Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PEMBANGUNAN PERTANIAN

MASALAH KEMISKINAN
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pembangunan
Pertanian

Disusun oleh:
1. Achmad Ardiyanto (H0809001)
2. Agustina Dwi Permatasari (H0809004)
3. Andrik Febrianto (H0809009)
4. Guntur Wahyu Pamungkas (H0809052)
5. Nifka Nisarafika (H0809085)
6. Yunita Hispana Suiza (H0809115)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
I. PENDAHULUAN

Masalah sosial adalah fenomena yang selalu muncul dalam kehidupan


masyarakat. Kemiskinan adalah fenomena yang sangat urgen bagi Negara
Indonesia. Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga macam konsep kemiskinan:
kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan subyektif. Seseorang
termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah
garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum:
pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin
relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di
bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedangkan miskin relatif dirumuskan
berdasarkan the idea of relative standard, yaitu dengan memperhatikan dimensi
tempat dan waktu. Asumsinya adalah kemiskinan suatu daerah berbeda dengan
daerah lainnya dan kemiskinan pada waktu tertentu berbeda dengan waktu lainnya
(Usman, 2006; Masrizal, 2009).
Kemiskinan menjadi salah satu masalah di Indonesia sejak dulu hingga
sekarang apalagi sejak terhempas dengan pukulan krisis ekonomi dan moneter
yang terjadi sejak tahun 1997. Kemiskinan seringkali dipahami sebagai gejala
rendahnya tingkat kesejahteraan semata padahal kemiskinan merupakan gejala
yang bersifat komplek dan multidimensi. Rendahnya tingkat kehidupan yang
sering sebagai alat ukur kemiskinan pada hakekatnya merupakan salah satu mata
rantai dari munculnya lingkaran kemiskinan (Anonim, 2011).
Masalah kemiskinan ini sangatlah kompleks dan bersifat
multidimensional, dimana berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan
aspek lainnya. Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal di belahan dunia,
khususnya Indonesia yang merupakan Negara berkembang. Kemiskinan telah
membuat jutaan anak tidak bisa mengenyam pendidikan, kesulitan membiayai
kesehatan, kurangnya tabungan dan investasi, dan masalah lain yang menjurus ke
arah tindakan kekerasan dan kejahatan sehingga masalah ini menjadi fokus
pemerintah Indonesia sampai sekarang.
II. PEMBAHASAN

A. Kemiskinan di Indonesia
Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada
masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan,
tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran
kehidupan modern pada masa kini mereka tidak menikmati fasilitas
pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang
tersedia pada zaman modern. Negara kita Indonesia sebagai negara yang kaya
akan sumber daya alamnya, tapi kemiskinan sampai dengan sekarang belum
juga teratasi. Di Indonesia program-program penanggulangan kemiskinan
sudah banyak pula dilaksanakan, seperti pengembangan desa tertinggal,
perbaikan kampung, gerakan terpadu pengentasan kemiskinan. Sekarang
pemerintah menangani program tersebut secara menyeluruh, terutama sejak
krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun
1997, melalui program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Dalam JPS ini
masyarakat sasaran ikut terlibat dalam berbagai kegiatan dan akhir-akhir ini
adanya jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat) dan askeskin (asuransi
kesehatan miskin) tapi itu semua belum menjawab masalah kemiskinan
(Masrizal, 2009).
Angka kemiskinan nasional menyembunyikan sejumlah besar
penduduk yang hidup sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional. Hampir
42 persen dari seluruh rakyat Indonesia hidup di antara garis kemiskinan
AS$1- dan AS$2-per hari-suatu aspek kemiskinan yang luar biasa dan
menentukan di Indonesia. Analisis menunjukkan bahwa perbedaan antara
orang miskin dan yang hampir-miskin sangat kecil, menunjukkan bahwa
strategi pengentasan kemiskinan hendaknya dipusatkan pada perbaikan
kesejahteraan mereka yang masuk dalam dua kelompok kuintil berpenghasilan
paling rendah. Hal ini juga berarti bahwa kerentanan untuk jatuh miskin
sangat tinggi di Indonesia: walaupun hasil survei tahun 2004 menunjukkan
hanya 16,7 persen penduduk Indonesia yang tergolong miskin, lebih dari 59
persen dari mereka pernah jatuh miskin dalam periode satu tahun sebelum
survei dilaksanakan. Data terakhir juga mengindikasikan tingkat pergerakan
tinggi (masuk dan keluar) kemiskinan selama periode tersebut, lebih dari 38
persen rumah tangga miskin pada tahun 2004 tidak miskin pada tahun 2003
(The World Bank, 2006).
B. Faktor Penyebab Kemiskinan
Pada umumnya faktor penyebab kemiskinan di negara Indonesia
adalah :
1. Laju Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan penduduk Indonesia terus meningkat di setiap 10
tahun menurut hasil sensus penduduk. Menurut data Badan Pusat Statistik
(BPS) di tahun 1990 Indonesia memiliki 179 juta lebih penduduk.
Kemudian di sensus penduduk tahun 2000 penduduk meningkat sebesar
27 juta penduduk atau menjadi 206 juta jiwa, dapat diringkaskan
pertambahan penduduk Indonesia persatuan waktu adalah sebesar setiap
tahun bertambah 2,04 juta orang pertahun atau 170 ribu orang perbulan
atau 5.577 orang perhari atau 232 orang perjam atau 4 orang per menit.
