Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN KONSEP NCP

PENERAPAN KOSEP NCP PADA PENYAKIT DALAM


PRIA DI RSUD ULIN BANJARMASIN TAHUN 2017

Dosen Pembimbing :
Magdalena, A., M. Kes

Kelompok 4 :
1. Deviana Nur Agustin NIM : P07131214085
2. Noor Minawati NIM : P07131213141
3. Syarifah Sofia Nurhuda NIM : P07131214116

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN BANJARMASIN

PROGRAM DIPLOMA IV

JURUSAN GIZI

BANJARBARU

2017

BAB I

PENDAHULUAN

1
1.1 Latar Belakang
Kesehatan dan gizi merupakan faktor penting dalam memasuki era
globalisasi karena secara langsung akan berpengaruh terhadap kualitas SDM
di suatu negara, umur harapan hidup dan tingkat pendidikan. Tingkat
pendidikan yang tinggi hanya dapat dicapai oleh orang yang sehat dan
memiliki status gizi baik. Untuk itu diperlukan upaya perbaikan gizi yang
bertujuan untuk meningkatkan status gizi masyarakat melalui upaya perbaikan
gizi dalam keluarga maupun pelayanan gizi pada individu yang karena suatu
hal harus tinggal di suatu institusi kesehatan, diantaranya rumah sakit
(Depkes, 2005).
Pelayanan gizi rumah sakit merupakan kegiatan terpadu dalam
pelayanan kesehatan rumah sakit.Salah satu pelayanannya adalah pelayanan
rawat inap, pelayanan gizi ini disesuaikan dengan keadaan individu dan
berdasarkan status gizi, anamnesa dan status metabolisme tubuh.Dengan
memberikan terapi pada makanan dan disesuaikan dengan jenis penyakit
pasien. Keadaan gizi pasien mempunyai peranan penting dalam proses
penyembuhan penyakit, sebaliknya perjalanan penyakit dapat berpengaruh
pada keadaan gizi seseorang.
Gangguan obstruktif dan1 restriktif pada paru-paru merupakan salah
satu penyebab kematian di dunia. Gangguan ini menyebabkan kematian di
Amerika Serikat 10.000-20.000 orang pertahun. Di Indonesia penyakit asma,
bronkitis kronik dan empisema atau sekarang lebih dikenal dengan penyakit
paru obstruktif kronis (PPOK) menempati peringkat 5 penyebab kesakitan
utama (Survey Kesehatan Rumah Tangga,1986). Penyakit ini juga menempati
peringkat 6 dari 10 penyebab kematian tersering (Survey Kesehatan Rumah
Tangga,1992). PPOK termasuk empisema dan bronchitis kronik mempunyai
banyak gejala, salah satunya adalah dyspnea (Fauci,2008). Dyspnea adalah
keadaan dimana penderita mengalami kesulitan bernafas. Hal ini dapa
tdisebabkan adanya sumbatan pada jalan pernafasan (Fauci,2008). Dyspnea
ini menimbulkan suatu keadaan yang tidak nyaman bagi penderita
PPOK,yang sering timbul akibat dari kebiasaan merokok. Gejala ini juga
timbul pada penderita penyakit asma (Fauci, 2008).
Edema paru akut (EPA) adalah akumulas cairan di paru-paru yang
terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravascular

2
yang tinggi (edema paru kardia) atau karena peningkatan permeabilitas
membrane kapiler (edema paru non cardiak)yang mengakibatkan terjadinya
ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara
dialveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia. Pada sebagian besar
edema paru secara klinis mempunyai kedua aspek tersebut diatas, sebab
sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas tanpa adanya gangguan pada
mikrosirkulasi atau sebaliknya.Walaupun demikian penting sekali untuk
menetapkan faktor mana yang dominan dari kedua mekanisme tersebut
sebagai pedoman pengobatan. EPA adalah suatu keadaan gawa tdarurat
dengan tingkat mortalitas yang masih tinggi.
Menurut penelitian pada tahun 1994, secara keseluruhan terdapat 74,4
juta penderita edema paru didunia. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita edema
paru yang perlu pengobatan dan pengawasan secara komprehensif. DiAmerika
Serikat diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita edema. Di Jerman 6 juta
penduduk. Ini merupakan angka yang cukup besar yang perlu mendapat
perhatian dari perawat didalam merawat klien edema paru secara
komprehensif biopsikosocial dan spiritual.
Penyakit edema paru pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun
1971. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga
sampai tahun 1980 seluruh provinsi di Indonesia. Sejak pertama kali
ditemukan, jumlah kasus menunjukan kecenderungan meningkat baik dalam
jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia insiden tersebar terjadi pada 1998
dengan incidence rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR = 2%.
Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun
berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 19,24 (tahun
2002) dan 23,87 (tahun 2003).
Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu keadaan terjadinya
kerusakan ginjal atau laju filtrasi glomerulus (LFG)<60mL/menit dalam
waktu 3 bulan atau lebih. Penurunan fungsi ginjal terjadi secara berangsur-
angsur dan irreversible yang akan berkembang terus menjadi gagal ginjal
terminal. Adanya kerusakan ginjal tersebut dapat dilihat dari kelainan yang
terdapat dalam darah, urin, pencitraan, atau biopsi ginjal. CKD merupakan
masalah kesehatan yang mendunia dengan angka kejadian yang terus

3
meningkat, mempunyai prognosis buruk,dan memerlukan biaya perawatan
yang mahal.Di negara-negara berkembang CKD lebih kompleks lagi
masalahnya karena berkaitan dengan sosiol-ekonomi dan penyakit-penyakit
yang mendasarinya. Perjalanan penyakit CKD tidak hanya terjadi gagal ginjal
tetapi juga dapat terjadi komplikasi lainnya karena menurunnya fungsi ginjal
dan penyakit kardiovaskular
Peningkatan prevalens penderita CKD dari 13,8% menjadi 15,8%
pada populasi dewasa dilaporkan oleh US Renal Data System tahun 2007,
sedangkan pada populasi anak kejadian CKD <2% dari populasi dewasa.
Prevalens CKD pada anak adalah 18 per 1 juta populasi anak. Jumlah
penderita CKD yang dilakukan dialysis dan transplantasi ginjal diproyeksikan
meningkat dari 340.000 pada tahun 1999 menjadi 651.000 pada tahun 2010.
Mortalitas penderita dengan GGT meningkat 10-20 kali dibandingkan
populasi umum.
Bukti-bukti terbaru menunjukkan bahwa perjalanan penyakit CKD
tersebut dapat diperbaiki dengan melakukan deteksi dini dan memberikan
penanganan yang lebih awal. The National Kidney Foundation (NKF)
Kidney Disease Outcome Quality Initiative (K/DOQI) tahun 2002
mengembangkan clinical practice guidelines on CKD yang memuat mengenai
batasan, stadium, penilaian klinis berdasarkan hasil laboratorium, dan
membagi tingkatan risiko akibat penurunan fungsi ginjal. Tujuan guidelines
ini agar dapat diterima secara universal dan dapat memberikan
penanganan yang optimal bagi penderita CKD.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melaksanakan Nutrition Care Process
(NCP) sesuai dengan keadaan pasien.
1.2.2 Tujuan Khusus
a Mahasiswa dapat mengidentifikasi identitas pasien secara lengkap.
b Mahasiswa dapat melakukan skrining gizi.
c Mahasiswa dapat menggali riwayat penyakit pasien.
d Mahasiswa dapat melakukan nutrition assessment
e Mahasiswa dapat melakukan diagnosis gizi.
f Mahasiswa dapat melakukan nutrition intervention planning.

4
g Mahasiswa dapat melakukan perencanaan menu.
h Mahasiswa dapat melakukan nutrition implementation.
i Mahasiswa dapat melakukan monitoring dan edukasi.

1.3 Manfaat
1.3.1 Bagi Mahasiswa
Sebagai sarana menerapkan pelajaran yang telah ditetapkan
khususnya dalam bidang Konsep NCP dan sebagai tambahan
pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan pelayanan gizi bagi
pasien rumah sakit.
1.3.2 Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan evaluasi dalam memberikan pelayanan gizi
pada pasien rumah sakit.

1.3.3 Bagi Pasien


Meningkatkan motivasi dan pengetahuan pasien beserta
keluarga pasien mengenai terapi gizi atau diet yang harus dijalankan
sesuai kondisi pasien guna mempercepat proses penyembuhan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dispnea
2.1.1 Definisi Dispnea
Perasaan yang bersifat subjektif berupa kesulitan (merasa tidak enak,
merasa tidak nyaman) disaat bernafas. Sinonim lain yang dipergunakan pada
dyspnea adalah shortness of breath merupakan keluhan yang sering
dikemukakan oleh pasien. Dispnea berarti penderitaan mental yang
diakibatkan oleh ketidakmampuan ventilasi untuk memenuhi kebutuhan
udara.Atau air hunger.
Meskipun merasa tidak nyaman, dyspnea bukanlah sensasi seperti rasa
sakit yang harus diusahakan pasien untuk menguranginya, justru pada dyspnea
(sesak nafas) penderita tetap berusaha untuk tetap bernafas walaupun

5
mengerahkan seluruh perangkat organ yang terlibat dalam sistem pernafasan.
Semua orang dapat mengalami rasa ingin untuk meningkatkan kemampuan
bernafasnya terlebih bila seseorang tersebut melakukan aktivitas yang
melebihi kadar normal, misalnya di saat olah raga baik pada latihan sudah
mencapai ukuran maksimal atau di saat akan mencapai maksimal. Sesak nafas
(dyspnea) hendaklah dibedakan dari tachypnea dan hyperpnea. Di sini secara
objektif dapat ditemukan adanya peningkatan tidal volume dan ventilasi
menit.

