Anda di halaman 1dari 84

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN KASUS ISOLASI SOSIAL

DIRS SAMBANG LIHUM BANJARBARU

I. KONSEP DASAR TEORI

A. PENGERTIAN

Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh

seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (

Twondsend, 1998 ). Atau suatu keadaan dimana seseorang individu

mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan

orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima,

kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dan tidak mampu

membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Budi Anna Kelliat, 2006).

B. ETIOLOGI

1. Perkembangan: Sentuhan, perhatian, kehangatan dari keluarga yang

mengakibatkan individu menyendiri, kemampuan berhubungan dengan

orang lain tidak adekuat yang berakhir dengan menarik diri.

2. Komunikasi dalam keluarga: Klien sering mengalami kecemasan dalam

berhubungan dengan anggota keluarga, sering menjadi kambing hitam,

sikap keluarga tidak konsisten (kadang boleh, kadang tidak). Situasi ini

membuat klien enggan berkomunikasi dengan orang lain.

1
3. Sosial Budaya: Di kota besar, masing-masing individu sibuk

memperjuangkan hidup sehingga tidak waktu bersosialisasi. Situasi ini

mendukung perilaku menarik diri.

Pada mulanya klien merasa dirinya tidak berharga lagi sehingga

merasa tidak aman dalam berhubungan dengan orang lain. Biasanya klien

berasal dari lingkungan yang penuh permasalahan, ketegangan,

kecemasan dimana tidak mungkin mengembangkan kehangatan emosional

dalam hubungan yang positif dengan orang lain yang menimbulkan rasa

aman.

Dunia merupakan alam yang tidak menyenangkan, sebagai usaha

untuk melindungi diri, klien menjadi pasif dan kepribadiannya semakin

kaku (rigid).Klien semakin tidak dapat melibatkan diri dalam situasi yang

baru.Ia berusaha mendapatkan rasa aman tetapi hidup itu sendiri begitu

menyakitkan dan menyulitkan sehingga rasa aman itu tidak tercapai. Hal

ini menyebabkan ia mengembangkan rasionalisasi dan mengaburkan

realitas daripada mencari penyebab kesulitan serta menyesuaikan diri

dengan kenyataan.

Konflik antara kesuksesan dan perjuangan untuk meraih kesuksesan

itu sendiri terus berjalan dan penarikan diri dari realitas diikuti penarikan

diri dari keterlibatan secara emosional dengan lingkungannya yang

menimbulkan kesulitan. Semakin klien menjauhi kenyataan semakin

kesulitan yang timbul dalam mengembangkan hubungan dengan orang

2
lain. Menarik diri juga disebabkan oleh perceraian, putus hubungan, peran

keluarga yang tidak jelas, orang tua pecandu alkohol dan penganiayaan

anak.Resiko menarik diri adalah terjadinya resiko perubahan sensori

persepsi (halusinasi).

C. Fase Terjadinya Masalah


Menurut (Stuart. G. W ; 2007 ) isolasi sosial di sebabkan oleh beberapa faktor
antara lain:
a. Faktor Predisposisi
1) Faktor tumbang :
tugas perkembangan pada fase tumbang tidak terselesaikan
2) Faktor komunikasi dalam keluarga :
komunikasi yang tidak jelas (suatu keadaan dimana seorang
menerimapesan yang saling bertentangan dlm waktu yg bersamaan),
ekpresi emosi yang tinggi dalam keluarga yg menghambat untuk
berhubungan dengan lingkungan diluar keluarga.
3) Faktor Sosial Budaya :
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial,
disebabkan norma - norma yang salah dianut keluarga, seperti :
anggota keluarga tidak produktif ( lansia, berpenyakit kronis dan
penyandang cacat) diasingkan dari lingkungan sosialnya.
4) Faktor biologis :
gangguan dalam otak, seperti pada skizofrenia terdapat
struktur otak yang abnormal ( atropi otak, perubahan ukuran dan
bentuk sel – sel dalam limbik dan daerah kortik
b. Faktor Presipitasi
1) Faktor eksternal :
stressor sosial budaya : stress yang ditimbulkan oleh faktor
sosial budaya ( keluarga.
2) Faktor Internal :

3
stresor psikologik : stres terjadi akibat ansietas
berkepanjangan disertaiakibat keterbatasan kemampuan
membatasinyaketerba

D. RENTANG RESPON

Hubungan dengan orang lain dan lingkungan menimbulkan respon

sosial pada individu

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Menyendiri Menarik Diri

Otonomi Impulsif

Bekerjasama Manifulatif

Saling Tergantung Narkisme

Tergantung

Curiga

1. Respon Adaptif

Respon yang masih dapat diterima oleh norma –norma sosial dan

kebudayaan secara umum yang berlaku di masyarakat. Respon

adaptif terdiri dari :

a. Menyendiri(Solitude): Merupakan respons yang dibutuhkan

seseorang untuk merenungkan apa yang telah dilakukan di

lingkungan sosialnya dan suatu cara mengevaluasi diri untuk

4
menentukan langkah selanjutnya. Solitude umumnya dilakukan

setelah melakukan kegiatan.

b. Otonomi: Merupakan kemampuan individu untuk menentukan

dan menyampaikan ide-ide pikiran, perasaan dalam hubungan

sosial.

c. Bekerja sama (mutualisme): adalah suatu kondisi dalam

hubungan interpersonal dimana individu tersebut mampu untuk

saling memberi dan menerima.

d. Saling tergantung (interdependen): Merupakan kondisi saling

tergantung antara individu dengan orang lain dalam membina

hubungan interpersonal.

2. Respon Maladaptif

Respon maladaptif adalah respon yang menimbulkan gangguan

dengan berbagai tingkat keparahan (Stuart dan Sundeen, 1998).

Respon maladaptif terdiri dari :

a. Menarik diri: merupakan suatu keadaan dimana seseorang

menemukan kesulitan dalam membina hubungan secara

terbuka dengan orang lain.

b. Manipulasi: Merupakan gangguan hubungan sosial yang

terdapat pada individu yang menganggap orang lain sebagai

objek. Individu tersebut tidak dapat membina hubungan sosial

secara mendalam.

5
c. Impulsif: Individu impulsif tidak mampu merencanakan

sesuatu, tidak mampu belajar dari pengalaman, tidak dapat

diandalkan.

d. Narkisisme: Pada individu narkisisme terdapat harga diri yang

rapuh, secara terus menerus berusaha mendapatkan

penghargaan dan pujian, sikap egosenetris, pencemburuan,

marah jika orang lain tidak mendukung.

e. Tergantung (dependen): terjadi bila seseorang gagal

mengembangkan rasa percaya diri atau kemampuannya untuk

berfungsi secara sukses.

f. Curiga: Terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa

percaya dengan orang lain. Kecurigaan dan ketidakpercayaan

diperlihatkan dengan tanda-tanda cemburu, iri hati, dan

berhati-hati. Perasaan individu ditandai dengan humor yang

kurang, dan individu merasa bangga dengan sikapnya yang

dingin dan tanpa emosi.

E. TANDA DAN GEJALA

1. Menyendiri dalam ruangan

2. Tidak berkomunikasi, menarik diri, tidak melakukan kontak mata

3. Sedih, afek datar

4. Perhatian dan tindakan tidak sesuai dengan usia

5. Mengekspresikan penolakan atau kesepian pada orang lain

6
6. Menggunakan kata – kata simbolik

7. Menggunakan kata – kata yag tidak berarti

8. Konak mata kurang, tidak mau menatap lawan bicara

F. BATASAN KARAKTERISTIK

Batasan karakteristik klien dengan isolasi sosial menurut Nanda - I, (2012),

dibagi menjadi dua, yaitu Objektif dan Subjektif :

1. Objektif

a. Tidak ada dukungan orang yang dianggap penting

b. Perilaku yang tidak sesuai dengan perkembangan

c. Efek tumpul

d. Bukti kecacatan

e. Ada di dalam subkultur

f. Sakit

g. Tindakan tidak berarti

h. Tidak ada kontak mata

i. Dipenuhi dengan pikiran sendiri

j. Menunjukkan permusuhan

k. Tindakan berulang

l. Efek sedih

m. Ingin sendirian

n. Tidak komunikatif

o. Menarik diri

7
2. Subjektif

a. Minat yang tidak sesuai dengan perkembangan

b. Mengalami perasan berbeda dari orang lain

c. Ketidak mampuan memenuhi harapan orang lain

d. Tidak percaya diri saat berhadapan dengan publik

e. Mengungkapkan perasaan yang didorong oleh orang lain

f. Mengungkapkan perasaan penolakan

g. Mengungkapkan tujuan hidup yang tidak adekuat

h. Mengungkapkan nilai yang tidak dapat diterima oleh kelompok

kultural yang dominan

G.PENATALAKSANAAN

1. Terapi Psikofarmaka

a. Chlorpromazine

Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam kemampuan

menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya ingat norma sosial dan

tilik diri terganggu, berdaya berat dalam fungsi-fungsi mental: faham,

halusinasi. Gangguan perasaan dan perilaku yang aneh atau tidak

terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, tidak

mampu bekerja, berhubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.

Mempunyai efek samping gangguan otonomi (hypotensi)

antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi,

hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi,

8
gangguan irama jantung. Gangguan ekstra pyramidal (distonia akut,

akathsia sindrom parkinson). Gangguan endoktrin (amenorhe).

Metabolic (Soundiee). Hematologik, agranulosis. Biasanya untuk

pemakaian jangka panjang. Kontraindikasi terhadap penyakit hati,

penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).

b. Haloperidol (HLP)

Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi mental

serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki efek samping

seperti gangguan miksi dan parasimpatik, defeksi, hidung tersumbat

mata kabur , tekanan infra meninggi, gangguan irama jantung.

Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit darah, epilepsy,

kelainan jantung (Andrey, 2010).

c. Trihexyphenidil (THP)

Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca ensepalitis dan

idiopatik, sindrom Parkinson akibat obat misalnya reserpina dan

fenotiazine. Memiliki efek samping diantaranya mulut kering,

penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitasi, konstipasi,

takikardia, dilatasi, ginjal, retensi urine. Kontraindikasi terhadap

hypersensitive Trihexyphenidil (THP), glaukoma sudut sempit,

psikosis berat psikoneurosis (Andrey, 2010).

2. Terapi Individu

Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial dapat diberikan

strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP dengan masing-masing

9
strategi pertemuan yang berbeda-beda. Pada SP satu, perawat

mengidentifikasi penyebab isolasi social, berdiskusi dengan pasien

mengenai keuntungan dan kerugian apabila berinteraksi dan tidak

berinteraksi dengan orang lain, mengajarkan cara berkenalan, dan

memasukkan kegiatan latihan berbiincang-bincang dengan orang lain ke

dalam kegiatan harian. Pada SP dua, perawat mengevaluasi jadwal

kegiatan harian pasien, memberi kesempatan pada pasien mempraktekkan

cara berkenalan dengan satu orang, dan membantu pasien memasukkan

kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain sebagai salah satu

kegiatan harian. Pada SP tiga, perawat mengevaluasi jadwal kegiatan

harian pasien, memberi kesempatan untuk berkenalan dengan dua orang

atau lebih dan menganjurkan pasien memasukkan ke dalam jadwal

kegiatan hariannya (Purba, dkk. 2008)

3. Terapi kelompok

Menurut (Purba, 2009), aktivitas pasien yang mengalami ketidakmampuan

bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:

a. Activity Daily Living (ADL) adalah tingkah laku yang berhubungan

dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang meliputi:

1) Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien sewaktu

bangun tidur.

2) Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua

bentuk tingkah laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB

dan BAK.

10
3) Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam

kegiatan mandi dan sesudah mandi.

4) Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan

keperluan berganti pakaian.

5) Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada waktu,

sedang dan setelah makan dan minum.

6) Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan

dengan kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan dengan

kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.

7) Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti dan

dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak

menggunakan/menaruh benda tajam sembarangan, tidak merokok

sambil tiduran, memanjat ditempat yang berbahaya tanpa tujuan

yang positif.

8) Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien untuk

pergi tidur. Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku pergi tidur ini

perlu diperhatikan karena sering merupakan gejala primer yang

muncul padagangguan jiwa. Dalam hal ini yang dinilai bukan

gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi bagaimana pasien mau

mengawali tidurnya.

b. Tingkah laku sosial adalah tingkah laku yang berhubungan dengan

kebutuhan sosial pasien dalam kehidupan bermasyarakat yang

meliputi:

11
1) Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku pasien untuk

melakukan hubungan sosial dengan sesama pasien, misalnya

menegur kawannya, berbicara dengan kawannya dan sebagainya.

2) Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku pasien untuk

melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti tegur sapa,

menjawab pertanyaan waktu ditanya, bertanya jika ada kesulitan

dan sebagainya.

3) Kontak mata waktu berbicara, yaitu sikap pasien sewaktu

berbicara dengan orang lain seperti memperhatikan dan saling

menatap sebagai tanda adanya kesungguhan dalam berkomunikasi.

4) Bergaul, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan kemampuan

bergaul dengan orang lain secara kelompok (lebih dari dua orang).

5) Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan

ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan rumah sakit.

6) Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata

krama atau sopan santun terhadap kawannya dan petugas maupun

orang lain.

7) Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku pasien yang

bersifat mengendalikan diri untuk tidak mengotori lingkungannya,

seperti tidak meludah sembarangan, tidak membuang puntung

rokok sembarangan dan sebagainya.

12
II. ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa berupa faktor

presipitasi, penilaian stressor , suberkoping yang dimiliki klien. Setiap

melakukan pengajian ,tulis tempat klien dirawat dan tanggal dirawat isi

pengkajian meliputi :

1. Identitas klien

Meliputi nama klien , umur , jenis kelamin , status perkawinan, agama,

tangggal MRS, informan, tangggal pengkajian, No Rumah klien dan

alamat klien.

2. Keluhan utama

Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang lain)

komunikasi kurang atau tidak ada , berdiam diri dikamar ,menolak

interaksi dengan orang lain ,tidak melakukan kegiatan sehari – hari ,

dependen.

3. Factor predisposisi

Kehilangan , perpisahan , penolakan orang tua ,harapan orang tua yang

tidak realistis, kegagalan / frustasi berulang, tekanan dari kelompok

sebaya; perubahan struktur sosial.

Terjadi trauma yang tiba tiba misalnya harus dioperasi, kecelakaan dicerai

suami, putus sekolah ,PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi (

korban perkosaan, tituduh kkn, dipenjara tiba – tiba) perlakuan orang lain

13
yang tidak menghargai klien/ perasaan negatif terhadap diri sendiri yang

berlangsung lama.

4. Aspek fisik/biologis

Hasil pengukuran tada vital (TD, Nadi, suhu, Pernapasan , TB, BB) dan

keluhafisik yang dialami oleh klien.

5. Aspek Psikososial

a. Genogram yang menggambarkan tiga generasi

b. Konsep diri

1) Citra tubuh

Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau

tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan

terjadi. Menolak penjelasan perubahan tubuh , persepsi negatip

tentang tubuh . Preokupasi dengan bagia tubuh yang hilang ,

mengungkapkan keputus asaan, mengungkapkan ketakutan.

2) Identitas diri

Ketidak pastian memandang diri , sukar menetapkan keinginan dan

tidak mampu mengambil keputusan .

3) Peran

Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit ,

proses menua , putus sekolah, PHK.

4) Ideal diri

Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya :

mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi

14
5) Harga diri

Perasaan malu terhadap diri sendiri , rasa bersalah terhadap diri

sendiri , gangguan hubungan sosial , merendahkan martabat ,

mencederai diri, dan kurang percaya diri.

a) Klien mempunyai gangguan / hambatan dalam melakukan

hubunga social dengan orang lain terdekat dalam kehidupan,

kelempok yang diikuti dalam masyarakat.

b) Keyakinan klien terhadap Tuhan dan kegiatan untuk ibadah (

spritual)

6) Status mental

Kontak mata klien kurang /tidak dapat mepertahankan kontak mata

, kurang dapat memulai pembicaraan , klien suka menyendiri dan

kurang mampu berhubungan dengan orang lain , Adanya perasaan

keputusasaan dan kurang berharga dalam hidup.

7) Kebutuhan persiapan pulang

a) Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan

b) Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan

membersihkan WC, membersikan dan merapikan pakaian.

c) Pada observasi mandi dan cara berpakaian klien terlihat rapi

d) Klien dapat melakukan istirahat dan tidur , dapat beraktivitas

didalam dan diluar rumah

e) Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan benar.

8) Mekanisme koping

15
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau

menceritakan nya pada orang orang lain( lebih sering

menggunakan koping menarik diri).

9) Aspek medik

Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi ECT,

Psikomotor, therapy okopasional, TAK , dan rehabilitas.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah

2. Gangguan konsep diri : harga diri rendah berhubungan dengan tidak

efektifnya koping individu : koping defensif.

C. INTERVENSI

DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI

KEPERAWATAN

1. Isolasi Sosial Setelah dilakukanTTINDAKAN

tindakan keperawatan PSIKOTERAPEUTIK

selama 3 x 24 jam§ 1. Klien

Klien dapat SP 1

berinteraksi dengan a. Bina hubungan saling percaya

orang lain baik secara b. Identifikasi penyebab isolasi

individu maupun sosial

16
secara berkelompok SP 2

dengan kriteria hasil : a. Diskusikan bersama Klien

a. Klien dapat keuntungan berinteraksi

membina dengan orang lain dan

hubungan saling kerugian tidak berinteraksi

percaya. dengan orang lain

b. Dapat b. Ajarkan kepada Klien cara

menyebutkan berkenalan dengan satu orang

penyebab isolasi c. Anjurkan kepada Klien untuk

sosial. memasukan kegiatan

c. Dapat berkenalan dengan orang lain

menyebutkan dalam jadwal kegiatan harian

keuntungan dirumah

berhubungan SP 3

dengan orang a. Evaluasi pelaksanaan dari

lain. jadwal kegiatan harian Klien

d. Dapat b. Beri kesempatan pada Klien

menyebutkan mempraktekan cara

kerugian tidak berkenalan dengan dua orang

berhubungan c. Ajarkan Klien berbincang-

dengan orang bincang dengan dua orang

lain. tetang topik tertentu

17
e. Dapat berkenalan d. Anjurkan kepada Klien untuk

dan bercakap- memasukan kegiatan

cakap dengan berbincang-bincang dengan

orang lain secara orang lain dalam jadwal

bertahap. kegiatan harian dirumah

f. Terlibat dalam SP 4

aktivitas sehari- a. Evaluasi pelaksanaan dari

hari jadwal kegiatan harian Klien

b. Jelaskan tentang obat yang

diberikan (Jenis, dosis, waktu,

manfaat dan efek samping

obat)

c. Anjurkan Klien memasukan

kegiatan bersosialisasi dalam

jadwal kegiatan harian dirumah

d. Anjurkan Klien untuk

bersosialisasi dengan orang

lain

§ 2. Keluraga

a. Diskusikan masalah yang

dirasakan kelura dalam

merawat Klien

18
b. Jelaskan pengertian, tanda dan

gejala isolasi sosial yang

dialami Klien dan proses

terjadinya

c. Jelaskan dan latih keluarga

cara-cara merawat Klien

TINDAKAN PSIKOFARMAKA

a. Beri obat-obatan sesuai

program

b. Pantau keefektifan dan efek

sampig obat yang diminum

c. Ukur vital sign secara periodik

TINDAKAN MANIPULASI

LINGKUNGAN

a. Libatkan dalam makan

bersama

b. Perlihatkan sikap menerima

dengan cara melakukan kontak

singkat tapi sering

c. Berikan reinforcement positif

19
setiap Klien berhasil

melakukan suatu tindakan

d. Orientasikan Klien pada

waktu, tempat, dan orang

sesuai kebutuhannya

20
DAFTAR PUSTAKA

Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba

Medika

Setiono, Wiwing. 2013. Laporan Pendahuluan Isolasi Sosial. Dikutip dari

http://lpkeperawatan.blogspot.co.id. Diakses pada tahun 2016

Fitria,Nita.2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan


Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan ( LP & SP ) untuk 7 Diagnosis
Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S1 Keperawatan. Salemba Medika : Jakarta

21
LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN KASUS HALUSINASI

DIRS SAMBANG LIHUM BANJARBARU

I. KONSEP DASAR TEORI

A. PENGERTIAN

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, parabaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetul-
betulnya tidak ada (Damaiyanti, 2012).

Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan


rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara
padahal tidak ada orang yang berbicara (Direja, 2011)

Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun pada panca


indera seorang pasien, yang terjadi dalam keadaan sadar/bangun, dasarnya
mungkin organik, fungsional, psikotik ataupun histerik (Trimelia, 2011).

B. JENIS – JENIS HALUSINAS

Beberapa halusinasi , ada 8 jenis yaitu :

1. Halusinasi Pendengaran (Auditif, Akustik)

Paling sering dijumpai dapat berupa bunyi mendering atau suara bising
yang tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering terdengar sebagai sebuah kata
atau kalimat yang bermakna. Biasanya suara tersebut ditujukan kepada
penderita sehingga tidak jarang penderita bertengkar atau berdebat dengan
suara-suara tersebut.

2. Halusinasi Penglihatan (Visual, Optik)

Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit organik). Biasanya


sering muncul bersamaan dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa
takut akibat gambaran-gambaran yang mengerikan

22
3. Halusinasi Pengciuman (Olfaktorik)

Halusinasi ini biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu dan


dirasakan tidak enak, melambangkan rasa bersalah pada penderita. Bau
dilambangkan sebagai pengalaman yang dianggap penderita sebagai
kombinasi moral

4. Halusinasi Pengecapan (Gustatorik)

Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi


penciuman. Penderita merasa mengecap sesuatu.

5. Halusinasi Perabaan (Taktil)

Merasa diraba, disentuh, ditiup atau seperti ada ulat yang bergerak di bawah
kulit.

6. Halusinasi Seksual, ini termasuk halusinasi raba

Penderita merasa diraba dan diperkosa sering pada skizofrenia dengan


waham kebesaran terutama mengenai organ-organ.

7. Halusinasi kinesthetik

Penderita merasa badannya bergerak-gerak dalam suatu ruang atau anggota


badannya bergerak-gerak. Misalna “phantom phenomenom” atau tungkai
yang diamputasi selalu bergerak-gerak (phantom limb).

8. Halusinasi visceral

Timbulnya perasaan tertentu di dalam tubuhnya

1) Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa pribadinya


sudah tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai dengan kenyataan yang
ada.

2) Direalisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungannya yang


tidak sesuai dengan kenyataan. Misalnya perasaan segala sesuatu yang
dialaminya seperti impian.