Banyaknya jumlah penduduk ini membawa Indonesia menjadi negara ke-4
terbanyak penduduknya setelah China, India dan Amerika. Meningkatnya
jumlah penduduk membuat Indonesia semakin terpuruk dengan keadaan
ekonomi yang belum mapan. Jumlah penduduk yang bekerja
tidak sebanding dengan jumlah beban ketergantungan. Penghasilan yang
minim ditambah dengan banyaknya beban ketergantungan yang harus
ditanggung membuat penduduk hidup di bawah garis kemiskinan
(Sitanggang, 2011).
2. Angkatan Kerja, Penduduk yang Bekerja dan Pengangguran
Secara garis besar penduduk suatu negara dibagi menjadi dua yaitu
tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Yang tergolong sebagi tenaga kerja
ialah penduduk yang berumur di dalam batas usia kerja. Batasan usia kerja
berbeda-beda disetiap negara yang satu dengan yang lain. Batas usia kerja
yang dianut oleh Indonesia ialah minimum 10 tahun tanpa batas umur
maksimum. Jadi setiap orang atau semua penduduk berumur 10 tahun
tergolong sebagai tenaga kerja. Sisanya merupakan bukan tenaga kerja
yang selanjutnya dapat dimasukan dalam katergori beban ketergantungan.
Tenaga kerja (manpower) dipilih pula kedalam dua kelompok yaitu
angkatan kerja (labor force) dan bukan angkatan kerja. Yang termasuk
angkatan kerja ialah tenaga kerja atau penduduk dalam usia kerja yang
bekerja atau mempunyai pekerjaan namun untuk sementara tidak bekerja
dan yang mencari pekerjaan. Sedangkan yang termasuk sebagai bukan
angkatan kerja adalah tenaga kerja dalam usia kerja yang tidak sedang
bekerja, tidak mempunyai pekerjaan dan tidak sedang mencari pekerjaan,
yakni orang-orang yang kegiatannya bersekolah, mengurus rumah tangga,
serta orang yang menerima pendapatan tapi bukan merupakan imbalan
langsung atas jasa kerjanya. Selanjutnya angkatan kerja dibedakan pula
menjadi dua subkelompok yaitu pekerja dan penganggur. Pekerja di sini
adalah orang-orang yang mempunyai pekerjaan, mencakup orang-orang
yang mempunyai pekerjaan dan memang sedang bekerja maupun orang
yang memilki pekerjaan namun sedang tidak bekerja. Pengangguran yang
dimaksud adalah orang yang tidak mempunyai pekerjaan, lengkapnya
orang yang tidak bekerja dan mencari pekerjaan. Pengangguran semacam
ini oleh BPS dikatergorikan sebagai pengangguran terbuka
(Dumairy, 1996).
3. Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan
Distribusi pendapatan nasional mencerminkan merata atau
timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan
penduduknya. Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas
porsi pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk,
yakni 40% penduduk berpendapatan rendah (penduduk miskin); 40%
penduduk berpendapatan menengah; serta 20% penduduk berpendapatan
tertinggi (penduduk terkaya). Ketimpangan dan ketidakmerataan distribusi
dinyatakan parah apabila 40% penduduk berpendapatan rendah menikmati
kurang dari 12 persen pendapatan nasional. Ketidakmerataan dianggap
sedang atau moderat bila 40% penduduk berpendapatan rendah menikmati
12-17 persen pendapatan nasional. Sedangkan jika 40% penduduk miskin
menikmati lebih dari 17 persen pendapatan nasional makan ketimpangan
atau kesenjangan dikatakan lunak, distribusi pendapatan nasional
dikatakan cukup merata (Dumairy, 1996).
Pendapatan penduduk yang didapatkan dari hasil pekerjaan yang
mereka lakukan relatif tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari
sedangkan ada sebagian penduduk di Indonesia mempunyai pendapatan
yang berlebih. Ini disebut jugasebagai ketimpangan. Ketimpangan
pendapatan yang ekstrim dapat menyebabkan inefisiensi ekonomi.
Penyebabnya sebagian adalah pada tingkat pendapatan rata-rata bearapa
pun, ketimpangan yang semakin tinggi akan menyebabkan semakin
kecilnya bagian populasi yang memenuhi syarat untuk mendapatkan
pinjaman atau sumber kredit. Selain itu ketimpangan dapat menyebabkan
alokasi aset yang tidak efisien. Ketimpangan yang tinggi menyebabkan
penekanan yang terlalu tinggi pada pendidikan tinggi dengan
mengorbankan kualitas universal pendidikan dasar, dan kemudian
menyebabkan kesenjangan pendapatan yang semakin melebar
(Todaro,2006).
Ketimpangan pembangunan di Indonesia selama ini berlangsung
dan berwujud dalam berbagai bentuk dan aspek atau dimensi. Bukan saja
berupa ketimpangan hasil-hasilnya, misalnya dalam hal pendapatan per
kapita tetapi juga ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan itu
sendiri. Bukan pula semata-mata berupa ketimpangan spasial atau antar
daerah tetapi ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional.
Ketimpangan sektoral dan regional dapat ditengarai antara lain dengan
menelaah perbedaan mencolok dalam aspek-aspek seperti penyerapan
tenaga kerja, alokasi dana perbankan, investasi dan pertumbuhan.
