Anda di halaman 1dari 16

Skenario 3.

“Gara-gara nyamuk penghisap darah, Sarah harus transfusi darah”

Sarah, seorang anak laki-laki berusia 7 tahun diantar ayahnya ke IGD RS


dengan keluhan demam yang dialami ± 5 hari sebelum masuk rumah sakit, terus-
menerus, menggigil,sakit kepala (+), nyeri ulu hati (+), mual (+), muntah (+), nafsu
makan berkurang, lemas (+), BAK lancar, BAB belum hari ini. Keluhan disertai
mimisan. Tetangga pasien memiliki keluhan serupa dan dirawat di RS. Hasil
pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 120 x/menit,
frekuensi napas 24 x/menit, suhu 40oC, ptekie (+), nyeri tekan epigastrium (+), akral
hangat, rumple leed (+). Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 15.4 g/dL,
leukosit 2.57x103 /μL, hematokrit 42.8%, trombosit 24.5x103/μL. Dokter melihat
adanya indikasi transfusi darah pada pasien. Dokter membuat permintaan darah yang
ditujukan kepada Bank Darah agar darah dapat segera diberikan kepada pasien.
Namun, dokter masih kebingungan untuk menentukan jenis transfusi yang harus
diberikan kepada pasien.

STEP 1
1. Tranfusi darah :
Proses pemindahan atau pemberian darah dr donor ke resipien, yang bertujuan
untuk mengganti darah yg menghilang, pemasukan darah secara langsung ke aliran
darah
2. Pteki :
Perdarahan pada kulit yg diameternya kurang dari 2mm, bitnik kecil merah
akibat keluarnya sejumlah darah
3. Rumple leed :
Test ketahaan kapiler untuk menguji ketahanan kapiler darah, dilakukan dgn
membendung pembuluh darah ven selama 10 menit
4. Hematocrit :
Presentasi volume eritrosit dalam darah
5. Mimisan :
Perdarahan pd hidung yg disebabkan pembuluh darah kecil yg pecah.
6. Bank darah :
suatu pelayanan kesehatan yg berguna agar darah aman dan bermutu, dg jumlah
yg mencukupi di rs untuk transfuse darah
7. Trombosit :
fregmen sitoplasma megakariotik dan tdk berinti dan terbebntuk pada sumsum
tulang belakang

STEP 2
1. Bagaimana interpretasi hasi pemeriksaan?
2. Mengapa Sarah mengalami trombositopenia dan ptekie pada skenario?
3. Mengapa terjadi demam dan epistaksis, nyeri pada epigastrium, mual dan muntah
pada skenario
4. Mengapa dilakukan transfuse darah dan indikasi apa yang mendasari dilakukannya
transfuse darah?
5. Apa hubungan usia dengan gejala pasien pada skenario?
6. Apa kemungkinan diagnosis pada skenario?

STEP 3
1. AFU
2. Selain infeksi virus, penyebab lain dari trombosit turun sementara adalah:
a. Leukemia akut.
b. Efek samping obat kemoterapi, heparin, pil kina, dan antibiotik golongan
sulfonamida.
c. Efek samping dari radioterapi.
d. Sindrom hemolitik uremik.
Selain ITP, trombositopenia yang berkepanjangan (kronis) juga dapat
disebabkan oleh:

a. Kecanduan alkohol dalam jangka panjang.


b. Penyakit liver.
c. Sindrom mielodisplasia.
d. Penyakit anemia aplastik.
e. Penyakit myelofibrosis.
f. Kelainan genetik, seperti Sindrom Wiskott-Aldrich.
g. Thrombotic thrombocytopenic purpura.

