KEMISKINAN DI INDONESIA
Kelas SBD.02
Oleh :
Tantik Dahlia
NIM. 130810201048
UNIVERSITAS JEMBER
Mei, 2014
1
KATA PENGANTAR
Harapan saya semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu
acuan, petunjuk maupun pedoman, juga membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga untuk kedepannya saya dapat
memperbaiki bentuk maupun isi dari makalah ini dengan lebih baik.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu segala kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk penyempurnaan
makalah ini, dari siapapun datangnya, penulis akan menerima dan menyambutnya
dengan segala kerendahan hati.
Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah Yang Maha Kuasa senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Penulis
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………….………………..….….i
KATA PENGANTAR……………………………………..…………….……......ii
DAFTAR ISI……………………………………………………...........................iii
BAB I
PENDAHULUAN……………………………………………..…..........................1
1.1. Latar Belakang ………..………………………………………………...
……1
1.2. Rumusan Masalah…………...
………………………………………………..2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA…………..……………………………………….……....3
2.1. Pengertian dan Jenis Kemiskinan……………... ………..………..…….….....3
2.2. Kategori Orang Miskin…… ……………………….…………………….…..4
2.3 Karakteristik Kemiskinan Di Indonesia…………………………………….…6
BAB III
PEMBAHASAN…………………………………………………………............10
3.1. Fenomena Kemiskinan Di Indonesia …………….........................................10
3.2.Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan…….………………..………………...13
3.3. Hambatan Utaman Yang Menyebabkan Masyarakat Indonesia Terperangkap
Dalam Kemiskinan ……………………………………………….……………...16
3.4. Dampak Kemiskinan Di Indonesia………………………………………….17
3.5. Peran Pemerintah Dalam Mengatasi Kemiskinan...........................................18
BAB IV
PENUTUP…………………………………………………………….………….26
4.1 Kesimpulan………………………..…………………………………………26
4.2 Saran………………………….……………………….……………………..26
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………................27
3
BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini, kemiskinan telah menjadi isu sosial sekaligus isu politik yang
banyak dibicarakan diberbagai kalangan, baik kaum politisi maupun kaum
cendekiawan. Dimana saat ini kita hidup dijaman millennium yang sejatinya
ditandai oleh modernisasi, kemajuan peradaban dan kualitas hidup umat manusia.
Kenyataaanya, dunia masih menyimpan paradox dan tetap menyisakan nestapa,
terutama bagi kaum papa di Negara Negara berkembang.
4
program penanggulangan dan pengentasan kemiskinan yang bersifat keberpihakan
kepada kelompok miskin.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
yang diterima oleh kelompok penduduk dengan kelas pendapatan lainnya.
menurut kriteria Bank Dunia:
Siapakah orang miskin itu? Terkait dengan pertanyan ini, kita sering
diselimuti tanda tanya perihal kemiskinan, mengapa orang menjadi miskin?
Bagaimanakah kondisi seseorang yang bisa dikatakan miskin? Hal ini muncul
ketika kita melihat fenomena mutakhir di tengah masyarakat yang menunjukkan
ketidaksejahteraan kriteria miskin dan tidak miskin. Misalnya, dalam kasus
bantuan langsung tunai (BLT) dan beras miskin (RASKIN) ribuan orang
berbondong mengambil jatah orang miskin dengan ragam dan variannya.
Pertanyaan itu muncul ketika kita melihat diantara kerumunan yang tidak
semuanya secara fisik terlihat miskin dalam antrean, baik raskin maupun BLT
yang belum lama ini berlangsung menyusul kebijakan konpensasi kenaikan harga
bahan bakar minyak. Kategori miskin semakin pudar ketika banyak menemukan
7
orang mengantre dengan pakaian, perhiasan, dan kendaraan yang tidak layak
dikatakan miskin secara ekonomi. Untuk menjawab itu, setidaknya kita patut
melihat dan mengkategorikan layak atau tidak layaknya seseorang masuk dalam
kategori miskin.
