Anda di halaman 1dari 10

ACARA III

PEMBEKUAN

A. Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum acara III Pembekuan antara lain :
1. Mempelajari pengaruh pemnyimpanan pada suhu beku terhadap kualitas
bahan.
2. Mempelajari pengaruh pengemas terhadap kualitas bahan yang dibekukan.
3. Mempelajari pengaruh pembekuan terhadap jamur tempe.
B. Tinjauan Pustaka
Pembekuan adalah salah satu cara untuk mengantisipasi kerusakan
bahan pangan, sehingga bahan pangan memiliki umur simpan yang lebih
lama. Pembekuan merupakan teknologi yang cukup sederhana dan tidak
menyita waktu. Adapun tujuan dari pembekuan yaitu, makanan akan lebih
awet karena aktivitas mikroba (baik pertumbuhan bakteri, kapang maupun
kamir) terhenti dan aktivitas enzim juga terhambat. Pembekuan yang baik
biasanya dilakukan pada suhu -12 sampai -2400C (Dewandari dkk, 2009).
Kondisi penyimpanan merupakan salah satu faktor yang
menentukan kualitas produk buah beku. Penyimpanan produk beku pada suhu
-20°F (-29°C) di Eropa, dapat mempertahankan kualitas produk beku selama
penyimpanan. Penyimpanan beku pada suhu sekitar -18°C atau lebih rendah
akan mencegah kerusakan mikrobiologi, bila tidak terjadi fluktuasi suhu yang
besar. Walaupun jumlah mikroba biasanya menurun selama proses dan
penyimpanan beku (kecuali spora), tidak berarti makanan beku selalu steril
yang terbukti dengan terjadinya proses pembusukan pada produk beku
(Mulyawanti, 2002).
Pembekuan menyebabkan sel dehidrasi dan menyusut. Ketika
pembekuan sangat cepat, air tidak mempunyai waktu untuk berdifusi melalui
dinding sel, dan sel-sel akan dingin sebelum airnya hilang. Dalam hal ini
nukleasi akan terjadi di dalam sel, menyebabkan intraseluler es. Semakin
cepat proses pembekuan, semakin banyak inti yang membentuk kristal kecil.
Jika tingkat pembekuan berkurang maka satu kristal terbentuk (Pham, 2008).
Pembekuan berbeda dengan pendinginan. Perbedaannya yaitu dalam
hal pengaruhnya terhadap aktivitas mikroba dalam bahan pangan.
Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan bahan tidak dapat menyebabkan
kematian mikroba sehingga bila bahan pangan dikeluarkan dari tempat
penyimpanan dan dibiarkan mencair kembali (thawing) pertumbuhan
mikroba pembusuk dapat berjalan dengan cepat (Koswara, 2009).
Thawing merupakan proses peleburan atau perubahan dari produk
beku menjadi keadaan cair (mencair) atau bebas dari efek dingin (kekakuan,
mati rasa, atau kekerasan) sebagai akibat dari adanya paparan suhu hangat.
Waktu thawing harus seminimal mungkin bertujuan untuk mengurangi
pertumbuhan mikroba, kerusakan kimia dan kehilangan air berlebihan yang
disebabkan oleh dehidrasi. Secara umum, kualitas makanan beku berkaitan
dengan proses pembekuan dan thawing. Selama proses thawing, produk
biasanya mengalami kerusakan yang disebabkan perubahan fisik, kimia,
maupun mikroorganisme (Akhtar et al, 2013).
Faktor faktor yang mempengaruhi mutu akhir dari makanan beku
yaitu varietas, kemasakan, kecocokan untuk dibekukan dan disimpan dalam
keadaan beku; perlakuan sebelum pembekuan seperti blansir, penggunaan
SO2 atau asam askorbat; metode dan kecepatan pembekuan yang dipakai;
suhu penyimpanan dan fluktuasi suhu; waktu penyimpanan; kelembaban
lingkungan tempat penyimpanan terutama jika makanan tidak dikemas; dan
sifat sifat dari setiap bahan pengemas (Buckle et al., 1985).
Pengemasan merupakan salah satu upaya modified packaging storage
yang dapat membantu mempertahankan mutu dari bahan. Bahan pengemas
