Anda di halaman 1dari 21

TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL

“INJEKSI VOLUME BESAR MANITOL”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK II

MIFTHA HUSNUH AULIA 201802039

NUR AZIZAH 201802047

NURHALIM 201802052

NURWINDA SARI 201802053

REZKY AMELIA 201802060

TENRIANI PUTRI 201802069

LABORATORIUM TEKNOLOGI FARMASI

DIII FARMASI

STIKES PELAMONIA KESDAM VII/WRB

2019
I. Pendahuluan
a. Definisi
Sediaan steril merupakan salah satu bentuk sediaaan farmasi
yang banyak dipakai, terutama saat pasien dirawat di rumah
sakit. Sediaan steril sangat membantu pada saat pasien
dioperasi, diinfus, disuntik, mempunyai luka terbuka yang harus
diobati, dan sebagainya (Lukas, 2006).
Sediaan yang termasuk sediaan steril yaitu sediaan obat suntik
bervolume kecil atau besar, cairan irigasi yang dimaksudkan
untuk merendam luka atau lubang operasi, larutan dialisa dan
sediaan biologis seperti vaksin, toksoid, antitoksin, produk
penambah darah dan sebagainya. Sterilitas sangat penting
karena cairan tersebut langsung berhubungan dengan cairan
dan jaringan tubuh yang merupakan tempat infeksi dapat terjadi
dengan mudah (Ansel, 1989) .
Berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi IV, pembuatan
sediaan yang akan digunakan untuk injeksi harus dilakukan
dengan hati-hati untuk menghindari kontaminasi mikroba dan
bahan asing. Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) juga
mempersyaratkan tiap wadah akhir injeksi harus diamati satu
per satu secara fisik dan tiap wadah yang menunjukkan
pencemaran bahan asing yang terlihat secara visual harus
ditolak (Depkes RI, 1995)
Wadah untuk injeksi termasuk penutup tidak boleh berinteraksi
melalui berbagai cara baik secara fisik maupun kimiawi dengan
sediaan, yang dapat mengubah kekuatan, mutu atau kemurnian
diluar persyaratan resmi dalam kondisi biasa pada waktu
penanganan, pengangkutan, penyimpanan, penjualan dan
penggunaan. Wadah terbuat dari bahan yang dapat
mempermudah pengamatan terhadap isi. Tipe kaca yang
dianjurkan untuk tiap sediaan umumnya tertera dalam masing-
masing monografi. Penutup wadah dosis ganda memungkinkan
pengambilan isi tanpa membuka atau merusak penutup.
Penutup dapat ditembus oleh jarum suntik dan pada saat
penarikan jarum, segera menutup kembali hingga mencegah
pencemaran (Depkes RI, 1995).

b. Alasan pemilihan zat aktif


Manitol merupakan diuretik osmotik yang bekerja dengan cara
meningkatkan tekanan osmotik cairan intravaskuler sehingga
diharapkan cairan tertarik ke dalam vaskuler dan efek pada
ginjal dapat meningkatkan aliran plasma, dan menghambat
reabsorpsi air dan elektrolit di tubulus proksimal, ansa henle,
dan duktus koligentes. Sehingga manitol dapat digunakan
dalam penatalaksanaan pencegahan gagal ginjal akut pada
tindakan operasi dan luka traumatik berat, juga dapat digunakan
dalam menurunkan tekanan intrakranial dan intraokuler pada
penderita glaukoma serta dapat digunakan sebagai anti oedem.
Lebih spesifik lagi manitol sering digunakan sebagai anti oedem
otak.
Manitol merupakan 6-karbon alkohol, yang tergolong sebagai
obat diuretic osmotik. Istilah diuretik osmotik terdiri dari dua kata
yaitu diuretik dan osmotik. Diuretik ialah obat yang dapat
menambah kecepatan pembentukan urine dengan adanya
natriuresis (peningkatan pengeluaran natrium) dan diuresis
(peningkatan pengeluaran H2O). Diuretik Osmotik (manitol)
adalah diuretik yang mempunyai efek meningkatkan produksi
urin, dengan cara mencegah tubulus mereabsorbsi air dan
meningkatkan tekanan osmotic di filtrasi glomerulus dan
tubulus. Istilah diuretic osmotik biasanya dipakai untuk zat
bukan elektrolit yang mudah dan cepat diekskresi oleh ginjal.
Suatu zat dapat bertindak sebagai diuretic osmotic apabila
memenuhi 4 syarat:
(1) difiltrasi secara bebas oleh glomerulus;
(2) tidak atau hanya sedikit direbasorbsi sel tubulus ginjal;
(3) secara farmakologis merupakan zat yang inert,
(4) umumnya resisten terhadap perubahan - perubahan
metabolic.