8
Seseorang dikatakan miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis
kemiskinan, tetapi masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya.
Kemiskinan kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok
masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan sekalipun
usaha dari pihak lain yang membantunya.
Karakteristik 1:
Karakteristik 2:
Jumlah rumah tangga petani meningkat sekitar 5 juta dalam kurun waktu
1993-2003 dari 20,8 juta menjadi 25,4 juta atau dengan kata lain meningkat rata-
9
rata 2,2% pertahun. Namun peningkatan ini juga diikuti dengan peningkatan
jumlah petani gurem/subsisten yang pada tahun 1993 hanya berjulah 10,8 juta
jiwa menjadi 13,7 juta jiwa pada tahun 2003 atau meningkat sekitar 2,6% per
tahunnya. Dengan demikian persentase rata-rata peningkatan jumlah petani
guren/subsiten lebih tinggi 0,3% dari peningkatan rata-rata jumlah rumah tangga
petani.
Karakteristik 3:
Karakteristik 4:
Karakteristik 5:
10
harga kedua jenis komoditas tersebut. Dari dua jenis komoditas, makanan dan
non-makanan, terhitung bahwa mayoritas pengeluaran masyarakat miskin yang
74% digunakan untuk pembelian komoditas makanan sedangkan 26% digunakan
untuk pembelian komoditas non-makanan. Dari total pengeluaran untuk makanan
tersebut, beras adalah penyumbang terbesar dengan proporsi sebesar 25,2% untuk
rumah tangga miskin yang tinggal di perkotaan sebesar 34,11% untuk rumah
tangga miskin pedesaan. Oleh karena itu, kebijakan stabilitas harga terutama beras
sangat signifikan pengaruhnya terhadap upaya proteksi rumah tangga miskin.
Karakteristik 6:
Menurut data BPS, per Maret 2011 jumlah penduduk miskin tercatat
sebesar 30,02 juta jiwa. Jika dibandingkan dengan data per Maret 2010, dimana
penduduk miskin berjumlah 31,02 juta orang atau 13,33% maka terjadi penurunan
1 juta jiwa dalam setahun terakhir. Namun penurunan tersebut melambat jika
dibandingkan dengan pencapaian tahun sebelumnya yang berhasil mengentaskan
kemiskinan hingga 1,5 juta jiwa sementara pertumbuhan penduduk ekonomi
nasional tahun 2011 meningkat drastis menjadi 6,5% dari tahun 2010 yang hanya
6,1%. Dengan kata lain, laju pengurangan kemiskinan tidak sebanding dengan
laju pertumbuhan ekonomi.
Karakteristik 7:
11
Kemiskinan bersifat multidimensi
Jika kita membaca kembali data Susenas 2009 BPS, hati kita akan semakin
gelisah karena kemiskinan multidimensional masih merupakan fenomena umum
yang terjadi di masyarakat kita. Dari sisi kesehatan, jumlah kematian balita per
1000 kelahiran mencapai 60,1% di daerah perdesaan dan 37,8% untuk perkotaan.
Persentase penduduk yang tinggal di rumah yang tidak layak tinggal, kurang akses
sanitasi, dan tidak memiliki MCK yang baik mencapai angka 50,42% untuk
daerah pedesaan dan 15,05% untuk perkotaan. Dari sisi pendidikan, masyarakat
kita juga masih mengalami nasib yang mengenaskan. Selain itu kekurangan akses
pada air bersih juga menjadi masalah yang serius.
12
BAB III
PEMBAHASAN
Data dari BPS (1999) juga memperlihatkan bahwa selama periode 1996-
1998 telah terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin hampir sama di wilayah
pedesaan dan perkotaan. Di wilayah pedesaan angka kemiskinan meningkat
menjadi 62,72%, sementara diperkotaan meningkat menjadi 61,1%. Secara
agregat, persentase peningkatan penduduk miskin terhadap total populasi memang
lebih besar di wilayah pedesaan (7,78%) dibandingkan dengan di perkotaan
(4,72%). Akan tetapi, selama 2 tahun terakhir secara absolute jumlah orang
miskin meningkat sekitar 140% atau 10,4 juta juwa di wilayah perkotaan,
sedangkan di pedesaan sekitar 105% atau 16,6 juta jiwa.