2.1.2 Penyebab Dispnea

Secara garis besar penyebab dyspnea terbagi 2 golongan besar :


1) Dyspnea pulmonal
Adalah dispnea yang disebabkan karena adanya kerusakan atau ada hal
yang mengganggu mekanisme paru-paru, pleura, thoraks, bronchus,
bronchiolus, dan alveolus.
2) Dyspnea non-pulmonal
Dyspnea non-pulmonal adalah kelainan di luar paru yang melibatkan
paru sebagai konsekuensi perjalanan kelainan/penyakit tersebut.

a. Faktor lingkungan.
1) Udara dingin dan lembab.
2) Serbuk sari bunga (pollen) dan partikel lain.
3) Bekerja di lingkungan berdebu atau asap dapat memicu sesak nafas
berkepanjangan.
4) Polusi pada saluran hidung disebabkan pula oleh rokok yang dengan
langsung dapat mengurangi suplai oksigen.

b. Produksi lendir yang berlebihan akan menyumbat saluran udara.


1) Makanan yang menyebabkan produksi lendir berlebih adalah produk
dari susu, tepung, nasi putih, dan permen.
2) Kurangnya asupan cairan sehingga lendir pada paru-paru dan saluran
nafas mengental.
3) Kondisi ini juga menjadi situasi yang menyenangkan bagi mikroba
untuk berkembang biak.

6
c. Susunan tulang atau otot tegang pada punggung bagian atas akan
menghambat sensor syaraf dan bioenergi dari dan menuju paru-
paru.
d. Ketidakstabilan emosi.
1) Orang-orang yang gelisah, depresi, ketakutan, rendah diri cendertung
untuk sering menahan nafas. Atau justru menarik nafas terlalu sering
dan dangkal sehingga terengah-engah.
2) Dalam waktu yang lama, kebiasaan ini berpengaruh terhadap
produksi kelenjar adrenal dan hormon, yang berkaitan langsung
dengan sistem pertahanan tubuh.
e. Kelainan pembuluh darah.
1) Kelainan yang gejalanya seperti mendengkur atau napasnya bunyi
(stridor), yang dinamakan dengan vascular ring.
2) Adanya pembuluh darah jantung yang berbentuk seperti cincin
(double aortic arch) yang menekan jalan napas dan jalan makan.
f. Kelainan pada jalan napas/trakea.
Kelainan bawaan/kongenital ini pun paling banyak ditemui pada
bayi. Gejalanya, napas sesak dan napas berbunyi grok-grok. Kelainan
ini terjadi karena adanya hubungan antara jalan napas dengan jalan
makanan/esophagus. Kelainan ini dinamakan dengan trackeo esophageal
fistula.
Disamping bentuk dyspnea yang di atas ada pula bentuk dyspnea
yang terjadi pada kondisi (keadaan) tertentu, namun penyakit yang
mendasarinya tetap bersumber pada kelainan pulmonal atau non-
pulmonal.
Tiga faktor yang sering menyertai sensasi dispnea, yaitu :
Kelainan gas-gas pernafasan dalam cairan tubuh, terutama
hiperkapnia dan hipoksia
Jumlah kerja yang harus dilakukan oleh otot-otot pernapasan untuk
menghasilkan ventilasi yang memadai
Keadaan pikiran orang tersebut.
Seseorang menjadi sangat dispnea terutama akibat pembentukan
karbon dioksida yang berlebihan dalam cairan tubuh. Namun, pada suatu
waktu, kadar karbon dioksida dan oksigen dalam cairan tubuh dalam
batas normal, tetapi untuk mencapai gas-gas ini dalam batas normal,
orang tersebut harus bernapas dengan kuat. Pada keadaaan seprti ini,

7
aktivitas otot-otot pernapasan yang kuat seringkali memberi sensasi
dispnea pada orang tersebut.

2.1.3 Mekanisme
Pengetahuan tentang sensor yang dipergunakan dan fungsi yang
terintegrasi dari otak diperlukan sekali untuk memahami mekanisme
terjadinya sesak nafas (dyspnea). Elemen berikut ini haruslah ada untuk
menganalisa terjadinya dyspnea tersebut, yaitu : reseptor sensoris, koneksi
neurologi ke otak, pusat integrasi pada otak yang memproses informasi,
koneksi kortikal dalam menginterpretasikan sensasi yang dirasakan, di bawah
ini dipaparkan tentang rangkaian stimulasi yang dapat menyebabkan atau
membantu terjadinya sesak nafas (dyspnea), dinyatakan secara urutan
numerikal sebagai berikut :
Rangsangan (kimia, thermal, psikis, fisis dan sebagainya).
Reseptor iritan pada parenkhime paru dan saluran nafas.
Juxta capillary receptor pada interstitial alveoli akan merespon perubahan
pada compliance.
Otot pada dinding dada, persendian, costosternal junction dan diafragma
memberikan respon berupa regangan, gerakan dan propriosepsi.
Carrotid bodi atau pusat respirasi pada CNS akan aktif melalui beberapa
kombinasi rangsangan seperti hypercapnea, hypoxemia dan acidosis.
Tanpa memperhatikan alat sensor yang dipakai, pathway koneksi ke otak
adalah nervus vagus dan nervus phrenicus akan menuju RAS pada brain
stem.

Pajanan PO2 rendah secara mendadak akan merangsang kemoreseptor


arteri sehingga kemoreseptor tersebut akan meningkatkan ventilasi alveolus
menjadi maksimal sekitar 1,65 kali diatas normal. Jadi, kompensasi terjadi
segera dalam hitungan detik ketika naik ke tempat tinggi, dan dengan ini saja
orang dapat naik beberapa ribu kaki lebih tinggi dibanding melakukannya
tanpa peningkatan ventilasi. Bila orang itu kemudian tinggal di tempat yang
sangat tinggi selama beberapa hari, kemoreseptor masih meningkatkan
ventilasi sampai naik menjadi lima kali normal.

8
Kenaikan ventilasi paru yang mendadak saat kita naik ke tempat tinggi
akan menghilangkan sejumlah besar karbon dioksida, sehingga PCO2 turun
dan meningkatkan pH cairan tubuh. Semua perubahan itu akan menghambat
pusat pernapasan batang otak dan dengan demikian melawan efek PO2 yang
rendah untuk merangsang pernapasan menggunakan kemoreseptor
pernapasan perifer di badan carotid dan badan aortic. Namun, efek hambatan
ini perlahan-lahan hilang dalam waktu 2 sampai 5 hari, sehingga pusat
pernapasan dapat mengadakan respon maksimal terhadap rangsangan
kemoreseptor sebagai akibat dari hipoksia, dan ventilasi meningkat sekitar 5
kali normal.

Penyebab hilangnya hambatan ini dipercaya terjadi terutama karena


adanya penurunan kadar ion bikarbonat dalam cairan cerebrospinal
sebagaimana dalam jaringan otak. Perubahan-perubahan tersebut akan
menurunkan kadar pH cairan disekeliling neuron kemosensitif di pusat
pernapasan, dengan demikian akan meningkatkan aktivitas pusat tersebut
dalam menstimulasi pernapasan.

Mekanisme penting penurunan berkala konsentrasi bikarbonat


merupakan kompensasi ginjal terhadap alkalosis respiratoris. Ginjal
memberikan respon terhadap penurunan PCO2 dengan cara menurunkan
sekresi ion hydrogen dan meningkatkan eksresi bikarbonat. Kompensasi
metabolic untuk alkalosis respiratorik ini secara bertahap menurunkan
konsentrasi bikarbonat dalam cairan plasma dan serebrospinal dan
menurunkan pH kearah normal serta membuang efek inhibisi pernapasan
akibat konsentrasi hydrogen yang rendah. Jadi, pusat pernapasan lebih
responsive terhadap stimulus kemoreseptor perifer akibat hipoksia setelah
ginjal melakukan kompensasi terhadap oksigen.

2.1.4 Jenis dan Skala Dispnea


Adapun jenis-jenis dispnea antara lain, sebagai berikut :
a. Orthopnea
Dyspnea yang terjadi saat tubuh sedang berada pada posisi terbaik
untuk bernafas (berbaring)
b. Resting dyspnea
Terjadi pada saat penderita sedang beristirahat (tidur) pada malam hari

9
c. Talking dyspnea
Terjadi saat penderita sedang berbicara
d. Dyspnea on exertion
Terjadi pada saat atau setelah penderita melakukan aktifitas fisik
e. Dyspnea neurogenik
Dimana fungsi pernafasan sedah normal tetapi tetap masih merasakan
dyspnea ringan karena perasaannya masih abnormal.
f. Acute pulmonary dypsnea
g. Akumulasi cairan alveoli akibat tekanan tinggi kapiler pulmonary

Skala Dyspnea.

Tingkat Derajat Kriteria


Tidak ada kesulitan bernapas kecuali saat
0 Normal
aktivitas berat
Terdapat kesulitan bernapas, napas pendek-
1 Ringan pendek ketika terburu-buru atau ketika
berjalan menuju puncak landai.
Berjalan lebih lambat daripada kebanyakan
2 Sedang orang berusia sama karena sulit bernapas atau
berhenti berjalan untuk bernapas.
Berhenti berjalan setelah 90 m (100 yard)
3 Berat untuk bernapas atau setelah berjalan beberapa
menit.
Terlalu sulit untuk bernapas bila meniggalkan
Sangat
4 rumah atau sulit bernapas ketika
berat
memakai/membuka baju.

