Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PERKEMBANGAN DAN PEMEROLEHAN BAHASA ANAK


DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA SD 1

DOSEN PENGAMPU :
Prof. Rustam Effendi, M.Pd., Ph.D.

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
KELAS 3D

Linda Novita Dewi 1810125120040


Risky Nor Latifah 1810125120050
Olivia Rahmi Lesmana 1810125220084
Bagus Ridhani 1810125210089
Ismi Fatiani 1810125320021
Syarifah Laila Istiqamah 1710125120076

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
BANJARMASIN
2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas Mata Kuliah Pendidikan Bahasa Indonesia SD 1 untuk membuat
makalah tentang “ Perkembangan Pemerolehan Bahasa Anak ”.
Makalah ini telah kami buat dengan semaksimal mungkin dan mendapatkan
bantuan dari pihak anggota kelompok sehingga dapat membuat dan menyelesaikan
makalah ini. Untuk itu kami banyak mengucapakn terima kasih kepada pihak yang
telah membantu dalam hal pembuatan makalah ini.
Dalam penyusunanan makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangan di
dalamnya, dari segi bahasa maupun kalimat yang kurang sempurna. Oleh karena itu
kami meminta kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ini. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat yang berguna bagi para pembaca.

Banjarmasin, 04 September 2019

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................1
C. Tujuan Penulisan......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................2
A. Perkembangan Bahasa Pada Anak............................................................2
1. Tahap Perkembangan Kata dan Kalimat Pada Anak...........................2
2. Hakikat Perkembangan Bahasa............................................................3
3. Perkembangan Pragmatik.....................................................................8
4. Perkembangan Semantik dan Proses Kognitif.....................................10
5. Perkembangan Morfologis dan Sintaktik.............................................12
6. Perkembangan Fonologis.....................................................................13
7. Perkembangan Membaca dan Menulis................................................14
B. Pemerolehan Bahasa Anak.......................................................................16
1. Pengaruh Pembelajaran Pada Urutan Pemerolehan Bahasa................16
2. Pengaruh Pembelajaran Pada Proses Pemerolehan Bahasa.................17
3. Pengaruh Pemebelajaran Pada Kecepatan Pemerolehan Bahasa.........17
BAB III PENUTUP..............................................................................................18
A. Kesimpulan...............................................................................................18
B. Saran.........................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................19

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi bagi manusia. Dengan bahasa seseorang
dapat berinteraksi dengan orang lain. Dengan bahasa maka akan terjadi hubungan
timbal balik antara seseorang dengan orang lain. Manusia hidup dalam suatu
lingkungan masyarakat. Karena dalam kehidupan manusia selalu membutuhkan
orang lain. Seseorang akan mengerti apa yang dimaksudkan oleh mitra tutur
dengan bahasa yang digunakan. Sehingga pesan atau informasi yang dapat
tersampaikan.

Pemerolehan bahasa dan perkembangan bahasa anak mendasari kemampuan


mengajarkan bahasa dan sastra Indonesia kepada siswa di sekolah dasar terutama
siswa di kelas rendah. Karakteristik setiap anak tidak sama sehingga dengan
mempelajari pemerolehan dan perkembangan bahasa anak guru dapat mengatasi
perbedaan perkembangan bahasa pada siswanya.Siswa sekolah dasar pada
umumnya berlatar belakang dwibahasa bahkanmulti bahasa, sehingga dengan
mempelajari materi pemerolehan dan perkembangan bahasa anak, guru dapat
benar-benar memahami konteks sosial budaya lingkungan anak didiknya dan
menghargai keragaman budaya tersebut.
Siswa sekolah dasar pada umumnya berlatar belakang dwibahasa bahkan
multi bahasa, sehingga dengan mempelajari materi pemerolehan dan
perkembangan bahasa anak, guru dapat benar-benar memahami konteks sosial
budaya lingkungan anak didiknya dan menghargai keragaman budaya tersebut.
Dalam bahasa anak pun terdapat perbedaan baik itu anak laki-laki dan anak
perempuan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Perkembangan Bahasa Pada Anak?
2. Bagaimana Pemerolehan Bahasa Pada Anak?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Bagaimana Perkembangan Bahasa Pada Anak
2. Mengetahui Bagaimana Perkembangan Bahasa Pada Anak

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Bahasa Anak

1. Tahap Perkembangan Kata dan Kalimat Pada Anak

Kemampuan bervokabel dilanjutkan dengan kemampuan


mengucapkan kata, lalu mengucapkan kalimat sederhana, dan kalimat yang
lebih sempurna. Namun, hal ini dikuasai secara berjenjang dan dalam jangka
waktu tertentu.

1.1 Kata Pertama

Menurut Francescato (2008, dalam Purwo, 2009) anak belajar


mengucapkan kata sebagai suatu keseluruhan, tanpa memperhatikan fonem
kata-kata itu satu per satu. Umpamanya. ketika pada tahap tertentu si anak
belum mampu mengucapkan fonem [k], tetapi sudah dapat mengucapkan
fonem [t], dia akan menirukan kata [ikan] dan [itan]. Dengan demikian, kita
lihat ini dia menyederhanakan pengucapannya yang dilakukan secara
sistematis.