Sepanjang era PJP I (lima pelita) yang lalu, sektor pertanian rata-rata
hanya tumbuh 3,54% per tahun. Sedangkan sektor industri pengolahan
tumbuh dengan rata-rata 12,22% per tahun. Di Repelita VI sektor
pertanian saat itu ditargetkan tumbuh rata-rata 3,4% per tahun, sementara
pertumbuhan rata-rata tahunan sektor industri pengolahan ditargetkan
9,4% per tahun. Tidak seperti masa era PJP I, dimana dalam pelita-pelita
tertentu terdapat sektor lain yang tingkat pertumbuhannya lebih tinggi dari
tingkat pertumbuhan sektor industri pengolahaan, selama Repelita VI
tingkat pertumbuhan sektor ini dicanangkan yang tertinggi dibandingkan
sector-sektor lainnya. Sektor industri pengolahan diharapka dapatmenjadi
pemimpin sepanjang sektor Repelita VI. Ketimpangan pertumbuhan
antarsektor, khususnya antara sektor pertanian dan sektor industri
pengolahan harus disikapi secara arif. Ketimpangan pertumbuhansektoral
ini bukanlah kecelakaan atau ekses pembangunan. Ketimpangan ini lebih
kepada suatu hal yang terencana dan memang disengaja terkait dengan
tujuan menjadikan Indonesia sebagai negara industri. Akan tetapi sampai
sejauh manakah ketimpangan ini dapat ditolerir. Pemerintah perlu
memikirkan kembali perihal ketepatan keputusan menggunakan
industrialisasi sebgai jalur pembangunan karenaakan sangat berdampak
bagi pendapatan penduduk dan selanjutnya kemiskinan (Dumairy, 1996).
4. Tingkat Pendidikan Masyarakat yang Rendah
Banyak masyarakat Indonesia tidak memiliki pendidikan yang
dibutuhkan oleh perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja. Pada
umumya untuk memperoleh pendapatan yang tinggi diperlukan tingkat
pendidikan yang tinggi pula atau minimal mempunyai memiliki
ketrampilan yang memadai sehingga dapat memperoleh pendapatan yang
dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga kemakmuran penduduk
dapat terlaksana dengan baik dan kemiskinan dapat ditanggulangi.
Rendahnya kualitas penduduk merupakan salah satu penyebab
kemiskinan di suatu negara. Untuk adanya perkembangan ekonomi
terutama industri, jelas sekali dibutuhkan lebih banyak teanga kerja yang
mempunyai skill atau paling tidak dapat membaca dan menulis. Menurut
Schumaker pendidikan merupakan sumber daya yang terbesar manfaatnya
dibandingkan faktor-faktor produksi lain (Irawan, 1999).
5. Kurangnya Perhatian dari Pemerintah
Masalah kemiskinan bisa dibilang menjadi masalah Negara yang
semakin berkembangsetiap tahunnya dan pemerintah sampai sekarang
belum mampu mengatasi masalahtersebut. Kurangnya perhatian
pemerintah akan maslah ini mungkin menjadi salah satu penyebnya.
Pemerintah yang kurang peka terhadap laju pertumbuhan masyarakat
miskin dapat menjadi salah satu faktor kemiskinan. Pemerintah tidak dapat
memutuskan kebijakan yang mampu mengendalikan tingkat kemiskinan di
negaranya (Sitanggang, 2011).
6. Kurangnya Lapangan Pekerjaan yang Tersedia di Indonesia
Seperti kita ketahui lapangan pekerjaan yang terdapat di Indonesia
tidak seimbangdengan jumlah penduduk yang ada dimana lapangan
pekerjaan lebih sedikitdibandingkan dengan jumlah penduduknya. Dengan
demikian banyak penduduk diIndonesia yang tidak memperoleh
penghasilan itu menyebabkan kemiskinan diIndonesia
C. Dampak Kemiskinan
Dampak dari kemisikinan terhadap masyarakat umumnya begitu
banyak dan kompleks (Ghopur, 2011), yang kemudian dipaparkan sebagai
berikut :
a. Pengangguran
Jumlah pengangguran terbuka awal tahun 2011 sebanyak 8,12 juta
orang. Jumlah yang cukup fantastis, mengingat krisis multidimensional
yang sedang dihadapi bangsa saat ini. Dengan banyaknya pengangguran,
berarti banyak masyarakat tidak memiliki penghasilan karena tidak
bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan, mereka
tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Secara otomatis
pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli masyarakat. Sehingga
akan memberikan dampak secara langsung terhadap tingkat pendapatan,
nutrisi dan tingkat pengeluaran rata-rata.
Dalam konteks daya saing secara keseluruhan, belum membaiknya
pembangunan manusia di tanah air akan melemahkan kekuatan daya saing
bangsa. Ukuran daya saing ini kerap digunakan untuk mengetahui
kemampuan suatu bangsa dalam bersaing dengan bangsa-bangsa lain
secara global. Dalam konteks daya beli, di tengah melemahnya daya beli
masyarakat, kenaikan harga beras akan berpotensi meningkatkan angka
kemiskinan. Perkiraan itu didasarkan atas kontribusi pangan yang cukup
dominan terhadap penentuan garis kemiskinan, yakni hampir tiga
perempatnya (74,99 %) (Ritonga, 2007).