13
Thorbecke (1999), setidaknya ada dua penjelasan atas hal ini. Pertama, krisis
cenderung memberi pengaruh lebih buruk pada beberapa sektor ekonomi utama di
perkotaan, seperti perdagangan, perbankan , dan konstruksi. Sektor-sektor ini
membawa dampak negatif dan memperparah pengangguran di perkotaan. Kedua,
pertambahan harga bahan makanan kurang berpengaruh terhadap penduduk
pedesaan karena mereka masih dapat memenuhi kebutuhan dasarnya melalui
sistem produksi subsistem khususnya yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan
makanan tidak terlalu dominan pada masyarakat perkotaan.
Angka kemiskinan ini jauh lebih besar jika dalam kategori kemiskinan
dimasukkan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang kini
jumlahnya mencapai lebih dari 21 juta orang. PMKS meliputi gelandangan,
pengemis, anak jalanan, yatim piatu dan jompo telantar, dan penyandang cacat
yang tidak memiliki pekerjaan atau memiliki pekerjaan tetapi tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum kondisi PMKS lebih
memprihatinkan daripada kelompok orang miskin. Selain memiliki kekurangan
pangan, sandang dan papan, psikologi, sosial dan politik terutama menghinggapi
para pemuda di negeri ini.
14
besar. Namun demikinan seperti halnya dua kelompok masyarakat diatas, kondisi
sosial ekonomi pekerja sektor informal masih berada dalam keadaan miskin dan
rentan.
15
United nations Development Programme (UNDP), maupun garis kemiskinan $2
perhari yang dikembangkan Bank Dunia (The World Bank).
Pada tahun 2007, jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah 37,17 juta
orang. Satu tahun sebelumnya jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak
39,30 juta. Meskipun terjadi penurunan sebesar 2,13 juta jiwa, angka ini tetap
besar. Angka kemiskinan ini menggunakan poverty line dari BPS sekitar Rp.
5.500 perkapita perhari. Jika menggunakan poverty line dari Bank Dunia sebesar
$2 per kapita per hari, diperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia berkisar
antara 50-60% dari total penduduk.
16
Di Negara-negara maju, kemiskinan labih bersifat individual. Misalnya,
akibat mengalami kecacatan (fisik atau mental), kekuatan, sakit yang parah dan
berkepanjangan, atau kecanduan alkohol. Kondisi ini biasanya melahirkan kaum
tuna wisma yang berkelana kesana kemari atau keluarga keluarga tunggal (single
parents atau single families, dan umunya dialami ibu-ibu tunggal atau (single
parents) yang hidupnya tergantung pada bantuan sosial dari pemerintah, seperti
kupon makanan (food-stamp) atau tunjangan keluarga yang di AS disebut
program TAN (temporary assistance for needy families) atau di Indonesia
dinamakan PKH (Program Keluarga Harapan).
1. Faktor individual.
Terkait dengan aspek patologis, termasuk kondisi fisik dan psikologis si
miskin. Orang miskin disebabkan oleh perilaku, pilihan, atau kemampuan
dari si miskin itu sendiri dalam menghadapi kehidupannya.
2. Faktor sosial.
Kondisi-kondisi lingkungan sosial yang menjebak seseorang menjadi
miskin. Misalnya, diskriminasi berdasarkan usia, gender, etnis, yang
menyebabkan seseorang menjadi miskin. Termasuk dalam faktor ini
adalah kondisi sosial dan ekonomi keluarga si miskin yang biasanya
menyebabkan kemiskinan antar generasi;
