Anda di halaman 1dari 20

MODEL , STRATEGI , DAN MODEL PEMBELAJARAN

(VALUE CLARIFICATION TECHNIQUE (VCT) DALAM PAI)

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metode Khusus
Pendidikan Agama

Dosen Pengampu: Alif Achadah,M.Pd.I

Disusun Oleh:(Kelompok 7)

ZAINUL HUDA

ALIFUL IQRA'

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

FAKULTAS ILMU KEISLAMAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN RAHMAT

MALANG

2019
KATA PENGANTAR

Tiada kata yang patut diungkapkan selain kata puja dan puji syukur kehadirat Allah
swt yang telah memberikan nikmat sehat, nikmat iman sehingga penyusunan makalah ini
dapat terselesaikan dengan baik. Sholawat dan salam tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
besar Muhammad saw, para sahabatnya dan para pengikunya hingga akhir zaman.
Dengan terselesainya malakah ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Alif
Achadah, M.Pd.I selaku dosen pengampu dalam mata kuliah pembelajaran MKPA yang
penuh pengabdian memberikan bimbingan kepada kami sehingga kami dapat menyusun
makalah ini dengan baik. Dan kami berterima kasih juga kepada teman-teman yang telah
membatu kami dalam menyusun makalah ini.
Kami pun menyadari bahwa penulisan makalah ini masih memiliki kekurangan dari
segi apapun dan hanya merupakan karya kecil dari ilmu pengetahuan di dunia ini. Kami
harap agar mendapatkan manfaat dan penalaman serta pemahaman yang lebih mendalam
tentang pendidikan.

Malang, 17 November 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap .......................................................... 3
B. Pengertian Value Clarification Technique ………………………………... 5
C. Tujuan Pembelajaran Value Clarification Technique ................................. 6
D. Bentuk-Bentuk Value Clarification Technique .......................................... 7
E. Model Pembelajaran Value Clarification Technique……………………… 8
F. Langkah-Langkah Pembelajaran Value Clarification Technique ............... 9
G. Kelebihan Model Pembelajaran Value Clarification Technique ................ 11
H. Kekuranagan Model Pembelajaran Value Clarification Technique ........... 12
I. Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif ....................................................... 12

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................................... 15
B. Saran ........................................................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pasal 3 dijelaskan bahwa Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangsanya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman, dan
betakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara demokratis serta bertanggung jawab.
Rumusan tujuan pendidikan diatas, sarat dengan pembentukan sikap. Dengan
demikian, tidaklah lengkap manakala dalam strategi pembelajaran tidak membahas
strategi pembelajaran yang berhubungan dengan pembentukan sikap dan nilai.
Strategi pembelajaran afektif memang berbeda dengan strategi pembelajaran kognitif
dan keterampilan. Afektif berhubungan dengan nilai (value), yang sulit diukur, oleh
karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Dalam batas tertentu
memang afeksi dapat muncul dalam kejadian behavioral, akan tetapi penilaiannya untuk
smapai pada kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan membutuhkan ketelitian dan
observasi yang terus menerus, dan hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan apalagi
menilai perubahan sikap sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru
disekolah. Kita tidak bisa menyimpulkan bahwa sikap anak itu baik, misalnya dilihst dari
kebiasaan berbahasa atau sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari proses
pembelajaran yang dilakukan guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh kebiasaan dalam
keluarga dan lingkungan sekitar.1

1
Prof. Dr. H. Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta:
KENCANA PRENADAMEDIA GROUP, 2006, h. 273

1
B. PerumusanMasalah
Berdasrkan pemaparan latar belakang diatas pemakalah memaparkan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian model pembelajaran Value Clarification Technique?
2. Apa saja tujuan model pembelajaran Value Clarification Technique?
3. Apa saja sintaks pembelajaran Value Clarification Technique?
4. Apa saja kelebihan model pembelajaran Value Clarification Technique?
5. Apa saja kekurangan model pembelajaran Value Clarification Technique?

