Anda di halaman 1dari 30

PERANAN PEMERINTAH TERHADAP PERMASALAHAN

KEMISKINAN DI INDONESIA

Diajukan sebagai Ujian Akhir Semester

Matakuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar

Kelas SBD.02

Oleh :

Tantik Dahlia

NIM. 130810201048

UNIVERSITAS JEMBER

Mei, 2014

1
KATA PENGANTAR

Dengan Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, penyusunan makalah yang


berjudul “Peranan Pemerinah Terhadap Permasalahan Kemiskinan di Indonesia”
dapat diselesaikan tepat pada waktunya meskipun dalam bentuk maupun isinya
yang sangat sederhana.

Harapan saya  semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu
acuan, petunjuk maupun pedoman, juga membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga  untuk kedepannya saya dapat
memperbaiki bentuk maupun isi dari makalah ini dengan lebih baik.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu segala kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk penyempurnaan
makalah ini, dari siapapun datangnya, penulis akan menerima dan menyambutnya
dengan segala kerendahan hati.

Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah Yang Maha Kuasa senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Jember, 14 Mei 2014

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………….………………..….….i
KATA PENGANTAR……………………………………..…………….……......ii
DAFTAR ISI……………………………………………………...........................iii
BAB I
PENDAHULUAN……………………………………………..…..........................1
1.1. Latar Belakang ………..………………………………………………...
……1
1.2. Rumusan Masalah…………...
………………………………………………..2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA…………..……………………………………….……....3
2.1. Pengertian dan Jenis Kemiskinan……………... ………..………..…….….....3
2.2. Kategori Orang Miskin…… ……………………….…………………….…..4
2.3 Karakteristik Kemiskinan Di Indonesia…………………………………….…6
BAB III
PEMBAHASAN…………………………………………………………............10
3.1. Fenomena Kemiskinan Di Indonesia …………….........................................10
3.2.Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan…….………………..………………...13
3.3. Hambatan Utaman Yang Menyebabkan Masyarakat Indonesia Terperangkap
Dalam Kemiskinan ……………………………………………….……………...16
3.4. Dampak Kemiskinan Di Indonesia………………………………………….17
3.5. Peran Pemerintah Dalam Mengatasi Kemiskinan...........................................18
BAB IV
PENUTUP…………………………………………………………….………….26
4.1 Kesimpulan………………………..…………………………………………26
4.2 Saran………………………….……………………….……………………..26
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………................27

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Dewasa ini, kemiskinan telah menjadi isu sosial sekaligus isu politik yang
banyak dibicarakan diberbagai kalangan, baik kaum politisi maupun kaum
cendekiawan. Dimana saat ini kita hidup dijaman millennium yang sejatinya
ditandai oleh modernisasi, kemajuan peradaban dan kualitas hidup umat manusia.
Kenyataaanya, dunia masih menyimpan paradox dan tetap menyisakan nestapa,
terutama bagi kaum papa di Negara Negara berkembang.

Perbincangan tentang kemiskinan dan upaya pemberantasannya


belakangan ini makin marak. Berbagai strategi dan upaya terus dilakukan
pemerintah untuk segera mengurangi kesenjangan dan membebaskan masyarakat
dari belenggu kemiskinan, terutama penduduk miskin yang tinggal di daerah
pedesaan.

Di Indonesia sendiri perkembangan jumlah dan persentase penduduk


miskin dari waktu ke waktu sejak tahun 1976 hingga 2011 menunjukkan tren
penurunan yang menggembirakan. Pada tahun 1976, lebih dari 54 juta penduduk
(sekitar 40%) berada di bawah garis kemiskinan, dan menurun terus hingga angka
22,5 juta jiwa (sekitar 13,7%) pada tahun 1996. Namun, akibat krisis ekonomi
tahun 1998, angka tersebut sempat membengkak menjadi 49,5 juta jiwa (sekitar
25 %) pada tahun 1998. Berkat usaha keras pemerintah dan pereencanaan yang
berkesinambungan angka tersebut berhasil diturunkan secara bertahap hingga
pada September 2011 angka kemiskinan menjadi 29,9 juta jiwa (12,36%).

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)


2010-2014, angka kemiskinan ditargetkan turun hingga 8-10 persen pertahun
2014. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah telah merumuskan program-

4
program penanggulangan dan pengentasan kemiskinan yang bersifat keberpihakan
kepada kelompok miskin.

Meskipun banyak kemajuan yang telah dicapai dalam upaya


pemberantasan kemiskinan, pemerintah menyadari tantangan dan pekerjaan
rumah yang harus diselesaikan masih banyak. Mengingat jumlahnya yang masih
sangat besar yaitu sekitar 29,13 juta. Selain itu kemiskinan menimbulkan
penderitaan dan merendahkan martabat manusia sehingga tidak sesuai dengan
harkat manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling mulia. Lebih dari pada
itu, kemiskinan adalah induk dari kejahatan dan kriminalitas serta revolusi sosial
yang paling berbahaya. Pandangan tersebut menggambarkan kesadaran bahwa
kemiskinan bukanlah semata-mata soal eksistensi hidup dan harga diri pribadi
orang perorangan sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling mulia. Kemiskinan
adalah juga soal eksistensi kehidupan sosial dan kehidupan bernegara.
Kemiskinan bukanlah persoalan individu atau keluarga semata tetapi juga
persoalan masyarakat, persoalan Negara maupun persoalan bersama seluruh umat
manusia.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Dari uraian latar belakang di atas maka dapat di ambil rumusan masalahnya,
yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimanakah fenomena kemiskinan di Indonesia?
2. Apa saja faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan?
3. Apa saja hambatan utama yang menyebabkan masyarakat Indonesia
terperangkap dalam kemiskinan?
4. Apa saja dampak yang ditimbulkan dari kemiskinan di Indonesia?
5. Apa saja peran pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan?

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENGERTIAN DAN JENIS KEMISKINAN

Menurut Sar A. Levitan kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan


pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standart hidup yang
layak. Sedangkan menurut Bradley R. Schiller, kemiskinan adalah ketidak-
sanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang
memadai untuk memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas. Dan menurut Emil
Salim mendefinisikan kemiskinan sebagai kurangnya pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang pokok (Ala, 1981).

Secara umum kemiskinan lazim didefinisikan sebagai kondisi dimana


seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka menuju
kehidupan yang lebih bermartabat. Kemiskinan merupakan masalah kompleks
yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan antara lain tingkat
pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi
geografis, gender dan kondisi lingkungan.

Definisi beranjak dari pendekatan berbasis hak yang menyatakan bahwa


masyarakat miskin mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota
masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas
ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan
perbedaan perlakuan bagi seseorang atau kelompok orang dalam menjalani
kehidupan secara bermartabat.