1.2 Kalimat Satu kata

Kalimat satu kata yang lazim disebut ucapan holofrasis oleh banyak
pakar dapat dianggap bukan sebagai kalimat, karena maknanya sukar
diprediksikan. Kalimat bagi mereka dalam pemerolehan sintaksis baru dimulai
kalau anak itu sudah dapat menggabungkan dua buah kata (Iebih kurang
ketika berusia dua tahun). Kata-kata yang dapat diucapkan oleh kanak-kanak
itu, sebagai ujaran kalimat, biasanya berupa kata-kata satu suku atau dua suku
kata berupa rangkaian VK, KV, atau KVKV (am, ta, baba). Owens (2004) .

Perkembangan kosakata anak pada awalnya memang Iambat. Namun


kemudian menjadi agak cepat, sehingga pada usia 18 bulan, anak telah
memiliki kosakata sebanyak 50 buah. Kata-kata yang dikuasai itu kebanyakan
adalah kata benda, dan kemudian menyusul kata yang menyatakan tindakan.
Namun menurut Nelson (2003 dalam Purwo) ada anak yang noun leavers
(pemegang nomina) dan ada yang noun leavers (pembuang nomina).

2
1.3 Kalimat Dua Kata

Kalimat dua kata adalah kalimat yang hanya terdiri dari dua buah kata,
sebagai kelanjutan dari kalimat satu kata. Dalam menggabungkan kata, anak
mengikuti urutan kata yang terdapat pada bahasa orang dewasa. Urutan dua
kata itu seperti dilaporkan Bloom (1993) dan Brown (2003), sebagai berikut:
setelah penguasaan kalimat dua kata mencapai tahap tertentu, maka
berkembanglah penyusunan kalimat yang terdiri dari tiga buah kata. Menurut
Brown (2003) konstruksi kalimat tiga kata ini sebenarnya merupakan hasil
dari penggabungan atau perluasan dari konstruksi dua kata sebelumnya yang
digabungkan. Misalnya, konstruksi adik minum digabungkan menjadi
konstruksi adik minum susu.

Menjelang usia dua tahun anak rata-rata sudah dapat menyusun


kalimat empat kata yakni dengan cara perluasan, meskipun kalimat dua kata
masih mendominasi korpus bicaranya.

Dalam pengasuhannya, ibu diharapkan sering menggunakan pola


kalimat tanya (question) pada anak usia 2-3 tahun, misalnya: apa itu, dengan
siapa, dan mengapa. Pada masa ini, perkembangan bahasa anak meningkat
dengan pesat, terutama karena si ibu sering menggunakan berbagai teknik
untuk mengajak anak bercakap-cakap. Pertanyaan yang dapat dijawab si anak
akan dijawab sendiri oleh si ibu, sehingga menjelang usia tiga tahun anak
sudah mengenal pola dialog. Dia antara Iain sudah mengerti kapan gilirannya
berbicara dan kapan giliran lawan bicaranya berbicara. Hal ini berlangsung
terus sampai anak, berusia empat atau Ilima tahun.

2. Hakikat Perkembangan Bahasa

Anak-anak memperoleh komponen-komponen utama bahasa ibu


mereka dalam waktu yang relatif singkat. Ketika mereka mulai bersekolah dan
mempelajari bahasa secara formal, mereka sudah mengetahui cara berbicara
untuk berkomunikasi dengan orang lain. Mereka sudah mengetahui dan
mengucapkan sejumlah besar kata. Namun, perkembangan bahasa tidak
berhenti ketika seseorang sudah mulai bersekolah atau ketika dia sudah
dewasa. Proses perkembangan tetus berlangsung sepanjang hayat.

3
Bayi mulai memperoleh bahasa ketika berumur kurang dari satu
tahun, sebelum dapat mengucapkan suatu kata. Mereka memperhatikan muka
orang dewasa dan menanggapi orang dewasa, meskipun tentu saja belum
menggunakan bahasa dalam arti yang sebenarnya. Mereka juga dapat
membedakan beberapa ucapan orang dewasa (Eimas, lewat Gleason, 1985:2)

Selanjutnya ketika berumur satu tahun. Bayi mulai mengoceh, bermain


dengan bunyi seperti halnya bermain dengan jari-jari kakinya. Seperti halnya
kemampuan berjalan, kemampuan berbicara anak-anak seluruh dunia mulai
pada umur yang hampir sama dan dengan cara yang hampir sama pula.
Perkembangan bahasa pada periode ini disebut perkembangan pralinguistik
(Gleason, 1985:3).

Ketika bayi mulai mengucapkan beberapa kata, perkembangan


bahasa mereka juga memiliki ciri-ciri yang universal. Bentuk ucapan yang
digunakan hanya satu kata, kata-katanya sederhana yaitu yang mudah
diucapkan dan memiliki arti kongkret. Kata-kata tersebut adalah nama
benda-benda, kejadian atau orang yang ada disekitar anak, misalnya mama,
papa, meong, maem, dsb. Perkembangan fonologis mulai tampak pada periode
ilumur ini, demikian juga perkembangan semantik yaitu pengenalan makna
olah anak.

Kira-kira anak berumur dua tahun, setelah mengetahui kurang lebih


lima puluh kata, kebanyakan anak mulai mencapai tahap kombinasi dua kata.
Kata-kata yang di ucapkan ketika mencapai tahap satu kata dikombinasikan
dalam ucapan-ucapan pendek tanpa kata petunjuk, kata depan, atau
bentuk-bentuk lain yang seharusnya digunakan. Anak mulai dapat
mengucapkan "Ma, mimik", maksudnya "Mama saya minta minum". Pada
tahap dua kata ini anak mulai mengenal berbagai makna kata tetapi tidak dapat
menggunakan bentuk bahasa yang menunjukkan jumlah, jenis kelamin dan
waktu terjadinya peristiwa. Selanjutnya anak-anak mulai dapat membuat
kalimat-kalimat pendek.

