Fistel Enterokutaneus
Fistel Enterokutaneus
Fistel adalah hubungan yang abnormal antara suatu saluran dengan saluran lain
(fistel interna), atau suatu saluran dengan dunia luar melalui kulit (fistel eksterna). Fistel
enterokutaneus atau enterocutaneous fistula (ECF) diklasifikasikan sebagai fistel
ekskterna, adanya hubungan antara usus halus dengan kulit maupun usus besar dengan
kulit.1,2
Dalam review dari 157 pasien yang dirawat di RS. Umum Massachusetts antara
tahun 1946-1959, kejadian malnutrisi berkisar dari 20 % pada pasien dengan fistula
kolon, 74% dengan fistula jejunum atau ileum, kejadian gizi buruk pada pasien dengan
fistula duodenum sebesar 53 %. Para penulis menyoroti hubungan antara kejadian
malnutrisi dan kematian, dengan tingkat kematian secara keseluruhan fistula usus kecil
sebesar 16% dan untuk dari 54% untuk fistula kolon. Poin ini ditinjau lagi dalam studi
yang lebih kecil lagi pada empat tahun berikutnya, dimana 56 pasien dengan fistula
enterocutaneous. Tingkat penutupan fistula adalah 89% dan angka kematian
keseluruhan 12% dalam kelompok ini, dibandingkan dengan tingkat penutupan 37%
dan angka kematian secara keseluruhan sebesar 55% pada pasien yang dinilai telah
menerima gizi suboptimal. Dalam tindak lanjut review dari RS. Umum Massachusetts,
Soeterser et al, mortalitas dibandingkan pada pasien dengan fistula enterocutaneous
diobati sebelum dan setelah pemberian nutrisi parenteral. Angka kematian keseluruhan
antara tahun 1970 dan 1975, ketika nutrisi parenteral dipekerjakan secara rutin dalam
1
pengobatan pasien dengan enterocutaneous fistula adalah 21,1%, dibandingkan dengan
dengan gabungan angka kematian. Angka kematian keseluruhan 44% antara tahun
1946 dan 1959. Namun, kematian antara tahun 1960 dan 1970 juga rendah, dengan
angka kematian gabungan dari 15,1%.6
ECF adalah kondisi umum dan tantangan nyata bagi ahli bedah sejauh
manajemen yang bersangkutan. Selama beberapa dekade terakhir, upaya perbaikan
dalam penanganan ECF terus dikembangkan. Pendekatan agresif dengan kontrol yang
efektif dari sepsis, asupan nutrisi yang memadai serta cairan dan keseimbangan
elektrolit adalah kunci untuk keberhasilan pengelolaan fistula ini. Hal ini mempengaruhi
kualitas hidup pasien, memperpanjang tinggal di rumah sakit, dan meningkatkan biaya
keseluruhan untuk pengobatan. Dengan memahami patofisiologi dan faktor risikonya
serta penanganan yang tepat dapat membantu untuk mengurangi terjadinya fistula
enterokutaneus.7
ANATOMI USUS
2
a. Duodenum: bentuknya melengkung seperti kuku kuda. Pada lengkungan ini
terdapat pankreas. Pada bagian kanan duodenum merupakan tempat bermuaranya
saluran empedu (duktus koledokus) dan saluran pankreas (duktus pankreatikus),
tempat ini dinamakan papilla vateri. Dinding duodenum mempunyai lapisan mukosa
yang banyak mengandung kelenjar brunner untuk memproduksi getah intestinum.
Panjang duodenum sekitar 25cm, mulai dari pilorus sampai jejunum.
c. Ileum: ujung batas antara ileum dan jejunum tidak jelas, panjangnya ±4-5 m.
Ileum merupakan usus halus yang terletak di sebelah kanan bawah berhubungan dengan
sekum dengan perantaraan lubang orifisium ileosekalis yang diperkuat sfingter dan
katup valvula ceicalis (valvula bauchini) yang berfungsi mencegah cairan dalam
kolon agartidak masuk lagi ke dalam ileum.
Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar 5 kaki
(sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalisani. Diameter usus
besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inci (sekitar 6,5
cm), tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil.23 Lapisan-lapisan usus
3
besar dari dalam ke luar adalah selaput lendir, lapisan otot yang memanjang, dan
jaringan ikat. Ukurannya lebih besar daripada usus halus, mukosanya lebih halus
daripada usus halus dan tidak memiliki vili. Serabut otot longitudinal dalam
muskulus eksterna membentuk tiga pita, taenia coli yang menarik kolon menjadi
kantong-kantong besar yang disebut dengan haustra. Dibagian bawah terdapat katup
ileosekal yaitu katup antara usus halus dan usus besar. Katup ini tertutup dan akan
terbuka untuk merespon gelombang peristaltik sehingga memungkinkan kimus
mengalir 15 ml masuk dan total aliran sebanyak 500 ml/hari.9
b. Kolon adalah bagian usus besar dari sekum sampai rektum. Kolon memiliki tiga
divisi, yaitu:
Kolon ascenden : merentang dari sekum sampai ke tepi bawah hati di sebelah
kanan dan membalik secara horizontal pada fleksura hepatika.
Kolon desenden : merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi kolon
sigmoid berbentuk S yang bermuara di rektum.
c. Rektum adalah bagian saluran pencernaan selanjutnya dengan panjang 12-13 cm.
Rektum berakhir pada saluran anal dan membuka ke eksterior di anus.
4
1. Berdasarkan kriteria anatomi, fistula enterokutaneus dibagi menjadi 2 yaitu fistula
internal dan eksternal. Fistula internal yaitu fistula yang menghubungkan antara dua
viscera, sedangkan fistula eksternal adalah fistula yang menghubungkan antara viscera
dengan kulit.
5
profilaksis untuk mencegah timbulnya infeksi dan abses yang dapat menimbulkan
fistula.
Gambar 3. Fistula enterocutaneous. Bentuk Fistula sebagai akibat dari sebagian atau lengkap
gangguan anastomosis usus dan terkait resultan abses
(Intestinal Fistula Surgery. 2013.Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/197486.overview)
GEJALA/MANIFESTASI KLINIS
Gejala awal dari fistula enterokutaneous adalah rasa tidak nyaman (nyeri) pada
abdomen akibat dari penyempitan lumen usus yang mempengaruhi kemampuan usus
untuk mentranspor produk dari pencernaan usus melalui lumen. Karena peristaltic usus
dirangsang oleh makanan, maka nyeri biasanya timbul setelah makan. Untuk
menghindari nyeri ini, maka sebagian pasien cenderung untuk membatasi masukan
makanan, mengurangi jumlah dan jenis makanan sehingga kebutuhan nutrisi normal
tidak terpenuhi. Akibatnya penurunan berat badan, malnutrisi, dan anemia sekunder.
Selain itu, pembentukan ulkus di lapisan membrane usus dan ditempat terjadinya
inflamasi, akan menghasilkan rabas pengiritasi konstan yang dialirkan ke kolon dari
usus halus, bengkak, yang menyebabkan diare kronis. Pada beberapa pasien, usus yang
terinflamasi dapat mengalami demam, leukositosis, dan infeksi pada luka. Luka atau
daerah dimana fistula pada akhirnya akan keluar mungkin cellulitic. Diagnosis menjadi
lebih jelas bila didapatkan drainase material usus pada luka di abdomen, drainase
enteric dimulai dalam waktu 24-48 jam setelah penampakan kulit cellulitic. Evaluasi
bau, warna, konsistensi dan volume cairan dapat membantu mengidentifikasi sumber
kebocoran.3,12
6
PATOFISIOLOGI
PEMERIKSAAN PENUNJANG
b.USG
7
c. Fistulogram
d. Barium enema
(Available from:
http://www.downstatesurgery.org/files/cases/EnterocutaneousFistula.pdf.)
8
e. CT scan
(Available from :
http://www.ucsfcme.com/2011/slides/MSU11001/Updated/16HarrisEnterocutaneousFis
tulas.pdf)
PENATALAKSANAAN
a. Identification
Pada tahap ini, yang dilakukan adalah mengidentifikasi pasien dengan fistula
enterokutaneous. Pada minggu pertama postoperasi, pasien menunjukkan tanda-tanda
demam dan prolonged ileus serta terbentuk erythema pada luka. Luka akan terbuka
dan terdapat drainase cairan purulen yang terdiri dari cairan usus. Pasien dapat
mengalami malnutrisi yang disebabkan karena sedikit atau tidak diberikan nutrisi
9
dalam waktu lama. Pasien dapat menjadi dehidrasi, anemis, dan kadar albumin yang
rendah.
b. Resuscitation
Tujuan utama pada tahap ini yaitu pemulihan volume sirkulasi. Pada tahap
ini, pemberian kristaloid dibutuhkan untuk memperbaiki volume sirkulasi. Transfusi
sel darah merah dapat meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen dan pemberian
infuse albumin dapat mengembalikan tekanan onkotik plasma.
c. Control of sepsis
Pada tahap ini, melakukan pencegahan terhadap timbulnya sepsis dengan pemberian
obat antibiotic (broad-spectrum). Sepsis yang tidak terkontrol merupakan penyebab
utama mortalitas.
d. Nutritional support
10
dengan parenteral diet, kemungkinan melalui efek trofik pada mukosa usus. Ini
merupakan hasil uji coba yang dilakukan pada tikus.