Menurut jenisnya, kemiskinan bisa dibedakan menjadi 2 kategori.


Pertama, kemiskinan relatif, yakni yang dinyatakan dengan beberapa persen dari
pendapatan nasional yang diterima oleh kelompok kelompok penduduk dengan
kelas pendapatan tertentu dibangdingkan dengan proporsi pendapatan nasional

6
yang diterima oleh kelompok penduduk dengan kelas pendapatan lainnya.
menurut kriteria Bank Dunia:

(1) Jika 40 % jumlah penduduk dengan pendapatan terendah menerima


kurang dari 12% pendapatan Nasional, maka disebut pembagian
pendapatan nasional yang sangat timpang
(2) Jika 40% jumlah penduduk dengan pendapatan terendah menerima 12-
17% dari pendapatan nasional maka disebut ketidakmertaan sedang.
(3) Juka 40 % jumlah penduduk dengan pendapatan terendah menerima lebih
dari 17% dari pendapatan Nasional, maka disebut ketidakmerataan rendah.

Kedua, kemiskinan absolut, yakni suatu keadaan dimana tingkat


pendapatan absolut dari satu orang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya, seperti : sandang, papan, pemukiman, dan pendidikan. Menurut kriteria
Biro pusat Statistik (BPS) dengan menghitung pengeluaran rumah tangga untuk
konsumsi berdasarkan data survey sosial-ekonomi Nasional (SUSENAS)
ditetapkan batas garis kemiskinan absolut adalah setara dengan tingkat pendapatan
yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi 2.100 kalori per orang plus
beberapa kebutuhan non makanan lain, seperti sandang, papan, jasa, dan lain-lain
(Mas’ode,1994:137)

2.2 KATEGORI ORANG MISKIN

Siapakah orang miskin itu? Terkait dengan pertanyan ini, kita sering
diselimuti tanda tanya perihal kemiskinan, mengapa orang menjadi miskin?
Bagaimanakah kondisi seseorang yang bisa dikatakan miskin? Hal ini muncul
ketika kita melihat fenomena mutakhir di tengah masyarakat yang menunjukkan
ketidaksejahteraan kriteria miskin dan tidak miskin. Misalnya, dalam kasus
bantuan langsung tunai (BLT) dan beras miskin (RASKIN) ribuan orang
berbondong mengambil jatah orang miskin dengan ragam dan variannya.

Pertanyaan itu muncul ketika kita melihat diantara kerumunan yang tidak
semuanya secara fisik terlihat miskin dalam antrean, baik raskin maupun BLT
yang belum lama ini berlangsung menyusul kebijakan konpensasi kenaikan harga
bahan bakar minyak. Kategori miskin semakin pudar ketika banyak menemukan

7
orang mengantre dengan pakaian, perhiasan, dan kendaraan yang tidak layak
dikatakan miskin secara ekonomi. Untuk menjawab itu, setidaknya kita patut
melihat dan mengkategorikan layak atau tidak layaknya seseorang masuk dalam
kategori miskin.

Dalam The End of Poverty (2005), Jeffery D. Sach mengklasifikasikan


kaum miskin ke dalam tiga bagian. Pertama, mereka yang hidup dalam Extreme
Poverty, yang satuan rumah tangganya tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar,
kelaparan, tidak mempunyai akses atas layanan kesehatan, tidak mendapatkan air
bersih dan sanitasi, tidak mempunyai fasilitas tempat tinggal yang sederhana dan
tidak mempunyai kelengkapan harian. Situasi ini banyak terjadi di Negara
berkembang.

Kedua, moderate poverty, mereka yang dapat memenuhi kebutuhan


dasarnya (seperti dijelaskan pada bagian pertama), tetapi sangat minim dan tidak
selalu mampu. Ketiga, relative poverty, mereka yang dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya, tetapi berada di bawah rata-rata cara orang hidup di Negara yang
bersangkutan.

Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak


dari berbagai aspek sosial, ekonomi, psikologi, dan politik. Aspek sosial
disebabkan terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi
tampak pada terbatasnya pemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar rendah,
tabungan nihil, dan lemahnya mengantisipasi peluang. Aspek psikologi
disebabkan rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolasi. Aspek politik
berkaitan dengan diskriminatif, dan posisi lemah dalam proses pengambilan
keputusan.

Kemiskinan dapat juga dibedakan menjadi 3 pengertian, yaitu kemiskinan


absolut, relatif, dan kultural. Seseorang dapat di golongkan miskin absolut apabila
pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan. Mereka tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidup minimum, seperti pangan, sandang, kesehatan, papan,
dan pendidikan.

8
Seseorang dikatakan miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis
kemiskinan, tetapi masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya.
Kemiskinan kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok
masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan sekalipun
usaha dari pihak lain yang membantunya.

2.3 KARAKTERISTIK KEMISKINAN DI INDONESIA

Kemiskinan merupakan sebuah fenomena yang mendunia, setiap Negara


memiliki karakteristik kemiskinannnya masing-masing yang dapat diakibatkan
oleh begitu banyak sebab seperti geografis, kultur, sistem pemerintahan, dan lain-
lainya. Sebagai sebuah Negara kepulauan yang agraris, kemiskinan di Indonesia
juga memiliki karakteristik tertentu. Dari berbagai data statistik yang ada,
setidaknya terdapat tujuh karakteristik yang menjadi ciri khasnya.

Karakteristik 1:

Mayoritas rumah tangga miskin menggantungkan hidupnya di sektor


pertanian.

Secara sektoral, jumlah penduduk miskin kita terkonsentrasi di sektor


pertanian. Sektor ini dari dulu hingga sekarang selalu menjadi tempat mayoritas
rumah tangga miskin menggantungkan hidupnya. Data BPS (2010), kita
mendapatkan bahwa sekitar 63% rumah tangga miskin yang Bekerja di sektor
pertanian merupakan buruh tani, sekitar 6% Bekerja di sektor industri, sekitar
10% belum atau tidak memiliki pekerjaan dan sisanya 21% Bekerja di sektor
sektor lainnya. besarnya ketergantungan masyarakat miskin terhadap sektor
pertanian menjadikan sektor ini penting untuk mendapatkan prioritas dalam upaya
pengentasan kemiskinan.

Karakteristik 2:

Mayoritas rumah tangga miskin adalah petani gurem/subsisten.

