Dokumen - Tips - Acara II Kamaboko
Dokumen - Tips - Acara II Kamaboko
A. Tujuan Praktikum
Acara II “Restrukturisasi Daging Ikan Untuk Pembuatan Kamaboko ini
bertujuan untuk mempelajari pengaruh jenis pati dan konsentrasi curldan terhadap
kualitas organoleptis kamaboko.
B. Tinjauan Pustaka
Ikan merupakan bahan pangan yang mudah sekali mengalami kerusakan
terutama dalam keadaan segar akan cepat sekali mengalami kerusakan sehingga
mutunya akan menjadi rendah. Kerusakan ini dapat terjadi secara biokemis
maupun secara mikrobiologis. Kerusakan biokemis disebabkan oleh adanya
enzim-enzim dan reaksi-reaksi biokemis yang masih berlangsung pada tubuh ikan
segar. Kerusakan mikrobiologis disebabkan oleh adanya pertumbuhan mikroba
yang ada dipermukaan maupun didalam tubuh ikan. Oleh karena itu perlu
dilakukan suatu upaya penanganan atau pengolahan ikan untuk menghindari
terjadinya kerugian. Salah satu upaya adalah mengolah ikan menjadi kamaboko
(Winarti dan Indah, 2006).
Ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh apabila kita lebih
memanfaatkan ikan sebagai sumber makanan daripada produk hewani lainnya,
yaitu:
1. Kandungan protein pada daging ikan cukup tinggi (20%) dan tersusun oleh
sejumlah asam amino yang berpola mendekati pola kebutuhan asam amino
didalam tubuh manusia.
2. Daging ikan relatif lunak karena hanya mengandung sedikit tenunan pengikat
(tendon) sehingga lebih mudah dicerna oleh tubuh.
3. Meskipun daging ikan mengandung lemak cukup tinggi (0,1 - 2,2 %), akan
tetapi karena 25% dari jumlah tersebut merupakan asam-asam lemak tak
jenuh yang sangat dibutuhkan manusia dan kadar kolesterol sangat rendah,
daging ikan tidak berbahaya bagi manusia, juga bagi orang-orang yang
kelebihan kolesterol (Afrianto dan Evi, 1989).
Surimi, yang merupakan daging ikan cincang yang telah dicuci dengan air,
kemudian dicampur dengan gula dan aditif lain seperti sorbitol, polyphosphaten
dan protectives (cryoprotectan) dan kemudian dibekukan, digambarkan sebagai
myofibrillar protein yang terkonsentrasi yang dibekukan dari daging ikan. Surimi
adalah produk yang dalam pengolahannya menggunakan ikan atau produk laut
sebagian besar disukai, harga rendah dan tidak memadai untuk dikonsumsi.
Surimi ini memiliki potensi besar sebagai sumber protein yang dapat digunakan
ketimbang protein hewani atau nabati. Surimi mungkin juga dapat digunakan
sebagai produk setengah jadi yang diolah dari makanan laut dibuat seperti
erublegs atau bagian-bagiannya. Secara ekonomis, sebagian besar dihasilkan dari
daging Alascan putih pollack (Theragra chalcoramma) (Kaba, 2006).
Orang Jepang mulai membuat surimi ratusan tahun lalu sebagai cara untuk
mengawetkan daging ikan. Sekarang ini, surimi adalah item makanan populer
tidak hanya di Jepang tetapi juga di banyak negara lain karena sifat unik tekstur
dan nilai gizi yang tinggi. Faktor prinsip yang menentukan kualitas surimi adalah
kesegaran ikan. Dengan demikian, penanganan ikan segar sangat penting, dan
ikan segar dan es disimpan ikan biasanya digunakan untuk produksi surimi.
Untuk mencegah kerusakan dan denaturasi protein myofibrial, penanganan yang
tepat pasca panen sangat penting. Pembekuan sering digunakan untuk
mengawetkan ikan selama periode waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan dari
tempat penangkapan menuju pabrik surimi (Santana, dkk, 2012).
Perubahan struktural dari protein dan air selama gelasi ikan surimi, telah
dipelajari oleh isotop H/D pertukaran air dan Spektroskopi Raman dibantu oleh
pemantauan karakteristik rheologi, dalam rangka untuk mendapatkan
pengetahuan terhadap sifat struktural dan fungsional gel surimi. Sebuah gambaran
umum dari interaksi protein-protein dan air-protein terlibat selama gelling
tersebut. Proses telah ditetapkan, dan sampai batas tertentu, urutan interaksi
molekul myosin (acto) memiliki telah digariskan. Interaksi ini sebagian besar
menggunakan protein terisolasi atau persiapan fragmen protein, suspensi sol di
konsentrasi protein yang relatif rendah atau, dengan melarutkan gel dan
menganalisa strukturnya. Secara umum, garam selain surimi, dengan tingkat
penggilingan yang cukup, merusak jembatan ion dalam protein, melarutkannya
dan mendestabilkan molekulnya (Gonzalez, 2012).