c. Alasan pemilihan bentuk sediaan


Produk steril adalah sediaan teraseptis dalam bentuk terbagi-
bagi yang bebas dari mikroorganisme hidup. Sediaan parenteral
ini merupakan sediaan yang unik diantara bentuk obat terbagi-
bagi, karena sediaan ini disuntikkan melalui kulit atau membran
mukosa kebagian dalam tubuh. Karena sediaan mengelakkan
garis pertahanan pertama dari tubuh yang paling efisien, yakni
membran kulit dan mukosa, sediaan tersebut harus bebas dari
kontaminasi mikroba dan dari komponen toksik dan harus
mempunyai tingkat kemurniaan tinggi dan luar biasa. Semua
komponen dan proses yang terlibat dalam penyediaan produk
ini harus dipilih dan dirancang untuk menghilangkan semua
jenis kontaminasi secara fisik, kimia atau mikrobiologi.
(Lachman, 1989;1292)
Intra vena (i.v) yaitu disuntikkan langsung kedalam pembuluh
darah vena. Larutannya biasanya dalam jumlah kecil (kurang
dari 5 ml) sebaiknya isotonic dan isohidris. Khusus pemberian
dengan cara infus, harus isotonic, isohidris dan bebas pirogen.
Tidak ada fase absorbsi, karena obatnya langsung masuk
kedalam pembuluh darah vena, onset of action cepat.
II. Formula Yang Diusulkan
Setiap mengandung
No. Bahan Jumlah Fungsi/alasan
penambahan bahan
1. Manitol 5% Zat aktif
2. NaCl 0,0135% Pengisotonis
3. NaOH 0,25mL Pengatur pH
4. Carbo adsorbens 0,1% Penjerap pirogen
5. Aqua pro injeksi Add 700 mL Pelarut

III. Preformulasi Zat Aktif


a. Secara farmakologi
Manitol merupakan diuretik osmotik. Manitol disaring dengan
mudah di glomerulus ginjal, tidak direabsorbs dan tidak disekresi
ditubulus ginjal. Manitol mempengaruhi reabsorpsi air ditubulus
serta meningkatkan eksresi natrium dan klorida dengan cara
meningkatkan osmolaritas dari filtrar glomerulus. Peningkatan
osmolaritas ekstraseluler akibat pemberian manitol secara
intravena akan menginduksi perpindahan air intraseluler menuju
ekstraseluler dan intravaskuler.
Indikasi : sebagai diuretik untuk memelihara fungsi ginjal
pada kasus gagal ginjal akut, untuk mengurangi
tekanan intrakranial, memperlancar diuresis dan
eksresi material toksik dalam urin, massa pada otak
dan TIO yang tinggi
Kontra indikasi : Pada penderita payah jantung pemberian manitol
berbahaya, karena volume darah yang beredar
meningkat sehingga memperberat kerja jantung
yang telah gagal. Pemberian manitol juga
dikontraindikasikan pada penyakit ginjal dengan
anuria, kongesti atau udem paru yang berat,
dehidrasi hebat, dan perdarahan intra kranial,
kecuali bila akan dilakukan kraniotomi, serta pada
pasien yang hipersensitivitas terhadap manitol.