berfungsi dalam menurunkan tingkat pembusukan dari beberapa bahan
pangan dan hubungannya erat dengan penembusan gas, baik ke dalam
maupun ke luar dari kemasan, keterangan mengenai daya tembus sangat
penting dalam pengawetan sehingga dengan dilakukannya pembekuan pada
produk pangan akan mengakibatkan dehidrasi pada produk pangan. Pengaruh
pengemasan terhadap pembekuan yaitu dengan adanya perlakuan
pengemasan akan menghambat proses transfer air bahan ke lingkungan,
kehilangan air dapat dikurangi dengan pembungkus pada bahan yang akan
didinginkan. bahan yang tidak dilakukan pengemasan mengalami penyusutan
berat lebih banyak karena tidak ada penghalang antara bahan dengan
lingkungan (Renate, 2008),
Melon (Cucumis melo L) merupakan salah satu komoditas
hortikultura. Kandungan zat gizi dalam 100 g dari bagian buah melon yang
dapat dimakan adalah protein 0,6 g, kalsium 17 mg, thiamin 0,045 mg,
vitamin A 2,4 IU, vitamin C 30 mg, vitamin B 0,045 mg, vitamin B2 0,065
mg, karbohidrat 6 mg, niasin 1 mg, riboflavin 0,065 mg, zat besi 0,4 mg,
nikotianida 0,5 mg, air 93 ml serat 0,4 g dan 23 kalori. Selain kandungan gizi
yang begitu beragam, melon sering juga digunakan sebagai buah untuk terapi
kesehatan karena mempunyai khasiat untuk membantu sistem pembuangan
(karena serat yang tinggi), sebagai anti kanker, menurunkan resiko stroke dan
penyakit jantung dan mencegah penggumbalan darah (Sujianto, 2009).
Tempe merupakan salah satu makanan tradisional Indonesia.
Dikonsumsi dengan cara digoreng direbus, dikukus, atau dipanggang. Tempe
diperkenalkan oleh Belanda pada tahun 1948, kemudian menjadi populer di
Eropa, dimana telah dikonsumsi oleh vegetarian dan non – vegetarian untuk
mengurangi konsumsi daging. Jamur membuat aroma dan rasa pedas yang
lezat membuatnya menjadi alternatif yang baik untuk pengganti daging, ikan,
dan unggas. Tempe juga dapat dijadikan produk yang tidak hanya menambah
variasi untuk diet, tapi juga meningkatkan gizi (Bavia et al., 2012).
Proses pembuatan tempe melibatkan tiga faktor pendukung, yaitu
bahan baku yang dipakai (kedelai), mikroorganisme (kapang tempe), dan
keadaan lingkungan tumbuh (suhu, pH, dan kelembaban). Dalam proses
fermentasi tempe kedelai, substrat yang digunakan adalah biji kedelai yang
telah direbus dan mikroorganisme yang digunakan berupa kapang antara lain
Rhizopus olygosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer (dapat terdiri
atas kombinasi dua spesies atau ketiganya) dan lingkungan pendukung yang
terdiri dari suhu 30˚C, pH awal 6.8, kelembaban nisbi 70 – 80%
(Dwinaningsih, 2010).
Ikan lele merupakan jenis ikan darat yang hidup pada air tawar, seperti
sungai, danau, rawa dan kolam. Ikan yang telah tertangkap lalu mati, akan
terjadi perubahan biokimia pasca mortem. Perubahan tersebut terjadi pada
daging ikan, dimana ikan akan kehilangan glastisitasnya lalu kejang, kaku
dan kemudian lemas kembali. Suhu memegang peranan penting dalam gejala
rigor mortis. Salah satu penanganan pasca mortem (rigor mortis) adalah
dengan proses pembekuan, dimana suhu turun dari 0°C sampai dibawah 0°C.
Metode pembekuan pada ikan dapat dibedakan menjadi 5 metode. Sharp
freezing, air blast, . Contact plate freezing, Immersion freezing, dan Crygenic
freezing (Muchtadi, 2010).
C. Metodologi
1. Alat
 Freezer
 Pisau
 Termometer
 Labu Kuning
 Plastik
 Baskom
2. Bahan
 Buah Melon
 Calon Tempe
 Tempe Segar
 Ikan Lele Segar
 Air