Meluasnya pengangguran sebenarnya bukan saja disebabkan
rendahnya tingkat pendidikan seseorang, tetapi juga disebabkan kebijakan
pemerintah yang terlalu memprioritaskan ekonomi makro atau
pertumbuhan (growth). Ketika terjadi krisis ekonomi di kawasan Asia
tahun 1997 silam misalnya, banyak perusahaan yang melakukan
perampingan jumlah tenaga kerja, sebab tak mampu lagi membayar gaji
karyawan akibat defisit anggaran perusahaan. Akibatnya jutaan orang
terpaksa harus dirumahkan, atau dengan kata lain meraka terpaksa di-PHK
(Putus Hubungan Kerja).
b. Kekerasan
Sesungguhnya kekerasan yang marak terjadi akhir-akhir ini
merupakan efek dari pengangguran. Karena seseorang tidak mampu lagi
mencari nafkah melalui jalan yang benar dan halal. Ketika tak ada lagi
jaminan bagi seseorang dapat bertahan dan menjaga keberlangsungan
hidupnya, maka jalan pintas pun dilakukan. Misalnya, merampok,
menodong, mencuri atau menipu (dengan cara mengintimidasi orang lain)
di atas kendaraan umum dengan berpura-pura kalau sanak keluarganya ada
yang sakit dan butuh biaya besar untuk operasi. Sehingga dengan mudah ia
mendapatkan uang dari memalak.
c. Pendidikan
Tingkat putus sekolah yang tinggi merupakan fenomena yang
terjadi dewasa ini. Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat
miskin tidak dapat lagi menjangkau dunia sekolah atau pendidikan. Jelas
mereka tak dapat menjangkau dunia pendidikan yang sangat mahal itu.
Sebab, mereka begitu miskin. Untuk makan satu kali sehari saja mereka
sudah kesulitan. Bagaimana seorang penarik becak misalnya, yang
memiliki anak cerdas bisa mengangkat dirinya dari kemiskinan, ketika
biaya untuk sekolah saja sudah sangat mencekik leher, sementara anak-
anak orang yang berduit bisa bersekolah di perguruan-perguruan tinggi
mentereng dengan fasilitas lengkap. Jika ini yang terjadi, sesungguhnya
negara sudah melakukan pemiskinan struktural terhadap rakyatnya.
Akhirnya, kondisi masyarakat miskin semakin terpuruk lebih
dalam. Tingginya tingkat putus sekolah berdampak pada rendahya tingkat
pendidikan seseorang. Dengan begitu akan mengurangi kesempatan
seseorang mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Ini akan menyebabkan
bertambahnya pengangguran akibat tidak mampu bersaing di era
globalisasi yang menuntut keterampilan di segala bidang.
d. Kesehatan.
Biaya pengobatan sekarang sangatlah mahal. Hampir setiap klinik
pengobatan apalagi rumah sakit swasta besar menerapkan tarif/ongkos
pengobatan dengan biayanya yang tinggi, sehingga biayanya tak
terjangkau oleh kalangan miskin.
e. Konflik Sosial Bernuansa SARA (istilah Orba).
Tanpa bersikap munafik, konflik SARA muncul akibat
ketidakpuasan dan kekecewaan atas kondisi miskin yang akut. Hal ini
menjadi bukti lain dari kemiskinan yang kita alami. Akibat ketiadaan
jaminan keadilan, keamanan dan perlindungan hukum dari negara,
persoalan ekonomi-politik yang objektif disublimasikan ke dalam
bentrokan identitas yang subjektif. Terlebih lagi fenomena bencana alam
yang kerap melanda negeri ini, yang berdampak langsung terhadap
mingkatnya jumlah orang miskin. Kesemuanya menambah deret panjang
daftar kemiskinan dan semuanya terjadi hampir merata di setiap daerah di
Indonesia, baik di perdesaan maupun perkotaan.
D. Upaya Pengentasan Kemiskinan
Kemiskian timbul karena ada sebagian masyarakat yang belum ikut
serta dalam pembanguna sehingga belum dapat menikmati hasil pembangunan
secara memadai. Keadaan ini disebabkan oleh ketrbatasan dalam kepemilikan
dan penguasaan faktor produksi sehingga kemampun masyarakat dalam
menghasilkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan belum merata dan
belum seimbang. Oleh sebab-sebab itu upaya pengembangan kegiatan
ekonomi kelompk masyarakat berpendapatan rendah senantiasa ditempatkan
sebagi prioritas utama. Sejalan dengan itu, penyedia faktor produksi termsuk
modal dan kemampuan peningkatan kemampuan masyarakat menjadi
landasan bagi berkembangnya kegiatan ekonomi masyarakat secara
berkelanjutan. Pelaksanaan pembangunan nasional yang dijabarkan dalam
program pembangunan sektoral, regional dan khusus. Pembangunan baik
secara langsung maupun tidak langsung dirancang untuk memecahkan
masalah kemiskinan.
Kebijaksanaan penanggulangan kemiskianan dapat di kategorikan
menjadi dua yaitu:
1. Kebijaksanaan tidak langsung
Kebijaksanaan tidak langsung diarahkan pada penciptaan kondisi
yang menjamin kelangsungan setiap upaya penanggulangan kemiskinan.