Petekie dapat terjadi akibat kelainan pembuluh darah, trombosit, dan


gangguan pembekuan darah. Pada beberapa orang dapat terjadi secara tiba-tiba
karena obat-obatan tertentu, seperti obat pengencer darah (warfarin, clopidogrel)
dan obat golongan antiradang.
Penyebab lainnya karena kondisi tertentu seperti sirosis hati, autoimun,
leukemia, dan penurunan kadar trombosit dalam darah setelah infeksi
virus. Kekurangan nutrisi, kekurangan vitamin K dan vitamin C juga dapat menjadi
pemicu.
3. Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih(monosit,
limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin,mediator inflamasi,
atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akanmengeluarkan zat kimia yang
dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF- α, dan IFN). Pirogen eksogen
dan pirogen endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk
prostaglandin. Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan
termostat di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu
sekarang lebih rendah dari
suhu patokan yang baru sehingga ini memicu mekanisme untuk meningkatkan
panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti
memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan
pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke
patokan yang baru tersebut.

Patofisiologi mimisan:
Aktivasi komplemen  menghasilkan anafilatoksin  permeabilitas kapiler
meningkat  plasma leakage  spots pembuluh kapiler mukosa mengeluarkan
darah perdarahan pada hidung (epistaksis).
Patofisiologi nyeri disebabkan karna adanya penyebaran virus yang
kemudian disebarkan ke endotel dan berkembang biak, setelah itu menyebabkan
kerja organ semakin memberat yang akhirnya menekan organ tersebut dan
menyebabkan nyeri.
4. AJI
5. Hubungan usia dengan gejala pada skenario seperti yang kita ketahui selama awal
tahun DBD epidemic pada setiap negara, keluhan yang dirasakan pasien kebanyakan
menyerang anak anak karena system imunitasnya yang masih rendah sehingga tidak
mampu melawan virus.Sebanyak 95 % kasus dilaporkan berumur kurang dari 15
tahun.Dari awal tahun 1996- 2000 proporsi kasus DBD terbanyak pada usia 4
sampai 5 tahun.Tetapi pada tahun 1998-2000 proporsi kasus DBD pada umur 15-
44 tahun meningkat.Keadaan tersebut perlu diwaspadai bahwa DBD cenderung
meningkat pada umur remaja dan dewasa .Yang dimaksud dengan anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun,termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
6. Dengue Hemoragic Fever adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai
lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik .
Penyakit DHF mempunyai perjalanan penyakit yang sangat cepat dan sering
menjadi fatal karena banyak pasien yang meninggal akibat penanganan yang
terlambat. Demam berdarah dengue (DBD) disebut juga dengue hemoragic fever
(DHF), dengue fever (DF), demam dengue, dan dengue shock sindrom (DDS).
penyakit DHF adalah penyakit yang disebabkan oleh Arbovirus ( arthro
podborn virus ) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes ( Aedes Albopictus
dan Aedes Aegepty ) nyamuk aedes aegepty.

STEP 4

dengue
hemoragic fever

Penegakan
etiologi & faktor Prognosis dan peran dokter
patofisiologi DHF diagnosis & DD Tatalaksana
resiko komplikasi keluarga
DHF

non medika
medikamentosaa mentosa (
transfusi darah)