C. Tujuan Penulis

Adapun Tujuan dari Rumusan Masalah yaitu:

1. Mengetahui model pembelajaran Value Clarification Technique


2. Mengetahui tujuan dari pembelajaran Value Clarification Technique
3. Mengetahui sintaks dari model pembelajaran Value Clarification Technique
4. Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari model pembelajaran Value
Clarification Technique

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap

Dimuka telah dijelaskan bahwa sikap (afektif) erat kaitannya dengan nilai yang
dimilki seseorang. Sikap merupakan refleksi dari nilai yang dimilki. Oleh karenanya,
pendidikan sikap pada dasarnya adalah pendidikan nilai.

Nilai adalah suatu konsep yang benda dalam pikiran manusia yang sifatnya
tersembunyi, tidak berada didalam dunia yang empiris. Nilai berhubungn dengan
pandangan seseorang tentang baik dan adil, dan lain sebagainya. Pandangan seseorang
tentang semua itu tidak bisa diraba, kita hanya mungkin dapat mengetahuinya dari
perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itulah nilai pada dasarnya standar perilaku,
ukuran yang menentukan atau kriteria seseorang tentang baik dan tidak baik, indah dan
tidak indah, layak dan tidak layak, dan lain sebagainya, sehingga standar itu yang akan
mewarnai perilaku seseorang. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya proses
penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan oleh karenanya siswa dapat
berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan
dengan norma-norma yang berlaku.

Douglas Graham (Gulo, 2002) melihat empat faktor yang merupakan dasar
kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu, yaitu :

a. Normativist. Biasanya kepatuhan pada norma-norma hukum. Selanjutnya


dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu: (1)
kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri; (2) kepatuhan pada proses tanpa
memperdulikan normanya sendiri; (3) kepatuhan pada hasilnya atau tujuan
yang diharapkannya dari peraturan itu.
b. Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan
pertimbangan-pertimbangan yang rasional.
c. Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekadar basa-basi.
d. Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.

Dari keempat fakor yang menjadi dasar kepatuhan setiap individu tentu saja
yang kita harapkan adalah kepatuhan yang bersifat normativist, sebab kepatuhan

3
semacam ini adalah kepatuhan yang didasari kesadaran akan nilai, tanpa
memerdulikan apakah perilaku itu menguntungkan untuk dirinya atau tidak.

Dalam masyarakat yang cepat berubah seperti dewasa ini, pendidikan nilai
bagi anak merupakan hal yang snagat penting. Hal ini disebabkan pada era global
dewasa ini, anak akan dihadapkan pada banyak pilihan tentang nilai yang mungkin
dianggapnya baik. Pertukaran dan pengikisan nilai-nilai suatu masyarakat dewasa ini
akan mungkin terjadi secara terbuka. Nilai-nilai yang dianggap baik oleh suatu
kelompok masyarakat bukan tak mungkin akan menjadi luntur digantikan oleh nilai-
nilai baru yang belum tentu cocok dengan budaya masyarakat.

Komitmen seseorang terhadap suatu nilai tertentu terjadi melalui pembentukan


sikap, yakni kecenderungan seseorang terhadap suatu objek. Gulo (2005)
menyimpulkan tentang nilai sebagai berikut:

 Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.


 Pengembangan domain efektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif
dan psikomotorik.
 Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah,
berkembang, sehingga bisa dibina.
 Perkembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, terapi melalui tahap
tertentu.

Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu


objek berdasarkan nilai yang dianggapnya baik atau tidak baik. Dengan demikian,
belajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu
objek berdasarkan penilaian terhadap objek itu sebagai hal yang berguna/berharga
(sikap positif) dan tidak berharga/berguna (sikap negatif). Sikap merupakan suatu
kemampuan internal yang berperan sekali dalam mengambil tindakan (action), lebih-
lebih apabila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau tersedia bebrapa
alternatif (Winkel, 2004).

