Anda di halaman 1dari 20

Gadis di Ruang Tunggu merupakan film pendek berdurasi 8 menit yang

disutradarai oleh Cathy Sharon tahun 2010. Film pendek ini menceritakan seorang
gadis sabar dan selalu merasa bahagia, bagaimanapun keadaan yang ia jalani. Di
sebuah ruang tunggu tempat praktek dokter, dimana orang-orang sedang
menunggu antrian untuk diperiksa oleh dokter. Tiba-tiba datang Jaka yang marah-
marah karena dia sudah menelepon suster untuk dapet nomor antrian tetapi tetap
dapat nomer urut terakhir.

Jaka menilai dirinya adalah orang yang punya paling banyak masalah di dunia.
Gara-gara tumpukan masalah ini-itu, kepala Jaka jadi sakit dan pusing. Makanya
dia ingin cepat-cepat diperiksa dokter karena dia juga masih harus menghadiri
meeting. Jaka merasa makin pusing karena di ruang tunggu itu suasananya ramai
sekali.

Hana, seorang gadis yang juga menunggu antrian tapi ia selalu memandang positif
semua hal sehingga ia menikmati waktu tunggunya. Hana mencoba menenangkan
Jaka yang kesal, tapi sifat Hana yang sepertinya tak punya beban dalam hidup
membuat Jaka makin kesal. Namun entah kenapa ia tetap mengobrol dengan Hana
dan mengeluarkan segala keluh kesah dan unek-uneknya kepada Hana.

Jaka pun masih terus marah-marah dan akhirnya Hana memberikan nomer antrian
dia biar Jaka bisa diperiksa lebih cepat. Ketika Jaka mau diperiksa, ia bertanya
kepada suster apa penyakit Hana karena dia pikir Hana terlihat sehat-sehat saja.
Suster pun menceritakan bahwa Hana memiliki virus ditubuhnya yang menyerang
organ-organ tubuhnya semenjak 5 tahun yang lalu. Dimulai dari lidahnya yang
tidak bisa mengecap, matanya yang buta, dan sebentar lagi ia divonis bahwa
kakinya akan lumpuh.
Jaka pun terdiam dan trenyuh saat mengetahui beban hidup Hana jauh lebih berat
darinya, tetapi Hana tetap bersikap santai dalam mengahadapinya. Bahkan ia dapat
dengan sempurna menutupi beban hidupnya itu. Jaka pun kembali ke ruang tunggu
dan Hana pun bertanya, "Kok ga jadi masuk?". Jaka pun menjawab, "Saya sudah
merasa jauh lebih baik. Ayo saya bantu." Hana pun hanya tersenyum dan Jaka
mulai membantu Hana menuju ruang periksa dokter.

Dalam film ini ada 8 tokoh sebagai pemeran yaitu :

 Suster
 Pasien 1
 Oma (Pasien)
 Cucu Oma
 Pemuda (Pasien)
 Wanita Muda (Pasien)
 Jaka, Eksekutif Muda (Pasien)
 Hana, Gadis penderita penyakit berat (Pasien)

