Anda di halaman 1dari 31

Referat

Peran Citicoline dan Piracetam Sebagai Neuroprotektor


pada Stroke

dr. Ipak Nistriana

Pembimbing

Dr. dr. Imran,M.Kes., SpS

Departemen/SMF Neurologi

Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

RSUD dr Zainoel Abidin

Juli 2017
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..........................................................................................i


DAFTAR ISI ......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................3


BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN ...........................................................5
2.1 Stroke dan Proses Patologi yang Mendasarinya .............................. 5

2.2 Target Neuroproteksi pada Stroke ................................................... 7


2.2.1 Inflamasi .................................................................................. 7
2.2.2 Stress Oksidatif ....................................................................... 8
2.2.3 Kerusakan sawar darah otak.................................................... 8
2.2.4 Eksitotoksisitas........................................................................ 9
2.2.5 Apoptosis ................................................................................ 9
2.2.6 Autofagi .................................................................................. 10

2.3 Neuroproteksi pada Stroke Hemoragik dan Iskemik ....................... 12


2.4 Peran Citicoline sebagai Neuroprotektor ......................................... 13
2.4.1 Struktur.................................................................................... 13
2.4.2 Mekanisme Aksi ..................................................................... 13
2.4.3 Farmakokinetik 14
2.4.4 Indikasi dan Kontraindikasi .................................................... 15
2.4.5 Dosis dan Administrasi ........................................................... 15
2.4.6 Efek Samping .......................................................................... 15
2.4.7 Studi Keefektifan .................................................................... 16

2.5 Peran Piracetam sebagai Neuroprotektor ......................................... 19


2.5.1 Struktur dan Mekanisme Kerja ............................................... 19
2.5.2 Dosis dan Farmakokinetik ...................................................... 20
2.5.3 Studi Efektivitas ...................................................................... 21
2.5.4 Kontraindikasi ......................................................................... 25

BAB III KESIMPULAN ...................................................................................26


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................27

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Stroke merupakan penyakit terbanyak ketiga setelah penyakit jantung dan


kanker, serta merupakan penyakit penyebab kecacatan tertinggi di dunia.(1,2)
Menurut American Heart Association (AHA), pada tahun 2010 prevalensi stroke
mencapai angka 33 juta pasien di dunia. Stroke adalah penyebab kematian ke-5 di
Amerika dengan angka penderita sebanyak 795.000 pasien/tahun dan pasien yang
meninggal sebanyak 129.000 jiwa.(2) Hampir setengah dari pasien stroke yang
selamat mengalami kecacatan dari yang ringan sampai berat.(3)
Angka kematian akibat stroke diperkirakan sebanyak 24-38 orang setiap
tahun di negara-negara Uni Eropa, seperti Perancis, Italia, Inggris, dan Jerman.(3)
Asia yang sebagian besar merupakan negara berkembang memiliki jumlah
penderita lebih banyak.(4) Peningkatan ini disebabkan perkembangan ekonomi dan
gaya hidup tidak sehat. Sehingga angka kematian dan kecacatan akibat stroke
menempati urutan tertinggi di Asia.(5) Data yang dikumpulkan Yayasan Stroke
Indonesia (Yastroki), jumlah penderita stroke di Indonesia menempati urutan
pertama di Asia. Sehingga stroke menjadi suatu permasalahan yang penting untuk
diatasi.(1)
Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi penyakit stroke di
Indonesia meningkat seiring bertambahnya umur. Kasus stroke tertinggi yang
terdiagnosis tenaga kesehatan terjadi pada usia >75 tahun (43,1%) dan terendah
pada kelompok usia 15-24 tahun (0,2%). Prevalensi berdasarkan jenis kelamin
yaitu lebih banyak pada laki-laki (7,1%) dibandingkan dengan perempuan (6,8%).
Berdasarkan tempat tinggal, prevalensi di perkotaan lebih tinggi (8,2%)
dibandingkan dengan daerah pedesaan (5,7%). Berdasarkan data 10 besar
penyakit terbanyak di Indonesia tahun 2013, prevalensi kasus stroke di Indonesia
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan meningkat dari sebesar 8,3 per mil (2007)
dan 12,1 per mil (2013) untuk yang terdiagnosis memiliki gejala stroke.
Prevalensi tertinggi terdapat di provinsi Sulawesi Utara (10,8%) dan terendah di
provinsi Papua (2,3%). Provinsi Aceh memiliki angka kejadian sebanyak 6.6%.(6)

3
Stroke hemoragik terjadi bila arteri yang memperdarahi otak pecah
sehingga menumpahkan darah ruang yang mengelilingi sel-sel otak atau akibat
pecahnya aneurisma.(7)
Tujuan utama manajemen akut pada stroke hemoragik adalah untuk
meningkatkan luaran (outcome) stroke melalui perbaikan tatalaksana
kegawatdaruratan dan intervensi secara dini. Regulasi tekanan darah, dan kontrol
tekanan intrakranial adalah pendekatan terapeutik utama. Beberapa tahun terakhir,
beberapa agen terapi terbaru disebut “agen neuroprotektor” telah dikembangkan
dalam manajemen stroke dengan tujuan memperbaiki metabolisme otak yang
terganggu akibat stroke akut.(8) Salah satu dari obat-obat ini adalah Citicoline dan
Piracetam.
Untuk itu, dalam referat ini dijelaskan beberapa mekanisme neuroproteksi
dari Citicoline dan Piracetam pada kasus stroke

4
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Stroke dan Proses Patologi yang Mendasarinya

Stroke adalah kelainan neurologis yang bersifat umum yang terjadi secara
akut dan disertai gejala-gejala defisit neurologis yang bertahan lebih dari 24 jam.
Gejala ini merupakan manifestasi dari penyumbatan atau pecahnya pembuluh
darah di otak.(7) Stroke salah satu penyebab utama kematian dan disabilitas di
seluruh dunia. Proses-proses yang terjadi dalam stroke iskemik meliputi inflamasi,
eksitotoksisitas, stres oksidatif, apoptosis, dan edema akibat rusaknya sawar
darah-otak.(2) Pada stroke hemoragik, proses tambahan yakni kerusakan fisik dari
massa akibat akumulasi darah sendiri, sitotoksisitas dari komponen darah, dan
vasospasme akibat pendarahan subaraknoid (3,4).

Stroke hemoragik memiliki angka insidensi yang lebih rendah


dibandingkan stroke iskemik yakni antara 8-18% dari kasus stroke. Akan tetapi,
stroke hemoragik memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan
stroke iskemik. Pasien dapat menunjukkan gejala defisit neurologis yang mirip
dengan stroke iskemik, tetapi tampak lebih parah, seperti nyeri kepala, status
mental yang terganggu, kejang, mual, muntah, dan peningkatan tekanan darah
secara mendadak. Pencitraan otak dengan CT-Scan atau MRI menjadi modalitas
utama dalam penegakan diagnosis dan menemukan komplikasi seperti perdarahan
intraventrikel, edema serebri, dan hidrosefalus.(7)

Gambar 2.1 Hasil CT-Scan non kontras potongan aksial dari otak laki-laki berusia 60 tahun
dengan riwayat kelemahan sisi kiri akut. Dua area perdarahan intraserebral terlihat di nukleus
lentiformis, dengan dikelilingi edema(7)

5
Stroke adalah salah satu penyebab kecacatan dan kematian tertinggi di
dunia. Meskipun sudah beberapa dekade, pilihan terapi masih terbatas.

Sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengembangkan


tatalaksana terbaru untuk melindungi otak dari kerusakan akibat stroke, tetapi
dengan hasil yang terbatas. Banyak tatalaksana neuroprotektif telah diidentifikasi
memiliki manfaat menjanjikan pada model hewan coba. Akan tetapi, hampir
semuanya gagal membuktikan perlindungan pada manusia. Salah satu dari obat-
obat ini adalah Citicoline dan Piracetam.

Gambar 2.2 Studi klinis yang sedang dilakukan untuk mengatasi proses patologi pada ICH. 1
Celexocib, Piracetam; 2 Citicoline, NXY-059*; 3 Rosuvastatin; 4 Pioglitazone; 5 TUDCA**; 6
Deferoxamin; 7 Gavestinel(9)
*disufenton sodium (Cerovive®), **Tauroursodeoxycholic acid

2.2 Target Neuroproteksi pada Stroke

2.2.1 Inflamasi

Beberapa penelitian telah dilakukan tentang neuroproteksi pasca stroke


yang berfokus dalam mengurangi efek inflamasi. Suatu ringkasan tentang proses

6
inflamasi setelah stroke ditunjukkan pada Gambar 2.3. Setelah iskemia dan
reperfusi, jaringan otak yang rusak mensekresikan sitokin dan kemokin yang
merekrut sel inflamasi ke area cedera. Sel ini melepaskan faktor sekretoriknya
sendiri yang mencapai kadar toksik. Proses inflamasi juga dapat disebabkan
produksi reactive oxygen species (ROS), menyebabkan stress oksidatif dan
aktivasi matrix metalloproteinase (MMPs), yang menyebabkan gangguan sawar
darah-otak (BBB) dan edema. Disisi lain, inflamasi memiliki eferk bermanfaat
berupa meningkatkan aliran darah ke area yang terkena dan pembersihan jaringan
yang rusak akibat sel fagositik dan MMPs. Efek positif dan negatif pada inflamasi
pasca stroke dan tatalaksana yang sesuai masih menjadi perdebatan. Akan tetapi,
secara umum dianggap inflamasi memiliki efek negatif yang lebih dominan,
khususnya pada tahap dini. Satu molekul penting yang terbentuk setelah
kerusakan atau kematian sel adalah tumor necrosis factor alpha (TNFα). Molekul
ini berinteraksi dengan dua reseptor, R1 dan R2, yang memediasi sinyal kematian
via Fas associated death domain (FADD) dan inflamasi via nuclear factor kappa-
light-chain enhancer of activated B cells (NF𝜅B) (10).

Gambar 2.3 Mekanisme inflamasi yang merusak pada stroke.Sitokin proinflamasi dan reactive
oxygen species yang dilepaskan neuron yang rusak menyebabkan aktivasi mikroglia dan ekspresi
molekul adhesi selular pada sel endotelial dan sel yang bermigrasi akibat inflamasi. Hal ini
menyebabkan kerusakan jaringan lebih luas, stress oksidatif, dan aktivasi matriks
metalloproteinasi yang menyebabkan kerusakan sawar darah-otak dan edema (10).

7
2.2.2 Stress Oksidatif

Produksi spesies oksigen reaktif (ROS) dan radikal bebas lainnya selama
stroke adalah konsekuensi tidak hanya dari inflamasi, tetapi juga dari
eksitotoksisitas dan inhibisi respirasi sel pada lingkungan rendah oksigen.
Molekul-molekul ini, seperti radikal hidroksil, superoksida, dan peroxinitrat,
sangat reaktif dan merusak, menyebabkan kerusakan sel. Salah satu cara
mengurangi stres oksidatif adalah mengurangi produksi radikal bebas. Nitro
oksida adalah molekul sinyal normal pada tubuh dan memiliki manfaat pada
stroke, jumlah yang banyak dari peningkatan aktivitas akibat induksi dari nitro
oksida sintase (iNOS) dapat menyebabkan pensinyalan menyimpang atau reaksi
bersama superoksida untuk menghasilkan peroksinitrat yang menyebabkan
perubahan histologis pada jaringan otak pasca stroke. Sumber ROS yang lain
adalah nikotinamid adenin dinukleotida fosfat (NADPH) oksidase, dan inhibisi
terhadap enzim ini bermanfaat untuk stroke. Mekanisme proteksi lainnya adalah
menginduksi mekanisme endogen untuk menghilangkan radikal bebas dari tubuh.
Penggunaan gas hidrogen sulfida meningkatkan aktivitas superoksida dismutase
dan glutation peroksidase pada tikus yang menjadi subjek iskemia serebral fokal,
menyebabkan penurunan cedera mitokondria neuronal dan marker apoptosis(10).

2.2.3 Kerusakan sawar darah-otak

Kerusakan sawar darah otak akibat stroke umumnya disebabkan oleh kerja dua
matriks metalloproteinase, MMP-2 dan MMP-9. MMP-2 pada dasarnya
diekspresikan dalam kadar rendah pada jaringan otak normal, akan tetapi stroke
menyebabkan peningkatan ekspresi dan aktivitasnya dan juga menginduksi MMP-
9. MMP-2 memecah dan mengaktivasi MMP-9, yang mana mendegradasikan
komponen membran dasar pada dinding vaskular dan menyebabkan kerusakan
blood-brain barrier (BBB). Faktor lain terkait kerusakan BBB adalah pelebaran
formasi taut rapat (tight junction) antara sel-sel endotel dan efek tatalaksana
menggunakan aktivator plasminogen jaringan. Etanol menunjukkan efek
menghambat peningkatan MMP-2 dan MMP-9 yang secara signifikan
menurunkan edema serebri. Terapi oksigen hiperbarik meningkatkan fungsi BBB

8
pada model tikus emboli melalui modulasi MMP-9 tetapi menunjukkan penurunan
aktivasi saat dikombinasi dengan rtPA (10).

2.2.4 Eksitotoksisitas

Selama stroke, penipisan oksigen neuronal dan cadangan energi


menyebabkan pelepasan neurotransmitter glutamat dalam jumlah toksik ke
spatium ekstraselular. Pengaruh berikut dari aktivasi reseptor glutamat
menyebabkan influks kalsium dan depolarisasi neuronal, sehingga menyebabkan
aktivasi menyimpang dari banyak jalur calcium-dependent di otak dan inisiasi
proses nekrosis, apoptosis, dan autofagi. Eksitotoksisitas glutamat memainkan
peran signifikan dalam patologi stroke dan banyak penelitian menfokuskan untuk
mengurangi efek ini. Salah satu metode neuroproteksi terhadap eksitotoksisitas
adalah mengurangi jumlah pelepasan glutamat selama stroke. Salah satu contoh
adalah ekstrak Ginkgo biloba EGb761 menunjukkan penurunan level glutamat
striatal pada tikus, disertai penurunan neurodegenerasi dan edema. Magnesium
sulfat adalah antagonis dari subtipe reseptor glutamat N-methyl-D-aspartat
(NMDA) yang pada studi meningkatkan perbaikan pada manusia dengan stroke
iskemik akut. Studi bernama intravenous magnesium efficacy in stroke (IMAGES)
menyimpulkan bahwa magnesium tidak secara signifikan meningkatkan luaran
pasien dengan stroke iskemik, tetapi bermanfat pada stroke lakunar. Hal ini
kemungkinan terkait waktu (timing) terapi yang kritis(10).