Pernyataan kesenangan atau ketidaksenangan seseorang terhadap objek yang


dihadapinya, akan sangat di pengaruhi oleh tingkat pemahamannya (aspek kognitif)
terhadap onjek tersebut. Oleh karena itu, tingkat penalaran (kognitif) terhadap sesuatu
objek dan kemampuan untuk bertindak terhadapnya (psikomotorik) turut menentukan

4
sikap seseorang terhadap objek yang bersangkutan. Misalnya, seseorang yang dapat
memberikan penjelasan dari berbagai sudut bahwa mencuri itu tidak baik dan dilarang
oleh norma apa pun (aspek kognitif). Berdasarkan pengetahuannya itu ia tidak suka
melakukannya (aspek afektif) ; akan tetapi sikap negatif terhadap perbuatan mencuri
baru bisa kita lihat dari tindakan nyata bahwa walaupun ada kesempatan untuk
mencuri ia tidak melakukannya. Dan, penilaian terhadap sikap mencuri itu memang
tidak pernah ia lakukan, walaupun banyak kesempatan untuk itu.2

B. Pengertian Value Clarification Technique

Salah satu tugas peran pendidikan (khususnya pendidikan nilai) adalah


memberikan pembekalan/atau pengetahuann, melatih dan meningkatkan potensi siswa,
serta memberikan, aneka pengalaman belajar sesuai dengan target subtansiil dan atau pola
proses kwgiatan belajar mengajar. Menurut Djahiri (1979:115) menyatakan bahwa VCT
diartikan sebagai tehnik pengajaran untuk menanamkan dan menggali mengungkapkan
nilai-nilai tertentu dalil pada diri siswa tujuan VCT melalui pengajaran IPS (PPKn)
adalah:

1. Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai.

2. Membuna kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik yang positif
maupun yang negatif untuk kwmudian di bina ke arah peningkatan atau pembentulan.

3. untuk menanamkan suatu nilai kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima
siswa sebagai milik pribadinya.

4. Melatih dan membina tentang bagai mana cara menilai, mengambil jeputusan
terhadap suatu nilai umum untuk kemudian dilaksanakannya sebagaiwarga
masyarakat (Djahiri, 1979:116).3

Teknik mengklarifikasi nilai (value clarification technique) atau sering


disingkat VCT dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa
dalam mencapai dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi

2
Ibid, h. 274-277
3
Dr. Sapriya, M.Ed., dkk., M.Pd., pengembangan pendidikan IPS di SD bandung: UPI PRESS, 2007, h. 68

5
suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam
diri siswa.4

Menurut Steeman (Adisusilo, 2012) nilai adalah sesuatu yang memberi makna
pada hidup, yang memberi acuan, titik tolak dan tujuan hidup. Nilai adalah sesuatu
yang di junjung tinggi, dan dapat mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang.
Berdasarkan pengertian tersebut, nilai merupakan preferensi yang tercermin dari
perilaku seseorang, sehingga seseorang akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu
tergantung pada sistem nilai yang dipegangnya.

Menurut Toyibin dan Kosasih VCT adalah label dari suatu pendekatan atau
strategi belajar mengajar untuk pendidikan nilai-moral atau pendidikan afektif.

Model Pembelajaran VCT adalah merupakan teknik pendidikan nilai dimana


peserta didik dilatih untuk menemukan, memilih, menganalisis, membantu siswa
dalam mencari dan memutuskan mengambil sikap sendiri mengenai nilai-nilai hidup
yang ingin diperjuangkannya.Pada dasarnya bersifat induktif, berangkat dari
pegalaman-pengalaman kelompok menuju ide-ide yang umum tentang pengetahuan
dan kesadaran diri.5

C. Tujuan Model Pembelajaran Value Clarification Technique


Salah satu karakteristik VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran
sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang
sudah ada sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskan dengan nilai nilai
baru yang hendak ditanamkan. VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran
moral VCT bertujuan:

a. Untuk mengukur atau mengatahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai.
b. Membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik tingkatannya
maupun sifatnya (positif dan negatifnya) untuk kemudian dibina ke arah
peningkatan dan pembetulannya.

