Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

KOAGULASI DAN FLOKULASI

Oleh:

Siti Arumnika
1707113836

PROGRAM STUDI SARJANA TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah
tentang Pengukuran Gaya. Dan juga saya berterima kasih pada Ibu Ida Zahira, ST,
MT. selaku Dosen mata kuliah Sistem Utilitas Fakultas Teknik Universitas Riau
yang telah memberikan tugas ini kepada saya.

Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai mekanisme koagulasi dan flokulasi.
Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan makalah yang telah saya buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan
datang.

Pekanbaru, 14 Desember 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................i


DAFTAR ISI .............................................................................................................ii
DAFTAR TABEL ....................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .....................................................................................2
1.3 Tujuan ........................................................................................................2
BAB II ISI .................................................................................................................3
2.1 Koagulasi ....................................................................................................3
2.1.1 Pengertian Koagulasi ..........................................................................3
2.1.2 Koagulan .............................................................................................3
2.1.3 Proses Koagulasi .................................................................................7
2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Proses Koagulasi ...................................10
2.2 Flokulasi .....................................................................................................11
2.2.1 Pengertian Flokouasi ...........................................................................11
2.2.2 Proses Flukolasi ..................................................................................12
2.2.3 Efektivitas Flokulasi ...........................................................................13
2.3 Filtrasi .........................................................................................................14
2.3.1 Pengertian Filtrasi ...............................................................................14
2.3.2 Jenis-Jenis Filter..................................................................................15
BAB III PENUTUP ..................................................................................................22
3.1 Kesimpulan .................................................................................................22
3.2 Saran ...........................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................23

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbandingan SSF dan RSF ......................................................................17


Tabel 2.2 Kriteria untuk Filter Pasir Cepat dan Filter Pasir Lambat .........................20

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Proses Koagulasi Secara Mekanis dengan Mesin Pemutar ..................10
Gambar 2.2 Proses Flokulasi ....................................................................................13
Gambar 2.3 Mekanisme Koagulasi dan Flokulasi ....................................................13
Gambar 2.4 Filter Aliran Secara Gravitasi dengan Kelengkapannya........................16
Gambar 2.5 Potongan Filter Saat Operasi Dan Pencucian Balik (Back Wash).........17
Gambar 2.7 Slow Sand Filter (SSF)..........................................................................20

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Proses koagulasi – flokulasi merupakan salah satu cara pengolahan limbah cair
untuk menghilangkan partikel-partikel yang terdapat didalamnya. Koagulasi diartikan
sebagai proses kimia fisik dari pencampuran bahan koagulan ke dalam aliran limbah
dan selanjutnya diaduk cepat dalam bentuk larutan tercampur. Flokulasi adalah proses
pembentukan flok pada pengadukan lambat untuk meningkatkan saling hubung antar
partikel yang goyah sehingga meningkatkan penyatuannya (aglomerasi).
Proses saling mengikat antar partikel atau terjadinya pembentukan flok dapat
dijelaskan dalam berbagai macam teori. Pertama, pembentukan flok terjadi karena
adanya tumbukan partikel koloid dengan koagulan (sweep coagulation). Kedua,
pembentukan flok terjadi karena terjadi penetralan/pemuatan partikel koloid yang
dilanjutkan dengan adanya gaya tarik menarik antar partikel. Ketiga, pembentukan
penghubung polimer (inter particle bridging). Pemahaman terjadinya proses
pembentukan flok tersebut tergantung dari macam koagulan yang ditambahkan dalam
proses tersebut.
Koagulan adalah bahan kimia yang mempunyai kemampuan menetralkan muatan
koloid dan mengikat partikel tersebut sehingga siap/mudah membentuk flok atau
gumpalan (Hammer, 1986). Bahan kimia yang dapat digunakan sebagai koagulan
adalah kapur, alum, dan polielektrolit (organik sintesis) (Hammer, 1986), koagulan
anorganik [poly alumunium chloride (PAC)] (Wenbin et al., 1999), dan garam-garam
besi seperti feri klorida dan besi sulfat (Davis dan Cornwell, 1991).
Selama ini proses koagulasi – flokulasi dalam pengolahan limbah cair umumnya
ditempatkan pada pengolahan primer (primary treatment) dan pengolahan tersier
(tertiary treatment). Penggunaan proses koagulasi – flokulasi pada pengolahan tersier
biasanya ditujukan untuk menurunkan kekeruhan yang masih tersisa pada efluen
limbah cair yang akan dibuang ke lingkungan.

1
Pada beberapa pengolahan limbah cair industri, menurunnya 2 kekeruhan akibat
proses koagulasi – flokulasi ditujukan juga untuk mengurangi warna dalam limbah cair
sebelum masuk ke tahap pengolahan selanjutnya. Limbah cair yang dihasilkan dari
proses tersebut telah mengalami pengolahan pada IPAL yang yaitu melalui tahapan
pengolahan primer (ekualisasi, penurunan suhu, dan pengaturan pH), pengolahan
sekunder (denitrifikasi, nitrifikasi), dan pengolahan tersier (klorinasi). Pada
pengolahan tersier, proses klorinasi yang dilakukan bertujuan untuk membantu
menghilangkan warna yang masih tersisa dalam efluen.
Berdasarkan pengamatan pada kolam indikator yang ditempatkan setelah proses
pengolahan tersier (klorinasi), terlihat adanya kematian ikan yang terdapat didalamnya.
Kematian ikan ini diduga disebabkan oleh kadar klorin efluen yang tinggi yaitu
mencapai 0.78-4.62 mg/l. Klorin sangat beracun bagi ikan, dan untuk menghindari efek
berbahaya dari bahan tersebut maka residu klorin dalam air harus dijaga agar tidak
lebih dari 0.003 mg/l dan klorin pada konsentrasi 0.2 - 0.3 mg/l sudah cukup untuk
membunuh ikan dengan cepat. Oleh karena itu, diperlukan suatu penanganan yang
tepat dalam menangani permasalahan ini, salah satu caranya adalah dengan proses
koagulasi dan flokulasi sebagai substitusi proses klorinasi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu koagulasi, flokulasi dan filtrasi?
2. Bagaimana mekanisme proses koagulasi, flokulasi dan filtrasi ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang koagulasi, flokulasi, dan filtrasi.
2. Untuk mengetahui mekanisme proses koagulasi, flokulasi, dan filtrasi.