2.2.5 Apoptosis

Selama stroke, suplai oksigen dan glukosa yang berkurang menyebabkan


penurunan metabolisme selular dan penipisan cadangan energi. Bersama dengan
kerusakan yang disebutkan sebelumnya, kematian sel akibat nekrosis atau
apoptosis dapat terjadi. Dalam konteks intervensi, apoptosis lebih disukai
dibandingkan nekrosis karena dapat dihambat dengan berbagai variasi tatalaksana,
memungkinkan penyelamatan jaringan. Sel di dalam inti infark seringkali mati
akibat nekrosis, dimana di penumbra mati akibat apoptosis. Faktor primer untuk
menentukan mekanisme apa yang terjadi di dalam sel adalah level ATP dalam sel.
ATP dibutuhkan untuk proses apoptosis, dan sel dengan insufisiensi cadangan

9
ATP dapat mati akibat nekrosis. Apoptosis dapat terjadi dalam beberapa jalur,
seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.2. Jalur mitokondria dapat berjalan baik
melalui mekanisme caspase dependen maupun caspase independen(10).

Gambar 2.4 Mekanisme induksi apoptosis.Dalam jalur klasik, mitokondria melepaskan sitokrom C
sebagai respon stress dan kerusakan sel, menyebabkan aktivasi caspase 9 dan selanjutnya caspase
3 serta efektor apoptosis lainnya.Akan tetapi, mitokondria juga melepaskan apoptosis-inducing
factor (AIF), yang menyebabkan apoptosis melaui mekanisme caspase independen.Jalur reseptor
kematian melibatkan aktivasi FADD oleh berbagai reseptor sinyal sel, diikuti dengan aktivasi
caspase 8 dan berikutnya kaskade caspase yang mencetus apoptosis (10).

2.2.6 Autofagi

Peran autofagi dalam stroke baru diteliti dan belum sepenuhnya dipahami.
Autofagi tampaknya memiliki fungsi ganda sebagai respon terhadap kerusakan
selular, penyerapan komponen yang rusak sebagai suatu mekanisme protektif, dan
sebagai mekanisme kematian sel itu sendiri. Ulasan mengenai proses autofagi dan
regulasinya diperlihatkan di Gambar 2.3. Induksi autofagi mencegah kematian sel
dengan apoptosis dan dianggap lebih bermanfaat. Namun demikian, inhibisi
autofagi dapat bersifat neuroprotektif. Penelitian pada tikus yang dilakukan oklusi
arteri serebri media permanen (pMCAO), kondisi iskemik postconditioning

10
menghibisi induksi autofagi dan menurunkan ukuran infark dan edema .Untuk itu
masih perlu studi lebih mendalam mengenai mekanisme ini.

Gambar 2.5 Proses autofagi dan regulasinya. Induksi autofagi diinhibisi oleh mTOR, aktivasi yang
dikontrol oleh banyak jalur pensinyalan upstream yang merespon terhadap aktivitas metabolil,
status energi, dan kerusakan jaringan. Progresifitas autofagi membutuhkan beberapa anggota
protein ATG, menyebabkan produksi suatu struktur membran yang menelan komponen sel yang
rusak untuk membentuk autofagosom.Pembentukan selanjutnya yakni gabungan autofagosom
dengan lisosom menyebabkan degradasi komponen yang rusak.

2.3 Neuroproteksi pada Stroke Iskemik dan Hemoragik


Patologi stroke iskemik dan hemoragik memiliki kesamaan dalam proses
kerusakannya, seperti inflamasi, stress oksidatif, dan eksitotoksisitas. Tatalaksana
neuroprotektif pada satu kasus juga bermanfaat untuk kasus lainnya, dan beberapa

11
contoh proteksi pada model stroke hemoragik telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya. Proses seperti sitotoksisitas merupakan hal yang unik untuk stroke
hemoragik karena terkait langsung dengan akumulasi darah di dalam otak.

Berbagai komponen darah dipercaya berkontribusi terhadap kerusakan


jaringan pasca hemoragik, khususnya hemoglobin. Haptoglobin dan hemopexin
adalah protein endogen yang masing-masing mengikat dan memindahkan
hemoglobin dan produk-produk degradatifnya, sehingga memaksimalnya fungsi
dapat memberikan efek protektif(3). Heme oxygenase (HO) adalah protein
endogen lainnya yang merubah heme menjadi besi dan produk lainnya. Besi bebas
bereaksi dengan hidrogen peroksida untuk membentuk radikal hidroksil,
menyebabkan stress oksidatif. Inhibisi terhadap HO atau kelasi besi dengan agen
seperti deferoxamine dapat memiliki efek menguntungkan. Asam valproat
menurunkan ekspresi HO-1 akibat ICH pada tikus dan mengurangi kematian sel.
Kombinasi tatalaksana menggunakan deferoxamine dan statin berasosiasi dengan
peningkatan hasil dalam tes prilaku pada tikus pasca ICH. Selain sitotoksisitas,
vasospasme serebral merupakan kontributor signifikan terhadap kematian dan
disabilitas setelah perdarahan subarakhnoid. Karena efek alamin yang mematikan
ini, banyak penelitian didedikasikan untuk mengurangi efek ini. Salin kaya
hidrogen menunjukkan penurunan vasospasme pada tikus setelah ICH
eksperimental, diperkirakan akibat penekanan efek inflamasi dan stress oksidatif.
Vasospasme pada tikus SAH juga dapat dikurangi dengan analog hormon
stimulasi α-melanosit dan disertai perubahan ekspresi faktor yang berperan dalam
kerusakan jaringan (10).

2.4 Peran Citicoline Sebagai Neuroprotektor

2.4.1 Struktur

Citicoline (cytidine diphospocholin, CDP-choline) adalah ribosa


berkomposisi mononukleotida, cytosine, pyrophosphate, dan choline. Ditemukan
pertama kali tahun 1955 oleh Kennedy dkk. dan disintesis tahun 1956(10),
Citicoline telah dipelajari di berbagai negara dan digunakan sebagai tatalaksana

12
neurologi di banyak negara serta dijual sebagai suplemen diet di Amerika Serikat.
Citicholine dikatakan mengembalikan aktivitas ATPase mitokondria dan Na+/K+
ATPase membran, menghambat aktivasi fosfolipase A2, dan mempercepat
reabsorbsi edema serebral pada berbagai model eksperimental.

Gambar 2.6 Struktur Citicoline(11)

2.4.2 Mekanisme Aksi

Aksi farmakologi Citicoline menunjukkan pengaruh yang meluas melewati


metabolisme fosfolipid. Metabolit Citicoline (coline, metionin, betaine, dan
nukleoda turunan cytidine) memasuki banyak jalur metabolisme. Marker biokimia
dari transmisi nervus kolinergik dapat menurun pada kondisi-kondisi degeneratif
dari neuron, seperti Penyakit Alzheimer dan gangguan vaskular seperti stroke.
Citicoline secara sederhana meningkatkan fungsi kognitif pada AD sebagai
prekursor asetilkolin. Otak menggunakan kolin lebih banyak dalam proses sintesis
asetilkolin, yang mana akan membatasi jumlah kolin yang tersedia untuk produksi
fosfatidilkolin. Citicoline juga diteliti memiliki efek pada pasien stroke dengan
tiga mekanisme yang dipostulasikan: (1) memperbaiki membran neuron dengan
meningkatkan sintesis fosfatidilkolin; (2) memperbaiki kerusakan neuron
kolinergik dengan potensiasi produksi asetilkolin; dan (3) mengurangi produksi
asam lemak bebas yang terbentuk pada lokasi kerusakan nervus akibat stroke.
Citicoline juga mencegah neuron kolinergik melakukan autocannibalism, suatu
proses dimana membran fosfolipid dikatabolisasi untuk menyediakan kebutuhan
kolin dalam proses sintesis asetilkolin. Hal ini terjadi jika cadangan kolin
menurun, menyebabkan tubuh mengorbankan membran fosfolipid untuk

13
mempertahankan neurotransmisi. Sebagai sumber kolin eksogen untuk produksi
asetilkolin, Citicoline menghemat membran fosfolipid (khususnya, fosfatidilkolin)
dan mencegah kematian sel neuron (12).

