Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Diseksi aorta adalah sebuah kondisi dimana terjadi robekan pada tunica intima aorta
yang mengakibatkan darah mengalir ke dalam dinding aorta. Robekan tersebut menyebabkan
nyeri yang hebat dan juga bila tidak ditangani dapat mengakibatkan ruptur aorta dan juga
kematian.

Data epidemiologi menunjukkan diseksi aorta merupakan sebuah penyakit yang


relatif langka dengan angka kejadian sekitar 3 – 4 kasus setiap 100.000 penduduk setiap
tahunnya. Meskipun tergolong cukup langka, diseksi aorta yang tidak segera ditangani
dengan tepat memiliki tingkat mortalitas yang tinggi. Sebenarnya pasien yang mendapatkan
penanganan yang cepat dan tepat dapat menurunkan mortalitas secara signifikan.
Keterlambatan dan ketidaktepatan diagnosis seringkali terjadi sehingga menyebabkan pasien
meninggal.

Keterlambatan dan ketidaktepatan diagnosis seringkali terjadi karena gambaran klinis


pasien yang dapat menyerupai sindrom coroner akut atau masalah lain pada paru. Atas
pertimbangan tersebut, referat ini dibuat dengan tujuan untuk dapat membantu tenaga
kesehatan dalam mengenali dan menangani diseksi aorta dengan baik.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi1

Diseksi aorta dapat didefinisikan sebagai robekan pada tunica intima sehingga
menyebabkan darah mengalir masuk ke dalam dinding aorta. Diseksi aorta merupakan
sebuah bagian dari spektrum yang dinamakan acute aortic syndrome.

2.2. Epidemiologi

Menurut sebuah penelitian diperkirakan kejadian diseksi aorta sekitar 3 – 4


kasus untuk setiap 100.000 penduduk setiap tahunnya2. Angka ini diperkirakan lebih
rendah dari yang sebenarnya dikarenakan kesulitan daripada diagnosis diseksi aorta2.
Sebuah penelitian lain menemukan angka yang serupa yaitu 5 – 30 kasus setiap 1 juta
penduduk1. Tingkat kematian diseksi aorta cukup tinggi yaitu ditemukan lebih dari
50% pasien meninggal dalam waktu 30 hari3. Sebuah penelitian lain menemukan
tingkat kematian yang lebih tinggi terutama pada diseksi aorta tipe A. 50% pasien
dengan diseksi aorta tipe A memiliki kemungkinan meninggal pada hari ketiga dan
hampir 80% meninggal pada akhir minggu kedua4. Pada diseksi aorta tipe B angka
kematiannya lebih rendah namun tetap signifikan yaitu 10 – 70% pada hari ke-304.
Angka epidemiologi mengenai diseksi aorta di Indonesia sejauh ini masih belum ada,
kemungkinan dikarenakan kelangkaan penyakit ini.

Salah satu penyebab tingginya mortalitas dari penyakit ini adalah


keterlambatan diagnosis. Diseksi aorta adalah kondisi yang membutuhkan
penanganan bedah segera sehingga kecepatan dan ketepatan diagnosis sangatlah
penting. Sebuah penelitian menemukan tingkat kesalahan diagnosis awal mencapai
35% dan bagi mereka yang terdiagnosis dengan tepat, terdapat keterlambatan rata-
rata selama 4.3 jam5. Beberapa penyebab dari keterlambatan dan ketidaktepatan
diagnosis adalah manifestasi klinis pasien yang atipikal sehingga menyerupai sindrom
koroner akut atau masalah pada paru5.
2.3. Anatomi aorta6,7

Gambar 1. Anatomi Aorta

Secara umum, aorta dimulai dari bagian atas ventrikel kiri dengan diameter
sekitar 3cm dan kemudian naik (ascending) lalu melengkung (arch) ke arah posterior
dan lateral dan kemudian tepat pada pangkal paru kiri turun (descending) pada sisi
kiri lateral kolumna vertebralis. Aorta kemudian masuk ke rongga abdomen melalui
hiatus diafragmatikus dan berakhir pada tingkat L4. Aorta secara garis besar dapat
dibagi menjadi aorta ascenden, arcus aorta, dan aorta descenden.

2.3.1. Aorta Ascenden


Aorta ascenden memiliki panjang sekitar 5 cm, menyusun bagian atas dari
basis ventrikel kiri, setinggi batas bawah kartilago kosta ke-3 di belakang kiri
pertengahan sternum; aorta melintas ke atas secara oblik, ke depan, dan ke kanan,
searah aksis jantung, setinggi batas atas dari kartilago kosta ke-2. Pada pangkal
asalnya, berlawanan dengan segmen valvula aortikus, terdapat tiga dilatasi kecil
disebut sinus aortikus. Saat pertemuan aorta ascenden dengan arcus aorta kaliber
pembuluh darah meningkat, karena bulging dinding kanannya. Segmen dilatasi ini
disebut bulbus aortikus, dan pada potongan transversal menunjukkan bentuk yang
oval. Aorta ascenden terdapat dalam perikardium.

Gambar 2. Sinus Aorta

Aorta ascenden dilindungi oleh trunkus arteria pulmonalis dan aurikula


dekstra dan lebih tinggi lagi terpisah dari sternum oleh perikardium, pleura kanan,
margo anterior dari pulmo dekstra, jaringan ikat longgar, dan sisa dari jaringan timus;
di posterior aorta bersandar pada atrium sinistra dan arteri pulmonaris dekstra. Pada
sisi kanan, aorta berdekatan dengan vena cava superior dan atrium dekstra; pada sisi
kiri dengan arteri pulmonaris.

Aorta ascenden hanya memiliki satu cabang yaitu arteri coroner yang
menyalurkan darah ke jantung. Percabangan ini terdapat tepat di atas pangkal valvular
semilunaris.

