1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau
lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. – Thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya
(tidak keras) dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda,
atau
- Thought insertion or withdrawal = isi pikiran yang asing dari luar masuk kedalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya
(Withdrawal) dan
- Thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umumnyamengetahuinya.
b. – Delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu
dari luar atau
- Delusion of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatantertentu
dari luar atau
- Delusion of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu
kekuatan dari luar; (tentang dirinya= secara jelas ,merujuk ke pergerakan tubuh/anggota
gerak atau kepikiran, tindakan atau penginderaan khusus).
- Delusion perception = pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas
bagi dirinya , biasanya bersifat mistik dan mukjizat.
c. Halusional Auditorik ;
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap prilaku pasien .
- Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang
berbicara atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar
dan sesuatu yang mustahi,misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu atau
kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca
atau berkomunikasi dengan mahluk asing atau dunia lain)
Atau paling sedikitnya dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
e. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja , apabila disertai baik oleh waham yang
mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun
disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap
hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation) yang
berakibat inkoherensia atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.
g. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu
(posturing) atay fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
h. Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan respons emosional yang menumpul
tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunya
kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau
medikasi neureptika.
* adapun gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan
atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal);
* Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall
quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self
absorbed attitute), dan penarikan diri secara sosial.
Perjalanan Gangguan Skizofrenik dapat diklasifikasi dengan menggunakan kode lima karakter
berikut: F20.X0 Berkelanjutan, F20.X1 Episodik dengan kemunduran progresif, F20 X2 episodik
dengan kemunduran stabil, F20.X3 Episode berulang , F20. X4 remisi tak sempurna, F20.X5
remisi sempurna, F20.X8. lainnya, F20.X9. Periode pengamatan kurang dari satu tahun.
Istilah yang digunakan dalam PPDGJ adalah gangguan Jiwa atau gangguan mental
(mental disorder), tidak mengenal istilah penyakit Jiwa (mental illness/mental
desease)
Konsep Gangguan Jiwa dari PPDGJ II merujuk ke DSM-III, sedang PPDGJ-III merujuk
pada DSM-IV.
KONSEP DISABILITY
Konsep “ Disability” dari “ The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural
Disorder” :
Gangguan kinerja (performance) dalam peran sosial dan pekerjaan, tidak
digunakan sebagai komponen esensial untuk diagnosis gangguan jiwa, oleh karena
itu hal ini berkaitan dengan variasi sosial-budaya yang sangat luas.
Yang dikatakan sebagai “disability” adalah keterbatasan/ kekurangan kemampuan
untuk melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk
perawatan diri dan kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri,
buang air besar dan kecil).
Dari Konsep tersebut diatas, dapat dirumuskan bahwa didalam KONSEP GANGGUAN
JIWA, di dapatkan butir-butir :
1. Adanya Gejala Klinis yang bermakna, berupa :
- Sindrom atau Pola Perilaku
- Sindrom atau pola psikologik
2. Gejala klinis tersebut menimbulkan penderitaan (distress), a.l berupa rasa
nyeri,tidak nyaman, tidak tenteram, terganggu, disfungsi organ tubuh, dll.
3. Gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” dalam aktivitas kehidupan, sehari-
hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup (mandi,
berpakaian, malan, kebersihan diri, dll)
DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Tujuan dari diagnosis Multiaksial :
1. Mencakup informasi yang komprehensif (Gangguan Jiwa, kondisi fisik umum, masalah
Psikososial dan lingkungan, taraf fungsi secara global), sehingga dapat membantu
dalam :
· Perencanaan terapi
· Meramalkan “outcome” atau prognosis
Catatan :
Ø Antara Aksis I, II, III tidak selalu harus ada hubungan etiologik atau patogenese
Ø Hubungan antara “Aksis I-II-III” dan “Aksis IV” dapat timbal balik saling
mempengaruhi
AKSIS I
AKSIS III
AKSIS IV
AKSIS V
F.1. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alkhohol dan zat psikoaktif lainnya.