Gambaran Situasi dan Dialog yang Terjadi di Ruang Tunggu

Exposition : Pemuda batuk-batuk, kaki kanan di tumpukan pada kaki sebelah kiri,
tangannya memainkan kartu tunggu. Oma meluapkan kemarahannya pada cucu
yang menemaninya menunggu si dokter.
Rising Action Kedua : Hanah hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan
kepalanya, ia masih asyik dan sabar menunggu si dokter.
Rising Action Ketiga : Jaka datang dengan tergesa-gesa dan marah-marah kepada
suster, karena ia telah mendaftar lewat telepon. Namun, antrian ternyata tidak
berlaku untuk line telepon, jadi dengan terpaksa ia harus menunggu empat pasien
terlebih dahulu.
Rising Action Keempat : Hanah bertanya perihal penyakit yang diderita Jaka.
Rising Action Kelima : Pemuda batuk-batuk. Si Oma menanyakan dengan nada
tinggi kepada cucunya.
Rising Action Keenam : Jaka mengeluh tentang ketidaknyamanan yang
ditimbulkan oleh suara tinggi si Oma.
Rising Action Ketujuh : Si Oma mendengar keluhan Jaka, ia langsung membentak
Jaka dan menuduh Jaka yang berisik.
Rising Action Kedelapan : Cucu si Oma menyuruh Oma untuk sabar, sementara
Pemuda masih saja mengeluarkan suara batuk-batuknya.
Rising Action Kesembilan : Si Oma kemudian mengomel kepada Pemuda perihal
suara batuknya tersebut.
Rising Action Kesepuluh : Si cucu masih menganjurkan kepada si Oma untuk tidak
marah-marah.
Rising Action Kesebelas : Hanah tertawa.
Rising Action Keduabelas : Jaka menanyakan perihal tertawa Hanah dengan nada
tinggi.
Rising Action Ketigabelas : Ekspresi wajah Hanah terlihat menyesal, ia
mengucapkan kata maaf kepada Jaka.
Climax : Oma masuk ke ruang dokter. Jaka bertanya kepada Suster, apakah ia
tidak bisa menyelak masuk terlebih dahulu karena ia hanya ingin meminta resep
dokter. Suster menyarankan agar ia mengcopy resep biasa, namun Jaka tidak mau
lantaran sakit yang dideritanya membuat ia merasa kepalanya mau pecah.
Imajinasi Jaka bermain, si suster membentak dengan hebat dan menyuruhnya
duduk kembali. Jaka berteriak.
Falling Action : Jaka kembali duduk di tempat tadi. Hanah menganjurkan Jaka
untuk sabar.
Rising Action : Jaka membentak Hanah
Rising Action : Hanah masih meladeni kemarahan Jaka dengan lelucon.
Rising Action : Jaka gemas dan makin emosi.
Rising Action : menanyakan perihal emosi Jaka.
Rising Action : Jaka menjelaskan masalah-masalah yang ia temukan dalam
hidupnya.
Rising Action : Hanah masih bertanya dengan ringan mengenai keberadaan istri
Jaka.
Rising Action : Jaka menjelaskan keberadaan istrinya.
Rising Action : Hanah masih bertanya dengan ringan.
Rising Action : Jaka menjawab pertanyaan tersebut dengan emosi.
Rising Action : Hanah tersenyum, ia bertanya dengan tekanan bahwa setipa orang
memiliki masalah.
Rising Action : Jaka menjelaskan kepenatannya sembari melemparkan benda yang
ada di tangannya.
Rising Action : Suster kaget. Hanah menawarkan nomornya kepada Jaka.
Rising Action : Jaka kaget.
Rising Action : Hanah kembali menjelaskan niat baiknya.
Rising Action : Masih belum yakin akan tawaran Hanah.
Rising Action : Hanah menekankan keseriusan niat baiknya.
Rising Action : Jaka langsung menukarkan kartu tunggu miliknya dengan Hanah.
Rising Action : Hanah tersenyum.
Rising Action : Suster memanggil Hanah. Jaka menjelaskan bahwa ia sudah
bertukar kartu tunggu dengan Hanah. Suster kaget.
Rising Action : Jaka bertanya kepada Suster perihal penyakit yang diderita
Hanah.
Rising Action : Suster menolak memberi tahu.
Rising Action : Jaka membujuk Suster.
Rising Action : Suster menjelaskan penyakit yang di derita Hanah. Kemudian ia
mengajak Jaka untuk masuk ke ruang dokter
Resolution : Jaka mendekati Hanah. Hanah bertanya mengenai pembatalan Jaka
untuk masuk ke ruang dokter. Jaka sudah merasa lebih baik, akhirnya ia menuntun
Hanah masuk ke ruang dokter.

TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK HERBERT BLUMER

Herbert Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksi simbolik, yaitu
tentang pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought). Menurut
Craib (dalam Sarmini, 2002: 50), asumsi teori interaksi simbolik Blumer adalah
sebagai berikut.