Jumlah rumah tangga petani meningkat sekitar 5 juta dalam kurun waktu
1993-2003 dari 20,8 juta menjadi 25,4 juta atau dengan kata lain meningkat rata-

9
rata 2,2% pertahun. Namun peningkatan ini juga diikuti dengan peningkatan
jumlah petani gurem/subsisten yang pada tahun 1993 hanya berjulah 10,8 juta
jiwa menjadi 13,7 juta jiwa pada tahun 2003 atau meningkat sekitar 2,6% per
tahunnya. Dengan demikian persentase rata-rata peningkatan jumlah petani
guren/subsiten lebih tinggi 0,3% dari peningkatan rata-rata jumlah rumah tangga
petani.

Karakteristik 3:

Disparitas tingkat kemiskinan yang tinggi antara kota dan desa.

Secara kuantitas, jumlah penduduk miskin yang tingal dipedesaan jauh


lebih tinggi dibandingkan dengan yang tinggal di perkotaan dengan rat-rata
hampir mencapai 2 kali lipat. Dengan kata lain, setiap satu penduduk miskin yng
ada di kota, terdapat sekitar 2 penduduk miskin yang berada di desa. Lebih dalam
lagi kita perhatikan, keberadaan penduduk miskin kota tak lain merupakan akibat
proses urbanisasi yang cukup pasif dari penduduk miskin desa yang pindah ke
kota untuk mencari pekerjaan.

Karakteristik 4:

Disparitas tingkat kemiskinan yang sangat tinggi antar provinsi.

Secara geospial, Indonesia memiliki angka sebaran kemiskinan yang tidak


merata antar provinsi dan terdapat kesenjangan yang sangat besar antara satu
provinsi dengan provinsi lain. Ada provinsi dengan tingkat kemiskinan yang
cukup rendah namun di daerah lain sangat tinggi, bahkan perbedaannya bisa
mencapai 1 banding 12. Contoh: Jakarta dan Papua, dimana tingkat kemiskinan di
Jakarta hanya sekitar 3,48%, sedangkan di Papua bisa mencapai angka 36,8%.

Karakteristik 5:

Dominasi belanja-belanja makanan terhadap garis kemiskinan

Pendekatan perhitungan kemiskinan di Indonesia yang menggunakan


pengeluaran minimum kebutuhan dasar makanan dan non-makanan
menyebabkan tingkat kemiskinan di Indonesia sangat elastis tarhadap perubahan

10
harga kedua jenis komoditas tersebut. Dari dua jenis komoditas, makanan dan
non-makanan, terhitung bahwa mayoritas pengeluaran masyarakat miskin yang
74% digunakan untuk pembelian komoditas makanan sedangkan 26% digunakan
untuk pembelian komoditas non-makanan. Dari total pengeluaran untuk makanan
tersebut, beras adalah penyumbang terbesar dengan proporsi sebesar 25,2% untuk
rumah tangga miskin yang tinggal di perkotaan sebesar 34,11% untuk rumah
tangga miskin pedesaan. Oleh karena itu, kebijakan stabilitas harga terutama beras
sangat signifikan pengaruhnya terhadap upaya proteksi rumah tangga miskin.

Karakteristik 6:

Berkumpul di sekitar garis kemiskinan.

Menurut data BPS, per Maret 2011 jumlah penduduk miskin tercatat
sebesar 30,02 juta jiwa. Jika dibandingkan dengan data per Maret 2010, dimana
penduduk miskin berjumlah 31,02 juta orang atau 13,33% maka terjadi penurunan
1 juta jiwa dalam setahun terakhir. Namun penurunan tersebut melambat jika
dibandingkan dengan pencapaian tahun sebelumnya yang berhasil mengentaskan
kemiskinan hingga 1,5 juta jiwa sementara pertumbuhan penduduk ekonomi
nasional tahun 2011 meningkat drastis menjadi 6,5% dari tahun 2010 yang hanya
6,1%. Dengan kata lain, laju pengurangan kemiskinan tidak sebanding dengan
laju pertumbuhan ekonomi.

Memang bila dilihat persentase kemiskinan yang berkisar pada angka


12,49%, jumlah penduduk miskin di Indonesia tersebut terkesan kecil. Namun
bila dilihat angka ini secara absolut maka jumlah penduduk miskin di Indonesia
masih sangat besar. Angka inipun belum menambahkan jumlah penduduk yang
sedikit di atas garis kemiskinan atau near poor. Karena banyaknya penduduk
Indonesia yang miskin tersebut maka desain kebijakan yang mampu memproteksi
masyarakat harus menjadi fokus utama. Selain itu stabilitas makroekonomi,
politik dan keamanan (polkam) menjadi penting untuk tetap dijaga agar
masyarakat miskin tersebut tidak semakin membengkak.

Karakteristik 7:

11
Kemiskinan bersifat multidimensi

Jika kita membaca kembali data Susenas 2009 BPS, hati kita akan semakin
gelisah karena kemiskinan multidimensional masih merupakan fenomena umum
yang terjadi di masyarakat kita. Dari sisi kesehatan, jumlah kematian balita per
1000 kelahiran mencapai 60,1% di daerah perdesaan dan 37,8% untuk perkotaan.
Persentase penduduk yang tinggal di rumah yang tidak layak tinggal, kurang akses
sanitasi, dan tidak memiliki MCK yang baik mencapai angka 50,42% untuk
daerah pedesaan dan 15,05% untuk perkotaan. Dari sisi pendidikan, masyarakat
kita juga masih mengalami nasib yang mengenaskan. Selain itu kekurangan akses
pada air bersih juga menjadi masalah yang serius.

12
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 FENOMENA KEMISKINAN DI INDONESIA

Setelah Indonesia di landa krisis multidimensional yang memuncak pada


periode 1997-1999 dan setelah dalam kurun waktu 1976-1996 tingkat kemiskinan
menurun secara spektakuler dari 40,1 % menjadi 11.3 %, jumlah orang miskin
meningkat kembali dengan tajam, terutama selama krisis ekonomi. Studi yang
dilakukan BPS, UNDP, dan UNSFIR menunjukkan bahwa jumlah pendududk
miskin pada periode 1996-1998, meningkat dengan tajam dari 22,5 juta jiwa
(11,3%) menjadi 49,5 juta jiwa (24,2%) atau bertambah sebanyak 27,0 juta jiwa
(BPS, 1999). Sementara itu Internasional labour Organization (ILO)
memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia pada akhir tahun 1999
mencapai 129,67 juta atau sekitar 66,3 % dari seluruh jumlah penduduk (BPS,
1999).