2.4.3 Farmakokinetik

Citicolin mrupakan komponen larut air dengan bioavailabilitas diatas 90%.


Studi farmakokinetik pada usia dewasa menunjukkan dosis oral Citicoline dapat
diserap dengan cepat, dengan kurang dari satu persen dieksresikan melalui feses.
Kadar puncak plasma didapatkan dalam bentuk bifasik, satu jam pertama setelah
pemberian diikuti puncak kedua yang lebih tinggi pada 24 jam setelah pemberian.
Citicoline di metabolisme di dinding usus dan hepar. Produk sampingan dari
Citicoline eksogen yang merupakan hasil hidrolisis di dinding usus adalah choline
dan cytidine. Setelah diserap, keduanya disebarkan ke seluruh tubuh, memasuki
sirkulasi sistemik untuk digunakan pada berbagai macam dan melintasi sawar
darah otak untuk diresintesis kembali menjadi Citicoline di otak(12,13).

14
Studi farmakokinetik menggunakan C citicoline menunjukkan eliminasi
Citicoline terjadi khususnya via CO2 respirasi dan ekskresi urin, dalam dua fase,
meniru bifasik pada kadar puncak plasma. Peningkatan puncak awal di plasma
diikuti penurunan tajam, kemudian melambat untuk 4-10 jam berikutnya. Pada
fase kedua, suatu penurunan awal yang cepat setelah kadar puncak plasma 24 jam
diikuti perlambatan eliminasi. Waktu paruh eliminasi pada CO2 adalah 56 jam dan
71 jam pada ekskresi urin (12,13)

2.4.4 Indikasi dan Kontraindikasi

Citicoline diindikasikan untuk fase akut dan perbaikan (recovery) dari


infark serebral (mis. stroke), disfungsi kognitif akibat proses degeneratif (mis,
penyakit Alzheimer, komplikasi penyakit serebrovaskular), insufisiensi serebral
(mis, dizziness, kehilangan memori, konsentrasi buruk, disorientasi) akibat suatu
trauma kepala atau cedera otak. Citicoline juga dapat diberikan pada pasien
Parkinson. (12)

14
Citicoline dikontraindikasikan bagi pasien dengan hipertonia sistem nervus
parasimpatis(12).

2.4.5 Dosis dan Administrasi

Citicoline dapat diberikan secara peroral, intramuskular (IM), dan


intravena (IV). Pemberian peroral dapat diberikan 1-2 tablet 500 mg perhari dan
100-200 mg 2-3 kali perhari dalam bentuk oral drop. Pemberian secara IM dapat
diberikan dengan sediaan injeksi 125 mg/ml, 1-2 kali atau sesuai saran dokter.
Pemberian secara IV harus diberikan dengan lambat untuk menghindari episode
hipotensi hingga 1 gr perhari. Pemberian secara drip IV dengan jumlah tetesan 40-
60 tetes/menit. Citicoline dapat dilarutkan dalam larutan dekstrosa atau larutan
isotonis lainnya (14).

Untuk terapi akut pada stroke iskemik diberikan 500-2000 mg perhari


dimulai 24 jam pasca stroke. Untuk penyakit vaskular otak kronik, dapat diberikan
600 mg perhari. Berdasarkan studi, dosis oral untuk anak-anak usia 5 tahun dapat
digunakan hingga 1.200 mg per hari tanpa efek samping minimal (14).

2.4.6 Efek Samping

Citicoline memiliki efek samping gastrointestinal seperti nyeri perut dan


diare, dan vaskular seperti hipotensi, takikardi, atau bradikardi. Citicoline
memiliki profil toksisitas yang rendah bagi manusia. Dalam studi terkontrol
plasebo, 12 orang dewasa diberikan dosis harian 600 mg dan 1000 mg dan
plasebo selama lima hari berturut-turut. Nyeri kepala transien terjadi pada 4
subjek dosis 600 mg, 5 pada dosis 1000 mg, dan 1 pada plasebo. Tidak ada
abnormalitas pada hematologi, biokimia klinis, atau neurologi(12).

Dosis letal Citicoline melalui pemberian intravena yang pernah diujikan


pada mencit dan tikus adalah 4.600 mg/kg dan 4.150 mg/kg(12).

2.4.7 Studi Kefektifan

Model hewan telah menunjukkan bahwa citicoline dapat mendukung


kesehatan otak pada iskemia serebral dengan mempercepat resintesis fosfolipid,

15
sehingga melindungi integritas neuron, dan dengan menekan degradasi membran
sel menjadi radikal bebas dan asam lemak bebas yang beracun. Dengan
mengambil efek menguntungkan dari Citicoline ini, para peneliti melakukan
percobaan double-blinded, placebo-controlled multicenter untuk mengevaluasi
khasiat pemberian citicoline pada pasien dengan infark serebral akut. Penelitian
ini terdiri dari 272 pasien warga Jepang dengan diagnosis infark serebral yang
dikonfirmasi dan tingkat kesadaran ringan sampai sedang. Pasien secara acak
menerima citicoline (1.000 mg / hari IV) atau plasebo selama 14 hari. Hasil
penilaian pada hari ke 7 dan 14, pengobatan citicoline menghasilkan perbaikan
signifikan pada tingkat kesadaran dan status neurologis pada pasien stroke akut.(14)

Gambar 2.7 Mekanisme Citicoline dalam mencegah kerusakan pasca stroke(15)


*
Granulocyte-colony stimulating factor

Uji coba kedua juga menghasilkan hasil positif dengan pemberian


citicoline pada pasien stroke akut. Ini adalah percobaan acak multisenter, yang
dilakukan di Amerika Serikat (Studi Pengobatan Stroke Citicoline Amerika
Serikat) di mana pengobatan awal akan dimulai dalam waktu 24 jam setelah onset
stroke dan dilanjutkan secara oral selama 6 minggu. Tiga kelompok dosis oral
citicoline dibentuk, selain kelompok placebo, 500 mg / hari, 1.000 mg / hari, atau
2.000 mg / hari. Indeks Barthel digunakan sebagai ukuran hasil utama untuk

16
menilai perbaikan fungsi. Rasio odds untuk perbaikan dihitung dengan analisis
statistik pada akhir penelitian, Pada kelompok Citicoline 500 mg / hari, rasio odds
adalah 2,0 dan pada kelompok 2.000 mg / hari rasionya adalah 2,1, menandakan
bahwa individu dalam kelompok ini dua kali lebih mungkin untuk mencapai skor
Barthel yang lebih tinggi dari pada kelompok plasebo. Secara keseluruhan, hasil
penelitian menunjukkan bahwa Citicoline (500 mg / hari atau 2.000 mg / hari
kelompok) secara signifikan memperbaiki pemulihan fungsional setelah 6 minggu
pengobatan dibandingkan dengan plasebo, seperti yang dinilai pada kunjungan
follow-up 12 minggu. Menariknya, kelompok yang mengkonsumsi 1.000 mg / hari
citicoline tidak menghasilkan manfaat yang sebanding dalam penelitian ini karena
dosis ini terbukti efektif dalam penelitian sebelumnya. Seperti yang dikemukakan
oleh penulis, ini adalah hasil yang membingungkan karena semua karakteristik
dasar setiap kelompok pada dasarnya sama, kecuali untuk berat badan, yang lebih
tinggi pada kelompok ini daripada kelompok perlakuan lainnya. Mereka
mendalilkan hal ini mungkin telah memainkan peran dalam hasilnya(16).