b. Farmakodinamik dan farmakokinetik


Farmakodinamika : Tempat kerja utama manitol adalah:
(1) Tubuli proksimal, yaitu dengan menghambat reabsorpsi
natrium dan air melalui daya osmotiknya;
(2) Ansa henle, yaitu dengan penghambatan reabsorpsi natrium
dan air oleh karena hipertonisitas daerah medula menurun;
(3) Duktus koligentes, yaitu dengan penghambatan reabsorbsi
natrium dan air akibat adanya papillary wash out, kecepatan aliran
filtrat yang tinggi, atau adanya faktor lain.
Diuresis osmotic digunakan untuk mengatasi kelebihan cairan di
jaringan (intrasel) otak. Diuretic osmotic yang tetap berada dalam
kompartemen intravaskuler efektif dalam mengurangi
pembengkakan otak. Manitol adalah larutan hiperosmolar yang
digunakan untuk terapi meningkatkan osmolalitas serum. Dengan
alasan fisiologis ini, Cara kerja Diuretic Osmotik (Manitol) ialah
meningkatkan osmolalitas plasma dan menarik cairan normal dari
dalam sel otak yang osmolarnya rendah ke intravaskuler yang
osmolar tinggi, untuk menurunkan oedema otak. Pada sistem
ginjal bekerja membatasi reabsobsi air terutama pada segmen
dimana nefron sangat permeable terhadap air, yaitu tubulus
proksimal dan ansa henle desenden. Adanya bahan yang tidak
dapat direabsobsi air normal dengan masukkan tekanan osmotic
yang melawan keseimbangan. Akibatnya, volume urine meningkat
bersamaan dengan ekskresi manitol. Peningkatan dalam laju
aliran urin menurunkan waktu kontak antara cairan dan epitel
tubulus sehingga menurunkan reabsobsi Na+. Namun demikian,
natriureis yang terjadi kurang berarti dibandingkan dengan diureisi
air, yang mungkin menyebabkan Hipernatremia. Karena diuretic
Osmotik untuk meningkatkan ekskresi air dari pada ekskresi
natrium, maka obat ini tidak digunakan untuk mengobati Retensi
Na+. Manitol mempuyai efek meningkatkan ekskresi sodium, air,
potassium dan chloride, dan juga elekterolit lainnya.
Farmakokinetik : Manitol merupakan diuretik osmotik yang
spesifik karena tidak diabsorpsi dalam traktus gastrointestinal.
Manitol sangat sedikit dimetabolisme oleh tubuh, lebih kurang 7%
dimetabolisme di hati dan hanya 7% diabsorpsi. Sebagian besar
manitol (>90%) dikeluarkan oleh ginjal dalam bentuk utuh pada
urin. Manitol diekresikan melalui filtrasi glomerulus dalam waktu 30
– 60 menit setelah pemberian. Diuretic osmotic absobsinya buruk
bila diberikan peroral, sehingga obat ini harus diberikan secara
parenteral (intravena) dalam jumlah besar.
Berdasarkan farmakokinetik dan farmakodimik diketahui beberapa
mekanisme aksi dari kerja Manitol sekarang ini adalah sebagai
berikut:
1) Menurunkan Viskositas darah dengan mengurangi
haematokrit, yang penting untuk mengurangi tahanan pada
pembuluh darah otak dan meningkatkan aliran darah ke otak, yang
diikuti dengan cepat vasokontriksi dari pembuluh darah arteriola
dan menurunkan volume darah otak. Efek ini terjadi dengan cepat
(menit).
2) Manitol tidak terbukti bekerja menurunkan kandungan air
dalam jaringan otak yang mengalami injuri, manitol menurunkan
kandungan air pada bagian otak yang yang tidak mengalami injuri,
yang mana bisa memberikan ruangan lebih untuk bagian otak
yang injuri untuk pembengkakan (membesar).
3) Cepatnya pemberian dengan bolus intravena lebih efektif
dari pada infuse lambat dalam menurunkan peningkatan tekanan
intra cranial.
4) Terlalu sering pemberian manitol dosis tinggi bisa
menimbulkan gagal ginjal. ini dikarenakan efek osmolalitas yang
segera merangsang aktivitas tubulus dalam mensekresi urine dan
dapat menurunkan sirkulasi ginjal.
5) Pemberian manitol bersama lasik (Furosemid) mengalami
efek yang sinergis dalam menurunkan PTIK. Respon paling baik
akan terjadi jika Manitol diberikan 15 menit sebelum Lasik
diberikan.
c. Interaksi
Diuretik hemat kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama
pada pada penderita penyakit ginjal kronik atau diabetes dan
penderita yang diberikan ACE inhibitor, ARB, AINS, atau suplemen
kalium secara bersamaan. Eplerenon dapat meningkatkan faktor
resiko hiperkalemia dan kontraindikasi dengan penderita
gangguan fungsi ginjal atau diabetes tipe 2disertai proteinurea.
Spronolakton dapat menyebabkan ginekomastia pada 10%
penderita, efek ini jarang terjadi pada pengguna eplerenon
(Sukandar dkk, 2009).
a. Ciclosporin
Nefrotoksisitas dapat terjadi ketika mengkonsumsi ciclosporin
dengan diuretik (manitol)
b. Ketotofen
Terjadi gagal ginjal akut pada wanita melakukan pembedahan
underwent retinal setelah mengkonsumsi manitol dan ketotofen.
c. Losartan (ARB)
Jika seorang yang menderita dianetes mengkonsumsi manitol dan
losartan akan menginduksi terjadinya gagal ginjal akut (Baxter,
2008).
d. Uraian bahan zat aktif