Data dari BPS (1999) juga memperlihatkan bahwa selama periode 1996-
1998 telah terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin hampir sama di wilayah
pedesaan dan perkotaan. Di wilayah pedesaan angka kemiskinan meningkat
menjadi 62,72%, sementara diperkotaan meningkat menjadi 61,1%. Secara
agregat, persentase peningkatan penduduk miskin terhadap total populasi memang
lebih besar di wilayah pedesaan (7,78%) dibandingkan dengan di perkotaan
(4,72%). Akan tetapi, selama 2 tahun terakhir secara absolute jumlah orang
miskin meningkat sekitar 140% atau 10,4 juta juwa di wilayah perkotaan,
sedangkan di pedesaan sekitar 105% atau 16,6 juta jiwa.

Dari data di atas mengindikasikan bahwa krisis telah membuat penderitaan


penduduk perkotaan lebih parah daripada penduduk pedesaan. Menurut

13
Thorbecke (1999), setidaknya ada dua penjelasan atas hal ini. Pertama, krisis
cenderung memberi pengaruh lebih buruk pada beberapa sektor ekonomi utama di
perkotaan, seperti perdagangan, perbankan , dan konstruksi. Sektor-sektor ini
membawa dampak negatif dan memperparah pengangguran di perkotaan. Kedua,
pertambahan harga bahan makanan kurang berpengaruh terhadap penduduk
pedesaan karena mereka masih dapat memenuhi kebutuhan dasarnya melalui
sistem produksi subsistem khususnya yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan
makanan tidak terlalu dominan pada masyarakat perkotaan.

Angka kemiskinan ini jauh lebih besar jika dalam kategori kemiskinan
dimasukkan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang kini
jumlahnya mencapai lebih dari 21 juta orang. PMKS meliputi gelandangan,
pengemis, anak jalanan, yatim piatu dan jompo telantar, dan penyandang cacat
yang tidak memiliki pekerjaan atau memiliki pekerjaan tetapi tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum kondisi PMKS lebih
memprihatinkan daripada kelompok orang miskin. Selain memiliki kekurangan
pangan, sandang dan papan, psikologi, sosial dan politik terutama menghinggapi
para pemuda di negeri ini.

Selain kelompok diatas, kriris ekonomi yang terjadi meningkatkan jumlah


orang yang Bekerja di sektor informal. Merosotnya pertumbuhan ekonomi,
dilikuidasinya sejumlah kantor swasta dan pemerintah, serta dirampingkannya
struktur industri formal telah mendorong orang untuk memasuki sektor informal
yang lebih fleksibel. Studi ILO (1998) memperkirakan bahwa selama periode
krisis antara tahun 1997 dan 1998, pemutusan hubungan kerja terhadap 5,4 juta
pekerja pada sector industri modern menurunkan jumlah pekerja formal (terutama
para pemuda) dari 35 % menjadi 30%.

Menurut Tambunan (2000), sedikitnya setengah dari para penganggur


baru tersebut diserap oleh sektor informal seta indiustri kecil dan rumah tangga
lainnya. pada sektor informal perkotaan, khususnya pedagang kaki lima
mengalami peningkatan yang sangat dramatis. Misalnya di Jakarta dan Bandung
pada periode akhir tahun 1996-1999 pertumbuhan pedagang kaki lima mencapai
300%. Dilihat dari jumlah dan potensinya, pekerja sektor informal ini sangat

14
besar. Namun demikinan seperti halnya dua kelompok masyarakat diatas, kondisi
sosial ekonomi pekerja sektor informal masih berada dalam keadaan miskin dan
rentan.

Departemen Sosial tidak pernah absen dalam mengkaji masalah


kemiskinan ini, termasuk melaksanakan program-program kesejahteraan Sosial
dikenal PROKESOS yang dilaksanakan, baik secara intradepartemen maupun
antar departemen bekerja sama dengan departemen-departemen maupun
antardepartemen lain secara lintas sektoral. Dalam garis besar, pendekatan Depsos
dalam menelaah dan menangani kemiskinan sangat dipengaruhi oleh perspektif
pekerjaan sosial (social network). Pekerjaan sosial dimaksud, bukanlah kegiatan
kegiatan sukarela atau pekerja pekerja amal melainkan profesi pertolongan
kemanusiaan yang memiliki dasar dasar keilmuan (body of knowledge), nilai nilai
(body o value), dan keterampilan (body of skills) profesional yang umumnya
diperoleh melalui pendidikan tinggi pekerja sosial (S1, S2, S3)

Ditambah lagi, Media Indonesia menyajikan hasil survey terhadap 480


responden yang diambil secara acak dari daftar pemilik telefon enam kota besar di
Indonesia (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan dan Makassar)
(Halida, 2008). Responden ditanya bagaimana pendapatannya dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari saaat ini, apakah dirasakan semakin berat atau ringan.

Mayoritas responden (73%) merasakan bahwa pemenuhan kebutuhan


mereka sehari-hari semakin berat; sebanyak 21% responden merasakan sama saja;
dan hanya 6% yang merasakan semakin ringan. Ketika ditanyakan apakah
sekarang ini mendapatkan pekerjaan baru dirasakan semakin sulit atau semakin
mudah, sebagian besar responden (89%) merasakan sekarang makin sulit mencari
pekerjaan baru; sebanyak 5% responden merasakan sama saja; dan 2% merasakan
tidak tahu.

Hasil survey ini sejalan dengan wajah kemiskinan agregat, baik


berdasarkan garis kemiskinan (poverty line) dari badan Pusat Statistik (BPS),
Indeks Pembanguan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) dari

15
United nations Development Programme (UNDP), maupun garis kemiskinan $2
perhari yang dikembangkan Bank Dunia (The World Bank).

Pada tahun 2007, jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah 37,17 juta
orang. Satu tahun sebelumnya jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak
39,30 juta. Meskipun terjadi penurunan sebesar 2,13 juta jiwa, angka ini tetap
besar. Angka kemiskinan ini menggunakan poverty line dari BPS sekitar Rp.
5.500 perkapita perhari. Jika menggunakan poverty line dari Bank Dunia sebesar
$2 per kapita per hari, diperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia berkisar
antara 50-60% dari total penduduk.

Laporan United Nations Development Programme (UNDP), human


Development Report 2007/2008, memperlihatkan Indonesia berada diperingkat
107 dari 117 Negara dari perimgkat IPM tahun 2007. Yang semakin tertinggal
dengan Negara Negara berkembang lain. Indikator IPM menggambarkan tingkat
kualitas hidup sekaligus kemampuan manusia Indonesia. Dengan demikian
peringkat IPM menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan manusia Indonesia
masih berada di tingkat bawah.

3.2 FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN

Kemiskinan dapat menunjuk pada kondisi individu, kelompok, maupun


situasi kolektif masyarakat. sebuah bangsa atau Negara secara keseluruhan bisa
pula dikategorikan miskin. Guna menghindari stigma, Negara-negara ini tidak
dinamakan lagi sebagai Negara miskin (poor country) atau Negara terbelakang
(underdeveloped country), melainkan disebut dengan Negara berkembang
(developing country).