Selain itu, uji coba terkontrol plasebo acak multicenter dilakukan pada
pasien stroke akut dengan dosis oral citicoline (500 mg / hari) selama 6 minggu.
Dosis 500 mg dipilih karena terbukti efektif dalam penelitian sebelumnya. Pasien
dengan stroke akut secara klinis dinilai berada dalam distribusi arteri serebral
tengah, dan dengan skor Skala NIH Stroke dari 5 atau lebih, dimasukkan dalam
penelitian ini. Ukuran hasil utama uji coba ini menggunakan Indeks Barthel yang
dinilai pada 12 minggu setelah inisiasi pengobatan. Hasil uji coba ini tidak
menemukan manfaat untuk pemulihan stroke yang terkait dengan asupan
citicoline pada 500 mg / hari, tidak seperti penelitian sebelumnya. Faktor pembaur
yang signifikan mungkin telah mempengaruhi analisis. Para penulis
mengungkapkan bahwa ada ketidakseimbangan awal pada tingkat keparahan
stroke antara kelompok perlakuan dan kelompok plasebo meskipun
pengacakannya tepat. Lebih banyak peserta dengan stroke ringan seperti yang
dinilai oleh kriteria NIH berada pada kelompok, yang kemungkinan besar dapat
mempengaruhi kemampuan untuk melihat efek pengobatan citicoline.(17)

17
Hazama, et al., melakukan percobaan double-blinded, placebo-controlled
pada tahun 1980 untuk menilai dampak pemberian citicoline dalam pemulihan
pasca stroke dari hemiplegia. Citicoline diberikan dengan suntikan IV kepada
pasien yang dibagi ke salah satu dari 3 kelompok: kelompok dosis tinggi citicoline
(1.000 mg / hari IV), kelompok dosis rendah citicoline (250 mg / hari IV), atau
plasebo (garam isotonik). Setiap kelompok menerima perawatan yang
dijadwalkan satu kali sehari selama 8 minggu sambil melanjutkan terapi
rehabilitatif. Rentang gerak sendi anggota atas dan bawah dihitung pada interval
sepanjang penelitian, begitu pula gejala subjektif, tanda neurologis, dan gejala
mental. Kelompok citicoline dosis tinggi memiliki peningkatan pemulihan
fungsional sebesar 44,4% yang dinilai pada anggota badan bagian atas pada
minggu ke 4 dan 53,3% pada minggu ke 8. Pemulihan pada kelompok dosis
rendah pada awalnya lebih lambat namun mencapai tingkat yang sama dengan 8
minggu, dengan perbaikan Dari 29,3% pada minggu ke 4 dan 54,8% pada minggu
ke minggu. Kelompok plasebo tidak membaik pada tingkat yang sama, dengan
tingkat 29,3% pada minggu ke 4 dan 31,8% pada minggu ke 8. Tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kelompok pada tungkai bawah, meskipun kedua
kelompok citicoline menunjukkan tingkat perbaikan yang sedikit lebih tinggi
dibandingkan dengan plasebo. Kelompok citicoline dosis tinggi cenderung
menunjukkan peningkatan terbesar pada minggu ke 8. Berdasarkan hasil
penelitian ini, terapi citicoline dianggap sebagai tambahan yang efektif untuk
program rehabilitasi reguler untuk mendapatkan pemulihan aktivitas motorik dari
hemiplegia. Tampaknya juga jelas bahwa dosis yang lebih tinggi lebih
menguntungkan karena itu pemulihan lebih cepat terjadi pada kelompok dengan
dosis tinggi.(18)

Pengobatan Citicoline pada pasien dengan hemoragik, infark serebral


nontraumatik telah ditemukan meningkatkan pemulihan kekuatan otot yang terkait
dengan penyembuhan. Uji coba acak tersamar ganda dilakukan dengan 32 subjek
penelitian dibagi antara mereka yang menerima 250 mg IV Citicoline dua kali
sehari atau plasebo selama 14 hari menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan
awal, kekuatan otot pada kelompok citicoline meningkat secara lebih signifikan
dari pada kelompok yang menerima plasebo.(19)

18
Sebagaimana terbukti dari penelitian yang dirangkum di atas, citicoline
memiliki sejumlah efek menguntungkan, yang dapat membantu dalam membantu
pemulihan secara signifikan dari kejadian stroke akut. Baru-baru ini, sebuah
konsensus tampaknya telah muncul bahwa pendekatan yang efektif untuk
pemulihan stroke harus melibatkan kombinasi terapi yang dapat dilakukan pada
banyak jalur. Dengan khasiat dan keamanannya dan aktivitas spektrumnya yang
luas sebagai neuroprotektan, citicoline harus disertakan sebagai bagian integral
dari protokol pemulihan stroke.

2.5 Peran Piracetam Sebagai Neuroprotektor

2.5.1 Struktur dan Mekanisme Kerja

2.8 Struktur molekul Piracetam (20)

Piracetam dikembangkan pertama kali tahun 1960-an di Belgia, adalah


prototip agen nootropik yang ditunjukkan memiliki manfaat farmakologi yang
bermanfaat untuk pasien dengan stroke akut(20) dengan efek neuroprotektif (21)
,
(22)
hemoreologik , dan yang lebih terkini yakni efek antitrombotik secara in
vivo(23). Piracetam memiliki mekanisme kerja yang unik yang masih belum
sepenuhnya dipahami. Piracetam disebutkan bekerja pada membran sel(24,25)
dimana piracetam mengikat pada bagian polar head fosfolipid(26). Telah
ditunjukkan untuk meningkatkan penurunan fluiditas neuronal membran
ditemukan pada mencit tua, tikus dan otak manusia tapi tidak mengubah fluiditas
membran otak normal pada tikus muda(27,28). Perubahan ini berkorelasi erat
dengan peningkatan populasi dan fungsi reseptor muskarinik dan NMDA.

19
Piracetam, suatu turunan dari neurotransmitter asam gamma aminobutirik
(GABA), memiliki berbagai efek fisiologis yang bermanfaat untuk
mengembalikan fluiditas membran sel.(25) Pada tahap neuronal, Piracetam
memodulasi neurotransmisi dalam lingkup sistem transmitter (termasuk kolinergik
dan glutamatergik), bersifat neuroprotektif dan antikonvulsan, dan meningkatkan
neuroplastisitas. Pada level jaringan, diperkirakan memilik efek reduksi adhesi
eritrosit pada endotel vaskular, mencegah vasospasme, dan memfasilitasi
mikrosirkulasi.(29)
Pemulihan fluiditas membran neuron yang menurun dapat menjelaskan
perbaikan berbagai fungsi ikatan membran dilaporkan setelah administrasi
piracetam, termasuk aktivitas messenger sekunder(30,31), produksi ATP(32) dan
neurotransmisi(33,34). Fakta bahwa fluiditas membran berubah terbatas pada mencit
tua dan perbaikan itu hanya terlihat pada sel dengan kelainan yang mendasarinya
yang secara konsisten diamati. Manfaat klinis dari piracetam umumnya terjadi
apabila fungsi sel terganggu, terutama dalam penuaan dan kelainan yang
berhubungan dengan hipoksia. Sebaliknya karena tidak adanya efek pada
membran sel normal yang terlihat pada mencit muda, piracetam tidak berpengaruh
pada subjek normal. Efek-efek pada membran sel ini tidak terbatas pada neuron,
akan tetapi juga melibatkan tipe sel yang lain yang ditunjukkan oleh kemampuan
piracetam untuk menormalkan agregasi platelet normal(35) dan meningkatkan
deformasi eritrosit.(36)