STEP 5
1. Etiologi & factor resiko DHF
2. Patofisiologi DHF
3. Penegakan Diagnosis & DD DHF
4. Tatalaksana DHF
5. Komplikasi & Prognosis DHF
6. Peran dokter keluarga
STEP 6 Belajar Mandiri
STEP 7
1. Etiologi dan Fakto Risiko
Penyebab utama dari demam berdarah dengue adalah virus dengue yang
termasuk group B Arthropod borne virus (arboviruses) dan sekarang dikenal sebagai
genus flovavirus. Virus ini memiliki 4 jenis serotype yaitu Den-1, Den-2, Den-3,
dan Den-4. Infeksi dengan salah satu tipe serotype ini akan menimbulkan antibody
seumur hidup terhadap serotype yang lain. Di Indonesia Den-3 merupakan serotype
paling banyak. Dalam Laboratorium, virus dengue dapat bereplikasi pada hewan
mamalia seperti tikus, kelinci, anjing, kelelawar, dan primate. Penelitian pada
Arthropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk Aedes dan
Toxorynchites.
Fakto risiko dari demam berdarah dengue, yaitu :
a. Kepadatan Penduduk
b. Mobilitas penduduk
c. Kualitas perumahan
d. Usia
e. Kerentanan terhadap penyakit
f. Perilaku terhadap kebersihan lingkungan
g. Imunitas
2. Hipotesis the secondary of heterotypic dengue infection atau dikenal sebagai
antibody dengue enhancement (ADE), dimana seseorang setelah terinfeksi virus
dengue dengan salah satu serotipe secara primer akan mendapat infeksi berulang
dengan serotipe yang berlainan dalam jangka waktu yang diperkirakan antara enam
bulan sampai lima tahun. Jika orang tersebut mendapat infeksi sekunder oleh
serotipe vidur dengue lainnya maka akan terjadi infeksi yang berat. Hal tersebut
terjadi karena antibodi hetelogus yang terbentuk pada infeksi primer akan
membentuk kompleks virus antibodi dimana didalam sirkulasi akan mengaktivasi
sistem komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a sebagai
faktor meningkatnya permeabilitas dinding kapiler pembuluh darah yang akan
mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang ekstraseluler. Perembesaran
plasma ke ruang ekstraseluler akan menyebabkan volume plasma berkurang
sehingga akan terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi, dan juga
syok. Kemudian apabila renjatan atau hipovolemik yang berlangsung lama dan tidak
ditangain secara efektif akan menyebabkan beberapa keadaan seperti anoksia
jaringan, asidosis metabolik serta bisa menyebabkan kematian.
3. WHO membuat kriteria diagnose DBD ditegakkan jika memenuhi 2 kriteria klinis
ditambah dengan 2 kriteria laboratorium dibawah ini:
Kriteria Klinik
1) Demam tinggi mendadak, terus-menerus selama 2-7 hari
2) Terdapat manifestasi perdarahan seperti tourniquet positif, petechiae,
echimosis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi dan
hematemesisdan atau melena.
3) Pembesaran hati
4) Syok yang ditandai dengan nadi lemah dan cepat, tekanan nadi turun,
tekananan darah turun, kulit dingin dan lembab terutama ujung jari dan
ujung hidung, sianosis sekitar mulut, gelisah.
Kriteria Laboratoris
1) Trombositopenia (100.000/mm³ atau kurang)
2) Hemokonsentrasi, peningkatan hematokrit 20% atau lebih
Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Demam Berdarah Dengue
1) Derajat DBD I :
Gejalanya demam disertai 2 atau lebih tanda sakit kepala, nyeri retro
orbital, myalgia, arthralgia ditambah uji bending positif. Hasil lab
menunjukkan trombositopenia, bukti ada kebocoran plasma
2) Derajat DBD II :
Gejala diatas ditambah perdarahan spontan. Hasil lab menunjukkan
trombositopenia, bukti ada kebocoran plasma
3) Derajat DBD III :
Gejala diatas ditambah kegagalan sirkulasi (kulit dingin dan lembab
serta gelisah). Trombositopenia, bukti ada Kebocoran plasma.

4) Derajat DBD IV :
Syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak terukur.
Trombositopenia, bukti ada kebocoran plasma