4
Prof. Dr. H. Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta:
KENCANA PRENADAMEDIA GROUP, 2006, h. 283
5
Djahiri, Ahmad Kosasih, Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral VCT dan Games dalam VCT, Bandung:
PMPKN FPIPS IKIP Bandung, 1985, h. 28

6
c. Untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang rasional
dan diterima siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan menjadi milik
siswa.
d. Melatih siswa bagaimana cara menilai, menerima, serta menagmbil keputusan
terhadap sesuatu persolan dalam hubungannya dengan kehidupan sehari-hari di
masyarakat.6
D. Bentuk-bentuk Value Clarification Technique

Djahiri (dalam Taniredja:2012) terdapat beberapa bentuk VCT, antara lain:


VCT dengan menganalisa suatu kasus yang kontroversial, suatu cerita yang dilematis,
mengomertari kliping, membuat laporan dan kemudian di analisa bersama,VCT
dengan menggunakan matrik. Jenis VCT ini meliputi: daftar baik-buruk, daftar tingkat
umum, daftar skala prioritas, daftar gejala kontinum, daftarpenilaian diri sendiri,
daftar membaca perkiraan orang lain tentang diri kira dan perisai. VCT dengan
menggunakan kartu keyakinan, kartu sederhana ini berisi: pokok masalah, dasar
pemikiran potif negatif dan pemecahan pendapat siswa yang kemudian diolah dengan
analisa yang melibatkan sikap siswa terhadap masalah tersebut, VCT melalui teknik
wawancara : cara ini melatih keberanian siswa dan mampu mengklarifikasi
pandangannya kepada lawan bicara dan menilai sacara baik, jelas dan sistematis,VCT
dengan teknik inkuiri nilai dengan pertanyaan acak random. Cara ini melatih siswa
berfikir kritis, analitis, rasa ingin tahu dan sekaligus mampu merumuskan berbagai
hipotesa/asumsi yang berusaha mengungkap suatu nilai atau sistem nilai yang ada
atau dianut atau yang menyimpang.

Taniredja (2012) mengungkapkan prinsip-prinsip VCT yang harus dipenuhi


dalan proses pembelajaran yakni sebagai berikut: Penanaman nilai dan pengubahan
sikap dipengaruhi banyak faktor, antara lain faktor potensi diri, kepekaan emosi,
intelektual dan faktor lingkungan, norma nilai masyarakat, sistem pendidikan dan
lingkungan keluarga dan lingkungan bermain, Sikap dan perubahan sikap
dipengaruhu oleh stimulus yang diterima siswa dan kekuatan nilai yang telah tertanam
atau dimiliki pada diri siswa,Nilai, norma dan moral dipengaruhi oleh faktor
perkembangan, sehingga guru harus mempertimbangkan tingkat perkembangan moral
(moral development) dari setiap siswa.

6
Op.cit, h. 284

7
E. Model Value Clarification Technique dalam pembelajaran IPS SD

1. VCT dengan model Evaluasi Diri dan Evaluasi Kelompok


Langkah-langkah pembelajaran:
a. Menentukan tema, misalnya kemacetan lalu lintas
b. Guru bertanya pada siswa, misalnya apakah kamu pernah mengalami
kemacetan lalu lintas
c. Siswa: menjawab pertayaan guru
Begitu seterusnya terjadi Tanya jawab antara guru dengan siswa, yang
akhirnya sampai pada tujuan yang diharapkan untuk menanamkan nilai-nilai
yang terkandung dalam materi tersebut hungga akhirnya siswa mampu mawas
diri dan berdialog dengan baik.
2. VCT dengan Model Menilai Suatu Bahan Tulisan
Langkah-langkah kegiatan:
a. Memilih suatu masalah/kasus/kejadian yamgdiambil atau dibuat oleh guru.
b. Siswa di[ersilahkan memberikan tanda-tanda penilaiannya dengan
menggunakan kode, misalya: baik buruk, benar salah, adil-tidak adil, dan
sebagainya.
c. Hasil kerja kemudian dibahas bersama-sama atau oleh kelompok jika dibagi
kelompok untuk memberikan kesembapatan alas an dan argumentasi terhadap
nilai tersebut.
Catatan: cara ini daapat dibalik, dimana yang memberikan penilaian adalah
guru, sedangkan siswa ditugaskaan untuk membuat suatu tulisan.
3. VCT dengan Model Permainan
Langkah-langkah kegiatan
a. Guru bertanya kepada siswa misalnya kalian suka bermain bukan?, sebagian
siswa menjawab suka pak/bu atau sebagian masih ada yang diam.
b. Guru kemudian melanjutkan pembicaraannya misalnya sekarang cara belajar
sambil bermain, setuju?. Siswa dengan semangat menjawab setuju pak/bu.
c. Menentukan tema yang akan dibawakan dalam permainan. Misalnya: sumpah
pemuda.
d. Membuat kesepakatan tentang waktu dan tempat yang cocok untuk kerja
kelompok, serta menyiapkan peralatan yang berupa lembar dan tugas siswa
e. Guru menjelaskan makna dan tata cara permainan