Kamaboko adalah makanan tradisional Jepang yang masih tetap digemari
sampai sekarang, berupa sejenis kue dari bahan ikan, tepatnya gel protein ikan,
yang bersifat elastis. Pada mulanya, kamaboko dibuat oleh para nelayan dengan
memanfaatkan ikan segar hasil tangkapannya sebagai bahan baku. Berdasarkan
jenis bumbu dan cara pengolahannya, kamaboko dapat dibuat dalam berbagai
bentuk, warna, dan cita rasa. Terdapat tiga jenis produk utama, yaitu sebagai
berikut:
a. Itatsuki kamaboko
Sering kali hanya disebut kamaboko. Itatsuki berwarna putih dengan tekstur
lembut,dicetak diatas sepotong kayu kecil dan dimasak dengan cara dikukus
atau dipanggang (oven).
b. Chikuwa
Adalah kue ikan yang dibentuk seperti tabung dan dimasak dengan cara
dipanggang (oven).
c. Satsumaage
Adalah kue ikan yang dibuat dalam berbagai macam bentuk, seperti bola,
kotak, silinder, atau lempengan sirkel, dan diolah dengan cara digoreng
(Suprapti, 2006).
Menurut Okada (1973) dalam Prawira (2008), kamaboko merupakan
kue ikan yang sifatnya elastis, terbuat dari daging ikan giling sebagai bahan
utama yang ditambahkan bahan-bahan tambahan seperti pati, gula, garam dan
natrium glutamat kemudian dimasak dengan pengukusan, pemanggangan,
perebusan ataupun penggorengan. Namun dengan perkembangan teknologi,
kamaboko saat ini menggunakan surimi sebagai bahan mentahnya.
Atribut mutu yang penting dari kamaboko adalah sifat teksturnya yang
elastis (ashi). Faktor-faktor yang mempengaruhi ashi kamaboko diantaranya
adalah jenis ikan dan bahan-bahan tambahan yang digunakan dalam
pembuatan kamaboko. Biasanya dalam pembuatan kamaboko digunakan
surimi dari jenis ikan berdaging putih dan berprotein tinggi, sedangkan bahan
tambahan (pengisi) yang sering digunakan adalah pati. Pati kentang, terigu
dan jagung merupakan pati yang sering digunakan untuk memperkuat ashi
dalam pembuatan kamaboko (Prawira, 2008).
Widrial (2005) dalam Wellyalina (2011), mengatakan bahwa bahan
pengikat dapat berupa tepung terigu, tepung tapioka, dan tepung maizena.
Menurut Tanoto (1994), produk nuget ikan tenggiri yang memiliki elastisitas
baik adalah produk dengan bahan pengikat tepung maizena karena lebih
rendah mengandung kadar lemak dari tepung lainnya sehingga tidak cepat
menimbulkan ketengikan pada hasil olahan produk, selain itu tepung maizena
sangat baik untuk produk-produk emulsi karena mampu mengikat air dan
menahan air tersebut selama pemasakan. Produk pangan yang menggunakan
tepung maizena lebih renyah dibandingkan tepung lainnya (Wellyalina, 2011).
Tepung tapioka (kanji) dibuat secara langsung dari singkong segar.
Pada proses pembuatan tepung tapioka, tersisa limbah yang masih dapat
dimanfaatkan yaitu ampas singkong hasil ekstraksi meskipun hanya sedikit.
Ampas tersebut dapat diproses menjadi tepung singkong/kasava. Tepung
tapioka adalah pati dari umbi singkong yang dikeringkan dan dihaluskan.
Tepung tapioka merupakan produk awetan singkong yang memiliki peluang
pasar yang sangat luas. Singkong yang telah diolah menjadi tepung tapioka
dapat bertahan selama 1-2 tahun dalam penyimpanan (apabila dikemas dengan
baik). Perlakuan selama proses produksi menyebabkan kadar HCN (asam
sianida) turun drastis mencapai ambang batas aman bagi konsumen.
Tepung tapioka sebagai produk awetan singkong merupakan
komoditas ekspor andalan sejak perang dunia II. Namun, kemudian semakin
merosot karena kualitas yang tidak memenuhi persyaratan yang berlaku.
Beberapa hal yang merupakan dasar penentuan kualitas tepung tapioka adalah
tingkat (derajat) keputihan, tingkat kehalusan (mesh), kadar air tersisa dan
kandungan unsur-unsur berbahaya (Suprapti, 2005).