2
BAB II

ISI

2.1 Koagulasi
2.1.1 Pengertian Koagulasi
Menurut Steel dan McGhee (1985), koagulasi diartikan sebagai proses kimia
fisik dari pencampuran bahan kimia ke dalam aliran limbah dan selanjutnya diaduk
cepat dalam bentuk larutan tercampur. Jenis partikel koloid merupakan penyebab
kekeruhan dalam air (efek Tyndall) yang disebabkan oleh penyimpangan sinar nyata
yang menembus suspensi tersebut. Partikel-partikel koloid tidak terlihat secara visual
sedangkan larutannnya (tanpa partikel koloid) yang terdiri dari ion-ion dan molekul-
molekul tidak pernah keruh. Larutan tidak keruh jika terjadi pengendapan (presipitasi)
yang merupakan keadaan kejenuhan dari suatu senyawa kimia.

Koagulasi secara umum didefinisikan sebagai penambahan zat kimia (koagulan)


ke dalam air limabah dengan maksud mengurangi gaya tolak-menolak antar partikel
koloid, sehingga partikel –partikel tersebut dapat bergabung menjadi flok-flok halus.
Koagulasi terpenuhi dengan penambahan ion-ion yang mempunyai muatan berlawanan
dengan partikel koloid. Partikel koloid umunya bermuatan negatif oleh karena itu ion-
ion yang ditambahkan harus kation atau bermuatan positif. Kekuatan koagulasi ion-ion
tersebut bergantung pada bilangan valensi atau besarnya muatan. Ion bivalen (+2) 30-
60 kali lebih efektif dari ion monovalen (+1). Ion trivalen (+3) 700-1000 kali lebih
efektif dari ion monovalen.

2.1.2 Koagulan
Koagulan adalah bahan kimia yang mempunyai kemampuan menetralkan
muatan koloid dan mengikat partikel tersebut sehingga membentuk flok atau gumpalan
(Hammer, 1986). Menurut Davis dan Cornwell (1991), koagulan merupakan substansi
kimia yang dimasukkan ke dalam air untuk menghasilkan efek koagulasi.

3
Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan pada suatu koagulan, yaitu:

1. Kation bervalensi tiga (trivalen). Kation trivalen merupakan kation yang paling
efektif untuk menetralkan muatan listrik koloid.
2. Tidak beracun (toksik). Persyaratan ini diperlukan untuk menghasilkan air atau
air limbah hasil pengolahan yang aman.
3. Tidak larut dalam kisaran pH netral. Koagulan yang ditambahkan harus
terpresipitasi dari larutan, sehingga ion-ion tersebut tidak tertinggal dalam air.

Menurut Hammer (1986), bahan kimia yang digunakan sebagai koagulan adalah
kapur, alum, dan polielektrolit (organik sintesis). Polielektrolit dapat berupa kation,
anion, nonionik dan Miccellaneous (Liu dan Liptak, 2000). Garam-garam besi seperti
feri klorida (FeCl3) dan besi sulfat (Fe2(SO4)3.H2O) dapat dipergunakan pula sebagai
koagulan (Davis dan Cornwell, 1991). Menurut Wenbin et al. (1999), pada saat ini ada
dua macam koagulan yang banyak digunakan adalah koagulan anorganik dan koagulan
organik. 9 Alumunium sulfat dan poly alumunium chloride (PAC) merupakan
koagulan anorganik dengan produksi terbanyak.

Berikut ini adalah bahan kimia yang biasa yang digunakan untuk koagulasi:

1. Aluminium sulfat
Menurut Suciastuti dan Sutrisno (1987), alumuniun sulfat biasanya disebut juga
sebagai tawas. Bahan ini banyak dipakai, karena efektif untuk menurunkan kadar
karbonat. Bahan ini paling ekonomis (murah) dan mudah didapat pada pasaran serta
mudah disimpan. Menurut Alaerts dan Santika (1987), alum dalam air akan mengalami
proses hidrolisis menurut reaksi umum adalah sebagai berikut:
Al2(SO4)3 + 6H2O 2Al(OH)3 + 6H+ + 3SO42-
Menurut Davis dan Cornwell (1991), alum padat komersil (Al2(SO4)3.14H2O)
mempunyai bobot molekul 594. Komposisi alum padat terdiri 48.8 persen alum (8.3%
Al2O3) dan 51.2 persen air. Menurut Kurniawan (2005), penambahan alum pada air
lindi (cairan sampah) dengan dosis 15 mg/l hingga 80 mg/l dapat menurunkan
kekeruhan sebesar 64.43 persen hingga 87.20 persen dan menurunkan warna sebesar

4
40.50 persen hingga 73.97 persen, dan menurut Pujiantoro (1995), penambahan alum
pada penanganan primer limbah cair industri rayon dengan dosis 100 mg/l hingga 400
mg/l dapat menurunkan kekeruhan sebesar 76 persen hingga 90 persen. Proses
koagulasi – flokulasi dengan koagulan alum, kisaran pH yang mungkin adalah pada pH
5 hingga pH 8 (Davis dan Cornwell, 1991).