2.3.2. Arcus Aorta


Gambar 3. Arcus aorta

Arcus aorta dimulai setinggi batas atas artikulasi sternokostalis ke-2 pada sisi
kanannya, dan berjalan ke atas, ke belakang, dan ke kiri di depan trachea; kemudian
mengarah ke belakang pada sisi kiri trachea dan akhirnya turun lewat sisi kiri tubuh
pada setinggi vertebra thoracic ke-4 berlanjut menjadi aorta descenden. Sehingga
terbentuk dua kurvatura: aorta yang melengkung ke atas serta yang melengkung ke
depan dan ke kiri. Batas atasnya kira-kira 2,5 cm di bawah batas superior manubrium
sterni.

Arcus aorta dilindungi oleh pleura di anterior dan margo anterior dari pulmo.
Saat pembuluh melintas ke belakang sisi kirinya bersentuhan dengan pulmo sinistra
dan pleura. Melintas ke bawah pada sisi kiri bagian tersebut pada arcus terdapat 4
nervus: nervus frenikus sinistra, kardiakus superior cabang nervus vagus sinistra,
cabang nervus kardiakus superior dari trunkus simpatikus sinistra, dan trunkus vagus
sinistra. Saat nervus terakhir tadi melintasi arcus ia memberikan cabang rekuren, yang
melingkar di bawah pembuluh dan melintas ke atas pada sisi kanan. Vena interkostalis
melintas oblik ke atas dan ke depan pada sisi kiri arcus, di antara nervus frenikus dan
vagus. Pada sisi kanan terdapat pleksus kardiakus profunda, nervus rekuren sinistra,
esofagus, dan duktus torasikus; trachea berada di belakang kanan dari pembuluh. Di
atas adalah arteri brakiosefalika, karotis komunis sinistra, dan arteri subklavia sinistra,
yang muncul dari lengkungan arcus dan bersilangan berdekatan di pangkalnya dengan
vena inominata sinistra. Di bawah adalah bifurkasio arteri pulmonalis, bronkus
sinistra, ligamentum arteriosum, bagian superfisial dari pleksus kardiakus, dan nervus
rekuren sinistra. Ligamentum arteriosum menghubungkan arteri pulmonari sinistra
dengan arcus aorta

Arcus aorta memiliki 3 cabang yaitu arteri brakiosefalika, karotis komunis


sinistra, dan subklavia sinistra. Arteri brakiosefalika kemudian bercabang menjadi
arteri karotis komunis dextra dan subklavia dextra.

2.3.3. Aorta descenden

Aorta descenden dibagi menjadi dua bagian sesuai dengan rongga tubuh yang
dilewatinya. Kedua bagian tersebut adalah aorta thoracalis dan abdominalis

Gambar 4. Aorta thoracalis

Aorta thoracalis terdapat dalam cavum mediatinum posterior. Dimulai pada


batas bawah dari vertebra thoracic ke IV yang merupakan lanjutan dari arcus aorta,
dan berakhir di depan batas bawah dari vertebra thoracic ke XII pada hiatus aorticus
diafragma. Dalam perjalanannya ia terdapat di sisi kiri kolumna vertebralis; ia
mendekati garis tengah saat turun; dan, saat terminasinya berada tepat di depan
kolumna vertebralis.

Aorta thoracalis memiliki banyak cabang yaitu:

 Cabang pericardial
Terdiri dari pembuluh darah kecil yang terdistribusi pada permukaan posterior
pericardium.
 Arteri bronchialis
Terdapat satu arteri bronchialis dextra berasal dari aorta intercostalis pertama
dan terdapat dua arteri bronchialis sinistra yang berasal dari aorta thoracalis.
Bagian superior arteri bronchialis sinistra muncul berlawanan dengan vertebra
thoracic ke V, bagian inferior terdapat tepat dibawah bronchus sinistra. Tiap-
tiap pembuluh berjalan di bagian belakang masing-masing bronchus,
bercabang disepanjang tube bronchus, memvaskularisasinya. Juga pada
jaringan jaringan longgar pulmo, limfonodi bronchialis, dan esophagus.
 Arteri esofageal
Terdapat empat atau lima arteri esofageal yang berasal dari bagian depan aorta,
dan turun oblik ke bawah menuju esophagus, membentuk rantai anastomosis
sepanjang esofagus dan beranastomosis juga dibagian atas dengan cabang
esophageal dari arteri thyroidea inferior dan dibagian bawah dengan arteri
phrenica inferior sinistra dan arteri gastrica inferior.
 Cabang mediastinal
Cabang mediastinal terdiri dari sejumlah pembuluh darah kecil yang
menyalurkan darah untuk kelenjar getah bening dan jaringan ikat longgar pada
mediastinum posterior.
 Arteri interkostalis
Terdapat sembilan pasang arteri interkostalis aorta yang berasal dari bagian

belakang aorta. Arteri interkostalis dekstra lebih panjang dibanding yang

sinistra sesuai dengan posisi aorta yang berada di sebelah kiri vertebra. Tiap

arteri dibagi menjadi cabang anterior dan posterior.

 Arteri subkostalis
Arteri ini berada di bawah tulang iga terakhir. Masing-masingnya melintasi
batas bawah dari costae XII dibelakang ginjal dan didepan m. Quadratus
lumborum, ditemani dengan nervus thoracicus XII, kemudian bergabung
dengan aponeurosis posterior dari m. Transversus abdominis, dan melintas
didepan otot tersebut dan m. Obliquus internus. Arteri ini beranastomosis
dengan arteri epigastrica superior, intercostalis inferior, dan lumbalis. Tiap
arteri subcostalis memberi cabang posterior yang mirip distribusinya dengan
ramus posterior arteri intercostalis.
 Cabang phrenicus superior
Merupakan pembuluh kecil yang berasal dari bagian bawah aorta thoracica;
terdistribusi ke bagian posterior dari permukaan atas diafragma, dan
beranastomosis dengan arteri musculophrenicus dan pericardiophrenicus.