Pada waktu mulai masuk taman kanak-kanak, anak-anak telah


memiliki sejumlah besar kosakata. Merwka dapat membuat pertanyaan,
pernyataan negatif, kalimat majemuk, dan berbagai bentuk kalimat. Mereka

4
memahami kosakata lebih banyak. Mereka dapat bergurau, bertengkar, dengan
teman temannya dan berbicara dengan sopan dengan orang tua dan guru
mereka

Pada masa perkembangan sekolah dasar, anak-anak di hadapkab pada


tugas utama mempelajari bahasa tulis. Hal ini hampir tidak mungkin kalau
mereka belum menguasai bahasa lisan. Perkembangan bahasa anak pada
periode usia sekolah dasar ini meningkat dari bahasa lisan ke bahasa tulis.
Kemampuan mereka menggunakan bahasa berkembang.

Pada masa perkembangan selanjutnya, yakni pada usia remaja, terjadi


perkembangab bahasa yang penting. Periode ini menurut Gleason merupakan
unsur yang sensitif untuk belajar bahasa. Remaja menggunakan gaya yang
khas dalam berbahasa, sebagai bagian dari terbentuknya identitas diri (1985).

Akhirnya, pada usia dewasa terjadi perbedaan-perbedaan yang sangat


besar antara individu yang satu dan yang lain dalam hal perkembangan
bahasanya. Hal ini bergantung pada tingkat pendidikan, peran dalam
masyarakat, dan jenis pekerjaan. Sebagai contoh, seorang aktor harus
mempelajari cara berbicara tidak hanya agar dapat ditangkap oleh pendengar
yang cukup banyak jumlahnya, tetapi juga berbicara dengan suara yang
berbeda-beda dan dengab berbagai dialek. Bahasa sersan yang sedang melatih
prajurit sangat berbeda dengan bahasa pelatih tari.

Keterampilan berpikir diperlukan agar semua aspek keterampilan


berbahasa berkembang. Piaget, Bruner, dan Vygatsky telah mengemukakan
teori-teori perkembangan kognitif yang paling konprehensif (Athey, lewat
Ross dan Roe, 1990: 36).Ketika pakar tersebut mengetahui bahwa ada
hubungab antara pikiran dan bahasa, tetapi mereka berbeda dalam hal cara
pikiran dan bahasa itu berhubungan. Vygatsky yakin bahwa bahasa merupakan
dasar bagi pembentukan konsep dan pikiran. Kegiatan berfikir tidak mungkin
terjadi tanpa menggunakan kata-kata untuk menggunakan buah pikiran. Dia
menegaskan bahwa bahasa diperlukan untuk setiap jenis kegiatan belajar.
Berbeda dengan Vygatsky , Piaget mengatakan bahwa bahasa itu penting
untuk beberapa jenis kegiatan belajar tetapi tidak untuk semua kegiatan belajar.

5
Piaget yakin bahwa perkembangan kognitig anak mendahului perkembangab
bahasanya.

Brunner, seperti halnya Piaget yakin bahwa anak-anak mengalami


perkembangan kognitif menurut fase-fase tertentu. Brunner mengidentifikasi
tiga fase perkembangan. Yang pertama disebut periode enaktif, dari lahir
sampai umur satu tahun, yaitu periode melakukan tindakan dan pekerjaan.
Fase yang keedua adalah periode ekonik, saat berkembangnya khayalan, yang
pada umum terjadi pada satu sampai empat tahun. Yang terakhir, fase ketiga di
sebut periode simbolik. Pada periode ini, yang dimulai umur empat tahun dan
berlangsung sepanjang kehidupan, anak belajar menggunakan sistem simbol,
khususnya bahasa.

Piaget menawarkan empat fase perkembangan kognitif yaitu


sensorimotor, praoperasional, operaaional konkret, dan operasional-formal.
Kebanyakan pembelajaran bahasa terjadi pada akhir fasw sensorimotor dan
fase praoperasional. Pada periode ini anak memperoleh bahasa dengan sangat
cepat. Berdasarkan sejumlah penelitian, Bewall dan Straw (lewat Ross dan
Roe, 1990: 37) menyimpulkan bahwa ada kesenjangab antara fase-fase
perkembangan menurut Piaget tersebut dengab fase-fase perkembangan
bahasa. Perbandingan perkembangan kognitif menurut Piaget dan
perkembangan bahasa dapat dilihat figur berikut (Ross dan Roe, 1990: 38)

Perkiraan umur. Fase-fase perkembangan. Fase-fase perkembangan


kebahasaan

1. lahir - 2 tahun •Periode sensorimotor Anak • Fase fonologis Anak bermain dengan

memanipulasi objek di bunyi-bunyi bahasa mulai mengoceh

lingkungannya dan mulai sampai memyebutkan kata-kata

membentuk konsep. sederhana.

6
3 lahir 2-7 tahun •Periode Praoprasional Anak •Fase sintatik

Anak menunjukkan kesa-

Anak memahami pikiran simbolik daran gramatis; berbicara

tetapi belum dapat berpikir menggunakan kalimat.

logis.