2.1.5 Klasifikasi Dispnea


Sesuai dengan berat ringannya keluhan, sesak napas dapat dibagi
menjadi lima tingkat dengan penjelasan sebagai berikut:
Sesak Napas Tingkat I
Tidak ada pembatasan atau hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-
hari. Sesak napas akan terjadi bila penderita melakukan aktivitas jasmani
lebih berat dari pada biasanya. Pada tahap ini, penderita dapat melakukan
pekerjaan sehari-hari dengan baik.
Sesak Napas Tingkat II
Sesak napas tidak terjadi bila melakukan aktivitas penting atau aktivitas
yang biasa dilakukan pada kehidupan sehari-hari.Sesak baru timbul bila

10
melakukan aktivitas yang lebih berat.Pada waktu naik tangga atau
mendaki, sesak napas mulai terasa, tetapi bila berjalan di jalan yang datar
tidak sesak.Sebaiknya penderita bekerja pada kantor/tempat yang tidak
memerlukan tenaga lebih banyak atau pada pekerjaan yang tidak
berpindah-pindah.
Sesak Napas Tingkat III
Sesak napas sudah terjadi bila penderita melakukan aktivitas sehari-hari,
seperti mandi atau berpakaian, tetapi penderita masih dapat melakukan
tanpa bantuan orang lain. Sesak napas tidak timbul di saat penderita
sedang istirahat.Penderita juga masih mampu berjalan-jalan di daerah
sekitar, walaupun kemampuannya tidak sebaik orang-orang sehat
seumurnya.Lebih baik penderita tidak dipekerjakan lagi, mengingat
penyakit cukup berat.
Sesak Napas Tingkat IV
Penderita sudah sesak pada waktu melakukan kegiatan/aktivitas sehari-hari
seperti mandi, berpakaian dan lain-lain sehingga tergantung pada orang
lain pada waktu melakukan kegiatan sehari-hari. Sesak napas belum
tampak waktu penderita istirahat, tetapi sesak napas sudah mulai timbul
bila penderita melakukan pekerjaan ringan sehingga pada waktu mendaki
atau berjalan-jalan sedikit, penderita terpaksa berhinti untuk istirahat
sebentar.Pekerjaan sehari-hari tidak dapat dilakukan dengan leluasa.
Sesak Napas Tingkat V
Penderita harus membatasi diri dalam segala tindakan atau aktivitas sehari-
hari yang pernah dilakukan secara rutin.
Keterbatasan ini menyebabkan penderita lebih banyak berada di tempat
tidur atau hanya duduk di kursi. Untuk memenuhi segala kebutuhannya,
penderita sangat tergantung pada bantuan orang lain.

11
2.2 Edema Paru Akut
2.2.1 Definisi Edema Paru Akut
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba
akibat peningkatan tekanan intravaskular.Edema Paru Akut (Kardiak) adalah
pembengkakan dan/atau akumulasi cairan dalam paru.Hal ini dapat
menyebabkan terganggunya pertukaran gas dan dapat menyebabkan gagal
napas.Edema Paru dapat terjadi akibat kegagalan jantung memindahkan
cairan dari sirkulasi paru (Edema Paru Kardiogenik) atau akibat trauma
langsung pada parenkim paru (Edema Paru Non-Kardiogenik).Pengobatan
tergantung dari penyebab, tapi lebih menitikberatkan pada memaksimalkan
fungsi respirasi dan menyingkirkan penyebab.
Edema Paru Akut (Kardiak) adalah edema paru yang disebabkan oleh
meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler yang disebabkan karena
meningkatnya tekanan vena pulmonalis. Edema Paru Akut (Kardiak)
menunjukkan adanya akumulasi cairan yang rendah protein di interstisial paru
dan alveoli ketika vena pulmonalis dan aliran balik vena di atrium kiri
melebihi keluaran ventrikel kiri.

2.2.2 Patofisiologi
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi
ketika cairan dari bagian dalam pembuluh-pembuluh darah merembes
keluar pembuluh darah kedalam jaringan-jaringan sekelilingnya,
menyebabkan pembengkakan.Ini dapat terjadi karena terlalu banyak tekanan
dalam pembuluh-pembuluh darah atau tidak ada cukup protein-protein
dalam aliran darah untuk menahan cairan dalam plasma (bagian dari darah
yang tidak megandung segala sel-sel darah).
Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di
paru-paru.Area yang langsung diluar pembuluh-pembuluh darah kecil pada
paru-paru ditempati oleh kantong-kantong udara yang sangat kecil yang
disebut alveoli. Ini adalah dimana oksigen dari udara diambil oleh darah
yang melaluinya, dan karbon dioksida dalam darah dikeluarkan kedalam
alveoli untuk dihembuskan keluar.Alveoli normalnya mempunyai dinding
yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan

12
biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dindig ini kehilangan
integritasnya.
Edema Paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan cairan
yang merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam paru sebagai
gantinya udara.Ini dapat menyebabkan persoalan-persoalan dengan
pertukaran gas (oksigen dan karbon dioksida), berakibat pada kesulitan
bernapas dan pengoksigenan darah yang buruk.Adakalanya, ini dapat
dirujuk sebagai air dalam paru-paru ketika menggambarkan kondisi ini
pada pasien-pasien.Pulmonary edema dapat disebabkan oleh banyak faktor-
faktor yang berbeda.Ia dapat dihubungkan pada gagal jantung,
disebut cardiogenic pulmonary edema, atau dihubungkan pada sebab-
sebab lain, dirujuk sebagai non-cardiogenic pulmonary edema.

2.2.3 Etiologi
a. Ketidak-seimbangan Starling Forces :
Peningkatan tekanan kapiler paru :
1) Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi
ventrikel kiri (stenosis mitral).
2) Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan
fungsi ventrikel kiri.
3) Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena
peningkatan tekanan arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary
edema).
Penurunan tekanan onkotik plasma.
1) Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal,
hati, protein-losing enteropaday, penyakit dermatologi atau
penyakit nutrisi.
Peningkatan tekanan negatif intersisial :
1) Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura
(unilateral).
2) Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran
napas akut bersamaan dengan peningkatan end-expiratory
volume (asma).
Peningkatan tekanan onkotik intersisial.
1) Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun
klinik.

13
b. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory
Distress Syndrome)
1) Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
2) Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon,
NO2, dsb).
3) Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan,
alpha-naphthyl thiourea).
4) Aspirasi asam lambung.
5) Pneumonitis radiasi akut.
6) Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
7) Disseminated Intravascular Coagulation.
8) Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin,
leukoagglutinin.
9) Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
10) Pankreatitis Perdarahan Akut.
c. Insufisiensi Limfatik
1) Post Lung Transplant.
2) Lymphangitic Carcinomatosis.
3) Fibrosing Lymphangitis (silicosis).

2.2.4 Gejala
Gejala-gejalanya dapat terjadi atas :
Gejala yang ditimbulkan oleh kegagalan jantung untuk memenuhi
oksigenasi pada jaringan tubuh terutama cerebral, koroner dan ginjal.
a. Cardiac asma, sesak terjadi secara tiba-tiba biasanya bersifat nocturnal
dan orthopnoe, berkeringat dingin, wheezing dapat terdengar pada
seluruh paru, batuk-batuk dengan expectorasi disebabkan oleh karena
congestive paru. Kadang-kadang terdapat hemoptysis sehingga
menyebabkan terjadinya bloody sputum.
b. Tanda-tanda serebral timbul oleh karena penurunan cardiac output
sehingga timbul stuper, coma atau mental depresi.
c. Gejala-gejala cardiovaskuler dapat timbul suatu shock syndrome oleh
karena penurunan cardiac output dengan berbagai gejala cardiogenic
shock ditandai dengan tachycardia, auriculas flutter atau uriculas
fibrilasi.
Berkumpulnya berbagai zat oleh karena kegagalan fungsi transportasi
pembawa zat sisa.
a. Berkurangnya substrat yang dipengaruhi jaringan terutama glukosa
sehingga jaringan dalam hal ini mempergunakan cadangan energi

14
ataupun sumber energi yang lainnya misalnya lemak dan protein.
Kekurangan substrat ini hanya terjadi bila kegagalan aliran darah.
b. Pengangkutan zat sisa yang tidak dapat dilakukan tubuh yang disebabkan
oleh dua hal yaitu
Peranan mikro sirkulasi dan transportasi sisa-sisa bahan makanan
tidak sempurna.
Fungsi exkresi dari ginjal tidak sempurna.
Kedua hal ini disebabkan oleh karena gangguan dalam hubungan
hemodinamik dimana transportasi zat dipengaruhi oleh hukum
Vick dan hipotesa Starling. Gejala-gejala retensi dari zat sisa yang
terjadi ialah tingginya kadar ureum darah yang dapat
diklarifikasikan sebagai prerenal failure.

2.2.5 Manifestasi Klinik


Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan
radiografi (foto toraks).Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun
kenyataannya secara klinik sukar dideteksi dini.
a. Stadium 1
Adanya distensi dari pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas
difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya
sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan
kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena
terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
b. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial.Batas pembuluh darah
paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa
interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di
jaringan kendor intersisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil,
terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula
terjadi refleks bronkhokonstriksi.Sering terdapat takhipnea.Meskipun hal
ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga
membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan
intersisial diperlambat.Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat
sedikit perubahan saja.
c. Stadium 3

15
Pada stadium ini terjadi edema alveolar.Pertukaran gas sangat terganggu,
terjadi hipoksemia dan hipokapnia.Penderita nampak sesak sekali dengan
batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain
turun dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt.Penderita
biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi
hiperkapnia dan acute respiratory acidemia.Pada keadaan ini morphin
hams digunakan dengan hati-hati.

Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat
hipertensi kapiler paru.Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi
arteria koronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler paru normal,
yang dapat dicegah dengan pemberian indomethacin sebelumnya.
Diperkirakan bahwa dengan menghambat cyclooxygenase atau cyclic
nucleotide phosphodiesterase akan mengurangi edema paru sekunder akibat
peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler; pada manusia masih memerlukan
penelitian lebih lanjut. Kadang-kadang penderita dengan Infark Miokard Akut
dan edema paru, tekanan kapiler pasak parunya normal; hal ini mungkin
disebabkan lambatnya pembersihan cairan edema secara radiografi meskipun
tekanan kapiler paru sudah turun atau kemungkinan lain pada beberapa
penderita terjadi peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh
karena adanya isi sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung.

2.3 Gagal Ginjal Kronik (GGK)


2.3.1 Definisi Gagal Ginjal Kronik (GGK)
Gagal ginjal adalah hilangnya fungsi ginjal. Gagal ginjal kronik atau
penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
Gagal Ginjal Kronik (GGK) terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak
mampu mempertahankan lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan
hidup. Laju penyaringan glomerulus (Glumerular Filtration Rate) normal
adalah 100-120 ml/menit/1,73 m2 . Gagal Ginjal Kronik (GGK) ditandai
dengan terjadinya penurunan laju penyaringan glomerulus (GFR). Dengan

16
menurunnya kecepatan penyaringan ini, kadar urea darah meningkat dan
nefron yang masih berfungsi (yang tersisa) akan mengalami hipertofi.