3. Faktor kultural.
Kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan. Faktor ini
secara khusus sering merujuk pada konsep “kemiskinan kultural” atau
17
“budaya kemiskinan” yang menghubungkan kemiskinan dengan kebiasaan
hidup atau mentalitas. Penelitian Oscar Lewis di Amerika Latin
menemukan bahwa orang miskin memiliki sub-kultur atau kebiasaan
tersendiri, yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Sikap-sikap
negatif seperti malas, fatalisme atau menyerah pada nasib, tidak memiliki
jiwa wirausaha, kurang menghormati etos kerja, misalnya, sering
ditemukan pada orang orang miskin;
4. Faktor struktural.
Menunjuk pada struktur atau sistem yang tidak adil, tidak sensitif dan
tidak accessible sehingga menyebabkan seseorang atau sekelompok orang
menjadi miskin. Sebagai contoh, sistem ekonomi neoliberalisme yang
diterapkan di Indonesia telah menyebabkan para petani, nelayan, dan
pekerja sektor informal terjerat oleh kemiskinan, dan sulit keluar dari
kemiskinan. Sebaliknya, stimulus ekonomi, pajak dan iklim investasi lebih
menguntungkan orang kaya dan pemodal asing untuk terus memupuk
kekayaan.
Dengan menggunakan perspektif yang lebih luas lagi, David Cox (2004:1-6)
membagi kemiskinan kedalam beberapa dimensi (Lihat Suharto,2008b):
1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi.
Globalisasi melahirkan Negara pemenang dan kalah. Pemenang umumnya
adalah Negara-negara maju. Sedangkan Negara-negara berkembang
seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang
merupakan prasyarat globalisasi.
2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan.
Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan),
kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam
proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang
disebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan).
3. Kemiskinan sosial.
Kemiskinan yang di alami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok
minoritas akibat kondisi sosial yang tidak menguntungkan mereka, seperti
bias gender, diskriminasi atau eksploitasi ekonomi.
18
4. Kemiskinan konsekuensional.
Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor
eksternal diluar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan
lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk.
1. Hambatan struktural
Tatanan struktural yang tidak memihak orang miskin
Hambatan struktural adalah sebuah kondisi kemiskinan yang diakibatkan
oleh kebijakan dan tatanan ekonomi yang tidak berpihak kepada orang
miskin. Orang miskin akan selamanya miskin jika tidak ada perbaikan
struktural yang mengubah kondisi yang ada menjadi lebih baik.
2. Hambatan Sumber Daya Manusia
Kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas
Dalam konteks kemiskinan di Indonesa, mayoritas masyarakat mengalami
kemiskinan multidimensi yang parah. Tingkat pendidikan, keahlian dan
keterampilan mereka rendah, pengenalan terhadap teknologi juga masih
sangat minim, serta pemenuhan standart hidup seperti kesehatan dasar dan
fasilitas tempat tinggal juga rendah. Jadi, seandainya hambatan struktural
dapat diselesaikan, namun kapabilitas sumber daya manusia tidak
ditingkatkan maka optimalisasi penggunaan sumber daya yang sudah
disediakan tidak akan bisa dilakukan dengan baik karena pada akhirnya,
manusialah yang akan memanfaatkan semua sumber daya yang tersedia.
3. Hambatan institusi
Kelembagaan yang rapuh
Hambatan yang ketiga adalah upaya pemberantasan di hulu adalah
hambatan institusi. Mengapa institusi menjadi penting? Karena
kemiskinan tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor yang ditimbulkan
oleh faktor-faktor yang ditimbulkan oleh fenomena ekonomi belaka tetapi
19
juga oleh proses interaksi antara fenomena ekonomi, sosial, dan budaya,
dan media interaksi fenomena-fenomena tersebut tak lain adalah institusi.
Data World Economic Forum (2011) menunjukkan bahwa kondisi makro-
ekonomi yang terus sehat dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang relative
stabil ternyata tidak di iringi oleh perkembangan institusi yang memadai.