Kondisi yang dimaksudkan antara lain adalah suasana sosial politik yang
kentara, ekonomi yang stabil dan budaya yang berkembang. Upaya
penggolongan ekonomi makro yang yang berhati-hati melalui
kebijaksanaan keuangan dan perpajakan merupakan bagian dari upaya
menaggulangi kemiskinan. Pengendalian tingkat inflasi diarahkan pada
penciptaan situsasi yang kondusif bagi upaya penyediaan kebutuhan
daasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan dengan
harga yang terjangkau oleh penduduk miskin.
2. Kebijaksanaan langsung
Kebijaksaan langsung diarahkan kepada peningkatan peran serta
dan produktifitas sumber daya manusia khususnya golongan masyarakat
berpendapatan rendah, melalui penyediaan kebutuhan dasar seperti
sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan, serta pengembangan
kegiatan-kegiatan sosial ekonomi yang bekelanjutan untuk mendorong
kemandirian golongan masyarakat yang berpendapatan rendah.
Pemenuhan kebutuhan dasar akan memberikan peluang bagi penduduk
miskin untuk melakukan kegiatan sosial ekonomi yang dapat memberikan
pendapatan yang memadai. Dalam hubungan ini, pengembangan kegiatan
sosial ekonomi rakyat diprioritaskan pada pengembangan kegiatan sosial
ekonomi penduduk miskin di desa-desa miskin berupa peningkatan
kualitas sumber daya manusia dan peningkatan permodalan yang didukung
sepenuhnya dengan kegiatan pelatih yang terintegrasi sejak kegiatan
penghimpunan modal, penguasaan teknik produksi, pemasaran hasil dan
pengelolaan surplus usaha.
E. Penanggulangan Masalah Kemiskinan di Indonesia
Ada beberapa program yang perlu dilakukan agar kemiskinan di
Indonesia bisa dikurangi, antara lain :
1. Meningkatkan Pendidikan Rakyat
Sebisa mungkin pendidikan harus terjangkau oleh seluruh rakyat
Indonesia. Dulu pada tahun 1970-an, sekolah dasar dibagi dua. Ada
sekolah pagi dan ada sekolah siang sehingga 1 bangunan sekolah bisa
dipakai untuk 2 sekolah dan melayani murid dengan jumlah 2 kali lipat.
Ini tentu lebih efektif dan efisien. Biaya pembangunan dan pemeliharaan
gedung sekolah bisa dihemat hingga separuhnya. Mungkin ada yang
berpendapat bahwa hal itu bisa mengurangi jumlah pelajaran karena jam
belajar berkurang. Sebaliknya jam pelajaran di sekolah terlalu lama justru
membuat siswa jenuh dan tidak mandiri karena dicekoki oleh gurunya.
Guru bisa memberi mereka PR atau tugas yang dikerjakan baik sendiri,
bersama orang tua, atau teman-teman mereka. Ini melatih kemandirian
serta kerjasama antara anak dengan orang tua dan juga dengan teman
mereka. Selain itu biaya untuk beli buku cukup tinggi, untuk mengurangi
beban orang tua dalam hal uang buku, pemerintah bisa menyediakan
Perpustakaan Sekolah. Dulu perpustakaan sekolah meminjamkan buku-
buku Pedoman (waktu itu terbitan Balai Pustaka) kepada seluruh siswa
secara gratis, untuk soal bisa didikte atau ditulis di papan tulis.
Berbeda dengan sekarang dimana buku harus ditulis dengan pulpen
sehingga begitu selesai dipakai harus dibuang tidak bisa diturunkan ke
adik-adiknya. Saat ini biaya SPP sekolah gratis hanya mencakup SD dan
SMP (meskipun sebetulnya tetap bayar yang lain dengan istilah Ekskul
atau Les) sedang untuk Perguruan Tinggi Negeri biayanya justru jauh
lebih tinggi dari Universitas Swasta yang memang bertujuan komersial.
Meskipun ada surat edaran Rektor bahwa orang tua tidak perlu takut akan
bayaran karena bisa minta keringanan, namun teori beda dengan praktek.
Orang-orang kurang berkecukupan saat ini hanya bisa bermimpi
untuk bisa masuk ke PTN. Hanya segelintir saja orang kurang mampu
yang mau bersusah payah mengurus surat keterangan tidak mampu dan
merendahkan diri mereka di depan birokrat kampus sebagai Keluarga
Miskin (Gakin) untuk minta keringanan biaya. Tanpa pendidikan, sulit
bagi rakyat Indonesia untuk mengurangi kemiskinan dan menjadi bangsa
yang maju.
2. Pembagian Tanah/Lahan Pertanian untuk Petani
Paling tidak separuh rakyat (sekitar 100 juta penduduk) Indonesia
masih hidup di bidang pertanian. Menurut Bank Dunia, mayoritas petani
Indonesia memiliki lahan kurang dari 0,4 hektar. Bahkan ada yang tidak
punya tanah dan sekedar jadi buruh tani. Kadang terjadi tawuran antar
desa hingga jatuh korban jiwa hanya karena memperebutkan lahan
beberapa hektar. Artinya jika 1 hektar bisa menghasilkan 6 ton gabah dan
panen 2 kali dalam setahun serta harga gabah hanya Rp 2.000/kg,
pendapatan kotor petani hanya Rp 9,6 juta per tahun atau Rp 800
ribu/bulan. Jika dikurangi dengan biaya benih, pestisida, dan pupuk
dengan asumsi 50% dari pendapatan mereka, maka penghasilan petani
hanya Rp 400 ribu/bulan saja.