Pemotongan dan pengupasan

3. Cara Kerja (Flow Chart)


a. Percobaan I : Pembekuan Buah Melon Segar
Penimbangan Berat dan Pengamatan
Melon
Warna dan tekstur

Penyimpanan pada Suhu Beku selama 3


Hari

Pengamatan Suhu Ruang Penyimpanan


tiap kondisi penyimpanan dengan 2
perlakuan (tanpa dan dengan pengemas)

Penthawingan setelah 3 Hari

Pengamatan Warna dan Tekstur


Gambar 3.1 Flow Chart Pembekuan Buah dan Sayur Segar

D. Hasil dan Pembahasan


Pembekuan adalah salah satu cara untuk mengantisipasi kerusakan
bahan pangan, sehingga bahan pangan memiliki umur simpan yang lebih
lama. Pembekuan merupakan teknologi yang cukup sederhana dan tidak
menyita waktu. Adapun tujuan dari pembekuan yaitu, makanan akan lebih
awet karena aktivitas mikroba (baik pertumbuhan bakteri, kapang maupun
kamir) terhenti dan aktivitas enzim juga terhambat. Pembekuan yang baik
biasanya dilakukan pada suhu -12 sampai -2400C (Dewandari dkk, 2009).
Berdasarkan kecepatannya, pembekuan dibagi menjadi dua, yaitu
pembekuan lambat (slow freezing) dan pembekuan cepat (Quick freezing).
Pembekuan lambat merupakan pembekuan suatu bahan dengan laju
pergerakan permukaan beku sekitar 0.2 cm/ jam dalam waktu selama 30 - 72
jam. Quick freezing yaitu pembekuan dengan laju pergerakan permukaan
beku sekitar 0.5-3 cm/jam dalam waktu kurang dari 30 menit. Quick frezing
bisa dilakukan dengan menggunakan air blast dan plate freezers, Rapid
freezing, yaitu laju pergerakan permukaan pembekuannya sekitar 5-10
cm/jam. Rapid freezing bisa dicapai dengan menggunakan fluidized bed
freezing. Sedangkan ultra rapid freezing laju pergerakan permukaan
pembekuannya sekitar 10 -100 cm/jam, yang umumnya terjadi pada pembeku
kriogenik (Hariyadi, 2007).
Menurut Koswara (2009), pembekuan cepat mempunyai beberapa
kelebihan yaitu terbentuknya kristal es sehingga kerusakan mekanis yang
terjadi lebih sedikit, kemudian pencegahan pertumbuhan mikroba juga
berlangsung cepat dan kegiatan enzim juga cepat berhenti. Bahan makanan
yang dibekukan dengan cara cepat mempunyai mutu lebih baik daripada
pembekuan lambat. Sedangkan kekurangannya, menurut Kim et al (2015),
kecepatan pembekuannya masih kalah cepat dari pembekuan dengan nitrogen
cair. Selain itu, pembekuan dengan air blast, menyebabkan dehidrasi
berlebihan pada produk.
Kelebihan dari pembekuan lambat yaitu alat pembekunya lebih murah
ketimbang pembekuan cepat. Sedangkan kekurangannya yaitu proses
pembekuan lambat akan menghasilkan kristal-kristal es dengan jumlah yang
lebih sedikit tetapi dengan ukuran yang lebih besar. Ukuran kristal es yang
besar berpeluang untuk menusuk dan merusak sel-sel jaringan pangan,
sehingga menyebabkan sel kehilangan air dan kehilangan keteguhan tekstur
(Hariyadi, 2007).
Thawing merupakan proses peleburan atau perubahan dari produk
beku menjadi keadaan cair (mencair) atau bebas dari efek dingin (kekakuan,
mati rasa, atau kekerasan) sebagai akibat dari adanya paparan suhu hangat.
Waktu thawing harus seminimal mungkin bertujuan untuk mengurangi
pertumbuhan mikroba, kerusakan kimia dan kehilangan air berlebihan yang
disebabkan oleh dehidrasi. Secara umum, kualitas makanan beku berkaitan
dengan proses pembekuan dan thawing. Selama proses thawing, produk
biasanya mengalami kerusakan yang disebabkan perubahan fisik, kimia,
maupun mikroorganisme (Akhtar et al, 2013).
Pengemasan merupakan salah satu upaya modified packaging storage
yang dapat membantu mempertahankan mutu dari bahan. Menurut Renate
(2008), bahan pengemas berfungsi dalam menurunkan tingkat pembusukan
dari beberapa bahan pangan dan hubungannya erat dengan penembusan gas,
baik ke dalam maupun ke luar dari kemasan. Pengaruh pengemasan terhadap
pembekuan yaitu dengan adanya perlakuan pengemasan akan menghambat
proses transfer air bahan ke lingkungan, kehilangan air dapat dikurangi
dengan pembungkus pada bahan yang akan didinginkan. bahan yang tidak
dilakukan pengemasan mengalami penyusutan berat lebih banyak karena
tidak ada penghalang antara bahan dengan lingkungan.
Tabel 3.1 Hasil Pengamatan Pembekuan Buah Melon
Kel. Perlakua Parameter
n Melon Berat Warna Tekstur
0 1 2 0 1 2 0 1 2
1,2 Kemas 40,7 33,1 29,2 +++ ++ ++ ++++ + +
3,4 Kemas 41,9 44,9 26,8 +++ +++ + ++++ ++ +
5,6 Tanpa 38,5 36,7 28,1 +++ ++ ++ ++++ + +
Kemas
7,8 Tanpa 46,3 44,2 31,1 +++ ++ + ++++ + +
Kemas
9,10 Kemas 45,9 43,9 35,7 +++ ++ + ++++ ++ +
11,12 Kemas 37,1 36,5 24,7 +++ +++ + ++++ +++ ++
13,14, Tanpa 41,3 38,5 26,7 ++++ +++ ++ ++++ + +
Kemas
15,16 Tanpa 40,5 37,6 28,1 +++ ++ + ++++ + +
Kemas