23
C. FASE-FASE HALUSINASI

Halusinasi yang dialami oleh klien, bisa berbeda intensitasnya dan


keparahannya. Stuart dan Laraia (2001) membagi fase halusinasi dalam 4 fase
berdasarkan tingkat ansietasnya yang dialami dan kemampuan klien
mengendalikan dirinya. Semakin berat fase halusinasinya, klien semakin berat
mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh halusinasinya.

1. Fase 1 : Comforting : Ansietas Sedang : halusinasi menyenangkan.

Karakteristik : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas,


kesepian, rasah bersalah, takut, dan mencoba untuk berfokus pada pikiran
menyenangkan untuk meredakan ansietas. Individu mengenali bahwa pikiran-
pikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali kesadaran jika ansietas
dapat ditangani.

Perilaku klien :

a. Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai


b. Menggerakkan bibir tanpa suara.
c. Pergerakan mata yang cepat.
d. Respon verbal yang lambat jika sedang asyik.
e. Diam dan asyik sendiri.

2. Fase II : Condemning : Ansietas Berat : Halusinasi menjadi menjijikkan.

Karakteristik : Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien


mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya
dengan sumber yang dipersepsikan. Klien mungkin mengalami
dipermalukan oleh pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain.

Perilaku Klien :

a. Meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas otonom


akibat ansietas seperti peningkatan denyut jantung, pernafasan, dan
tekanan darah.
b. Rentang perhatian menyempit.
c. Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan
membedakan halusinasi dan realita.

24
3. Fase III : Controlling : Ansietas berat : Pengalaman sensori menjadi
berkuasa

Karakteristik : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap


halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi menjadi
menarik. Klien mungkin mengalami pengalaman kesepian jika sensori
halusinasi berhenti.

Perilaku Klien :

 Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti.


 Kesukaran berhubungan dengan orang lain.
 Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit.
 Adanya tanda-tanda fisik ansietas berat : berkeringat, tremor, tidak
mampu mematuhi perintah.

4. Fase IV : Conquering : Panik : Umumnya menjadi melebur dalam


halusinasi.

Karakteristik : pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien


mengikuti perintah halusinasi. Halusinasi berakhir dari beberapa jam atau
hari jika tidak ada intervensi terapeutik.

Perilaku Klien :

a. Perilaku teror akibat panik.

b. Potensi kuat suicide (bunuh diri) atau homicide (membunuh


orang lain)

c. Aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku


kekerasan, agitasi, menarik diri, atau katatonia.

d. Tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks.

e. Tidak mampu berespon lebih dari satu orang.

25
D. PENYEBAB

Faktor-faktor penyebab halusinasi dibagi dua yaitu :

1. Faktor predisposisi

a. Faktor perkembangan

Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya


kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri
sejak kecil, mudah frustasi, hilangnya kepercayaan diri dan lebih rentan
terhadap stress.

b. Faktor sosiokultural

Seseorang yang tidak diterima oleh lingkungannya sejak bayi akan


merasa disingkirkan, kesepian dan tidak percaya pada lingkungannya.

c. Faktor biokimia

Stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan


dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti
Buffofenon dan Dimetytranferse (DMP). Akibat stress berkepanjangan
menyebabkan terakitvasinya neurotrasmitter otak. Misalnya tejadi
ketidakseimbangan acetylcholin dan dopamin.

d. Faktor psikologis

Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah


terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa
depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata
menuju alam hayal.

e. Faktor genetik dan pola asuh

Anak sehat yang di asuh oleh orang tua yang mengalami gangguan
jiwa cenderung mangalami gangguan jiwa dan faktor keluarga menunjukan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.

26
2. Faktor presipitasi

a) Dimensi fisik

Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti


kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium,
intoksikasi alkohol dan kesulitan dalam waktu lama.

b) Dimensi emosional

Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi terjadi. Isi dari halusinai dapat
berupa perintah memaksa dan menakutkan.

c) Dimensi intelektual

Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan


halusinasi akan memperlihatkan penurunan fungsi ego seseorang yang pada
awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego itu sendiri untuk melawan impuls
yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan
yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol
semua perilaku klien

d) Dimensi sosial

Dalam dimensi sosial ini klien mengalami gangguan interaksi sosial dan
menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan.

e) Dimensi spiritual

Secara spiritual klien dengan halusinasi dimulai dengan kehampaan hidup,


rutinitas tidak bermakna, hilangnya keinginan untuk beribadah dan jarang
berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. Klien sering memaki takdir
tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan
orang lain yang menyebabkan memburuk.

E. TANDA DAN GEJALA

Adapun Tanda dan gejala halusinasi menurt Direja, 2011 sebagai berikut :

1) Halusinasi Pendengaran

27
 Data Objektif : Bicara atau ketawa sendiri, marah-marah tanpa sebab,
mengarahkan telinga ke arah tertentu, menutup telinga.
 Data Subjektif : mendengar suara atau kegaduhan, mendengarkan
suara yang mengajak bercakap-cakap, mendengarkan suara yang
menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.

2) Halusinasi Penglihatan

 Data Objektif : menunjuk-nunjuk kearah tertentu, ketakutan pada


sesuatu yang tidak jelas.
 Data Subjektif : melihat bayangan, sinar bentuk geometris, bentuk
kortoon, melihat hantu atau monster.

3) Halusinasi Penghidungan

 Data Objektif : menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu,


menutup hidung.
 Data Subjektif : membaui bau-bauan seperti bau darah, urine, feses,
kadang-kadang bau itu menyenangkan.

4) Halusinasi Pengecapan

 Data Objektif : Sering meludah, muntah.


 Data Subjektif : merasakan rasa seperti darah, urine atau feses.

5) Halusinasi Perabaan

 Data Objektif :Menggaruk- garuk permukaan kulit.


 Data Subjektif : menyatakan ada serangga di permukaan kulit,
merasa tersengat listrik.

F. BATASAN KARAKTERISTIK

Batasan karakteristik klien dengan gangguan halusinasi menurut Nanda-I


(2012), adalah :

a. Perubahan dalam pola perilaku

b. Perubahan dalam kemampuan menyelasaikan masalah

c. Perubahan dalam ketajaman sensori

28
d. Perubahan dalam respon yang biasa terhadap stimulus

e. Disorientasi

f. Halusinasi

g. Hambatan komunikasi

h. Iritabilitas

i. Konsentrasi buruk

j. Gelisah

k. Distorsi sensori

G. MEKANISME KOPING

Kaji mekanisme koping yang sering digunakan klien, meliputi :

1. Regresi : menjadi malas beraktifitas sehari-hari


2. Proyeksi : mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau
sesuatu benda.
3. Menarik Diri : sulit mempercayai orang lain dan dengan stimulus internal
4. Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.

H. AKIBAT

Akibat dari halusinasi adalah risiko mencederai diri, orang lain dan
lingkungan. Ini diakibatkan karena klien berada di bawah halusinasinya yang
meminta dia untuk melakukan sesuatu hal di luar kesadarannya

I. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan pada halusinasi di bagi menjadi dua yaitu penatalaksanaan


medis dan penatalaksanaan keperawatan, yaitu :

a. Penatalaksanaan Medis

1) Psikofarmakoterapi

29
Gejala halusinasi sebagai salah satu gejala psikotik/ skizofrenia biasanya
diatasi dengan menggunakan obat-obatan anti psikotik antara lain :

a) Golongan butirefenon : Haldol, Serenace, Ludomer. Pada kondisi


akut biasanya diberikan dalam bentuk injeksi 3x5 mg, im. Pemberian
injeksi biasanya cukup 3x24 jam. Setelahnya klien bisa diberikan
obat per oral 3x1,5 mg atau 3x5 mg.
b) Golongan Fenotiazine :Chlorpramizine/ Largactile/ Promactile.
Biasanya diberikan per oral. Kondisi akut biasanya diberikan 3x
100mg. Apabila kondisi sudah stabil dosis dapat dikurangi 1x100 mg
pada malam hari saja (Yosep, 2011).

2) Psikoterapi

Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang


grandmall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui
electrode yang dipasang pada satu atau dua temples, terapi kejang listrik
dapat diberikan pada skizoprenia yang tidak mempan dengan terapi
neuroleptika oral

atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.

3) Rehabilitasi

Terapi kerja baik untuk mendorong penderita bergaul lagi


dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya
supaya ia tidak mengasingkan diri lagi karena bila menarik diri dia
dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan
penderita untuk mengadakan permainan atau pelatihan bersama .

b. Penatalaksanaan Keperawatan

Terapi Aktivitas Kelompok yang diberikan pada pasien dengan


Halusinasi yaitu:

1) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Kognitif/Persepsi

Klien dilatih mempersepsikan stimulus yang disediakan atau


stimulus yang pernah dialami. Kemampuan persepsi klien dievaluasi
dan ditingkatkan pada tiap sessi. Dengan proses ini, diharapkan respon
klien terhadap berbagai stimulus dalam kehidupan menjadi adatif.

30
Aktivitas berupa stimulus dan persepsi. Stimulus yang disediakan :
baca artikel/majalah/buku/puisi, menonton acara TV (ini merupakan
stimulus yang disediakan), stimulus dari pengalaman masa lalu yang
menghasilkan proses persepsi klien yang maladaptive atau distruktif,
misalnya kemarahan, kebencian, putus hubungan, pandangan negative
pada orang lain dan halusinasi. Kemudian dilatih persepsi klien
terhadap stimulus.

2) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulus Sensori

Aktivitas digunakan sebagai stimulus pada sensori klien.


Kemudian diobservasi reaksi sensori klien terhadap stimulus yang
disediakan, berupa ekspresi perasaan secara nonverbal (ekspresi wajah,
gerakan tubuh). Biasanya klien yang tidak mau mengungkapkan
komunikasi verbal akan testimulasi emosi dan perasaannya, serta
menampilkan respons. Aktivitas yang digunakan sebagai stimulus
adalah : musik, seni menyanyi, menari. Jika hobby klien diketahui
sebelumnya, dapat dipakai sebagai stimulus, misalnya lagu kesukaan
klien, dapat digunakan sebagai stimulus.

II. ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

Pada proses pengkajian, data penting yang perlu dikaji disesuaikan


dengan jenis halusinasinya yaitu, sebagai berikut:

A. Jenis halusinasi

1. Halusinasi Pendengaran

 Data Objektif : Bicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa


sebab, menyedengkan telinga kearah tertentu, menutup telinga.
 Data Subjektif : Mendengar suara-suara atau kegaduhan,
mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap, mendengar suara
menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.

2. Halusinasi Penglihatan

 Data Objektif : Menunjuk-nunjuk kearah tertentu, ketakutan pada


sesuatu yang tidak jelas.

31
 Data Subjektif : Melihat bayangan, sinar, bentuk kartoon, melihat
hantu atau monster.

3. Halusinasi Penghidu

 Data Objektif : Menghidu seperti sedang membaui bau-bauan


tertentu, menutup hidung.
 Data Subyektif : Membaui bau-bauan seperti bau darah, urin,
faeces, kadang-kadang bau itu menyenangkan.

4. Halusinasi Pengecap

 Data Objektif : Sering meludah, muntah.


 Data Subyektif : Merasakan rasa seperti darah, urin atau faeces.

5. Halusinasi Perabaan

 Data Objektif : Menggaruk-garuk permukaan kulit.