Kemiskinan yang bersifat massal dan parah pada umumnya terdapat di


Negara berkembang. Namun, terdapat bukti bahwa kemiskinan juga hadir di
Negara maju. Di Negara Negara berkembang, kemiskinan sangat terkait dengan
aspek struktural. Misalnya, akibat sistem ekonomi yang tidak adil, sosial, atau
tidak adanya jaminan sosial.

16
Di Negara-negara maju, kemiskinan labih bersifat individual. Misalnya,
akibat mengalami kecacatan (fisik atau mental), kekuatan, sakit yang parah dan
berkepanjangan, atau kecanduan alkohol. Kondisi ini biasanya melahirkan kaum
tuna wisma yang berkelana kesana kemari atau keluarga keluarga tunggal (single
parents atau single families, dan umunya dialami ibu-ibu tunggal atau (single
parents) yang hidupnya tergantung pada bantuan sosial dari pemerintah, seperti
kupon makanan (food-stamp) atau tunjangan keluarga yang di AS disebut
program TAN (temporary assistance for needy families) atau di Indonesia
dinamakan PKH (Program Keluarga Harapan).

Kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor. Jarang ditemukan kemiskinan


yang hanya disebabkan oleh faktor tunggal. Seseorang atau keluarga miskin
disebabkan oleh beberapa faktor yang saling terkait satu sama lain, seperti
mengalami kecacatan, memiliki pendidikan rendah, tidak memiliki modal atau
keterampilan untuk berusaha, tidak tersedianya kesempatan kerja, terkena
pemutusan hubungan kerja (PHK), tidak adanya jaminan sosial (pensiun,
kesehatan, kematian), atau hidup dilokasi terpencil dengan sumber daya alam dan
infrastruktur yang terbatas. Secara konseptual, kemiskinan bisa diakibatkan oleh
empat faktor, yaitu :

1. Faktor individual.
Terkait dengan aspek patologis, termasuk kondisi fisik dan psikologis si
miskin. Orang miskin disebabkan oleh perilaku, pilihan, atau kemampuan
dari si miskin itu sendiri dalam menghadapi kehidupannya.
2. Faktor sosial.
Kondisi-kondisi lingkungan sosial yang menjebak seseorang menjadi
miskin. Misalnya, diskriminasi berdasarkan usia, gender, etnis, yang
menyebabkan seseorang menjadi miskin. Termasuk dalam faktor ini
adalah kondisi sosial dan ekonomi keluarga si miskin yang biasanya
menyebabkan kemiskinan antar generasi;
3. Faktor kultural.
Kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan. Faktor ini
secara khusus sering merujuk pada konsep “kemiskinan kultural” atau

17
“budaya kemiskinan” yang menghubungkan kemiskinan dengan kebiasaan
hidup atau mentalitas. Penelitian Oscar Lewis di Amerika Latin
menemukan bahwa orang miskin memiliki sub-kultur atau kebiasaan
tersendiri, yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Sikap-sikap
negatif seperti malas, fatalisme atau menyerah pada nasib, tidak memiliki
jiwa wirausaha, kurang menghormati etos kerja, misalnya, sering
ditemukan pada orang orang miskin;
4. Faktor struktural.
Menunjuk pada struktur atau sistem yang tidak adil, tidak sensitif dan
tidak accessible sehingga menyebabkan seseorang atau sekelompok orang
menjadi miskin. Sebagai contoh, sistem ekonomi neoliberalisme yang
diterapkan di Indonesia telah menyebabkan para petani, nelayan, dan
pekerja sektor informal terjerat oleh kemiskinan, dan sulit keluar dari
kemiskinan. Sebaliknya, stimulus ekonomi, pajak dan iklim investasi lebih
menguntungkan orang kaya dan pemodal asing untuk terus memupuk
kekayaan.
Dengan menggunakan perspektif yang lebih luas lagi, David Cox (2004:1-6)
membagi kemiskinan kedalam beberapa dimensi (Lihat Suharto,2008b):
1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi.
Globalisasi melahirkan Negara pemenang dan kalah. Pemenang umumnya
adalah Negara-negara maju. Sedangkan Negara-negara berkembang
seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang
merupakan prasyarat globalisasi.
2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan.
Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan),
kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam
proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang
disebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan).
3. Kemiskinan sosial.
Kemiskinan yang di alami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok
minoritas akibat kondisi sosial yang tidak menguntungkan mereka, seperti
bias gender, diskriminasi atau eksploitasi ekonomi.

18
4. Kemiskinan konsekuensional.
Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor
eksternal diluar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan
lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk.

3.3 HAMBATAN UTAMA YANG MENEYEBABKAN MASYARAKAT


INDONESIA TERPERANGKAP DALAM KEMISKINAN

Terdapat 4 hambatan utama yang menyebabkan masyarakat miskin Indonesia


terperangkap dalam kemiskinannya, yaitu:

1. Hambatan struktural
Tatanan struktural yang tidak memihak orang miskin
Hambatan struktural adalah sebuah kondisi kemiskinan yang diakibatkan
oleh kebijakan dan tatanan ekonomi yang tidak berpihak kepada orang
miskin. Orang miskin akan selamanya miskin jika tidak ada perbaikan
struktural yang mengubah kondisi yang ada menjadi lebih baik.
2. Hambatan Sumber Daya Manusia
Kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas
Dalam konteks kemiskinan di Indonesa, mayoritas masyarakat mengalami
kemiskinan multidimensi yang parah. Tingkat pendidikan, keahlian dan
keterampilan mereka rendah, pengenalan terhadap teknologi juga masih
sangat minim, serta pemenuhan standart hidup seperti kesehatan dasar dan
fasilitas tempat tinggal juga rendah. Jadi, seandainya hambatan struktural
dapat diselesaikan, namun kapabilitas sumber daya manusia tidak
ditingkatkan maka optimalisasi penggunaan sumber daya yang sudah
disediakan tidak akan bisa dilakukan dengan baik karena pada akhirnya,
manusialah yang akan memanfaatkan semua sumber daya yang tersedia.
3. Hambatan institusi
Kelembagaan yang rapuh
Hambatan yang ketiga adalah upaya pemberantasan di hulu adalah
hambatan institusi. Mengapa institusi menjadi penting? Karena
kemiskinan tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor yang ditimbulkan
oleh faktor-faktor yang ditimbulkan oleh fenomena ekonomi belaka tetapi