Sumber : Laporan Sementara


Keterangan:
Warna : Tekstur :
+ pudar/pucat + lunak
++ agak cerah ++ agak lunak
+++ cerah +++ keras
++++ sangat cerah ++++ sangat keras
Tabel 3.1 membahas data hasil pengamatan pembekuan buah melon
kelompok 1-16 dengan perlakuan melon kemas dan tanpa kemasan.
Perlakuan melon kemas yang diamati kelompok 1,2,3,4,7,8,9,10 mengalami
penurunan berat terus-menerus dari hari ke-0 sampai hari 2 pasca pembekuan.
Pada parameter warna, melon kemas semua kelompok mengalami
perububahan warna, yang awalnya sangat cerah kemudian secara berkala
mulai pudar/ pucat dalam kurun waktu dua hari pembekuan. Pada parameter
tekstur, awalnya tekstur melon semua kelompok sangat keras. Pada hari
pertama pasca pembekuan, melon kemas kelompok 1 dan 2 menjadi lunak
demikian juga pada hari kedua. Melon kemas kelompok 3, 4, 9, dan 10 pada
hari pertama pasca pembekuan menjadi agak lunak kemudian pada hari kedua
menjadi lunak. Melon kemas kelompok 11 dan 12 pada hari pertama pasca
pembekuan menjadi keras kemudian pada hari kedua agak lunak.
Perlakuan melon tanpa kemasan diamati kelompok 5, 6, 7, 8, 13, 14,
15, dan 16. Pada parameter berat, melon tanpa kemas semua kelompok
mengalami penurunan berat pasca pembekuan 2 hari. Pada parameter warna,
awalnya melon berwarna cerah kecuali melon kelompok 13 dan 14 yaitu
sangat cerah. Setelah dua hari pembekuan, warna melon tanpa kemas menjadi
pudar (kelompok 3, 4, 15, 16) dan agak pudar (kelompok 5, 6, 13, 14). Pada
parameter tekstur, awalnya melon semua kelompok mempunyai tekstur
sangat keras. Setelah pembekuan selama 2 hari, tekstur melon semua
kelompok menjadi lunak.
Hasil pengamatan yang dilakukan telah sesuai dengan teori. Menurut
Wisudawaty dkk (2012), buah yang telah mengalami proses pembekuan akan
mengalami perubahan bobot, tekstur atau kekerasan, warna, dan organoleptic
produk. Buah yang telah dibekukan akan mengalami susut bobot secara
berkala yang disebabkan kehilangan air. Tekstur buah juga mengalami
penurunan tingkat kekerasan yang disebabkan kerusakan jaringan buah.
Sedangkan warnanya juga mengalami penurunan tingkat kecerehan yang
disebabkan reaksi enzimatis. Kemasan juga mempengaruhi parameter berat.
Pengaruh pembekuan pada parameter berat yaitu, produk yang
dibekukan akan mengalami susut bobot akibat pembekuan. Penyebab
utamanya adalah kehilangan air selama penyimpanan dan dapat juga
disebabkan terjadinya evaporasi. Penyimpanan produk di freezer
menyebabkan kehilangan air kaena udara di dalam ruang pendingin RH-nya
rendah. Pada tekstur produk sesudah dibekukan mengalami perubahan tingat
kekerasan. Hal ini dikarenakan air terikat yang berada dalam jaringan karena
proses pembekuan dan thawing membuat jaringan rusak sehingga air keluar
dari jaringan yang menyebabkan produk menjadi kenyal atau lunak
(Wisudawaty dkk, 2012). Sedangkan parameter warna, produk mengalami
penurunan tingkat kecerahan sesudah pembekuan. Menurunnya nilai
kecerahan warna selama penyimpanan dapat disebabkan oleh adanya reaksi
enzimatis yang menyebabkan warnanya menjadi lebih gelap (Mulyawanti
dkk, 208).
Pada praktikum ini terdapat dua variasi perlakuan yaitu dengan kemas
dan tanpa kemas. Menurut Wisudawaty dkk (2012), buah yang tidak dikemas
akan mengalami kehilangan berat lebih besar akibat perpindahan tingkat
kelembaban menuju wilayah yang bertekanan lebih rendah akibat kontak
langsung dengan media pendinginan. Dari segi tekstur, adanya kemasan tidak
berpengaruh nyata terhadap tingkat kekerasan buah. Sedangkan dari
parameter warnanya, ada tidaknya kemasan tetap akan menyebabkan buah
mengalami penurunan ingkat kecerahan.
E. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

