Anda di halaman 1dari 6

TUGAS ONLINE HAN KE 13

OLEH :

SISKA SEPTIANA AGRI

20180401159
OMBUDSMAN
Untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap birokrasi, salah satu langkah penting yang
ditempuh pemerintah pasca reformasi adalah dengan memperkuat pengawasan terhadap birokrasi dengan
membentuk lembaga pengawas eksternal, yakni lembaga ombudsman. Lembaga ini dibentuk pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid berdasarkan Keputusan Presiden nomor 44 tahun 2000.
Kemudian, dasar hukum ombudsman diperkuat dalam bentuk Undang-undang (UU), yakni UU nomor 37
tahun 2008.
Secara internasional, tidak kurang 65 negara kini memiliki lembaga Ombudsman yang
keberadaannya bahkan diatur dalam konstitusi. Ombudsman di negara-negara yang sudah lama
memilikinya seperti Finlandia, Swedia, dan Norwegia, dinamai “Parliamentary Ombudsman”. Ini terkait
dengan para anggotanya dipilih dan diangkat oleh parlemen, sehingga kedudukan mereka sangat kuat.
Ombudsman Finlandia dan Polandia diberikan kewenangan untuk mengawasi lembaga peradilan
sekaligus menghukum hakim-hakim yang terbukti korup. Kemudian, hampir semua negara eks Komunis
di Eropa Timur, termasuk Rusia, kini memiliki sistem Ombudsman; apalagi negara-negara maju seperti
Amerika, Inggris, Belanda, Australia dan Selandia Baru. Negara-negara Afrika yang tergolong sebagai
negara berkembang seperti Zambia, Ghana, Uganda, Pantai Gading, Burkina Faso dan Kamerun, juga
mempunyai Ombudsman.
Ombudsman Republik Indonesia bermula dari dibentuknya "Komisi Ombudsman Nasional" pada
tanggal 20 Maret 2000 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000. Peran Komisi
Ombudsman Nasional saat itu adalah melakukan pengawasan terhadap pemberian pelayanan publik oleh
penyelenggara negara, termasuk BUMN/BUMD, lembaga pengadilan, Badan Pertanahan Nasional,
Kepolisian, Kejaksaan, Pemerintah Daerah, Departemen dan Kementerian, Instansi Non Departemen,
Perguruan Tinggi Negeri, TNI, dan sebagainya.
Pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia didasarkan pada beberapa pertimbangan, yakni,
pertama, bahwa pelayanan kepada masyarakat dan penegakan hukum yang dilakukan dalam rangka
penyelenggaraan negara dan pemerintahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk
menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien guna meningkatkan kesejahteraan serta
menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh warga negara.
Kedua, bahwa pengawasan pelayanan yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan
pemerintahan merupakan unsur penting dalam upaya menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan
efisien serta sekaligus merupakan implementasi prinsip demokrasi yang perlu ditumbuhkembangkan dan
diaplikasikan guna mencegah dan menghapuskan penyalahgunaan wewenang oleh aparatur
penyelenggara negara dan pemerintahan. Terakhir, pembentukan Ombudsman sebagai bagian dari
pemberdayaan masyarakat agar turut terlibat aktif untuk melakukan pengawasan terhadap aparat
pemerintah sehingga akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas
korupsi, kolusi dan nepotisme. Pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat ini merupakan implementasi
demokratisasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang
ataupun jabatan oleh aparatur negara dapat diminimalisasi.
Dalam menjalankan kewenangannya KON berpegang pada asas mendengarkan kedua belah pihak
(imparsial) serta tidak menerima imbalan apapun baik dari masyarakat yang melapor atau pun instansi
yang dilaporkan. KON tidak memiliki kewenangan menuntut maupun menjatuhkan sanksi kepada
instansi yang dilaporkan, namun memberikan rekomendasi kepada instansi untuk melakukan self-
correction. Penyelesaian keluhan oleh KON merupakan salah satu upaya alternatif penyelesaian masalah
(alternative dispute resolution) di samping cara lainnya yang membutuhkan waktu yang relatif lama dan
biaya yang harus dikeluarkan.
Dasar Hukum pembentukan Ombudsman di Indonesia:
a. Ketetapan MPR No : VIII/MPR/2001
b. Undang-Undang No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas)
c. Keppres No.44 Tahun 2000

Tugas dan Wewenang Ombudsman

Dalam menjalankan fungsi dan tugas, menurut ketentuan Pasal 8 UU No. 37 Tahun 2008 tentang
ORI, Ombudsman berwenang: ayat (1) Dalam menjalankan fungsi dan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 dan Pasal 7, Ombudsman berwenang:
a. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor,atau pihak lain yang terkait
mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman;
b. Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun Terlapor
untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan
c. Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi manapun
untuk pemeriksaan Laporan dari instansi terlapor
d. Melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan Laporan;
e. Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak;
f. Membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar ganti
rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan;
g. Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi.

Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman berwenang:


a. Menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara lainnya
guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik;
b. Menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan
lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah Mal-administrasi.
Berkaitan dengan mekanisme pengawasan oleh Ombudsman, menurut ketentuan Pasal 25
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang ORI, menyatakan bahwa :
Ombudsman memeriksa Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Dalam hal Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat kekurangan, Ombudsman memberitahukan secara tertulis
kepada Pelapor untuk melengkapi Laporan; Pelapor dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal Pelapor menerima pemberitahuan dari Ombudsman harus melengkapi berkas
Laporan; Dalam hal Laporan tidak dilengkapi dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pelapor
dianggap mencabut Laporannya.
Selanjutnya ketentuan Pasal 26 menyatakan :
Dalam hal berkas Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dinyatakan lengkap, Ombudsman
segera melakukan pemeriksaan substantif; Berdasarkan hasil pemeriksaan substantif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Ombudsman dapat menetapkan bahwa Ombudsman:
a. tidak berwenang melanjutkan pemeriksaan; atau
b. berwenang melanjutkan pemeriksaan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pada dasarnya mekanisme pengawasan Ombudsman adalah
diawali dengan adanya laporan, untuk selanjutnya ditindaklanjuti oleh Ombudsman. Jadi apabila tidak
adanya laporan, maka pengawasan Ombudsman bersifat pasif.

Terkait dengan tugas, Ombudsman mempunyai tugas sebagai berikut:


1. Menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
2. Melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan;
3. Menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman;
4. Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik;
5. Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta
lembaga kemasyarakatan dan perseorangan;
6. Membangun jaringan kerja;
7. Melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan
8. Melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang

Kasus yang Ditangani oleh Komisi Ombudsman Nasional

1. Conflict of Interest pada Hakim Agung


Pelapor bernama S.Padma melalui kuasanya dari Kantor Pengacara xx, melaporkan
permasalahannya yang pada intinya sebagai berikut :
a. Telah terjadi eksekusi perkara perdata Nomor : 186/1982.G Pengadilan Negeri Jakarta Barat sesuai
dengan Berita Acara Eksekusi Nomor : 186/1982.G tanggal 13 Februari 1983
b. Terhadap eksekusi tersebut PT Green Ville Real Estate mengajukan perlawanan di Pengadilan Negeri
Jakarta Barat tercatat dalam register perkara Nomor : 106/1983.G jo Nomor: 584/PDT/1982/PT DKI jo.
Nomor : 1323 K/PDT/19888 jo. Nomor : 344 PK/PDT/1998 dimana permohonan Peninjauan Kembali
Pelapor kepada Mahkamah Agung RI ditolak.
c. Ketua Majelis Hakim dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali adalah Hakim Agung yang pada tahun
1985 dalam kapasitas sebagai Ketua Tim Gabungan Opstibpus telah terlibat dalam perkara dimaksud.
Pada waktu itu Tim Gabungan Opstibpus dengan surat Nomor : K-92/Opstibpus/XII/1984 telah
menemukan adanya penyimpangan-penyimpangan. Komisi Ombudsman Nasional telah mengirim surat
kepada Mahkamah Agung RI berkenaan dengan dugaan adanya konflik kepentingan dalam pemeriksaan
perkara yang dilaporkan, namun tidak ada tanggapan ataupun pemeriksan yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung RI.
2. Penyalahgunaan Kekuasaan oleh Jaksa Agung
Komisi Ombudsman Nasional telah menerima laporan dari Keluarga SB yang melaporkan Jaksa
Agung RI yang diduga menyalahgunakan kekuasaannya dengan melakukan persuasi, pemaksaan dan
intimidasi agar Gubernur BI mengundurkan diri. Selain itu penahanan SB melanggar prosedur yakni tidak
memberitahukan kepada keluarganya. Komisi memberikan Rekomendasi kepada Jaksa Agung RI guna
memberikan klarifikasi seputar masalah tersebut , Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak
Pidana Khusus memberikan klarifikasi melalui surat Nomor : B-782/F/08/2000 tertanggal 11 Agustus
2000 yang intinya menolak dugaan tersebut. Komisi menyarankan kepada Pelapor untuk melakukan
tindakan hukum demi menguji kebenaran dugaan tersebut.
3. Penyegelan Hotel oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta
Komisi Ombudsman Nasional menerima laporan pengaduan dari RS. Pelapor menyampaikan
bahwa Hotel yang dimilikinya dikuasai tanpa bukti jelas oleh PT. Ayu Kumala Lestari. Pihak Pemda DKI
mengetahui hal tersebut namun tidak berusaha berbuat sesuatu untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Pada tanggal 14 September 1955, Mahkamah Agung RI mengeluarkan surat putusan Nomor : 86
K/TUN/1994 yang memenangkan Pelapor dan meminta pihak Pemda DKI untuk melaksanakan putusan
yang sudah berkekuatan hukum tetap, yaitu memerintahkan pihak PT. Ayu Kumala Lestari menghentikan
kegiatan operasionalnya. Namun pihak Pemda DKI tidak melaksanakannya secara konsisten. Komisi
mengirimkan surat Rekomendasi Nomor : 0262/KON-Lapor/VII/2000 tanggal 11 Juli 2000, kepada
Gubernur DKI Jakarta, untuk mengadakan klarifikasi atas laporan tersebut, Pihak Pemda DKI
memberikan tanggapannya dengan surat Nomor : 224/078.1, tanggal 31 Juli 2000, yang menyatakan
bahwa pihaknya telah mengosongkan Hotel Chitra tersebut. Namun tidak mengeluarkan izin pendirian
hotel yang baru.
4. Komersialisasi perkara oleh oknum-oknum Kejaksaan
Sebuah Organisasi Non Pemerintah yang bernama GEBUK di Jawa Tengah menemukan adanya
sinyalemen praktek-praktek komersialisasi perkara. Dari investigasi yang dilakukan, GEBUK sampai
pada suatu kesimpulan, diduga kuat telah terjadi praktek-praktek komersialisasi perkara yang dilakukan
oleh oknum-oknum pejabat Kejaksaan. Praktek komersialisasi tersebut dilakukan dengan cara bujuk rayu
bahkan dengan cara berupa ancaman-ancaman tertentu. Biasanya oknum Kejaksaan menawarkan jasa
untuk mengurus kasus Terdakwa agar hukumannya ringan. Tawaran tersebut disertai dengan ancaman
apabila tidak diurus maka oknum Kejaksaan tersebut tidak bertanggung jawab bila terjadi apa-apa.
Temuan tersebut kemudian oleh GEBUK dilaporkan kepada Komisi Ombudsman Nasional.
Menindaklanjuti temuan tersebut, pada tanggal 30 April 2001, Komisi Ombudsman Nasional mengirim
surat kepada Jaksa Agung RI Nomor : 1197/KON-Lapor.1658/ IV/2001-DM berisi Rekomendasi agar
Jaksa Agung melakukan penelitian dan mengambil tindakan sesuai ketentuan yang berlaku. Empat bulan
kemudian, Jaksa Agung Muda Pengawasan memberikan penjelasan melalui surat nomor : R-
1011/H/H.3/08/ 2001 tertanggal 29 Agustus 2001, bahwa setelah dilakukan pemeriksaan, terbukti Jaksa
telah melakukan penyimpangan dalam menangani perkara dimaksud dan untuk itu jajaran Kejaksaan
Negeri terkait, terdiri dari Kepala Kejaksaan Negeri, Pejabat Kasi Pidum, Pejabat Kasi Intelijen dan
seorang Jaksa fungsional pada Kejaksaan Negeri tersebut telah dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat
dan sedang. Untuk hal tersebut, pada tanggal 27 September 2001 Komisi Ombudsman Nasional segera
menyampaikan hasil tindaklanjut yang sudah dilakukan Kejaksaan terhadap rekomendasi Komisi
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang ombudsman Nasional dimaksud
kepada Koordinator Bersama GEBUK melalui surat nomor 0320/Kon-Srt.1658/IX/2001-DM.