2. PAC (Poly Alumunium Chloride)


Menurut Echanpin (2005), PAC merupakan koagulan anorganik yang tersusun
dari polimer makromolekul yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
(1) tingkat adsorpsi yang kuat
(2) mempunyai kekuatan lekat
(3) pembentukan flok-flok yang tinggi dengan dosis kecil
(4) tingkat sedimentasi cepat
Keunggulan lainnya adalah cakupan penggunaan yang luas. Oleh karena itu,
produk ini adalah suatu agen dalam proses penjernihan air dengan efisiensi tinggi, cepat
dalam proses pengolahan air, aman dan konsumsi konsentrasi yang rendah. Menurut
Hardman (2005), PAC terdiri dari berbagai jenis, yaitu sebagai berikut:
1. PAC-AC PAC yang mempunyai basicity yang tinggi dalam cairannya untuk proses
koagulasi pada pengolahan air minum dan limbah cair.
2. PAC-SP PAC yang mempunyai basicity yang sedang dalam cairannya untuk proses
koagulasi pada pengolahan air minum dan limbah cair.
3. PAC-PW PAC yang mempunyai basicity yang sedang dalam cairannya untuk proses
koagulasi pada pengolahan air minum dan limbah cair dengan berbagai kondisi yang
luas.
Dalam cairan PAC, ion-ion garam alumunium dibentuk menjadi polimer-polimer
yang terdiri dari sekelompok ion yang dihubungkan oleh atom-atom oksigen. Polimer-
polimer ini hanya terbentuk dalam cairan garam alumunium yang sebagian telah
dinetralkan melalui reaksi dengan basa. Derajat polimerisasi meningkat seiring dengan
besarnya netralisasi. Netralisasi mengubah karakteristik dasar cairan. Netralisasi total

5
garam aluminium mengakibatkan presipitasi aluminium hidroksida, dengan formula
Al(OH)3 atau Al2(OH)6.
Pada formula Hardman untuk PAC-AC (Concentrated High Basicity Poly
Aluminium Chloride Solution) yaitu Al2(OH)5Cl, diduga sebanyak 5/6 larutan Al(OH)3
ternetralisasi (Hardman Australia Pty Ltd., 2002). Senyawa PAC mempunyai
karakteristik tertentu, seperti: padatan berwarna kuning jernih, titik didih lebih dari
100ºC, titik beku -12ºC, specific grafity 1.36-1.38, larut dalam air dan stabil di bawah
kondisi biasa.
PAC dapat digunakan dengan interval dosis yang luas dan sangat cocok untuk
beranekaragam kekeruhan, kebasaan, dan jumlah bahan organik di dalam air. Apabila
dibandingkan dengan alumunium sulfat, PAC mempunyai efek koagulasi yang lebih
baik, sangat cocok digunakan pada 11 temperatur rendah (T<10o C), flok terbentuk
sangat cepat, serta memiliki waktu singkat untuk bereaksi dan mengendap (Wenbin et
al., 1999).
Beberapa keuntungan koagulan PAC adalah selain sangat baik untuk
menghilangkan kekeruhan dan warna, memadatkan dan menghentikan penguraian
flok, membutuhkan kebasaan rendah untuk hidrolisis, sedikit berpengaruh pada pH,
menurunkan atau menghilangkan kebutuhan penggunaan polimer, serta mengurangi
dosis koagulan sebanyak 30–70% (Eaglebrook Inc., 1999).

Menurut Kurniawan (2005), penambahan dosis PAC pada air lindi (cairan
sampah) dalam kisaran 10 mg/l hingga 60 mg/l dapat menurunkan kekeruhan sebesar
49.24 persen hingga 81.34 persen dan warna sebesar 3.72 persen hingga 62.98 persen.
Proses koagulasi – flokulasi dengan koagulan PAC akan menurunkan kadar COD 40 –
70% dengan perlakuan pH dibawah 6.5 (Klimiuk et al.,1999).

3. Ferri Klorida
Feri Klorida (FeCl3.6H2O) merupakan koagulan utama dalam proses koagulasi
limbah cair industri. Reaksi hidrolisis feri klorida mirip dengan reaksi hidrolisis alum.
Pemakaian feri klorida terbatas untuk penanganan beberapa limbah cair industri. Feri
klorida dibuat dari reaksi klorinasi besi, tersedia dalam bentuk padatan atau cairan dan