Penambahan minyak ikan atau asam lemak omega-3 dalam enteral diet mempunyai
efek yang bermanfaat pada fungsi kekebalan tubuh, mungkin karena peningkatan
aliran darah ke jaringan limfoid di ileum. Penelitian terkontrol acak telah
menunjukkan tingkat infeksi yang lebih rendah pada pasien yang dirawat di ICU
setelah operasi abdominal dan setelah cedera parah. Baru-baru ini penelitian meta-
analisis menunjukkan bahwa diet enteral dengan minyak ikan dan asam lemak
omega-3 meningkatkan kelangsungan hidup. Penelitian lainnya menyatakan bahwa
tidak ada manfaat yang jelas untuk suplementasi minyak ikan (omega-3). Tidak ada
uji coba terkontrol secara acak yang menyelidiki penggunaan suplemen minyak ikan
dan asam lemak omega-3 tersebut dalam pengobatan ECF. Total Parenteral
Nutrition (TPN) telah terbukti dapat meningkatkan tingkat penutupan fistula enteric.
Dukungan nutrisi harus dimulai dengan bijakasan, kesabaran, dan hati-hati pada
pasien yang malnutrisi karena adanya resiko yang bisa merangsang sindrom
refeeding. Resiko ini dapat dikurangi dengan memperbaiki cairan, elektrolit dan
vitamin (pemberian vitamin C, vitamin B12, zinc, asam folat).
Hal yang perlu diperhatikan dan dikelola pada menajemen drainase fistula yaitu
perlindungan kulit, dressing, dan regulasi suction dinding. Terdapat berbagai tehnik
yang digunakan untuk manajemen drainase fistula yaitu simple gauze dressing, skin
barriers, pauches, dan suction catheter. Skin barrier sering digunakan untuk
melindungi kulit di sekitar fistula; bubuk atau cairan digunakan untuk merawat kulit
yang gundul dan mempertahankan permukaan kering pada kantong. Pasta skin
barrier petroleum dan zinc oksida berfungsi sebagai penyerap dan peliindung pada
lapisan kulit. Skin barrier ini merupakan skin barrier yang solid yang dapat menunda
keluarnya output fistula dan penghalang fisik antara kotoran dan kulit. Limbah dari
fistula dapat dikelola dengan dressing saat drainase kurang dari 100 ml dalam 24
jam.
11
Gambar 7. Solid skin barrier diterapkan pada luka antara dua situs fistula. Volume output
berkurang menjadi 100ml/24 jam.
Wound dressing dapat bervariasi dari simple gauze untuk pilihan lebih menyerap
seperti busa atau hydrofiber. Setiap perawat dapat menggunakan berbagai jenis dan
jumlah dressing yang tak terbatas untuk menyerap drainase sehingga menghambat
pengukuran yang akurat dari output dan kemudian menyulitkan pemantauan input-
output yang akurat. Penggunaan dressing tidak praktis karena perlu diganti setiap 4
jam. Pilihan lain untuk mengendalikan limbah dari fistula yaitu penggunaan
continuous low wall suction. Jika sistem pouching tidak dapat digunakan karena
lokasi fistula atau drainase yang berlebihan sistem continuous low wall suction dapat
diimplementasikan. Suction cateter ditempatkan di bagian distal luka dari fistula
untuk menguras limbah. Suction cateter digunakan bersamaan dengan normal saline
dressing. Hal yang perlu diingat dari kateter ini yaitu kateter tidak ditempatkan pada
saluran fistula karena akan dikenali sebagai benda asing dan lambat tertutup.
Continuous suction membantu mengurangi penggantian balutan dengan mengalihkan
ke sistem drainase suction. Sistem suction bukan solusi pengelolaan jangka panjang
dan memerlukan perawat atau tim medis yang tidak hanya mampu memahami dan
memelihara peralatan tetapi juga berdedikasi untuk waktu yang dibutuhkan untuk
mengelola sistem ini.