Menutut laporan tersebut kondisi makro-ekonomi kita berada di peringkat
35 sedangkan kualitas institusi masih berada di peringkat 61 yang
dibandingkan dengan tahun sebelumnya di posisi 58, berarti kualitas kita
menurun. Hal ini tentu mengherankan mengingat kualitas institusi atmosfir
demokrasi kita semakin terbuka. Kualitas institusi kita yang rendah ini
pada akhirnya akan berdampak terhadap buruknya iklim usaha dan
investasi serta pasar yang menjadi tidak efektif dan tidak efisiensi karena
begitu banyaknya inefisiensi di institusi pemerintahan.
4. Hambatan Sosial Budaya
Budaya yang menghambat
Hambatan yang keempat yang menciptakan belenggu kemiskinan adalah
hambatan sosial budaya. Yang dimaksud dengan hambatan sosial budaya
adalah hambatan berupa sistem budaya kerja yang tidak produktif yang
masih tetap dan terus dijalankan di sebagian besar masyarakat. Dalam
konteks pengentasan kemiskinan di sektor pertanian dan pedesaan,
hambatan ini muncul sebagai sebuah fakta yang nyata dan terus berjalan
seolah-olah tidak ada perubahan ke arah sistem budaya kerja yang baik .
20
Kemiskinan mempunyai dampak negatif yang bersifat menyebar
(multiplier effect) keseluruh tatanan kemasyarakatan. Kemiskinan dapat
membunuh mimpi generasi muda Indonesia dalam mengangkat masa depan.
Bagaimana generasi muda kedepan dapat membayangkan cerahnya masa depan
apabila pada hari ini mereka dihantui antara makan dan tidaknya esok.
Oleh karena itu, lorong kemiskinan dengan segala bentuk dan varian diatas
secara eksistensial telah merapuhkan kondisi dan kedaulatan manusia dalam hal
ini kaum muda untuk menemukan autentisitas dirinya dengan dunia diluar dirinya.
Selain itu, kemiskinan membuat seseorang (si miskin) merasa dirinya semakin
terasing dan imperior dari lingkungan sekitar. Kemiskianan membuat seseorang
menjadi kaku berinteraksi dalam masyarakat yang menyebabkan individu
kehilangan kebebasan. Situasi dan kondisi ini berpotensi melahirkan kekerasan
dan kriminalitas.
21
Telah berbagai cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengentaskan
kemiskinan. Kebijakan pengentasan kemiskinan di Indonesia terbagi dalam 3 era
yakni Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi
1. Orde Lama
Nasionalisme yang sosialistik sebagai ilusi yang menjebak
Secara umum, pengentasan kemiskinan di era Orde lama belum menjadi
prioritas pembangunan nasional saat itu. Era Orde Lama lebih fokus pada
pembangunan stabilitas politik dan pembentukan dasar-dasar Negara dengan
konsep pembangunan ekonomi yang cenderung kearah sosialisme yang sangat
inward looking, protektif, dan nasionalstik.
Di Era Orde Lama setidaknya terdapat 2 program pengentasan kemiskinan
yang dijalankan yakni Program Benteng dan Program Reformasi Tanah (land
reform).
a. Program Benteng adalah program yang dilakukan sebagai upaya untuk
mempromosikan pembangunan dan pengembangan entrepreneurship
pribumi yang sangat bersifat nasionalistik. Kebijakan ini dikeluarkan di
era Perdana Menteri Djuanda pada april 1950 dengan memberikan
prioritas fasilitas kepada pengusaha pribumi unruk melakukan impor
barang dari luar negeri melalui kemudahan dan kemurahan untuk
mendapatkan kredit. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh geliat pengusaha
Cina di Indonesia yang menguasai sektor-sektor bisnis dari hulu dan hilir
sehingga pemerintah berinisiatif untuk Melindungi pengusaha pribumi
dalam menyaingi pengusaha Cina;
b. Satu dekade setelah Program Benteng dilaksanakan, pemerintah Orde
Lama kembali menggulirkan kebijakan yang diharapkan mampu
menciptakan kemakmuran terutama di sektor pertanian. Pada awal tahun
1960, pemerintah Orde Lama mencanangkan Program Agraria sebagai
program unggulan untuk mengentaskan kemiskinan dan kesenjangan.