F.10. Gangguan mental dan perilaku akibat
Penggunaan alkhohol
F.11, F.12, F.14. Gangguan mental & perilaku akibat
Penggunaan Opioida /kanabinoida/kokain
. Gangguan mental & perilaku akibat penggunaan
Sedativa atau Hipnotika/stimulansia lain/
Hallusinogenika
F.17, F.18, F.19. Gangguan Mental & perilaku akibat penggunaan
Tembakau/pelarut yang mudah menguap/ zat
Multiple & Zat psikoaktif lainnya
F. 5. Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik
F.50- F.55, F.59 Gangguan makan, gangguan tidur, Disfungsi
Seksual, atau gangguan perilaku lainnya
F. 7. Retardasi Mental
F. 70 –F.79. Retardasi Mental
F. 9. Gangguan Perilaku dan emosional dengan onset biasanya pada masa anak dan remaja
Gangguan Hiperkinetik, Gangguan tingkah laku, Gangguan emosional atau gangguan fungsi
sosial Khas, gangguan “tic”, atau gangguan perilaku & Emosional lainnya.
STIK DARI PPDGJ – III
3. Deskripsi klinis dari pedoman diagnostik ini tidak mengandung implikasi teoritis, dan
bukan merupakan pernyataan yang komprehensif mengenai tingkat pengetahuan
yang mutahir dari gangguan tersebut. Pedoman ini hanya merupakan suatu kumpulan
gejala dan konsep yang telah disetujui oleh sejumlah besar pakar dan konsultan dari
berbagai negara, untuk dijadikan dasar yang rasional dalam memberikan batasan
terhadap kategori-kategori diagnosis dan diagnosis gangguan jiwa.
4. Disarankan agar para klinisi mengikuti anjuran umum untuk mencatat sebanyak
mungkin diagnosis yang mencakup seluruh gambaran klinis.
Bila mencantumkan lebih dari satu diagnosis, diagnosis utama diletakkan paling atas
dan selanjutnya diagnosis lain sebagai tambahan. Diagnosis utama dikaitkan dengan
kebutuhan tindakan segera atau tuntutan pelayanan terhadap kondisi pasien saat ini
atau tujuan lainnya. Bila terdapat keraguan mengenai urutan untuk merekam
beberapa diagnosis, atau pembuat diagnosis tidak yakin tentang tujuan untuk apa
informasi itu akan digunakan, agar mencatat diagnosis menurut urutan numerik
dalam klasifikasi.
GANGGUAN JIWA
Gangguan jiwa dipengaruhi oleh banyak faktor. Dalam diktat kuliah psikiatri, Dr. dr.
Luh Ketut Suryani mengungkapkan bahwa gangguan jiwa dapat terjadi karena tiga
faktor yang bekerja sama yaitu faktor biologik, psikologik, dan sosiobudaya.
FAKTOR BIOLOGIK
Untuk membuktikan bahwa gangguan jiwa adalah suatu penyakit seperti kriteria
penyakit dalam ilmu kedokteran, para psikiater mengadakan banyak penelitian di
antaranya mengenai kelainan-kelainan neurotransmitter, biokimia, anatomi otak, dan
faktor genetik yang ada hubungannya dengan gangguan jiwa.
Gangguan mental sebagian besar dihubungkan dengan keadaan neurotransmitter di
otak, misalnya seperti pendapat Brown et al, 1983, yaitu fungsi sosial yang kompleks
seperti agresi dan perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh impuls serotonergik ke
dalam hipokampus.
Demikian juga dengan pendapat Mackay, 1983, yang mengatakan noradrenalin yang
ke hipotalamus bagian dorsal melayani sistem monoamine di limbokortikal berfungsi
sebagai pemacu proses belajar, proses memusatkan perhatian pada rangsangan yang
datangnya relevan dan reaksi terhadap stres.
Pembuktian lainnya yang menyatakan bahwa gangguan jiwa merupakan suatu
penyakit adalah di dalam studi keluarga.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa keluarga penderita gangguan afektif, lebih
banyak menderita gangguan afektif daripada skizofrenia (Kendell dan Brockington,
1980), skizofrenia erat hubungannya dengan faktor genetik (Kendler, 1983). Tetapi
psikosis paranoid tidak ada hubungannya dengan faktor genetik, demikian pendapat
Kender, 1981).
FAKTOR PSIKOLOGIK
Hubungan antara peristiwa hidup yang mengancam dan gangguan mental sangat
kompleks tergantung dari situasi, individu dan konstitusi orang itu. Hal ini sangat
tergantung pada bantuan teman, dan tetangga selama periode stres. Struktur sosial,
perubahan sosial dan tigkat sosial yang dicapai sangat bermakna dalam pengalaman
hidup seseorang.
