Anti psikosis


1). Neuroleptika dosis efektif tinggi (diberikan) dalam dosis terbagi 2 – 3 kali/ sehari
- Khlorpromazin : 75 – 500 mg (per-os)
Injeksi 25 – 50 mg/kali (im)
- Perazin : 50 – 60 mg (per-os)
-Thioridazin : 75 – 500 mg (per-os)
Diutamakan untuk skizofrenia yang disertai penyakit organik, misalnya skizofrenia
dengan gangguan hepar

(2). Neuroleptika dengan dosis rendah (diberikan dalam dosis terbagi ) 1-2 kali /
sehari
- Flupenazin HCL : 5 – 10 mg (per-os)
- Flupenazin depo : 25 mg /4 minggu (intra musculer)
- Trifluoperazin : 3 – 20 mg (per-os)
- Haloperidol : 5 – 15 mg(per-os)
- Pimozid : 2 – 8 mg (per-os)
(Pedoman Diagnosis dan terapi lab/UPF Ilmu Kedokteran Jiwa, 1994)
(3). Terapi elektro-konvulsi (TEK)
Tidak lebih unggul dibandingkan dengan obat-obatan, tetapi bila diberikan bersama-
sama akan lebih mempercepat proses penyembuhan.
(Maramis, 2004)
(4). Terapi Koma insulin
Meskipun pengobatan ini tidak khusus, bila diberikan pada permulaan
penyakit, hasilnya memuaskan. Prosentase kesembuhan lebih besar bila dimulai
dalam waktu 6 (enam) bulan sesudah penderita jatuh sakit. Terapi koma insulin
memberi hasil yang baik pada katatonia dan skizofrenia paranoid.
(WF Maramis, 2004)

(5). Psikoterapi dan Rehabilitasi


Bertujuan untuk memperkuat fungsi ego dengan cara psikoterapi agar pasien bisa
bersosialisasi. Manipulasi lingkungan agar lingkungan dapat memahami dan
menerima keadaan pasien, membimbing dalam kehidupan sehari-hari, memberi
kesibukan atau pekerjaan untuk pasien. Mengawasi minum obat secara teratur dalam
jangka waktu lama dan membawa pasien untuk pemeriksaan ulang.
(Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF Ilmu Kedokteran Jiwa,1994)
(6). Lobotomi Prefrontal
Dapat dilakukan bila terapi lain secara intensif tidak berhasil dan bila penderita sangat
mengganggu lingkungannya.
(WF Maramis, 2004)

PERAWATAN KLIEN GANGGUAN JIWA


Menurut Carpenito (1989), pemberian asuhan keperawatan merupakan proses
terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama antara perawat dengan klien,
keluarga atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal (Kelliat,
1991). Perawat memerlukan metode ilmiah dalam melakukan proses terapeutik
tersebut yaitu : Proses keperawatan. Penggunaan proses keperawatan membantu
perawat dalam melakukan praktek keperawatan, menyelesaikan masalah keperawatan
klien dan atau memenuhi kebutuhan klien secara ilmiah, logis, sistematis dan
terorganisasi.
Pada dasarnya proses keperawatan merupakan salah satu teknik penyelesaikan
masalah (problem solving). Proses keperawatan bertujuan untuk memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan kebutuhan dan masalah klien dapat diidentifikasi dan
diprioritaskan untuk dipenuhi dan diselesaikan.
Dengan menggunakan proses keperawatan, perawat dapat terhindar dari tindakan
keperawatan yang bersifat rutin, intuisi, tidak untuk bagi individu klien. Proses
keperawatan mempunyai ciri dinamis, siklik, saling bergantung, luwes dan terbuka.
Setiap tahap dapat diperbaharui jika keadaan klien berubah. Tahap demi tahap
merupakan siklus dan saling bergantung. Diagnosa keperawatan tidak mungkin dapat
dirumuskan jika data pengkajian belum ada.
Proses keperawatan merupakan sarana/wahana kerjasama perawat dan klien yang
umumnya pada tahap awal peran perawat lebih besar dari peran klien, namun pada
proses sampai akhir diharapkan peran klien lebih besar dari peran perawat sehingga
kemandirian klien dapat tercapai. Kemandirian klien merawat

diri dapat pula digunakan sebagai kriteria kebutuhan terpenuhi dan atau masalah
teratasi.

KEKAMBUHAN KLIEN GANGGUAN JIWA


Kekambuhan adalah suatu keadaan dimana penyakit dapat hilang timbul sewaktu-
waktu dengan kondisi yang sama ataupun berbeda ( Sullinger, 1988). Penderita
gangguan jiwa diperkirakan akan kambuh 50 % pada tahun pertama dan sekitar 70 %
pada tahun kedua dan 100 % pada tahun kelima setelah pulang dari Rumah Sakit
(Carson & Ross, 1997)
Menurut Sullinger penyebab kekambuhan dapat diidentifikasi menjadi 4 antara lain :

Klien (Penderita)
Diketahui bahwa klien yang gagal minum obat dengan teratur mempunyai
kecenderungan untuk kambuh. Menurut hasil penelitian menunjukkan 25 % sampai 50
% klien dari RS Jiwa tidak memakan obat dengan teratur (Appleton, 1982 yang dikuti
Sullinger, 1988). Klien kronis sulit memakan obat karena adanya gangguan realitas
dan ketidakmampuan mengambil keputusan.
Dokter sebagai pemberi resep
Memakan obat dengan teratur dapat menekan terjadinya kekambuhan. Namun
pemakaian neuroleptika yang lama dapat menyebabkan efek samping Tardive
diskenia yang bisa mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak
terkontrol.
Perawat sebagai penanggung jawab kasus atau case manager
Setelah klien pulang dari perawatan di Rumah Sakit, maka yang bertanggung jawab
atas program adaptasi klien di rumah adalah perawat Puskesmas. Penanggung jawab
klien mempunyai banyak waktu untuk bertemu klien, sehingga dapat mengidentifikasi
gejala dini dan segera mengambil tindakan
Keluarga
Dalam penelitian Snyder (1981) dan Vaugh (1976), memperlihatkan bahwa keluarga
dengan ekspresi emosi “Para penderita gangguan jiwa di negara kita masih menjadi
golongan yang tersisih. Kondisi ini disebabkan tingkat kesadaran masyarakat masih
rendah, adanya stigma negatif terhadap para penderita, ketertutupan pihak keluarga
terdekat akibat perasaan malu memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa

hingga fasilitas pengobatan dan rehabilitasi yang masih kurang. Ini yang harus kita
perbaiki,” jelasnya.
Perawatan psikososial yang tinggi diperkirakan terjadi kekambuhan dalam waktu 9
bulan. Hasilnya 57 % dirawat oleh keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17
% dengan keluarga yang mempunyai ekspresi emosi rendah. Dengan terapi keluarga
diharapakan dapat menurunkan ekspresi emosi yang tinggi. ( Budi Anna Kelliat,
1997).
Untuk itu, dr Widya menjelaskan perlu dilakukan perawatan intensif dengan
pendekatan kekeluargaan (psikososial). Terapi jenis itu, lanjutnya, menekankan peran
aktif anggota keluarga dan Iingkungan sekitar dalam interaksi dengan pasien. Namun
untuk mencapai kondisi ini, pasien harus terlebih dulu menjalani terapi lain, seperti
pemberian obat yang teratur hingga terapi kejang listrik (ECT).
Dokter Widya meminta agar tidak membiarkan pasien berada sendirian atau diganggu
oleh ejekan lingkungannya. Pasien sebaiknya dilibatkan dalam pembicaraan yang
menarik minatnya, atau berikan keleluasaan untuk menyalurkan bakat dan hobinya.
“Hal terpenting adalah jangan biarkan faktor penyebab stres menimpa mereka. Kita
harus memasukkan perawatan dan rehabilitasi penyakit jiwa ini ke dalam program
prioritas kesehatan masyarakat. Harus juga diupayakan supaya program jaminan
sosial kesehatan masyarakat miskin (askeskin) mencakup pelayanan untuk para
penderita gangguan jiwa. Hal ini harus kita lakukan sebagai bagian dan upaya
mencapai derajat kesehatan komprehensif secara fisil, mental, dan sosial,” tambah
Fachmi. (*/S-4)

Sumber : Media Indonesia , Rabu, 31 Oktober 2007


http://www.idijakbar.com/?show=detailnews&kode=19&tbl=terkini

GANGGUAN PSIKOTIK

- Hendaya berat dalam daya nilai realitas

(+)

- Dasar organik
(-)

GANGGUAN NEUROTIK

- Daya nilai realitas tak terganggu

- Dasar Organik (-)

- Kepribadian tetap utuh

- Perilaku kadang - kadang terganggu tapi dalam batas norma-norma sosial

PERBANDINGAN ANTARA PSIKONEUROSA DAN PSIKOSA


FAKTOR NEUROSA PSIKOSA

Perilaku Umum Dekompensasi kepribadian ringan, Dekompensasi kepribadian hebat, kontak


kontak dengan realita dan fungsi dengan realita sangat terganggu, tidak dapat
social terganggu berfungsi sosial
Gejala – gejala Gejala psikologik dan somatik Gejala bervariasi luas dengan waham dan
bervariasi luas, tetapi tidak terdapat hallusinasi, kedangkalan emosi dan perilaku
hallusinasi atau gangguan proses hebat
berfikir, emosi dan tindakan yang
ekstrim
Orientasi Penderita jarang kehilangan orientasi Penderita sering kehilangan orientasi terhadap
terhadap lingkungan lingkungan
Pemahaman Penderita sering masih memahami Penderita jarang sekali memahami bahwa ia
(Insight) bahwa ia terganggu terganggu
Aspek Sosial Perilaku penderita jarang Perilaku penderita sering berbahaya bagi diri
membahayakan diri sendiri atau sendiri dan atau masyarakat
masyarakat
Perawatan dan Jarang diperlukan perawatan di Biasanya diperlukan perawatan di Rumah Sakit
pengobatan Rumah Sakit
Gejala gejala Klasik Mengeluh, tetapi orang lain Tidak merasa sakit, perilaku tidak wajar, orang
menganggap tidak apa-apa lain terganggu.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1983), Pedoman Penggolongan Diagnosis


Gangguan Jiwa, Direktorat Kesehatan Jiwa, Jakarta

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1993), Pedoman Penggolongan Diagnosis


Gangguan Jiwa, Direktorat Kesehatan Jiwa ,Jakarta

Hawari Dadang, dr (2001), Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia,


Fakultas Kedokteran, Jakarta.

Hurlock, Elisabeth, (1998), Psikologi Perkembangan, Jakarta, Erlangga

Kelliat Budi Anna, Dr, (1998), Peranan Keluarga dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Leonardo Paskah Suciadi http://www.wikimu.com/News/2008


Morgan HG, et al, (1995), Segi Praktis Psikiatri, Bina Rupa Aksara, Jakarta

Maramis, WF,Dr,(2004), Ilmu Kedokteran Jiwa, Airlangga University, Surabaya

http://masarie.wordpress.com/tag/gangguan-jiwa/2008

http://www.pontianakpost.com/2008

http://www.idijakbar.com/?show=detailnews&kode=18&tbl=terkini

http://masarie.wordpress.com/tag/gangguan-jiwa/2008

http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2005/8/3/k4.htm

http://www.idijakbar.com/?show=detailnews&kode=19&tbl=terkini

Ingram, Im, et al,(1995), Catatan Kuliah Psikiatri, EGC, Jakarta

Soal : Essay

1. Apa yang dimaksud dengan “ Disability” dalam konsep gangguan jiwa menurut

PPDGJ- III ? berikan penjelasan dengan contoh ?


2. Jelaskan untuk kepentingan apa, seorang perawat harus memahami tentang

PPDGJ ? berikan contoh ?