6
sangat korosif (Hammer, 1986). Menurut Davis dan Cornwell (1991), besi dapat
diperoleh dari garam sulfat Fe2(SO4)3.H2O atau garam klorida FeCl3.xH2O yang
tersedia dalam bentuk padatan atau larutan. Reaksi FeCl3 dalam air yang mengandung
alkalinitas adalah sebagai berikut :
FeCl3 + 3HCO3 Fe(OH)3(s) + 3CO2 + 3Cl
Dan reaksinya dalam air yang tidak mengandung alkalinitas adalah:
FeCl3 + 3H2O Fe(OH)3(s) + 3HCl
Pembentukan asam klorida akan menurunkan pH. Menurut Pujiantoro (1995),
dengan penambahan dosis FeCl3 sebanyak 50 mg/l dapat menurunkan kekeruhan
limbah cair industri rayon dari 72 mg/l SiO2 menjadi 15 mg/l SiO2 (79%). Kisaran pH
efektif dengan penggunaan 12 koagulan FeCl3 pada proses koagulasi – flokulasi adalah
pH 4 hingga pH 9 (Davis dan Cornwell,1991).
Pengolahan limbah cair pada pabrik tekstil dilakukan apabila limbah pabrik
mengandung zat warna, maka aliran limbah dari proses pencelupan harus dipisahkan
dan diolah tersendiri. Limbah operasi pencelupan dapat diolah dengan efektif untuk
menghilangkan logam dan warna, jika menggunakan flokulasi kimia, koagulasi dan
penjernihan yaitu dengan menggunakan garam feri (FeCl3). Limbah dari pengolahan
kimia dapat dicampur dengan semua aliran limbah yang lain untuk dilanjutkan ke
pengolahan biologi. Pada beberapa pengolahan limbah cair FeCl3 dapat digunakan
sebagai flocculating agent, etching agent untuk penanganan permukaan logam, dan
desinfektan. Koagulan FeCl3 dapat menimbulkan masalah, terutama timbulnya warna
dan sifat korosif apabila proses koagulasi tidak berlangsung dengan baik. Timbulnya
warna tersebut dikarenakan oleh Fe3+ dari koagulan yang terlarut dalam air olahan.
Adanya Fe3+ yang terlarut dalam air olahan menyebabkan timbulnya warna merah
(Reynolds, 1982; Peavy et al., 1986).

2.1.3 Proses Koagulasi


Pada proses koagulasi-flokulasi terdiri dari dua tahap besar, yaitu :
1. Penambahan koagulan Aluminium sulfat (Al2(SO4)3.18H2O)
2. Pengadukan campuran koagulan-air umpan, yang terdiri dari :

7
a) Pengadukan cepat
Pengadukan cepat (Rapidmixing) merupakan bagian integral dari proses
Koagulasi. Tujuan pengadukan cepat adalah untuk mempercepat dan menyeragamkan
penyebaran zat kimia melalui air yang diolah, serta untuk menghasilkan dispersi yang
seragam dari partikel-partikel koloid, dan untuk meningkatkan kesempatan partikel
untuk kontak dan bertumbukan satu sama lain

b) Pengadukan pelan.
Pengadukan pelan ini bertujuan menggumpalkan partikel-partikel terkoagulasi
berukuran mikro menjadi partikel-partikel flok yang lebih besar. Flok-flok ini
kemudian akan beragregasi/ berkumpul dengan partikel-partikel tersuspensi lainnya
(Duliman, 1998). Setelah pengadukan pelan selesai flok-flok yang terbentuk dibiarkan
mengendap. Setelah proses pralakuan koagulasi-flokulasi selesai, derajat keasaman
(pH) air umpan mikrofiltrasi akan turun. Selanjutnya air umpan jernih hasil koagulasi
dialirkan ke reservoir kedua agar terpisah dari endapan - endapan yang terbentuk. Air
inilah yang kemudian akan diumpankan pada proses mikrofiltrasi oleh membran.
Pada proses koagulasi, juga dibagi dalam tahap secara fisika dan kimia.

1. Secara fisika
Koagulasi dapat terjadi secara fisik seperti:
a. Pemanasan
Kenaikan suhu sistem koloid menyebabkan tumbukan antar partikel-partikel sol
dengan molekul-molekul air bertambah banyak. Hal ini melepaskan elektrolit yang
teradsorpsi pada permukaan koloid. Akibatnya partikel tidak bermuatan. contoh:darah
b. Pengadukan, contoh: tepung kanji
c. Pendinginan, contoh: agar-agar
2. Secara kimia
Sedangkan secara kimia seperti penambahan elektrolit, pencampuran koloid
yang berbeda muatan, dan penambahan zat kimia koagulan. Ada beberapa hal yang
dapat menyebabkan koloid bersifat netral, yaitu:

8
a. Menggunakan Prinsip Elektroforesis. Proses elektroforesis adalah pergerakan
partikel-partikel koloid yang bermuatan ke elektrode dengan muatan yang
berlawanan. Ketika partikel ini mencapai elektrode, maka sistem koloid akan
kehilangan muatannya dan bersifat netral.
b. Penambahan koloid, dapat terjadi sebagai berikut: Koloid yang bermuatan
negatif akan menarik ion positif (kation), sedangkan koloid yang bermuatan
positif akan menarik ion negatif (anion). Ion-ion tersebut akan membentuk
selubung lapisan kedua. Apabila selubung lapisan kedua itu terlalu dekat maka
selubung itu akan menetralkan muatan koloid sehingga terjadi koagulasi. Makin
besar muatan ion makin kuat daya tariknya dengan partikel koloid, sehingga
makin cepat terjadi koagulasi. (Sudarmo,2004)
c. Penambahan Elektrolit. Jika suatu elektrolit ditambahkan pada sistem koloid,
maka partikel koloid yang bermuatan negatif akan mengadsorpsi koloid dengan
muatan positif (kation) dari elektrolit. Begitu juga sebaliknya, partikel positif
akan mengadsorpsi partikel negatif (anion) dari elektrolit. Dari adsorpsi diatas,
maka terjadi koagulasi.