Pada saat yang sama 69,4 juta hektar tanah dikuasai oleh 652
pengusaha. Ini menunjukkan belum adanya keadilan di bidang pertanahan.
Dulu pada zaman Orba (Orde Baru) ada proyek Transmigrasi di mana para
petani mendapat tanah 1-2 hektar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan
Papua. Transportasi, rumah, dan biaya hidup selama setahun ditanggung
oleh pemerintah.
Program itu sebenarnya cukup baik untuk diteruskan mengingat
saat ini Indonesia kekurangan pangan seperti beras, kedelai, daging sapi,
dsb sehingga harus impor puluhan trilyun rupiah setiap tahunnya. Jika
petani dapat tanah 2 hektar, maka penghasilan mereka meningkat jadi Rp
48 juta per tahun atau bersih bisa Rp 2 juta/bulan per keluarga. Memang
biaya transmigrasi cukup besar. Untuk kebutuhan hidup selama setahun,
rumah, lahan, dan transportasi paling tidak perlu Rp 40 juta per keluarga.
Dengan anggaran Rp 10 trilyun per tahun ada 250.000 keluarga yang dapat
diberangkatkan per tahunnya.
Seandainya tiap keluarga mendapat 2 hektar dan tiap hektar
menghasilkan 12 ton beras per tahun, maka akan ada tambahan produksi
sebesar 6 juta ton per tahun. Ini sudah cukup untuk menutupi kekurangan
beras di dalam negeri. Saat ini dari 2 juta ton kebutuhan kedelai di
Indonesia (sebagian untuk tahu dan tempe), 60% diimpor dari luar negeri.
Karena harga kedelai luar negeri naik dari Rp 3.500/kg menjadi Rp
7.500/kg, para pembuat tahu dan tempe banyak yang bangkrut dan
karyawannya banyak yang menganggur. Jika program transmigrasi
dilakukan tiap tahun dan produk yang ditanam adalah produk di mana kita
harus impor seperti kedelai, niscaya kekurangan kedelai bisa diatasi dan
Indonesia tidak tergantung dari impor kedelai yang nilainya lebih dari Rp
8 trilyun per tahunnya. Ini akan menghemat devisa.
3. Menutup Bisnis Pangan yang Menjadi Kebutuhan Utama Rakyat dari Para
Pengusaha Besar
Para petani/pekebun kecil sulit untuk mengekspor produk mereka.
Sebaliknya para pengusaha besar dengan mudah mengekspor produk
mereka (para pengusaha bisa menekan/melobi pemerintah) sehingga
rakyat justru bisa kekurangan makanan atau harus membayar tinggi sama
dengan harga Internasional. Ini sudah terbukti dengan melonjaknya harga
minyak kelapa hingga 2 kali lipat lebih dalam jangka waktu kurang dari 6
bulan akibat kenaikan harga Internasional. Pemerintah tidak bisa berbuat
apa-apa.
Jika produk utama seperti beras, kedelai, terigu dikuasai oleh
pengusaha, rakyat akan menderita akibat permainan harga. Selain itu
dengan dikuasainya industri pertanian oleh pengusaha besar, para petani
yang merupakan mayoritas dari rakyat Indonesia akan semakin tersingkir
dan termiskinkan.
4. Melakukan Efisiensi di Bidang Pertanian
Perlu dikaji apakah pertanian kita efisien atau tidak. Jika pestisida
kimia mahal dan berbahaya bagi kesehatan, pertimbangkan predator alami
seperti burung hantu untuk memakan tikus, dsb. Begitu pula jika pupuk
kimia mahal dan berbahaya, coba pupuk organik seperti pupuk
hijau/kompos. Semakin murah biaya pestisida dan pupuk, para petani akan
semakin terbantu karena ongkos tani semakin rendah.
Jika membajak sawah bisa dilakukan dengan sapi/kerbau, kenapa
harus memakai traktor, dengan sapi/kerbau para petani bisa menternaknya
sehingga jadi banyak untuk kemudian dijual. Daging dan susunya juga
bisa dimakan. Sementara traktor bisa rusak dan butuh bensin/solar yang
selain mahal juga mencemari lingkungan.
5. Mendata Produk-Produk yang Masih Kita Impor
Meneliti produk mana yang bisa dikembangkan di dalam negeri
sehingga kita tidak tergantung dengan impor sekaligus membuka lapangan
kerja. Sebagai contoh jika mobil bisa kita produksi sendiri, maka itu akan
sangat menghemat devisa dan membuka lapangan kerja. Ada 1 juta mobil
dan 6,2 juta sepeda motor terjual di Indonesia dengan nilai lebih dari Rp
200 trilyun/tahun. Jika pemerintah menyisihkan 1% saja dari APBN yang
Rp 1.000 trilyun/tahun untuk membuat/mendukung BUMN yang
menciptakan kendaraan nasional, maka akan terbuka lapangan kerja dan
penghematan devisa milyaran dollar setiap tahunnya.