5. Penculikan yang tak kunjung terungkap


Seorang pengusaha penambangan pasir di Sukabumi, Jawa Barat bernama JK Direktur PT.
Cimangkok Pasirmas Mandiri menjadi korban penculikan dan penganiayaan mengarah pada percobaan
pembunuhan. Diduga tindakan tersebut dilakukan sekelompok orang suruhan lawan bisnisnya yang
melibatkan oknum pejabat tertentu. Ada indikasi Kepolisian melakukan penundaan berlarut
pengusutannya sehingga setidaknya sudah setahun lebih perkara belum dapat dilimpahkan ke Kejaksaan
apalagi diperiksa di Pengadilan. Indikasi penundaan dimaksud antara lain sebagai berikut ;
A. Pada dasarnya sudah dapat teridentifikasi sebuah barang bukti berupa Mobil Panther berwarna hijau
Nomor Polisi B 7326 P sebagaimana diduga telah digunakan dalam aksi penculikan dan penganiayaan
terhadap Pelapor.
B. Kepolisian tidak menunjukkan profesionalitas mengungkap perihal mobil Panther dimaksud. Oleh
karena itu, Pelapor mengambil inisiatif melakukan pelacakan sendiri dan diperoleh data dari Polda Metro
Jaya bahwa mobil Panther warna hijau Nopol B 7326 P adalah milik PT. FS diduga selama ini
Direkturnya menjadi dalang dari kasus penculikan dan penganiayaan terhadap Pelapor.
C. Kesaksian yang diberikan antara lain oleh seorang Saksi Kunci yang telah diajukan ke Mabes Polri
ternyata belum ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.
Diduga Kepolisian setempat sengaja menutupi aktor intelektual yang mendalangi penculikan dan
penganiayaan tersebut, sehingga proses tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Menindaklanjuti temuan
Pelapor tersebut, pada tangggal 12 Juni 2001 Komisi mengirimkan surat yang ke empat, Nomor : 1406/
KON-Lapor.0806/VI/2001-bm. Pada tanggal 15 Oktober 2001, Pelapor memberikan informasi bahwa
Mabes Polri telah mengambil alih penanganan kasus penculikan dan penganiayaan tersebut. Selain itu,
pada jajaran Kepolisian di Propinsi Jawa Barat juga terjadi mutasi jabatan terhadap Kapolda Jawa Barat,
Kapolres Sukabumi dan Kasat Serse Polres Sukabumi. Setelah terjadi pergantian para pejabat Kepolisian
tersebut secara perlahanlahan peristiwa penculikan yang telah (hampir) dipetieskan lebih dari 1 (satu)
tahun akhirnya dibuka dan digelar kembali. Komisi memberikan kesempatan kepada Kepolisian bahwa
mereka masih mampu berperan sebagai benteng keadilan masyarakat.
6. Walikota yang tidak melaksanakan putusan pengadilan
Pendapat bahwa semua orang sama didepan hukum masih sebatas retorika saja, hal ini terbukti
dari contoh laporan ini, namun kesadaran muncul manakala masyarakat secara terus menerus tanpa putus
asa memperjuangkan haknya, apa yang menjadi haknya akan diperoleh. Seorang Pelapor yang beralamat
di Bintaro Jaya, Jakarta Selatan, sebagai ahliwaris dari H. Katili Bin Lasimpala bernama Diana Katili
merasa dirugikan atas tindakan Pemerintah Daerah Kota madya Jakarta Selatan dalam pelaksanaan
Proyek Outer Ring Road berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta No.1708 tertanggal 27 Agustus 1988.
Seyogyanya, tanah Diana Katili seluas lebih kurang 1000 M2 yang terkena proyek tersebut mendapat
ganti rugi senilai Rp. 25.653.600, - (dua puluh lima juta enam ratus lima puluh tiga ribu enam ratus
rupiah).
Tetapi sampai saat menyampaikan laporannya kepada Komisi Ombudsman Nasional, ganti rugi
tersebut belum direalisasikan. Diana Katili pernah dua kali menanyakan perihal ganti rugi yang belum
terealisasi tersebut kepada Walikota Jakarta Selatan. Pertanyaan tersebut tidak mendapat jawaban yang
memuaskan. Melalui suratnya tertanggal 7 April 1989 Nomor : 44/1.711.9 tanggal 7 April 1989, Walikota
Jakarta Selatan mengatakan bahwa permohonan ganti rugi sudah tidak relevan karena permasalahannya
telah diselesaikan melalui Pengadilan dan putusannyapun telah berkekuatan hukum tetap.
Komisi Ombudsman Nasional menindaklanjuti keluhan tersebut, pada tanggal 7 Maret 2001
Komisi mengirimkan surat nomor : 1004/KON-Lapor.1455/III/2001-ER kepada Walikota Jakarta Selatan
berisi permintaan klarifikasi sekaligus memberikan rekomendasi untuk secara sungguh-sungguh
mengambil langkah penyelesaian guna mengembalikan hak-hak Diana Katili. Pada tanggal 16 Juli 2001,
Diana Katili menulis surat kepada Komisi Ombudsman Nasional, mengucapkan terimakasih, karena
dengan Rekomendasi Komisi, akhirnya ganti ruginya terealisir.

Anda mungkin juga menyukai