Dalam proses koagulasi, stabilitas koloid sangat berpengaruh. Stabilitas


merupakan daya tolak koloid karena partikel-partikel mempunyai muatan permukaan
sejenis (negatip). Beberapa gaya yang menyebabkan stabilitas partikel, yaitu:
1. Gaya elektrostatik yaitu gaya tolak menolak tejadi jika partikel-partikel
mempunyai muatan yang sejenis.
2. Bergabung dengan molekul air (reaksi hidrasi).
3. Stabilisasi yang disebabkan oleh molekul besar yang diadsorpsi pada permukaan.

9
Gambar 2.1 Proses Koagulasi Secara Mekanis dengan Mesin Pemutar

2.1.4 Faktor Yang Mempengaruhi Proses Koagulasi


Faktor Yang Mempengaruhi Proses Koagulasi yaitu :
a. Suhu air
Suhu air yang rendah mempunyai pengaruh terhadap efisiensi proses koagulasi.
Bila suhu air diturunkan , maka besarnya daerah pH yang optimum pada proses
kagulasi akan berubah dan merubah pembubuhan dosis koagulan.

b. Derajat Keasaman (pH)


Proses koagulasi akan berjalan dengan baik bila berada pada daerah pH yang
optimum. Untuk tiap jenis koagulan mempunyai pH optimum yang berbeda satu sama
lainnya.
c. Jenis Koagulan
Pemilihan jenis koagulan didasarkan pada pertimbangan segi ekonomis dan daya
efektivitas daripadakoagulan dalam pembentukan flok. Koagulan dalam bentuk larutan
lebih efektif dibanding koagulan dalam bentuk serbukatau butiran.
d. Kadar ion terlarut
Pengaruh ion-ion yang terlarut dalam air terhadap proses koagulasi yaitu
pengaruh anion lebih bsar dari pada kation. Dengan demikian ion natrium, kalsium dan
magnesium tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap proses koagulasi.

10
e. Tingkat kekeruhan
Pada tingkat kekeruhan yang rendahproses destibilisasi akan sukar terjadi.
Sebaliknya pada tingkat kekeruhan air yang tinggi maka proses destabilisasi akan
berlangsung cepat. Tetapi apabila kondisi tersebut digunakan dosis koagulan yang
rendah maka pembentukan flok kurang efektif.
f. Dosis koagulan
Untuk menghasilkan inti flok yang lain dari proses koagulasi dan flokulasi
sangattergantung dari dosis koagulasi yang dibutuhkan Bila pembubuhan koagulan
sesuai dengan dosis yang dibutuhkan maka proses pembentukan inti flok akan berjalan
dengan baik.
g. Kecepatan pengadukan
Tujuan pengadukan adalah untuk mencampurkan koagulan ke dalam air. Dalam
pengadukan hal-hal yang perlu diperhatikan adalah pengadukan harus benar-benar
merata, sehingga semua koagulan yang dibubuhkan dapat bereaksi dengan partikel-
partikel atau ion-ion yang berada dalam air. Kecepatan pengadukan sangat berpengaruh
terhadap pembentukan flok bila pengadukan terlalu lambat mengakibaykan lambatnya
flok terbentuk dan sebaliknya apabila pengadukan terlalu cepat berakibat pecahnya
flok yang terbentuk
h. Alkalinitas
Alkalinitas dalam air ditentukan oleh kadar asam atau basa yang terjadi dalam
air. Alkalinitas dalam air dapat membentuk flok dengan menghasil ion hidroksida pada
reaksihidrolisa koagulan.

2.2 Flokulasi
2.2.1 Pengertian Flokulasi
Flokulasi adalah suatu proses aglomerasi (penggumpalan) partikel-partikel
terdestabilisasi menjadi flok dengan ukuran yang memungkinkan dapat dipisahkan
oleh sedimentasi dan filtrasi. Setelah proses koagulasi, partikel-partikel terdestabilisasi
dapat saling bertumbukan membentuk agregat sehingga terbentuk flok, tahap ini
disebut “Flokulasi”. Flokulasi adalah suatu proses aglomerasi ( penggumpalan )

11
partikel-partikel terdestabilisasi menjadi flok dengan ukuran yang memungkinkan
dapat dipisahkan oleh proses sedimentasi dan filtrasi. Dengan kata lain proses flokulasi
adalah adalah proses pertumbuhan flok (partikel terdestablisasi atau mikroflok)
menjadi flok dengan ukuran yang lebih besar ( makroflok ).
Flokulator berjalan dengan kecepatan lambat dengan maksud terjadi
pembentukan flok yang siap untuk diendapkan. Di dalam proses flokulasi ini
pengadukan dilakukan secara bertahap yaitu dari kekuatan besar kemudian mengecil
supaya flok yang sudah dibentuk tidak terpecah kembali.

2.2.2 Proses Flokulasi


Proses flokulasi dalam pengolahan air bertujuan untuk mempercepat proses
penggabungan flok-flok yang telah dibibitkan pada proses koagulasi. Partikel-partikel
yang telah distabilkan selanjutnya saling bertumbukan serta melakukan proses tarik-
menarik dan membentuk flok yang ukurannya makin lama makin besar serta mudah
mengendap. Gradien kecepatan merupakan faktor penting dalam desain bak flokulasi.
Jika nilai gradien terlalu besar maka gaya geser yang timbul akan mencegah
pembentukan flok, sebaliknya jika nilai gradient terlalu rendah/tidak memadai maka
proses penggabungan antar partikulat tidak akan terjadi dan flok besar serta mudah
mengendap akan sulit dihasilkan. Untuk itu nilai gradien kecepatan proses flokulasi
dianjurkan berkisar antara 90/detik hingga 30/detik. Untuk mendapatkan flok yang
besar dan mudah mengendap maka bak flokulasi dibagi atas tiga kompartemen, dimana
pada kompertemen pertama terjadi proses pendewasaan flok, pada kompartemen kedua
terjadi proses penggabungan flok, dan pada kompartemen ketiga terjadi pemadatan
flok.