6. Menghentikan Eksploitasi Kekayaan Alam oleh Perusahaan Asing.
Banyak kekayaan alam kita yang dikelola oleh asing dengan alasan
kita tidak mampu dan sedang transfer teknologi. Kenyataannya dari tahun
1900 hingga saat ini ketika minyak hampir habis kita masih transfer
teknologi. Padahal 95% pekerja dan insinyur di perusahaan-perusahaan
asing adalah orang Indonesia. Bahkan perusahaan migas Qatar pun sering
memasang lowongan untuk merekrut ahli migas dari Negara Indonesia.
Saat ini 1.500 ahli perminyakan Indonesia bekerja di Timur Tengah seperti
Arab Saudi, Kuwait, dan Qatar. Bahkan ada Doktor Perminyakan yang
bekerja di negara Eropa seperti Noewegia.
Banyak perusahaan asing beroperasi menguras kekayaan alam
Indonesia. Negara tetangga yang menambang emas bekerjasama dengan
penduduk lokal dengan memakai alat pahat dan martil saja bisa mendapat
Rp 240 juta per bulan, bagaimana dengan Freeport yang memakai banyak
excavator dan truk-truk raksasa yang meratakan gunung-gunung di Papua.
Agar Indonesia bisa makmur, maka Indonesia harus mengelola sendiri
kekayaan alamnya.
F. Contoh Kasus Kemiskinan Saat di Wilayah Jakarta
Jakarta mempunyai berbagai program pemberantasan kemiskinan.
Akan tetapi, program itu hanya menjangkau warga miskin dengan KTP DKI.
Padahal banyak warga miskin pendatang dari daerah-daerah di Jawa, bahkan
juga luar Jawa, yang tidak tercatat sebagai penduduk DKI. Yunaedi (37),
merupakan petani bawang asal Brebes, Jawa Tengah yang merantau di
Jakarta. Tahun 1999 Yunaedi ke Jakarta dan berjualan nasi goreng. Bersama
Sarmah (31) dan dua anaknya, Yunaedi mengontrak rumah petak dari tripleks
di atas Kali Mampang, Jakarta Selatan. Di sanalah mereka tinggal bersama
ratusan jiwa kaum urban miskin lainnya. Gubuk-gubuk kumuh mereka terjepit
di antara permukiman mewah. Yunaedi hanyalah salah satu potret
ketidakberdayaan kaum miskin di Jakarta.
Salah satu awal mula penyebab kemiskinan di kota adalah ketika
sektor pertanian dikebiri secara sistemik. Potret kemiskinan di kota hanya
salah satu manifestasi dampak dari pengebirian itu. Tercerabutnya tanah dari
kehidupan petani diperparah dengan berhentinya pelaksanaan reformasi
agraria (land reform) yang diamanatkan Undang-Undang Pokok Agraria
Nomor 5 Tahun 1960. Undang-undang itu mengamanatkan pemerintah untuk
meredistribusi tanah Negara kepada para petani penggarap dan petani tak
bertanah. Kepemilikan dan penguasaan tanah pun dibatasi. Semangat
perundang-undangan itu untuk menciptakan pemerataan dalam kesempatan
kegiatan produktif di bidang pertanian. Sebaliknya, kemudahan dalam
penyediaan tanah untuk kegiatan investasi dan eksploitasi sumber daya alam
dalam skala besar terbuka luas. Akibatnya, kepemilikan lahan petani terus
menyempit. Konversi lahan pertanian terus saja terjadi. Kedaulatan petani pun
terkebiri dengan diadopsinya gagasan Revolusi Hijau. Akibatnya, petani terus
bergantung pada pupuk kimia, pestisida, dan benih. Ini tentu saja makin
menggemukkan pundi-pundi perusahaan multinasional di sektor pertanian.
Di Jakarta, ketiadaan hak atas tanah di desa mereka berlanjut dengan
tiadanya hak mereka atas tempat tinggal di Ibu Kota. Mereka pun menempati
lahan illegal, bantaran kali, dll. Mereka mencari nafkah di kawasan terlarang.
Sebagai warga ilegal, bayang-bayang kehilangan sumber penghidupan serta
tempat bernaung terus mengancam. Kepala Dinas Kependudukan DKI Jakarta
Abdul Kadir menyebut ada puluhan titik komunitas warga yang menempati
daerah terlarang, di antaranya 32 lokasi di Jakarta Utara. Melalui Peraturan
Daerah Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum, kaum miskin kerap
diusir.
Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
semakin melegalkan penggusuran paksa. Centre on Housing Rights and
Evictions (COHRE), sebuah organisasi dunia di Swiss yang mengampanyekan
hak atas tempat tinggal, menyebut penggusuran paksa di Indonesia, khususnya
Jakarta, telah mencapai level cukup gawat. COHRE menempatkan Indonesia
sebagai satu dari tujuh negara yang melakukan penggusuran paling besar di
dunia. Sedangkan UPC mencatat, sejak tahun 2000 hingga 2005 saja sebanyak
19.094 keluarga digusur.
Para ahli mendefinisikan kemiskinan sebagai ketiadaan akses pada hal-
hal yang vital dalam hidup. Kemiskinan absolut berarti tak punya akses
kepada sumber daya dasar yang menopang kehidupan, seperti air bersih,
tanah, rumah yang layak, benih (bagi petani), makanan bergizi, pendidikan,
pelayanan kesehatan, dan lingkungan yang sehat. Dengan demikian,
kemiskinan absolut tak bisa direduksi dengan penghitungan pendapatan yang
dibuat lembaga-lembaga internasional, yakni dua dollar sehari, atau asupan
kalori saja.
