Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PASIEN DENGAN ISOLASI SOSIAL


RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI LAMPUNG

Disusun Oleh :
RINDU RIKA GAMAYANI
NPM 2021029

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN


AKADEMI KEPERAWATAN BUNDA DELIMA BANDAR LAMPUNG
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
A. KASUS/MASALAH UTAMA : ISOLASI SOSIAL
1. Pengertian Isolasi Sosial

Menurut Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (Tim Pokja SDKI DPP


PPNI, 2016) Isolasi Sosial merupakan ketidakmampuan untuk membina hubungan
yang erat, hangat, terbuka, dan interdependen dengan orang lain. Isolasi sosial
adalah keadaan dimana individu mengalami penurunan dan bahkan sama sekali
tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Klien merasa ditolak,
tidak diterima, kesepian dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan
orang lain.

Isolasi sosial merupakan keadaan dimana seseorang individu mengalami


penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
disekitarnya. Pasien isolasi sosial mengalami gangguan dalam berinteraksi dan
mengalami perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain disekitarnya,
lebih menyukai berdiam diri, mengurung diri, dan menghindar dari orang lain
(Yusuf, Fitryasari, dan Nihayati. 2015).

Menarik diri merupakan suatu keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan


dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain (Townsend M.C.
dalam Muhith A, 2015). Sedangkan, penarikan diri atau withdrawal merupakan
suatu tindakan melepaskan diri baik perhatian ataupun minatnya terhadap
lingkungan sosial secara langsung yang dapat bersifat sementara atau menetap
(Depkes RI, dalam Muhith A, 2015). Jadi menarik diri adalah keadaan dimana
seseorang menemukan kesulitan dalam membina hubungan dan menghindari
interaksi dengan orang lain secara langsung yang dapat bersifat sementara atau
menetap.

2. Rentang Respon Sosial dan Gangguan Kepribadian


Rentang Respon
Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan dengan cara yang dapat
diterima oleh norma-norma masyarakat. Menurut Yusuf, Fitryasari, dan Nihayati. (2015)
respon ini meliputi:
1. Menyendiri
Merupakan respon yang dilakukan individu untuk merenungkan apa yang telah terjadi
atau dilakukan dan suatu cara mengevaluasi diri dalam menentukan rencana-rencana.
2. Otonomi
Merupakan kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide, pikiran,
perasaan dalam hubungan sosial, individu mampu menetapkan untuk interdependen
dan pengaturan diri.
3. Kebersamaan
Merupakan kemampuan individu untuk saling pengertian, saling memberi, dan
menerima dalam hubungan interpersonal.
4. Saling ketergantungan
Merupakan suatu hubungan saling ketergantungan saling tergantung antar individu
dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal.

Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah dengan


cara-cara yang bertentangan dengan norma-norma agama dan masyarakat. Menurut Yusuf,
Fitryasari, dan Nihayati. (2015) respon maladaptive tersebut adalah:
1. Manipulasi
Merupakan gangguan sosial dimana individu memperlakukan orang lain sebagai
objek, hubungan terpusat pada masalah mengendalikan orang lain dan individu
cenderung berorientasi pada diri sendiri. Tingkah laku mengontrol digunakan
sebagai pertahanan terhadap kegagalan atau frustasi dan dapat menjadi alat untuk
berkuasa pada orang lain.
2. Impulsif
Merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai subyek yang tidak
dapat diduga, tidak dapat dipercaya, tidak mampu merencanakan tidak mampu
untuk belajar dari pengalaman dan miskin penilaian.
3. Narsisme
Respon sosial ditandai dengan individu memiliki tingkah laku ogosentris,harga diri
yang rapuh, terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan mudah marah
jika tidak mendapat dukungan dari orang lain.
4. Isolasi sosial
Adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama
sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin
merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan
yang berarti dengan orang lain.

Gangguan Kepribadian
No Gangguan Kepribadian Penjelasan
1. Paranoid Selalu curiga dan tidak percaya pada orang lain,
bahkan teman, keluarga dan pasangannya
sendiri.
2. Skizoid Suka menyendiri, tak ingin berhubungan sosial
dan seksual, tak peduli pada orang lain dan tak
memiliki respons emosional.
3. Skizotipal Orang dengan gangguan jenis ini takut pada
interaksi sosial dan menganggap orang lain
berbahaya.
4. Antisosial Sering mengabaikan peraturan dan kewajiban
sosial, mudah tersinggung, agresif, bertindak
implusif dan tidak memiliki rasa bersalah.
5. Ambang (Borderline) Emosi tidak stabil, mudah marah, implusif,
mengalami perasaan hampa, suka menyakiti diri
sendiri dan beresiko tinggi bunuh diri.
6. Histrionik Tak memiliki rasa harga diri, sering menarik
perhatian dan mendramatisasi atau memainkan
peran agar didengar dan dilihat.
7. Narsistik Memiliki perasaan ekstrem mengenai
kepentingan diri sendiri, tidak memiliki empati,
serta siap berbohong dan mengeksploitasi orang
lain demi mencapai tujuannya.
8. Dependen Kurang percaya diri dan butuh banyak bantuan
dalam membuat keputusan sehari-hari dan
menyerahkan keputusan hidup orang penting
kepada orang lain.
9. Menghindar (Avoidant) Percaya bahwa dirinya tidak kompeten, tidak
menarik, inferior dan terus menerus takut
dipermalukan, dikritik atau ditolak.
10 Anankastik Teliti berlebihan pada rincian aturan, daftar,
. urutan, organisasi, atau jadwal.
B. ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Menurut Fitria (2015) faktor predisposisi yang mempengaruhi masalah isolasi sosial
yaitu:
a. Tumbuh Kembang
Pada setiap tahap tumbuh kembang terdapat tugas tugas perkembangan yang
harus terpenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Apabila tugas
tersebut tidak terpenuhi maka akan menghambat fase perkem bangan sosial yang
nantinya dapat menimbulkan suatu masalah.