Nama MANITOLIUM
Berat Molekul 182,17
Rumus C6H14O6
Molekul
Pemerian Serbuk kristal berwarna putih dan tidak berbau atau
granul mengalir bebas, rasa manis. (The Handbook
of Pharmaceutical Excipients hlm. 449)
Kelarutan Larut 1 dalam 5,5 air; larut 1 dalam 83 etanol 95%;
larut 1 dalam 18 gliserin. (The Handbook of
Pharmaceutical Excipients hlm. 451)
Stabilitas
 Panas Serbuk kristal meleleh pada suhu 166-168C. Stabil
terhadap Panas (The Handbook of Pharmaceutical
Excipients 6th Ed 2009 hlm. 429)
 Hidrolisis Larutan manitol dalam air bersifat stabil, baik oleh
dingin, asam/basa encer maupun oksigen dari udara
(tanpa kehadiran katalis). (The Handbook of
Pharmaceutical Excipients 6th Ed 2009 hlm 429)
 Cahaya Manitol disimpan dalam wadah yang resisten
terhadap cahaya dan kedap udara, pada suhu kamar.
(International Journal of Pharmaceutics, Wendy L.
Hulse et. al., 2009)
Inkompabilitas Tidak cocok dengan xylitol infus dan berbentuk
kompleks dengan beberapa logam seperti aluminium,
tembaga, dan zat besi
Keterangan Range : 20-90%
Lain
Kesimpulan : Dibuat sediaan infus yang mengandung Manitol 5%
Cara sterilisasi sediaan : autoklaf suhu 121⁰C selama 15 menit/ oven
suhu 170⁰C selama 1 jam/ radiasi gama 25kGy/ filtrasi membran
0,22µm/ tanpa sterilisasi akhir *)
Bentuk zat aktif yang digunakan : Base
Bentuk sediaan : Larutan
Kemasan : Dalam wadah dosis tunggal, dari kaca atau plastik,
sebaiknya dari kaca tipe I atau tipe II (Farmakope Indonesia Ed. IV
hlm. 520)