 Data Subyektif : Mengatakan ada serangga di permukaan kulit,
merasa seperti tersengat listrik.

B. isi halusinasi

Data dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar,


berkata apabila halusinasi yang dialami adalah halusinasi dengar, atau apa
bentuk bayangan yang dilihat oleh klien bila jenis halusinasinya adalah
halusinasi penglihatan, bau apa yang tercium untuk halusinasi penghidu,
rasa apa yang dikecap untuk halusinasi pengecapan, atau merasakan apa
di permukaan tubuh bila halusinasi perabaan.

c.waktu dan frekuensi halusinasi.

Data dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan


pengalaman halusinasi muncul, berapa kali sehari, seminggu atau
bulan, pengalaman halusinasi itu muncul, bila mungkin klien diminta
menjelaskan kapan persisnya waktu terjadi halusinasi tersebut.
Informasi ini penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dan
menentukan bilamana klien perlu diperhatikan saat mengalami
halusinasi.

32
D. Situasi pencetus halusinasi

Perlu diidentifikasi situasi yang dialami klien sebelum


mengalami halusinasi. Data dapat dikaji dengan menanyakan
kepada klien peristiwa atau kejadian yang dialami sebelum
halusinasi muncul. Selain itu, juga bisa mengobservasi apa yang
dialami klien menjelangkan muncul halusinasi untuk memvalidasi
pernyataan klien.

E. Respon klien.

Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi


klien bisa dikaji dengan menanyakan apa yang dilakukan oleh klien
saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien masih bisa
mengontrol stimulus halusinasi atau sudah tidak berdaya lagi
terhadap halusinasi.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

a. Risiko perilaku kekerasan

1). Data Subyektif :

 Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.


 Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika
sedang kesal atau marah.
 Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.

2). Data Objektif :

 Mata merah, wajah agak merah.


 Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak, menjerit,
memukul diri sendiri/orang lain.
 Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
 Merusak dan melempar barang-barang.

b. Gangguan sensori perseptual : halusinasi

1) Data Subjektif

· Klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak berhubungan


dengan stimulus nyata

33
· Klien mengatakan melihat gambaran tanpa ada stimulus yang nyata

· Klien mengatakan mencium bau tanpa stimulus

· Klien merasa makan sesuatu

· Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya

· Klien takut pada suara/bunyi/gambar yang dilihat dan didengar

· Klien ingin memukul/melempar barang-barang

2) Data Objektif

· Klien berbicara dan tertawa sendiri

· Klien bersikap seperti mendengar/melihat sesuatu

· Klien berhenti bicara ditengah kalimat untuk mendengarkan


sesuatu Disorientasi

c. Kerusakan Interaksi Sosial : menarik diri

1) Data Subyektif

Sukar didapat jika klien menolak komunikasi, kadang hanya dijawab


dengan singkat ”tidak” atau ”ya”.

2) Data Obyektif

Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul, menyendiri/menghindari orang lain,


berdiam diri di kamar, komunikasi kurang atau tidak ada (banyak diam),
kontak mata kurang, menolak berhubungan dengan orang lain,
perawatan diri kurang, posisi tidur seperti janin (menekur)

d. Harga diri rendah

1) Data Subyektif

Klien mengatakan tidak mau bergaul dengan orang lain.

2) Data Obyektif

Tidak bisa mengambil keputusan, menarik diri dari realitas, merusak


diri, rasa bersalah dan khawatir

34
e. Sindrom deficit perawatan diri

1) Data subyektif

Pasien mengatakan malas melakukan perawatan diri

2) Data Obyektif

Penampilan kurang bersih

POHON MASALAH

Resiko perilaku kekerasan

Sindrom defiit
perawatan diri

Halusinasi

Kerusakan interaksi
sosial : menarik diri

Harga diri rendah

35
C. RENCANA KEPERAWATAN

RENCANA KEPERAWATAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI :


HALUSINASI

DALAM BENTUK STRATEGI PELAKSANAAN

NO KLIEN KELUARGA

SP1P SPIK

1 Mengidentifikasi jenis halusinasi klien. Mendiskusikan masalah yang dirasakan


keluarga dalam merawat pasien
2 Mengidentifikasi isi halusinasi klien.

3 Mengidentifikasi waktu halusinasi klien.


Memberikan pendidikan kesehatan tentang
4 Mengidentifikasi frekuensi halusinasi pengertian halusinasi, jenis halusinasi yang
klien. dialami klien, tanda dan gejala halusinasi,
5
serta proses terjadinya halusinasi.
Mengidentifikasi situasi yang dapat
menimbulkan halusinasi klien.
6 Mengidentifikasi respon klien terhadap Menjelaskan cara-cara merawat pasien
7 halusinasi klien. halusinasi.

8 Mengajarkan klien menghardik


halusinasi.

Menganjurkan klien memasukkan cara


menghardik ke dalam kegiatan harian.

SP2P SP2K

1 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian Melatih keluarga mempraktikkan cara


klien. merawat pasien dengan halusinasi.

2
Melatih klien mengendalikan halusinasi Melatih keluarga melakukan cara merawat
dengan cara bercakap-cakap dengan langsung kepada klien halusinasi.
orang lain.

3
Menganjurkan klien memasukkan ke

36
dalam kegiatan harian klien.

SP3P SP3K

1 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian Membantu keluarga membuat jadwal


klien. aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planing ).

Menjelaskan follow- uf klien setelah pulang.


Melatih klien mengontrol halusinasi
2 dengan cara melakukan kegiatan.

3 Menganjurkan pasien memasukan dalam


jadwal kegiatan harian

SP4P

1 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian


klien.

2
Memberikan pendidikan kesehatan
tentang penggunaan obat secara teratur

3 Menganjurkan pasien memasukan dalam


jadwal kegiatan harian

37
DAFTAR PUSTAKA

Ade Herman, S.D. 2011. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika.

Damaiyanti, M. Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : PT


Refika Aditama

Direja, A. Herman., 2011, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa, Yogyakarta : Nuha
Medika

Kusumawati Farida & Hartono Yudi. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta :
Selemba Medika

Trimelia. 2011. Asuhan Keperawatan Klien Halusinasi. Cetakan 1. Jakarta : Trans


Info Medika.

38
LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN KASUS HARGA DIRI RENDAH

DIRS SAMBANG LIHUM BANJARBARU

I. KONSEP DASAR TEORI

A. PENGERTIAN
Gangguan harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau
kemampuan diri yang negatif yang dapat secara langsung atau tidak langsung
diekspresikan ( Townsend, 1998 ).
Menurut Schult & Videbeck ( 1998 ), gangguan harga diri rendah adalah
penilaian negatif seseorang terhadap diiri dan kemampuan, yang diekspresikan
secara langsung maupun tidak langsung
Gangguan harga diri rendah digambarkan sebagai perasaan yang negatif
terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa
gagal mencapai keinginan. (Budi Ana Keliat, 1999).
Jadi dapat disimpulkan bahwa Harga Diri Rendah adalah perasaan negatif
terhadap diri sendiri yang dapat diekspresikan secara langsung dan tak langsung.

B. PENYEBAB HARGA DIRI RENDAH


Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan dari harga diri
rendah situasional yang tidak diselesaikan. Atau dapat juga terjadi karena
individu tidak pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang perilaku klien
sebelumnya bahkan mungkin kecenderungan lingkungan yang selalu memberi
respon negatif mendorong individu mejadi harga diri rendah.
Harga diri rendah kronis terjadi disebabkan banyak faktor. Awalnya individu
berada pada suatu situasi yang penuh dengan stressor (krisis), individu berusaha
menyelesaikan krisis tetapi tidak tuntas sehingga timbul pikiran bahwa diri tidak
mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi dan peran. Penilaian individu
terhadap diri sendiri karena kegagalan menjalankan fungsi dan peran adalah

39
kondisi harga diri rendah situasional, jika lingkungan tidak memberi dukungan
positif atau justru menyalahkan individu dan terjadi secara terus menerus akan
mengakibatkan individu mengalami harga diri rendah kronis.
Terjadinya gangguan konsep diri harga diri rendah kronis juga di pengaruhi
beberapa faktor predisposisi seperti faktor biologis, psikologis, sosial dan
kultural.

Faktor biologis biasanya karena ada kondisi sakit fisik yang dapat
mempengaruhi kerja hormon secara umum, yang dapat pula berdampak pada
keseimbangan neurotransmitter di otak, contoh kadar serotonin yang menurun
dapat mengakibatkan klien mengalami depresi dan pada pasien depresi
kecenderungan harga diri rendah kronis semakin besar karena klien lebih
dikuasai oleh pikiran-pikiran negatif dan tidak berdaya.
Struktur otak yang mungkin mengalami gangguan pada kasus harga diri
rendah kronis adalah:
System Limbic yaitu pusat emosi, dilihat dari emosi pada klien dengan harga
diri rendah yang kadang berubah seperti sedih, dan terus merasa tidak berguna
atau gagal terus menerus.
Berdasarkan faktor psikologis , harga diri rendah konis sangat berhubungan
dengan pola asuh dan kemampuan individu menjalankan peran dan fungsi. Hal-
hal yang dapat mengakibatkan individu mengalami harga diri rendah kronis
meliputi penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis, orang tua
yang tidak percaya pada anak, tekanan teman sebaya, peran yang tidak sesuai
dengan jenis kelamin dan peran dalam pekerjaan
Faktor sosial: secara sosial status ekonomi sangat mempengaruhi proses
terjadinya harga diri rendah kronis, antara lain kemiskinan, tempat tinggal
didaerah kumuh dan rawan, kultur social yang berubah misal ukuran
keberhasilan individu.

40
Faktor kultural: tuntutan peran sesuai kebudayaan sering meningkatkan
kejadian harga diri rendah kronis antara lain : wanita sudah harus menikah jika
umur mencapai duapuluhan, perubahan kultur kearah gaya hidup
individualisme.
Sumber penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh faktor-faktor pada ketiga
unsur itu yang terus menerus saling mempengaruhi, yaitu :
1. Faktor-faktor somatik (somatogenik)

a. Neuroanatomi
b. Neurofisiologi
c. Neurokimia
d. Tingkat kematangan dan perkembangan organik
e. Faktor-faktor pre dan peri – natal

2. Faktor-faktor psikologik ( psikogenik) :


Interaksi ibu –anak : normal (rasa percaya dan rasa aman) atau abnormal
berdasarkan kekurangan, distorsi dan keadaan yang terputus (perasaan tak
percaya dan kebimbangan)

a. Peranan ayah
b. Persaingan antara saudara kandung
c. Inteligensi
d. Hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan dan masyarakat
e. Kehilangan yang mengakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu atau
rasa salah
f. Konsep diri : pengertian identitas diri sendiri versus peran yang tidak
menentu
g. Keterampilan, bakat dan kreativitas
h. Pola adaptasi dan pembelaan sebagai reaksi terhadap bahaya
i. Tingkat perkembangan emosi

41
3. Faktor-faktor sosio-budaya (sosiogenik)

a. Kestabilan keluarga
b. Pola mengasuh anak
c. Tingkat ekonomi
d. Perumahan : perkotaan lawan pedesaan
e. Masalah kelompok minoritas yang meliputi prasangka dan fasilitas
kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan yang tidak memadai
f. Pengaruh rasial dan keagamaan
g. Nilai-nilai

C. POHON MASALAH
RisikO Tinggi Perilaku Kekerasan

Effect Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi

Isolasi Sosial

Core Problem Harga Diri Rendah Kronis

Causa Koping Individu Tidak Efektif

D. PSIKODINAMIKA

1. Etiologi
Gangguan harga diri rendah dapat terjadi secara situasional dan kronik
dikatakan situasional yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya dioperasi,
kecelakaam, dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja, perasaan
malu kerena terjadi sesuatu (korban perkosaan, dituduh KKN, dan dipenjara

42
secara tiba-tiba). Dan dikatakan kronik yaitu perasaan negative terhadap diri
telah berlangsung lama. Klien ini mempunyai perasaan negative. Kejadian
sakit atau dirawat akan menambah persepsi negative terhadap dirinya.