2.3.2 Gejala Gagal Ginjal Kronik (GGK)


Pada tahap awal Gagal Ginjal Kronik (GGK), tidak ditemukan gejala
klinis karena ginjal masih bisa beradaptasi dalam menjalankan fungsinya.Pada
tahap lanjut, gagal ginjal kronik dapat menyebabkan anemia dengan gejala
lemas, letih, lesu dan sesak napas.Terjadi penumpukan cairan tubuh yang lebih
banyak lagi sehingga menyebabkan pembengkakan seluruh bagian tubuh.
Beberapa pasien memberikan gajala yang disebabkan keadaan uremik (kadar
urea dalam darah yang meningkat) yakni mual, muntah dan perubahan status
mental (ensefalopati), disertai ketidakseimbangan elektrolit.

2.3.3 Perjalanan Klinis Gagal Ginjal Kronik (GGK)


Perjalanan umum Gagal ginjal kronik (GGK) dapat dibagi menjadi 3
(tiga) stadium, yaitu:
1. Stadium I
Stadium pertama dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium
ini kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) normal (10-20
mg/100 ml) dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya
dapat diketahui dengan tes pemekatan kemih dan tes GFR yang teliti.
2. Stadium II
Stadium kedua dinamakan insufisiensi ginjal.Pada stadium ini, dimana
lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak.GFR besarnya 25%
dari normal.Kadar BUN dan kreatinin serum mulai meningkat dari
normal.Gejala-gejala nokturia atau sering berkemih dimalam hari sampai
700 ml dan poliuria (akibat dari kegagalan pemekatan) mulai timbul.
3. Stadium III
Stadium ketiga dinamakan gagal ginjal stadium akhir atau uremia. Sekitar
90% dari massa nefron telah hancur atau rusak, atau hanya sekitar 200.000
nefron saja yang masih utuh. Nilai GFR hanya 10% dari keadaan normal.
Kreatinin serum dan BUN akan meningkat dengan mencolok. Gejala-
gejala yang timbul karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan
homeostatis cairan dan elektrolit dalam tubuh, yaitu: oliguri karena
kegagalan glomerulus, sindrom uremik.

17
2.3.4 Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronik (GGK)
Penyakit gagal ginjal kronik (GGK) akan menimbulkan gangguan pada
berbagai sistem atau organ tubuh, antara lain :
1. Gangguan pada Sistem Gastrointestinal
Gangguan yang dialami dapat berupa:
Anoreksia, nausea dan vomitus yang berhubungan dengan gangguan
metabolisme protein di dalam usus. Gangguan ini juga terjadi karena
terbentuknya zat-zat toksik akibat metabolisme bakteri usus seperti
ammonia dan metal guanidine, serta sembabnya mukosa usus.
Foetor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur
diubah oleh bakteri di mulut menjadi ammonia sehingga nafas
berbau ammonia. Akibat yang lain adalah timbulnya stomatitis dan
parotitis.
Cegukan (hiccup), sebabnya yang pasti belum diketahui, dan lain-
lain.
2. Gangguan pada Kulit
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom serta gatal-gatal dengan ekskoriasi akibat toksin
uremik dan pengendapan kalsium di pori-pori kulit.Selain itu juga timbul
gangguan seperti ekimosis akibat gangguan hematoligik dan timbul bekas-
bekas garutan pada kulit akibat garukan karena gatal.
3. Gangguan pada Sistem Hematologik34
4. Anemia normokrom, normositer.
Dapat disebabkan oleh karena berkurangnya produksi eritropoetin
sehingga rangsangan pada sumsum tulang menurun, hemolisis, defisiensi
besi dan asam folat, perdarahan pada saluran pencernaan dan kulit, serta
fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder.
5. Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia.
Hal ini disebabkan perdarahan akibat agregasi dan adhesi trombosit yang
berkurang serta menurunnya faktor trombosit III dan ADP (adenosine
difosfat).Gangguan ini juga dikarenakan masa perdarahan yang
memanjang.
6. Gangguan fungsi leukosit.
Gangguan ini dapat berupa hipersegmentasi leukosit, fagositosis dan
kemotaksis berkurang.Terjadi penurunan fungsi limfosit sehingga tingkat
imunitas menurun.
7. Gangguan pada Sistem Saraf dan Otot

18
Restless leg syndrome. Penderita merasa pegal di tungkai bawah dan
selalu menggerakkan kakinya.
Burning feat syndrome. Rasa semutan dan seperti terbakar, terutama
di telapak kaki.
Ensefalopati metabolik. Badan lemas, tidak bisa tidur, gangguan
konsentrasi, tremor dan kejang-kejang.
Miopati. Kelemahan dan hipotropi otot-otot.
8. Gangguan pada Sistem Kardiovaskular
Gangguan yang timbul berupa hipertensi, nyeri dada serta sesak
nafas.Gangguan irama jantung juga terjadi akibat aterisklerosis dini serta
edema akibat penimbunan cairan.
9. Gangguan pada Sistem Endokrin
Gangguan pada sistem ini berupa gangguan seksual seperti libido, fertilitas
dan ereksi menurun pada laki-laki akibat produksi testosterone dan
spermatogenesis yang menurun, sedangkan pada wanita timbul gangguan
menstruasi dan gangguan ovulasi. Gangguan lain dapat berupa gangguan
toleransi glukosa, metabolisme lemak dan metabolisme vitamin D.
10. Gangguan Cairan dan Natrium
Kekurangan air (dehidrasi) dan kekurangan garam (penurunan volume
cairan ekstraseluler) adalah dua kelainan utama dan sering terjadi pada
GGK. Kelainan ini bersifat reversible dan apabila koreksi tidak segera
dilaksanakan akan merupakan tahap pertama dari rangkaian kelainan yang
akan menurunkan faal ginjal. Hidrasi dapat dipertahankan dengan
pemberian 3 liter air, sehingga urin yang terbentuk sekitar 2 - 2,5 liter.
Natrium perlu dibatasi, karena natrium dipertahankan dalam tubuh
walaupun faal ginjal sudah menurun.

2.4 Hipertensi
2.4.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari
140 mmHg dan atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali
pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat
(tenang).7 Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Committee on
Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure sebagai tekanan
yang lebih tinggi dari 140 / 90 mmHg.
Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi
berbagai faktor resiko yang dimiliki seseorang.Faktor pemicu hipertensi

19
dibedakan menjadi yang tidak dapat dikontrol seperti riwayat keluarga, jenis
kelamin, dan umur. Faktor yang dapat dikontrol seperti obesitas, kurangnya
aktivitas fisik, perilaku merokok, pola konsumsi makanan yang mengandung
natrium dan lemak jenuh.
Hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi seperti stroke, kelemahan
jantung, penyakit jantung koroner (PJK), gangguan ginjal dan lain-lain yang
berakibat pada kelemahan fungsi dari organ vital seperti otak, ginjal dan
jantung yang dapat berakibat kecacatan bahkan kematian.Hipertensi atau yang
disebut the silent killer yang merupakan salah satu faktor resiko paling
berpengaruh penyebab penyakit jantung (cardiovascular).

2.4.2 Klasifikasi Hipertensi


Hipertensi dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu hipertensi
sistolik, hipertensi diastolik, dan hipertensi campuran. Hipertensi sistolik
(isolated systolic hypertension) merupakan peningkatan tekanan sistolik tanpa
diikuti peningkatan tekanan diastolik dan umumnya ditemukan pada usia
lanjut. Tekanan sistolik berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri apabila
jantung berkontraksi (denyut jantung).Tekanan sistolik merupakan tekanan
maksimum dalam arteri dan tercermin pada hasil pembacaan tekanan darah
sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar.
Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) merupakan peningkatan
tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik, biasanya
ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda.Hipertensi diastolik terjadi
apabila pembuluh darah kecil menyempit secara tidak normal, sehingga
memperbesar tahanan terhadap aliran darah yang melaluinya dan
meningkatkan tekanan diastoliknya.Tekanan darah diastolik berkaitan dengan
tekanan arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksasi di antara dua
denyutan.Hipertensi campuran merupakan peningkatan pada tekanan sistolik
dan diastolik.
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan,
yaitu:
a. Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui
penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95 %
kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan,
hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek

20
dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor
yang meningkatkan risiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta
polisitemia.
b. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus.
Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit
ginjal, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom
Cushing, feokromositoma, koartasio aorta, hipertensi yang berhubungan
dengan kehamilan, dan lain-lain.

Klasifikasi tekanan darah menurut WHO / ISH

2.4.3 Patofisiologi

Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan


darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi, yang berusaha
untuk mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang reflek
kardiovaskular melalui sistem saraf termasuk sistem kontrol yang bereaksi
segera.Kestabilan tekanan darah jangka panjang dipertahankan oleh sistem
yang mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ terutama
ginjal.

Perubahan anatomi dan fisiologi pembuluh darah

21
Aterosklerosis adalah kelainan pada pembuluh darah yang ditandai
dengan penebalan dan hilangnya elastisitas arteri. Aterosklerosis
merupakan proses multifaktorial. Terjadi inflamasi pada dinding pembuluh
darah dan terbentuk deposit substansi lemak, kolesterol, produk sampah
seluler, kalsium dan berbagai substansi lainnya dalam lapisan pembuluh
darah. Pertumbuhan ini disebut plak. Pertumbuhan plak di bawah lapisan
tunika intima akan memperkecil lumen pembuluh darah, obstruksi
luminal, kelainan aliran darah, pengurangan suplai oksigen pada organ
atau bagian tubuh tertentu.
Sel endotel pembuluh darah juga memiliki peran penting dalam
pengontrolan pembuluh darah jantung dengan cara memproduksi sejumlah
vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium.
Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer.
Sistem renin-angiotensin
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya
angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme
(ACE).Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam
menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.
a. Meningkatkan sekresi Anti-Diuretic Hormone (ADH) dan rasa haus.
Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan
ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi
osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler
akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler.
Akibatnya, volume darah meningkat, yang pada akhirnya akan
meningkatkan tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Untuk mengatur
volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi
NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal.
Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan
meningkatkan volume dan tekanan darah.
Sistem saraf simpatis
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak.Dari pusat vasomotor ini
bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis

22
dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan
abdomen.Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls
yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada
titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana
dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh
darah.