Pengadukan lambat (agitasi) pada proses flokulasi dapat dilakukan dengan


metoda yang sama dengan pengadukan cepat pada proses koagulasi, perbedaannya
terletak pada nilai gradien kecepatan di mana pada proses flokulasi nilai gradien jauh
lebih kecil dibanding gradien kecepatan koagulasi.

12
Gambar 2.2 Proses Flokulasi

Gambar 2.3 Mekanisme Koagulasi dan Flokulasi

2.2.3 Efektivitas Flokulasi


Efisiensi dari proses flokulasi pada prakteknya seringkali dapat dilihat dari
kualitas air setelah dilakukan pemisahan flok secara mekanik. Dengan demikian, cara
pemisahan zat padat atau flok sangat penting dan sangat dipengaruhi oleh bentuk flok

13
yang ada, misalnya untuk melakukan flotasi diperlukan bentuk flok yang lain berbeda
dengan flok untuk sedimentasi. Jika dipakai sedimentasi diperlukan flok dengan berat
jenis dan diameter yang besar. Pada proses flotasi dibutuhkan flok yang lebih kecil dan
mempunya berat jenis yang lebih ringan tetapi mempunyai sifat untuk bergabung
dengan gelembung udara. Untuk filtrasi dibutuhkan flok yang kompak yang cukup
homogen dengan struktur yang kuat terhadap abrasi dan dengan sifat mudah melekat
diatas partikel media penyaring (filter) untuk menjamin pemisahan yang efisien dan
operasional penyaringan yang ekonomis.
Untuk efek penjernihan air secara keseluruhan, belum cukup apakah flok bisa
dipisahkan dari air secara efektif, karena belum dapat menjamin dengan pasti apakah
kualitas air yang diinginkan bisa tercapai hanya dengan kondisi ini saja. Selain itu
dibutuhkan bahwa semua zat yang akan dihilangkan dari air juga melekat pada flok.

2.3 Filtrasi
2.3.1 Pengertian Filtrasi
Filtrasi adalah suatu proses pemisahan zat padat dari fluida (cair maupun gas)
yang membawanya menggunakan suatu medium berpori atau bahan berpori lain untuk
menghilangkan sebanyak mungkin zat padat halus yang tersuspensi dan koloid. Pada
pengolahan air minum, Filtrasi digunakan untuk menyaring air hasil dari proses
koagulasi – flokulasi – sedimentasi sehingga dihasilkan air minum dengan kualitas
tinggi. Di samping mereduksi kandungan zat padat filtrasi dapat pula mereduksi
kandungan bakteri, menghilangkan warna, rasa bau, besi dan mangan.
Pada filtrasi dengan media berbutir, terdapat tiga phenomena proses, yaitu:
1. Transportasi : meliputi proses gerak brown, sedimentasi, dan gaya tarik antar
partikel
2. Kemampuan menempel : meliputi proses mechanical straining, adsorpsi (fisik -
kimia), biologis
3. Kemampuan menolak : meliputi tumbukan antar partikel dan gaya tolak menolak

14
2.3.2 Tipe Filter
Berdasarkan pada kapasitas produksi air yang terolah, saringan pasir dapat
dibedakan menjadi dua yaitu Saringan pasir cepat dan Saringan pasir lambat.
Saringan pasir cepat dapat dibedakan dalam beberapa kategori :
a) Jenis-jenis Filter Berdasar Sistem Operasi dan Media
I. Jenis media Filter :
1. Filter single media, filter cepat tradisional biasanya menggunakan pasir kwarsa.
Pada sistem ini penyaringan SS terjadi pada lapisan paling atas sehingga dianggap
kurang efektif karena sering dilakukan pencucian. Gambar 2.26 menjelaskan
kedalaman pasir, kerikil sebagai media penyangga dan sistem pematusan (under
drain).
2. Filter dual media, sering digunakan filter dengan media pasir kwarsa di lapisan
bawah dan antharasit pada lapisan atas.
Keuntungan dual media :
Kecepatan filtrasi lebih tinggi (10 – 15 m/jam)
Periode pencucian lebih lama
Merupakan peningkatan filter single media (murah).
3. Multi media filter : terdiri dari anthrasit , pasir dan garnet atau dolomit, fungsi
multi media adalah untuk memfungsikan seluruh lapisan filter agar berperan
sebagai penyaring.

15
Gambar 2.4 Filter Aliran Secara Gravitasi dengan Kelengkapannya
II. Sistem kontrol kecepatan :
1. Constant rate : debit hasil proses filtrasi konstan sampai pada level tertentu.
Hal ini dilakukan dengan memberikan kebebasan kenaikan level muka air di atas
media filter.
2. Declining rate : debit hasil proses filtrasi menurun seiring dengan waktu filtrasi, atau
level muka air di atas media filter dirancang pada nilai yang tetap.