Gambar 5. Aorta abdominalis


Aorta abdominalis dimulai pada hiatus aortikus diafragma, di depan batas
bawah dari korpus vertebrae thoracic terakhir dan turun didepan kolumna vertebralis,
berakhir pada korpus vertebra lumbalis ke IV, sedikit ke kiri dari garis tengah tubuh,
kemudian terbagi menjadi dua arteri iliaca comunis. Aorta semakin berkurang
ukurannya dengan semakin banyak ia mempercabangkan pembuluh darah.

Sama seperti aorta thoracalis, aorta abdominalis memiliki banyak cabang yang
dibagi ke dalam tiga cabang besar yaitu cabang visceral, parietal, dan terminal.

Cabang visceral kemudian dibagi menjadi:

 Arteri celiaca
Arteri ini mempercabangkan tiga cabang besar yaitu arteri gastrica sinistra,
hepatica, dan splenica.
 Arteri mesenterika superior
Arteri ini mempercabangkan arteri pancreaticoduodenalis inferior, intestinalis,
ileocolica, dan colica dextra.
 Arteri mesenterika inferior
Arteri ini mempercabangkan arteri colica sinistra, sigmoidea, dan
hemorrhoidalis superior.
 Arteri suprarenalis media
Arteri ini merupakan dua pembuluh darah kecil yang melewati bagian lateral
dan sedikit keatas, melintasi crura diafragmatika, ke glandula suprarenalis,
dimana kemudian beranastomosis dengan cabang suprarenal dari arteri
phrenica inferior dan arteri renalis.
 Arteri renalis
Arteri ini adalah dua pembuluh besar, yang muncul dari tiap sisi aorta, tepat

dibawah arteri mesenterika superior. Tiap-tiapnya melintasi crus diafragma,

sehinga membentuk sudut hampir tegak lurus dengan aorta. Sisi kanan lebih

panjang daripada sisi kiri dan sisi kiri lebih tinggi daripada sisi kanan. Sebelum

mencapai hilus renalis, tiap arteri bercabang menjadi empat atau lima cabang

kecil. Tiap arteri juga mempercabangkan suprarenalis superior.


 Arteri spermatika internus
Arteri ini panjang berasal dari aorta bagian depan sedikit dibawah arteri
renalis. Tiap-tiapnya melintas turun oblik dan lateral dibelakang peritoneum,
bersandar pada m. Psoas major. Tiap-tiapnya menyilang oblik diatas ureter
dan bagian bawah arteri iliaca eksternus untuk mencapai anulus inguinalis,
kemudian melewatinya dan merupakan salah satu penyusun corda spermatica
disepanjang canalis inguinalis menuju skrotum. Ia memvaskularisasi ductus
deferens, epididimys, bagian belakang tunica albuginea, testis, ureter, dan m.
Cremaster.
 Arteri ovaria
Arteri pada wanita yang serupa dengan arteri spermatica internus pada pria,
memvaskularisasi ovarium. Asal dan jalurnya sama dengan arteri spermatica
interna.
Cabang parietal dibagi menjadi:
 Arteri phrenica inferior
Dua arteri kecil yang memvaskularisasi diafragma. . Ia dapat berasal terpisah
dari bagian depan aorta, terkadang salah satunya berasal dari aorta dan yang
lain dari arteri renalis; tetapi jarang muncul terpisah dari aorta. Mendekati
bagian belakang tendo central diafragma tiap pembuluh terbagi menjadi
cabang medial dan lateral. Cabang medial melintas kedepan dan
beranastomosis dengan sesamanya disisi yang berlawanan, dan dengan arteri
musculophrenicus dan pericardiophrenicus. Cabang lateral melintas pada sisi
thorax, dan beranastomosis dengan arteri intercostalis bawah, dan dengan
arteri musculophrenicus, ia juga memberi cabang ke vena cava inferior dan
esophagus. Tiap-tiap pembuluh subcostal memberi cabang suprarenalis
superior menuju kelenjar suprarenal. Spleen dan liver juga menerima beberapa
cabangnya.
 Arteri lumbalis
Merupakan satu seri dengan arteri interkostalis. Mereka biasanya berjumlah

empat pada tiap sisi, dan berasaldari bagian belakang aorta, berlawanan

dengan vertebra lumbalis ke IV. Kadang juga terdapa tpasangan ke V yang

berukuran kecil yang berasal dari arteri sacralis media. Mereka beranastomosis
dengan arteri intercostalis inferior, subcostalis, iliolumbalis, iliaca circumflexi

profunda, dan epigastrica inferior. Cabang-cabang—pada sela antara

processus transversus tiap arteri lumbalis mempercabangkan ramus posterior

yang terdistribusi ke otot dan kulit punggung, ia kemudian menjadi cabang

spinal yang memasuki canalis vertebralis dan terdistribusi sama dengan

cabang spinal ramus posterior arteri intercostalis. Cabang muscular dibentuk

dari tiap arteri lumbalis dan dari ramus posterior dari otot tetangganya.

 Arteri sacralis media


Pembuluh darah kecil, yang muncul dari belakang aorta, sedikit diatas
bifurcatio. Ia turun pada garis tengah didepan vertebra lumbalis ke IV dan V,
sacrum dan coccyx, dan berakhir pada glomus coccygeum (coccygeal gland).
Dari situ ia melintas ke permukaan belakang rectum.