Kebijakan ini sangat populis karena merupakan salah satu cita-cita
ideologis sosialisme saat itu yaitu pemberataan distribusi kekayaan
Negara. Namun kebijakan ini hanya berjaan 3-4 tahun karena terjadi
pergolakan politik yang mengubah tampuk kepemimpinan rezim.
22
2. Orde Baru
Delusi Trickle Dowmn Effect
23
Lebih lanjut, pada periode ini pemerintah Orde Baru melakukan perbaikan
kebijakan dengan melihat lagi program pengentasan kemiskinan sebagai salah
satu agenda utamanya. Presiden mengeluarkan Kebijakan Inpres Desa Tertinggi
(IDT) pada tahun 1993 yang memberikan layanan dan perlakuan khusus untuk
membangun ekonomi bagi daerah-daerah pedesaan terpencil yang tertinggal.
Namun demikian bangunan ekonomi Orde Baru rapuh karena kemiskinan kembali
meningkat saat periode sebelum krisis.
3. Era Reformasi
Orang Miskin sebagai Objek Sasaran.
24
menyempurnakan I-PRSP dan meresmikannya menjadi Strategi Nasional
Penaggulangan Kemiskinan (SNPK).
Klaster I:
25
Klaster I merupakan program pengentasan kemiskinan yang berupa
pemberian bantuan sosial (social asssitance) dengan cara memberikan proteksi
dan promosi kepada masyarakat miskin agar mampu menjalani kehidupan mereka
dengan baik
26
Program ini adalah program uji coba yang sifatnya tunai bersyarat dan in-
kind transfer dalam bentuk layanan.
Klaster II:
Pada klaster II ini yang menjadi sasaran program adalah suatu daerah (desa
atau kecamatan). Program utamanya adalah Program Nasional Pemberdayaan
masyarakat (PNPM), yang pada dasarnya adalah mengintegrasikan program-
program pemberdayaan yang sebelumnya mungkin sudah berjalan. PNPM
mengintegrasikan, mengkonsolidasikan dan mengkoordinasikan semua program
tersebut sehingga PNPM terkelola dengan lebih baik lagi, mudah dalam
pengawasannya dan eveluasinya, serta tentu hasilnya diharapkan bisa lebih
optimal. PNPM adalah pemberian bantuan tunai langsung kepada kecamatan
dengan nilai proyek sebesar 500 juta hingga 1 miliar per kecamatan.
Klaster III:
Program klaster ketiga ini diperuntukkan bagi rumah tangga miskin atau
rentan miskin yang memiliki usaha kecil, namun belum berkembang dengan baik
sehingga perlu bantuan dana untuk mendorong usahanya agar bisa berlanjut dan
berkembang lebih baik lagi. Beberapa program yang sudah berjalan yang
termasuk dalam kategori klaster ketiga ini antara lain:
27
P4NK (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil ) yakni
Program kredit lunak atau hibah yang diberikan kepada petani atau
nelayan untuk menjalankan kegiatan atau usahanya dan dana ini diberikan
oleh Kementrian Pertanian.
Klaster IV:
Program ini disusun untuk memberikan keringanan dan kemudahan bagi rumah
tangga miskin dan hampir miskin agar bisa memiliki rumah yang layak tinggal
dengan fasilitas rumah yang memenuhi standar minimal kesehatan dan
kebersihan, menyediakan listrik yang terjangkau, menyediakan tranportasi murah,
meningkatkan kehidupan masyarakat miskin perkotaan, dan lain-lain. Program
murah untuk rakyat ini ditunjukkan agar rumah tangga miskin dapat memenuhi
beberapa kebutuhan primer dalam hidupnya dan meningkatkan affordability
dalam memenuhinya. Pemerintah menyediakan anggaran sebesar Rp 5,3 triliun
untuk program Klaster IV dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2012.
28
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
29
kemiskinan terus dilakukan dari jaman orde lama hingga orde reformasi belum
cukup kuat untuk menahan laju kemiskinan di Indonesia.
4.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA
30