BAB III
METODE PENGAMBILAN DATA

3.1 Tempat dan Waktu


3.1.1 Tempat studi kasus
Studi kasus dilaksanakan di Ruang Penyakit Dalam Pria RSUD
Ulin Banjarmasin.

3.1.2 Waktu studi kasus


Waktu pelaksanaan studi kasus pada tanggal 13 April 2017.

3.2 Jenis dan Cara Pengumpulan Data


3.2.1 Jenis data

23
Jenis data studi kasus ini meliputi :
a. Data primer
Data primer merupakan data yang dikumpulkan secara
langsung oleh peneliti.Data primer ini meliputi data
antropometri, data riwayat gizi, keluhan atau perkembangan fisik
serta data kebiasaan makan dan asupan makan pasien.
b. Data sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari pihak
lain. Dalam studi kasus ini data sekunder diperoleh dari data
rekam medik, meliputi data identitas pasien, keluhan utama, hasil
pemeriksaan fisik dan klinis, hasil pemeriksaan laboratorium,
data riwayat penyakit dan diagnosa medik.
3.2.2 Cara pengumpulan data
a. Data antropometri diperoleh melalui pengukuran secara langsung
terhadap pasien.
b. Data riwayat gizi diperoleh melalui wawancara terhadap pasien
dan keluarga.
c. Data asupan makan dan kebiasaan makan pasien diperoleh
melalui wawancara dan observasi langsung terhadap pasien.
d. Data status/keadaan pasien didapat dari catatan rekam medik.

3.3 Instrumen Studi Kasus


Instrument studi kasus instrument studi kasus meliputi :
a. Form screening pasien RSUD Ulin Banjarmasin
b. Medline
c. Pita pengukur LILA
d. Software Nutri Survey
e. Kalkulator
f. Buku status pasien

3.4 Analisis Data


Data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif dengan memberikan
gambaran dalam bentuk tabel dan teks.

24
BAB IV
GAMBARAN UMUM

4.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. AA
Umur : 39 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
No.RM : -
Bangsal/Kamar : -
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : -
Pekerjaan : Swasta
Suku : Banjar
LILA : 25,8 cm
Panjang Lengan (Kulna) : 24 cm
Tanggal MRS : 11 April 2017
Tanggal Kasus : 13 April 2017
Diagnosis medis : Dispnea, Odema Paru Akut, CKD stage 5

4.2 Skrining
Tabel 1. Skrining Awal
Parameter Skor
Apakah pasien mengalami penurunan berat badan yang
1.
tidak direncanakan?
Tidak 0

25
Tidak yakin (ada tanda : baju longgar) 2
Ya, ada penurunan BB sebanyak :
1-5 kg 1
6-10 kg 2
11-15 kg 3
>15 k 4
Tidak tahu berapa kg penurunannya 2
Apakah asupan makan pasien berkurang karena penurunan
2.
nafsu makan / kesulitan menerima
Tidak 0
Ya 1
Total Skor 2

Tabel 2. Skrining Akhir


Penyakit berat (=peningkatan kebutuhan)
Absen skor 0 Kebutuhan gizi normal
Ringan 1 Fraktur pinggang pasien kronis dengan komplikasi
akut : sirosis, CPOD, hemodalisa kronik.
Sedang skor 2 Bedah mayor abdomen, stroke, paru-paru berat, kanker
darah
Berat skor 3 Luka kepala,transplantasi sum-sum tulang, pasien
dalam perawatan intensif (APACHE10)

Umur : 39 thn (Jika 70 tahun tambah 1 skor) Koreksi umur: -


Skor = 1+1 =2 Total skor : 2
Keterangan :
Skor 3 : resiko malnutrisi, perlu perencanaan gizi secara dini
Skor < 3 : tidak beresiko malnutrisi atau bisa dilakukan skrining
seminggu kemudian
Kesimpulan : tidak resiko malnutrisi (normal)
Tanggal pengambilan data : 13 April 2017

4.3 Riwayat Penyakit


Keluhan Utama : Pusing, mual, muntah, lemah, kesulitan
mengunyah, kesulitan menelan.
Riwayat penyakit : CKD dari 2 tahun yang lalu
dahulu
Riwayat penyakit : Hipertensi
keluarga
Riwayat penyakit : Pasien datang dengan rujukan dari

26
sekarang RSUD yang berada di Amuntai dengan
diagnosa CKD. Setelah dilakukan
diagnosa lebih lanjut , pasien diketahui
juga menderita Dispnea, Odema Paru
Akut, CKD stage 5

4.1 Nutrition Assesment


4.1.1 Antropometri:
Umur = 39 tahun
Panjang Lengan (Kulna) = 24 cm
TB = 165 cm
LILA = 25,5 cm
BB = 57,23 kg
LILA/U = x 100 %
= x 100%
= 88,05 % (Status Gizi Baik)
Keterangan
Gizi Baik : > 86%
Gizi Kurang : 70,1 84,9 %
Gizi Buruk : < 70%
NHANES II, 1974-1976

Kesimpulan :
Berdasarkan perhitungan LILA/U, dapat diketahui bahwa status gizi
pasien baik.

4.2.2 Biokimia

Pemeriksaan Normal Satuan 11/04/2017


GDS < 200 mg/dl
GD 2 jam PP < 200 mg/dl
Kalium 3,5-5 mEq/l
Kreatinin < 1,3 mg/dl 10,9 (tinggi)
Natrium 135-148 mmol/l
Hb 12-15 g/dl 8,1 (rendah)
Eritrosit 4,4 5,9 jt/ul
Ht 37 43 %
HCH 22 34 Pg

27
MCHC 23 38 g/dl
PCO2 35 45 mmHg
PO2 > 85 mmHg
Leukosit 1-5/hpf -
Eritrosit 0-2/hpf -
Silinder Negatif -
Epitel Negatif -
Bakteri Jumlah kuman < -
10.000/ml urin
Klorida 98-109 mEq/L 107 (normal)
SGPT <47 U/L 48 (tinggi)
Ureum 10-50 mg/dl 79 (tinggi)
Bilirubin Negatif -
Nitrit Negatif -
Urogilinogen 0,1-1,0 -
Lain lain - -
Sumber Rekam Medik No. : 1-20-83-XX April 2017

Kesimpulan :
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium yang dilaksanakan pada
saat pasien masuk RS (tanggal 11 April 2017), dapat diketahui bahwa yang
bermasalah yaitu Hb rendah menunjukan pasien mengalami anemia,
kreatinin tinggi menunjukan adanya gangguan pada fungsi ginjal, SGPT
tinggi menandakan adanya masalah pada organ hati, empedu, atau jantung,
Ureum tinggi menunjukan adanya ginjal yang tidak berfungsi dengan
normal.

4.2.3 Fisik/Klinis
Fisik :
Data Fisik 11/04/2017 Keterangan
Compos Mentis + -
Mual + -
Muntah + -
Lemah + -
Batuk - -
Pusing + -
Ulkus - -
Susah menelan + -
Susah mengunyah + -

Kesimpulan :

28
Berdasarkan hasil pemeriksaan secara fisik yang dilaksanakan pada
saat pasien masuk RS (tanggal 11 April 2017), dapat diketahui bahwa
keadaan umum pasien composmentis disertai pusing, mual, muntah, lemah,
adanya kesusahan menelan dan mengunyah.
Klinis :
Pemeriksaan Normal 11/04/2017
Tekanan Darah 120/80 mmHg 190/100 mmHg ()
Suhu 36oC -37oC 37 oC (N)
Nadi 60-100x/menit 100x/menit ()
Sumber Rekam Medik No. : 1-20-83-XX April 2017

Kesimpulan :
Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis yang dilaksanakan pada saat
pasen masuk RS (tanggal 11 April 2017), dapat diketahui bahwa tekanan
darah pasien tinggi.

4.2.4 Riwayat Makan/Dietary History


Makan utama :
Pola makan pasien sebelum masuk rumah sakit adalah rutin 3x
sehari dengan makanan pokok lauk hewani,kadang-kadang lauk
nabati, sayuran dan buah jarang dikonsumsi.
Makanan selingan
Pasien makan selingan 3x sehari.
Asupan Makan
Berdasarkan hasil recall 24 jam terhadap asupan makan pasien
yang diberikan diet rendah garam I dan diet GGK sebelum dilakukan
pengambilan kasus (12 April 2017) :

Keterangan :
Pasien tidak mengonsumsi makanan dari RS, tetapi mengonsumsi
makanan dari luar.
Pagi :
Bubur: Beras (28 gr)
Telur rebus ( 30 gr)
Siang :
Roti Putih (35 gr)
Selai (10 gr)
Jumlah asupan berdasarkan kebutuhan pasien (individu) pada tanggal 12
April 2017 :

29
Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) KH (g)
Asupan 236,5 11,52 6 33,7
Kebutuhan 2371,22 55 51.49 408,47
Kategori Kurang Kurang Kurang Kurang

Kriterian menurut WNPG (2004) :


Kurang < 80%
Normal 80-110%
Lebih > 110%
Kesimpulan :
Berdasarkan riwayat makan yang dilaksanakan pada hari pengambilan
kasus (tanggal 13 April 2017), dapat diketahui bahwa pasien tidak suka
mengkonsumsi makan rumah sakit yang disediakan sehingga asupan
kebutuhan zat gizi pasien menjadi kurang dari perhitungan kebutuhan zat
gizi pasien sehari.
Jika dilihat dari hasil recall 24 jam terhadap kebutuhan individu
pasien, dapat diketahui bahwa asupan kalori, protein, lemak dan
karbohidrat pasien kurang dari kebutuhan zat gizi pasien yang dianjurkan.
Sedangkan jika asupan dibadingkan dengan kebutuhan menurut rumah sakit,
maka dapat diketahui bahwa asupan kalori, protein, lemak, karbohidrat
kurang.