2.4. Histologi aorta6,7

Gambar 6. Histologi aorta


Aorta terdiri dari tunica intima, media, dan adventisia. Intima adalah lapisan paling
dalam, tipis, rumit, dan dilapisi endotel yang mudah cedera. Lapisan media
bertanggung jawab dalam menjaga kekuatan dan ketahanan aorta karena tersusun dari
lapisan menyilang jaringan elastik. Komposisi ini memungkinkan aorta memiliki daya
regang. Lapisan media juga memiliki sangat sedikit otot polos dan kolagen diantara
lapisan elastik sehingga memberi keuntung dalam meningkatkan daya regang dan
elastisitas. Hal ini berbeda dengan arteri perifer yang memiliki lebih banyak otot polos
dan kolagen diantara lapisan elastik. Lapisan terluar adalah adventisia yang tersusun
dari kolagen. Vasa vasorum yang mensuplai darah ke lapiran luar dinding aorta berada
di lapisan adventisia. Nervus vaskularis juga berada di adventisia sehingga pada
peregangan akut dinding aorta seperti pada keadaan diseksi aorta akan menyebabkan
nyeri bagi pasien.

2.5. Etiologi dan faktor risiko

Penyebab dari diseksi aorta adalah adanya sobekan pada tunica intima yang
menyebabkan darah masuk ke dalam dinding aorta4. Sobekan ini disebut sebagai entry
tear dan pathognomonic untuk diseksi aorta4. Hal ini dapat disebabkan oleh dinding
aorta yang lemah sehingga rentan sobek ketika dihadapkan dengan tekanan darah
yang tinggi4.

Faktor risiko dari diseksi aorta ada yang bersifat congenital dan acquired.
Kelainan kongenital yang paling sering berhubungan dengan diseksi aorta adalah
Sindrom Marfan4. Selain daripada kelainan kongenital tersebut, kelainan lain seperti
Sindrom Ehlers-Danlos, Sindrom Turner, stenosis aorta kongenital, dan katup aorta
bicuspid8. Beberapa faktor risiko acquired adalah hipertensi tidak terkontrol, infeksi
sifilis, dan riwayat operasi jantung sebelumnya, terutama yang menyangkut katup
aorta4. Usia tua di atas 60 dan jenis kelamin laki-laki juga merupakan faktor risiko
dari diseksi aorta4.

2.6. Patofisiologi4,9

Seperti telah disebutkan sebelumnya, diseksi aorta terjadi akibat adanya


sobekan pada tunica intima dan menyebabkan darah menglair masuk ke dalam
dinding aorta. Sobekan ini disebut dengan entry tear. Lokasi sobekan hampir selalu
terdapat pada bagian proksimal dari aorta thoracalis namun sobekan sekunder atau re-
entry tears dapat terjadi pada bagian distal aorta thoracalis atau bahkan aorta
abdominalis. Lebih spesifik, entry tear paling sering terjadi 10cm dari katup aorta
diikuti dengan sebelah distal dari arteri subklavia sinistra, dan terakhir pada arcus
aorta. Proses ini menyebabkan terbentuknya saluran kedua yang disebut dengan false
lumen (FL). Seiring dengan perjalanan penyakit, FL menyebar ke bagian distal secara
spiral atau tegak lurus. FL juga dapat menyebar ke bagian proksimal sampai ke katup
aorta. TL dilapisi oleh tunica intima sedangkan FL terdapat di dalam media.

Sobekan ini menimbulkan nyeri pada pasien karena pada tunica adventisia
terdapat nervus vaskularis. Seringkali, saluran normal atau yang disebut dengan true
lumen (TL) tertekan oleh FL dan menyebabkan terhambatnya aliran darah ke bagian
proksimal hingga menyebabkan iskemia jaringan yang diperdarahi (aortic
insufficiency). Diseksi aorta juga dapat menutup ostia coronaria sehingga
menyebabkan infark miokardium. Komplikasi paling ditakutkan dari diseksi aorta
adalah tersobeknya aorta secara keseluruhan sehingga terjadi hemopericardium dan
cardiac tamponade.

Diseksi aorta sebenarnya adalah bagian dari sebuah spektrum yang dinamakan
acute aortic syndrome (AAS). Selain dari diseksi aorta, terdapat 2 kondisi lain dalam
sindrom ini yaitu hematoma intramural dan penetrating aortic ulcer. Hematoma
intramural terjadi akibat adanya ruptur dari vasa vasorum yang mengakibatkan
pendarahan pada tunica intima. Intramural hematoma dipikirkan adalah awal dari
diseksi aorta dan pada 20% kasus intramural hematoma ditemukan berkembang
menjadi diseksi aorta. Pada penetrating aortic ulcer terdapat sobekan pada atheroma
di dinding aorta yang menembus tunica media. Hal ini menyebabkan perdarahan ke
dalam tunica media.

Gambar 7. Acute aortic syndrome


2.7. Klasifikasi4,9

Klasifikasi yang sering digunakan membagi diseksi aorta secara anatomis.


Terdapat dua sistem klasifikasi yang sering digunakan yaitu klasifikasi DeBakey dan
klasifikasi Stanford.

Klasifikasi DeBakey
Tipe I Ascending and descending thoracic aorta
Tipe II Only ascending thoracic aorta
Tipe IIIa Only descending aorta
Tipe IIIb Descending aorta and abdominal aorta
Klasifikasi Stanford
Tipe A Ascending aorta with/without descendent
aorta
Tipe B Descendent aorta only
Tabel 1. Klasifikasi diseksi aorta

Gambar 8. Klasifikasi diseksi aorta


Klasifikasi DeBakey yang membagi menjadi IIIa dan IIIb sangat berguna dalam
menentukan prognosis setelah dilakukan tindakan pembedahan. Selain klasifikasi
DeBakey, klasifikasi Stanford juga cukup populer terutama di luar kalangan bedah.
Stanford tipe A sama dengan DeBakey tipe I dan II sedangkan Stanford tipe B sama
dengan DeBakey tipe IIIa dan IIIb. Hamper 75% dari seluruh kasus diseksi aorta
adalah Stanford tipe A.