Pemeriksaan penunjang
a. Uji Serologi :
1) Uji hemaglutinasi inhibasi ( Haemagglutination InhibitionTest= HI test)
Diantara uji serologis, uji HI adalah uji serologis yang paling sering
dipakai dan digunakan sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam uji HI ini :
a. Uji ini sensitif tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak
dapat menunjukan tipe virus yang menginfeksi
b. Antibodi HI bertahan didalam tubuh sampai lama sekali (48 tahun),
maka uji ini baik digunakan pada studi seroepidemiologi.
c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen empat kali lipatdari
titer serum akut atau konvalesen dianggap sebagai presumtive positif,
atau diduga keras positif infeksi dengue yang baru terjadi (Recent
dengue infection )
2) Uji Komplement Fiksasi ( Complement Fixation test = CF test)
Uji serologi yang jarang digunakan sebagai uji diagnostik secara rutin
oleh karena selain cara pemeriksaan agak ruwet, prosedurnya juga
memerluikan tenaga periksa yang sudah berpengalaman.
3) Uji neutralisasi ( Neutralisasi Tes = NT test )
Merupakan uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk virus
dengue. Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque Reduction
Neutralization Test ( PRNT ) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque
yang terjadi. Saat antibodi neutralisasi dideteksi dalam serum hampir
bersamaan dengan HI antibodi komplemen tetapi lebih cepat dari antibodi
fiksasi dan bertahan lama (48 tahun). Uji neutralisasi juga rumit dan
memerlukanwaktu yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin.
4) IgM Elisa ( IgM Captured Elisa = Mac Elisa)
Pada tahun terakhir ini, mac elisa merupakan uji serologi yang banyak
sekali dipakai. Sesuai namanya test ini akan mengetahui kandungan IgM dalam
serumpasien.
5) IgG Elisa
Pada saat ini juga telah beredar uji IgG elisa yang sebanding dengan uji
HI , hanya sedikit lebih spesifik. Pada dasarnya, hasil uji serologi dibaca dengan
melihat kenaikan titer antibodi fase konvalesen terhadap titer antibodi fase akut
(naik empat kali kelipatan atau lebih).
b. Metode Diagnosis Baru (RTPCR) :
Akhir-akhir ini dengan berkembangnya ilmu biologi molekular,
diagnosis infeksi virus dengue dapat dilakukan dengan suatu uji yang disebut
Reverse Transcriptase Polymerase Chai Reaction (RTPCR).
Cara ini merupakan cara diagnosis yang sangat sensitifdan spesifik
terhadap serotipe tertentu, hasil cepat didapat dan dapat diulang dengan mudah.
Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari spesimen yang berasal dari darah,
jaringan tubuh manusia , dan nyamuk. Meskipun sensitivitas PCR sama dengan
isolasi virus, PCR tidak begitu dipengaruhi oleh penanganan spesimen yang
kurang baik (misalnya dalam penyimpanan dan handling), bahkan adanya
antibodi dalam darah juga tidak mempengaruhi hasil dari PCR.
Diagnosa banding demam dengue
1) Arbovirus :
virus chikungunya (sering salah diagnosa di kawasan Asia Tenggara
2) Penyakit akibat virus lainnya :
Measles, rubella dan kelainan kulit akibat virus lainnya, virus Epstein-Barr,
enterovirus, influenza, hepatitis A, hantavirus
3) Penyakit akibat bakteri :
meningokoksemia, leptospirosis, tifoid, melioidosis, rickesttsia, demam scarlet
4) Penyakit akibat parasit :
Malaria
4. Pasien yang perlu rawat inap ialah pasien DD dengan tanda bahaya, DBD, dan SSD.
Pasien DD tanpa komorbid (DM,obesitas, sindrom nefrotik,dll) dapat dirawat jalan,
namun orang tua perlu dibekali tanda-tanda bahaya kapan pasien harus dibawa
kembali ke rumah sakit/dokter. Cairan kistaloid isotonik, (ringer laktat/ringer asetat)
merupakan cairan pilihan untuk pasien DBD. Jumlah cairan yang dibutuhkan ialah
sejumlah rumatan ditambah 5%. Bila hematokrit meningkat, jumlah cairan
ditingkatkan, dan sebaliknya. Segera berikan oksigen dan bolus cairan 10-20
ml/kgBB dalam 10-20 menit pada pasien yang mengalami syok. Jenis cairan awal
yang dapat diberikan ialah kristaloid isotonik, nilai segera setelah bolus cairan selesai
diberikan. Bila syok teratasi, turunkan cairan bertahap. Bila syok tidak teratasi,
lakukan kembali pemeriksaan hematokrit, bila masih tinggi, berikan bolus cairan
kristaloid/koloid kedua. Bila syok masih belum teratasi setelah pemberian bolus
cairan berulang, namun hematokrit rendah, cari apakah ada tanda perdarahan
eksternal/internal. Pada kasus perdarahan, pertimbangkan pemberian transfusi darah.