19
juga oleh proses interaksi antara fenomena ekonomi, sosial, dan budaya,
dan media interaksi fenomena-fenomena tersebut tak lain adalah institusi.
Data World Economic Forum (2011) menunjukkan bahwa kondisi makro-
ekonomi yang terus sehat dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang relative
stabil ternyata tidak di iringi oleh perkembangan institusi yang memadai.
Menutut laporan tersebut kondisi makro-ekonomi kita berada di peringkat
35 sedangkan kualitas institusi masih berada di peringkat 61 yang
dibandingkan dengan tahun sebelumnya di posisi 58, berarti kualitas kita
menurun. Hal ini tentu mengherankan mengingat kualitas institusi atmosfir
demokrasi kita semakin terbuka. Kualitas institusi kita yang rendah ini
pada akhirnya akan berdampak terhadap buruknya iklim usaha dan
investasi serta pasar yang menjadi tidak efektif dan tidak efisiensi karena
begitu banyaknya inefisiensi di institusi pemerintahan.
4. Hambatan Sosial Budaya
Budaya yang menghambat
Hambatan yang keempat yang menciptakan belenggu kemiskinan adalah
hambatan sosial budaya. Yang dimaksud dengan hambatan sosial budaya
adalah hambatan berupa sistem budaya kerja yang tidak produktif yang
masih tetap dan terus dijalankan di sebagian besar masyarakat. Dalam
konteks pengentasan kemiskinan di sektor pertanian dan pedesaan,
hambatan ini muncul sebagai sebuah fakta yang nyata dan terus berjalan
seolah-olah tidak ada perubahan ke arah sistem budaya kerja yang baik .

Keempat hambatan di atas saling terkait dan saling mempengaruhi satu


dengan yang lainnya sehingga penyelesaian salah satu hambatan yang ada saja
tidak akan menyelesaikan masalah kemiskinan jika hambatan yang lainnya tidak
pula diselesaikan. Keempatnya saling mengunci dan menjerat masyarakat miskin
di sektor pertanian dan di pedesaan untuk tetap dalam kemiskinan dan hal
tersebut menjadikan perangkap kemiskinan menyerupai lingkaran setan (vicious
circle).

3.4 DAMPAK KEMISKINAN DI INDONESIA

20
Kemiskinan mempunyai dampak negatif yang bersifat menyebar
(multiplier effect) keseluruh tatanan kemasyarakatan. Kemiskinan dapat
membunuh mimpi generasi muda Indonesia dalam mengangkat masa depan.
Bagaimana generasi muda kedepan dapat membayangkan cerahnya masa depan
apabila pada hari ini mereka dihantui antara makan dan tidaknya esok.

Berbagai peristiwa konflik yang terjadi sepanjang krisis ekonomi di tanah


air menunjukkan bahwa persoalan kemiskinan bukanlah semata-mata
memengaruhi ketahanan ekonomi yang ditampilkan oleh rendahnya daya beli
masyarakat. Persoalan kemiskinan mampu memengaruhi ketahanan sosial
masyarakat dan ketahanan nasional. Meningkatnya angka pengangguran,
kriminalitas, bunuh diri, dan bentuk frustasi sosial lain terutama yang dialami
kalangan pemuda yang sudah pesimis mengarungi hidup karena ketiadaan etos
kerja, modal sosial ekonomi dan kesempatan untuk aktualisasi diri ikut pula
memengaruhi ketahanan sosial bangsa.

Dalam konteks yang filosofis, manusia (termasuk pemuda) secara


eksistensial sangat ditentukan oleh pekerjaan. Hal ini karena melalui bekerja ia
mengalami ekstentifikasi diri (perluasan diri) sehingga menghasilkan karya yang
autentik. Filsafat pekerjaan ini dapat kita temukan dari berbagai pemikiran dan
filsuf, seperti Hegel dan Marx. Mereka Melihat bahwa kerjalah yang menentukan
keberlangsungan eksistensi manusia dalam mengarungi sejarahnya.

Oleh karena itu, lorong kemiskinan dengan segala bentuk dan varian diatas
secara eksistensial telah merapuhkan kondisi dan kedaulatan manusia dalam hal
ini kaum muda untuk menemukan autentisitas dirinya dengan dunia diluar dirinya.
Selain itu, kemiskinan membuat seseorang (si miskin) merasa dirinya semakin
terasing dan imperior dari lingkungan sekitar. Kemiskianan membuat seseorang
menjadi kaku berinteraksi dalam masyarakat yang menyebabkan individu
kehilangan kebebasan. Situasi dan kondisi ini berpotensi melahirkan kekerasan
dan kriminalitas.

3.5 PERAN PEMERINTAH DALAM MENGATASI KEMISKINAN

21
Telah berbagai cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengentaskan
kemiskinan. Kebijakan pengentasan kemiskinan di Indonesia terbagi dalam 3 era
yakni Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi
1. Orde Lama
Nasionalisme yang sosialistik sebagai ilusi yang menjebak
Secara umum, pengentasan kemiskinan di era Orde lama belum menjadi
prioritas pembangunan nasional saat itu. Era Orde Lama lebih fokus pada
pembangunan stabilitas politik dan pembentukan dasar-dasar Negara dengan
konsep pembangunan ekonomi yang cenderung kearah sosialisme yang sangat
inward looking, protektif, dan nasionalstik.
Di Era Orde Lama setidaknya terdapat 2 program pengentasan kemiskinan
yang dijalankan yakni Program Benteng dan Program Reformasi Tanah (land
reform).
a. Program Benteng adalah program yang dilakukan sebagai upaya untuk
mempromosikan pembangunan dan pengembangan entrepreneurship
pribumi yang sangat bersifat nasionalistik. Kebijakan ini dikeluarkan di
era Perdana Menteri Djuanda pada april 1950 dengan memberikan
prioritas fasilitas kepada pengusaha pribumi unruk melakukan impor
barang dari luar negeri melalui kemudahan dan kemurahan untuk
mendapatkan kredit. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh geliat pengusaha
Cina di Indonesia yang menguasai sektor-sektor bisnis dari hulu dan hilir
sehingga pemerintah berinisiatif untuk Melindungi pengusaha pribumi
dalam menyaingi pengusaha Cina;
b. Satu dekade setelah Program Benteng dilaksanakan, pemerintah Orde
Lama kembali menggulirkan kebijakan yang diharapkan mampu
menciptakan kemakmuran terutama di sektor pertanian. Pada awal tahun
1960, pemerintah Orde Lama mencanangkan Program Agraria sebagai
program unggulan untuk mengentaskan kemiskinan dan kesenjangan.
Kebijakan ini sangat populis karena merupakan salah satu cita-cita
ideologis sosialisme saat itu yaitu pemberataan distribusi kekayaan
Negara. Namun kebijakan ini hanya berjaan 3-4 tahun karena terjadi
pergolakan politik yang mengubah tampuk kepemimpinan rezim.