3. Jelaskan tentang faktor penyebab gangguan Jiwa ?

4. Buatlah matrik perbandingan antara psikosa dan psikoneurosa?

5. Psikopathologi Skizofrenia ada 4 pandangan ? sebut dan jelaskan masing-

masing pandangan tersebut ?

Soal : Multiple Choice

1. Menurut konsep Gangguan Jiwa terdapat butir –butir :

1. Adanya Gejala Klinis yang bermakna, berupa Sindrom atau Pola Perilaku
2. Adanya Gejala Klinis yang bermakna, berupa Sindrom atau pola psikologik
3.Gejala klinis tersebut menimbulkan penderitaan (distress),disfungsi organ tubuh
4. No 1 dan 2 saja yang benar

2. Gangguan akibat alkhohol dan obat/zat, termasuk dalam klasifikasi :

a. Gangguan Mental organik


b. Gangguan Mental Psikotik
c. Gangguan Neurotik dan gangguan Kepribadian
d. Gangguan masa kanak, remaja, dan perkembangan
e. Semua diatas benar

3. Istilah tepat tentang “Gangguan Jiwa” yang digunakan dalam PPDGJ – III adalah

a. Mental Illness
b. Mental Desease
c. Mental Disorder
d. Mental Organik
e. Mental Disstress

4. Menurut Hierarki Blok Diagnosis gangguan Jiwa berdasarkan PPDGJ- III, bahwa
Skizofrenia, memiliki dan termasuk pada kode diagnosis :

a. F 20 – F 29
b. F 30 – F 39
c. F 40 – F 49
d. F 50 – F 59
e. F 60 – F 69

5. Didalam Pengelompokan diagnosis Multiaksial diperlukan untuk tujuan :


1. Perencanaan terapi
2. Meramalkan outcome (prognosis)
3. Menata dan mengkomunikasikan informasi klinis
4. Menangkap kompleksitas situasi klinis

6. Angka kejadian pada gangguan psikotik jauh lebih rendah dari gangguan Non-psikotik
yaitu :

a. 1 – 3 prosen
b. 1 – 3 permil
c. 1- 30 pernil
d. 2 – 6 permil
e. 2 – 6 prosen

7. Salah satu pernyataan pada prognosa skizofrenia dibawah ini salah yaitu :
a. Kepribadian Prepsikotik : bila skizoid dan hubungan antar manusia memang kurang
memuaskan, maka prognosanya lebih jelek. Bila skizofrenia timbul secara akut, maka
prognosa lebih baik dari pada bila penyakit itu mulai secara pelan-pelan.
b.Jenis Skizofrenia : jenis katatonik memiliki prognosa paling baik dari pada
semua jenis. Jenis hebefrenia dan simpleks memiliki prognosa yang sama jelek.
c.Umur : Semakin muda umur permulaannya, semakin baik prognosanya.
d.Pengobatan : Semakin lekas mendapat pengobatan, semakin baik prognosanya
e. Faktor Keturunan : prognosa menjadi lebih berat bila didalam keluarga terdapat
seorang atau lebih yang juga menderita skizofrenia.

8. Bermacam –macam jenis Neurosa diantaranya adalah Neurosa Obsesif –kompulsif


yaitu ditandai dengan :
g mengambang bebas, biasanya serangannya mendadak
gguan fisik, mencakup gejala sensorik, motorik atau peny. Fisik.
kepribadian ganda, somnambulisme
onal yang disadari oleh klien
ran irasional yang muncul yang disadari oleh klien

9.Menurut Sullinger penyebab kekambuhan dapat diidentifikasi menjadi 4 antara lain :

1. Klien (Penderita) sendiri


2. Dokter sebagai pemberi resep
3. Perawat sebagai penanggung jawab kasus atau case manager
4. Tetangga

10. Jenis terapi yang bertujuan untuk memperkuat ego klien adalah .
a. Farmakoterapi
b. Elektro konvulsi terapi
c. Psikoterapi Terapi dan rehabilitasi
d. Lobotomi Prefrontal
e. Insulin syok terapi

Anda mungkin juga menyukai