2. Proses terjadinya masalah


Harga diri terjadi karena perasaan dicintai dan mendapatkan pujian dari
orang lain. Harga diri akan menjadi rendah ketika tidak ada lagi cinta dan
ketika adanya kegagalan, tidak mendapatkan pengakuan dari orang lain,
merasa tidak berharga, gangguan citra tubuh akibat suatu penyakit sehingga
akan menimbulkan suatu gambaran individu yang berperasaan negative
terhadap diri sendiri.
3. Komplikasi
Individu mengalami gangguan konsep diri: harga diri rendah pertama kali
akan merasa cemas dan takut. Individu akan takut ditolak, takut gagal, dan
takut dipermalukan. Akhirnya cenderung untuk menarik diri, akan
mengisolasi diri, yang pada akhirnya individu akan mengalami gangguan
realita. Komplikasi yang berbahaya individu mempunyai keinginan untuk
meciderai dirinya.

E. RENTANG RESPON KONSEP DIRI

1. Respon adaftif
Adalah pernyataan dimana klien jika menghadapi suatu masalah akan
dapat memecahkan masalah tersebut.
a. Aktualisasi diri

43
Adalah pernyataan tentang konsep diri yang positif dengan latar
belakang pengalaman yang sukses dan dapat diterima.
b. Konsep diri positf
Adalah apabila individu mempunyai pengalaman yang positif dalam
beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun yang negative dari
dirinya
2. Respon maladaftif
Adalah keadaan klien dalam menghadapi suatu masalah tidak dapat
memecahkan masalah tersebut.
a. Harga Diri Rendah
Adalah individu cenderung untuk menilai dirinya negative dan
merasa lebih rendah dari orang lain
b. Identitas Kacau
Adalah kegagalan individu untuk mengintegritas aspek-aspek
idintitas masa kanak-kanak ke dalam kematangan aspek psikososial
keperibadian masa dewasa yang harmonis.
c. Depersonallisasi
Adalah perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri sendiri
yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak
membedakan dirinya dengan orang lain. Menurut Suliswati Dkk
komponen konsep diri ada lima yaitu terdiri dari:
 Citra tubuh
Adalah sikap individu terhadap tubuhnya baik disadari atau
tidak disadari meliputi persepsi masa lalu atau sekarang mengenai
ukuran dan bentuk, fungsi, penampilan dan potensi tubuh.
 Ideal diri
Adalah persepsi individu tentang bagaimana seharusnya
bertingkah laku berdasarkan standar peribadi.
 Harga diri

44
Adalah penilaian peribadi terhadap hasil yang dicapai dengan
menganalisa berapa banyak kesesuaian tingkah laku dengan ideal
dirinya.
 Peran
Adalah serangkaian pola sikap perilaku, nilai dan tujuan yang
diharapkan oleh masyarakat dihubungkan dengan fungsi idividu di
dalam kelompok sosialnya.
 Identitas diri
Adalah kesadaran tentang diri sendiri yang dapat diperoleh
individu dari observasi dan penilaian terhadap dirinya, menyadari
bahawa dirinya berbeda dengan orang lain.

II. ASUHAN KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN
a. Factor Predisposisi
1) Factor predisposisi citra tubuh
a) Kehilangan atau kerusakan organ tubuh (anatomi dan fungsi)
b) Perubahan ukuran, bentuk dan penampilan tubuh
c) Proses patalogik penyakit dan dampaknya terhadap struktur maupun
fungsi tubuh
d) Prosedur pengobatan seperti radiasi, kemoterapi dan transpantasi
2) Factor predisposisi harga diri
a) Penolakan dari orang lain
b) Kurang penghargaan
c) Pola asuh yang salah yaitu terlalu dilarang , terlalu dikontrol, terlalu
diturut, terlalu dituntut dan tidak konsisten
3) Faktor predisposisi peran
a) Transisi peran yang sering terjadi pada proses perkembangan,
perubahan situai dan sehat-sakit

45
b) Ketegangan peran, ketika individu menghadapi dua harapan yang
bertentangan secara terus menerus yang tidak terpenuhi.
c) Keraguan peran, ketika individu kurang pengetahuannya tentang
harapan peran yang spesifik dan bingung tentang tingkah laku yang
sesuai
d) Peran yang terlalu banyak
4) Factor predisposisi identitas diri
a) Ketidak percayaan orang tua dan anak
b) Tekanan dari teman sebaya
c) Perubahan dari struktur sosial
b. Factor Presipitasi
1) Trauma
Masalah spesifik sehubungan dengan konsep diri situasi yang
membuat individu sulit menyesuaikan diri atau tidak dat menerima
khususnya trauma emosi seperti penganiayaan fisik, seksual, dan
psikologis pada masa anak-anak atau merasa terancam kehidupannya atau
menyaksikan kejadian berupa tindakan kejahatan.
2) Ketegangan peran
Pada perjalanan hidup individu sering menghadapi Transisi peran
yang beragam, transisi peran yang sering terjadi adalah perkembangan,
situasi, dan sehat sakit.
c. Manifestasi klinik
1) Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap
penyakit
2) Rasa bersalah terhadap diri sendiri
3) Merendahkan martabat
4) Gangguan hubungan social
5) Percaya diri kurang
6) Mencederai diri

46
d. Mekanisme koping
1) Koping jangka pendek
 Aktivitas yang dapat memberikan kesempatan lari sementara dari
krisis, misalnya menonton TV, dan olah raga.
 Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti sementara,
misalnya ikut kegiatan social politik dan agama.
 Aktivitas yang memberikan kekuatan atau dukungan sementara
terhadap konsep diri, misalnya aktivitas yang berkompetensi yaitu
pencapaian akademik atau olah raga.
 Aktivitas yang mewakili jarak pendek untuk membuat masalah
identitas menjadi kurng berarti dalam kehidupan, misalnya
penyalahgunaan zat.
2) Koping jangka panjang
 Penutupan identitas
Adopsi identitas premature yang diinginkan oleh orang yang
penting bagi individu tampa memperhatikan keinginan aspirasi dan
potensi individu.
 Identitas negative
Asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapat di terima oleh
nilai-nilai dan harapan masyarkat.

e. Test diagnostic
1) Test psikologik: test keperibadian
2) EEG: ganguan jiwa yang disebabkan oleh neorologis
3) Pemeriksaan sinar X: mengetahui kelainan anatomi
4) Pemeriksaan laboratorim kromosom: ginetik
f. Penatalaksanaan medis
1) Psikofarmaka
2) Elektro convulsive therapy
3) Psikoterapy

47
4) Therapy okupasi
5) Therapy modalitas

 Terapi keluarga
 Terapi lingkungan
 Terapi perilaku
 Terapi kognitif
 Terapi aktivitas kelompok

g. Pohon masalah
Isolasi Social : Menarik Diri

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Gangguan konsep diri : Harga diri rendah.

C. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


a. Diagnosa
Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
Tujuan Umum
Klien memiliki konsep diri yang positif
1) Tujuan khusus 1
Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat

b. Kriteria hasil
Klien menunjukkan ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan
rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, mau menyebut
nama, mau menjawab salam, klien mau duduk berdampingan
dengan perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapi.
b. Rencana tindakan
(1)Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal.
(2)Perkenalkan diri dengan sopan.

48
(3)Tanyakan nama lengkap dan nama panggilan yang disukai klien
(4)Jelaskan tujuan pertemuan
(5)Jujur dan menepati janji
(6)Tunjukkan sifat empati dan menerima klien apa adanya.
(7)Beri perhatian dan perhatikan kebutuhan dasar klien
2) Tujuan khusus 2
Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
a. Kriteria hasil
Dengan menggunakan komunikasi therapeutik diharapkan
klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
b. Rencana tindakan
(1). Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki (tubuh,
intelektual, dan keluarga) oleh klien diluar perubahan yang
terjadi.
(2). Beri pujian atas aspek positif dan kemampuan yang masih
dimiliki
klien.
3) Tujuan khusus 3
Klien dapat Klien dapat menilai kemampuan yang dimiliki untuk
dilaksanakan.
a. Kriteria hasil
Klien menyebutkan kemampuan yang dapat dilaksanakan.
b. Rencana tindakan
(1) Diskusikan dengan klien kemampuan yang dapat dilaksanakan
dan digunakan selama sakit
(2) Diskusikan kemampuan yang masih dapat dilanjutkan
pelaksanaannya setelah klien pulang dengan kondisinya saat ini.

49
4) Tujuan khusus 4
Klien dapat merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki.
a) Kriteria hasil
Dengan menggunakan komunikasi theraupetik diharapkan klien dapat
menyusun rencana kegiatan harian.
b) Rencana tindakan
(1) Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap
hari sesuai kemampuan klien.
(2) Tingkatkan kegiatan sesuai kondisi klien.
(3) Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang dapat klien lakukan.
5) Tujuan khusus 5
Klien dapat melakukan kegiatan sesuai rencana yang dibuat.
b) Kriteria hasil
Dengan menggunakan komunikasi theraupetik diharapkan
klien dapat melakukan kegiatan sesuai jadwal yang dibuat.
b) Rencana tindakan
(1) Anjurkan klien untuk melaksanakan kegiatan yang telah
direncanakn
(2) Pantau kegiatan yang dilaksanakan klien.
(3) Beri pujian atas usaha yang dilakukan klien.
(4) Diskusikan kemungkinan pelaksanaan kegiatan setelah pulang.
6) Tujuan khusus 6
Klien dapat memanfaatkan sitem pendukung
a. Kriteria Hasil
Klien mampu memand=faatkan sistem pendukung yang ada di
keluarga
b. Recana Tindakan
(1) Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat
klien dengan harga diri rendah.

50
(2) Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat
(3) Bantu keluarga menyiapkan lingkungan dirumah.
4. Evaluasi
Adapun hal – hal yang dievaluasikan pada klien dengan gangguan konsep
diri : harga diri rendah adalah :
a) Klien dapat membina hubungan saling percaya.
b) Klien dapat mengindentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
c) Klien dapat menilai kemampuan yang dapat dilakukan dirumah sakiy.
d) Klien dapat membuat jadwal kegiatan sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki.
e) Klien dapat melakukan kegiatan sesuai dengan kondisi sakit dan
kemampuannya.
f) Klien dapat memanfaatkan system pendukung yang ada.