22
2. Orde Baru
Delusi Trickle Dowmn Effect

Pada tahun 1967, Orde Baru memulai roda pemerintahan di bawah


kepemimpinan para teknokrat dari Universitas Indonesia yang dapat menekan
inflasi hingga mencapai dibawah 10%. Investasi modal asing masuk, defisit
neraca pembayaran mulai membaik dan pengelolaan fiskal yang baik, sehingga
perekonomian tumbuh cukup tinggi, yang menyebabkan tingkat kemiskinan
menurun secara drastis dari 50,6% tahun 1970 menjadi 11,3% ditahun 1996.
Faktor determinan pengentasan kemiskinan saat itu adalah tingginya pertumbuhan
ekonomi dan terkendalinya pertumbuhan penduduk serta pesatnya petumbuhan
sektor pertanian .

Setelah sukses melakukan pengelolaan fundamental makroekonomi,


pemerintah melakukan fokus dalam pembangunan infrastuktur pertanian seperti:

a. pembangunan irigasi yang mampu mengairi lahan sawah hingga 1,5


hektar.
b. mendirikan Badan Urusan Logistik (BULOG) untuk mengontrol stabilitas
harga beras.
c. menjalankan program BIMAS (Bimbingan Masyarakat) dengan
memberikan skema kredit untuk petani dan bantuan tenaga terdidik dari
pendidikan tinggi untuk mengembangkan produksi pertanian.
Pemerintah juga mengeluarkan Intruksi Presiden (Inpres) untuk
pembangunan masif sekolah-sekolah, seperti, SD Inpres, puskesmas,
jalan-jalan dan instalasi listrik di pedesaaan serta membuat program P4K
(Program Peningkatan Pendapatan Pertanian dan Kelautan) untuk
mendukung permodalan petani dan nelayan dalam menjalankan usaha
mereka.

Pada periode 1980-an hingga 1990-an pertumbuhan ekonomi yang cukup


signifikan dimana sektor industri berperan cukup banyak dalam mengurangi
angka kemiskinan

23
Lebih lanjut, pada periode ini pemerintah Orde Baru melakukan perbaikan
kebijakan dengan melihat lagi program pengentasan kemiskinan sebagai salah
satu agenda utamanya. Presiden mengeluarkan Kebijakan Inpres Desa Tertinggi
(IDT) pada tahun 1993 yang memberikan layanan dan perlakuan khusus untuk
membangun ekonomi bagi daerah-daerah pedesaan terpencil yang tertinggal.
Namun demikian bangunan ekonomi Orde Baru rapuh karena kemiskinan kembali
meningkat saat periode sebelum krisis.

3. Era Reformasi
Orang Miskin sebagai Objek Sasaran.

Krisis ekonomi 1997/1998 memunculkan inisiatif bagi pemerintah untuk


memulai sebuah konsep yang dikenal dengan Jaring Pengaman Sosial (JPS) atau
social safety-Net System. JPS adalah kebijakan yang bersifat taktis untuk
memproteksi masyarakat miskin jika terjadi guncangan krisis yang luar biasa.
Beberapa program yang berjalan waktu itu adalah :

a. OPK (Operasi Pasar Khusus) dimana pemerintah memberikan beras 10


kilogram per kelurga per bulan dengan nilai subsidi Rp 1000,-per
kilogram, kebijakan ini untuk mencegah krisis pangan.
b. Juga dikembangkan program-program lain seperti JPS-kesehatan untuk
memenuhi layanan kesehatan dasar serta program padat karya untuk
menangani melonjaknya angka pengangguran.

Di tahun 2000 dibawah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid,


pemerintah mulai menyusun dokumen yang disebut dengan Interm-Poverty
Reducation Strategis Paper (I-PRSP) yang kemudian menjadi landasan
terbentuknya BKPK (Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan).

Pasca jatuhnya Abdurahman Wahid, Megawati sebagai penggantinya


mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 124 Tahun 2001 tentang pergantian
nama BKPK menjadi KPK (Komite Penanggulangan kemiskinan) yang dipimpin
langsung oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) dan
berkoordinasi dengan BAPPENAS. Pada tahun 2003, pemerintah telah berhasil

24
menyempurnakan I-PRSP dan meresmikannya menjadi Strategi Nasional
Penaggulangan Kemiskinan (SNPK).

SNPK berisi lima strategi utama penanggulangan kemiskinan yakni


meningkatkan kesemptan dan kapabilitas masyarakat miskin, memperkuat
institusi masyarakat, meningkatkan kapasitas masyarakat, mendorong tumbuh dan
berkembangnya sistem perlindungan sosial, dan mendorong terciptanya kerja
sama global yang lebih baik lagi. Sedangkan rencana aksi yang menjadikan fokus
kerja adalah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat
miskin yakni:

1. Ketersediaaan makanan yang layak dan terjangkau


2. Pemenuhan layanan kesehatan dasar terjamin
3. Pemenuhan kebutuhan untuk meneruskan pendidikan kejenjang yang lebih
tinggi
4. Pengembangan usaha kecil menengah dan penciptaan kesempatan kerja
yang luas
5. Penyediaan rumah tinggal yang layak dan murah
6. Tersedianya fasilitas air dan sanitasi yang bersih
7. Status kepemilikan lahan dan keadilan
8. Pengembangan ekonomi yang ramah lingkungan dan kemanfaatan sumber
daya alam yang optimal namum proporsional
9. Peningkatan keamanan baik domestik dan luar negeri
10. Partispasi dalam proses pembuatan kebijakan yang lebih bijak.

Di pemerintahan SBY periode I dan II SNPK diterjemahkan kedalam


beberapa program pro-rakyat yang tebagi menjadi 4 klaster. Yang masing-masing
klaster memiliki peranan yang berbeda karena karakteristik masyarakat atau
rumah tangga yang ditargetkan berbeda.

