Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai
dengan abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal yang berlangsung lebih dari 3
bulan. Gangguan fungsi ginjal ini terjadi ketika tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan retensi
urea dan sampah nitrogen lain dalam darah. Kerusakan ginjal ini mengakibatkan
masalah pada kemampuan dan kekuatan tubuh yang menyebabkan aktivitas kerja
terganggu, tubuh jadi mudah lelah dan lemas sehingga kualitas hidup pasien menurun
(Sitifa, 2018).

Menurut WHO (2012) penyakit ginjal dan saluran kemih telah menyebabkan
kematian sekitar 850.000 orang setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa
penyakit ini meduduki peringkat ke -12 tertinggi angka kematian atau peringkat
tertinggi ke-17 angka kecacatan. Saat ini terdapat satu juta penduduk dunia yang
sedang menjalani terapi pengganti ginjal (dialisis) dan angka ini terus bertambah
sehingga diperkirakan pada 2010 terdapat dua juta orang yang menjalani dialisis.

Mengapa pasien gagal ginjal stadium akhir di kaitkan dengan perawatan


palliative care, dikarenakan perawatan paliatif adalah sistem perawatan terpadu yang
bertujuan meningkatkan kualitas hidup, dengan cara meringankan nyeri dan
penderitaan lain, memberikan dukungan spiritual dan psikososial mulai saat diagnosa
ditegakkan sampai akhir hayat dan dukungan terhadap keluarga yang kehilangan/
berduka (WHO, 2005). Perawatan paliatif ini diberikan untuk penderita penyakit
kronis dimulai pada saat didiagnosis sampai dengan akhir hayat pasien.
B. Rumusan Masalah

Melihat banyaknya penderita gagal ginjal kronik yang terjadi baik


yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, maka dari itu penulis ingin
mendalami lebih lanjut mengenai penyakit Gagal Ginjal Kronik dengan
merumuskan suatu masalah yaitu bagaimana memberikan asuhan keperawatan
pada pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik.

C. Tujuan

1. Tujuan Umum
Setelah mengikuti mata kuliah palliative care dan mendapatkan penjelasan
tentang penyakit gagal ginjal tahap akhir, mahasiswa mampu memahami
perawatan paliatif pada pasien gagal ginjal kronik stadium akhir.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami konsep palliative care.
b. Mahasiswa mampu memahami konsep gagal ginjal kronik.
c. Mahasiswa mampu memahami dan mengaplikasikan asuhan keperawatan
palliative care pada pasien gagal ginjal kronik stadium akhir.
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Meningkatkan pengetahuan bagi pembaca agar dapat melakukan
pencegahan untuk diri sendiri dan orang disekitarnya agar tidak terkena
gagal ginjal kronik, bahwa gagal ginjal kronik adalah kegagalan fungsi
ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan
elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan
maninfestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah
(Muttaqin dan Sari , 2011)

2. Manfaat Praktis
a. Bagi Rumah Sakit
Manfaat praktis penulisan karya tulis ilmiah bagi rumah sakit yaitu
dapat digunakan sebagai salah satu contoh hasil dalam melakukan
tindakan keperawatan bagi pasien khususnya dengan gangguan sistem
perkemihan gagal ginjal kronik.
b. Bagi Perawat
Manfaat praktis penulisan karya tulis ilmiah bagi perawat yaitu
perawat dapat menentukan diagnosa dan intervensi keperawatan yang
tepat pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan gagal ginjal
kronik
c. Bagi Instansi Akademik
Manfaat praktis bagi instansi akademik yaitu dapat digunakan sebagai
referensi bagi institusi pendidikan untuk mengembangkan ilmu
tentang asuhan keperawatan dengan gangguan sistem perkemihan
gagal ginjal kronik
d. Bagi Pasien dan Keluarga
Manfaat praktis penulisan karya ilmiah bagi pasien dan keluarga yaitu
supaya pasien dan keluarga dapat mengetahui 5 gambaran umum
tentang gangguan sistem perkemihan gagal ginjal kronik beserta
perawatan yang benar bagi klien agar penderita mendapat perawatan
yang tepat dalam keluarganya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Keperawatan Paliatif