2.8. Manifestasi klinis10

Manifestasi Klinis Presentase


 Nyeri dada 80%
 Nyeri punggung 70%
 Nyeri mendadak 85%

 Nyeri yang berpindah <15%

 Regurgitasi aorta 40-75%

 Tamponade jantung <20%


10-15%
 Infark miokard
15%
 Sinkope
<10%
 Koma

Tabel 2. Manifestasi klinis diseksi aorta akut

Beberapa manifestasi klinis dari diseksi aorta adalah:

 Nyeri dada/pungung
Nyeri dada adalah gejala yang paling sering pada AD akut. Onset mendadak
nyeri dada dan / atau nyeri punggung yang parah adalah fitur yang paling khas.
Rasa sakit dapat berupa tajam, merobek, seperti pisau, dan biasanya berbeda
dari penyebab lain dari nyeri dada; onset yang tiba-tiba adalah karakteristik
yang paling spesifik. Situs paling umum nyeri adalah dada (80%), sedangkan
nyeri punggung dan perut masing-masing dialami 40% dan 25% dari pasien.
Nyeri dada ke arah anterior lebih sering dikaitkan dengan Tipe A AD,
sedangkan pasien dengan diseksi tipe B lebih sering dengan rasa sakit di
bagian belakang atau perut. Presentasi klinis dari kedua jenis AD dapat sering
tumpang tindih. Rasa sakit dapat bermigrasi dari titik asal ke situs lain,
mengikuti alur diseksi yang meluas melalui aorta.
 Regurgitasi aorta
Regurgitasi aorta di AD meliputi pelebaran pangkal aorta dan anulus, robekan
anulus atau puncak katup , perpindahan ke bawah dari satu puncak ke bawah
garis penutupan katup, kehilangan tahanan puncak, dan gangguan fisik dalam
penutupan katup aorta oleh flap intima. Tamponade perikardial dapat diamati
pada <20% pasien dengan AD akut tipe A.
 Iskemia miokard
Iskemia miokard atau infark ditemukan pada 10-15% pasien dengan AD. Pada
kasus obstruksi koroner yang lengkap, EKG dapat menunjukkan elevasi
segmen ST. Selain itu, iskemia miokard dapat diperburuk oleh regurgitasi
aorta akut, hipertensi atau hipotensi, dan syok pada pasien dengan atau tanpa
adanya penyakit arteri koroner. Hal ini dapat menjelaskan pengamatan bahwa
sekitar 10% dari pasien yang dengan akut tipe B AD memiliki tanda-tanda
iskemia pada EK. Jika dinilai secara sistematis, peningkatan troponin dapat
ditemukan sampai dengan 25% dari pasien yang dirawat dengan Tipe A AD.
Baik peningkatan troponin dan kelainan EKG, yang dapat berfluktuasi dari
waktu ke waktu, dapat membuat dokter kesulitan untuk mendiagnosis sindrom
koroner akut dan keterlambatan diagnosa dan pengelolaan AD akut.
 Gagal jantung kongestif
Gagal jantung kongestif dalam keadaan AD umumnya berkaitan dengan
regurgitasi aorta. Meskipun lebih sering terjadi pada AD tipe A,gagal jantung
juga dapat ditemui pada pasien dengan AD Tipe B , hal ini menunjukkan
etiologi tambahan gagal jantung, seperti iskemia miokard, disfungsi diastolik
yang sudah ada, atau hipertensi yang tidak terkendali. Data register
menunjukkan bahwa komplikasi ini terjadi pada < 10% dari kasus AD.
 Efusi pleura
Efusi pleura luas yang dihasilkan dari perdarahan aorta yang menuju ke
mediastinum dan ruang pleura jarang terjadi karena biasanya pasien tidak
dapat bertahan hidup hingga tiba di rumah sakit. Efusi pleura kecil mungkin
dapat terdeteksi pada 15-20% pasien dengan AD, dengan pola perantara
distribusi hampir sama Tipe A dan Tipe B.
 Sinkop
Sinkop adalah gejala awal yang signifikan dari AD, terjadi sekitar 15% dari
pasien dengan AD tipe A dan di 5% dari mereka yang mengalami tipe B. Hal
ini terkait dengan peningkatan risiko kematian di rumah sakit karena seringkali
hal ini terkait dengan komplikasi yang mengancam jiwa, seperti tamponade
jantung atau diseksi pembuluh darah supra-aorta.
 Gagal ginjal
Gagal ginjal dapat terjadi saat serangan atau selama di rumah sakit yang
meningkat pada 20% pasien dengan AD akut tipe A dan sekitar 10% pada
pasien dengan AD tipe B. Hal ini mungkin hasil dari hipoperfusi ginjal atau
infark, faktor sekunder untuk keterlibatan arteri ginjal pada AD, atau mungkin
karena hipotensi berkepanjangan. Pengujian Serial kreatinin dan pemantauan
output urin diperlukan untuk deteksi dini kondisi ini.