3. lahir 7-11 tahun • Periode Operasional anak dapat •Fase semantik Anak dapat

berpikir logis mengenai benda- membedakan kata sebagai


simbol.benda.kongkrit.
dan konsep yang terkandung
dalam kata

Uraian selanjutnya dipusatkan pada perkembangan bahasa anak usia


sekolah dasar karena dipandang sangat televan dengan pembelajaran bahasa,
khususnya di kelas-kelas rendah sekolah dasar.

Awal usia sekolah merupakan periode berkembangnya kreativitas


kebahasaan yang diisi dengan sajak, nyanyian, dan permainan kata. Setiap
kelompok anak mencoba mengembangkan penggunaan bahasa yang bersifat
khas. Anak-anak belajar menemukan humor dalam permainan kata (Owens,
1992: 354). Contoh, A: “Kota apa yang terbesar di dunia?”. B: “Kota New
York!”. A: “Bukan, Kotagede”. Istilah-istilah khusus mereka temukan
misalnya “siip” dan “asyik” untuk mengungkapkan perasaan puas.

Pada periode usia sekolah, perkembangan bahasa yang paling jelas


tampak ialah perkembangan semantik dan pragmatik. Di samping memahami
bentuk-bentuk baru, anak belajar menggunakannya untuk berkomunikasi
dengan lebih efektif (Obler, 1985 lewat Owens 1992: 355).

Kemampuan metalinguistik, yaitu kesadaran yang memungkinkan


pengguna bahasa dan melakukan refleksi, juga menjadi semakin berkembang
pada usia sekolah. Kemampuan berpikir tentang bahasa dan melakukan
refleksi ini tercermin dalam perkembangan keterampilan membaca dan
menulis (Owens, 1992: 335).

7
Membaca dan menulis memerlukan perubahan pokok dalam
penggunaan bahasa. Bahasa buku atau teks menjadi lebih penting daripada
bahasa untuk hubungan sosial dan hubungan antar pribadi. Anak dituntut
dapat menggunakan kata-kata dengan makna yang tepat. Anak-anak Indonesia
yang kebanyakan mempelajari bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua
mungkin tidak mudah menghadapi hal ini.

Seperti telah dikemukakan di depan, perkembangan bahasa yang


paling jelas tampak pada periode umur sekolah ialah perkembangan pragmatik
dan semantik. Pada bagian berikut ini Anda dapat mencemaru kedua macam
perkembngan itu secara lebih mendalam.

3. Perkembangan Pragmatik
Perkembangan pragmatik atau penggunaan bahasa merupakan hal yang paling
penting dalam bidang pertumbuhan bahasa pada periode usia sekolah. Selama
periode usia sekolah, proses kognitif meningkat sehingga memungkinkan anak
menjadi komikator yang lebih efektif. Apabila anak telah memperoleh struktur
bahasa yang lebih banyak, dia dapat lebih berkonsentrasi pada pendengar.
Anak-anak mulai mengenal adanya berbagai pandangan mengenai suatu topik.
Mereka dapat mendeskripsikan sesuatu, tetapi deskripsi yang mereka buat lebih
bersifat personal dan tidak mempertimbangkan makna informasi yang
disampaikannya bagi pendengar. Informasi tersebut biasanya tidak selalu benar,
karena tercampur dengan hal-hal yang ada dalam khayalannya (Owens, 1992:
358).
3.1 Kemampuan Membuat Cerita
Anak-anak berumur lima dan enam tahun menghasilkan berbagai macam
cerita. Cerita-cerita anekdot yang paling banyak mereka hasilkan. Isinya
tentang hal-hal yang terjadi di rumah mereka masing-masing dan di
masyarakat sekitarnya.cerita-cerita tersebut mencerminkan kelompok sosial
budaya dan suasana yang berbeda-beda. Meskipun setiap masyarakat
memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mendengar dan menghasilkan
empat macam cerita, namun sebaran, frekuensi, dan pengembangannya
berbeda-beda. Keempat jenis cerita tersebut ialah cerita pengalaman bersama
orang lain atau tentang yang dibaca, penjelasan tentang kejadian, cerita
tentang pengalaman sendiri, dan cerita fiksi (Owens, 1992: 359).

8
Kemampuan membuat cerita tersebut seharusnya sudah diperkenalkan
kepada anak sejak anak memasuki usia prasekolah. Dengan demikian anak
pada saat memasuki usia sekolah dasar, anak-anak tidak asing lagi dengan
jenis cerita dan mengembangkan kemampuan verbal anak-anak agar menjadi
semakin baik.
3.2 Perkembangan Kemampuan Membuat Cerita
Anak-anak berumur enam tahun sudah dapat bercerita sederhana tentang
acara televisi atau film yang mereka lihat. Kemampuan ini selanjutnya
berkembang secara teratur, sedikit demi sedikit.
Pada usia tujuh tahun anak-anak mulai dapat membuat cerita yang agak
padu. Mereka sudah mulai dengan mengemukakan masalah, rencana untuk
mengatasi masalah, dan penyelesaian masalah tersebut, meskipun belum
jelas siapa yang melakukannya.
Pada umur delapan tahun anak-anak menggunakan penanda awal dan
akhir cerita, misalnya “Akhirnya mereka hidup bahagia. Kemampuan
membuat alur cerita yang agak jelas baru mulai diperoleh oleh anak-anak
pada usia lebih dari delapan tahun.
3.1 Perbedaan Bahasa Anak Laki-laki dan Perempuan
Pada waktu duduk di kelas-kelas rendah sekolah dasar, bahasa anak
laki-laki dan perempuan mulai mencerminkan perbedaan. Perbedaan ini
dapat dilihat pada kosakata yang digunakan dan gaya bercerita.
3.1 Penggunaan Kosakata
Pada umumnya penggunaan kosakata pada anak perempuan lebih banyak
dan lebih tertata. Sedangkan anak laki-laki penggunaan kosakatanya lebih
sedikit.
3.3 Gaya Bercerita
Perempuan cenderung menggunakan cara-cara tidak langsung dalam
meminta peretujuan dan lebih banyak mendengarkan, sedangkan laki-laki
cenderung memberitahu. Perempuan menganggap perannya dalam
percakapan adalah sebagai fasilitator, sedangkan laki-laki sebagai pemberi
informasi.