2.5.2 Dosis dan Farmakokinetik

Dosis terapetik Piracetam dibagi dalam dua fase pemberian. Fase pertama
sebagai terapi inisial 4.000 – 8.000 mg per dua hari pertama dilakukan
pengobatan. Terapi rumatan sebesar 2.400 – 4.800 per hari (dibagi dalam tiga
dosis).(28)

Piracetam hampir 100% diserap dalam pemberian oral. Kadar puncak


dalam plasma terjadi dalam 1.5 jam setelah penggunaan oral. Waktu paruh dalam
plasma darah Piracetam adalah 5 jam. Piracetam efektif menembus sawar darah
otak. Hampir seluruh metabolit dieksresikan melalui urin.(37)

20
2.5.3 Studi Efektivitas

Sebuah penelitian di Shenyan, China untuk mengevaluasi pemberian


Piracetam pada pasien dengan perdarahan serebral hipertensif setelah operasi yang
melibatkan 160 pasien. Pasien dibagi menjadi dua grup, grup eksperimen
diberikan injeksi Piracetam salin dan grup kontrol diberikan mannitol. Didapatkan
hasil grup eksperimen memiliki insidensi ensefaloedema menengah lebih tinggi
dengan insidensi ensefaloedema berat lebih rendah dibandingkan grup kontrol
(P=0.05). Derajat kesadaran juga lebih baik pada grup eksperimen dibandingkan
grup kontrol (77.50% vs. 62.50%, P=0.05). Indeks Barthel dan mini-mental state
examination (MMSE) dari grup eksperimen lebih tinggi dibandingkan grup
kontrol setelah 3 bulan perawatan (P=0.05). Didapatkan kesimpulan Piracetam
dapat digunakan sebagai pengganti mannitol untuk mengurangi tekanan
intrakranial pada pasien dengan pendarahan serebral hipertensif setelah operasi
dan memiliki fungsi protektif serebral dan efek kesadaran dengan efek samping
yang lebih sedikit, sehingga dapat menjadi rekomendasi.(29)

Piracetam memiliki keefektifan klinis dibandingkan plasebo dalam


menurunkan gangguan kognitif yang terkait penuaan secara in vivo(38) meskipun
banyak penelitian menyebutkan dalam durasi yang singkat. Secara akut, Piracetam
memiliki keefektifan dalam menurunkan proses reduksi fungsi kognitif pada
pasien operasi pintas koroner(39,40). Suatu uji yang menilai efek neuroprotektif
pada dosis akut Piracetam sebelum operasi jantung terbuka gagal menemukan
manfaat dibandingkan plasebo ketika fungsi kognitif dinilai 3 hari pasca operasi
(41)
, hal ini berlawanan dengan efek neuroproteksi pada operasi pintas jantung
pada studi sebelumnya(40,42,39)

Studi oleh De Reuck, et al., mengenai keamanan klinis penggunaan


Piracetam dosis tinggi pada tatalaksana stroke akut menyebutkan tingkat
mortalitas dalam 12 minggu lebih banyak terjadi pada grup Piracetam (23.9%;
111/464) dibandingkan plasebo (19.2%; 89/463). Perbedaan tidak terlalu
signifikan (P=0.15) setelah dinilai dengan skala Orgogozo. Profil efek samping
hampir sama pada kedua grup dengan tanpa perbedaan yang signifikan baik secara
umum maupun berdasarkan efek samping yang berat (Tabel 2.1). Efek samping

21
dikelompokkan sebagai serebral, non-serebral, dan dari asal yang tidak diketahui,
didapatkan hampir sama pada kedua grup (Tabel 2.2). Untuk efek samping yang
lebih serius, grup Piracetam yang terdiri dari 139 dari 343 kejadian berasal dari
serebral dibanding hanya 135 dari 334 kasus pada grup plasebo. Sembilan pasien
yang diterapi dengan Piracetam dan enam pasien yang dengan plasebo dihentikan
terapinya akibat efek samping. Jika efek samping dinilai secara individual,
frekuensi dan sifat alami kejadian hampir sama (Tabel 2.3). Karena itu
tranformasi hemoragik dari infark didapatkan 17 pasien pada grup Piracetam dan
16 pasien pada grup plasebo. Efek samping terkait perdarahan dianalisis secara
detail dan disajikan di dalam Tabel 2.4. Dari 33 pasien dengan transformasi infark
perdarahan, 17 orang mendapatkan Piracetam (4 diantaranya meninggal)
dibandingkan 16 orang pada grup plasebo (3 diantaranya meninggal). Kejadian
perdarahan lainnya terjadi dengan frekuensi yang hampir sama antar grup(43)

Tabel 2.1 Ringkasan efek samping pada seluruh pasien(43)

Pasien dengan efek Plasebo (n=463) Piracetam (n=464)


samping (ES)
Jumlah (% pasien)
- Dengan E.S 363 (78.4) 358 (77.2)
- Dengan ES berat 222 (47.9) 223 (48.1)
- Dihentikan akibat ES 6 (1.3) 9 (2.0)

Tabel 2.2 Kejadian efek samping serebral, non-serebral, atau asal yang tidak
diketahui(43)

Serebral Non-serebral Asal tidak diketahui


Plasebo - Piracetam Plasebo - Piracetam Plasebo - Piracetam
a. Seluruh ES
(n=593) (n=623) (n=30)
305 - 288 846 - 777 15 - 15
b. ES berat
(n=274) (n=388) (n=15)

22
135 - 139 189 - 199 10 - 5

Tabel 2.3 Efek samping dari serebral(43)

Kejadian Plasebo Piracetam


(n=305) (n=288)
Transformasi hemoragik 16 17
pada infark
Perburukan kondisi 32 37
Edema serebral 14 19
Stroke rekuren 15 18
Stupor/koma 9 8
Kejang 16 5
Kontraksi otot 4 3
Nyeri kepala 27 19
Psikiatrik 158 148
Lainnya 14 14

Tabel 2.4 Seluruh efek samping hemoragik(43)

Plasebo Piracetam
(n=30) (n=38)
Pendarahan GI 7 10
Transformasi hemoragik infark 16 17
Perdarahan retina 0 2
Hematuria 0 0
Hematoma (serebral dan non- 5 1
serebral)
Hitung platelet abnormal atau 2 2
defek koagulasi

Piracetam menunjukkan harapan dalam mengurangi kerusakan akibat


stroke pada model hewan,(37) namun menurut satu tinjauan sistematis, Piracetam

23
masih memiliki bukti minimal pada uji klinis untuk mendukung klaim ini. Sebuah
studi tentang penyakit serebrovaskular iskemik pada orang-orang yang menderita
afasia (gangguan kemampuan bahasa, dalam hal ini karena hipoksia otak)
menggunakan 4,8 g Piracetam setiap hari selama 6 bulan setelah stroke mencatat
bahwa, setelah penilaian melalui penilaian GAT, NIHSS, mRS dan BI Skala,
bahwa sementara ada peningkatan yang signifikan dalam hal pemahaman
pendengaran, tidak ada pengaruh signifikan pada parameter lain yang diukur dari
ucapan spontan, kelancaran membaca, pemahaman bacaan, pengulangan, dan
penamaan bila dibandingkan dengan plasebo.(44) Hasil negatif ini berbeda dengan
penelitian sebelumnya, di mana 6 minggu 4800mg Piracetam dikaitkan dengan
peningkatan dalam 6 tes bahasa sedangkan plasebo hanya meningkatkan tiga,(45)
dan satu studi lain menilai gelombang otak yang menunjukkan perbaikan.(46)

Senyawa Racetam (jenis Piracetam) biasanya diberikan bersamaan dengan


senyawa kolinergik karena mekanismenya sangat saling terkait. Pemberian
Piracetam menyebabkan penurunan kadar asetilkolin di hippokampus dengan
mekanisme yang belum diketahui. Dalam beberapa model hewan, suplementasi
choline telah dicatat untuk meningkatkan ingatan dan efek kognitif Piracetam saat
diberikan bersama. Efek ini nampaknya paling besar dalam model kerusakan
kognitif ringan, seperti penuaan.(44). Studi oleh Gupta, et al., yang menilai
keterlibatan endonuklease G spesifik-mitokondria pada mekanisme protektif oleh
Piracetam dengan cara membandingkan terapi pada sel astrosit glial menggunakan
lipopolisakarida (LPS) dan Piracetam. Didapatkan hasil terapi LPS menyebabkan
penurunan viabilitas, aktivitas mitokondria, stress oksidatif, disfungsi
mitokondria, kondensasi kromatin, kerusakan DNA, dan translokasi endonuklease
G ke dalam nukleus, yang mana proses-proses ini dihambat oleh terapi
Piracetam(47).