Berdasarkan panduan WHO 2009, pasien dengan infeksi dengue
dikelompokkan ke dalam 3 kelompok yaitu Grup A, B, dan C. Pasien yang termasuk
Grup A dapat menjalani rawat jalan. Sedangkan pasien yang termasuk Grup B atau C
harus menjalani perawatan di rumah sakit. Sampai saat ini belum tersedia terapi
antiviral untuk infeksi dengue. Prinsip terapi bersifat simptomatis dan suportif.
a) Grup A
Yang termasuk Grup A adalah pasien yang tanpa disertai warning signs
dan mampu mempertahankan asupan oral cairan yang adekuat dan
memproduksi urine minimal sekali dalam 6 jam. Sebelum diputuskan rawat
jalan, pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan. Pasien dengan hematokrit
yang stabil dapat dipulangkan. Terapi di rumah untuk pasien Grup A meliputi
edukasi mengenai istirahat atau tirah baring dan asupan cairan oral yang cukup,
serta pemberian parasetamol. Pasien beserta keluarganya harus diberikan KIE
tentang warning signs secara jelas dan diberikan instruksi agar secepatnya
kembali ke rumah sakit jika timbul warning signs selama perawatan di rumah.
b) Grup B
Yang termasuk Grup B meliputi pasien dengan warning signs dan
pasien dengan kondisi penyerta khusus (co-existing conditions). Pasien dengan
kondisi penyerta khusus sepertI kehamilan, bayi, usia tua, diabetes mellitus,
gagal ginjal atau dengan indikasi sosial seperti tempat tinggal yang jauh dari
RS atau tinggal sendiri harus dirawat di rumah sakit. Jika pasien tidak mampu
mentoleransi asupan cairan secara oral dalam jumlah yang cukup, terapi cairan
intravena dapat dimulai dengan memberikan larutan NaCl 0,9% atau Ringer’s
Lactate. dengan kecepatan tetes maintenance. Monitoring meliputi pola suhu,
balans cairan (cairan masuk dan cairan keluar), produksi urine, dan warning
signs.
Tatalaksana pasien infeksi dengue dengan warning signs adalah sebagai
berikut:
1) Mulai dengan pemberian larutan isotonic (NS atau RL) 5-7 ml/kg/jam selama
1-2 jam, kemudian kurangi kecepatan tetes menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-
4 jam, dan kemudian kurangi lagi menjadi 2-3 ml/kg/jam sesuai respons klinis.
2) Nilai kembali status klinis dan evaluasi nilai hematokrit. Jika hematokrit stabil
atau hanya meningkat sedikit, lanjutkan terapi cairan dengan kecepatan 2-3
ml/kg/jam selama 2-4 jam. Jika terjadi perburukan tanda vital dan peningkatan
cepat nilai HCT, tingkatkan kecepatan tetes menjdai 5-10 ml/kg/jam selama
1-2 jam
3) Nilai kembali status klinis, evaluasi nilai hematokrit dan evaluasi kecepatan
tetes infuse. Kurangi kecepatan tetes secara gradual ketika mendekati akhir
fase kritis yang diindikasikan oleh adanya produksi urine dan asupan cairan
yang adekuat dan nilai hematokrit di bawah nilai baseline.
4) Monitor tanda vital dan perfusi perifer (setiap 1-4 jam sampai pasien melewati
fase kritis), produksi urine, hematokrit (sebelum dan sesudah terapi pengganti
cairan, kemudian setiap 6-12 jam), gula darah, dan fungsi organ lainnya (profil
ginjal, hati, dan fungsi koagulasi sesuai indikasi).
c) Grup C
Yang termasuk Grup C adalah pasien dengan kebocoran plasma (plasma
leakage) berat yang menimbulkan syok dan/atau akumulasi cairan abnormal
dengan distres nafas, perdarahan berat, atau gangguan fungsi organ berat.
Terapi terbagi menjadi terapi syok terkompensasi (compensated shock) dan
terapi syok hipotensif (hypotensive shock).
Terapi cairan pada pasien dengan syok terkompensasi meliputi:
1) Mulai resusitasi dengan larutan kristaloid isotonik 5-10 ml/kg/jam selama 1
jam. Nilai kembali kondisi pasien, jika terdapat perbaikan, turunkan
kecepatan tetes secara gradual menjadi 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam,
kemudian 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, kemudian 2-3 ml/kg/jaM selama
2-4 jam dan selanjutnya sesuai status hemodinamik pasien. Terapi cairan
intravena dipertahankan selama 24-48 jam.
2) Jika pasien masih tidak stabil, cek nilai hematokrit setelah bolus cairan
pertama. Jika nilai hematorit meningkat atau masih tinggi (>50%), ulangi
bolus cairan kedua atau larutan kristaloid 10-20 ml/kg/jam selama 1 jam.
Jika membaik dengan bolus kedua, kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10
ml/kg/jam selama 1-2 jam dan lanjutkan pengurangan kecepatan tetes secara
gradual seperti dijelaskan pada poin sebelumnya.
3) Jika nilai hematokrit menurun, hal ini mengindikasikan adanya perdarahan
dan memerlukan transfusi darah (PRC atau whole blood).