9
Anak laki-laki biasanya kurang banyak berbicara dan lebih banyak
berbuat. Sedangkan anak perempuan biasanya banyak bicara seperti bercerita
kepada teman akrabnya.

4. Perkembangan Semantik dan Proses Kognitif


Selama periode usia sekolah dan sampai dewasa, setiap individu
meningkatkan jumlah kosakata dan makna khas istilah. Secara teratur seseorang
mempelajari makna lewat konteks tertentu. Dalam proses tersebut seseorang
menyusun kembali aspek-aspek kebahasaan yang elah dikuasainya. Susunan baru
yang dihasilkannya itu tercermin dalam cara seseorang menggunakan kata-kata.
Sebagai dampaknya ialah adanya perkembangan penggunaan bahasa figuratif
atau kreativitas berbahasa yang cukup pesat. Keseluruhan proses perkembangan
semantik yang mulai pada tahun-tahun awal sekolah dasar ini dapat dihubungkan
dengan keseluruhan proses kognitif (Owens, 1992: 374).
Kita semua tau bahwa sepanjang hidup kita akan terus menambah kosakata
baru yang kita peroleh dari membaca tulisan atau mendengarkan cerita orang lain.
4.1 Perkembangan Kosakata
Selama periode usia sekolah dan dewasa, ada dua jenis penambahan
makna kata. Secara horizontal, anak-anak semakin mampu memahami dan
dapat menggunakan suatu kata dengan makna yang tepat. Penambahan
vertikal berupa peningkatan jumlah kata-kata yang dapat dipahami dan
digunakan dengan tepat (Owens, 1992: 375).
Dalam proses mendefinisikan kata-kata baru atau mendefinisikan kembali
kata-kata lama (yang sudah diketahui salah satu artinya) pada dasarnya anak
membentuk makna. Makna ini dibentuk kembali atau ditegaskan lewat
penggunaan bahasa.
Di kelas-kelas rendah sekolah dasar juga terjadi perkembangan dalm
penggunaan istilah-istilah yang menunjukkan tempat yang bersifat
khas.Kemampuan anak di kelas-kelas rendah sekolah dasar dalam
mendefinisikan kata-kata meningkat dengan dua cara. Pertama, secara
konseptual dari definisi berdasar pengalaman individu ke makna yang lebih
bersifat sosial atau makna yang dibentuk bersama. Kedua, anak bergerak
secara sintaksis dari definisi berupa kata-kata lepas ke kalimat-kalimat yang
menyatakan hubungan yang kompleks (Owens, 1992: 376).

10
4.2 Bahasa Figuratif
Anak usia sekolah juga mengembangkan bahasa figuratif yang
memungkinkan penggunaan bahasasecara benar-benar. Yang termasuk jenis
bahasa figuratif ialah ungkapan, metafora, kiasan, dan peribahasa. Ungkapan
adalah pernyataan pendek yang telah digunakan bertahun-tahun dan tidak
dapat dianalisis secara gramatikal.

Contoh ungkapan dalam bahasa Indonesia.

Rumah makan

Kamar kecil

Makan hati

Kepala batu

Metafora dan kiasan adalah bentuk ucapan yang membandingkan


benda yang sebenarnya dengan khayalan. Dalam metafora perbandingan
dinyatakan secara implisit, misal "suaranya membelah bumi". Sebaliknya,
kiasan adalah perbandingan secara eksplisit, misalnya "dua gadis kembar itu
seperti pinang dibelah dua".

Bentuk bahasa figuratif yang terakhir ialah peribahasa, yakni


pernyataan pendek yang sudah dikenal yang berisi kebenaran yang terterima,
pikiran yang berguna, atau nasehat.

Contoh : Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna.

Menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri.

Bahasa figuratif lebih mudah dipahami dalam konteks dari pada secara
terpisah oleh anak adolesen. Makna bahasa figuratif disimpulkan oleh anak
dari penggunaan yang berulang-ulang dapam konteks yang berbeda-beda.

Kemampuan memahami peribahasa sangat erat hubungannya dengan


kemampuan bernalar analogis. Dalam memahami peribahasa, anak harus
memahami hubungan antara peribahasa dan konteks.

11
5. Perkembangan Morfologis dan Sintaktik

Perkembangan bahasa pada periode usia sekolah mencangkup


perkembangan secara serentak (simultan) bentuk-bentuk sintaktik yang telah
ada dan pemerolehan bentuk-bentuk baru. Anak memperluas kalimat dengan
menggunakan frase nomina dan verba. Fungsi-fungsi kata gabung dan kata
ganti juga diperluas.