2.5.4 Kontraindikasi

Berdasarkan panduan yang dikeluarkan oleh badan pengawasan obat dan


alat-alat kesehatan federal Jerman (Bundesintitute fur Arzneimitel und
Medizinprodukte), Piracetam dikontraindikasikan pada pasien dengan pendarahan
intraserebral karena dapat mencetuskan gangguan agregasi platelet dan pasien

24
dengan dengan insufisiensi renal karena dieliminasi melalui ginjal.(48) Akan tetapi,
De Reuck dkk., dalam studinya menyimpulkan penggunaan Piracetam dosis tinggi
pada pasien dengan stroke akut dapat dilakukan tanpa efek samping yang
signifikan. Transformasi hemoragik dari infark tidak lagi sering pada grup yang
diterapi dengan Piracetam dibandingkan grup plasebo. Piracetam tidak memiliki
efek samping pada pasien dengan stroke hemoragik primer menunjukkan ia sesuai
untuk administrasi akut sebelum dirawat di rumah sakit dan dilakukan CT
Scan.(43)

Sebuah studi perintis pada pasien dengan stroke akut derajat sedang
hingga berat menunjukkan Piracetam berasosiasi dengan peningkatan perbaikan
kelemahan motorik, tingkat kesadaran dan afasia. Akan tetapi perbaikan motorik
dikatakan tidak signifikan secara statistik yang mana meliputi populasi pasien
stroke dengan derajat yang bervariasi. Pada pasien yang ditatalaksana dalam 7
hari dari onset stroke, khususnya pasien dengan derajat sedang hingga parah,
analisis retrospektif menunjukkan peningkatan luaran neurologis dan perbaikan
fungsi dengan Piracetam.(20) Suatu studi acak prospektif, tersamar ganda, dan
dengan kontrol plasebo pada pasien-pasien ini (PASS II), yang bertujuan
memastikan hasil temuan ini sedang dalam proses penelitian.

25
BAB III
KESIMPULAN

Citicoline adalah senyawa dengan spektrum manfaat yang sangat luas


dalam kondisi yang terkait dengan gejala disfungsi neurologis. Citicoline
bertindak pada berbagai tingkatan untuk mendukung dan menjaga kesehatan saraf
dan fungsi kognitif yang optimal. Citicoline mempromosikan fungsi kolinergik
dan dopaminergik dan mendukung sintesis fosfolipid dan penggabungan ke dalam
membran sel. Citicoline juga meningkatkan mekanisme antioksidan dalam tubuh,
sekaligus menekan efek merusak radikal bebas pada jaringan saraf. Ini juga
mempromosikan aktivitas anti-inflamasi dan mengoptimalkan pola yang terkait
dengan pelepasan neurotransmiter. Mengingat aktivitasnya yang meluas pada
jaringan saraf, citicoline harus dianggap sebagai agen terapeutik komprehensif
untuk mendukung kesehatan otak.

Piracetam dalam studi percontohan pada pasien dengan stroke akut derajat
sedang hingga parah, menunjukkan korelasi dengan peningkatan perbaikan
kelemahan motorik, tingkat kesadaran dan afasia yang signifikan. Perbaikan
aphasia dikonfirmasi pada Piracetam in Acute Stroke Study (PASS). Namun
demikian, tidak ada peningkatan signifikan secara statistik pada kerusakan atau
fungsi motorik pada populasi penelitian total yang terdiri dari pasien yang
memiliki spektrum keparahan stroke yang luas. Pada pasien yang diobati dalam
waktu 7 jam setelah onset stroke, terutama yang dengan stroke sedang sampai
berat, analisis retrospektif menunjukkan hasil neurologis yang lebih baik dan
fungsi yang lebih baik dengan piracetam.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Taufiqurrohman , Sari MI. Manfaat pemberian citicoline pada pasien stroke


non hemoragik (SNH). J Medula Unila. 2016 Desember; 6(1): p. 165-171.

2. Dinata CA, Safrita Y, Sastri S. Gambaran faktor risiko dan tipe stroke pada
pasien rawat inap di bagian penyakit dalam RSUD Kabupaten Solok Selatan
periode 1 Januari 2010-31 Juni 2012. J Kes Andalas. 2014; 2(2): p. 57-61.

3. Koton S, Schneider ALC, Rosamond WD, et al. Stroke incidence and


mortality trends in US communities, 1987 to 2011. JAMA. 2014; 312(3): p.
259-68.

4. De Silva DA, Woon FP, Chen CL, Chang HM, Wong MC. Family history of
vascular disease is more prevalent among ethnic south asian ischemic stroke
patients compared to matched ethnic chinese patients. J Stroke. 2009; 40(4).

5. Kulshresta A, Anderson LM, Goyal A, Keenan NL. Stroke in South Asia: A


systematic review of epidemiologic literature from 1980 to 2010.
Neuroepidemiology. 2012; 38(3): p. 123-129.

6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. RISKESDAS Tahun 2013


Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2013.

7. Liebeskind DS, O'Connor RE. Medscape. [Online].; 2017 [cited 2017 Juni 30.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1916662.

8. Setyopranoto I. Stroke: gejala dan penatalaksanaan. Cermin Dunia


Kedokteran. 2011; 38(4): p. 247-50.

9. Amit A, Brian Y. H, Geoffrey A, E. Sander CJ. Clinical Trials for


Neuroprotective Therapies in Intracerebral Hemorrhage: A New Roadmap
from Bench to Bedside. Trans Stroke Res. 2012; 3: p. 409-417.

10 Arshad M. Neuroprotection in Stroke: Past, Present, and Future. ISRN Neurol.


. 2014 January; 2014(1).

11 Jambou R, El-Assaad F, Combes V, Grau G. Citicoline (CDP-choline): What


. role in the treatment of complications of infectious diseases. Int J Biochem
Cell Biol. 2009; 41(7): p. 1467-1470.

12 Rao MA. Citicoline: Neuroprotective mechanisms in cerebral ischemia. J


. Neurol. 2002 Feb.

27
13 Unilab. Citicoline (Colinerv). Drug Leaflet. San Juan: Therafarma, Inc,
. Amherst Laboratories, Inc; 2009.

14 Qureshi S, Gupta J, Mishra P. Citicoline: A Potential Breakthrough in


. Cerebrovascular Disorder. Austin J Pharmacol Ther. 2016 Feb; 4(1): p. 1077.

15 Tazaki Y, Sakai F, Otomo E, et al. Treatment of acute cerebral infarction with


. a choline precursor in a multicenter double-blind placebo-controlled study.
Stroke. 1988; 19(2): p. 211-216.