Perawatan paliatif menurut WHO (2002) adalah “pendekatan yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan pasien dan keluarganya
menghadapi masalah-masalah yang berhubungan dengan penyakit yang
mengancam jiwa, dengan mencegah dan meringankan penderitaan
melalui identifikasi awal dan penilaian serta terapi rasa sakit dan
masalah lain–baik fisik, psikososial maupun spiritual”. Tetapi definisi
Perawatan Paliatif menurut WHO 15 tahun kemudian sudah sangat berbeda.
Definisi Perawataan Paliatif yang diberikan oleh WHO pada tahun 2005
bahwa perawatan paliatif adalah system perawatan terpadu yang bertujuan
meningkatkan kualitas hidup, dengan cara meringankan nyeri dan penderitaan
lain, memberikan dukungan spiritual dan psikososial mulai saat diagnosa
ditegakkan sampai akhir hayat dan dukungan terhadap keluarga yang
kehilangan/berduka.

Di sini dengan jelas dikatakan bahwa Perawatan Paliatif diberikan


sejak diagnosa ditegakkan sampai akhir hayat. Artinya tidak memperdulikan
pada stadium dini atau lanjut, masih bisa disembuhkan atau tidak, mutlak
Perawatan Paliatif harus diberikan kepada penderita itu. Perawatan Paliatif
tidak berhenti setelah penderita meninggal, tetapi masih diteruskan dengan
memberikan dukungan kepada anggota keluarga yang berduka. Perawatan
paliatif tidak hanya sebatas aspek fisik dari penderita itu yang ditangani, tetapi
juga aspek lain seperti psikologis, social dan spiritual.

Lebih lanjut, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menekankan lagi


bahwa pelayanan paliatif berpijak pada pola dasar berikut ini :

1. Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai proses


yang normal.
2. Tidak mempercepat atau menunda kematian.
3. Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang menganggu.
4. Menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual.
5. Berusaha agar penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya.
6. Berusaha membantu mengatasi suasana dukacita pada keluarga.
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari perawatan
palliative adalah untuk mengurangi penderitaan pasien, memperpanjang
umurnya, meningkatkan kualitas hidupnya, juga memberikan support kepada
keluarganya. Meski pada akhirnya pasien meninggal, yang terpenting sebelum
meninggal dia sudah siap secara psikologis dan spiritual, serta tidak stres
menghadapi penyakit yang dideritanya.

B. Perkembangan Keperawatan Paliatif


Dari seminar keperawatan 2007 yang berjudul “Home Care: Bukti
Kemandirian Perawat”, menyebutkan bahwa di negara maju, perawatan
khusus bagi mereka yang akan segera meninggalmerupakan kolaborasi antara
keluarga dan para profesional, dan memberikan layanan medis, psikologis,
social dan spiritual. Pengobatan paliatif bermaksud mengurangi nyeri dan
mengurangi symptom selain nyeri sepertimual, muntah dan depresi.
Perawatan bagi mereka yang akan segera meninggal pertama didirikan di
Inggris melalui lokakarya cicely Saunders di RS Khusus St. Christopher, RS
khusus tersebut pindah ke AS pada thn 1970-an. RS khusus pertama di AS
adalah RS New Haven yang kemudian menjadi RS khusus Connecticut. RS
tersebut kemudian menyebar ke seluruh Negara.Di Indonesia perawatan
paliatif baru dimulai pada tanggal 19 Februari 1992 di RS Dr. Soetomo
(Surabaya), disusul RS Cipto Mangunkusumo (Jakarta), RS Kanker Dharmais
(Jakarta), RS Wahidin Sudirohusodo (Makassar), RS Dr. Sardjito
(Yogyakarta), dan RS Sanglah (Denpasar). Di RS Dr. Soetomo perawatan
paliatif dilakukan oleh Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri.
Pelayanan yang diberikan meliputi rawat jalan, rawat inap (konsultatif), rawat
rumah, day care, dan respite care.
Pengertian rawat jalan dan rawat inap sudah cukup jelas. Rawat rumah
(home care) dilakukan dengan melakukan kunjungan ke rumah-rumah
penderita, terutama yang karena alasan-alasan tertentu tidak dapat datang ke
rumah sakit. Kunjungan dilakukan oleh tim yang terdiri atas dokter paliatif,
psikiater, perawat, dan relawan, untuk memantau dan memberikan solusi atas
masalah-masalah yang dialami penderita kanker dan keluarganya, bukan
hanya menyangkut masalah medis/biologis, tetapi juga masalah psikis, sosial,
dan spiritual.