2.9. Diagnosis10,11,12
Seperti pada umumnya, diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, perlu ditanyakan manifestasi
klinis dari diseksi aorta. Manifestasi klinis yang paling sering adalah nyeri dada
dan/atau punggung. Perlu ditanyakan onset dan karakteristik nyeri dimana pada
diseksi aorta nyeri bersifat akut dan terasa seperti ada sesuatu yang robek. Nyeri pada
diseksi aorta dapat terjadi pada dua tahap yaitu pada saat tunica intima mengalami
robekan dan pada saat terjadi ruptur aorta. Nyeri pada dada biasa terjadi pada Stanford
tipe A dan pada punggung biasa pada Stanford tipe B. Pasien yang datang dengan
nyeri dada akut dan memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol harus
meningkatkan kecurigaan terhadap diseksi aorta. Pada pemeriksaan fisik, biasa
ditemukan takikardi dan hipertensi. Bila pasien mengalami hipotensi, patut dicurigai
adanya ruptur aorta, tamponade jantung, regurgitasi aorta, dan infark miokardium
akut. Jika terjadi oklusi pada bagian aorta distal, pulsasi ekstremitas dapat hilang.
Murmur yang terdengar menandakan adanya regurgitasi aorta. Terakhir, pasien dapat
mengalami penurunan kesadaran karena menurunnya aliran darah ke otak.
Ketika dicurigai pasien mengalami diseksi aorta, dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang untuk memastikan diagnosis. Umunya, diagnosis diseksi aorta ditegakkan
melalui pencitraan. Modalitas pertama adalah foto rontgen thorax. Jika tidak
ditemukan abnormalitas, pasien dengan kondisi hemodinamik yang stabil dapat
menjalani pemeriksaan CT-SCAN atau MRI. Pada pasien dengan kondisi
hemodinamik yang buruk pilihan modalitasnya adalah ekokardiografi.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah:
 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, kimia darah, dan enzim jantung harus dilakukan
pada pasien dengan diseksi aorta. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat
ditemukan leukositosis yang menandakan sebuah kondisi stress. Penurunan
haemoglobin dan hematokrit menandakan adanya ruptur aorta dan harus
diwaspadai. Pada pemeriksaan kimia darah peningkatan blood urea nitrogen
dan kreatinin menandakan adanya gangguan pada arteri renalis. Peningkatan
enzim jantung menandakan adanya gangguan pada arteri coroner dan
menyebabkan iskemia miokardium. Pemeriksaan fibrin degradation product
(FDP) juga dapat membantu dalam menentukan patensi FL. Nilai FDP yang
lebih tinggi dari 12.6ug/mL menandakan lumen FL paten sedangkan nilai FDP
5.6ug/mL atau lebih tinggi dapat menandakan adanya thrombosis total pada
FL.
Salah satu pemeriksaan penunjang yang memiliki tingkat sensitivitas dan
spesifitas cukup tinggi adalah smooth-muscle myosin heavy-chain assay.
Peningkatan lebih dari 2.5 dalam 24 jam pertama memiliki tingkat sensitivitas
91% dan spesifisitas 98%.
 Foto rontgen
Gambar 9. Pelebaran mediastinum pada X-RAY Thorax AP
Walaupun tersedia dengan mudah dan umumnya berperan untuk evaluasi di
unit gawat darurat, foto thoraks mempunyai keterbatasan dalam
mengkonfirmasi suatu keadaan diseksi aorta, dengan sensitivitas dan
spesifitasnya masing-masing 64% dan 86%. Secara klasik ditemukan
pelebaran mediastinum atau adanya abnormalitas kontur aorta pada 75%
subjek dengan diseksi aorta. Jika dijumpai gambaran kalsifikasi pada aorta,
pemisahan jarak dari bagian yang mengalami kalsifikasi pada tunika intima ke
bagian terluar dari aorta lebih dari 1 cm yang disebut sebagai ‘calcium sign’
merupakan suatu gambaran sugestif walaupun bukan diagnosa pasti adanya
diseksi aorta.
Namun penting untuk diketahui 15% pasien-pasien diseksi aorta memberikan
gambaran foto thoraks yang normal. Petunjuk lain yang berkaitan dengan
adanya diseksi aorta ialah efusi perikard dan efusi pleura serta adanya deviasi
trakea keatas, namun temuan ini tidak spesifik. Oleh karena itu adanya
gambaran foto thoraks yang normal tidak serta merta menyingkirkan diagnosis
suatu sindroma akut aorta.
 CT scan

Gambar 10. Gambaran CT-SCAN pada diseksi aorta tipe A


Gambar 11. Gambaran CT-SCAN diseksi aorta tipe B
Generasi terbaru CT scan memberikan gambaran aorta yang sangat
baik pada sindroma aorta akut dengan sensitivitas lebih dari 95%. CT scan
juga berguna dalam memvisualisasikan panjang aorta dan percabangan
pembuluh darah yang terkait, ada tidaknya perdarahan pada rongga
perikardium, efusi pleura, ulkus aorta yang berpenetrasi dan hematom
intramural.
CT scan sering digunakan sebagai pencitraan lanjutan awal pada
kasus-kasus diseksi aorta. Keterbatasan CT scan terletak pada
ketidakmampuannya dalam memberi gambaran fungsi jantung dan katup
katup, zat kontras yang bersifat nefrotoksik, dan terbatas dalam
mengidentifikasi robekan tunika intima yang kecil.
CT scan dengan resolusi yang tinggi dikombinasikan dengan posisi
pengambilan gambar secara transversal memberikan akurasi yang tinggi
dalam evaluasi pembuluh darah dimana aorta sendiri terletak secara vertikal
dalam tubuh. Pada diseksi aorta, CT scan dapat membedakan lumen yang
sebenarnya dengan lumen yang palsu. Lumen yang sebenarnya biasanya kecil
dan karena kecepatan aliran darah lebih tinggi pada daerah ini dibandingkan
lumen palsu maka dijumpai gambaran penyangatan kontras pada CT scan
dengan kontras.
Pada pengambilan gambar secara potong lintang/cross sectional
lapisan yang mengalami diseksi membentuk sudut terhadap lapisan terluar dari
lumen yang salah membentuk gambaran seperti paruh burung “beak sign”.
 MRI