Tepung (filler) berfungsi untuk mengisi adonan atau membentuk
adonan. Tepung juga berfungsi sebagai penahan air sehingga air tidak mudah
lepas. Sedangkan bubuk pengenyal berfungsi membentuk adonan menjadi
kenyal dan kompak, fosfat yang berfungsi sebagai pengikat air, tepung pati
yang membantu agar adonan kompak tidak mudah mengerut, serta bahan
pengawet yang aman untuk dikonsumsi (Yuyun, 2010).
C. Metodologi
1. Alat
a. Baskom
b. Timbangan
c. Sendok
d. Panci
e. Alumunium foil
f. Oven
2. Bahan
a. Daging ikan tenggiri
b. Tepung tapioka
c. Tepung maizena
d. Nutrijell
e. STTP
f. Putih telur (albumin)
3. Cara Kerja
Tabel 2.3 ANOVA Homogeneous Subsets (Post Hoc Tests) Parameter Warna
warna
Duncana
Subset for alpha = 0.05
Sampel N 1 2 3 4 5
328 25 1.28
258 25 1.76
647 25 1.80 1.80
163 25 1.84 1.84 1.84
274 25 2.04 2.04 2.04 2.04
383 25 2.12 2.12 2.12
435 25 2.16 2.16
512 25 2.20
Sig. 1.000 .096 .056 .056 .347
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000.
Duncana
Subset for alpha = 0.05
sampel N 1 2
274 25 1.64
383 25 1.92 1.92
163 25 2.00 2.00
435 25 2.00 2.00
258 25 2.16
328 25 2.16
512 25 2.24
647 25 2.24
Sig. .072 .134
Duncana
Subset for alpha = 0.05
sampel N 1 2
274 25 1.64
383 25 1.92 1.92
163 25 2.00 2.00
435 25 2.00 2.00
258 25 2.16
328 25 2.16
512 25 2.24
647 25 2.24
Sig. .072 .134
Tabel 2.9 ANOVA Homogeneous Subsets (Post Hoc Tests) Parameter Aroma
aroma
Duncana
Subset for alpha = 0.05
Sampel N 1
328 25 1.48
512 25 1.48
274 25 1.64
163 25 1.76
383 25 1.76
435 25 1.80
258 25 1.88
647 25 2.00
Sig. .051
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000.
Tabel 2.12 ANOVA Homogeneous Subsets (Post Hoc Tests) Parameter Tekstur
tekstur
Duncana
Subset for alpha = 0.05
Sampel N 1 2
435 25 1.32
163 25 1.40
258 25 1.40
328 25 1.48
512 25 1.52
274 25 1.64
383 25 1.76 1.76
647 25 2.20
Sig. .115 .066
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000.
Tabel 2.15 ANOVA Homogeneous Subsets (Post Hoc Tests) Parameter Overall
overall
Duncana
Subset for alpha = 0.05
sampel N 1 2
274 25 1.88
383 25 1.92
435 25 1.92
328 25 2.08 2.08
258 25 2.16 2.16
512 25 2.28 2.28
163 25 2.32 2.32
647 25 2.60
Sig. .131 .062
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000.
E. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, Eddy dan Evi, Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Gonzalez, Ignacio Sanchez., dkk. 2012. Protein And Water Structural Changes In
Fish Surimi During Gelation As Revealed By Isotopic H/D Exchange And
Raman Spectroscopy. Instituto del Frı´o-CSIC, c/Jose´ Antonio Novais 10,
28040 Madrid, Spain.
Kaba, Nilgiin. 2006. The Determination of Technology & Storage Period of Surimi
Production from Anchovy (Engraulis encrasicholus L., 1758). Turkish Journal
of Fisheries and Aquatic Sciences 6: 29-35 (2006).
Prawira, Aditya. 2008. Pengaruh Penambahan Tepung Alginat (Na-
Alginat)Terhadap Mutu Kamaboko Berbahan Dasar Surimi Ikan Gabus
(Channa striata). Skripsi Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Fakultas
Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Santana, P., dkk. 2012. Technology For Production Of Surimi Powder And Potential
Of Applications. International Food Research Journal 19(4): 1313-1323
(2012).
Suprapti, Lies. M. 2005. Tepung Tapioka Pembuatan dan Pemanfaatannya. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta.
Suprapti, M. Lies. 2006. Produk-Produk Olahan Ikan. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.
Wellyalina. 2011. Pengaruh Perbandingan Tetelan Merah Tuna Dan Tepung
Maizena Terhadap Mutu Nuget. Skripsi Program Studi Teknologi Hasil
Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas Padang.
Winarti, Sri dan Indah, Asriningrum. 2006. Proses Pembuatan Kamaboko Ikan
Mujair (Tilapia mossambica) dengan Penambahan Garam dan Tepung
Tapioka. Department of Food Technology, FTI, UPN.
Yuyun, A. 2010. Panduan Wirausaha Membuat Aneka Bakso. Penerbit Agromedia.
Jakarta Selatan.