Klaster I:

Bantuan Sosial (Social Assistance)

25
Klaster I merupakan program pengentasan kemiskinan yang berupa
pemberian bantuan sosial (social asssitance) dengan cara memberikan proteksi
dan promosi kepada masyarakat miskin agar mampu menjalani kehidupan mereka
dengan baik

Program-program dalam klaster I adalah sebagai berikut

1. Program Keluarga Harapan (PKH)


PKH adalah bantuan tunai langsung bersyarat yang diberikan kepada
rumah tangga yang sangat miskin (extremely poor) dengan tujuan untuk
membantu mereka agar mampu membiayai kebutuhan utama yaitu
pendidikan dasar dan kesehatan.
2. Program jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Program ini adalah kelanjutan dari JPS-kesehatan. Jamkesmas ini
merupakan program bantuan langsung pemerintah berupa layanan
kesehatan gratis atau murah yang dperuntukkan bagi rumah tangga miskin
atau rentan miskin.
3. Program Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin).
Program ini adalah penyempurnaan dari program Operasi Pasar (OPK).
Yang pertama kali dicetuskan pada tahun 1998 untuk memenuhi
kebutuhan pangan dengan harga pasar. Program ini ditujukan bagi rumah
tangga miskin dan rentan miskin dengan cakupan mencapai sekitar 17,5
juta rumah tangga sasaran.
4. Program bantuan langsung tunai (BLT)
BLT adalah bentuan uang tunai yang diberikan langsung oleh pemerintah
kepada masyarakat miskin dan rentan miskin tanpa ada syarta tertentu.
5. Program Bantuan Siswa Miskin (BSM).
BSM adalah bantuan uang tunai bersyarat yang diperuntukkan bagi siswa
dari rumah tangga miskin nilai manfaat sekitar Rp 600 ribu untuk siswa
sekolah dasar hingga Rp 1,2 juta untuk mahasiswa Universitas.
6. Jaminan Sosial Lanjut Usia (JLSU), Jaminan Sosial Penyandang Cacat
Berat (JSPCA), dan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)

26
Program ini adalah program uji coba yang sifatnya tunai bersyarat dan in-
kind transfer dalam bentuk layanan.

Klaster II:

Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment)

Pada klaster II ini yang menjadi sasaran program adalah suatu daerah (desa
atau kecamatan). Program utamanya adalah Program Nasional Pemberdayaan
masyarakat (PNPM), yang pada dasarnya adalah mengintegrasikan program-
program pemberdayaan yang sebelumnya mungkin sudah berjalan. PNPM
mengintegrasikan, mengkonsolidasikan dan mengkoordinasikan semua program
tersebut sehingga PNPM terkelola dengan lebih baik lagi, mudah dalam
pengawasannya dan eveluasinya, serta tentu hasilnya diharapkan bisa lebih
optimal. PNPM adalah pemberian bantuan tunai langsung kepada kecamatan
dengan nilai proyek sebesar 500 juta hingga 1 miliar per kecamatan.

Klaster III:

Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (Small-Micro and Medium


Enterprise Empowerment)

Program klaster ketiga ini diperuntukkan bagi rumah tangga miskin atau
rentan miskin yang memiliki usaha kecil, namun belum berkembang dengan baik
sehingga perlu bantuan dana untuk mendorong usahanya agar bisa berlanjut dan
berkembang lebih baik lagi. Beberapa program yang sudah berjalan yang
termasuk dalam kategori klaster ketiga ini antara lain:

 KUBE (Kelompok Usaha Bersama), yakni bantuan dana dari Kementrian


Sosial untuk kelompok masyarakat miskin yang bertujuan untuk
menjalankan atau mengembangkan usaha bersama.
 PPEMP (Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir), program
ini untuk menjangkau masyarakat pesisir yang selama ini kurang
mendapat perhatian dalam mengembangkan usaha yang sumber dananya
berasal dari Kementrian Kelautan dan Perikanan.

27
 P4NK (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil ) yakni
Program kredit lunak atau hibah yang diberikan kepada petani atau
nelayan untuk menjalankan kegiatan atau usahanya dan dana ini diberikan
oleh Kementrian Pertanian.

Pemerintah juga menjalankan Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang


bekerjasama dengan PT.askrindo dan PT. Jamkrido untuk menjamin
pembiayaan usaha kecil menengah yang masih belum layak mendapat
pinjaman bank (unbankable).

Klaster IV:

Program Murah untuk Rakyat

Program ini disusun untuk memberikan keringanan dan kemudahan bagi rumah
tangga miskin dan hampir miskin agar bisa memiliki rumah yang layak tinggal
dengan fasilitas rumah yang memenuhi standar minimal kesehatan dan
kebersihan, menyediakan listrik yang terjangkau, menyediakan tranportasi murah,
meningkatkan kehidupan masyarakat miskin perkotaan, dan lain-lain. Program
murah untuk rakyat ini ditunjukkan agar rumah tangga miskin dapat memenuhi
beberapa kebutuhan primer dalam hidupnya dan meningkatkan affordability
dalam memenuhinya. Pemerintah menyediakan anggaran sebesar Rp 5,3 triliun
untuk program Klaster IV dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2012.

28
BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah sebenarnya


sudah cukup banyak dan pelaksanaan program-program yang telah dilakukan
didesain dengan sangat baik secara konseptual. Namun ternyata terlihat beberapa
kekurangan dalam proses implementasinya yang secara efekti dan signifikan bagi
kelompok masyrakat yang menjadi sasaran yang menjadi sasaran program
sebagamana mestinya. Hal ini terlihat dari perkembangan jumlah dan persentase
penduduk miskin dari waktu ke waktu sejak tahun 1976 hingga 2011
menunjukkan tren penurunan yang menggembirakan.
Namun tetap saja jumlah penduduk miskin di Indonesia menunjukkan angka
yang besar, dengan bahaya yang menanti akibat kemiskinan yang akan
menimbulkan berbagai tindak kejahatan dan kriminalitas. Sehingga pengentasan
kemiskinan perlu digalakkan. Mengingat usaha pemerintah dalam mengentaskan

29
kemiskinan terus dilakukan dari jaman orde lama hingga orde reformasi belum
cukup kuat untuk menahan laju kemiskinan di Indonesia.

4.2 SARAN

Perlu ditingkatkan kembali pelaksanaan dan pengawasan melalui tata


kelola dan data kependudukan terhadap bantuan program bantuan sosial agar
target yang diharapkan dari program ini memenuhi targetnya secara tepat.

Selain itu, sosialisasi program bantuan sosial perlu ditingkatkan agar


kelompok rumah tangga yang menjadi target sasaran memahamibagaimanacara
mendapatkannyasecara benar dan seberapa besar hak yang mereka dapatkan dan
menyadari manfaat dan keuntungan dari program tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Stamboel,Kemal Azis. 2012. Panggilan Keberpihakan. Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama.
Suyanto, Bagong. 1996. Perangkap Kemiskinan, Problem dan Strategi
Pengentasan Dalam Pembangunan Desa. Yogyakarta: Aditya Media.
Suharto, Edi.2009. Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia. Bandung:
ALFABETA.
Houghton, Jonathan, dan Shahidur R. Khandker. 2012. Pedoman Tentang
Kemiskinan Dan Ketimpngan. Jakarta: Salemba Empat.
SYAIFULLAH, Chavchay. Generasi muda menolak kemiskinan. Cempaka Putih,
2008

30

Anda mungkin juga menyukai