FAKTOR SOSIOBUDAYA
Gangguan jiwa yang terjadi di berbagai negara mempunyai perbedaan terutama
mengenai pola perilakunya. Karakteristik suatu psikosis dalam suatu sosiobudaya
tertentu berbeda dengan budaya lainnya. Adanya perbedaan satu budaya dengan
budaya yang lainnya, menurut Zubin, 1969, merupakan salah satu faktor terjadinya
perbedaan distribusi dan tipe gangguan jiwa.
Begitu pula Maretzki dan Nelson, 1969, mengatakan bahwa alkulturasi dapat
menyebabkan pola kepribadian berubah dan terlihat pada psikopatologinya. Pendapat
ini didukung pernyataan Favazza
(1980) yang menyatakan perubahan budaya yang cepat seperti identifikasi, kompetisi,
alkulturasi dan penyesuaian dapat menimbulkan gangguan jiwa.
Selain itu, status sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa
Goodman (1983) yang meneliti status ekonomi menyatakan bahwa penderita yang
dengan status ekonomi rendah erat hubungannya dengan prevalensi gangguan
afaktif dan alkoholisma. (litbang)
http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2005/8/3/k4.htm
rumah tangga yang ditunjukkan oleh bapaknya yang berprofesi dalam militer. Jadi
ilmu jiwa justru merupakan satu-satunya ilmu yang mengenali penyakit medis secara
komplet, yaitu dari segi fisik, pola hidup dan juga riwayat perkembangan psikologis
atau kejiawaan seseorang. Oleh karena itu pengobatan ilmu kejiwaan juga bersifat
menyeluruh, tidak sekedar obat minum saja, tetapi meliputi terapi psikologis, terapi
perilaku dan terapi kognitif/konsep berpikir.
Setiap individu hendaknya mengetahui konsep-konsep tentang gangguan jiwa dan
pencegahannya. Mungkin saat ini cukup banyak masyarakat awam yang rajin
membaca rubrik kesehatan baik lewat tabloid maupun internet, tapi sayangnya
permasalahan gangguan jiwa kurang popular jika dibandingkan masalah
osteoporosis, hipertensi, penyakit jantung, stroke, makanan sehat maupun kesehatan
kulit. Padahal yang perlu diketahui, gangguan jiwa dapat mengenai siapa saja.
Apalagi di tengah kehidupan yang semakin dipenuhi stressor seperti sekarang ini.
Tahukah Anda bahwa profesi yang paling banyak melakukan bunuh diri di USA itu
justru dokter spesialis kejiwaan?
Oleh karena itu mempelajari ilmu kejiwaan adalah penting dan lebih penting lagi untuk
dapat mempraktekkan kiat-kita untuk mendapatkan jiwa yang sehat.
Konsep yang perlu Anda pahami adalah ada 3 mekanisme pertahanan utama jiwa kita
untuk menolak terjadinya gangguan jiwa di tengah terpaan badai kehidupan
sebagaimanapun. Ketiga benteng jiwa yang sehat itu adalah personality yang
tangguh, persepsi yang positif (positif thinking) dan kemampuan adaptasi.
Kepribadian yang tangguh adalah hasil pembelajaran selama proses perkembangan
sejak kecil, dan tentunya hal ini didapatkan dengan banyaknya asupan nilai-nilai yang
ditanamkan di keluarga dan disekolah serta didapatkan dari banyaknya pengalaman
langsung. Nilai-nilai hanya dapat berfungsi jika diterapkan langsung dalam keadaan
nyata yaitu dengan banyak bergaul baik dengan lingkungan benar maupun salah.
Apabila kita berani SAY YES di lingkungan yang benar dan SAY NO saat di
lingkungan salah, lama kelamaan kepribadian kita akan tangguh. Mengurung anak
dengan tujuan menghindarinya dari perkenalan dengan narkoba tidak menjamin
bahwa kemudian ia tidak terjebak narkoba, yang benar adalah menanamkan nilai-nilai
yang tangguh kepada si anak serta membiarkannya mengenal narkoba.
Kepribadiannya yang tangguh itu sendiri yang akan membuatnya berani menolak
narkoba seumur hidupnya.