C. Gagal Ginjal Kronik


Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap-akhir merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogenlain
dalam darah) (Suzanne & Brenda, 2002).
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progesif,
dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel,
pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap,
berupa dialisis atau transplantasi ginjal (FKUI, 2006).
Dari pengertian diatas penulis menyimpulkan bahwa gagal ginjal
kronik adalah gangguan fungsi renal yang irreversible dan berlangsung lambat
sehingga ginjal tidak mampu mempertahankan metabolisme tubuh dan
keseimbangan cairan dan elektrolit dan menyebabkan uremia.

D. Etiologi
1. Penyakit infeksi tubulointerstitial : Pielonefritis kronik atau refluks
nefropati Pielonefritis kronik adalah infeksi pada ginjal itu sendiri, dapat
terjadi akibat infeksi berulang, dan biasanya dijumpai pada penderita batu.
Gejala–gejala umum seperti demam, menggigil, nyeri pinggang, dan
disuria. Atau memperlihatkan gambaran mirip dengan pielonefritis akut,
tetapi juga menimbulkan hipertensi dan gagal ginjal (Elizabeth, 2000).
2. Penyakit peradangan : Glomerulonefritis Glomerulonefritis akut adalah
peradangan glomerulus secara mendadak. Peradangan akut glomerulus
terjadi akibat peradangan komplek antigen dan antibodi di kapiler –
kapiler glomerulus. Komplek 8 biasanya terbentuk 7 – 10 hari setelah
infeksi faring atau kulit oleh Streptococcus (glomerulonefritis
pascastreptococcus ) tetapi dapat timbul setelah infeksi lain (Elizabeth,
2000).
Glomerulonefritis kronik adalah peradangan yang lama dari sel – sel
glomerulus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang
tidak membaik atau timbul secara spontan. Glomerulonefritis kronik
sering timbul beberapa tahun setelah cidera dan peradangan glomerulus
sub klinis yang disertai oleh hematuria (darah dalam urin) dan proteinuria
( protein dalam urin ) ringan, yang sering menjadi penyebab adalah
diabetes mellitus dan hipertensi kronik. Hasil akhir dari peradangan adalah
pembentukan jaringan parut dan menurunnya fungsi glomerulus. Pada
pengidap diabetes yang mengalami hipertensi ringan, memiliki prognosis
fungsi ginjal jangka panjang yang kurang baik (Elizabeth, 2000).
3. Penyakit vaskuler hipertensif : Nefrosklerosis benigna, Nefrosklerosis
maligna, Stenosis arteria renalis
a. Nefrosklerosis Benigna merupakan istilah untuk menyatakan berubah
ginjal yang berkaitan dengan skerosis pada arteriol ginjal dan arteri
kecil.
b. Nefrosklerosis Maligna suatu keadaan yang berhubungan dengan
tekanan darah tinggi (hipertensi maligna), dimana arteri-arteri yang
terkecil (arteriola) di dalam ginjal mengalami kerusakan dan dengan
segera terjadi gagal ginjal.