51
DAFTAR PUSTAKA

Wong L. Donna, 1993, “Essentials of Pediatric Nursing”, 4th, Mosby Year Book,
Toronto.
Effendy, Nasrul, Drs., 1995 “Perawatan Kesehatan Masyarakat”, EGC, Jakarta.
Keliat, A.B, 1991, “Tingkah Laku Bunuh Dirí, Arcan, Jakarta.
Schultz dan Videback. (1998). Manual Psychiatric Nursing Care Plan. 5th edition.
Lippincott- Raven Publisher: philadelphia
Townsend. (1995). Nursing Diagnosis in Psychiatric Nursing a Pocket Guide for
Care Plan Construction. Edisi 3.Jakarta : EGC

52
LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN KASUS PERILAKU KEKERASAN

DIRS SAMBANG LIHUM BANJARBARU

I. KONSEP DASAR TEORI

A. PENGERTIAN
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,
orang lain, maupun lingkungan (fitria, 2009).
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk
melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan
datangnya tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2008).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri, maupun
orang lain (Yoseph, 2007). Ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi
mengakibatkan seseorang stress berat, membuat orang marah bahkan
kehilangan kontrol kesadaran diri, misalkan: memaki-maki orang
disekitarnya, membanting-banting barang, menciderai diri dan orang lain,
bahkan membakar rumah.
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah.
Menurut WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2010), kekerasan adalah penggunaan
kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri,
perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan
atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian
psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak

53
B. PENYEBAB
1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan
menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang
dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
a. Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap
perilaku:
1) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls
agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus.
Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau
menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem
informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada
sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial
perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka
individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian,
perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem
neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat
impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan
pusat agresif.
2) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau
menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau
flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap
stress.

54
3) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif
dengan genetik karyotype XYY.
4) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku
agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang
sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan
perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy,
khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif
dan tindak kekerasan.
b. Teori Psikologik
1) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak
kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan
citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif
dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka
terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
2) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,
biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena
dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku
tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi
ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal.
Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru
pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika
masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan
anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku
kekerasan setelah dewasa.

55
c. Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur
sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum
menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya.
Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila
individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat
terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan
yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan
sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
2. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah,
perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi
rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap

56
C. RENTANG RESPONS MARAH
Respons kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif – mal adaptif.
Rentang respon kemarahan dapat digambarkan sebagai berikut : (Keliat, 1997).
 Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan
orang lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
 Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau
keinginan. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan. Akibat
dari ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
 Pasif adalah respons dimana individu tidak mampu mengungkapkan
perasaan yang dialami.
 Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat
dikontrol oleh individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui hak orang
lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung untuk mendapatkan
kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan yang sama dari orang lain
 Mengamuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan
kontrol diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri maupun
terhadap orang lain.
Respon kemarahan dapat berfluktusi dalam rentang adaptif-maladaptif.

D. TANDA DAN GEJALA


Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku
kekerasan adalah sebagai berikut:
1. Fisik
a. Muka merah dan tegang
b. Mata melotot/ pandangan tajam

57
c. Tangan mengepal
d. Rahang mengatup
e. Postur tubuh kaku
f. Jalan mondar-mandir
2. Verbal
a. Bicara kasar
b. Suara tinggi, membentak atau berteriak
c. Mengancam secara verbal atau fisik
d. Mengumpat dengan kata-kata kotor
e. Suara keras
f. Ketus
3. Perilaku
a. Melempar atau memukul benda/orang lain
b. Menyerang orang lain
c. Melukai diri sendiri/orang lain
d. Merusak lingkungan
e. Amuk/agresif
4. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel, tidak
berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
5. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
6. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
7. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
8. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

58
E. AKIBAT DARI PERILAKU KEKERASAN
Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi mencederai
diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang
kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.

F. PROSES MARAH
Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus
dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang
menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat
menimbulkan kemarahan. Berikut ini digambarkan proses kemarahan :(Beck,
Rawlins, Williams, 1986, dalam Keliat, 1996)

 Melihat gambar di atas bahwa respon terhadap marah dapat diungkapkan


melalui 3 cara yaitu : Mengungkapkan secara verbal, menekan, dan
menantang. Dari ketiga cara ini cara yang pertama adalah konstruktif sedang
dua cara yang lain adalah destruktif.
 Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa bermusuhan,
dan bila cara ini dipakai terus menerus, maka kemarahan dapat diekspresikan
pada diri sendiri dan lingkungan dan akan tampak sebagai depresi dan
psikomatik atau agresif dan ngamuk.

59
PATHWAY

G. PERILAKU
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :

 Menyerang atau menghindar (fight of flight)


Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom
beraksi terhadap sekresi epinephrin yang menyebabkan tekanan darah meningkat,
takikardi, wajah merah, pupil melebar, sekresi HCl meningkat, peristaltik gaster
menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga
meningkat diserta ketegangan otot, seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh
menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.

60
 Menyatakan secara asertif (assertiveness)
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahannya
yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku asertif adalah cara yang
terbaik untuk mengekspresikan marah karena individu dapat mengekspresikan rasa
marahnya tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikolgis. Di samping itu
perilaku ini dapat juga untuk pengembangan diri klien.

 Memberontak (acting out)


Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku “acting out” untuk
menarik perhatian orang lain.

 Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan

Perilaku Kekerasan

H. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan
stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan
yang digunakan untuk melindungi diri. (Stuart dan Sundeen, 2012).

61
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya
ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk
melindungi diri antara lain : (Maramis, 2012)

 Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata


masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya
secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan
kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan kue, meninju tembok
dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa
marah.
 Proyeksi : Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya
yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia
mempunyai perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh
bahwa temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
 Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke
alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya
yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang
diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak
baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu ditekannya dan
akhirnya ia dapat melupakannya.
 Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan,
dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada
teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
 Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan,
pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena ia
baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding
kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan temannya.

62
I. PENATALAKSANAAN
Yang diberikan pada klien yang mengalami gangguan jiwa amuk ada 2 yaitu:
1. Medis
a. Nozinan, yaitu sebagai pengontrol prilaku psikososia.
b. Halloperidol, yaitu mengontrol psikosis dan prilaku merusak diri.
c. Thrihexiphenidil, yaitu mengontro perilaku merusak diri dan menenangkan
hiperaktivitas.
d. ECT (Elektro Convulsive Therapy), yaitu menenangkan klien bila mengarah
pada keadaan amuk.
2. Penatalaksanaan keperawatan
a. Psikoterapeutik
b. Lingkungan terapieutik
c. Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)
d. Pendidikan kesehatan

II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


Asuhan keperawatan dilakukan dengan menggunakan pendekatan proses
keperawatan yang meliputi 4 tahapan yaitu : Pengkajian, perencanaan/intervensi,
pelaksanaan/implementasi dan evaluasi, yang masing-masing berkesinambungan
serta memerlukan kecakapan keterampilan professional tenaga keperawatan.
Proses keperawatan adalah cara pendekatan sistimatis yang diterapkan dalam
pelaksanaan fungsi keperawatan, ide pendekatan yang dimiliki, karakteristik
sistimatis, bertujuan, interaksi, dinamis dan ilmiah. Proses keperawatan klien marah
adalah sebagai berikut : (Keliat, dkk, 2012)
A. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan langkah awal dan dasar utama dari proses
keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari pengumpulan data, klasifikasi data,
analisa data, dan perumusan masalah atau kebutuhan klien atau diagnosa
keperawatan.

63
1. Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial dan
spiritual.
 Aspek biologis
Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi
terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat, tachikardi,
muka merah, pupil melebar, pengeluaran urine meningkat. Ada gejala yang
sama dengan kecemasan seperti meningkatnya kewaspadaan, ketegangan
otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku, dan refleks cepat.
Hal ini disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.
 Aspek emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya,
jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul orang lain, mengamuk,
bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan menuntut.
 Aspek intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses
intelektual, peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi dengan
lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses intelektual sebagai suatu
pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah, mengidentifikasi
penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses, diklarifikasi, dan
diintegrasikan.
 Aspek social
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan.
Emosi marah sering merangsang kemarahan orang lain. Klien seringkali
menyalurkan kemarahan dengan mengkritik tingkah laku yang lain
sehingga orang lain merasa sakit hati dengan mengucapkan kata-kata kasar
yang berlebihan disertai suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan
individu sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, menolak mengikuti
aturan.
 Aspek spiritual

64
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan
lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat
menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan rasa
tidak berdosa.
Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa perawat perlu
mengkaji individu secara komprehensif meliputi aspek fisik, emosi,
intelektual, sosial dan spiritual yang secara singkat dapat dilukiskan
sebagai berikut :
 Aspek fisik: terdiri dari :muka merah, pandangan tajam, napas pendek dan
cepat, berkeringat, sakit fisik, penyalahgunaan zat, tekanan darah
meningkat.
 Aspek emosi : tidak adekuat, tidak aman, dendam, jengkel.
 Aspek intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan.
 Aspek sosial : menarik diri, penolakan, kekerasan, ejekan, humor.

2. Klasifiaksi data
Data yang didapat pada pengumpulan data dikelompokkan menjadi 2 macam
yaitu data subyektif dan data obyektif. Data subyektif adalah data yang
disampaikan secara lisan oleh klien dan keluarga. Data ini didapatkan melalui
wawancara perawat dengan klien dan keluarga. Sedangkan data obyektif yang
ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan melalui obsevasi atau
pemeriksaan langsung oleh perawat.

3. Analisa data
Dengan melihat data subyektif dan data objektif dapat menentukan
permasalahan yang dihadapi klien dan dengan memperhatikan pohon
masalah dapat diketahui penyebab sampai pada efek dari masalah tersebut.
Dari hasil analisa data inilah dapat ditentukan diagnosa keperawatan.

65
Pohon masalah

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
“Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons aktual dan
potensial dari individu, keluarga, atau masyarakat terhadap masalah kesehatan
sebagai proses kehidupan” (Carpenito, 2000). Adapun kemungkinan diagnosa
keperawatan pada klien marah dengan masalah utama perilaku kekerasan
adalah sebagai berikut :
 Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan berhubungan
dengan perilaku kekerasan.
 Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.