12
Gambar 8. Fistula diisolasi dan kateter ditempatkan di atas fistula dan melekat pada wall
suction
Pouching pada fistula sangat menantang, karena kesulitan dalam mencapai dan
mempertahankan pouch itu sendiri. Pouching memerlukan pergantian pouch yang
lebih sering, sehingga rasa ketidaknyamanan dan pengeluaran biaya yang lebih besar
bagi pasien. Perkiraan dari 4 sampai 5 hari waktu pakai untuk kantong (pouch) pada
fistula wajar bagi banyak pasien, namun beberapa fistula karena lokasi dan output
tidak pernah memperoleh kantong tersebut lebih dari 24 jam. Pengurangan limbah
dapat memberikan waktu yang cukup bagi efektifitas aplikasi kantong dan
mengurangi kemungkinan terjadinya masalah pada segel akibat berlebihannya
limbah enzimatik. Penggunaan obat-obatan untuk mengurangi produksi juga dapat
diindikasikan. Kualitas hidup pasien dengan fistula bertumpu pada reliabilitas sistem
pouching. Selain itu, untuk mencegah terjadinya maserasi pada kulit akibat cairan
fistula, dapat diberikankan stomahesive atau glyserin dan beberapa penulis
melaporkan keberhasilan menggunakan Vacuum Assisted Closure (VAC) system
untuk penatalaksanaan fistula enterokutaneous, salah satunya yaitu penelitian Draus
et al yang didapati 1 kasus high-output fistula dapat pulih dengan penggunaan VAC,
VAC diterapkan selama dua bulan dan terjadi perubahan dua kali seminggu. VAC
memberikan penutupan tekanan langsung bagi fistula. VAC mengeluarkan limbah
jauh dari lokasi fistula ke tabung. Tekanan negative diperkirakan membantu dalam
13
penutupan saluran fistula akut. Namun, terapi VAC tidak diindikasikan murni
sebagai perangkat penahan untuk fistula, melainkan harus diterapkan hanya dimana
penutupan fistula adalah suatu kemungkinan. VAC system terdiri dari tabung
evakuasi tertanam dalam poliuretan busa ganti. Teknik VAC melibatkan penempatan
spons busa-sel terbuka ke dalam rongga luka. Sebuah kateter luka dengan perforasi
lateral yang (tabung evakuasi) kemudian diletakkan di atas busa. Luka ditutup oleh
dressing oklusif, dan tabung terpasang keruang hampa. Unit yang berlaku tekanan
subatmosfir terkontrol (biasanya 125 mmHg) ke luka. Perangkat ini diaplikasikan
pasien dengan mendalam, luka terbuka dengan omentum, fasia, atau jaringan
granulasi di dasar tanpa usus terlihat dan dengan tunneling fistula saluran melalui
jaringan granulasi. Pada beberapa pasien, VAC diindikasikan pada kontraktur dan
penyembuhan luka. Tidak ada komplikasi septik yang ditimbulkan dari VAC.
14
Obat-obatan (Somatostatin, Octreotide dan H2 Antagonis) dapat juga diberikan untuk
menghambat sekresi asam lambung, sekresi kelenjar pankreas, usus, dan traktus
biliaris. Somatostatin adalah hormone peptide alami yang memiliki efek
mengahambat sekresi pada gastrointestinal terutama hormon gastrin dan
cholecystokinin. Draus et al, menemukan bahwa sepertiga dari jumlah pasien yang
ada analog Somatostatin mengurangi output sebesar 50%. Octreotide analog sintetis,
dengan waktu paruh dari 2 jam, mengurangi sekresi pada GI, memperpanjang waktu
transit dan memfasilitasi penyerapan air dan elektrolit. Tidak ada bukti yang
menyatakam bahwa manipulasi farmakalogis dapat meningkatkan tingkat penutupan
fistula secara spontan. Octreotide memiliki potensi untuk mempengaruhi fungsi
kekebalan tubuh sebagai akibat dari penghambatan hormon pertumbuhan. Anti diare
adalah agen terapeutik penting yang sering diresepkan untuk mengurangi high-output
fistula. Dua obat yang paling umum digunakan adalah loperamide (Imodium) dan
diphenoxylate (lomotil). Loperamide memperlambat transit usus dan mengurangi
output. Diphenoxylate adalah agonis opiate sintetis. Ini mempengaruhi otot-otot
halus saluran pencernaan untuk mengurangi motilitas usus. Karena diphenoxylate
secara kimiawi terkait dengan beberapa narkotika, atropin (antikolinergik) telah
ditambahkan untuk membantu mencegah kemungkinan penyalahgunaan dalam dosis
yang besar dan pada orang tua diberikan Imodium. Jika loperamide atau
diphenoxylate tidak efektif, codein atau opium tincture mungkin diberikan. Opium
tincture dapat meningkatkan tonus otot polos usus dan penurunan sekresi pankreas
dan saluran empedu. Efek keseluruhannya adalah untuk mengurangi motilitas GI dan
dalam prakteknya, kombinasi dari zat-zat ini sering digunakan untuk mengurangi
volume limbah.