Stenosis arteri renalis (RAS) adalah penyempitan dari satu atau kedua
pembuluh darah (arteri ginjal) yang membawa darah ke ginjal. Ginjal
membantu untuk mengontrol tekanan darah. Renalis menyempit
menyulitkan ginjal untuk bekerja. RAS dapat menjadi lebih buruk dari
waktu ke waktu. Sering menyebabkan tekanan darah tinggi dan kerusakan
ginjal

4. Gangguan jaringan ikat : Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis


nodosa, sklerosis sistemik progresif Systemic lupus erytematosus (SLE)
atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau
inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan
sistem imun.
5. Gangguan congenital dan herediter : Penyakit ginjal polikistik, asidosis
tubulus ginjal
6. Penyakit metabolic : Diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme,
amyloidosis
7. Nefropati toksik : Penyalahgunaan analgesi, nefropati timah
8. Nefropati obstruktif : Traktus urinarius bagian atas (batu/calculi,
neoplasma, fibrosis, retroperitineal), traktus urinarius bawah (hipertropi
prostat, striktur uretra, anomaly congenital leher vesika urinaria dan
uretra).

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik menurut Baughman (2000) dapat dilihat dari
berbagai fungsi sistem tubuh yaitu :
1. Manifestasi kardiovaskuler : hipertensi, pitting edema, edema periorbital,
friction rub pericardial, pembesaran vena leher, gagal jantung kongestif,
perikarditis, disritmia, kardiomiopati, efusi pericardial, temponade pericardial.
2. Gejala dermatologis/system integumen : gatal-gatal hebat (pruritus), warna
kulit abu-abu, mengkilat dan hiperpigmentasi, serangan uremik tidak umum
karena pengobatan dini dan agresif, kulit kering, bersisik, ecimosis, kuku tipis
dan rapuh, rambut tipis dan kasar, memar (purpura).
3. Gejala gastrointestinal : nafas berbau ammonia, ulserasi dan perdarahan
pada mulut, anoreksia, mual, muntah dan cegukan, penurunan aliran saliva,
haus, rasa kecap logam dalam mulut, kehilangan kemampuan penghidu dan
pengecap, parotitis dan stomatitis, peritonitis, konstipasi dan diare, perdarahan
darisaluran gastrointestinal.
4. Perubahan neuromuskular : perubahan tingkat kesadaran, kacau mental,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kedutan otot dan kejang.
5. Perubahan hematologis : kecenderungan perdarahan.
6. Keletihan dan letargik, sakit kepala, kelemahan umum.
7. Pasien secara bertahap akan lebih mengantuk; karakter pernafasan menjadi
Kussmaul ; dan terjadi koma dalam, sering dengan konvulsi (kedutan
mioklonik) atau kedutan otot.

F. Perawatan Paliatif Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik

1. Definisi

Perawatan Paliatif adalah perawatan kesehatan terpadu yang bersifat aktif dan
menyeluruh, dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi.
Perawatan paliatif untuk mencegah, memperbaiki, mengurangi gejala-gejala suatu
penyakit, namun bukan berupaya penyembuhan. Suatu pendekatan untuk
memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarganya dalam menghadapi penyakit
yang mengancam jiwa, melalui pencegahan, penilaian, pengobatan nyeri dan
masalah-masalah fisik lain, juga masalah psikologis dan spiritual lainnya.

Prinsip Perawatan Paliatif

a. Menghilangkan nyeri & gejala-gejala yang menyiksa lain


b. Menghargai kehidupan & menghormati kematian sebagai suatu proses normal
c. Tidak bermaksud mempercepat atau menunda kematian
d. Perawatan yang mengintegrasikan aspek psikologis dan spiritual, sosial,
budaya dari pasien dan keluarganya, termasuk dukungan saat berkabung.
e. Memberi sistim dukungan untuk mengusahakan pasien sedapat mungkin tetap
aktif sampai kematiannya.
f. Memberi sistim dukungan untuk menolong keluarga pasien melalui masa
sakit pasien, dan sewaktu masa perkabungan

C. Karakteristik Perawatan Paliatif


1. Menggunakan pendekatan tim untuk mengetahui kebutuhan pasien dan keluarganya,
termasuk konseling kedukaan bila diperlukan.
2. Meningkatkan kwalitas hidup, dan juga secara positif mempengaruhi perjalanan
penyakit.
3. Perawaatan aktif, total bagi pasien yang menderita penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
4. Pendekatan holistik : fisik, mental, spiritual, sosial
5. Pendekatan multi-disipliner : medis, non-medis, keluarga

D. Manfaat Perawatan Paliatif


1. Meningkatkan kualitas hidup Pasien GGK dan keluarganya
2. Mengurangi penderitaan pasien
3. Mengurangi frekuensi kunjungan ke rumah sakit
4. Meningkatkan kepatuhan pengobatan

E. Pelaksana Perawatan Paliatif


1. Petugas medis :
a. Perawat
b. Manajer kasus
c. Dokter, fisioterapis, nutrisionis
2. Keluarga pasien
3. Petugas sosial komunitas : lay support
4. Anggota KDS
5. Petugas LSM

F. Syarat Perawatan Paliatif Yang Baik


1. Menghargai otonomi dan pilihan pasien
2. Memberi akses sumber informasi yang adekuat
3. Ciptakan hubungan saling menghargai dan mempercayai antara pasien dengan
pemberi perawatan
4. Berikan dukungan bagi keluarga, anak, petugas sosial yang memberikan perawatan.
5. Hormati dan terapkan nilai-nilai budaya setempat, kepercayaan / agama, dan adat
istiadat.

G. Jenis Perawatan Paliatif


1. Pengobatan medikamentosa terutama penatalaksanaan nyeri dan gejala-gejala lain
2. Perawatan psikososial berupa :
a. psikologis
b. sosial
c. spiritual
d. kedukaan/berkabung

H. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan
homeostasis selama mungkin. Seluruh factor yang berperan pada gagal ginjal tahap
akhir dan factor yang dapat dipulihkan (mis : obstruksi) diidentifikasi dan
ditangani. Komplikasi potensial gagal ginjal kronis yang memerlukan pendekatan
kolaboratif dalam perawatan mencakup :
1. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme, dan
masukkan diet berlebih
2. Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialysis yang tidak adekuat
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system renin-
angiostensin-aldosteron
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah marah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin, kehilangan darah selama
hemodialisis
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolism vitamin D abnormal, dan peningkatan kadar aluminium.
Komplikasi dapat dicegah atau dihambat dengan pemberian antihipertensif,
eritropoetin, suplemen besi, agens pengikat fosfat, dan suplemen kalsium. Pasien juga
perlu mendapat penanganan dialysis yang adekuat untuk menurunkan kadar produk
sampah uremik dalam darah.

I. Penanganan
1. Intervensi diet
Intervensi diet diperlukan pada gangguan fungsi renal dan mencakup pengaturan
yang cermat terhadap masukkan protein, masukkan cairan untik mengganti cairan
yang hilang, masukkan natrium untuk mengganti natrium yang hilang, dan
pembatasan kalium.
2. Hiperfosfatemia dan hipokalemia
Ditangani dengan antasida mengandung aluminum yang mengikat fosfat makanan di
saluran gastrointestinal.
3. Hipertensi
Ditangani dengan berbagai medikasi antihipertensif control volume intravaskuler.
Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner juga memerlukan pennganan
pembatasan cairan, diet rendah natrium, diuretic, agens inotropik seperti digitalis atau
dobutamine, dan dialysis. Asidosis metabolic pada gagal ginjal kronis biasanya tanpa
gejala dan tidak memerlukan penanganan, namun demikian, suplemen natrium
karbonat atau dialysis diperlukan untuk mengoreksi asidosis jika kondisi ini
menimbulkan gejala.
4. Hiperkalemia
Biasanya dicegah dengan penanganan dialysis yang adekuat disertai pengambilan
kalium dan pemantauan yang cermat terhadap kandungan kalium pada seluruh
medikasi oral atau intravena.
5. Abnormalitas Neurologi
Dapat terjadi dan memerlukan observasi dini terhadap tanda-tanda seperti kedutan,
sakit kepala, delirium, atau aktivitas kejang. Pasien dilindungi dari cedera dan
menempatkan pembatas tempat tidur. Diazepam intravena (Valium) atau fenitoin
(Dilantin) biasanya diberikan untuk mengendalikan kejang.
6. Anemia
Anemia pada gagal ginjal kronis ditangani dengan Epogen (eritropoetin manusia
rekombinan). Anemia pada pasien (hematokrit kurang dari 30 %) muncul tanpa gejala
spesifik seperti malaise, keletihan umum, dan penurunan toleransi aktivitas.

J. Terapi GGK
1. Terapi Farmakologis
a. Kontrol tekanan darah
1) Penghambat EKA atau antagonis reseptor Angiotensin II → evaluasi kreatinin dan
kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemia
harus dihentikan.
2) Penghambat kalsium, Diuretik
b. Pada pasien DM, kontrol gula darah → hindari pemakaian metformin dan obat-obat
sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 diatas
nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%
c. Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
d. Kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), Kalsitrol
e. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
f. Koreksi hiperkalemia
g. Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan statin
h. Terapi ginjal pengganti
2. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit (Sukandar, 2006).
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi
toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan
keseimbangan negatif nitrogen.

b. Kebutuhan jumlah kalori


Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan
utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status
nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis
mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan
penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
3. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena
bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi
alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena
dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada
GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari
GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut
sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat
dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.

e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang
adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
g. emberian obat-obatan anti hipertensi.
h. Kelainan sistem kardiovaskular
i. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.
4. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia,
dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang
belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Hemodialisis akan
mencegah kematian tetapi tidak dapat menyembuhkan atau memulihkan penyakit
ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolic atau endokrin
yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap
kualitas hidup pasien. Pasien GGK harus menjalani terapi dialysis sepanjang
hidupnya (3x seminggu selama 3-4 jam per kali terapi) atau sebelum melakukan
operasi pencangkokan ginjal.
b. Dialisis peritoneal (DP)
Metode yang dikenal dengan Peritoneal Dialysis (PD) yaitu metode pencucian darah
dengan mengunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut dan pembungkus organ
perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kayaakan pembuluh darah.
Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneumke dalam rongga
perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut
ke dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah
metabolic dari aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut,
kemudian cairan dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan cairan yang baru.
Ada dua macam PD, yaitu Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dan
Automated Peritoneal Dialysis (APD). APD relatif masih jarang digunakan oleh
masyarakat Indonesia. CAPD dapat menciptakan kualitas hidup yang lebih baik bagi
penderita. Sebab, mereka dapat menjalani hidupnya dengan normal, tanpa banyak
batasan untuk mengkonsumsi makanan. CAPD dipasang permanen di tubuh
penderita, tepatnya di bagian perut. Sebuah catheter (kateter) dipasang di bagian
perutnya dan disediakan sebuah kantong untuk menjamin kesterilannya. Dengan
CAPD, penderita cukup melakukan kontrol 1 kali dalam sebulan ke rumah sakit. Pola
kerja cuci darahnya, kateter disambungkan dengan titanium adapter yang akan
mengalirkan cairan dextrose.
Cairan inilah yang berfungsi untuk menarik racun dari dalam tubuh. Proses
pengaliran cairan ini hanya membutuhkan waktu10 menit. Dalam sehari dilakukan
sebanyak 3-4 kali. Jaraknya sekitar 4 sampai 6 jam dari satu pencucian dengan
pencucian berikutnya. Kalau transfer setnya bisa diganti 6 bulan sekali. Kunci dari
CAPD harus disiplin tinggi. Karena tanpa disiplin tidk bisa berhasil. Misalnya, saat
melakukan pencucian darahtangan mereka harus bersih, AC dan kipas angin tidak
boleh menyala serta lampu harus terang.
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa
yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati
azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik,
hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120
mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah
dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan
yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow
fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang
tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal
(Rahardjo, 2006).
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal,
sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
2) Kualitas hidup normal kembali
3) Masa hidup (survival rate) lebih lama
4) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

Anda mungkin juga menyukai