Terapi cairan pada pasien dengan syok hipotensif meliputi:


1) Mulai dengan larutan kristaloid isotonik intravena 20 ml/kg/jam sebagai
bolus diberikan dalam 15 menit.
2) Jika terdapat perbaikan, berikan cairan kristaloid atau koloid 10 ml/kg/jam
selama 1 jam, kemudian turunkan kecepatan tetes secara gradual.
3) Jika tidak terdapat perbaikan atau pasien masih tidak stabil, evaluasi nilai
hematocrit sebelum bolus cairan. Jika hematokrit rendah (<40%), hal ini
menandakan adanya perdarahan, siapkan cross-match dan transfusi. Jika
hematokrit tinggi dibandingkan nilai basal, ganti cairan dengan cairan koloid
10-20 ml/kg/jam sebagai bolus kedua selama 30 menit sampai 1 jam, nilai
ulang setelah bolus kedua.
4) Jika terdapat perbaikan, kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10 ml/kg/jam
selama 1-2 jam, kemudian kembali ke cairan kristaloid dan kurangi
kecepatan tetes seperti poin penjelasan sebelumnya.
5) Jika pasien masih tidak stabil, evaluasi ulang nilai hematokrit setelah bolus
cairan kedua. Jika nilai hematokrit menurun, hal ini menandakan adanya
perdarahan. Jika hematokrit tetap tinggi atau bahkan meningkat (>50%),
lanjutkan infus koloid 10-20 ml/kg/jam sebagai bolus ketiga selama 1 jam,
kemudian kurangi menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian ganti
dengan cairan kristaloid dan kurangi kecepatan tetes.
6) Jika terdapat perdarahan, berikan 5-10 ml/kg/jam transfusi PRC segar atau
10-20 ml/kg/jam whole blood segar.
5. AJI
6. Peran dokter keluarga
a. Melakukan perlindungan diri sendiri dengan cara meniadakan sarang
nyamuk yang ada di rumah. Caranya dengan memakai kelambu saat tidur,
memakai obat nyamuk
b. Melakukan penyuluhan tentang PSN, yaitu 3M (menguras, menutup,
mengubur)
c. Melakukan vogging
d. Memberikan edukasi kepada orangtua pasien tentang tanda tanda syok.
Apabila terjadi syok langsung dibawa ke rumah sakit
DAFTAR PUSTAKA

1. Yussoff, nur, Suadarmana, Ketut. DEMAM BERDARAH DENGUE. Denpasar : FK


Universitas Udayana. 2018
2.Bidang Informasi & Komunikasi IDAI DIY. Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi
Dengue. http://www.idaijogja.or.id/diagnosis-dan-tatalaksana-infeksi-dengue/ diakses
pada 12 Des 2019 12:55:44
3. Guyton A.C. and J.E. Hall 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta:
EGC.
4. Chandra,A. Demam Berdarah Dengue. Dalam jurnal aspirator vol.2. UNDIP :
Semarang. 2010
5.Niluh,A. Demam Berdarah Dengue.FK UI.2009

Anda mungkin juga menyukai