IV. Uraian Eksipien


1. Natrium Klorida (The Handbook of Pharmaceutical Excipients
hlm. 637)
Nama NATRII CHLORIDUM
Berat Molekul 58,44
Rumus NaCl
Molekul
Pemerian Serbuk hablur putih atau kristal tidak berwarna,
mempunyai rasa asin.
Kelarutan Sedikit larut dalam etanol
1: 250 dalam etanol 95%
1:10 dalam gliserin
1:2,8 dalam air
1:2,6 dalam air 1000C
Stabilitas
 Panas Tahan panas hingga suhu 8040C
 Hidrolisis pH 6,7-7,3 pada larutan jenuh
 Cahaya Harus terlindung dari cahaya
Kesimpulan: Natrium klorida berfungsi sebagai pengisotonis, sangat
larut dalam air dan tidak tahan terhadap cahaya
Cara sterilisasi sediaan: Larutan yang mengandung natrium klorida
dapat disterilisasi akhir menggunakan autoklaf. Bila dalam bentuk
serbuk, maka disterilisasi dengan oven pada suhu 170⁰C selama 1 jam
(The Pharmaceutical Codex, 1994 hlm. 164)
Kemasan: Disimpan dalam wadah yang terlindung dari cahaya, kering
dan tertutup rapat.

2. Natrium Hidroksida (Farmakope Indonesia Ed. IV, 589-590).


Nama NATRIUM HIDROKSIDA
Berat Molekul 40,00
Rumus NaOH
Molekul
Pemerian Putih atau praktis putih, keras, rapuh dan
menunjukkan pecahan hablur. Jika terpapar diudarah
akan cepat menyerap karbon dioksida dan lembab.
Massa putih atau praktis putih, tersedia dalam bentuk
pellet serpihan atau batang atau bentuk lain.
Kelarutan 1:7,2 dalam etanol; Tidak larut dalam eter; Larut
dalam gliserin; 1: 4,2 dalam metanol;
1:0,9 dalam air;
1:0,3 pada 100°C.
Stabilitas Stabil terhadap suhu. Padatan NaOH sebaiknya
 Hidrolisis disimpan dalam tempat sejuk. Bersifat higroskopis
sehingga dapat mengikat karbondioksida dan air dari
udara. Padatan NaOH sebaiknya disimpan dalam
tempat kering

3. Aqua Pro Injeksi (Farmakope Indonesia Ed. IV, 112-113)


Nama AQUA STERILE PROINJECTIONEA
Berat Molekul 18,02
Rumus H2O
Molekul
Pemerian Air untuk injeksi yang disterilisasi dan dikemas
dengan cara yang sesuai, tidak mengandung bahan
antimikroba atau bahan tambahan lainnya. Cairan
jernih, tidak berwarna, tidak berbau
Kelarutan Bercampur dengan banyak pelarut polar
Stabilitas
 Panas Tahan panas hingga suhu 804 ⁰C.
 Hidrolisis pH 6,7-7,3 pada larutan jenuh.
 Cahaya Harus terlindung dari cahaya.
Kesimpulan: Air dapat bereaksi dengan obat atau eksipien lain yang
dapat terhidrolisis. Air dapat bereaksi dengan logam alkali dan secara
cepat dengan logam alkali tanah dan oksidanya, seperti kalium oksida
dan magnesium oksida. Air juga bereaksi dengan garam anhidrat
untuk membentuk hidrat dengan berbagai komposisi dengan material
organik tertentu. (Handbook of Pharmaceutical Excipients hlm. 802-
806)
4. Carbo Adsorben
Nama CARBO ADSORBEN
Berat Molekul 4,2
Pemerian Serbuk halus, bebas dari butiran, hitam; tidak berbau;
tidak berasa
Kelarutan Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol
Kemasan : dalam wadah tertutup baik
Fungsi : penjerap pirogen, menghilangkan pirogen dalam sediaan