Gambar 12. Gambaran MRI pada diseksi aorta


Walaupun alat ini menawarkan resolusi gambar yang sangat baik dan
mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi, namun MRI tidak sering
digunakan sebagai studi pencitraan awal. Ketidakmampuan memonitor pasien
yang tidak stabil, ketersediaan alat yang terbatas dan tidak kompatibel dengan
alat-alat implan ataupun prostesis merupakan hal- hal yang menjelaskan
mengapa alat ini jarang digunakan. Alat ini idealnya digunakan pada pasien
stabil yang membutuhkan pencitraan lebih tinggi
 Ekokardiografi
Dengan menggunakan efek dopler, aliran darah dapat dinilai dan
dikarakteristikkan apakah aliran tersebut laminer atau turbulen, dimana arah
dan kecepatan aliran juga dapat dinilai. Walaupun kegunaannya untuk
mengevaluasi jantung dan aorta bagian proksimal, Transthoracic
echocardiography (TTE) dapat mengidentifikasi diseksi aorta pada segmen ini
dan memungkinkan klinisi secara cepat mengevaluasi komplikasi potensial
yang terjadi, seperti regurgitasi aorta, tamponade jantung dan gangguan fungsi
ventrikel kiri.
TTE dapat digunakan untuk skrining kejadian diseksi aorta pada
pasien- pasien yang datang dalam keadaan syok atau sinkop yang tidak
dijelaskan. Transesophageal echocardiography (TEE) memberikan gambaran
aorta yang sangat baik mulai dari pangkal sampai dengan distal dari aorta pars
descendens. Sebagai tambahan, adanya color flow doppler memugkinkan
penilaian aliran darah diseluruh aorta dan aliran darah antara lumen yang
sebenarnya dengan pseudolumen. Sensitivitas dan spesifitas TEE dalam
mendiagnosis diseksi aorta mencapai 99% dan 89%
 Elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG seringkali tidak dapat menunjang diagnosis.
Abnormalitas yang ditemukan pada EKG bersifat non-spesifik dan seringkali
justru normal. Abnormalitas pada EKG seringkali menyerupai kelainan pada
infark miokardium akut. Implikasi dari ini adalah penting untuk membedakan
diseksi aorta dengan infark miokardium akut karena penanganan thrombolytic
yang biasa diberikan pada infark akut justru berbahaya bagi pasien dengan
diseksi aorta.
2.10. Tatalaksana10,13
Semua pasien diseksi aorta sebaiknya dirawat pada ruang ICU. Terdapat dua
pilihan dalam penanganan diseksi aorta yaitu terapi farmakologis dan bedah.
Pemilihan terapi dapat dibantu menggunakan sistem klasifikasi DeBakey dan
Stanford. Untuk pasien dengan diseksi aorta ascendens (DeBakey tipe I dan II atau
Stanford tipe A) pilihan terapi adalah tindakan pembedahan segera. Untuk pasien
dengan DeBakey tipe III terapi pembedahan diindikasikan pada pasien dengan
komplikasi seperti:
 Peningkatan diameter aorta (propagation)
 Peningkatan ukuran hematoma
 Ruptur atau impending ruptur.
 Perdarahan ke dalam rongga pleura
 Gangguan berat pada cabang utama aorta
 Nyeri yang tidak membaik dengan terapi farmakologis
 Pembentukan aneurism saccular.
Kontraindikasi dari tindakan pembedahan adalah:
 Cerebrovascular accident
 Disfungsi berat ventrikel kiri
 Koagulopati
 Kehamilan
 Riwayat infark miokardium dalam 6 bulan terakhir
 Aritmia berat
 Usia lanjut
 Gangguan katup berat
Tindakan pembedahan bertujuan untuk meringankan gejala, mengurangi komplikasi,
dan mencegah ruptur serta kematian. Kemajuan teknologi dalam cardiopulmonary
bypass circuit menurunkan tingkat mortalitas operasi secara signifikan. Tingkat
mortalitas operasi pada pasien diseksi aorta ascenden biasanya kurang dari 10%. Pada
pasien yang tidak memungkinkan untuk menjalani operasi terbuka, telah tersedia
metode baru yang dinamakan thoracic endovascular aortic repair (TEVAR).
Terapi farmakologis bertujuan utama untuk menurunkan tekanan darah, shearing
forces, dan kontraktilitas miokardium guna mengurangi robekan pada tunica intima.
Terapi farmakologis yang menjadi pilihan adalah:
 B-blocker
B-blocker yang biasa digunakan adalah Esmolol, Propranolol, atau Labetalol.
Pemberian B-blocker dititrasi sampai mencapai target laju nadi 60x/menit.
Jika pasien memiliki kontraindikasi pemberian b-blocker, dapat diberikan
calcium channel blocker sebagai penggantinya. CCB yang dapat diberikan
adalah Diltiazem.
Kontraindikasi terhadap b-blocker antara lain adalah hipersensitivitas, asma
berat, gagal jantung tidak terkompensasi, PPOK, dan hipotensi.
 Antihipertensi
Obat antihipertensi yang dapat diberikan adalah Nitroprusside yang diberikan
secara IV drip dengan target MAP 60 – 70mmHg
 Analgetik
Analgetik yang dapat diberikan berasal dari golongan opiate seperti Fentanyl
yang diberikan secara IV sebanyak 50-100ug.