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu dasar asumsi internilai simbolik yang dimiliki
sesuatu itu (kata, benda, atau isyarat) dan bermakna bagi mereka.
2. Makna-makna itu merupakan hasil dari interaksi sosial dalam masyarakat manusia.
3. Makna-makna yang muncul dari simbol-simbol yang dimodifikasi dan ditangani
melalui proses penafsiran yang digunakan oleh setiap individu dalam
keterlibatannya dengan benda-benda dan tanda-tanda yang dipergunakan.

Sesuatu ini tidak mempunyai makna yang intrinsik karena makna yang dikenakan
pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis. Bagi Blumer,
"sesuatu" itu bisa berupa fenomena alam, fenomena artifisial, tindakan seseorang
baik verbal maupun nonverbal, dan apa saja yang patut "dimaknakan".

Menurut Blumer, sebelum memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor
melakukan serangkaian kegiatan olah mental, seperti: memilih, memeriksa,
mengelompokkan, membandingkan, memprediksi, dan mentransformasi makna
dalam kaitannya dengan situasi, posisi, dan arah tindakannya.

Pemberian makna tidak didasarkan pada makna normatif, yang telah dibakukan
sebelumnya, tetapi hasil dari proses olah mental yang terus-menerus
disempurnakan seiring dengan fungsi instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan
dan pembentukan tindakan dan sikap aktor atas sesuatu tersebut.

Tindakan manusia tidak disebabkan oleh "kekuatan luar", tidak pula disebabkan
oleh "kekuatan dalam", tetapi didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang
dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer disebut sebagai self-indication.

Proses self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang dimulai
dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk
bertindak berdasarkan makna tersebut. Dengan demikian, proses self-indication
terjadi dalam konteks sosial di mana individu mengantisipasi tindakan-tindakan
orang lain dan menyesuaikan tindakannya sesuai dengan pemaknaan atas tindakan
itu.

Blumer mengatakan bahwa interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan


simbol-simbol, oleh penafsiran, dan oleh kepastian makna dari tindakan orang lain,
bukan hanya sekedar saling bereaksi sebagaimana model stimulus-respons
(Kamanto, 2000: 185). Makna dari simbol-simbol merupakan hasil dari interaksi
sosial dalam masyarakat.

Individu dan masyarakat merupakan aktor dalam interaksi simbolik yang tidak
dapat dipisahkan. Tindakan individu tidak ditentukan oleh individu itu sendiri, juga
tidak ditentukan oleh masyarakat, namun oleh pengaruh keduanya. Dengan kata
lain, tindakan seseorang adalah hasil dari "internal dan eksternal stimulasi"
(Sarmini, 2002: 53).

FILM GADIS DI RUANG TUNGGU DALAM PANDANGAN TEORI


BLUMER

1. Jaka merupakan seorang eksekutif muda yang dalam hal ini juga merupakan
seorang pasien , gambaran sosok Jaka yang sedang mengalami sakit kepala akibat
banyak masalah dalm hidupnya, ia tunjukkan dalam sikap yang tidak sabar dalam
mengantri, emosional dan blak-blakan dalam berbicara serta menunjukkan ekspresi
yang kurang bersahabat kepada suster maupun pasien-pasien yang lain, dan
seakan-akan sakitnya lebih parah dari pasien yang lain.

Simbol-simbol yang ditunjukkan oleh Jaka dalam pandangan Blumer pada adegan
film ini yaitu :