III. Sistem aliran :


1. Aliran down flow (kebawah)
2. aliran upflow (keatas)
3. aliran horizontal.

IV. Kaidah pengaliran :


1. Aliran secara gravitasi
2. Aliran di bawah tekanan (pressure filter)

16
V. Pretreatment :
1. Kogulasi – flokulasi – sedimentasi
2. Direct filtration

Gambar 2.5 Potongan Filter Saat Operasi Dan Pencucian Balik (Back Wash)

b) Jenis-jenis Filtrasi Berdasarkan Kecepatan Penyaringan


Secara umum filtrasi berdasarkan kecepatan penyaringan, dibagi menjadi :
1. Saringan Pasir Lambat (SSF)
2. Saringan Pasir Cepat (RSF)

Tabel 2.1 Perbandingan SSF dan RSF


Deskripsi Slow Sand Filter Rapid Sand Filter
Kecepatan Penyaringan 1-3 mgad (ml/ hr) 100-300 mgad (ml/ hr)
Ukuran Bak Besar (0.5 acre) Kecil (0.01-0.1 acre)
Kedalaman bak Gravel 12 in, pasir 42 Gravel 18 in, pasir 30 in
Ukuran Pasir in, E=0.4-0.55; U=1.35-1.75
Distribusi Pasir E=0.25-0.35; U=2-3 Stratified

17
Sist underdrain Unstratified 1.Perforated pipe lateral
Split tile laterals 2.Porous plate 3.porous block
Head loss 1 ft-8 at 8 ft
Lama operasi 0.2 ft-4 ft 12-24-72 jm
Penetrsi susp.mat 20-30-60 hr Dalam
Metode puncucian Bag. Atas Back washing
Jml pemakaian air dlm Di keruk bag atas psr 1-4-6 %
pencucian 0.2-0.6 % Sedimentasi, Koagulasi,
Treatment pendahuluan Tidak ada Flokulasi
Treatment lanjutan Klorinasi Klorinasi
Investasi Relatif besar Relatif kecil
Biaya operasi Relatif kecil Relatif besar

c) Rapid Sand Filter (RSF)


RSF merupakan salah satu jenis unit filtrasi yang mampu menghasilkan debit air
yang lebih banyak dibandingkan Slow Sand Filter, namun kurang efektif untuk
mengatasi bau dan rasa yang ada pada air yang disaring. Selain itu, debit air yang cepat
menyebabkan lapisan bakteri yang berguna untuk menghilangkan patogen tidak akan
terbentuk sebaik apa yang terjadi Slow Sand Filter, sehingga membutuhkan proses
desinfeksi yang lebih intensif. Perbedaan utama dari RSF dan SSF adalah bahwa pada
SSF arah aliran airnya dari atas ke bawah, sedangkan pada RSF dari bawah ke atas (up
flow). Selain itu pada RSF umumnya dapat melakukan backwash atau pencucian
saringan tanpa membongkar keseluruhan saringan.

Gambar 2.6 Rapid Sand Filter (RSF)

18
d) Slow Sand Filter
Filter pasir lambat adalah filter yang mempunyai kecepatan filtrasi lambat.
Dibandingkan filter cepat, kecepatan filtrasi pada filter lambat sekitar 20 – 50 kali lebih
lambat, yaitu sekitar 0,1 hingga 0,4 m/jam. Kecepatan yang lebih lambat ini disebabkan
ukuran media pasir juga lebih kecil (effective size = 0,15 – 0,35 mm).
Filter pasir lambat cukup efektif digunakan dalam menghilangkan kandungan bahan
organik dan organisme pathogen dari air baku yang mempunyai kekeruhan relatif
rendah. Filter pasir lambat banyak digunakan untuk pengolahan air dengan kekeruhan
air baku di bawah 50 NTU. Efisiensi filter pasir lambat tergantung pada distribusi
ukuran partikel pasir, ratio luas permukaan filter terhadap kedalaman dan kecepatan
filtrasi.
Filter pasir lambat bekerja dengan cara pembentukan lapisan gelatin atau biofilm
yang disebut lapisan hypogeal di beberapa milimeter bagian atas lapisan pasir halus.
Lapisan ini mengandung bakteri, fungi, protozoa, rotifera, dan larvae serangga air.
Lapisan hypogeal adalah lapisan yang melakukan pemurnian efektif dalam pengolahan
air minum. Selama air melewati lapisan ini, partikel akan terperangkap dan organik
terlarut akan teradsorpsi, diserap dan dicerna oleh bakteri, fungi dan protozoa.
Proses yang terjadi dalam lapisan hypogeal sangat kompleks dan bervariasi,
tetapi yang utama adalah mechanical straining terhadap kebanyakan bahan tersuspensi
dalam lapisan tipis yang berpori-pori sangat kecil kurang dari satu mikron. Ketebalan
lapisan ini meningkat terhadap waktu hingga mencapai sekitar 25 mm, yang
menyebabkan aliran mengecil.
Pengujian kualitas air dilakukan secara berkala sampai standar dilampaui. Ketika
kecepatan filtrasi turun sampai tingkat tertentu, filter harus dicuci dengan mengambil
lapisan pasir bagian atas setebal sekitar 25 mm.