8
f. Guru: sekarang bapak/ibu akan mengelompokkan kelas menjadi 5 kelompok.
Guru dansiswa bersama-sama membagi kelompok.
g. Guru membagikan data pernmainan
h. Siswa melakukan erja kelompok dengan berdiskusi
i. Guru bersama peserta didikmengambil kesimpulan dan dilanjutkan
pengarahan oleh guru dengan mengaitkan nila-nilai yang sesuai dengan tema
materi pembelajaran yang sedang digarapnya pada jam pelajaran tersebut.
4. VCT dengan Model Value Inquiry
Langkah-langkah kegiatan
a. Guru mengemukakan bahasan yang akan dibahas pada saat pembelajaran.
Misalnya: pokok bahasan transportasi.
b. Guru bersama siswa memilih dan merumuskan masalah. Misalnya:
pencemaran lingkungan. Pada kegiatan ini guru dapat menanyakan meminta
keterangan kepada siswa, misalnya apa pencemaran lingkungan, apa yang
dapat membuat pencemaran lingkungan, mengapa terjadi pencemaran
lingkungan, dan masih banya contoh lainnya.
c. Guru bertanya tenytang perasaan siswa tentang perasaan yang dirasakannya
mengenai kejadian masalah yang dilihat dan dialaminya sedangkan peserta
didik mengemukakan perasaan yang yang dirasakannya mengenai kejadian
masalah yang dilihat atau dialaminya.
d. Mencari alternatif pendapat pihak lain diluar siswa, misalnya: guru bertanya
kepada siswa gimana kira-kira pendapat masyarakat, pemerintah, polisi, dan
sebagainya.
e. Membuat kesimpulan penilaian, misalnya mengemukakan alat transportasi apa
yang membuat pencemaran lingkungan, bagai man amenghindari atau
mengantisipasi timbulnya pencemaran lingkungan, membuat saran saran
tentang dampak pencemaran lingkungan.7

F. Langkah-langkah Pembelajaran Value Clarification Technique

John Jarolimek (1974) menjelaskan langkah pembelajaran dengan VCT dalam


7 tahap yang dibagi ke dalam 3 tingkat. Setiap tahapan dijelaskan dibawah ini.

I. Kebebasan Memilih
7
Op.cit, h. 71

9
Pada tingkat ini terdapat 3 tahap, yaitu:
a. Memilih secara bebaas, artinya kesempatan untuk menentukan pilihan yang
menurutnya baik. Nilai yang dipaksakan tidak akan menjadi miliknya secara
penuh.
b. Memilih dari beberapa alternatif. Artinya, untuk menentukan pilihan dari
beberapa alternatif pilihan secara bebas.
c. Memilih setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang akan
timbul sebagai akibat pilihannya.
II. Menghargai
Terdiri atas 2 tahap pembelajaran:
a. Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya,
sehingga nilai tersebut akan menjadi bagian integral dari dirinya.
b. Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya di depan
umum. Artinya, bila kita menganggap nilai itu suatu pilihan, maka kita akan
berani dengan penuh kesadaran untuk menunjukkan di depan orang lain.
c. Berbuat
Terdiri atas:
a) Kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya.
b) Mengulangi perilaku sesuai dengan nilai pilihannya. Artinya, nilai
yang menjadi pilihan itu harus tercermin dalam kehidupannya sehari-hari.

VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang


menurut anggapannya baik, yang pada gilirannya nilai-nilai tersebut akan mewarnai
perilakunya dalam kehidupan sehari hari di masyarakat. Dalam praktik pembelajaran,
VCT dikembangkan melalui proses dialog antara guru dan siswa. Proses tersebut
hendaknya berlangsung dalam suasana santai dan terbuka, sehingga setiap siswa dapat
mengungkapkan secara bebas perasaannya. Beberapa hal yang harus diperhatikan
guru dalam mengimplementasikan VCT melalui proses dialog:

 Hindari penyampain pesan melalui proses pemberian nasihat, yaitu


memberikan pesan-pesan moral yang membuat guru dianggap baik.
 Jangan memaksa siswa untuk memberi respon tertentu apabila memang siswa
tidak menghendakinya.

10
 Usahakan dialog dilaksanakan secara bebas dan terbuka. Sehingga siswa akan
mengungkapkan perasaannya secara jujur dan apa adanya.
 Dialog dilaksanakan kepada individu, bukan kepada kelompok kelas.
 Hindari respons yang dapat menyebabkan siswa terpojok, sehingga ia menjadi
defensif.
 Tidak mendesak siswa pada pendirian tertentu.
 Jangan mengorek alasan siswa lebih dalam.8

Menurut Djahiri antara lain : (a) penentuan stimulus yang bersifat dilematik,
(b) penyajian stimulus melalui peragaan, membacakan, atau meminta bantuan siswa
untuk memeragakan, yang melahirkan kegiatan yang meliputi : pengungkapan
masalah, identifikasi fakta yang dimuat stimulus, menentukan kesamaan pengertian
yang perlu, menentukan masalah utama yang akan dipecahkanVCT, (c) penentuan
posisi/pilihan/pendapat melalui : penentuan pilihan individual, penentuan pilihan
kelompok dan kelas, klasifikasi atas pilihan tersebut, (d) menguji alasan, mencakup
kegiatan: meminta argumentasi siswa/kelompok/kelas, pemantapan argumentasi
melalui: mempertentangkan argumen demi argumen, penerapan kejadian secara
analogis, mengkaji akibat-akibat penerapan tersebu, mengkaji kemungkinan dari
kenyataan, (e) penyimpulan dan pengarahan, melalui: kesimpulan para siswa/
kelompok/ke1as, penyimpulan dan pengarahan guru, (f) tindak lanjutan (follow up),
berupa : kegiatan perbaikan atau pengayaan, kegiatan ekstra/latihan/uji coba
penerapan.9
G. Kelebihan Model Pembelajaran Value Clarification Technique

Menurut Taniredja keunggulan VCT memiliki keunggulan untuk


pembelajaran afektif yaitu mampu mengundang, melibatkan, membina dan
mengembangkan potensi diri siswa terutama mengembangkan potensi sikap. Selain
itu juga mampu mengklarifikasi/menggali dan mengungkapkan isi pesan materi yang
disampaikan selanjutnya akan memudahkan bagi guru untuk menyampaikan
makna/pesan nilai/moral.

1. Mampu membina dan menanamkan nilai danmoral pada ranah internal side.

8
Prof. Dr. H. Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta:
KENCANA PRENADAMEDIA GROUP, 2006, h. 283-285
9
Djahiri, Ahmad Kosasih, Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral VCT dan Games dalam VCT, Bandung:
PMPKN FPIPS IKIP Bandung, 1985, h. 51-52

11
2. Mampu mengklarifikasimenggali dan mengungkapkan isi pesan materi
yangdisampaikan selanjutnya akan memudahkan bagi guruuntuk
menyampaikan makna, pesan nilai danmoral.
3. Mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilaimoral diri siswa, melihat
nilai yang ada pada orang laindan memahami nilai moral yang ada dalam
kehidupannyata.
4. Mampu mengundang, melibatkan membina danmengembangkan potensi diri
siwa terutamamengembangkan nilai sikap. Mampu memberikansejumlah
pengalaman belajar dari bebagai kehidupan.
5. Mampu menangkal, meniadakan, mengintervensi danmemadukan berbagai
nilai moral dalam sitem nilai danmoral yang ada dalam diri seseorang.
Memberi gambarannilai moral yang patut diterima dan menuntun
sertamemotivasi untuk hidup layak dan bermoral tinggi.10
H. Kekurangan Model Pembelajaran Value Clarification Technique (Teknis
Klarifikasi Nilai)
Kelemahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau sikap
adalah proses pembelajaran dilakukan secara langsung oleh guru, artinya, guru
menanamkan nilai-nilai yang dianggapnya baik tanpa memperhatikan nilai yang
sudah tertanam dalam diri siswa. Akibatnya, sering terjadi benturan atau konflik
dalam diri siswa karena ketidakcocokan antara nilai lama yang sudah terbentuk
dengan nilai baru yang ditanamkan oleh guru. Siswa sering mengalami kesulitan
dalam menyelaraskan nilai lama dn nilai baru.

I. Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif

Disamping aspek pembentukan kemampuan intelektual untuk membentuk


kecerdasan peserta didik dan pembentuk keterampilan untuk mengembangkan
kompetensi agar peserta didik memilki kemampuan motorik, maka pembentukan
sikap peserta didik merupakan aspek yang tidak kalah pentingnya. Proses pendidikan
bukan hanya membentuk kecerdasan dan atau memberikan keterampilan tertentu saja,
akan tetapi juga membentuk dan mengembangkan sikap agar anak berperilaku sesuai
dengan norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Namun demikian, dalam proses
pendidikan disekolah proses pembelajaran sikap kadang-kadang terabaikan. Hal ini

10
Op.cit, h. 91

12
disebabkan proses pembelajaran dan pembentukan akhlak memilki beberapa
kesulitan.
Pertama, selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku
cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual. Dengan demikian, keberhasilan
proses pendidikan dan proses pembelajaran di sekolah ditentukan oleh kriteria
kemampuan intelektual (kemampuan kognitif). Akibatnya, upaya yang dilakukan
setiap guru diarahkan kepada bagaimana agar anak dapat menguasai sejumlah
pengetahuan sesuai dengan standar kurikulum yang berlaku, oleh karena kemampuan
intelektual identik dengan penguasaan materi pelajaran.
Kedua, sulitnya melakukan kontrol karena banyak nya faktor yang dapat
mempengaruhi pengembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap
baik melalui pembiasaan maupun modeling bukan hanya ditentukan oleh faktor guru,
akan tetapi juga faktor-faktor lain terutama faktor lingkungan. Artinya, walaupun di
sekolah guru berusaha memberikan contoh yang baik, akan tetapi manakala tidak
didukung oleh lingkungan anak baik lingkungan sekolah maupun lingkungan
masyarakat, maka pembentukan sikap akan sulit dilaksanakan. Misalnya, ketika anak
diajarkan tentang keharusan bersikap jujur dan disiplin, maka sikap tersebut akan sulit
diinternalisasi manakala di lingkungan luar sekolah anak banyak melihat perilaku-
perilaku ketidakjujuran dan ketidakdisiplinan. Walaupun guru di sekolah begitu keras
menekankan pentingnya sikap tertib berlalu lintas maka sikap tersebut akan sulit
diadopsi oleh anak manakala ia melihat begitu banyak orang yang melanggar rambu-
rambu lalu lintas. Pembentukan sikap memang memerlukan upaya semua pihak, baik
lingkungan sekolah, keluarga, maupun lingkungan masyarakat.
Ketiga, keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera.
Berbeda dengan pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya
dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir, maka keberhasilan dari
pembetukan sikap baru dapat dilihat pada rentang waktu yang cukup panjang. Hal ini
disebabkan sikap berhubungan dengan internalisasi nilai yang memerlukan proses
yang lama.
Keempat, pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang
menyuguhkan aneka pilihan program acara,berdampak pada pembentukan karakter
anak. Tidak bisa kita pungkiri, program-program televisi, misalnya yang banyak
menayangkan program acara produksi luar yang memiliki latar belakang budaya yang