 Dia merasa bahwa aspek Waktu saat itu sangatlah penting untuk dia diperiksa dan
segera diberi obat supaya sakitnya bisa sembuh dan dalam waktu yang secepatnya
dia bisa kembali ke Kantor untuk mengikuti proses tender proyek, dalam hal ini
sejalan dengan pandangan Blumer yaitu seseorang akan memberi pemaknaan
kepada sesuatu ketika sesuatu itu Penting bagi Dirinya.
 Ketika dia berinteraksi dengan Hanah, di mana secara langsung Jaka
menyampaikan kejengkelan dan masalah-masalah yang dihadapi dalam hidupnya
seperti kalah tender, internet yang mati, mobilnya menabrak pagar, istrinya yang
sudah satu bulan bulan berada di Bali untuk meditasi dan lain-lain, penjelasan atas
masalahnya itu mendapat respon dari Hanah dengan berupaya menghibur dan
dengan tulus membantu dengan cara menukar nomor antrian agar Jaka bisa
diperiksa terlebih dahulu. Hal ini berlanjut ketika Jaka berkomunikasi dengan
Suster mengenai sakit yang diderita oleh Hanah, ketika suster menjelaskan Jaka
tersadar bahwa ternyata penyakit yang diderita Hanah sangatlah berat dan belum
sebanding dengan sakitnya. Dari gambaran ini dapat diketahui bahwa proses
pemaknaan hanya bisa dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain atau terhadap
sesuatu melalui Fakta Interaksi Sosial.
 Setelah mendapat penjelasan dari Suster terkait dengan penyakit yang diderita oleh
Hanah sangatlah berat, maka Jaka yang tadinya hendak menggunakan kartu antri
Hanah untuk memeriksa di dokter, akhirnya berpikir kembali dan hatinya menjadi
luluh dan dengan seketika ia merasa kondisinya (sakit kepala) makin membaik dan
dengan tulus dia meminta maaf kepada Hanah dan menuntun Hanah ke ruang
periksa dokter. Dari gambaran di atas menunjukkan Jaka awalnya mengalami Mis
Intepretasi atas kondisi pasien lain termasuk Hanah yang mana dia menganggap
bahwa kondisi sakitnya atau beban hidupnya lebih berat dibandingkan dengan
orang lain, menyadari akan hal itu jaka melakukan Re-Intepretasi atau proses
pemaknaan ulang dengan cara meminta maaf dan menuntun Hanah ke ruangan
dokter, Jaka menyadari bahwa apa yang dialami Hanah lebih berat dibandingkan
dengan dirinya

2. Hanah merupakan seorang wanita muda dan pasien yang menderita penyakit
akibat virus yang menyerang organ-organ tubuhnya satu persatu dari mulai indra
pengecapnya tidak berfungsi, disusul mata sebelah kiri nya tidak dapat melihat
kemudian mata kanannya dan berdasarkan vonis dokter dalam waktu yang tidak
lama dia akan mengalami kehilangan fungsi organ pendengarannya. Dalam
adegan film sosok Hanah sangatlah tenang, komunikatif dan sabar seakan tidak ada
beban dalam hidupnya.
Simbol-simbol yang ditunjukkan oleh Hanah dalam pandangan Blumer pada
adegan film ini yaitu

 Ketika melihat dan mendengar Jaka masuk ke dalam ruang tunggu pasien dengan
tergesa-gesa, suara yang keras, membentak dan dengan ekspresi yang kurang
bersahabat, ketika jaka duduk di sampingnya, Hanah hanya tersenyum dan
menggeleng-geleng kepalanya setelah itu ia mencoba membangun komunikasi
dengan Jaka dengan bertanya mengenai penyakitnya, keberadaan istrinya serta
masalah yang dihadapinya, Jaka menjawab seluruh pertanyaan Hanah dengan
suara keras dan bahkan samping membanting benda yang ada didekatnya,
tanggapan Hana cukup tegas dan datar sekaligus merupakan kritik kepada Jaka
akan kekasarannya, atas komunikasi itu Hanah mengetahui dengan jelas masalah
yang dihadapai dan akhirnya membantu Jaka dengan cara menukar kartu
antriannya supaya Jaka lebih duluan diperiksa oleh dokter. Dari sini terlihat bahwa
lewat kontak dan komunikasi dengan Jaka akhirnya Hanah bisa memaknai masalah
yang dihadapi oleh Jaka dan menawarkan bantuan dengan cara menukar kartu
antrian.
 Ketika mendengar pertengkaran antara Jaka dan Oma, Hanah tersenyum dan
tertawa, melihat ekspresinya itu Jaka tersinggung dan membentaknya dengan
bertanya Kenapa kamu tertawa? Hanah dengan ekspresi kaget langsung meminta
maaf, disini Hanah melakukan re-intepretasi atas kekeliruannya seakan menyadari
bahwa apa yang ia lakukan yaitu tertawa dalam pandangan orang lain dengan
kondisi seperti itu adalah sesuatu yang kurang bagus, walaupun tindakan tertawa
itu dalam pandangan Hanah adalah hal biasa dan suatu bentuk kritikan atas
tindakan kekanak-kanakan Jaka dan Oma yang bertengkar dalam ruang tunggu.
3. Suster adalah seorang wanita muda yang bertugas sebagai Reception di tempat
prakter dokter, karakter Suster tersebut ramah tetapi tegas dalam menerapkan
aturan yang berlaku di tempat praktek tersebut.