Pada tahap ini, dilakukan investigasi terhadap sumber dan jalur fistula.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan yaitu:
b.USG
c.Fistulogram
15
d.Barium enema
e.CT scan
16
pasien harus dalam kondisi nutrisi yang optimal dan terbebas dari sepsis. Pada saat
operasi, abdomen dibuka menggunakan insisi baru. Insisi secara transversal pada
abdomen di daerah yang terbebas dari perlekatan. Tujuan tindakan operasi
selanjutnya adalah membebaskan usus sampai rectum dari ligamentum Treiz.
Kemudian melakukan eksplorasi pada usus untuk menemukan seluruh abses
dansumber obstruksi untuk mencegah kegagalan dalam melakukan anastomosis.
Pada saat isolasi segmen usus yang mengandung fistula, reseksi pada segmen
tersebut merupakan tindakan yang tepat. Pada kasus-kasus yang berat, dapat
digunakan tehnik exteriorization, bypass, Roux-en-Y drainase, dan serosal patches.
Namun tindakan-tindakan tersebut tidak menjamin hasil yang optimal. Berbagai
kreasi seperti two-layer, interrupted, end-to-end anastomosis menggunakan segmen
usus yang sehat dapat meningkatkan kemungkinan anastomosis yang aman.
5. Healing
Penutupan fistula secara spontan ataupun operasi, pemberian nutrisi harus terus
dilakukan untuk menjamin pemeliharaan kontinuitas usus dan penutupan dinding
abdomen. Tahap penyembuhan (terutama pada kasus postoperasi) ini membutuhkan
keseimbangan nitrogen, pemberian kalori dan protein yang adekuat serta pemberian
vitamin A,C, dan zinc untuk meningkatkan proses penyembuhan dan penutupan
luka.
KOMPLIKASI
17
PROGNOSIS
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, Dejong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta : EGC; 2005.
Hal 636.
2. Enterocutaneous Fistula. 2013 [15 Desember 2013]. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/1372132-overview.
3. Parrish CR. Ostomies and fistula : a collaboration approach. Practical Gastroentero:
2005;33:63-79.
4. Management of Enterocutaneous Fistula. 2001. [15 Desember 2013]. Available from:
http://www.downstatesurgery.org/files/cases/EnterocutaneousFistula.pdf.
5. Schecter WP et al. Enteric Fistulas : Principles of Management. J Jamcoll Surg.
2009;209:484-489.
6. Lloyd DAJ et al. Nutrition and Management of Enterocutaneous Fistula. British Journal
of Surgery. 2006;93:1045-1055.
7. Sheikh AR, Malik AM, Sheikh GA. Feasibility of early surgical intervention in
postoperative entero-cutaneous fistulae. J Ayub Med Coll Abbotabad. 2010;22:37-40.
8. Syaifuddin. Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika;2009.
9. Ethel, S. Anatomi dan Fisiogi Manusia untuk Pemula. Jakarta: EGC; 2003.
10. Evenson AR, Fischer JE. Current Management of Enterocutaneous Fistula. J
GASTROINTEST SURG. 2006;10:455-464.
11. Thompson MJ, Epanomeritaks E. An accountable fistula management treatment plan.
British Journal of Nursing. 2008;17:434-440.
12. Edward E.W et al. Small Intestine. In : Charles F, Bronicardi et al. Swartz-Principle of
Surgery. McGrantHill. p.1037-1038.
13. Intestinal Fistula Surgery. 2013 [15 Desember 2013]. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/197486.overview.
14. Stein D. Intestinal Fistulas. 2008 [15 Desember 2013]. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/179444-diagnosis.
19
15. Management of Enterocutaneous Fistulas. 2011 [15 Desember 2013]. Available from:
http://www.ucsfcme.com/2011/slides/MSU11001/Updated/16HarrisEnterocutaneousFistu
las.pdf.
16. Draus JM et al. Enterocutaneous Fistula : Are treatment improving?. Surgery.
2006;140:570-578.
17. Pratin C, Siriluck S. The Management of Patient with Enterocutaneous Fistula: A
complex case study. Wound Practice and Research. 2011;19:122-125.
20