Persepsi juga perlu sebagai benteng kejiwaan. Seseorang yang selalu memandang
peristiwa yang menimpanya dengan positif dan memandang hari depannya dengan
optimis maka ia memiliki jiwa
A. NEUROSA (PSIKONEUROSA)
Neurosa adalah kesalahan penyesuaian diri secara emosional karena tidak dapat
diselesaikannya suatu konflik tidak sadar, kecemasan yang timbul dirasakan secara
langsung atau diubaholeh berbagai mekanisme pembelaan psikologik =>dan
muncullah gejala-gejala subyektif yang mengganggu.
Neurosa merupakan istilah yang dipakai dalam sejarah penemuan gangguan ini, dan
secara diskriptif digunakan untuk menerangkan gangguan cemas, histeria, dan
obsesi tanpa kelainan fisik penderita.
Neurosa mengandung unsur etiologik dengan hakekat adanya konflik, dan penderita
bereaksi secara menyimpang terhadap beban kehidupan.
Gangguan yang timbul :
Ketegangan yang terjadi dari hubungan antar manusia yang mengecewakan sejak
kecil, sehingga mengganggu penyesuaiannya (adaptasi)
Reaksi itu dapat berupa :
Ø Gangguan lihat
Ø Kelumpuhan
Ø Tremor
Ø Rasa takut
Ø Cemas
Tanpa ada kerusakan organis.
B. PSIKOSA
Menurut PPDGJ I Th. 1973
Adalah suatu gangguan fungsi kepribadian (mental) seseorang sampai suatu taraf
tertentu, sehingga tidak memungkinkannya lagi melakukan beberapa tugas secara
memuaskan seperti :
· Daya kemampuan menilai realitas
· Daya kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan dunia luar
· Daya kemampuan tanggapan Pancaindera
· Daya kemampuan tanggapan perasaan (afektif)
Konsep gangguan jiwa menurut PPDGJ-III yang merujuk pada SDM IV adalah :
“ Mental disorder is conceptualized as clinically significant behavioral or
psychological syndrome or pattera that occurs in an individual and that is associated
with present distress (eg. A painfull symtom) or disability (ic, impairment in one or
more important areas of functioning) or with a significant increased ask of suffering
death pain, disability, or an important loss of freedom (Maskun Rusdi, 1998)
Evaluasi klien psikiatrik terdiri atas dua bagian : informasi subyektif yang dikaitkan
oleh pasien, dan informasi obyektif yang didapat melalui observasi. Hal ini merupakan
dasar dari suatu penilaian psikiatrik. Ini berlaku untuk individu pasien anak, dewasa,
pasangan dan keluarga (Dep Kes RI, 1997).
Pengertian Psikosa
Adalah suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan (“sense of
reality”) Hal ini diketahui dengan terdapatnya gangguan pada hidup perasaan (afek
dan emosi), proses berfikir, psikomotorik kemauan, sedemikian rupa sehingga semua
ini tidak sesuai dengan kenyataan lagi.
Penderita tidak dapat “dimengerti” dan tidak dapat “dirasai” lagi oleh orang normal,
karena itu seorang awampun dapat menyatakan bahwa orang itu “gila”, bila psikosa
itu sudah jelas. Penderita sendiri juga tidak memahami penyakitnya, ia tidak merasa
sakit
( WF Maramis, 2004).
Adalah suatu gangguan jiwa yang serius, yang timbul karena penyebab organik
ataupun emosional (fungsional) dan yang menunjukkan gangguan kemampuan
berfikir, bereaksi secara emosional, mengingat, berkomunikasi, menafsirkan
kenyataan dan bertindak sesuai dengan kenyataan itu, sedemikian rupa sehingga
kemampuan untuk memenuhi tuntutan hidup sehari-hari sangat terganggu (WF
Maramis,2004).
Psikosa ditandai dengan perilaku yang regrasif, hidup perasaan yang tidak sesuai,
berkurangnya pengawasan terhadap impuls-impuls serta waham dan hallusinasi.
Istilah psikosa dapat dipakai untuk keadaan seperti yang disebutkan diatas dengan
variasi yang luas mengenai
berat dan lamanya. Menninger menyebutkan lima sindroma klasik yang menyertai
sebagian besar pola psikotik, yaitu :
1. Perasaan sedih, rasa bersalah dan rasa tidak mampu yang mendalam
2. Keadaan rangsang yang tidak menentu dan tidak terorganisasi, disertai
pembicaraan dan motorik yang berlebihan
3. Regresi ke otisme (“ Autism”), Manerisme pembicaraan dan perilaku, isi pikiran
yang berwaham, acuh tak acuh terhadap harapan sosial
4. Pre okupasi yang berwaham, disertai kecurigaan, kecenderungan membela diri atau
rasa kebesaran
5. Keadaan bingung dan delirium dengan disorientasi dan hallusinasi
(WF Maramis, 2004)
Dapat digambarkan secara umum bahwa Psikosa adalah suatu gangguan jiwa yang
serius yang timbul karena penyebab organik ataupun fungsional (emosional
/psikogenik) dan menunjukkan gangguan kemampuan :
· Berfikir
· Bereaksi secara emosional
· Mengingat
· Berkomunikasi
Pada umumnya keluhan atau gejala pasien secara garis besar sbb:
a. Adanya gejala psikotik
b. Kecemasan yang tidak rasional dan perilaku menghindar
c. Gangguan afek
d. Perilaku antisosial
e. Keluhan fisik dan kecemasan yang tidak rasional tentang penyakit fisik
f. Kesulitan belajar dan konsentrasi
Masalah klasik yang timbul sehubungan dengan psikotik berkisar pada hal –hal
berikut :
1. Gangguan pada alam perasaan, sedih, rasa bersalah dan perasaan tidak mampu yang
mendalam
2. Irritabilitas yang tidak menentu dan tidak terorganisasi, pembicaraan dan motorik
yang berlebihan
3. Gangguan komunikasi, regressi ke otisme, manerism pembicaraan dan perilaku
4. Gangguan isi pikiran yang berwaham
5. Acuh tak acuh terhadap masa depan
6. Gangguan curiga, kecenderungan membela diri atau rasa kebesaran
7. Gangguan bingung dan delirium dengan gangguan orientasi dan hallusinasi.
Pengertian :
Skizofrenia adalah Demensia prekoks, dalam perjalanan penyakitnya memperlihatkan
adanya deteriorasi. Digolongkan katatonik, hebrefrenik dan keadaan paranoid, dasar
gangguan ini adalah terpecahnya fungsi-fungsi psikologik. Ia memberi nama baru
dengan istilah “Skizofrenia”, deteriorasi tidak selalu harus ada, isi dan arti dari gejala-
gejala psikotik lebih diutamakan
(WF Maramis, 2004)
Psikopatologi
Penyebab gangguan skizofrenia belum diketahui dengan pasti. Ada beberapa teori
penyebab :
1. Teori Somatogenik
1. Gejala-gejala primer
2. Gejala-gejala sekunder
(1) Waham
(2) Hallusinasi
(3) Gejala katatonik atau gangguan psikomotorik yang lain
Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa tipe menurut PPDGJ III tahun 1993,
yaitu :
1. Hallusinasi pendengaran
(1) Pikirannya dapat didengar sendiri
(2) Suara-suara yang sedang bertengkar
(3) Suara-suara yang mengkomentari perilaku penderita
Yaitu :gangguan pada cara berfikir yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan kepribadian
dengan memperhatikan perkembangan ego, sistematik motivasi dan psikodinamika
dalam interaksi dengan lingkungan
(WF Maramis, 2004)
PROGNOSA
Dahulu bila diagnosa skizofrenia dibuat, maka ini berarti bahwa sudah tidak ada
harapan lagi bagi orang yang bersangkutan, bahwa kepribadiannya selalu akan
menuju kemunduran mental (deteriorasi mental).
Dan bila seorang dengan skizofrenia kemudian menjadi sembuh, maka diagnosanya
harus diragukan.
Sekarang dengan pengobatan modern, ternyata bahwa bila penderita itu datang
berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama, maka kira-kira sepertiga dari
mereka akan sembuh sama sekali (“ Full remission atau recovery), sepertiga yang lain
dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih harus sering diperiksa dan
diobati selanjutnya (“Social recovery”), sepertiga sisanya biasanya mempunyai
prognosa yang jelek, mereka tidak dapat berfungsi didalam masyarakat dan menuju
PENGOBATAN
Pengobatan harus secepat mungkin diberikan, karena keadaan psikotik yang lama
menimbulkan kemungkinan yang lebih besar bahwa penderita menuju kekemunduran
mental.
Terapis jangan melihat kepada penderita skizofrenia sebagai penderita yang tidak
dapat disembuhkan lagi atau sebagai suatu makhluk yang aneh dan inferior. Keluarga
atau orang lain dilingkungan penderita diberi penerangan (manipulasi lingkungan)
agar mereka lebih sabar menghadapinya.
Macam-macam pengobatan
1. Farmako terapi
2. Terapi elektro- konvulsi (TEK)
3. Terapi koma insulin
4. Psikoterapi dan rehabilitasi
5. Lobotomi Prefrontal
(2). Neuroleptika dengan dosis rendah (diberikan dalam dosis terbagi ) 1-2 kali /
sehari
- Flupenazin HCL : 5 – 10 mg (per-os)
- Flupenazin depo : 25 mg /4 minggu (intra musculer)
- Trifluoperazin : 3 – 20 mg (per-os)
- Haloperidol : 5 – 15 mg(per-os)
- Pimozid : 2 – 8 mg (per-os)
(Pedoman Diagnosis dan terapi lab/UPF Ilmu Kedokteran Jiwa, 1994)
(3). Terapi elektro-konvulsi (TEK)
Tidak lebih unggul dibandingkan dengan obat-obatan, tetapi bila diberikan bersama-
sama akan lebih mempercepat proses penyembuhan.
(Maramis, 2004)
(4). Terapi Koma insulin
Meskipun pengobatan ini tidak khusus, bila diberikan pada permulaan
penyakit, hasilnya memuaskan. Prosentase kesembuhan lebih besar bila dimulai
dalam waktu 6 (enam) bulan sesudah penderita jatuh sakit. Terapi koma insulin
memberi hasil yang baik pada katatonia dan skizofrenia paranoid.
(WF Maramis, 2004)
diri dapat pula digunakan sebagai kriteria kebutuhan terpenuhi dan atau masalah
teratasi.
Klien (Penderita)
Diketahui bahwa klien yang gagal minum obat dengan teratur mempunyai
kecenderungan untuk kambuh. Menurut hasil penelitian menunjukkan 25 % sampai 50
% klien dari RS Jiwa tidak memakan obat dengan teratur (Appleton, 1982 yang dikuti
Sullinger, 1988). Klien kronis sulit memakan obat karena adanya gangguan realitas
dan ketidakmampuan mengambil keputusan.
Dokter sebagai pemberi resep
Memakan obat dengan teratur dapat menekan terjadinya kekambuhan. Namun
pemakaian neuroleptika yang lama dapat menyebabkan efek samping Tardive
diskenia yang bisa mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak
terkontrol.
Perawat sebagai penanggung jawab kasus atau case manager
Setelah klien pulang dari perawatan di Rumah Sakit, maka yang bertanggung jawab
atas program adaptasi klien di rumah adalah perawat Puskesmas. Penanggung jawab
klien mempunyai banyak waktu untuk bertemu klien, sehingga dapat mengidentifikasi
gejala dini dan segera mengambil tindakan
Keluarga
Dalam penelitian Snyder (1981) dan Vaugh (1976), memperlihatkan bahwa keluarga
dengan ekspresi emosi “Para penderita gangguan jiwa di negara kita masih menjadi
golongan yang tersisih. Kondisi ini disebabkan tingkat kesadaran masyarakat masih
rendah, adanya stigma negatif terhadap para penderita, ketertutupan pihak keluarga
terdekat akibat perasaan malu memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa
hingga fasilitas pengobatan dan rehabilitasi yang masih kurang. Ini yang harus kita
perbaiki,” jelasnya.
Perawatan psikososial yang tinggi diperkirakan terjadi kekambuhan dalam waktu 9
bulan. Hasilnya 57 % dirawat oleh keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17
% dengan keluarga yang mempunyai ekspresi emosi rendah. Dengan terapi keluarga
diharapakan dapat menurunkan ekspresi emosi yang tinggi. ( Budi Anna Kelliat,
1997).