V. Perhitungan Tonisitas
Rumus ekivalensi manitol 5%= %kadar (m) x E
Nilai E belum diketahui, sehingga dilakukkan perhitungan
menggunakan metode Liso dengan rumus:
𝐿𝑖𝑠𝑜
E = 17 𝑀

Keterangan:
E = ekivalen NaCl
Liso = nilai tetapan Liso zat
M = massa molekul zat
1,9
= 17 x 182,17

= 0,1773%
Nilai E telah diketahui, sehingga ekivalen manitol 5% dapat dihitung:
Rumus ekivalen manitol 5% = % kadar (m) x E
= 5% x 0,1773
= 0,8865 %
Dengan demikian:
Jumlah NaCl yang ditambahkan supaya sediaan isotonis
= (0,9 – 0,8865)% = 0,0135%
=0,0135 g dalam 100 mL
VI. Perhitungan bahan
Jumlah sediaan yang dibuat : 1 botol infus @ 500 ml
No Nama Bahan Jumlah yang ditimbang
1 Manitol Jumlah manitol yang ditimbang
dilebihkan 5% (selisih rentang kadar
dibagi 2) untuk mengantisipasi
kehilangan akibat absorbsi oleh karbon
aktif (Farmakope Indonesia IV, 520)
Manitol 5% = 5 gram/ 100 ml
Untuk 1100 ml larutan sediaan
5 𝑔𝑟
=100 𝑚𝑙 𝑥 700 𝑚𝑙 = 35 𝑔𝑟

Jumlah yang ditimbang yaitu


=35 gram + (5% x 35 gram)= 36,75
gram
2 NaCl 94,5 mg
3 NaOH 0,25 mL
4 Karbon aktif 0,1 % 2,2 g (0,7g untuk sediaan; 1,5g untuk air
bebas pirogen)

VII. Persiapan Alat/Wadah/Bahan


a. Alat

No. Nama Alat Jumlah Cara Sterilisasi Waktu


1. Kaca arloji 3 Dalam oven 1700 C 1 jam
Batang
2. 3 Dalam oven 1700 C 1 jam
pengaduk
Gelas kimia
3. 1 Dalam oven 1700 C 1 jam
500 ml
Gelas kimia
4. 1 Dalam oven 1700 C 1 jam
100 ml
Erlenmyer 1 Dalam autoklaf
5. 2 15 menit
L 121oC
Erlenmeyer Dalam autoklaf
6. 2 15 menit
500 ml 121oC
Dalam autoklaf 1 jam
7. Corong 2
1700C
Dalam autoklaf 1 jam
8. Spatula 3
1700C
Dalam autoklaf 1 jam
9. Pipet tetes 2
1700C
Dalam autoklaf 1 jam
10. Termometer 2
1700C
Kertas Dalam autoklaf
11. 6 15 menit
saring 121oC
Kertas
12. Dalam autoklaf
membran 4 15 menit
121oC
0,45 µm
Kertas
Dalam autoklaf
13. membran 4 15 menit
121oC
0,22 µm

b. Wadah

No. Nama Wadah Jumlah Cara Sterilisasi Waktu


Botol infus Dalam autoklaf
1. 1 15 menit
flakon 500 ml 121oC
Karet tutup Rendam dengan
2. 1 24 jam
flakon etanol 70%