66
C. INTERVENSI KEPERAWATAN

Rencana Tindakan
No Diagnosis
TUK/SP Tindakan
1 Resiko TUM: Selama perawatan Tindakan Psikoterapi
perilaku diruangan, pasien tidak a. Pasien
 BHSP
kekerasan memperlihatkan perilaku
 Ajarakan SP I:
kekerasan, dengan criteria o Diskusikan penyebab, tanda dan gejala, bentuk dan akibat PK yang
dilakukan pasien serta akibat PK
hasil (TUK):
o Latih pasien mencegah PK dengan cara: fisik (tarik nafas dalam &
 Dapat membina hubungan memeukul bantal)
saling percaya o Masukkan dalam jadwal harian
 Dapat mengidentifikasi  Ajarkan SP II:
penyebab, tanda dan gejala, o Diskusikan jadwal harian
bentuk dan akibat PK yang o Latih pasien mengntrol PK dengan cara sosial
sering dilakukan o Latih pasien cara menolak dan meminta yang asertif
 Dapat mendemonstrasikan
o Masukkan dalam jadwal kegiatan harian
cara mengontrol PK dengan
 Ajarkan SP III:
cara :
o Diskusikan jadwal harian
o Fisik
o Latih cara spiritual untuk mencegah PK
o Social dan verbal
o Masukkan dalam jadawal kegiatan harian
o Spiritual
 Ajarkan SP IV
o Minum obat teratur
o Diskusikan jadwal harian
 Dapat menyebutkan dan
o Diskusikan tentang manfaat obat dan kerugian jika tidak minum obat
mendemonstrasikan cara
mencegah PK yang sesuai secara teratur
 Dapat memelih cara o Masukkan dalam jadwal kegiatan harian
mengontrol PK yang efektif  Bantu pasien mempraktekan cara yang telah diajarkan
dan sesuai  Anjurkan pasien untuk memilih cara mengontrol PK yang sesuai
 Dapat melakukan cara yang  Masukkan cara mengontrol PK yang telah dipilih dalam kegiatan harian
sudah dipilih untuk  Validasi pelaksanaan jadwal kegiatan pasien dirumah sakit
mengontrl PK b. Keluarga
 Memasukan cara yang sudah  Diskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien PK
dipilih dalam kegitan harian Jelaskan pengertian tanda dan gejala PK yang dialami pasien serta
 Mendapat dukungan dari proses terjadinya
keluarga untuk mengontrol  Jelaskan dan latih cara-cara merawat pasien PK
PK  Latih keluarga melakukan cara merawat pasien PK secara langsung
 Dapat terlibat dalam kegiatan Discharge planning : jadwal aktivitas dan minum obat
diruangan

67
Tindakan psikofarmako
 Berikan obat-obatan sesuai program pasien
 Memantau kefektifan dan efek samping obat yang diminum
 Mengukur vital sign secara periodic

Tindakan manipulasi lingkungan


 Singkirkan semua benda yang berbahaya dari pasien
 Temani pasien selama dalam kondisi kegelisahan dan ketegangan mulai
meningkat
 Lakaukan pemebtasan mekanik/fisik dengan melakukan
pengikatan/restrain atau masukkan ruang isolasi bila perlu
 Libatkan pasien dalam TAK konservasi energi, stimulasi persepsi dan
realita

68
DAFTAR PUSTAKA

Dadang Hawari, 2012, Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Schizofrenia, FKUI;
Jakarta.
Depkes RI, 2014, Direktorat Jendral Pelayanan Medik Direktorat Pelayanan Keperawatan,
2014, Keperawatan Jiwa Teori dan Tindakan, Jakarta.
Depkes RI, 2009, Proses Keperawatan Jiwa, jilid I.
Keliat Budi Anna, dkk, 2009, Pusat Keperawatan Kesehatan Jiwa, penerbit buku kedokteran
EGC : Jakarta.
Keliat Budi Anna, 2010, Marah Akibat Penyakit yang Diderita, penerbit buku kedokteran
EGC ; Jakarta.
Keliat Budi Anna, 2014, Asuhan Keperawatan Perilaku Kekerasan, FIK, UI : Jakarta.
Rasmun, 2011, Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan Keluarga,
Edisi 1, CV. Agung Seto; Jakarta.
Stuart, GW dan Sundeen, S.J, 2012, Buku Saku Keperawatan Jiwa, edisi 3, Penerbit : Buku
Kedokteran EGC ; Jakarta.
Townsend C. Mary , 2011, Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC ; Jakarta.
WF Maramis, 2011, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, penerbit : Buku Kedokteran EGC ;
Jakarta.

69
LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN KASUS DEFISIT PERAWATAN DIRI

DIRS SAMBANG LIHUM BANJARBARU

I. KONSEP DASAR TEORI

A. PENGERTIAN
Defisit Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia didalam
memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan hidupnya,kesehatannya dan
kesejahteraannya sesuai dengan kondisi kesehatannya.Klien dinyatakan terganggu
perawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan dirinya. (Aziz R., 2012)
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan
diri secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian atau berhias, makan, dan
BAB atau BAK (toileting) (Fitria, 2009).
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting) (Nurjannah, 2009).

B. KLASIFIKASI
1. Kurang perawatan diri : Mandi / kebersihan
Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan aktivitas mandi/kebersihan diri.
2. Kurang perawatan diri : Mengenakan pakaian / berhias.
Kurang perawatan diri (mengenakan pakaian) adalah gangguan kemampuan
memakai pakaian dan aktivitas berdandan sendiri.
3. Kurang perawatan diri : Makan
Kurang perawatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan untuk
menunjukkan aktivitas makan.

70
1. Kurang perawatan diri : Toileting
Kurang perawatan diri (toileting) adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan atau menyelesaikan aktivitas toileting sendiri (Nurjannah : 2004,
79 ).

C. TANDA DAN GEJALA


Adapun tanda dan gejala defisit perawatan diri menurut Fitria (2009)
adalah sebagai berikut :
1. Mandi/Hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan,memperoleh
atau mendapatkan sumber air,mengatur suhu atau aliran air
mandi,mendapatkan perlengkapan mandi,mengeringkan tubuh,serta masuk
dan keluar kamar mandi
2. Berpakaian/berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan
pakaian ,menanggalkan pakaian,serta memperoleh atau menukar
pakaian.Klien juga memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian
dalam,memilih pakaian,mengambil pakaian dan mengenakan sepatu
3. Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,mempersiapkan
makanan,melengkapi makanan,mencerna makanan menurut cara yang
diterima masyarakat,serta mencerna cukup makanan dengan aman
4. Eliminasi
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan
jamban atau kamar kecil,duduk atau bangkit dari jamban,memanipulasi
pakaian untuk toileting,membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan
tepat,dan menyiram toilet atau kamar kecil

71
D. PENYEBAB
1. Factor predisposisi
a. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
b. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
c. Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk
perawatan diri.
d. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya.
Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan
diri.
2. Faktor presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah
yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu
melakukan perawatan diri.
Menurut Depkes (2000: 59) Faktor – faktor yang mempengaruhi personal
hygiene adalah:
1. Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri
misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli
dengan kebersihan dirinya.
2. Praktik Sosial
Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.

72
3. Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi,
sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya.
4. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang
baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita
diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5. Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
6. Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan
diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain – lain.
7. Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang
dan perlu bantuan untuk melakukannya.

E. AKIBAT
Dampak fisik
1. Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang
sering terjadi adalah : Gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa
mulut, infeksi pada mata dan telinga dan gangguan fisik pada kuku.
2. Dampak psikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan
kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga
diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.

3. Kurangnya kemampuan untuk mandi sendiri

73
a. Tidak dapat atau tidak ada keinginan untuk membasuh tubuh atau bagaian
tubuh
b. Ketidakmampuan merasakan kebutuhan terhadap tindakan kebersihan
4. Kurangnya kemampuan untuk berdandan
a. Kegagalan kemampuan untuk memakai atau melepaskan pakaian
b. Ketidakmampuan untuk mengancingkan pakaian
c. Ketidakmampuan untuk berdandan diri yang memuaskan
d. Tidak dapat untuk memperoleh atau mengganti aksesori pakaian
5. Kurangnya kemampuan untuk makan sendiri
a. Tidak dapat memotong makanan atau membuka
b. Tidak dapat membawa makanan ke mulut
6. Kurangnya kemampuan untuk ke kamar mandi atau toiletting
a. Tidak dapat atau tidak ada keinginan untuk ke kamar mandi atau ke kamar
kecil
b. Tidak dapat atau tidak ada keinginan untuk melaksanakan kebersihan
yang benar
c. Tidak dapat menyiram toilet atau mengosongkan WC
d. Tidak dapat mengenakan pakaian sewaktu di kamar mandi

F. PSIKOPATOLOGI
Banyak faktor yang mendukung timbulnya gangguan jiwa yang
merupakan perpaduan dari beberapa aspek yang saling mendukung yang meliputi
Biologis, psikologis, sosial budaya. Tidak seperti pada penyakit jasmaniah, sebab-
sebab gangguan jiwa adalah kompleks. Pada seseorang dapat terjadi penyebab
satu atau beberapa faktor dan biasanya jarang berdiri sendiri. Melalui
psikodinamika, akan dikaitkan beberapa faktor baik internal maupun eksternal
individu dengan menggunakan model stress adaptasi Struart & Laraia, sedangkan
psikopatologi pada defisit perawatan diri terdapat pada konteks penilaian terhadap
stressor sebagai tanda dan gejalanya (Stuart & Laraia, 2005).

74
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Data yang Perlu Dikaji
1. Data Subyektif:
Klien mengatakan malas mandi, tak mau menyisir rambut, tak mau menggosok
gigi, tak mau memotong kuku, tak mau berhias, tak bisa menggunakan alat
mandi / kebersihan diri.
2. Data Obyektif:
Badan bau, pakaian kotor, rambut dan kulit kotor, kuku panjang dan kotor, gigi
kotor, mulut bau, penampilan tidak rapih, tak bisa menggunakan alat mandi.

B. DIAGNOSE KEPERAWATAN
Defisit Perawatan Diri

C. FOKUS INTERVENSI KEPERAWATAN


1. Mandiri
Menurut Damaiyanti dan Iskandar (2012) tindakan mandiri
keperawatan pada pasien dengan defisit perawatan diri yaitu:
a. Menjelaskan pentingnya kebersihan diri.
b. Menjelaskan cara menjaga kebersihan diri.
c. Membantu pasien mempraktikan cara menjaga kebersihan diri.
d. Menjelaskan cara makan yang baik.
e. Membantu pasien mempraktikan cara makan yang baik.
f. Menjelaskan cara eliminasi yang baik.
g. Membantu pasien mempraktikan cara eliminasi yang baik.
h. Menjelaskan cara berdandan.
i. Membantu pasien mempraktikan cara berdandan.
j. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
Fokus intervensi keperawatan dalam hal ini terdiri dari dua, yaitu:
a. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pasien melakukan perawatan
diri.

75
b. Membantu pasien dengan keterbatasan dan melakukan perawatan yang
tidak dapat dilakukan pasien.
c. Kemampuan perawatan diri pasien skizofrenia mengalami penurunan
yang disebabkan karena gangguan kemauan pada pasien. Pasien banyak
mengalami kelemahan kemauan dan tidak dapat mengambil keputusan
perawatan diri.
d. Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri
1) Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.
2) Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
3) Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
4) Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri
e. Melatih pasien berdandan/berhias
Untuk pasien laki-laki latihan meliputi :
1) Berpakaian
2) Menyisir rambut
3) Bercukur
Untuk pasien wanita, latihannya meliputi :
1) Berpakaian
2) Menyisir rambut
3) Berhias
f. Melatih pasien makan secara mandiri
1) Menjelaskan cara mempersiapkan makan
2) Menjelaskan cara makan yang tertib
3) Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan
4) Praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik
g. Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri
1) Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
2) Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
3) Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK

76
STRTEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
SP1 Pasien:
Mendiskusikan pentingnya kebersihan diri, cara-cara merawat diri dan
melatih pasien tentang cara-cara perawatan kebersihan diri
Orientasi
“Selamat pagi, kenalkan saya Agung”
”Namanya anda siapa, senang dipanggil siapa?”
”Saya dinas pagi di ruangan ini pk. 07.00-14.00. Selama di rumah sakit ini saya
yang akan merawat T?”
“Dari tadi suster lihat T menggaruk-garuk badannya, gatal ya?”
” Bagaimana kalau kita bicara tentang kebersihan diri ? ”
” Berapa lama kita berbicara ?. 20 menit ya...?. Mau dimana...?. disini aja ya. ”
Kerja
“Berapa kali T mandi dalam sehari? Apakah T sudah mandi hari ini? Menurut T
apa kegunaannya mandi ?Apa alasan T sehingga tidak bisa merawat diri?
Menurut T apa manfaatnya kalau kita menjaga kebersihan diri? Kira-kira tanda-
tanda orang yang tidak merawat diri dengan baik seperti apa ya...?, badan gatal,
mulut bau, apa lagi...? Kalau kita tidak teratur menjaga kebersihan diri masalah
apa menurut T yang bisa muncul ?” Betul ada kudis, kutu...dsb.
“Apa yang T lakukan untuk merawat rambut dan muka? Kapan saja T menyisir
rambut? Bagaimana dengan bedakan? Apa maksud atau tujuan sisiran dan
berdandan?”
(Contoh untuk pasien laki-laki)
“Berapa kali T cukuran dalam seminggu? Kapan T cukuran terakhir? Apa
gunanya cukuran? Apa alat-alat yang diperlukan?”. Iya... sebaiknya cukuran 2x
perminggu, dan ada alat cukurnya?”. Nanti bisa minta ke perawat ya
“Berapa kali T makan sehari?
”Apa pula yang dilakukan setelah makan?” Betul, kita harus sikat gigi setelah
makan.
“Di mana biasanya T berak/kencing? Bagaimana membersihkannya?”. Iya... kita