2.11. Prognosis6,9
Tanpa pengobatan,resiko kematian selama fase inisial dari diseksi aorta akut
sangat tinggi. Secara umum diyakini, sekitar 10-15% pasien meninggal pada 15 menit
pertama kejadian. Sekitar 50% bertahan hidup dalam 48 jam, dan hanya 10% yang
dapat bertahan setelah 3 bulan. Tanpa pengobatan, hanya 8% pasien dengan diseksi
aorta pars ascendens yang bertahan lebih dari 1 bulan, dan 75% pasien-pasien diseksi
aorta pars descendens yang dapat bertahan selama 1 bulan.
Prognosis pasien-pasien dengan diseksi aorta akut telah membaik secara
signifikan sebagai hasil dari diagnosa yang lebih dini dan lebih akurat, terapi medis
yang efektif dan teknik bedah yang semakin baik. Pada sebuah penelitian yang
mengamati pasien-pasien diseksi aorta yang mendapatkan terapi medis hanya 43%
pasien-pasien dengan diseksi tipe A yang bertahan hidup 1 bulan pertama pasca
kejadian diseksi dan 91% pasien –pasien dengan diseksi tipe B. Angka harapan hidup
selama 5 tahun pada pasien- pasien yang selamat dari kejadian diseksi aorta yang
kemudian mendapat terapi medis, menunjukkan tidak ada perbedaan antara tipe A dan
B. Beberapa faktor dapat mempengaruhi prognosis jangka panjang pada pasien-pasien
yang mendapatkan pengobatan; hal ini termasuk usia, ada tidaknya komplikasi serius
sebelum pemberian terapi,dan ukuran diameter aorta pars descendens (> 5 cm).
BAB III

KESIMPULAN

Manifestasi paling sering dari diseksi aorta adalah nyeri dada dan/atau punggung yang
terjadi secara akut dengan karakteristik seperti dirobek. Faktor risiko yang paling sering
terjadi pada pasien dewasa adalah hipertensi sehingga pasien yang datang dengan
karakteristik nyeri tersebut disertai riwayat hipertensi yang tidak terkontrol patut
menimbulkan kecurigaan terhadap diseksi aorta. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
takikardi, hiper/hipotensi, dan murmur.

Ketika dicurigai pasien menderita diseksi aorta, pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium dan pencitraan. Harus dilakukan pemeriksaan
darah lengkap, kimia darah, dan enzim jantung bagi semua pasien yang dicurigai menderita
diseksi aorta. Diagnosis biasanya ditegakkan oleh pencitraan. Foto rontgen thorax AP biasa
menjadi pilihan pertama karena mudah dan murah untuk dilakukan. Akan tetapi, karena
sensitivitas dan spesifitas foto rontgen yang rendah bila tidak ditemukan kelainan diagnosis
diseksi aorta belum dapat disingkirkan. Disarankan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
seperti CT-SCAN, MRI, atau ekokardiografi.

Terdapat dua pilihan tatalaksana yaitu terapi farmakologis dan pembedan. Terapi
farmakologis adalah pilihan pertama pada pasien dengan diseksi aorta descendens dan
bertujuan menurunkan laju nadi dan tekanan darah. Tindakan pembedahan adalah pilihan
pertama pada diseksi aorta ascenden dan descenden yang memiliki komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Erbel R et al. 2014 ESC Guidelines on the diagnosis and treatment of aortic disease :
Document covering acute and chronic aortic diseases of the thoracic and abdominal
aorta of the adult. The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Aortic Diseases
of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2014l35(41)2873-926.
2. Lemaire S. Epidemiology of thoracic aortic dissection. Nat Rev Cardiol.
2011;8(2):103-13.
3. Melvinsdottir I, Lund S, Agnarsson B, Sigvaldason K, Gudbjartsson T, Geirsson A.
The incidence and mortality of acute thoracic aortic dissection: results from a whole
nation study. Eur J Cardiothorac Surg. 2016;50(6):1111-17.
4. Criado F. Aortic dissection, a 250-year perspective. Tex Heart Inst J. 2011;38(6):694-
700.
5. Strauss C, Kebede T, Porten B, Garberich R, Calcaterra D, Manunga J, Harris K. Why
the delay? Identification of factors which delay diagnosis of acute aortic dissection.
Jour Minnea Heart Inst Found. 2017;1(1):13-8.
6. Elefteriades J, Olin J, Halperin J, Ziganshin B. Diseases of The Aorta. In: Fuser V,
Harrington R, Narula J, Eapen Z, editors. Hurst’s The Heart, 14e. 14th ed. New York:
McGraw-Hill Medical; 2013.
7. Standring S, Gray H. Anatomy. Gray's anatomy. 41st ed. Edinburgh: Churchill
Livingstone; 2015.
8. Redington A, Smallhorn J, Therrien J, Webb G. Congenital heart disease in the adult
and pediatric patient. In: Zipes D, Libby P, Bonow R, Mann D, Tomaselli G,
Braunwald E. Braunwald’s Heart Disease: A textbook of Cardiovascular Medicine.
11th ed. Philadelphia:Elsevier;2019.
9. Mussa F, Horton J, Moridzadeh R, Nicholson J, Santi T, Eagle K. Acute aortic
dissection and intramural hematoma. JAMA. 2016;316(7):754-63.
10. Erbel R et al. 2014 ESC Guidelines on the diagnosis and treatment of aortic disease :
Document covering acute and chronic aortic diseases of the thoracic and abdominal
aorta of the adult. The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Aortic Diseases
of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2014l35(41)2873-926.
11. Leitman M, Suzuki K, Wengrofsky A. Early recognition of acute thoracic aortic
dissection and aneurysm. World J Emerg Surg. 2013;8(1):47.
12. Hagiwara , Shimbo T, Kimira A, Sasaki R, Kobayashi K, Sato T. Using fibrin
degradation products level to facilitate diagnostic evaluation of potential acute aortic
dissection. J Thromb Thrombolysis. 2013;35(1):15-22.
13. Hiratzka L et al. 2010 ACCF/AHA/AATS/ACR/ASA/SCA/SCAI/SIR/STS/SVM
guidelines for the diagnosis and management of patients with Thoracic Aortic Disease:
a report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines, American Association for Thoracic
Surgery, American College of Radiology, American Stroke Association, Society of
Cardiovascular Anesthesiologists, Society for Cardiovascular Angiography and
Interventions, Society of Interventional Radiology, Society of Thoracic Surgeons, and
Society for Vascular Medicine. Circulation. 2010;121(13):e266-369.

Anda mungkin juga menyukai