Simbol-simbol yang ditunjukkan oleh Suster dalam pandangan Blumer pada


adegan film ini yaitu

Dalam berkomunikasi dengan Jaka yang emosional, egois dank keras kepala,
Suster tetap melayani dengan tenang denga bahasa yang ramah tetapi tetap tegas
dalam menerapkan aturan yang berlaku, dalam satu sesi adegan ketika Jaka ingin
menyela masuk meminta resep dokter tapi ditahan sama suster dengan mengatakan
bahwa bisa menggunakan copy resep tapi Jaka tetap ngotot, disitu terlihat sedikit
ekspresi Suster yang diam dan mungkin jengkel sehingga mempengaruhi imajinasi
Jaka bahwa Suster membentak dengan suara yang keras menyuruh tunggu dan
kembali duduk. Di sini terlihat bahwa Suster menggunakan simbol-simbol secara
verbal maupun non verbal dengan ekspresi wajah dan sikap tubuh sebagai bentuk
kritikan terhadap Jaka.

4. Oma, sosok Oma yang tergambar dalam film tersebut menunjukkan karakter
yang tidak sabaran, tempramen dan gaya bicara yang blak-blakan yang mungkin
karena sakit perut yang dialaminya serta kondisi tuanya sehingga tidak kuat untuk
mengantri lebih lama .

Simbol-simbol yang ditunjukkan oleh Oma dalam pandangan Teori Blumer pada
adegan film ini yaitu :

 Oma merasa waktu tunggunya terlalu lama sehingga dia tidak sabar untuk
mengantri sehingga mendesak cucunya untuk bertanya ke Suster dengan ekspresi
wajah yang jengkel, dalam hal ini Oma menganggap bahwa dia ingin
diprioritaskan untuk diperiksa oleh dokter dia juga menganggap aspek waktu
sangatlah Penting baginya karena tidak kuat menahan sakit.
 Di sesi lain Oma yang tidak sabaran mengomel ke cucu nya, Jaka yang kebetulan
berada disampingnya menggerutu secara verbal mengucapkan kata "Berisik",
ucapan itu langsung disanggah oleh Oma dengan nada bentakan dan ekspresi
wajah yang marahkepada Jaka juga kepada Pemuda yang batuk-batuk karena
dianggap berisik dan menganggu, tindakan Oma ini menunjukkan bahwa ia ingin
dipahami oleh orang lain atau dengan kata lain lain dia menginginkan orang lain
bisa memaknai kondisinya saat itu.

5. Cucu Oma, adalah sosok Pemuda yang kelihatannya sangat sabar dan paham
akan kondisi Oma nya dengan cara menenangkan ketika Oma marah dan tidak
sabar.

Simbol-simbol yang ditunjukkan oleh Cucu Oma dalam pandangan Blumer pada
adegan film ini yaitu;

Dia berusaha menenangkan Oma nya untuk bersabar dan menenangkan dengan
cara yang lembut ketika Oma nya marah-marah sama Jaka dan Pemuda yang
batuk, sikap dan ekspresinya menunjukkan dia memahami melalui fakta sosial
yang dialami oleh Oma nya dimana Oma nya menjadi tidak sabaran dan
tempramen karena kondisi sakitnya, lama mengantri dan juga karena kondisi
ruang tunggu yang yang tidak nyaman.

6. Pemuda, merupakan salah satu pasien yang menderita penyakit batuk, dalam
adegan-adegan di film tersebut, si Pemuda tidak berbicara atau melakukan
komunikasi secara verbal dengan pasien yang lain, yang ditunjukkan adalah
symbol-simbol non verbal.

Simbol-simbol yang ditunjukkan oleh Cucu Oma dalam pandangan Blumer dalam
adegan film ini yaitu :

 Pemuda tersebut dalam satu sesi sedang duduk menggoyang kaki sambil
mengipas-ngipas kartu antrinya diiringi dengan suara batuk, situasi ini bisa
ditafsirkan sebagai simbol kalau dia juga mengalami kondisi yang tidak sabar
untuk diperiksa komunikasi yang dia bangun dengan simbol batuk itu wujud agar
orang lain juga bisa memaknai dirinya kalau dia juga butuh untuk secepatnya
diperiksa.
 Di adegan lain, ketika Jaka masuk dan dengan suara yang kasar meminta kepada
Suster agar dia diprioritaskan karena sudah mendaftar lewat telepon serta si Oma
yang tidak sabaran beradu mulut dengan Jaka, si pemuda terus mengeluarkan suara
batuk, ini merupakan sebagai suatu Fakta Sosial dan simbol tersebut bisa dimaknai
sebagai bentuk protes atau kritik terhadap Oma dan Jaka agar sabar dalam
menunggu antrian sesuai dengan aturan yang diterapkan di tempat praktek dokter.

Oleh : Isra Amin Ali

Pemerhati Sejarah dan Sosial Budaya

Referensi :

 Kamanto, Sunarto. 2000. Pengantar Sosiologi Edisi Kedua. Jakarta : Lembaga


Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
 Polama, Margareth. M., 2000. Sosiologi Kontemporer. Terj. Cet. Ke-5. Jakarta:
Rajawali Press.
 Ritzer, George et al. 2004. Teori Sosiologi Modern (Terj.). Jakarta: Prenada
Media.
 Sarmini. 2002. Teori-Teori Antropologi. Surabaya: Unesa University Press.
 Wagiyo, Dkk. 2004. Teori Sosial Moder. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas
Terbuka.
 https://www.youtube.com/watch?v=xDfp12Y4MDE&t=39s -- Gadis di Ruang
Tunggu
 itsmagnesiumbenzoate.blogspot.co.id
 tukangteori.com
 tulisandakwahislam.blogspot.co.id

Teori Interaksionisme Simbolik

Herbert Blummer
Herbert Blumer dan George Herbert Mead adalah yang pertama-tama
mendefinisikan teori symbolic interactionism.

Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksionisme simbolik,


yaitu tentang pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran
(thought). Premis ini nantinya mengantarkan kepada konsep ‘diri’
seseorang dan sosialisasinya kepada ‘komunitas’ yang lebih besar,
masyarakat.

Blumer mengajukan premis pertama, bahwa human act toward people


or things on the basis of the meanings they assign to those people or
things. Maksudnya, manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia
yang lainnya pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka
kenakan kepada pihak lain tersebut.

Sebagai contoh, dalam film Kabayan, tokoh Kabayan sebenarnya akan


memiliki makna yang berbeda-beda berpulang kepada siapa atau
bagaimana memandang tokoh tersebut. Ketika Kabayan pergi ke kota
besar, maka masyakat kota besar tersebut mungkin akan memaknai
Kabayan sebagai orang kampung, yang kesannya adalah norak,
kampungan. Nah, interaksi antara orang kota dengan Kabayan dilandasi
pikiran seperti ini. Padahal jika di desa tempat dia tinggal, masyakarat di
sana memperlakukan Kabayan dengan cara yang berbeda, dengan
perlakuan lebih yang ramah. Interaksi ini dilandasi pemikiran bahwa
Kabayan bukanlah sosok orang kampung yang norak.

Once people define a situation as real, its very real in its consequences.
Pemaknaan tentang apa yang nyata bagi kita pada hakikatnya berasal dari
apa yang kita yakini sebagai kenyataan itu sendiri. Karena kita yakin
bahwa hal tersebut nyata, maka kita mempercayainya sebagai kenyataan.