13
berbeda, kebutuhan pendidikan yang berbeda, dan banyak ditonton oleh anak-anak,
sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap dan mental anak.11

11
Ibid, h. 286-288

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut Djahiri (1979:115) menyatakan bahwa VCT diartikan sebagai tehnik
pengajaran untuk menanamkan dan menggali mengungkapkan nilai-nilai tertentu
dalil pada diri siswa.
Salah satu karakteristik VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran
sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang
sudah ada sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskan dengan nilai nilai
baru yang hendak ditanamkan
Menurut Taniredja keunggulan VCT memiliki keunggulan untuk
pembelajaran afektif yaitu mampu mengundang, melibatkan, membina dan
mengembangkan potensi diri siswa terutama mengembangkan potensi sikap. Selain
itu juga mampu mengklarifikasi/menggali dan mengungkapkan isi pesan materi yang
disampaikan selanjutnya akan memudahkan bagi guru untuk menyampaikan
makna/pesan nilai/moral
Kelemahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau sikap
adalah proses pembelajaran dilakukan secara langsung oleh guru, artinya, guru
menanamkan nilai-nilai yang dianggapnya baik tanpa memperhatikan nilai yang
sudah tertanam dalam diri siswa. Akibatnya, sering terjadi benturan atau konflik
dalam diri siswa karena ketidakcocokan antara nilai lama yang sudah terbentuk
dengan nilai baru yang ditanamkan oleh guru. Siswa sering mengalami kesulitan
dalam menyelaraskan nilai lama dn nilai baru.

15
B. Saran

Guru hendaknya menerapkan model pembelajaran VCT, khususnya pada materi


yang berbasis nilai. Karena terbukti lebih efektif dalam menanamkan nilai positif ,
membentuk sikap, dan meningkatkan keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran, yang
pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada aspek afektif. Sebagai cara
peningkatannya yaitu melalui sitimulussitimulus, seperti ilustrasi cerita yang mengandung
dilemma nilai. Guru hendaknya dalam penerapan model pembelajaran VCT, perlu
menggunakan metode kerja kelompok dan penugasan untuk melatih kerja sama dalam
kelompok serta membimbing siswa memiliki pemahaman pengetahuan untuk mencari
dan menemukan jawaban dari suatu permasalahan. Dengan cara diberikan suatu ilustrasi
cerita. Guru hendaknya menerapkan model pembelajaran VCT dengan memanfaatkan
berbagai media pembelajaranyang inovatif dan relevan seperi media gambar, atau media
video karena bisa meningkatkan motivasi belajar dan kesadaran nilai pada diri siswa.
Untuk mendapatkan respon yang baik terhadap model pembelajaran VCT, hendaknya
guru memiliki berbagai alternatif dalam melaksanakan pembelajaran seperti pemberian
reward kepada siswa yang aktif, sehingga dapat memotivasi dan menarik perhatian siswa
dalam pembelajaran.

16
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
Jakarta: Ibid, h. 274-277
Dr. Sapriya, M.Ed., dkk., M.Pd., pengembangan pendidikan IPS di SD bandung: UPI PRESS,
2007, h. 68
Prof. Dr. H. Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
Jakarta: KENCANA PRENADAMEDIA GROUP, 2006, h. 283
Djahiri, Ahmad Kosasih, Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral VCT dan Games dalam
VCT, Bandung: PMPKN FPIPS IKIP Bandung, 1985, h. 28
Op.cit, h. 284
Op.cit, h. 71 Prof. Dr. H. Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan, Jakarta: KENCANA PRENADAMEDIA GROUP, 2006, h. 283-285
Djahiri, Ahmad Kosasih, Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral VCT dan Games dalam
VCT, Bandung: PMPKN FPIPS IKIP Bandung, 1985, h. 51-52
Op.cit, h. 91
Ibid, h. 286-288

17

Anda mungkin juga menyukai