4.2.5 Klien History


Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan rujukan dari RSUD di Amuntai dengan diagnose
CKD. Setelah dilakukan diagnosa lebih lanjut, pasien diketahui juga
menderita Dispnea, Odema Paru Akut, CKD stage 5.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien diketahui sudah 2 tahun menderita CKD.
Riwayat Penyakit Keluarga
Diketahui keluarga pasien menderita Hipertensi.
Kesimpulan :
Berdasarkan klien history, dapat diketahui bahwa pasein sudah
menderita penyakit CKD sejak 2 tahun yang lalu dan memiliki riwayat
penyakit keluarga Hipertensi. Setalah dilakukan diagnosalebih lanjut, pasein
menderita Dispnea, Odema Paru Akut, CKD stage 5.

30
4.3 Diagnosis Gizi
NI.2.1. Asupan oral inadekuat berkaitan dengan kurangnya nafsu makan
akibat mual, muntah, dan susah menelan ditandai dengan hasil
recall kalori yang deficit.
NI.5.4. Penurunan kebutuhan gizi terhadap natrium barkaitan dengan
tingginya tekanan darah dengan hasil TD = 190/100 (tinggi).
NC.2.2. Perubahan nilai lab terkait gizi berkaitan dengan penyakit GGK
yang diderita ditandai dengan hasil lab yang tinggi terhadap nilai
ureum, kreatinin, dan SGPT.
NB.1.3. Tidak siap untuk diet atau merubah gaya hidup berkaitan dengan
tidak menerimanya makanan yang disediakan di Rumah Sakit
ditandai dengan pasien mengonsumsi makanan dari luar.

4.4 Nutrition Intervention Planning


a. Terapi Diet : Diet RG I (200-400 mg Na) dan Diet GGK
b. Bentuk Makanan : Lunak
c. Cara Pemberian : Oral
d. Tujuan Diet :
1. Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal dengan
memperhitungkan sisa fungsi ginjal agar tiak memberratkan kerja
ginjal
2. Mencegah dan menurunkan kadar ureum darah yang tinggi
(uremia)
3. Mengatur keseimbangan airan dan elektrolit
4. Mencegah atau mengurangi progresivitas gagal ginjal dengan
memperlambat turunnya laju filtrasi glomerulus
e. Prinsip Diet :
o Diberikan 3 kali makan utama dan 2-3 kali makanan selingan
o Energi cukup
o Protein rendah
o Lemak cukup
o KH cukup
f. Syarat :
1. Energy cukup, yaitu 35 kkal/kg BB atau 2317,22 kkal.
2. Protein rendah, yaitu 0,6-0,75 gr/kg BB atau 41,25 gr.
3. Lemak cukup, yaitu 20-30% dari kebutuhan energy total atau
72,09 gr.
4. Karbohidrat cukup, atau 376,5 gram.
5. Natrium dibatasi karena terdapat hipertensi, dan edema paru
akut. Banyaknya natrium yang diberikan antara 1-3 gr.

31
6. Cairan dibatasi, yaitu sebanyak jumlah urin sehari ditambah
pengeluaran cairan melalui keringat dan pernapasan ( 500 ml).
7. Vitamin dan mineral cukup.
g. Bahan makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan :
Bahan Makanan Dianjurkan Tidak Dianjurkan
Sumber karbohidrat Nasi, bihun, jagung, -
kentang, macaroni,
mie, tepung-tepungan,
singkong, ubi, selai,
madu dan permen.
Sumber protein Telur, daging, ikan, Kacang-kacangan
ayam dan susu. dan hasil olahnya
seperti tempe dan
tahu.
Sumber lemak Minyak jagung, Kelapa, santan,
minyak kacang tanah, minyak kelapa,
minyak kelapa sawit, margarin, mentega
minyak kedelai, biasa dan lemak
margarin dan mentega hewan.
rendah garam.
Sumber vitamin dan Semua sayuran dan Sayuran dan buah
mineral buah kecuali pasien tinggi kalium pada
dengan hyperkalemia pasien dengan
dianjurkan yang hyperkalemia.
mengandung kalium
rendah/sedang.

h. Perhitungan Kebutuhan Energi


Kebutuhan Kalori
= 66 + (13,7+ BB) + ( 5 x TB) - (6,8 x U)
= 66 + (13.7 x 55 kg) + ( 5 x 160 cm) ( 6,8 x 39)
= 66 + 753,5 + 825 265,2
= 1379,3 kkal
= 1397,3 x faktor aktifitas x faktor stres
= 1379,3 x 1,2 x 1,4
= 2317,22 kkal
Protein = 0,75 gr/ BB
= 41,25 gr

32
% protein = 41,25 gr x 4 : 2317,22 kkal
=7%
Karbohidrat= 65 % x 2317,22 kkal : 4
= 376,5 gr
Lemak = 28% x 2317,22 kkal : 9
= 72,09 gr
i. Persentasi pembagian makan :
Pagi / Malam = 25% x 2317,22 kkal
= 579,304 kkal
Snack = 10% x 2317,22 kkal
= 231.722 kkal
4.5 Perencanaan Menu
Perencanaan Menu Tanggal 13 April 2017 :

4.6 Nutrition

Implementation
a. Tema : Diet RG I dan Diet GGK
b. Tujuan :
1. Agar pasien dan keluarga mengetahui diet yang diberikan serta
mengetahui bahan makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan.
2. Untuk memberikan motivasi kepada pasien dalam menjalankan diet
yang diberikan.
d. Sasaran : Pasien dan keluarga
e. Waktu : 15 menit
f. Tempat : Poligizi atau Ruang Pasien
g. Metode : Konsultasi
h. Alat Bantu : Leaflet Diet RG I dan Diet GGK Food model,
Daftar bahan makanan penukar (DBMP), Ukuran rumah tangga (URT).
i. Materi :
c. Pola makan dan kebiasaan makan yang benar

33
d. Pengenalan secara umum Diet RG I dan Diet GGK, Makanan yang
dianjurkan dan yang perlu dihindari
e. Memotivasi pasien untuk patuh terhadap dietnya
f. Bahan makanan yang diajurkan dan tidak dianjurkan

4.7 Monitoring dan Evaluasi


1. Mengajukan pertanyaan apakah sasaran sudah mengerti tentang
penjelasan materi yang telah dijelaskan
2. Apakah sasaran sudah mampu memilih jenis bahan makanan yang
boleh di konsumsi sesuai dengan URT yang di anjurkan
3. Motivasi dilakukan secara continue (berlanjut).
Anamnesis Yang Diukur Pengukuran Target
Antropometri Berat Badan atau Awal kasus dan Normal
LILA akhir kasus
Biokimia Hb Setiap Normal
Ureum Pemeriksaan
Kreatinin
SGPT
Klorida
TD
Fisik/Klinis Keadaan umum Setiap hari Membaik
pasien : Mual,
muntah, lemah,
pusing, pucat,
kesulitan
mengunyah dan
menelan.
Dietary History Asupan makan Setiap hari Asupan
80% dari
total
kebutuhan

34
BAB IV
PEMBAHASAN
5.1 Antropometri
Lingkaran Lengan Atas (LILA) mencerminkan tumbuh kembang
jaringan lemak dan otot yang tidak berpengaruh banyak oleh cairan tubuh.
Pengukuran ini berguna untuk skrining malnutrisi protein yang biasanya
digunakan oleh DepKes untuk mendeteksi ibu hamil dengan resiko
melahirkan BBLR bila LILA < 23,5 cm (Wirjatmadi B, 2007). Pengukuran
LILA dimaksudkan untuk mengetahui apakah seseorang menderita Kurang
Energi Kronis. Ambang batas LILA WUS dengan risiko KEK di Indonesia
adalah 23.5 cm. Apabila ukuran kurang dari 23.5 cm atau dibagian merah pita
LILA, artinya wanita tersebut mempunyai risiko KEK, dan diperkirakan akan
melahirkan berat bayi lahir rendah ( Arisman, 2007)
Interpretasi status gizi berdasarkan %% LILA:
Obesitas: >120%
Overweight : 110-120%
Normal : 90-110%
Underweight : < 90%
Berikut adalah adalah hasil pengkuran LILA pada pengambilan kasus
(13 April 2017) adalah sebagai berikut :
Pengukuran status gizi menggunakan LILA/U
Tanggal LILA/U Keterangan
13 April 2017 88,05 % Status gizi baik
Sumber Rekam Medik No. : 1-20-83-XX April 2017
Hasil pemeriksaan LILA/U yaitu sebesar 88,05 % hasilnya pasien
memiliki status gizi baik, hal ini berdasarkan klasifikasi bahwa perhitungan
LILA lebih dari 86% ialah baik.
Disribusi lemak dalam tubuh dapat diketahui dengan menggunakan
pengukuran lingkar lengan atas (LLA), pengukuran lingkar
panggul/pinggang, dan melihat cirri fisik bentuk tubuh. Lemak yang berada
di sekitar perut memberikan resiko kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan
lemak didaerah paha atau bagian tubuh yang lain. Suatu metoda yang

35
sederhana namun cukup akurat untuk mengetahui hal tersebut adalah lingkar
pinggang.
Pengukuran Pria Wanita