5.1 Perkembangan Frase Nomina dan Verba

Anak-anak berumur 5 sampai 7 tahun menggunakan hampir semua


elemen frase nomina dan verba tetapi sering meninggalkan elemen-elemen
tersebut meskipun sebenarnya hal itu diperlukan. Dalam mempelajari frase
nomina, anak mempelajari penggunaan kata ganti dan kata sifat. Susunan
kata sifat juga perlu dipelajari, misal"bagus sekali", "sangat bagus", "merah
muda", dan sebagainya.

5.2 Bentuk-bentuk Kalimat

Anak-anak sering mengalami kesulitan membedakan bentuk pasif


dan aktif. Khususnya pengenalan bentuk pasif menimbulkan masalah bagi
anak. Anak-anak jarang menggunakan bentuk pasif. Bahkan orang dewasa
pun tidak sering menggunakan bentuk pasif. Hal ini berbeda dengan
pemakanian bahaaa melayu yang lebih banyak menggunakan bentuk pasif dari
pada bentuk aktif.

Ada tiga jenis bentuk pasif : (1) dapat dibalik, (2) tidak dapat dibalik
yang pelakunya berupa instrumen, dan (3) tisak dapat dibalik yang
pelakunya berupa manusia. Bentuk pasid yang sapat dibalik artinya
onjeknya dapat dijadikan subjek dan sebaliknya. Contoh "ani dikejar Amir",
dapat dibalik "Amir dikejar Ani" contoh bentuk pasif yang kedua " mangga
dilempar dengan batu" tidak mungkin dibalik "batu dilempar dengan mangga"
sedangkan contoh bentuk pasif yang ketiga "Buku saya dipinjam olwh Jono"
kalimat ini tidak mungkin di balik " Jono dipinjam oleh buku saya".

Penggunaan kata-kata penghubung juga meningkatkan pada periode


usia sekolah. Anak-anak dibawah umur 11 tahun sering menggunakan
kata"dan " pada awal kalimat. Pada umur 11-14 tahun, penggunaan "dan"

12
pada awal kalimat ini mulai jarang muncul. Kata penghubung yang
menghubungkan klausa mulai sering digunakan pada umur 12 tahun. Yang
paling banyak digunakan adalah kata penghubung "karena" , "jika", dan
"supaya".

Faktor-faktor fragmatik dapat juga memenuhi perkembangan kata


penghubung. Anak-anak lebih tepat dalam memperkirakan makna yang
disampaikan pembicara dengan kalimat-kalimat yang memiliki hubungan
positif. Karena itu kalimat dengan kata sambung"karena" lebih mudah
mereka pahami daripada"meskipun".

6. Perkembangan Fonologis

Pada awal usia sekolah anak-anak sudah dapat mengucapkan semua


bunyi bahasa. Namun, bunyi-bunyi tertentu terutama yang berupa klaser
masih sulit bagi mereka untuk mengucapkannya.

Hasil penelitian Darmiyati Zuchdi menunjukkan bahwa beberapa anak


kelas dua dan tiga melakukan kesalahan pengucapan : f diucapkan/p/, sy
diucapkan /s/, dan ks diucapkan /k/ (1995:29).

Kompetensi fenomik tampak jelas dalam kemampuan anak mengenal


irama. Pada usia prasekolah anak-anak menjadi sensitif terhadap pola
fonetik dan sering membuat irama kata-kata dengan mengganti suatu bunyi
atau suku kata, sehingga mengucapkan dag, dig, dug atau ini ani, ini ima.
Proses ini berlangsung secara spontan dan otomatis sebagai permainan kata,
kemudian sesudah itu barulah terjadi proses penggunaan kata secara
terkontrol.

6.1 Perkembangan Morfofonemik

Perubahan morfofonemik adalah modifikasi fonologis atau bunyi


yang terjadi apabila morfem-morfem digunakan. Contoh cetak berubah
menjadi cetakan (k diucapkan jelas). Bunyi klaster biasanya anak juga sulik
mengucapkannya, misalnya ekstra, kompleks, administrasi. Bahkan ada
beberapa orang dewasa yang mengucapkan kata-kata tersebut dengan
menghilangkan bunyi s, sehingga terjadi ucapan yang salah : ekstra,
komplek, dan adminitrasi.

13
Sebelum usia prasekolah, anak juga mempelajari konteks perubahan
vokal. Contoh: bunyi o pada toko berbeda dengan o pada tokoh, u pada paru
berbeda dengan u pada paruh. Demikian juga bunyi i pada gandi berbeda
dengan i pada gandik.