Muchtadi, Tien R., Sugiyono., dan Fitriyono


Ayustaningwarno. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Alfabeta. Bandung.
Mulyawanti, Ira., K.T. Dewandari dan Yulianingsih. 2002. Pengaruh Waktu
Pembekuan Dan Penyimpanan Terhadap Karakteristik Irisan Buah
Mangga Arumanis Beku. Jurnal Pascapanen 5(1) : 51-58.
Pham, Quan Tuan. 2008. Advances In Food Freezing/Thawing/Freeze
Concentration Modelling and Techniques. Japan Journal of Food
Engineering Vol. 9 No. 1 Hal. 21-32.
Renate, Dharia. 2009. Pengemasan Puree Cabe Merah Dengan Berbagai Jenis
Plastik Yang Dikemas Vakum (Packaging Of Red Chilli Puree With
Various Types Of Plastic Vacum Packaged). Jurnal Teknologi Industri dan
Hasil Pertanian Vol. 14 Hal. 1.
Bavia, Ana Carla Furlan, Carlos Eduardo Da Silva, Márcia Pires Ferreira, Rodrigo
Santos Leite, José Marcos Gontijo Mandarino, Mercedes Concórdia
Carrão-Panizzi. 20120. Chemical Composition Of Tempeh From Soybean
Cultivars Specially Developed For Human Consumption. Ciênc. Tecnol.
Aliment., Campinas, Vol. 32 No. 3 Hal. 613-620.
Buckle, K.A., R.A. Edwards., G.H. Fleet dan M. Wooton. 1985. Ilmu Pangan.
Koswara, Sutrisno. 2009. Pengolahan Pangan Dengan Suhu Rendah.
Ebookpangan.com
Dewandari, K.T., I. Mulyawanti dan D. Amiarsi. 2009. Pembekuan Cepat Puree
Mangga Arumanis dan Karakteristiknya Selama Penyimpanan. Jurnal
Pasca Panen Vol. 6 No. 1 Hal. 27-33.
Sudjianto, Untung dan Veronica Krestiani. Studi Pemulsaan dan Dosis NPK pada
Hasil Buah Melon (Cucumis melo L). Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 2
No. 2.
Hariyadi, Purwiyatno. 2007. Teknologi Pembekuan Pangan, Food Review. Vol. 2
No. 7. Edisi Juli 2007.
Kim, Kwang-Il Jun-Bo Shim, Seon-Mi Yoo, Sang-Gi Min, SangYoon Lee, Yeon-
Ji Jo dan Mi-Jung Choi. 2015. Effects of various freezing and thawing
techniques on pork quality in ready-to-eat meals. Journal Food and
Scientic Vol 9. No. 1.
Akhtar, Sehar Muhammad Issa Khan dan Farrukh Faiz. 2013. Effect of Thawing
on Frozen Meat Quality: A comprehensive Review. Pakistan Journal of
Food Sciences Vol. 23 No. 4. Hal. 198-211.
Wisudawaty, Priska, Sugiarto, dan Chilwan Pandji. 2012. Aplikasi Minyak Nabati
sebagai Coating pada Irisan Wortel (Daucus carrota) Beku dan
Perubahan Mutu Selama Penyimpanan. Jurnal Agroindustri Vol. 1 No. 1.

Anda mungkin juga menyukai