Resiko Resiko Resiko Resiko


meningkat sangat meningkat sangat
meningkat meningkat

Lingkar >94cm >102cm >80cm >88cm


Pinggang

5.2 Biokimia
Pada studi kasus ini, pemeriksaan biokimia dilaksanakan pada awal
masuk rumah sakit (11 April 2017)
Pemeriksaan Normal Satuan 11/04/2017
GDS < 200 mg/dl
GD 2 jam PP < 200 mg/dl
Kalium 3,5-5 mEq/l
Kreatinin < 1,3 mg/dl 10,9 (tinggi)
Natrium 135-148 mmol/l
Hb 12-15 g/dl 8,1 (rendah)
Eritrosit 4,4 5,9 jt/ul
Ht 37 43 %
HCH 22 34 Pg
MCHC 23 38 g/dl
PCO2 35 45 mmHg
PO2 > 85 mmHg
Leukosit 1-5/hpf -
Eritrosit 0-2/hpf -
Silinder Negatif -
Epitel Negatif -
Bakteri Jumlah kuman < -
10.000/ml urin
Klorida 98-109 mEq/L 107 (normal)
SGPT <47 U/L 48 (tinggi)
Ureum 10-50 mg/dl 79 (tinggi)
Bilirubin Negatif -
Nitrit Negatif -
Urogilinogen 0,1-1,0 -
Lain lain - -

36
Dari hasil pemeriksaan didapati bahwa kadar Hb rendah menunjukan
pasien mengalami anemia, kreatinin tinggi menunjukan adanya gangguan
pada fungsi ginjal, SGPT tinggi menandakan adanya masalah pada organ hati,
empedu, atau jantung, Ureum tinggi menunjukan adanya ginjal yang tidak
berfungsi dengan normal.
Eritrosit, Hb dan Ht yang sangat rendah menunjukkan adanya anemia,
yaitu sel tidak mendapat cukup oksigen untuk berfungi secara normal. Jika
anemia, kita sering merasa lelah dan terlihat pucat (Spiritia, 2014)
Terjadinya anemia juga sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang
tidak adekuat, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan
kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien,
terutama dari saluran gastrointestinal. Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin
menurun dan anemia berat terjadi, disertai keletihan, angin dan sesak napas.
Peningkatan kadar urea disebut uremia. Azotemia mengacu pada
peningkatan semua senyawa nitrogen berberat molekul rendah (urea,
kreatinin, asam urat) pada gagal ginjal.
Secara teori dalam penelitian Saryono dalam Makmur (2010) bahwa
kadar ureum dan kreatinin pasien yang akan menjalani hemodialisis rata-rata
mengalami hiperuremik. Seringnya menjalani hemodialisis tidak
mencerminkan penurunan kadar ureum dan kreatinin menjadi normal. Namun
situasi dan kepatuhan diet sehari-hari yang memegang peranan penting dalam
pengaturan kadar ureum dan kreatinin tersebut. Menurut Verma (2006),
tingkat kreatinin pada individu dapat dipengaruhi oleh diet. Kadar kreatinin
yang rendah hasil dari diet protein sebagai pengurangan massa otot.
Peningkatan kadar kreatinin dapat terjadi karena mengkonsumsi daging,
glukosa, firuvat, dan fruktosa.
Menurut Bellizi dalam Nugrahani (2007) berdasarkan sebuah
penelitian klinik menunjukkan bahwa pasien HD yang mengkonsumsi energi
dan protein dibawah nilai cut of threshold, yaitu asupan protein dibawah 0,8
gr/kgBB/hr dan asupan energi dibawah 25 kkal/kgBB/hr tidak bisa
mempertahankan keseimbangan nitrogen netral. Pranawa (1997) juga
menyebutkan asupan protein < 0,8 gr/kgBB/hr dapat meningkatkan risiko
morbiditas dan mortalitas.

37
Tingginya kadar SGPT pasien kemungkinan disebabkan adanya
adanya gangguang pada hati berupa penumpukan lemak di hati/liver.
Pemeriksaan biokimia secara lengkap hanya dilakukan pada awal
masuk rumah sakit, sedangkan untuk pemeriksaan selanjutnya hanya
memeriksa data biokomia yang diperlukan perhatian lebih, yaitu kreatinin,
Hb, SGPT, dan ureum.

5.3 Pemeriksaan Fisik dan Klinis


Fisik
Data Fisik 11/04/2017 Keterangan
Compos Mentis + -
Mual + -
Muntah + -
Lemah + -
Batuk - -
Pusing + -
Ulkus - -
Susah menelan + -
Susah mengunyah + -
Berdasarkan hasil pemeriksaan secara fisik yang dilaksanakan pada
saat pasien masuk RS (tanggal 11 April 2017), dapat diketahui bahwa
keadaan umum pasien composmentis (sadar) disertai pusing, mual, muntah,
lemah, adanya kesusahan menelan dan mengunyah.
Nausea/mual, muntah yang dihubungkan dengan terbentuknya zat
toksik (amoniak, metal guanidin) akibat metabolisme protein yang terganggu
oleh bakteri usus sering pula faktor uremikum akibat bau amoniak dari mulut.
Disamping itu sering timbul stomatitis, cegukan juga sering yang belum jelas
penyebabnya. Gastritis erosif hampir dijumpai pada 90 % kasus Gagal Ginjal
Kronik, bahkan kemungkinan terjadi ulkus peptikum dan kolitis uremik.
Adanya susah mengunyah dan menelan disebabkan keadaan pasien
yang lemah akibat mual muntah dan pusing.
Klinis
Pemeriksaan Normal 12/04/2017
Tekanan Darah 120/80 mmHg 190/100 mmHg ()
Suhu 36oC -37oC 37 oC (N)
Nadi 60-100x/menit 100x/menit ()

38
Pada hari pengambilan kasus dilakukan salah satunya pemantauan
keadaan klinis pasien yang dipantau setiap hari saat pemeriksaan yaitu nilai
tekanan darah dan suhu.
Menurut Depkes RI, menyatakan bahwa tekanan darah normal dewasa
(>30 tahun) adalah 110/70 sampai 140/90 mmHg.Namun tekanan darah
pasien pada awal masuk rumah sakit (11 April 2016) hasilnya melebihi
standar yakni 190/100 mmHg. Dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami
Hipertensi.
Pada gagal ginjal kronik hampir selalu disertai hipertensi, mekanisme
terjadinya hipertensi pada Gagal Ginjal Kronik oleh karena penimbunan
garam dan air, atau sistem renin angiostensin aldosteron (RAA).
Untuk pemeriksaan suhu menurut Depkes RI, suhu normal adalah
36oC 37,5oC dan denyut nadi normal adalah dari 60-100x/menit.Sehingga
suhu badan pasien saat awal masuk rumah sakit dalam kategori
normal.Sedangkan untuk pemeriksaan nadi, pada awal masuk rumah sakit
denyut nadi pasien juga normal.

39
5.4 Asupan Makan Pasien
Pasien yang menjalani rawat inap dalam waktu yang cukup lama,
makanan yang disajikan dari rumah sakit seringkali tidak habis. Hal ini
dimungkinkan akan berakibat terjadinya kekurangan zat gizi pada pasien.
Kekurangan zat gizi tersebut sangat memudahkan terjadinya infeksi dan
mendorong terjadinya malnutrisi.
Sisa makanan dibedakan menjadi dua yaitu :
a. Waste yaitu makanan yang hilang karena tidak dapat diperoleh/diolah
atau makanan hilang karena tercecer.
b. Platewaste yaitu makanan yang terbuang karena setelah dihidangkan
tidak habis dikonsumsi.
c. Menurut ilmu kesehatan keseluruhan dari benda atau hal-hal yang tidak
digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau harus dibuang disebut
benda-benda bekas (waste). Sisa pengolahan ataupun sisa makanan
yang mudah membusuk dalam ilmu kesehatan lingkungan disebut
garbage (Azwar, 1996).

Dalam memberikan makanan dirumah sakit ada beberapa faktor


bagaimana seseorang memilih makanannya. Faktor-faktor tersebut adalah
kesenangan serta ketidak senangan, kebiasaan, daya beli serta
ketersediaan makanan, kepercayaan serta ketahayulan, aktualisasi diri,
factor agama serta psikologis dan yang paling tidak dianggap penting,
pertimbangan gizi serta kesehatan (Hartono,2000).
Menurut Almatsier(1992), sisa makanan dipengaruhi oleh
beberapa factor yaitu jenis kelamin, tingkat pendidikan, kelompok umur,
cita rasa makanan, kelas perawatan, lama perawatan dan penyakit
mempengaruhi sisa makanan pasien.
Jika faktor-faktor ini baik, maka persepsi pasien terhadap
makanan yang disajikan akan baik sehingga makanan yang disajikan
dikonsumsi habis. Jika persepsi pasien terhadap makanan yang disajikan
kurang,maka makanan yang disajikan tidak dikonsumsi habis dan akan
meninggalkan sisa.

40
Evaluasi makan dilakukan hanya 1 hari, yaitu pada hari
pengambilan kasus (13 April 2017). Tujuan evaluasi makanan ini untuk
melihat keberhasilan perencanaan diet bagi pasien selama studi kasus.
Adapun aspek-aspek yang dinilai adalah :
Dalam menganalisis asupan makan pasien dilakukan dengan melihat
seberapa besar porsi yang dapat dihabiskan pasien, dibantu dengan
standar diet RS, pembuatan menu lewat computer, dan siklus menu 10
hari.