Disimpulkan bahwa kota Jakarta menjadi semacam tempat
pengungsian dari kehidupan yang menekan di tempat lain. Laju pertumbuhan
penduduknya jauh lebih tinggi dibandingkan data resmi menjadikan mega city
terbesar di Asia Tenggara ini penuh paradoks mulai tahun 1970-1980, ketika
proses industrialisasi dimulai. Mereka yang tergolong kaya bisa membayar
makanan sepiring seharga ratusan ribu rupiah, sementara ribuan orang lainnya
memeras keringat untuk Rp 10.000 sehari. Yang satu menguruskan badan
dengan biaya jutaan rupiah, sementara ribuan anak tak bisa makan tiga kali
sehari. Pada awal tahun masyarakat sudah dihantui dengan kenaikan harga
BBM akibat naiknnya harga minyak dunia yang semakin melonjak
menyebabkan harga bahan pangan pokok ikut meningkat.
III. PENUTUP

A. Kesimpulan
Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks yang memerlukan
penanganan lintas sektoral, lintas profesional dan lintas lembaga. Dari
berbagai sumber yang diperoleh maka diperoleh kesimpulan bahwa Indonesia
sampai saat ini belum dapat mengatasi masalah kemiskinan sedangkan negara
Indonesia telah banyak melakukan cara-cara pengentasan kemiskinan tetapi
kemiskinan juga belum bisa diatasi dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari
contoh kasus kemiskinan yang terjadi di wilayah DKI Jakarta yang masih
banyak sekali penduduk yang berpenghasilan rendah dan hidup kurang layak.
Strategi penanganan kemiskinan dalam persepektif pekerjaan sosial
terfokus pada peningkatan keberfungsian sosial masyarakat miskin (dalam arti
individu dan kelompok) dalam kaitannya dengan konteks lingkungan dan
situasi sosial. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dan peningkatan
permodalan yang didukung sepenuhnya dengan kegiatan pelatih yang
terintegrasi sejak kegiatan penghimpunan modal, penguasaan teknik produksi,
pemasaran hasil dan pengelolaan surplus usaha. Selain itu juga dengan
mengupayakan penggolongan ekonomi makro yang yang berhati-hati melalui
kebijaksanaan keuangan dan perpajakan merupakan bagian dari upaya
menaggulangi kemiskinan.
B. Saran
Mengingat masih besarnya tingkat kemiskinan di Indonesia maka
pemerintah harus lebih tanggap dalam mengatasi masalah ini karena seperti
yang kita tahu kemiskinan merupakan salah satu penyebab ketidakmakmuran
masyarakat Indonesia. Dengan demikian kebijakan-kebijakan yang dilakukan
oleh pemerintah harus berpihak pada kaum miskin agar mereka tidak semakin
tertindas dengan masalah kemiskinan yang mereka hadapi. Pemerintah juga
harus dapat memperbanyak sektor-sektor usaha agar angka pengangguran
dapat ditekan karena seperti yang kita ketahui pengangguran merupakan salah
satu penyebab kemiskinan. Selain itu juga agar pemerintah dan seluruh
masyarakat di Indonesia mau bekerjasama untuk ikut berperan serata dalam
meminimalkan jumlah kemiskinan agar Negara kita bisa bangkit dari
keterpurukan baik dari krisis ekonomi maupun kemiskinan yang semakin
meningkat setiap tahunnya, agar Negara kita bisa berkembang dan maju serta
mensejajarkan dengan Negara maju yang sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Bab I. http://www.damandiri.or.id. Diakses pada tanggal 5 Maret


2012, pukul 16.30 WIB.
Anonim. 2011. JAKARTA dalam Angka 2009. http://www.kompas.com. Diakses
pada tanggal 6 Maret 2012, pukul 17.30 WIB.
Arifin. 2010. Masalah Kemiskinan. www.wordpers.com/masalah
kemiskinan/makna/go.id32. Diakses pada tanggal 7 Maret 2012 pukul 17.55
WIB.
Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta : Penerbit Erlangga
Ghopur, Abdul. 2011. Indonesia dan Potret Kemiskinan.
http://sosbud.kompasiana.com. Diakses pada tanggal 5 Maret 2012, pukul
20.40 WIB.
Irawan. 1999. Ekonomika Pembangunan. Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta
Masrizal. 2009. Kemiskinan di Indonesia. http://ijal-ewi.blogspot.com. Diakses
pada tanggal 5 Maret 2012, pukul 20.30 WIB.
Ritonga, Razali. 2007. “Kemiskinan dan Daya Saing Bangsa,” dalam Republika,
5/3/2007.
Sadono, Sukirno. 2009. Ekonomi Pembangunan, Depok. Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Sitanggang, Theresia. 2011. Faktor Penyebab Kemiskinan.
http://www.scribd.com. Diakses pada tanggal 5 Maret 2012, pukul 20.55
WIB.
The World Bank. 2006. Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia.
Jakarta: The World Bank Office Jakarta.
Todaro Michael P dan Smith Stephen C. 2006. Pembangunan
Ekonomi. Terjemahan : Mundandar Haris. Jakarta : Penerbit Erlangga
Usman, Sunyoto. 2006. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
GAMBARAN KEMISKINAN YANG MELANDA DI INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai