Anda di halaman 1dari 12

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………….. 2


DAFTAR ISI ………………………………………………………………..…….... 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………………………………………………. 4
1.2 Tujuan …………………………………………………...…… 5
1.3 Manfaat ……………………………………………………… 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit akibat kerja ……………………………………..….. 6
2.2 Faktor penyakit akibat kerja ………………………….……… 8
BAB III METODE PERCOBAAN
3.1 Klasifikasi penyakit akibat kerja ………………………...….. 10
3.2 Contoh penyakit akibat kerja ……………………….……….. 13
3.3 Pencegahan penyakit akibat kerja ……………..…………….. 15
3.4 Diagnosis penyakit akibat kerja……………………….…….. 16
3.5 Perawatan dan pengobatan ………………………………….. 18
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ……………………………..…………………… 20
4.2 Saran ………………………………………..……………….. 20
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………...…………. 22

1
PENYAKIT AKIBAT KERJA

A. Latar Belakang
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (Katiga) merupakan hak asasi karyawan dan
salah satu syarat untuk dapat meningkatkan produktivitas kerja karyawan. Disamping itu
KATIGA juga merupakan syarat untuk memenangkan persaingan bebas di era globalisasi
dan pasar bebas Asean Free Trade Agreement (AFTA), World Trade Organization (WTO)
dan Asia Pacific Economic Community (APEC). Untuk mengantisipasi hal tersebut serta
mewujudkan perlindungan masyarakat pekerja Indonesia telah ditetapkan Visi Indonesia
Sehat 2020 yaitu gambaran masyarakat Indonesia dimasa depan, yang penduduknya hidup
dalam lingkungan dan perilaku sehat, memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu
secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (Katiga) adalah salah satu bentuk
upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran
lingkungan. Sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja, yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas
kerja. Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi
pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara
menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat
luas. Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) dikalangan petugas kesehatan
dan non kesehatan terutama dalam Industri Farmasi di Indonesia belum terekam dengan
baik. Jika kita pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di beberapa negara
maju (dari beberapa pengamatan) menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi.
Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas
serta keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak pekerja yang meremehkan
resiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah tersedia.
Dalam penjelasan undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan telah
mengamanatkan antara lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan upaya kesehatan
kerja, agar tidak terjadi gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat, dan
lingkungan disekitarnya. Industri merupakan aktivitas yang melibatkan tenaga kerja, alat,
metode, biaya, dan material serta waktu yang cukup besar. Keadaan tersebut secara tidak
langsung mengakibatkan meningkatnya bahaya maupun resiko kecelakaan yang dapat
dialami oleh para pekerja. Diantara berbagai macam industri, industri farmasi merupakan
salah satu industri dengan jumlah petugas kesehatan dan non kesehatan yang cukup
besar. Kegiatan di dalam dunia farmasi mempunyai resiko berasal dari faktor fisik, kimia,
ergonomi, dan psikososial. Variasi, ukuran, tipe, dan kelengkapan laboratorium
menentukan kesehatan dan keselamatan kerja. Seiring dengan kemajuan IPTEK, khususnya
kemajuan teknologi pengobatan, terutama dalam bidang farmasi, maka resiko yang
dihadapi teknisi farmasi yang bekerja pun semakin meningkat.

B. Penyakit Akibat Kerja


Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang mempunyai penyebab spesifik atau
asosiasi yang kuat dengan pekerjaan, pada umumnya terdiri dari satu agen penyebab,
harus ada hubungan sebab akibat antara proses penyakit dan hazard di tempat kerja.

2
Faktor lingkungan kerja sangat berpengaruh dan berperan sebagai penyebab timbulnya
Penyakit Akibat Kerja. Sebagai contoh antara lain debu silika dan silikosis, uap timah dan
keracunan timah. Akan tetapi penyebab terjadinya juga adalah karena akibat kesalahan
faktor manusia juga (WHO).
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.01/1981 tentang
kewajiban melaporkan Penyakit Akibat Kerja, di dalamnya tercantun 30 jenis penyakit.
Sedang Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 22/1993 tentang Penyakit yang Timbul
Karena Hubungan Kerja memuat jenis penyakit yang sama, ditambah:“penyakit yang
disebabkan bahan kimia lainnya termasuk bahan obat”.
Daftar selengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Pnemokoniosis yang disebabkan debu mineral yang menyebabkan pembentukan
jaringan parut (silikosis, antrakosilikosis, sebestosis) dan silikotuberkulosis yang
silikosisnya merupakan faktor utama penyebab cacat atau kematian.
2. Penyakit paru dan saluran pernapasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan oleh debu
logam keras.
3. Penyakit paru dan saluran pernapasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan oleh debu
kapas, vlas, hanap dan sisal (bissinosis).
4. Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi dan zat perangsang yang
berada pada proses pekerjaan.
5. Alveolitis alergika yang disebabkan oleh faktor dari luar sebagai akibat penghirupan
debu organik.
6. Penyakit yang disebabkan oleh berilium atau persenyawaannya yang beracun.
7. Penyakit yang disebabkan oleh kadmium atau persenyawaannya yang beracun.
8. Penyakit yang disebabkan oleh fosfor atau persenyawaannya yang beracun.
9. Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya yang beracun.
10. Penyakit yang disebabkan oleh mangan atau persenyawaannya yang beracun.
11. Penyakit yang disebabkan oleh arsen atau persenyawaannya yang beracun.
12. Penyakit yang disebabkan oleh raksa atau persenyawaannya yang beracun.
13. Penyakit yang disebabkan oleh timbal atau persenyawaannya yang beracun.
14. Penyakit yang disebabkan oleh flour atau persenyawaannya yang beracun.
15. Penyakit yang disebabkan oleh karbon bisulfida.
16. Penyakit yang disebabkan oleh derivat halogen dari persenyawaan hidrokarbon alifatik
atau aromatik yang beracun.
17. Penyakit yang disebabkan oleh benzene atau homolognya yang beracun.
18. Penyakit yang disebabkan oleh derivat nitro dan amina dari benzene atau homolognya
yang beracun.
19. Penyakit yang disebabkan oleh nitrogliserin atau ester asam nitrat lainnya.
20. Penyakit yang disebabkan oleh alkohol, glikol, atau keton.
21. Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksia atau keracunan seperti
karbon monoksida, hidrogen sianida, hidrogen sulfida, atau derivatnya yang beracun;
amoniak, seng, braso, dan nikel.
22. Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan.
23. Penyakit yang disebabkan oleh getaran mekanik (kelainan otot, urat, tulang,
persendian, pembuluh darah tepi atau saraf tepi).
24. Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dalam udara yang bertekanan lebih/tinggi.

3
25. Penyakit yang disebabkan oleh radiasi elektromagnetik dan radiasi yang menimbulkan
ionisasi.
26. Penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh penyebab fisik, kimiawi, atau
biologis.
27. Kanker kulit epitelioma primer yang disebabkan oleh pic, ter, bitumen, minyak mineral,
antrasena, atau persenyawaan, produk atau residu dari zat tersebut.
28. Kanker paru atau mesotelioma yang disebabkan oleh asbes.
29. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit yang didapat dalam
suatu pekerjaan yang memiliki resiko kontaminasi khusus.
30. Penyakit yang disebabkan oleh suhu tinggi atau rendah, panas radiasi atau
kelembaban udara tinggi.
31. Penyakit yang disebabkan bahan kimia lainnya termasuk bahan obat.

C. Faktor Penyakit Akibat Kerja


Ada beberapa faktor yang berkaitan dengan penyakit akibat kerja, yaitu:
1. Faktor Biologis
Lingkungan kerja pada Pelayanan Kesehatan merupakan tempat yang rawan
bagi berkembang biaknya bakal/strain kuman yang resisten, terutama kuman-kuman
pyrogenic, colli, bacilli, dan staphylococci, yang bersumber dari pasien, benda-benda
yang terkontaminasi, dan udara. Virus yang menyebar melalui kontak dengan darah
dan sekreta (misalnya HIV dan Hepatitis B) dapat menginfeksi pekerja hanya akibat
kecelakaan kecil dipekerjaan, misalnya karena tergores atau tertusuk jarum yang
terkontaminasi virus.
Angka kejadian infeksi nosokomial di unit Pelayanan Kesehatan cukup tinggi.
Secara teoritis kemungkinan kontaminasi pekerja LAK (Luka Akibat Kerja) sangat besar.
Sebagai contoh dokter di RS mempunyai resiko terkena infeksi 2 sampai 3 kali lebih
besar dari pada dokter yang praktek pribadi atau swasta, dan bagi Petugas Kebersihan
yang menangani limbah yang infeksius senantiasa kontak dengan bahan yang tercemar
kuman pathogen, debu beracun mempunyai peluang terkena infeksi.

2. Faktor Kimia
Petugas yang seringkali kontak dengan bahan kimia dan obat-obatan seperti
antibiotika, demikian pula dengan solven yang banyak digunakan dalam komponen
antiseptic, desinfektan dikenal sebagai zat yang paling karsinogen. Semua bahan cepat
atau lambat ini dapat memberi dampak negatif terhadap kesehatan mereka.
Gangguan kesehatan yang paling sering adalah dermatosis, kontak akibat kerja yang
pada umumnya disebabkan oleh iritasi (amoniak, dioksan) dan hanya sedikit saja
karena alergi (keton). Bahan toksis (trichloroethane, tetrachloromethane) jika tertelan,
terhirup, atau terserap melalui kulit dapat menyebabkan penyakit akut atau kronik,
bahkan kematian. Bahan korosif (asam dan basa) akan mengakibatkan kerusakan
jaringan yang irreversibel pada daerah yang terpapar.

3. Faktor Ergonomi
Ergonomi sebagai ilmu, teknologi, dan seni berupaya menyerasikan alat, cara,
proses dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan, dan batasan manusia

4
untuk terwujudnya kondisi dan lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman, dan
tercapai efisiensi yang setinggi-tingginya. Pendekatan ergonomi bersifat koseptual dan
kuratif, secara populer kedua konsep tersebut dikenal sebagai To fit the Job to the Man
and To fit the Man to the Job.
Sebagian besar di perkantoran atau Pelayanan Kesehatan pemerintah, bekerja
dalam posisi yang kurang ergonomis, misalnya tenaga operator peralatan. Hal ini
disebabkan peralatan yang digunakan pada umumnya barang impor dan disainnya
tidak sesuai dengan ukuran pekerja Indonesia. Posisi kerja yang salah dan dipaksakan
dapat menyebabkan mudah lelah sehingga kerjamenjadi kurang efisien dan dalam
jangkapanjang dapat menyebabkan gangguan fisik dan psikologis (stress) dengan
keluhan yang paling sering adalah nyeri pinggang bawah (low back pain).

4. Faktor Fisik
Faktor fisik yang dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja meliputi:
a. Kebisingan, getaran akibat mesin dapat mengakibatkan stress dan ketulian.
b. Pencahayaan yang kurang di ruang/kamar pemeriksaan, laboratorium, ruang
perawatan, dan kantor administrasi dapat menyebabkan gangguan pengelihatan
dan kecelakaan kerja.
c. Suhu dan kelembaban yang tinggi di tempat kerja.
d. Terimbas kecelakaan/kebakaran akibat lingkungan sekitar.
e. Terkena radiasi (khusus untuk radiasi), dengan berkembangnya teknologi
pemeriksaan, penggunaannya meningkat sangat tajam dan jika tidak dikontrol
dapat membahayakan petugas yang menangani.

5. Faktor Psikologis
a. Pelayanann kesehatan seringkali bersifat emergenci dan menyangkut hidup mati
seseorang. Untuk itu pekerja di laboratorium kesehatan dituntut untuk
memberikan pelayanan yang tepat dan cepat disertai dengan kewibawaan dan
keramah-tamahan.
b. Pekerjaan pada unit-unit tertentu yang sangat monoton.
c. Hubungan kerja yang kurang serasi antara pimpinan dan bawahan atau sesama
teman kerja.
d. Beban mental karena menjadi panutan bagi mitra kerja di sektor formal ataupun
informal.

D. Klasifikasi Penyakit Akibat Kerja


Dalam melakukan tugasnya di perusahaan, seseorang atau sekelompok pekerja
beresiko mendapatkan kecelakaan atau penyakit akibat kerja. WHO membedakan empat
kategori Penyakit Akibat Kerja, yaitu:
1. Penyakit yang hanya disebabkan oleh pekerjaan, misalnya Pneumoconiosis.
2. Penyakit yang salah satu penyebabnya adalah pekerjaan, misalnya karsinoma
bronkhogenik.
3. Penyakit dengan pekerjaan merupakan salah satu penyebab diantara faktor-faktor
penyebab lainnya, misalnya bronchitis kronis.

5
4. Penyakit dimana pekerjaan memperberat suatu kondisi yang sudah ada sebelumnya
misalnya asma.
Beberapa jenis penyakit pneumoconiosis yang banyak dijumpai di daerah yang
memiliki banyak kegiatan industri dan teknologi, yaitu:
1. Penyakit Silikosis
Penyakit silikosis disebabkan oleh pencemaran debu silica bebas, berupa SiO2
yang terhisap masuk ke dalam paru-paru dan kemudian mengendap. Debu silika bebas
ini banyak terdapat di pabrik besi dan baja, keramik, pengecoran beton, bengkel yang
mengerjakan besi (mengikir, menggerinda, dan lain-lain). Selain dari itu debu silica juga
banyak terdapat ditempat penampang bijih besi, timah putih, dan tambang batu bara.
Pemakaian batu bara sebagai bahan bakar juga dapat menghasilkan debu silica
bebas SiO2. Pada saat dibakar, debu silica akan keluar dan terdispersi ke udara
bersama-sama dengan pertikel lainnya, seperti debu alumina, oksida besi, dan karbon
dalam bentuk abu.
Debu silica yang masuk ke dalam paru-paru akan mengalami masa inkubasi
sekitar 2 sampai 4 tahun. Masa inkubasi ini akan lebih pendek, atau gejala penyakit
silikosis akan segera tampak, apabila konsentrasi silica di udara cukup tinggi dan
terhisap ke paru-paru dalam jumlah banyak. Penyakit silikosis ditandai dengan sesak
nafas yang disertai batuk-batuk. Batuk ini seringkali tidak disertai dengan dahak. Pada
silikosis tingkat sedang, gejala sesak nafas yang menyertai akan terlihat dan pada
pemeriksaan foto toraks kelainan paru-parunya mudah sekali diamati.
Bila penyakit silikosis sudah berat maka sesak nafas akan semakin parah dan
kemudian diikuti dengan hipertropi jantung sebelah kanan yang akan mengakibatkan
kegagalan kerja jantung.
Tempat kerja yang potensial untuk tercemari oleh debu silica perlu
mendapatkan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja dan lingkungan yang
ketat sebab penyakit silikosis ini belum ada obatnya yang tepat. Tindakan preventif
lebih penting dan berarti dibandingkan dengan tindakan pengobatannya. Penyakit
silikosis ini akan lebih buruk kalau penderita sebelumnya sudah menderita penyakit
TBC paru-paru, bronchitis, asma bronchial dan penyakit saluran pernapasan lainnya.
Pengawasan dan pemeriksaan kesehatan secara berkala bagi pekerja akan
sangat membantu pencegahan dan penanggulangan penyakit-penyakit akibat kerja.
Data kesehatan pekerja sebelum masuk kerja, selama bekerja dan sesudah bekerja
perlu dicatat untuk pemantauan riwayat penyakit pekerja kalau sewaktu-waktu
diperlukan.

2. Penyakit Asbestosis
Penyakit asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu
atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran dari berbagai macam
silikat, namun yang paling utama adalah magnesium silikat. Debu asbes banyak
dijumpai pada pabrik dan industri yang menggunakan asbes, pabrik pemintalan serat
asbes, pabrik beratap asbes dan lain sebagainya.
Debu asbes yang terhirup masuk ke dalam paru-paru akan mengakibatkan
gejala sesak napas dan batuk-batuk yang disertai dengan dahak. Ujung-ujung jari
penderitanya akan tampak membesar/melebar. Apabila dilakukan pemeriksaan pada

6
dahak maka akan tampak adanya debu asbes dalam dahak tersebut. Pemakaian asbes
untuk berbagai macam keperluan kiranya perlu diikuti dengan kesadaran akan
keselamatan dan kesehatan lingkungan agar jangan sampai mengakibatkan asbestosis
ini.

3. Penyakit Bisinosis
Penyakit Bisinosis adalah penyakit pneumoconiosis yang disebabkan oleh
pencemaran debu napas atau serat kapas di udara yang kemudian terhisap ke dalam
paru-paru. Debu kapas atau serat kapas ini banyak dijumpai pada pabrik pemintalan
kapas, pabrik tekstil, perusahaan dan pergudangan kapas serta pabrik atau bekerja lain
yang menggunakan kapas atau tekstil, seperti tempat pembuatan kasur, pembuatan
jok kursi dan lain sebagainya.
Masa inkubasi penyakit bisinosis cukup lama, yaitu sekitar 5 tahun. Tanda-
tanda awal penyakit bisinosis ini berupa sesak napas, terasa berat pada dada,
terutama pada hari Senin (yaitu hari awal kerja pada setiap minggu). Secara psikis
setiap hari Senin, pekerja yang menderita penyakit bisinosis merasakan beban berat
pada dada serta sesak napas. Reaksi alergi akibat adanya kapas yang masuk ke dalam
saluran pernapasan juga merupakan gejala awal bisinosis. Pada bisinosis yang sudah
lanjut atau berat, penyakit tersebut biasanya juga diikuti dengan penyakit bronchitis
kronis dan mungkin juga disertai dengan emphysema.

4. Penyakit Antrakosis
Penyakit antrakosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh
debu batu bara. Penyakit ini biasanya dijumpai pada pekerja-pekerja tambang
batubara atau pada pekerja-pekerja yang banyak melibatkan penggunaan batubara,
seperti pengumpan batubara pada tanur besi, lokomotif (stoker), dan juga pada kapal
laut bertenaga batubara, serta pekerja boiler pada Pusat Listrik Tenaga Uap berbahan
bakar batubara.
Masa inkubasi penyakit ini antara 2-4 tahun. Seperti halnya penyakit silikosis
dan juga penyakit-penyakit pneumoconiosis lainnya, penyakit antrakosis juga ditandai
dengan adanya rasa sesak napas. Karena pada debu batubara terkadang juga terdapat
debu silikat maka penyakit antrakosis juga seringkali disertai dengan penyakit silikosis.
Bila hal ini terjadi maka penyakitnya disebut silikoantrakosis. Penyakit antrakosis ada
tiga macam, yaitu penyakit antrakosis murni, penyakit silikoantrakosis, dan penyakit
tuberkolosiliko antrakosis.
Penyakit antrakosis murni disebabkan oleh debu batubara. Penyakit ini
memerlukan waktu yang cukup lama untuk menjadi berat, dan relatif tidak begitu
berbahaya. Penyakit antrakosis menjadi berat bila disertai dengan komplikasi atau
emphysema yang memungkinkan terjadinya kematian. Kalau terjadi emphysema maka
antrakosis murni lebih berat daripada silikoantrakosis yang relatif jarang diikuti oleh
emphysema. Sebenarnya antara antrakosis murni dan silikoantrakosis sulit dibedakan,
kecuali dari sumber penyebabnya. Sedangkan penyakit tuberkolosiliko antrakosis lebih
mudah dibedakan dengan kedua penyakit antrakosis lainnya. Perbedaan ini mudah
dilihat dari foto thorak yang menunjukkan kelainan pada paru-paru akibat adanya

7
debu batubara dan debu silikat, serta juga adanya baksil tuberculosis yang menyerang
paru-paru.

5. Penyakit Beriliosis
Udara yang tercemar oleh debu logam berilium, baik yang berupa logam
murni, oksida, sulfat, maupun dalam bentuk halogenida, dapat menyebabkan penyakit
saluran pernapasan yang disebut beriliosis. Debu logam tersebut dapat menyebabkan
nasoparingitis, bronchitis dan pneumonitis yang ditandai dengan gejala sedikit demam,
batuk kering, dan sesak napas. Penyakit beriliosis dapat timbul pada pekerja-pekerja
industri yang menggunakan logam campuran berilium, tembaga, pekerja pada pabrik
fluoresen, pabrik pembuatan tabung radio dan juga pada pekerja pengolahan bahan
penunjang industri nuklir.
Selain dari itu, pekerja-pekerja yang banyak menggunakan seng (dalam bentuk
silikat) dan juga mangan, dapat juga terserang penyakit beriliosis yang tertunda atau
delayed berryliosis yang disebut juga dengan beriliosis kronis. Efek tertunda ini bisa
berselang 5 tahun setelah berhenti menghirup udara yang tercemar oleh debu logam
tersebut. Jadi 5 tahun setelah pekerja tersebut tidak lagi berada di lingkungan yang
mengandung debu logam tersebut, penyakit beriliosis mungkin saja timbul. Penyakit
ini ditandai dengan gejala mudah lelah, berat badan yang menurun dan sesak napas.
Oleh karena itu pemeriksaan kesehatan secara berkala bagi pekerja-pekerja yang
terlibat dengan pekerjaan yang menggunakan logam tersebut perlu dilaksanakan terus
menerus.

E. Contoh Penyakit Akibat Kerja


Adapun beberapa contoh penyakit akibat kerja, antara lain:
1. Penyakit saluran pernapasan
PAK pada saluran pernapasan dapat bersifat akut atau kronis. Akut misalnya
asma akibat kerja. Sering didiagnosis sebagai tracheobronchitis akut atau karena virus.
Sedangkan yang kronis misalnya asbestosis. Seperti gejala Chronic Obtructive
Pulmonary Disease (COPD). Edema paru akut, dapat disebabkan oleh bahan kimia
seperti nitrogen oksida.
2. Penyakit kulit
Pada umumnya tidak spesifik, menyusahkan, tidak mengancam kehidupan, dan
kadang sembuh sendiri. Dermatitis kontak yang dilaporkan, 90% merupakan penyakit
kulit yang berhubungan dengan pekerjaan. Penting riwayat pekerjaan dalam
mengidentifikasi iritan yang merupakan penyebab, membuat peka atau karena faktor
lain.
3. Kerusakan pendengaran
Banyak kasus gangguan pendengaran menunjukkan akibat pajanan kebisingan
yang lama, ada beberapa kasus bukan karena pekerjaan. Riwayat pekerjaan secara
detail sebaiknya didapatkan dari setiap orang dengan gangguan pendengaran. Dan
perlu dibuat rekomendasi tentang pencegahan terjadinya hilangnya pendengaran.
4. Gejala pada punggung dan sendi
Tidak ada tes atau prosedur yang dapat membedakan penyakit pada punggung
yang berhubungan dengan pekerjaan dibandingkan dengan yang tidak berhubungan

8
dengan pekerjaan. Penentuan kemungkinan bergantung pada riwayat pekerjan.
Arthritis dan tenosynivitis disebabkan oleh gerakan berulang yang tidak wajar.
5. Kanker
Adanya presentase yang signifikan menunjukkan kasus kanker yang
disebabkan oleh pajanan di tempat kerja. Bukti bahwa beban di tempat kerja,
karsinogen seringkali didapat dari laporan klinis individu dari pada studi epidemiologi.
Pada kanker pajanan untuk terjadinya karsinogen mulai ≥ 20 tahun sebelum
didiagnosis.
6. Coronary artery disease
Oleh karena stress atau karbon monoksida dan bahan kimia lain di tempat
kerja.
7. Penyakit liver
Sering didiagnosis sebagai penyakit liver oleh karena hepatitis virus atau sirosis
karena alkohol. Penting untuk mengetahui riwayat tentang pekerjaan, serta bahan
toksik yang ada.
8. Masalah neuropsikiatrik
Masalah neuropsikiatrik yang berhubungan dengan tempat kerja sering
diabaikan. Neuropati perifer, sering dikaitkan dengan diabet, pemakaian alkohol atau
tidak diketahui penyebabnya, depresi SSP (Sistem Saraf Pusat) oleh karena
penyalahgunaan zat-zat atau masalah psikiatri. Kelakuan yang tidak baik mungkin
merupakan gejala awal dari stress yang berhubungan dengan pekerjaan. Lebih dari 100
bahan kimia (antara lain: solven) dapat menyebabkan depresi SSP. Beberapa
neurotoksin (termasuk arsen, timah, mekuri, methyl, butyl keton) dapat menyebabkan
neuropati perifer. Carbon disulfide dapat menyebabkan gejala seperti psikosis.
9. Penyakit yang tidak diketahui sebabnya
Alergi dan gangguan kecemasan mungkin berhubungan dengan bahan kimia
atau lingkungan. Sick building syndrome. Multiple Chemical Sensitivities (MCS),
misalnya: parfum, derivate petroleum, rokok.

F. Pencegahan Penyakit Akibat Kerja


Manajemen perusahaan harus selalu mewaspadai adanya ancaman akibat kerja
terhadap pekerjanya. Kewaspadaan tersebut bisa berupa:
1. Melakukan pencegahan terhadap timbulnya penyakit,
2. Melakukan deteksi dini terhadap gangguan kesehatan, dan
3. Melindungi tenaga kerja dengan mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja
seperti yang diatur oleh UU RI No. 3 tahun 1992.
Mengetahui keadaan pekerja dan kondisinya dapat menjadi salah satu
pencegahan terhadap PAK. Beberapa tips dalam mencegah PAK, diantaranya:
1. Pakailah APD secara benar dan teratur,
2. Kenali resiko pekerjaan dan cegah supaya tidak terjadi lebih lanjut, dan
3. Segera akses tempat kesehatan terdekat apabila terjadi luka yang berkelanjutan.

Selain itu terdapat juga beberapa pencegahan lain yang dapat ditempuh agar pekerja bukan
menjadi subyek untuk menuai penyakit. Hal tersebut berdasarkan buku Pengantar Penyakit
Akibat Kerja, diantaranya:

9
1. Pencegahan Primer – Health Promotion;
a. Perilaku kesehatan,
b. Faktor bahaya di tempat kerja,
c. Perilaku kerja yang baik,
d. Olahraga, dan
e. Gizi seimbang.
2. Pencegahan Sekunder – Specific Protection;
a. Pengendalian melalui perundang-undangan,
b. Pengendalian administratif/organisasi melalui rotasi/pembatasan jam kerja,
c. Pengendalian teknis melalui substitusi, isolasi, ventilasi, alat pelindung diri (APD), dan
d. Pengendalian jalur kesehatan melalui imunisasi.
3. Pencegahan Tersier;
Early diagnosis and prompt treatment dilakukan melalui:
a. Pemeriksaan kesehatan pra-kerja,
b. Pemeriksaan kesehatan berkala,
c. Surveilans,
d. Pemeriksaan lingkungan secara berkala,
e. Pengobatan segera bila ditemukan gangguan pada pekerja, dan
f. Pengendalian segera ditempat kerja.

Kondisi fisik sehat dan kuat sangat dibutuhkan dalam bekerja, namun dengan bekerja
secara benar dan teratur bukan berarti kesehatan kita tidak dapat terganggu. Kepedulian dan
kesadaran akan jenis pekerjaan, juga kondisi pekerjaan dapat menghalau sumber penyakit.
Dengan didukung perusahaan yang sadar kesehatan, maka kantor pun akan benar-benar
menjadi lahan menuai hasil kerja, bukan penyakit.

G. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja


Untuk dapat mendiagnosis Penyakit Akibat Kerja pada individu perlu dilakukan suatu
pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dan
menginterpretasikannya secara tepat. Pendekatan tersebut dapat disusun menjadi 7
langkah yang dapat digunakan sebagai pedoman:
1. Tentukan diagnosis klinisnya.
Diagnosis klinis harus dapat ditegakkan terlebih dahulu, dengan
memanfaatkan fasilitas-fasilitas penunjang yang ada, seperti umumnya dilakukan
untuk mendiagnosis suatu penyakit. Setelah diagnosis klinik ditegakkan baru dapat
dipikirkan lebih lanjut apakah penyakit tersebut berhubungan dengan pekerjaan atau
tidak.
2. Tentukan pajanan yang dialami oleh tenaga kerja selama ini.
Pengetahuan mengenai pajanan yang dialami oleh seorang tenaga kerja
adalah esensial untuk dapat menghubungkan suatu penyakit dengan pekerjaannya.
Untuk ini perlu dilakukan anamnesis mengenai riwayat pekerjaannya secara cermat
dan teliti, yang mencakup:
a. Penjelasan mengenai semua pekerjaan yang telah dilakukan oleh penderita secara
kronologis,
b. Lamanya melakukan masing-masing pekerjaan,

10
c. Bahan yang diproduksi,
d. Materi (bahan baku) yang digunakan,
e. Jumlah pajanannya,
f. Pemakaian alat perlindungan diri (masker),
g. Pola waktu terjadinya gejala,
h. Informasi mengenai tenaga kerja lain (apakah adayang mengalami gejala serupa),
dan
i. Informasi tertulis yang ada mengenai bahan-bahan yang digunakan (MSDS, label
dan sebagainya)
3. Tentukan apakah pajanan tersebut memang dapat menyebabkan penyakit tersebut.
Apakah terdapat bukti-bukti ilmiah dalam kepustakaan yang mendukung
pendapat bahwa pajanan yang dialami menyebabkan penyakit yang diderita. Jika
dalam kepustakaan tidak ditemukan adanya dasar ilmiah yang menyatakan hal
tersebut di atas, maka tidak dapat ditegakkan diagnose penyakit akibat kerja. Jika
dalam kepustakaan ada yang mendukung.
4. Tentukan apakah jumlah pajanan yang dialami cukup besar untuk dapat
mengakibatkan penyakit tersebut.
Jika penyakit yang diderita hanya dapat terjadi pada keadaan pajanan
tertentu, maka pajanan yang dialami pasien di tempat kerja menjadi penting untuk
diteliti lebih lanjut dan membandingkannya dengan kepustakaan yang ada untuk dapat
menentukan diagnosis penyakit akibat kerja.
5. Tentukan apakah ada faktor-faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi.
Apakah ada keterangan dari riwayat penyakit maupun riwayat pekerjaannya,
yang dapat mengubah keadaan pajanannya, misalnya penggunaan APD, riwayat
adanya pajanan serupa sebelumnya sehingga resikonya meningkat. Apakah pasien
mempunyai riwayat kesehatan (riwayat keluarga) yang menyebabkan penderita lebih
rentan/lebih sensitif terhadap pajanan yang dialami.
6. Cari adanya kemungkinan lain yang dapat merupakan penyebab penyakit.
Apakah ada faktor lain yang dapat merupakan penyebab penyakit? Apakah
penderita memiliki pajanan lain yang diketahui dapat merupakan penyebab penyakit.
Meskipun demikian, adanya penyebab lain tidak selalu dapat digunakan untuk
menyingkirkan penyebab di tempat kerja.
7. Buat keputusan apakah penyakit tersebut disebabkan oleh pekerjaannya.
Sesudah menerapkan ke enam langkah di atas perlu dibuat suatu keputusan
berdasarkan informasi yang telah didapat yang memiliki dasar ilmiah. Seperti telah
disebutkan sebelumnya, tidak selalu pekerjaan merupakan penyebab langsung suatu
penyakit, kadang-kadang pekerjaan hanya memperberat suatu kondisi yang telah ada
sebelumnya. Hal ini perlu dibedakan pada waktu menegakkan diagnosis. Suatu
pekerjaan/pajanan dinyatakan sebagai penyebab suatu penyakit apabila tanpa
melakukan pekerjan atau tanpa adanya pajanan tertentu, pasien tidak akan menderita
penyakit tersebut pada saat ini.

Sedangkan pekerjaan dinyatakan memperberat suatu keadaan apabila penyakit telah


ada atau timbul pada waktu yang sama tanpa tergantung pekerjaanya, tetapi
pekerjaan/pajanannya memperberat/mempercepat timbulnya penyakit. Dari uraian di atas

11
dapat dimengerti bahwa untuk menegakkan diagnosis Penyakit Akibat Kerja diperlukan
pengetahuan yang spesifik, tersedianya berbagai informasi yang didapat baik dari pemeriksaan
klinis pasien, pemeriksaan lingkungan di tempat kerja (bila memungkinkan) dan data
epidemiologis.

H. Perawatan dan Pengobatan


Dalam melakukan penanganan terhadap penyakit akibat kerja, dapat dilakukan 2
macam terapi, yaitu:
1. Terapi medika mentosa, yaitu terapi dengan obat-obatan ;
a. Terapi kausal (bila mungkin), dan
b. Pada umumnya penyakit kerja ini bersifat irreversibel, sehingga terapi sering kali
hanya secara simptomatis saja. Misalnya pada penyakit silikosis (irreversible),
terapi hanya mengatasi sesak napas, nyeri dada.
2. Terapi okupasia;
a. Pindah ke bagian yang tidak terpapar, dan
b. Lakukan cara kerja yang sesuai dengan kemampuan fisik.

DAFTAR PUSTAKA
- http://Sistemmanajemenkeselamatankerja.blogspot.co.id/2013/10/penyakit-akibat-kerja-
pak.html?m=1 (diakses pada tanggal 10 Januari pukul 15.15 WIB)
- http://manfaat.co/penyakit-akibat-kerja.html (diakses pada tanggal 10 Januari pukul
15.19 WIB)
- http://jurnalKatiga.com/diagnosis-penyakit-akibat-kerja-bagian-3.html (diakses pada
tanggal 10 Januari pukul 15.33 WIB)
- http://nahrowy.wordpress.com/2013/01/31/makalah-penyakit-akibat-kerja-pak/ (diakses
pada tanggal 10 Januari pukul 09.12 WIB)
- http://alfa1995.blogspot.co.id/2012/09/makalah-tentang-anemia-apalastik.html (diakses
pada tanggal 10 Januari pukul 10.10)
- Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pengantar penyakit akibat kerja. Jakarta.
Perpustakaan Departemen Kesehatan RI. 2011.
© 2016

12

Anda mungkin juga menyukai