Asupan makan pasien tanggal 12 April 2017 :

Waktu Menu Berat (gr)


Pagi Bubur 28 gram
Telur ayam rebus 30 gram
Siang Roti 35 gram
Selai 10 gram

Menurut WNPG (2004), untuk menentukan kriteria asupan


berdasarkan recall 24 jam adalah sebagai berikut :
Kurang < 80%
Normal 80-110%
Lebih > 110%
Jumlah asupan berdasarkan kebutuhan pasien (individu) pada
tanggal 12 April 2017 :
Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) KH (g)
Asupan 236,5 11,52 6 33,7
Kebutuhan 2371,22 55 51.49 408,47
Kategori Kurang Kurang Kurang Kurang
Dari hasil recall 24 jam menurut kebutuhan individu pasien pada
hari pengambilan kasus, dapat diketahui bahwa asupan makan energi,
lemak, protein dan karbohidrat kurang. Kekurangan asupan energydan
karbohidrat ini terjadi karena pasien tidak mengkonsumsi menu bubur
yang diberikan oleh rumah sakit. Pasien tidak mengkonsumsi menu yang
disediakan oleh rumah sakit dengan alasan tidak menyukai cita rasa dan
sajian yang diberikan oleh rumah sakit, karena pasien mengakuakan
mengalami mual dan muntah pasien tidak mempunyai nafus makan saat
mengkonsumsi makanan yang disedia oleh pihak rumah sakit. Selain itu
pasien jugan mengalami mual dan muntah disebabkan karena pasien

41
mengalami candidiasis oral yang menyebabkan sulit untuk mengunyah
makanan sehingga makanan yang diberikan untuk pasien yaitu makanan
lunak yang menjadi makanan yang mudah diterima pasien.
Asupan lemak yang kurang juga disebabkan oleh paseian yang
tidak mengkonsumsi makanan rumah sakit karena alasan pasien tidak
menyukai menu yang diberikan rumah sakit.
Pada pembahasan asupanan makanan pasien dikarena faktor
ketidaksukaan pasien dengan menu yang diberikan oleh rumah sakit
menyebabkan konsumsi kebutuhan zat gizi pasien menjadi kurang. Dan
gangguan pada candidiasis oral pada pasien yang menyebabkan sulit untuk
mengunyah makanan yang diberikan.
Cita rasa makanan ditimbulkan oleh terjadinya rangsangan
terhadap berbagai indera dalam tubuh manusia terutama indera
penglihatan,indera pencium, dan indera pengecap. Makanan yang
memiliki cita rasa yang tinggi adalah makanan yang disajikan dengan
menarik, menyebarkan bau yang sedap dan memberikan rasa yang lezat
(Moehyi,1992).
Cita rasa makanan mencakup dua aspek utama, yaitu penampilan
makanan sewaktu dihidangkan dan rasa makanan waktu dimakan. Kedua
aspek itu sama pentingnya untuk diperhatikan agar betul-betul dapat
menghasilkan makanan yang memuaskan (Moehyi, 1992).
Dua aspek yang berkaitan dengan cita rasa adalah sebagai berikut:
a. Penampilan makanan
Penampilan yang ditimbulkan oleh makanan yang disajikan dengan
penampilan makanan yaitu:
1. Warna Makanan
Warna makanan adalah rupa hidangan yang disajikan dan
dapat memberikan penampilan lebih menarik terhadap makanan
yang disajikan (West dan Wood, 1998).
Kombinasi warna adalah hal yang sangat diperlukan dan
membantu dalam penerimaan suatu makanan dan secara tidak
langsung dapat merangsang selera makan, dimana makanan yang
penuh warna mempunyai daya tarik untuk dilihat, karena warna
juga mempunyai dampak psikologis pada konsumen.

42
Makanan yang bergizi, enak dimakan dan aromanya juga enak,
tidak akan dimakan apabila warnanya memberikan kesan
menyimpang dari warna yang seharusnya (Winarno, 1992).
2. Bentuk Makanan
Bentuk makanan dapat juga digunakan untuk menimbulkan
ketertarikan dalam menu karena dari bermacam-macam bentuk
makanan yang disajikan (Speardan Vaden,1984). Bentuk
makanan yang serasi akan memberikan daya tarik tersendiri bagi
setiap makanan yang disajikan (Moehyi, 1992)
3. Besar Porsi
Besar porsi makanan adalah banyaknya makanan yang disajikan,
porsi untuk setiap individu berbeda sesuai kebutuhan makan.
Porsi yang terlalu besar atau terlalu kecil akan mempengaruhi
penampilan makanan. Porsi makanan juga berkaitan dengan
perencanaan dan perhitungan penampilan hidangan yang
disajikan (Muchatab,1991)
4. Penyajian Makanan
Penyajian makanan adalah perlakuan terakhir dalam
penyelenggaraan makanan sebelum dikonsumsi, penyajian
makanan meliputi pemilihan alat, cara penyusunan makanan, dan
penghiasan hidangan. Penyajian makanan juga merupakan faktor
penentu dalam penampilan hidangan yang disajikan (Moehyi,
1992).

Cara penyajian makanan merupakan faktor yang perlu mendapat


perhatian dalam mempertahankan penampilan darimakananyang disajikan
(Depkes RI, 2003). Penelitian Dwiyanti (2003) menunjukkan penampilan
yang menarik akan meningkatkan selera makan pasien dalam
mengkonsumsi makanan yang dihidangkan di rumah sakit.

43
BAB V
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
1. Kebutuhan Kalori pasien perhari 2317,22 kkal, Protein 41,25 gr,
Karbohidrat 376,5 gr dan Lemak 72,09 gr.
2. Pasien datang dengan rujukan dari RSUD di Amuntai dengan diagnose
CKD. Setelah dilakukan diagnosa lebih lanjut, pasien diketahui juga
menderita Dispnea, Odema Paru Akut, CKD stage 5.
3. Diketahui keluarga pasien menderita Hipertensi.
4. Dari hasil pemeriksaan didapati bahwa kadar Hb rendah menunjukan
pasien mengalami anemia, kreatinin tinggi menunjukan adanya gangguan
pada fungsi ginjal, SGPT tinggi menandakan adanya masalah pada organ

44
hati, empedu, atau jantung, Ureum tinggi menunjukan adanya ginjal yang
tidak berfungsi dengan normal.
5. Berdasarkan klien history, dapat diketahui bahwa pasein sudah menderita
penyakit CKD sejak 2 tahun yang lalu dan memiliki riwayat penyakit
keluarga Hipertensi. Setalah dilakukan diagnosalebih lanjut, pasein
menderita Dispnea, Odema Paru Akut, CKD stage 5.
6. Berdasarkan hasil pemeriksaan secara fisik yang dilaksanakan pada saat
pasien masuk RS (tanggal 11 April 2017), dapat diketahui bahwa
keadaan umum pasien composmentis (sadar) disertai pusing, mual,
muntah, lemah, adanya kesusahan menelan dan mengunyah.
7. Pada pembahasan asupanan makanan pasien dikarena faktor
ketidaksukaan pasien dengan menu yang diberikan oleh rumah sakit
menyebabkan konsumsi kebutuhan zat gizi pasien menjadi kurang. Dan
gangguan pada candidiasis oral pada pasien yang menyebabkan sulit
untuk mengunyah makanan yang diberikan.
8. Pasien menderita penyakit Diabetes Melitus Tipe 2 sejak 2 tahun yang
lalu.

45
9. Diagnosis gizi pasien meliputi:
NI.2.1. Asupan oral inadekuat berkaitan dengan kurangnya nafsu
makan akibat mual, muntah, dan susah menelan ditandai dengan hasil
recall kalori yang deficit.

NI.5.4. Penurunan kebutuhan gizi terhadap natrium barkaitan


dengan tingginya tekanan darah dengan hasil TD = 190/100 (tinggi).

NC.2.2. Perubahan nilai lab terkait gizi berkaitan dengan penyakit


GGK yang diderita ditandai dengan hasil lab yang tinggi terhadap nilai
ureum, kreatinin, dan SGPT.

NB.1.3. Tidak siap untuk diet atau merubah gaya hidup berkaitan dengan
tidak menerimanya makanan yang disediakan di Rumah Sakit ditandai
dengan pasien mengonsumsi makanan dari luar.

6.2 Saran
1. Pasien disarankan untuk tetap menjalani diet yang telah diberikan.
2. Keluarga pasien diharapkan memotivasi pasien agar mematuhi diet yang
telah dianjurkan terutama mengenai pola makan pasien.
3. Pasien disarankan untuk tetap menjalani pemeriksaan Hemaglobin,
Ureum, Kreatinin, SGPT dan klorida, tekanan darah secara rutin,
membatasi makanan atau minuman yang manis.

46
DAFTAR PUSTAKA

Ganong, W. F., 1998, Buku ajar: Fisiologi kedokteran. Edisi 17. EGC, Jakarta
Guyton, A. C., 1995, Buku ajar: Fisiologi kedokteran. Edisi 7. RGC, Jakarta.
Guyton, A. C. & Hall, J. E., 1997, Buku ajar: Fisiologi kedokteran. Edisi 9. EGC,
Jakarta.
Perbedaan Kadar Ureum Dan Kreatijnin Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik
Berdasarkan Lama Menjalani Terapi Hemodialisa Di Rs Pku
Muhammadiyah Yogyakarta oleh Denita Nur Indrasari
Price, S. A. & Wilson, L. M., 1995, Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses
penyakit, Edisi 4, EGC, Jakarta.
Rose, B. D. & Post, T. W, 2006, Hemodialysis: Patient information, Terdapat
pada: http://www.patients.uptodate.com.
Anonim, http://manjilala.info/pengukuran-status-gizi-
padaremaja/#sthash.dAMms7IQ.dpuf
Anonim, https://bidandelima.wordpress.com/2015/01/09/597/
Unisa Yogya., http://opac.unisayogya.ac.id/196/1/NASKAH%20PUBLIKASI
%20FIX.pdf
Anonim., Diet Rendah Garam Penderita Hipertensi.,
https://jadiberita.com/6537/diet-rendah-garam-penderita-hipertensi.html
Anonim., 2009., Dyspnea.,
http://tutorialkedokteran.blogspot.co.id/2009/07/dyspnoe.html
Ifan., 2010., Edema Paru., https://ifan050285.wordpress.com/2010/02/12/edema-
paru/
Cahaya, Aini., Edema Paru Akut., https://ainicahayamata.wordpress.com/nursing-
only/keperawatan-medikal-bedah-kmb/edema-paru-akut/
Dina., 2013., Dyspnea., https://dinafishy.wordpress.com/2013/05/17/dyspnea/
Anonim., SGOT dan SGPT Naik Pada GGK., http://www.klikdokter.com/tanya-
dokter/read/2787900/sgot-dan-sgpt-naik-pada-ggk
Anonim., 2012., Gagal Ginjal Kronik.,
http://ilmugreen.blogspot.co.id/2012/06/gagal-ginjal-kronik.html

47
Anonim., 2016., Infeksi Ginjal.,
http://infolengkappenyakit.blogspot.co.id/2016/02/infeksi-ginjal.html

48

Anda mungkin juga menyukai