7. Perkembangan Membaca dan Menulis

a. Perkembangan membaca
Ada beberapa fase perkembangan membaca. Dalam fase pramembaca,
yang terjadi sebelum umur 6 tahun, anak-anak mempelajri perbdeaan huruf
dan perbedaan angka yang satu dengan yang lainnya, sehingga kemudian
dapat mengenal setiap huruf dan setiap angka. Kebanyakan anakdapat
mengenal nama mereka jika ditulis. Biasanya, dengan lewat lingkungan
misalnya tanda-tanda dan nama benda yang dilihatnya, kata-kata yang
dikenalnya sedikit demi sedikit akan lepas dari konteksnya sehingga akhirnya
anak dapat mengenal kata-kata tersebut dalam bentuk tulisan. Kira-kira 60%
dari anak-anak berumur 3 tahun dan 80% dari yang berumur 4 dan 5 tahun di
Amerika mengenal kata staf (Goodman, lewat Owens, 1992: 400).
Pada fase ke-1, yaitu sampai dengan kira-kira kelas dua, anak
memusatkan pada kata-kata lepas dalam cerita sederhana. Supaya dapat
membaca, anak perlu mengetahui system tulisan, cara mencapai kelancaran
membaca, terbebas dari kesalahan membaca. Untuk itu anak dapat
mengintegrasikan bunyi dan sistem tulisan.
Pada umur 7 atau 8 kebanyakan anak memperoleh pengetahuan
tentang huruf, suku kata dan kata yang diperlukan untuk dapat membaca.
Pengetahuan ini dalam kebanyakan Negara banyak yang diperoleh di sekolah.
Pada fase ke-2, kira-kira ketika berada di kelas tiga dan empat, anak
dapat menganalisis kata-kata yang tidak diketahuinya menggunakan pola
tulisan dan kesimpulan yang didasarkan konteksnya. Pada fase ke-3, dari kelas
empat sampai dengan kelas dua SLTP tampak adanya perkembangan pesat
dalam membaca yaitu membaca tidak lagi pada pengenalan tulisan tetapi pada
pemahaman. Pada fase ke-4, yakni akhir SLTP sampai dengan SLTA, remaja
menggunakan keterampilan tingkat tinggi misalnya inferensi (penyimpulan)
dan pengenalan pandangan penulis untuk meningkatkan pemahaman.
Akhirnya pada fase ke-5, tingkat perguruan tinggi dan seterusnya, atau orang

14
dewasa dapat mengintegrasikan hal-hal yang dibaca dengan pengetahuan yang
dimilikinya dan menanggapi secara kritis materi bacaan (Owens,
1992:400-401).

b. Perkembangan Menulis
Ada kesejajaran anatar perkembangan kemampuan membaca dan
menulis. Pada umumnya penulis yang baik adalah pembaca yang baik,
demikian juga sebaliknya. Proses menulis dekat dengan menggambar dalam
hal keduanya mewakili symbol tertentu. Namun, menulis berbeda dengan
menggambar, dan hal diketahui oleh anak ketika berumur sekitar 3 tahun
(Gibson dan Levin, lewat Owens, 1992:403).
Anak-anak mulai dengan menggambar, kemudian menulis “cakar
ayam”, barulah membuat bentuk-bentuk huruf. Mula-mula anak sekolah
menulis, meskipun ia tidak mengetahui nama-nama huruf. Kata-kata yang
dikenalnya dengan baik, misalnya namanya sendiri menolong anak belajar
bahwa huruf yang berbeda melambangkan bunyi-bunyi yang berbeda.
Banyak kesalahan ejaan yang terjadi di kelas-kelas rendah sekolah
dasar yang bersifat fonologis, yakni berupa penghilanhan, penggantian, atau
penambahan fonem khususnya pada bunyi klaster, dan penggantian bunyi
berdasarkan persamaan fonologis (misalnya bawa diganti pawa).
Anak-anak kelas 1 dan 2 (kelas-kelas rendah sekolah dasar) belum
memperhatikan pembaca, masih bersifat egosentrik. Kira-kira ketika berada di
kelas 3 atau 4 barulah terjadi perubahan. Mereka mulai memperhatikan reaksi
pembaca. Mereka mulai merevisi dan menyunting tulisannya (Bertlett, lewat
Owens, 1992:406). Hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan sintaktik (tata
kalimat) yang mereka kuasai. Pada umumnya pada periode usia sekolah terjadi
perkembangan kemampuan menggunakan kalimat dengan lengkap baik secara
lisan maupun tertulis. Terjadi pula penimgkatan penggunaaan klausa dan frase
yang kompleks serta penggunaan kalimat yang bervariasi.

15
B. Pemerolehan Bahasa Anak

Pada bagian ini yang dimaksudkan dengan pemerolehan bahasa adalah bahasa
Indonesia yang bagi kebanyakan anak Indonesia merupakan bahasa kedua.
Beberapa pakar meyatakan bahwa perkembangan bahasa kedua anak yang
diperoleh dari pembelajaran tidak berbeda secara signifikan (berarti) dengan
diperoleh secara alami. Baik pemerolehan bahasa lewat pembelajaran maupun
yang secara alami memiliki proses dan urutan yang sama. Selanjutnya beberapa
penulis tentang pengajaran bahasa telah menganjurkan agar diupayakan
pengalaman belajar bahasa yang alami di sekolah, dan menghilangkan penilaian
structural, yang difokuskan pada pembentulan kesalahan bentuk bahasa (Freeman
dan Long, 1991:299).