16 Marc F, Antoni D, Andreas R, Armin S, E. Bernd R, Wolf-Rudiger S. Toward


. a Multimodal Neuroprotective Treatment of Stroke. Stroke. 2006 March; 37:
p. 1129-36.

17 Clark W, Warach S, Pettigrew LC, Gammans RE, Sabounjian LA. A


. randomized dose-response trial of citicoline in acute ischemic stroke patients.
Citicoline Stroke Study Group. Neurology. 1997; 49(3): p. 671-678.

18 Clark WM, William BJ, Selzer KA. A randomized efficacy trial of citicoline
. in patients with acute ischemic stroke. Stroke. 1990; 30(12): p. 2592-2597.

19 Hazama T, Hasegawa T, Ueda S, Sakuma. Evaluation of the effect of


. CDPcholine on poststroke hemiplegia employing a double-blind controlled
trial. Int J Neurosci. 1980; 11(3): p. 211-225.

20 Iranmanesh F, Vakilian A. Efficiency of citicoline in increasing muscular


. strength of patients with nontraumatic cerebral hemorrhage: a double-blind
randomized clinical trial. J Stroke Cerebrovasc Dis. 2008; 17(3): p. 153-155.

21 Gungor L, Terzi M, Onar M. Does long term use of piracetam improve speech
. disturbances due to ischemic cerebrovascular diseases. Brain Lang. 2011.

22 J. M O. Piracetam in the Treatment of Acute Stroke. Pharmacopsychiat. 1999;


. 32: p. 25-32.

23 Giurgea C. Piracetam: nootropic pharmacology of neurointegrative activity.


. Current Developments in Psychopharmacology. 1976; 39: p. 222-273.

24 Moriau M, Crasborn L, Lavenne-Pardonge E, von Freckell R, Col-Del-Beys


. C. Platelet anti-aggregant and rheological properties of piracetam.
Arzneimittelforschung. 1993; 431(2): p. 110-118.

25 Stockmans F, Deberdt W, Nystrom A, Nystrom E, Stassen J, Vermylen J, et


al. Inhibitory effect of piracetam on platelet-rich thrombus formation in an

28
. animal model. Thromb Haemostasis. 1998; 79(1): p. 222-227.

26 Woelk H. Effects of piracetam on the incorporation of 32P into the


. phospholipids of neurons and glial cells isolated from rabbit cerebral.
Pharmacopsychiat. 1979; 12: p. 251-256.

27 Muller W, Koch S, Scheuer K, Rostock A, Bartsch R. Effect of piracetam on


. membrane fluidity in the aged mouse. rat and human brain. Biochem
Pharmacol. 1997; 53: p. 135-140.

28 Peuvot J, Schanck A, Deleers M, Brasseur R. Piracetam-induced changes to


. membrane physical properties: a combined approach by 31 P nuclear magnetic
resonance and conformational analysis. Biochem Pharmacol. 1995; 50: p.
1129-1134.

29 Muller W, Hartmann H, Koch S, Scheuer K, Stoll S. Neurotransmission in


. aging - therapeutic aspects In: Racagni N, Brunelli N, Langer SZ (eds): Recent
advances in the treatment of neurodegenerative disorders and cognitive
dysfunction. Int Acad Biomed Drug Res. 1994;: p. 166-173.

30 Muller W, Koch S, Scheuer K, Rostock A, Bartsch R. Effects of piracetarn on


. membrane fluidity in the aged mouse. rat and human brain. Biochem
Pharmacol. 1997; 53: p. 135-140.

31 Guan Yc. Effect of Piracetam on Patients with Hypertensive Cerebral


. Hemorrhage after Cerebral Surgery. Chi Clin Neurosurg. 2012 May; 1.

32 Weth G. Influence of piracetam on brain and gut tissue concentration of


. cAMP. In: Platt D (ed): Piracetam in der Geriatrie. FK Schattauer Verlag.
1982;: p. 11-22.

33 Canonico P, Aronica E, Aleppo G, Casabona G, Copani A, Favit A, et al.


. Repeated injections of piracetam improve spatial learning and increase the
stimulation of inositol phospholipid hydrolysis by excitatory amino acids in
aged rats. Funct Neurol. 1991; 6(2): p. 107-111.

34 Benzi G, Panstoris O, Villa R, Gruffrida R. Influence of aging and exogenous


. substances on cerebral energy metabolism in post-hypohypoglycemic.
Biochem Pharmacol. 1985; 34: p. 1477-1483.

35 Pedata F, Moroni F, Pepeu G. Effect of nootropic agents on brain cholinergic


. mechanisms. Clin Neuropharmacol. 1984; 7: p. 772-773.

36 Bering B, Muller W. Interaction of piracetam with several neurotransmitter

29
. receptors in central nervous system - Relative specificity for 3H-glutamate
sites. Arzneimittelforschung. 1985; 35: p. 1350-1352.

37 Grotemeyer K, Hofferberth B, Hirschberg M. Normalisierung hyperreaktiver


. Thrombozyten bei Patienten rnit TIA's unter Piracetam? Nervenarzt. 1986; 57:
p. 180-183.

38 Nalbandian R, Henry R, Burek C, Diglio C, Goldman A, Taylor G, et al.


. Diminished adherence of sick;e erythrocytes to cultured vascular endothelium
by piracetam. Am J Hematol. 1983; 15: p. 147-151.

39 Ricci S, et al. Piracetam in acute stroke: a systematic review. J Neurol. 2000.


.

40 Waegemans T, et al. Clinical efficacy of piracetam in cognitive impairment: a


. meta-analysis. Dement Geriatr Cogn Disord. 2002.

41 Uebelhack R, ea. Effect of piracetam on cognitive performance in patients


. undergoing bypass surgery. Pharmacopsychiatry. 2003.

42 Holinksi S, et al. Cerebroprotective effect of piracetam in patients undergoing


. coronary bypass burgery. Med Sci Monit. 2008.

43 Holinski S, et al. Cerebroprotective effect of piracetam in patients undergoing


. open heart surgery. Ann Thorac Cardiovasc Surg. 2011.

44 Szalma I, et al. Piracetam prevents cognitive decline in coronary artery


. bypass: a randomized trial versus placebo. Ann Thorac Surg. 2006.

45 De Reuck J, Van Vleymen B. The clinical safety of high-dose Piracetam - its


. use in the treatment of acute stroke. Pharmacopsychiat. 1999; 32(Supplement):
p. 33-37.

46 Kessler J, et al. Piracetam improves activated blood flow and facilitates


. rehabilitation of poststroke aphasic patients. Stroke. 2000.

47 Szelies B, et al. Restitution of alpha-topography by piracetam in post-stroke


. aphasia. Int J Clin Pharmacol Ther. 2001.

48 Sonam G, Dinesh KV, Joyshree B. The metabolic enhancer piracetam


. attenuates mitochondrion-specific endonuclease G translocation and oxidative
DNA fragmentation. Free Radical Biology and Medicine. 2014 August; 73: p.
278-90.

30
49 Bfarm. Bundesinstitute fur Arzneimitel und Mediziniprodukte. [Online].; 2012
. [cited 2017 Juni 30. Available from:
ttp://www.bfarm.de/SharedDocs/Downloads/EN/Drugs/vigilance/PSURs/csp/
m-p/piracetam.pdf?__blob=publicationFile&v=4.

50 Secades J, Lorenzo J. Citicoline: pharmacological and clinical review.


. Methods Find Exp Clin Pharmacol. 2006; 28(Suppl B): p. 1-56.

31

Anda mungkin juga menyukai