Dalam contoh yang sama, ketika kita memaknai Kabayan sebagai orang
yang kampungan, maka kita menganggap pada kenyataannya Kabayan
memang adalah orang yang kampungan. Begitu pula sebaliknya.
Premis kedua Blumer adalah meaning arises out of the social interaction
that people have with each other. Pemaknaan muncul dari interaksi sosial
yang dipertukarkan di antara mereka. Makna bukan muncul atau melekat
pada sesuatu atau suatu objek secara alamiah. Makna tidak bisa muncul
‘dari sananya’. Makna berasal dari hasil proses negosiasi melalui
penggunaan bahasa (language)—dalam perspektif interaksionisme
simbolik.

Di sini, Blumer menegaskan tentang pentingnya penamaan dalam proses


pemaknaan. Sementara itu Mead juga meyakini bahwa penamaan simbolik
ini adalah dasar bagi masyarakat manusiawi (human society).

Ketika kita menyebut Kabayan tadi dengan bahasa kampungan,


konsekuensinya adalah kita menarik pemaknaan dari penggunaan bahasa
‘kampungan’ tadi. Kita memperoleh pemaknaan dari proses negosiasi
bahasa tentang kata ‘kampungan’. Makna dari kata ‘kampungan’ tidaklah
memiliki arti sebelum dia mengalami negosiasi di dalam masyarakat sosial
di mana simbolisasi bahasa tersebut hidup. Makna kata kampungan tidak
muncul secara sendiri, tidak muncul secara alamiah. Pemaknaan dari
suatu bahasa pada hakikatnya terkonstruksi secara sosial.

Premis ketiga Blumer adalah an individual’s interpretation of symbols is


modified by his or her own thought process. Interaksionisme simbolik
menggambarkan proses berpikir sebagai perbincangan dengan diri sendiri.
Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif. Nah, masalahnya menurut
Mead adalah sebelum manusia bisa berpikir, kita butuh bahasa. Kita perlu
untuk dapat berkomunikasi secara simbolik. Bahasa pada dasarnya
ibarat software yang dapat menggerakkan pikiran kita.

Cara bagaimana manusia berpikir banyak ditentukan oleh praktek bahasa.


Bahasa sebenarnya bukan sekedar dilihat sebagai ‘alat pertukaran pesan’
semata, tapi interaksionisme simbolik melihat posisi bahasa lebih sebagai
seperangkat ide yang dipertukarkan kepada pihak lain secara simbolik.
Komunikasi secara simbolik.

George Herbert Mead


Perbedaan penggunaan bahasa pada akhirnya juga menentukan
perbedaan cara berpikir manusia tersebut. Contoh sederhana adalah cara
pikir orang yang berbahasa indonesia tentunya berbeda dengan cara pikir
orang yang berbahasa jawa. Begitu pula orang yang berbahasa sunda
akan berbeda cara berpikirnya dengan orang yang berbahasa inggris,
jerman, atau arab.

Akan tetapi walaupun pemaknaan suatu bahasa banyak ditentukan oleh


konteks atau konstruksi sosial, seringkali interpretasi individu sangat
berperan di dalam modifikasi simbol yang kita tangkap dalam proses
berpikir. Simbolisasi dalam proses interaksi tersebut tidak secara mentah-
mentah kita terima dari dunia sosial, karena kita pada dasarnya
mencernanya kembali dalam proses berpikir sesuai dengan preferensi diri
kita masing-masing.

Walaupun secara sosial kita berbagi simbol dan bahasa yang sama dalam
kontek Kabayan dan kata kampungan tadi, belum tentu dalam proses
berpikir kita sama-sama menafsirkan kata Kabayan dan kampungan
dengan cara atau maksud yang sama dengan orang yang lainnya.
Semuanya sedikit banyak dipengaruhi oleh interpretasi individu dalam
penafsiran simbolisasi itu sendiri.

Pemaknaan merujuk kepada bahasa. Proses berpikir merujuk kepada


bahasa. Bahasa menentukan bagaimana proses pemaknaan dan proses
berpikir. Jadi, ketiganya saling terkait secara erat. Interaksi ketiganya
adalah yang menjadi kajian utama dalam perspektif interaksionisme
simbolik.