VIII. Permasalahan dan Penyelesaian Masalah


1. Untuk sediaan dengan volume lebih dari 50 ml, volume
terpindahkan untuk masing-masing wadah sebesar 2% ml
(Farmakope Indonesia IV , 1044) sehingga untuk sediaan
sebanyak 500 ml ketika dimasukkan ke dalam kemasan harus
dilebihkan sampai 510 mL.
2. Pembuatan juga dilebihkan untuk mengantisipasi kehilangan zat
pada saat pembilasan, penyaringan dan evaluasi sehingga
sediaan dibuat sebanyak 700 ml larutan untuk 1 botol infus
@510 mL
3. Pembawa yang digunakan adalah aqua pro injeksi yang bebas
pirogen karena zat aktif yang digunakan memiliki sifat kelarutan
yang baik dalam air.
4. Ditambahkan karbon adsorben yang dapat menghilangkan
pirogen yang dapat membahayakan tubuh jika sampai masuk
bersama aliran darah.
5. NaOH digunakan sebaga pengatur pH sehingga sediaan injeksi
yang dibuat memiliki pH yang sesuai dengan pH yang
diinginkan

1. Prosedur Pembuatan
RUANG PROSEDUR
Grey area 1. Semua alat dan wadah disterilisasi dengan cara
(ruang masingmasing. Gelas kimia ditara dahulu sebelum
sterilisasi) disterilisasi.
2. Pembuatan air steril pro injeksi: 1500 ml aquabidest
disterilkan dengan autoklaf 121C selama 15 menit.
3. Setelah disterilisasi, semua alat dan wadah
dimasukkan ke dalam white area melalui transfer box.
Grey area 1. Mannitol ditimbang sebanyak 36,75 g menggunakan
(ruang kaca arloji steril
penimbangan) 2. Natrium klorida ditimbang sebanyak 94,5 mg
menggunakan kaca arloji steril
3. Karbon aktif ditimbang sebanyak masing-masing 1,5 g
dan 0,7 g menggunakan kaca arloji steril untuk
depirogenasi aqua p.i dan sediaan akhir.
4. Membuat air bebas pirogen dengan cara memindahkan
1500 ml air pro injeksi ke dalam erlenmeyer 2 L kemudian
tambahkan 1,5 g Carbo adsorbens lalu tutup dengan kaca
arloji, sisipi dengan batang pengaduk. Panaskan pada
suhu 60-70C selama 15 menit (gunakan termometer).
Saring larutan dengan kertas saring rangkap 2, lalu
disterilisasi membran melalui kolom G3 dengan membran
filter 0,22 µm. Air steril bebas pirogen ini digunakan untuk
membilas alat dan wadah yang telah disterilisasi dan
menggenapkan volume sediaan.
White area 1. Manitol sebanyak 36,75 g dilarutkan dengan 350 mL
Kelas C aqua pro injeksi bebas pirogen ke dalam gelas kimia
(ruang 500 mL dan diaduk dengan batang pengaduk hingga
pencampuran zat larut.
dan 2. Natrium klorida sebanyak 94,5 mg dilarutkan dengan
pengisian) 50 mL aqua pro injeksi bebas pirogen ke dalam gelas
kimia 100 mL dan diaduk dengan batang pengaduk
hingga zat larut sempurna.
3. Larutan manitol dan larutan natrium klorida
dicampurkan dalam labu erlenmeyer 1 L lalu diaduk
homogen. Tambahkan aqua pro injeksi bebas pirogen
hingga mencapai sekitar 500 mL.
4. Dilakukan pengecekan pH dengan beberapa tetes
larutan menggunakan pH indikator atau pH meter.
5. Bila nilai pH belum mencapai nilai yang diharapkan,
tambahkan larutan NaOH 0,1 N atau HCl 0,1 N hingga
pH larutan mencapai 7,4. Lalu genapkan dengan air
pro injeksi bebas pirogen hingga 700 ml.
6. Karbon aktif sebanyak 0,7 g dimasukkan ke dalam
larutan sediaan dan diaduk hingga merata, lalu
dipanaskan di atas api Bunsen atau hot plate hingga
suhu 60-70˚C selama 15 menit sambil diaduk sekali-
kali.
7. Kertas saring dilipat menjadi dua rangkap dan
dibasahi dengan aqua pro injeksi bebas pirogen,
kemudian dipasang pada corong dan ditempatkan
pada labu Erlenmeyer 2 L yang lain. Larutan sediaan
disaring menggunakan kertas saring tersebut dalam
keadaan masih panas.
8. Larutan sediaan disaring kembali menggunakan
membran filter 0,22 µm dalam kolom G3.
9. Filtrat dimasukkan ke dalam 1 botol flakon yang telah
ditara sebanyak 510 mL.
Grey area Flakon ditutup dengan menggunakan tutup karet flakon
(Ruang steril dengan simpul champagne.
penutupan)
Grey area Sterilisasi akhir dilakukan dengan autoklaf 121˚C
(Ruang selama 15 menit.
sterilisasi)
Grey area 1. Dilakukan evaluasi sediaan.
(Ruang 2. Sediaan diberi etiket yang sesuai.
evaluasi)