Keuntungan filter lambat antara lain:


1. Biaya konstruksi rendah
2. Rancangan dan pengoperasian lebih sederhana
3. Tidak diperlukan tambahan bahan kimia

19
4. Variasi kualitas air baku tidak terlalu mengganggu
5. Tidak diperlukan banyak air untuk pencucian, pencucian hanya dilakukan di
bagian atas media, tidak dilakukan backwash
Kerugian filter pasir lambat adalah besarnya kebutuhan lahan, yaitu sebagai akibat
dari lambatnya kecepatan filtrasi.
Secara umum, filter pasir lambat hampir sama dengan filter pasir cepat. Filter
lambat tersusun oleh bak filter, media pasir, dan sistem underdrain (Gambar 2.29).
Kriteria filter cepat dan filter lambat dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Gambar 2.7 Slow Sand Filter (SSF)

Tabel 2.2 Kriteria untuk Filter Pasir Cepat dan Filter Pasir Lambat
Kriteria Filter Pasir Cepat Filter Pasir Lambat
Kecepatan filtrasi 4 – 21 m/jam 0,1 – 0,4 m/jam
Ukuran bed Kecil 40 – 400 m2 Besar, 2000 m2
Kedalaman bed 30 – 45 cm kerikil, 60 – 70 30 cm kerikil, 90 – 110 cm
cm pasir, tidak berkurang pasir, berkurang 50 – 80 cm
saat pencucian saat pencucian
Ukuran pasir Effective size >0,55 mm, Effective size
uniformity coefficient <1,5 0,25-0,3 mm, uniformity
coefficient 2-3

Distribusi ukuran media Terstratifikasi Tidak terstratifikasi


Sistem underdrain Pipa lateral berlubang yang Sama dengan filter cepat
mengalirkan air ke pipa atau batu kasar dan beton
utama

20
berlubang sebagai saluran
utama
Kehilangan energi 30 cm saat awal, hingga 275 saat awal, hingga 120 cm
cm saat akhir 6 cm saat akhir
Filter run (jarak waktu 12 – 72 jam 20 – 60 hari
pencucian)
Metoda pembersihan Mengangkat kotoran dan Mengambil lapisan pasir di
pasir ke atas dengan permukaan dan mencucinya
backwash
Jumlah air untuk 1 – 6% dari air tersaring 0,2 – 0,6% dari air
pembersihan tersaring
Pengolahan pendahuluan Koagulasi-flokulasi- Biasanya tidak ada bila
sedimentasi kekeruhan kurang dari 50
NTU
Biaya konstruksi Relatif tinggi Relatif rendah

Biaya operasi Relatif tinggi Relatif rendah


Biaya depresiasi Relatif tinggi Relatif rendah
Sumber: Schulz dan Okun (1984)

21
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Koagulasi-flokulasi merupakan proses berkelanjutan, dimana koagulasi adalah
proses awal dengan pengadukan cepat untuk menyatukan koloid-koloid menjadi flok-
flok kecil. Kemudian dilanjutkan dengan proses flokulasi yaitu pengadukan lambat
untuk membentuk flok menjadi lebih besar sehingga lebih mudah untuk dipisahkan
dengan air.
Proses koagulasi memiliki beberapa kelebihan yaitu lebih cepat, efektif dan
efisien menghilangkan bahan-bahan limbah dalam bentuk koloid, dengan
menambahkan koagulan.

3.2 Saran
Diharapkan melalui makalah dapat diterapkan prinsip koagulasi dan flokulasi
dalam pengolahan limbah maupun penjernihan air.

22
DAFTAR PUSTAKA

Davis, M.L. dan D.A. Cornwell. 1991. Introduction to Environmental Engineering.


McGraw-Hill Inc., Singapore.
Eaglebrook Inc. 1999. PASS-CTM (Polyaluminium Chloride). Abstrak.
www.eaglebrk.com
Hammer, M.J. 1986. Water and Wastewater Technology. Prentice-Hall Int. Inc., New
Jersey.
Hardman Australia Pty Ltd. 2002. Water Treatment Coagulant. Abstrak.
Http://www.hardman.com.au, New South Wales.
Klimiuk, E.U. Filipkowska., dan A. Korzeniowska. 1999. Effect of pH and Coagulant
Dosage on Effectiveness of Coagulation of Reactive Dyes from Model
Wastewater by Polyaluminium Chloride (PAC). Polish Journal of Environmental
Studies. www.pan.htm.
Kurniawan, D. 2005. Kajian Penurunan Parameter Pencemar Dalam Air Lindi
(Cairan Sampah) Menggunakan Proses Koagulasi – Flokulasi. Skripsi. Jurusan
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Liu, D.H.F. dan B.G. Liptak. 1999. Wastewater Treatment. Lewis Publisher, Boca
Raton, London.
Pujiantoro, P. 1995. Proses Koagulasi – Flokulasi dalam Penanganan Primer Limbah
Cair Industri Rayon. Skripsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Reynolds, T.D. 1982. Unit Operation and Process in Environmental Engineering.
Wadsword Inc., California.
Steel, E.W. dan McGhee. 1985. Water Supply and Sewerage. McGraw-Hill Inc., New
York.
Suciastuti. 1991. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Rineka Cipta, Jakarta.

23
Suryadiputra,I.N.N. Pengantar Mata Kuliah Pengolahan Limbah:Pengolahan Air
Limbah Dengan Metode Kimia(Koagulasi dan Flokulasi).1995.Fakultas
Perikanan, Institut Pertanian Bogor
Wenbin, L., H. Hongshan, dan P. Jianguo. 1999. Application of Poly Aluminium
Chloride in Shenzhen Water Supply – China. Abstract.
www.lanl.gov/chinawater/documents/huanghongshan.pdf. Los Alamos National
Library.

24

Anda mungkin juga menyukai