Dalam tataran konsep komunikasi, maka secara sederhana dapat dilihat


bahwa komunikasi hakikatnya adalah suatu proses interaksi simbolik
antara pelaku komunikasi. Terjadi pertukaran pesan (yang pada dasarnya
terdiri dari simbolisasi-simbolisasi tertentu) kepada pihak lain yang diajak
berkomunikasi tersebut. Pertukaran pesan ini tidak hanya dilihat dalam
rangka transmisi pesan, tapi juga dilihat pertukaran cara pikir, dan lebih
dari itu demi tercapainya suatu proses pemaknaan.
Komunikasi adalah proses interaksi simbolik dalam bahasa tertentu
dengan cara berpikir tertentu untuk pencapaian pemaknaan tertentu pula,
di mana kesemuanya terkonstruksikan secara sosial.

Mungkin kontribusi terbesar Mead terhadap bagaimana kita memahami


cara kita berpikir adalah konsepsi Mead tentang ‘seni berperan’ (take the
role of the other).

Setelah kita paham tentang konsep meaning, language, dan thought saling
terkait, maka kita dapat memahami konsep Mead tentang ‘diri’ (self).
Konsep diri menurut Mead sebenarnya kita melihat diri kita lebih kepada
bagaimana orang lain melihat diri kita (imagining how we look to another
person). Kaum interaksionisme simbolik melihat gambaran mental ini
sebagai the looking-glass self dan bahwa hal tersebut dikonstruksikan
secara sosial.

Dalam konsepsi interaksionisme simbolik dikatakan bahwa kita cenderung


menafsirkan diri kita lebih kepada bagaimana orang-orang melihat atau
menafsirkan diri kita. Kita cenderung untuk menunggu, untuk melihat
bagaimana orang lain akan memaknai diri kita, bagaimana ekspektasi
orang terhadap diri kita. Oleh karenanya konsep diri kita terutama kita
bentuk sebagai upaya pemenuhan terhadap harapan atau tafsiran orang
lain tersebut kepada diri kita.

Kita acap kali mencoba memposisikan diri ke dalam orang lain, dan
mencoba melihat bagaimanakah perspektif orang tersebut ketika
memandang diri kita. Kita semacam meminjam kaca mata orang lain
tersebut untuk dan dalam melihat diri kita.
Konsep diri adalah fungsi secara bahasa. Tanpa pembicaraan maka tidak
akan ada konsep diri. Nah, konsep diri ini sendiri pada nantinya terbentuk
atau dikonstruksikan melalui konsep pembicaraan itu sendiri, melalui
bahasa (language).

Sebagai contoh adalah bagaimana proses komunikasi dan permainan


bahasa yang terjadi dalam hubungan antara dua orang, terutama pria
dengan wanita. Ketika mereka berkomunikasi dengan menggunakan
simbolisasi bahasa SAYA dan ANDA, maka konsep diri yang terbentuk
adalah “dia ingin diri saya dalam status yang formal”. Atu misalkan
simbolisasi bahasa yang dipakai adalah ELO dan GUE maka konsep diri
yang terbentuk adalah “dia ingin menganggap saya sebagai teman atau
kawan semata”. Dan tentunya akan sangat berbeda jika simbolisasi yang
digunakan adalah kata AKU dan KAMU, maka konsep diri yang lebih
mungkin adalah “dia ingin saya dalam status yang lebih personal, yang
lebih akrab” atau lebih merujuk kepada konsep diri bahwa “kita sudah
jadian atau pacaran”. Misalkan. Jadi, dalam suatu proses komunikasi,
simbolisasi bahasa yang digunakan akan sangat berpengaruh kepada
bagaimana konsepdiri yang nantinya akan terbentuk.

Lebih luas lagi pada dasarnya pola komunikasi ataupun pola interaksi
manusia memang bersifat demikian. Artinya, lebih kepada proses
negosiasi dan transaksional baik itu antar dua individu yang terlibat dalam
proses komunikasi maupun lebih luas lagi bagaimana konstruksi sosial
mempengaruhi proses komunikasi itu sendiri. Teori interaksionisme
simbolik mendeskripsikan hal ini secara gamblang.
Daftar Pustaka:

Griffin, Emory A., A First Look at Communication Theory, 5th edition, New
York: McGraw-Hill, 2003

Anda mungkin juga menyukai