2. Evaluasi sediaan
1. Uji Kebocoran

Tujuan : Untuk mengetahui apakah sediaan yang kita buat

mengalami kebocoran atau tidak pada saat akan

digunakan atau pada saat didistribusikan.

Cara : Wadah sediaan diletakkan dengan posisi terbalik


2. Uji pH

Tujuan : Untuk mengetahui apakah pH sediaan sama dengan

pH fisiologi darah (7,4) agar pada saat digunakan tidak


menimbulkan rasa sakit dan penyerapan obatnya

dapat optimal.

Cara : Diuji dengan menggunakan pH universal atau pH


meter.
3. Uji kejernihan larutan infus

Tujuan : Untuk mengetahui larutan infus tidak terdapat partikel

padat yang melayang didalam sediaan infus.

Cara : Pengujian dilakukan secara visual. Botol diputar 180°


berulang ulang didepan suatu latar belakang yang
berwarna hitam untuk sediaan infus yang jernih, dan
latar belakang yang berwarna putih untuk sediaan
infus yang memiliki warna kemudian diberi penerangan
cahaya.
DAFTAR PUSTAKA

Baxter, K., 2008, Stockley ’ s Drug Interactions 8th ed. K. Baxter, ed.,
London: Pharmaceutical Press.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1978. Formularium Nasional


Edisi Kedua. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Halaman 323.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia


Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Halaman 173-174; 519-521; 1044.

Lachman, Leon.(1993) Pharmaceutical Dosage Forms: Parenteral


Medications Volume 2, 2 nd edition, New York: Marcell
Dekker Inc. hal: 561

Lukas, Stefanus. 2006. Formulasi Steril. Yogyakarta: Andi Offset.


Halaman 61, 81.

Lund, W. 1994. The Pharmaceutical Codex 12th Edition. London: The


Pharmaceutical Press. Halaman 101.

Rowe, Raymond C., Sheskey, Paul J., Quinn, Marian E.. 2009. Handbook
of Pharmaceutical Excipients 6th Edition. London: The
Pharmaceutical Press. Halaman 637-639.

Sukandar. E. Y., Andrajati. R., Sigit. J. I., Adnyana. I. K., Setiadi. A. A. P.,
Kusnandar, 2009, ISO Farmakoterapi, ISFI Penerbitan,
Jakarta

Sweetman, Sean C., 2009. Martindale 36th Edition. London: The


Pharmaceutical Press. Halaman 2414.

Syamsuni .2007. Ilmu Resep. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta


The Council of The Pharmaceutical Society of Great Britain. The
Pharmaceutical Codex, 12thed, Principles and Practice
of Pharmaceutics., 1994. London: The
PharmaceuticalPress (hal 164)

The Department of Health, Social Service and Public Safety. British


Pharmacopoeia 2002. London. Halaman 1889.

Wendy L. Hulsea, Robert T. Forbes A, Michael C. Bonner a, Matthias


Getrost. 2009. International Journal of Pharmaceutics

Anda mungkin juga menyukai