77
kencing dan berak harus di WC, Nach... itu WC di ruangan ini, lalu jangan lupa
membersihkan pakai air dan sabun”.
“Menurut T kalau mandi itu kita harus bagaimana ? Sebelum mandi apa yang
perlu kita persiapkan? Benar sekali..T perlu menyiapkan pakaian ganti, handuk,
sikat gigi, shampo dan sabun serta sisir”.
”Bagaimana kalau sekarang kita ke kamar mandi, suster akan membimbing T
melakukannya. Sekarang T siram seluruh tubuh T termasuk rambut lalu ambil
shampoo gosokkan pada kepala T sampai berbusa lalu bilas sampai bersih.. bagus
sekali.. Selanjutnya ambil sabun, gosokkan di seluruh tubuh secara merata lalu
siram dengan air sampai bersih, jangan lupa sikat gigi pakai odol.. giginya disikat
mulai dari arah atas ke bawah. Gosok seluruh gigi T mulai dari depan sampai
belakang. Bagus, lalu kumur-kumur sampai bersih. Terakhir siram lagi seluruh
tubuh T sampai bersih lalu keringkan dengan handuk. T bagus sekali
melakukannya. Selanjutnya T pakai baju dan sisir rambutnya dengan baik.”
Terminasi
“Bagaimana perasaan T setelah mandi dan mengganti pakaian ? Coba T
sebutkan lagi apa saja cara-cara mandi yang baik yang sudah T lakukan tadi ?”.
”Bagaimana perasaan Tina setelah kita mendiskusikan tentang pentingnya
kebersihan diri tadi ? Sekarang coba Tina ulangi lagi tanda-tanda bersih dan rapi”
”Bagus sekali mau berapa kali T mandi dan sikat gigi...?dua kali pagi dan sore,
Mari...kita masukkan dalam jadual aktivitas harian. Nach... lakukan ya T..., dan
beri tanda kalau sudah dilakukan Spt M ( mandiri ) kalau dilakukan tanpa
disuruh, B ( bantuan ) kalau diingatkan baru dilakukan dan T ( tidak ) tidak
melakukani? Baik besok lagi kita latihan berdandan. Oke?” Pagi-pagi sehabis
makan.

SP 2 Pasien : Percakapan saat melatih pasien laki-laki berdandan:


a) Berpakaian
b) Menyisir rambut
c) Bercukur

78
ORIENTASI
“Selamat pagi Pak Tono?
“Bagaimana perasaan bpk hari ini? Bagaimana mandinya?”sudah dilakukan? Sudah
ditandai di jadual hariannya?
“Hari ini kita akan latihan berdandan, mau dimana latihannya. Bagaimana kalau di
ruang tamu ? lebih kurang setengah jam”.

KERJA
“Apa yang T lakukan setelah selesai mandi ?”apa T sudah ganti baju?
“Untuk berpakaian, pilihlah pakaian yang bersih dan kering. Berganti pakaian yang
bersih 2x/hari. Sekarang coba bapak ganti baju.. Ya, bagus seperti itu”.
“Apakah T menyisir rambut ? Bagaimana cara bersisir ?”Coba kita praktekkan, lihat
ke cermin, bagus…sekali!
“Apakah T suka bercukur ?Berapa hari sekali bercukur ?” betul 2 kali perminggu
“Tampaknya kumis dan janggut bapak sudah panjang. Mari Pak dirapikan ! Ya,
Bagus !” (catatan: janggut dirapihkan bila pasien tidak memelihara janggut)

TERMINASI
“Bagaimana perasaan bapak setelah berdandan”.
“Coba pak, sebutkan cara berdandan yang baik sekali lagi”..
“Selanjutnya bapak setiap hari setelah mandi berdandan dan pakai baju seperti tadi
ya! Mari kita masukan pada jadual kegiatan harian, pagi jam berapa, lalu sore jam
berap ?
“Nanti siang kita latihan makan yang baik. Diruang makan bersama dengan pasien
yang lain.

SP 3 Pasien: Percakapan melatih berdandan untuk pasien wanita


a) Berpakaian

79
b) Menyisir rambut
c) Berhias

ORIENTASI
“Selamat pagi, bagaimana perasaaan T hari ini ?Bagaimana mandinya?”Sudah di
tandai dijadual harian ?
“Hari ini kita akan latihan berdandan supaya T tampak rapi dan cantik. Mari T kita
dekat cermin dan bawa alat-alatnya( sisir, bedak, lipstik )
KERJA
“ Sudah diganti tadi pakaianya sehabis mandi ? Bagus….! Nach…sekarang disisir
rambutnya yang rapi, bagus…! Apakah T biasa pakai bedak?” coba dibedakin
mukanyaT, yang rata dan tipis. Bagus sekali.” “ T, punya lipstik mari dioles tipis.
Nach…coba lihat dikaca!

TERMINASI
“Bagaimana perasaan T belajar berdandan”
“T jadi tampak segar dan cantik, mari masukkan dalam jadualnya. Kegiatan harian,
sama jamnya dengan mandi. Nanti siang kita latihan makan yang baik di ruang
makan bersama pasien yang lain”.

SP 4 Pasien : Percakapan melatih pasien makan secara mandiri


a) Menjelaskan cara mempersiapkan makan
b) Menjelaskan cara makan yang tertib
c) Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan

80
d) Praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik

ORIENTASI
“Selamat siang T,”
” Wow...masih rapi dech T”.
“Siang ini kita akan latihan bagaimana cara makan yang baik. Kita latihan langsung
di ruang makan ya..!” Mari...itu sudah datang makanan.“
KERJA
“Bagaimana kebiasaan sebelum, saat, maupun setelah makan? Dimana T makan?”
“Sebelum makan kita harus cuci tangan memakai sabun. Ya, mari kita praktekkan!
“Bagus! Setelah itu kita duduk dan ambil makanan. Sebelum disantap kita berdoa
dulu. Silakan T yang pimpin!. Bagus..
“Mari kita makan.. saat makan kita harus menyuap makanan satu-satu dengan pelan-
pelan. Ya, Ayo...sayurnya dimakanya.”“Setelah makan kita bereskan piring,dan gelas
yang kotor. Ya betul.. dan kita akhiri dengan cuci tangan. Ya bagus!” Itu Suster Ani
sedang bagi obat, coba...T minta sendiri obatnya.”

TERMINASI
“Bagaimana perasaan T setelah kita makan bersama-sama”.
”Apa saja yang harus kita lakukan pada saat makan, ( cuci tangan, duduk yang baik,
ambil makanan, berdoa, makan yang baik, cuci piring dan gelas, lalu cuci tangan.)”
” Nach... coba T lakukan seperti tadi setiap makan, mau kita masukkan dalam
jadual?.Besok kita ketemu lagi untuk latihan BAB / BAK yang baik, bagaiman kalau
jam 10.00 disini saja ya...!”

81
SP 5 Pasien : Percakapan mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri
a) Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
b) Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
c) Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK
Orientasi
“Selamat pagi T ? Bagaimana perasaan T hari ini ?” Baik..! sudah dijalankan jadual
kegiatannya..?”
“Kita akan membicarakan tentang cara berak dan kencing yang baik?
“ Kira-kira 20 menit ya...T. dan dimana kita duduk? Baik disana dech...!

Kerja
Untuk pasien pria:
“Dimana biasanya Tono berak dan kencing?” “Benar Tono, berak atau kencing yang
baik itu di WC/kakus, kamar mandi atau tempat lain yang tertutup dan ada saluran
pembuangan kotorannya. Jadi kita tidak berak/kencing di sembarang tempat ya.....”
“Sekarang, coba Tono jelaskan kepada saya bagaimana cara Tono cebok?”
“Sudah bagus ya Tono, yang perlu diingat saat Tono cebok adalah Tono
membersihkan anus atau kemaluan dengan air yang bersih dan pastikan tidak ada
tinja/air kencing yang masih tersisa di tubuh Tono”. “Setelah Tono selesai cebok,
jangan lupa tinja/air kencing yang ada di kakus/WC dibersihkan. Caranya siram
tinja/air kencing tersebut dengan air secukupnya sampai tinja/air kencing itu tidak
tersisa di kakus/ WC. Jika Tono membersihkan tinja/air kencing seperti ini, berarti
Tono ikut mencegah menyebarnya kuman yang berbahaya yang ada pada kotoran/
air kencing”
“Setelah selesai membersihan tinja/air kencing, Tono perlu merapihkan kembali
pakaian sebelum keluar dari WC/kakus/kamar mandi. Pastikan resleting celana telah
tertutup rapi , lalu cuci tangan dengan menggunakan sabun.”

Untuk pasien wanita:

82
“Cara cebok yang bersih setelah T berak yaitu dengan menyiramkan air dari arah
depan ke belakang. Jangan terbalik ya, …… Cara seperti ini berguna untuk mencegah
masuknya kotoran/tinja yang ada di anus ke bagian kemaluan kita”
“Setelah Tono selesai cebok, jangan lupa tinja/air kencing yang ada di kakus/WC
dibersihkan. Caranya siram tinja/air kencing tersebut dengan air secukupnya sampai
tinja/air kencing itu tidak tersisa di kakus/ WC. Jika Tono membersihkan tinja/air
kencing seperti ini, berarti Tono ikut mencegah menyebarnya kuman yang berbahaya
yang ada pada kotoran/ air kencing”
“Jangan lupa merapikan kembali pakaian sebelum keluar dari WC/kakus, lalu cuci
tangan dengan menggunakan sabun.”

Terminasi
“Bagaimana perasaan T setelah kita membicarakan tentang cara berak/kencing yang
baik?”
“Coba T jelaskan ulang tentang cara BAB?BAK yang baik.” Bagus...!
“Untuk selanjutnya T bisa melakukan cara-cara yang telah dijelaskan tadi ”.

“ Nach...besok kita ketemu lagi, untuk melihat sudah sejauhmana T bisa melakukan
jadual kegiatannya.

83
DAFTAR PUSTAKA

Depkes. 2011. Standar Pedoman Perawatan jiwa.Kaplan Sadoch. 1998.


Sinopsis Psikiatri. Edisi 7. Jakarta : EGC

Fitria, Nita. (2009). Prinsip Dasar Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan


dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta :
Salemba Medika.

Keliat. B.A. 2009. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC

Nurjanah, Intansari S.Kep. 2014. Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa.


Yogyakarta : Momedia

Stuart, GW and Laraia. 2012. Principles and practice of psychiatric nursing,


8ed. Elsevier Mosby : Philadelphia.

84

Anda mungkin juga menyukai