1. Pengaruh Pembelajaran pada Urutan Pemerolehan Bahasa


Hasil penelitian terhadap murid-murid Italia berumur antara 7-9 tahun
yang belajar bahasa Jerman menunjukkan bahwa para murid hanya dapat
belajar dari pembelajaran bahasa kedua jika mereka “siap” secara
psikolinguistik. Demikian juga hasil penelitian-penelitian terhadap pembelajar
bahasa Inggris sebagai bahasa kedua (Prinemann, 1984; Lightborn, 1983;
lewat Freeman dan Long, 1991).
Apabila kita menganalogikan hasil penelitian tersebut dengan
pembelajaran bahaa Indonesia sebagai bahasa kedua, maka untuk belajar
bahasa Indonesia dengan baik, anak-anak hendaknya juga memiliki kesiapan
psikolinguistik. Untuk dapat memiliki kesiapan psikolinguistik, anak-anak
hendaknya memperoleh kesempatan untuk paling tidak mendengar
penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan keluarganya.
2. Pengaruh Pembelajaran pada Proses Pemerolehan Bahasa
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wode (1981), Felix (1981), dan
Felix dan Simmet (1981) menunjukkan bahwa ada kesamaan yang terjadi
secara alami. Penelitian lain yang hasilnya memberikan sugesti dengan
dorongan pada guru-guru ialah yang dilaksanakan oleh Pica (1982).
Pica membedakan tiga konteks pemerolehan bahasa, yaitu: alami,
konteks pembelajaran, dan campuran. Yang terakhir ini ialah kelompok yang
memperoleh pembelajaran bahasa kedua di kelas juga secara alami
berhadapan dengan lingkungan yang menggunakan bahasa kedua yang

16
dipelajari. Hasilnya mendukung hasil penelitian sebelumnya, yakni
menunjukkan adanya korelasi yang tinggi antara morfem oleh pembelajar
bahasa kedua dalam ketiga konteks tersebut. Pica menyimpulkan bahwa
pembelajaran bahasa kedua di sekolah mempunyai pengaruh yang terbesar
dalam pemerolehan bahasa (Freeman dan Long, 1991: 309).
Selanjutnya dengan menganalisis kesalahan yang dilakukan ketiga
kelompok tersebut, pica menemukan bahwa kelompok pembelajar yang tidak
pernah menerima pembelajaran secara formal disekolah cenderung
menghilangkan morfem, misalnya morfem /-ing/ dan /-s/.
Manfaat yang dapat ditarik dari hasil penelitian tersebut dalam
pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah, khususnya bagi anak-anak di kelas
rendah ialah perlu diingat jangan sampai pembelajaran bahasa Indonesia di
sekolah menekankan pada penggunaan kaidah semata. Pemerolehan bahasa
yang mendekati pemerolehan bahasa yang alami perlu diusahakan. Caranya
dengan menggunakan konteks-konteks berbahasa yang sebenarnya, yang dekat
dengan kehidupan anak. Misalnya saja dimunculkan topic-topik “menjaga
adik”, “membantu ayah dan ibu”, “mengatur peralatan belajar”, dan
sebagainya.
3. Pengaruh Pembelajaran pada Kecepatan Pemerolehan Bahasa
Long (1983) lewat Freeman dan Long (1991) mengkaji sebelas hasil
penelitian tentang capaian belajar bahasa kedua, yang menggunakan tiga
kelompok belajar yaitu yang memperoleh pembelajaran saja, yang
memperoleh pembelajaran dan juga berada dalam lingkungan yang
menggunaka bahasa yang dipelajari, dan yang memperoleh bahasa secara
alami tanpa pembelajaran di sekolah. Ia menemukan, enam penelitian
menunjukkan bahwa anak-anak yang menerima pembelajaran bahasa di
sekolah mengalami perkembangan pemerolehan bahasa lebih cepat.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemerolehan bahasa adalah proses-proses yang berlaku di dalam otak seorang
anak ketika memperoleh bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa anak dimulai dari
lingkungannya terutama lingkungan keluarga, ini disebut pemerolehan bahasa
pertama yang terjadi dalam kehidupan awal anak. Anak-anak dalam proses
pemerolehan bahasa pada umumnya menggunakan 4 strategi, yaitu imitasi,
produktivitas, umpan balik dan prinsip operasi. Sedangkan pemerolehan bahasa
kedua dimaknai saat seseorang memperoleh bahasa lain setelah terlebih dahulu ia
menguasai sampai batas tertentu bahasa ibu (bahasa pertama).
Setiap anak mempunyai language acquisition device (LAD), yaitu kemampuan
alamiah anak untuk berbahasa. Tahun-tahun awal masa anak-anak merupakan
periode yang penting untuk belajar bahasa. Jika pengenalan bahasa tidak terjadi
sebelum masa remaja, maka ketidakmampuan dalam menggunakan tata bahasa
yang baik akan dialami seumur hidup.

B. Saran
Sebagai calon pendidik, mahasiswa diharapkan benar-benar memahami materi
pemerolehan dan perkembangan bahasa anak. Karena materi ini akan memberikan
wawasan kepada mahasiswa tentan bagaimana sesungguhnya cara anak-anak
belajar bahasa dan sejak kapan anakanak mulai belajar bahasa. Pemahaman yang
baik mengenai hal itu, tentu akan memudahkan mahasiswa untuk menciptakan
suasana pembelajaran bahasa Indonesia yang sesuai dengan ssituasi, kebiasaan,
dan strategi belajar bahasa anak yan memungkinkannya menguasai bahasa dengan
baik dan benar.

18
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi


(1996/1997). Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Rendah: Jakarta:
GBPP
Madyawati, Lilis. 2016. Strategi Pengembangan Bahasa Pada Anak. Jakarta:
Prenadamedia Group
https://www.academia.edu/4797479/Pemerolehan_dan_Perkembangan_Bahasa_Anak
_Semester_I_A_Mata_Kuliah_Bahasa_Indonesia

19

Anda mungkin juga menyukai