Untuk itu, dr Widya menjelaskan perlu dilakukan perawatan intensif dengan
pendekatan kekeluargaan (psikososial). Terapi jenis itu, lanjutnya, menekankan peran
aktif anggota keluarga dan Iingkungan sekitar dalam interaksi dengan pasien. Namun
untuk mencapai kondisi ini, pasien harus terlebih dulu menjalani terapi lain, seperti
pemberian obat yang teratur hingga terapi kejang listrik (ECT).
Dokter Widya meminta agar tidak membiarkan pasien berada sendirian atau diganggu
oleh ejekan lingkungannya. Pasien sebaiknya dilibatkan dalam pembicaraan yang
menarik minatnya, atau berikan keleluasaan untuk menyalurkan bakat dan hobinya.
“Hal terpenting adalah jangan biarkan faktor penyebab stres menimpa mereka. Kita
harus memasukkan perawatan dan rehabilitasi penyakit jiwa ini ke dalam program
prioritas kesehatan masyarakat. Harus juga diupayakan supaya program jaminan
sosial kesehatan masyarakat miskin (askeskin) mencakup pelayanan untuk para
penderita gangguan jiwa. Hal ini harus kita lakukan sebagai bagian dan upaya
mencapai derajat kesehatan komprehensif secara fisil, mental, dan sosial,” tambah
Fachmi. (*/S-4)
GANGGUAN PSIKOTIK
(+)
- Dasar organik
(-)
GANGGUAN NEUROTIK
Kelliat Budi Anna, Dr, (1998), Peranan Keluarga dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
http://masarie.wordpress.com/tag/gangguan-jiwa/2008
http://www.pontianakpost.com/2008
http://www.idijakbar.com/?show=detailnews&kode=18&tbl=terkini
http://masarie.wordpress.com/tag/gangguan-jiwa/2008
http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2005/8/3/k4.htm
http://www.idijakbar.com/?show=detailnews&kode=19&tbl=terkini
Soal : Essay
1. Apa yang dimaksud dengan “ Disability” dalam konsep gangguan jiwa menurut
1. Adanya Gejala Klinis yang bermakna, berupa Sindrom atau Pola Perilaku
2. Adanya Gejala Klinis yang bermakna, berupa Sindrom atau pola psikologik
3.Gejala klinis tersebut menimbulkan penderitaan (distress),disfungsi organ tubuh
4. No 1 dan 2 saja yang benar
3. Istilah tepat tentang “Gangguan Jiwa” yang digunakan dalam PPDGJ – III adalah
a. Mental Illness
b. Mental Desease
c. Mental Disorder
d. Mental Organik
e. Mental Disstress
4. Menurut Hierarki Blok Diagnosis gangguan Jiwa berdasarkan PPDGJ- III, bahwa
Skizofrenia, memiliki dan termasuk pada kode diagnosis :
a. F 20 – F 29
b. F 30 – F 39
c. F 40 – F 49
d. F 50 – F 59
e. F 60 – F 69
6. Angka kejadian pada gangguan psikotik jauh lebih rendah dari gangguan Non-psikotik
yaitu :
a. 1 – 3 prosen
b. 1 – 3 permil
c. 1- 30 pernil
d. 2 – 6 permil
e. 2 – 6 prosen
7. Salah satu pernyataan pada prognosa skizofrenia dibawah ini salah yaitu :
a. Kepribadian Prepsikotik : bila skizoid dan hubungan antar manusia memang kurang
memuaskan, maka prognosanya lebih jelek. Bila skizofrenia timbul secara akut, maka
prognosa lebih baik dari pada bila penyakit itu mulai secara pelan-pelan.
b.Jenis Skizofrenia : jenis katatonik memiliki prognosa paling baik dari pada
semua jenis. Jenis hebefrenia dan simpleks memiliki prognosa yang sama jelek.
c.Umur : Semakin muda umur permulaannya, semakin baik prognosanya.
d.Pengobatan : Semakin lekas mendapat pengobatan, semakin baik prognosanya
e. Faktor Keturunan : prognosa menjadi lebih berat bila didalam keluarga terdapat
seorang atau lebih yang juga menderita skizofrenia.
10. Jenis terapi yang bertujuan untuk memperkuat ego klien adalah .
a. Farmakoterapi
b. Elektro konvulsi terapi
c. Psikoterapi Terapi dan rehabilitasi
d. Lobotomi Prefrontal
e. Insulin syok terapi