Gambar : Tahap Perkembangan


b. Faktor Komunikasi dalam Keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung terjadinya
gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini yang termasuk masalah dalam
berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidak jelasan (double bind) yaitu suatu
keadaan dimana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan
dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang
menghambat untuk hubungan dengan lingkungan diluar keluarga.
c. Faktor Sosial budaya
Norma-norma yang salah didalam keluarga atau lingkungan dapat menyebabkan
hubungan sosial, dimana setiap anggota keluarga yang tidak produktif seperti lanjut
usia, berpenyakit kronis dan penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosialnya.
d. Faktor Biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi gangguan
dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat mempengaruhi gangguan hubungan
sosial adalah otak, misalnya pada klien skizofrenia yang mengalami masalah dalam
hubungan memiliki struktur yang abnormal pada otak seperti atropi otak, serta
perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbic dan daerah kortikal.

2. Faktor Presipitasi
Menurut Direja (2015) terjadinya gangguan hubungan sosial juga dipengaruhi
oleh faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor presipitasi dapat
dikelompokan sebagai berikut:
a. Faktor Eksternal
Contohnya adalah stressor sosial budaya, yaitu stress yang ditimbulkan oleh faktor
sosial budaya seperti keluarga.
b. Faktor Internal
Contohnya adalah stressor psikologis, yaitu stress yang terjadi akibat kecemasan
atau ansietas yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan
kemampuan individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi akibat tuntutan
untuk berpisah dengan orang terdekat atau tidak terpenuhi kebutuhan individu.

3. Penilaian Stressor
Penilaian terhadap stresor menggambarkan arti dan makna sumber stres pada suatu
situasi yang dialami individu (Stuart, W. Gail. 2016). Penilaian terhadap stresor dapat
dilihat melalui respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan sosial.
a. Respon Kognitif
Respon kognitif memegang peran sentral dalam proses adaptasi, dimana faktor
kognitif mempengaruhi dampak suatu kejadian yang penuh dengan stress, memilih
koping yang akan digunakan, dan reaksi emosi, fisiologi, perilaku, dan sosial
seseorang. Penilaian secara kognitif merupakan mediator fisiologis antara individu
dengan lingkungannya terhadap suatu stressor. Terdapat tiga tipe utama penilaian
terhadap stresor yang bersifat kognitif yaitu:
(1) stressor dinilai sebagai bahaya yang akan terjadi,
(2) stresor dinilai sebagai ancaman sehingga perlu antisipasi, dan
(3) stressor dinilai sebagai peluang/tantangan untuk tumbuh menjadi lebih baik.
Individu yang menilai stresor sebagai suatu tantangan akan mengubah stresor 56
menjadi peristiwa yang menguntungkan bagi dirinya sehingga menurunkan
tingkat stres yang dialami.
Menurut (Stuart, W. Gail. 2016) dan (Keliat, B.A., 2015) pada klien isolasi sosial
penilaian terhadap stresor secara kognitif berupa merasa kesepiam, merasa ditolak
orang lain/lingkungan, dan merasa tidak dimengerti oleh orang lain, merasa tidak
berguna, merasa putus asa dan tidak memiliki tujuan hidup, merasa tidak aman
berada diantara orang lain, serta tidak mampu konsentrasi dan membuat keputusan.

b. Respon Afektif
Respon afektif menunjukkan suatu perasaan. Penilaian terhadap stresor secara
afektif tidak spesifik dan umumnya berupa reaksi cemas yang diekspresikan sebagai
emosi. Respon afektif meliputi gembira, sedih, takut, marah, menerima, tidak
percaya, antisipasi, dan terkejut. Pengetahuan yang baik, optimis, dan sikap positif
dalam menilai peristiwa kehidupan yang dialami diyakini dapat menimbulkan
perasaan sejahtera dan memperpanjang usia (Stuart, W. Gail. 2016). Respon afektif
dipengaruhi oleh kegagalan individu dalam menyelesaikan tugas perkembangan di
masa lalu terutama terkait dengan pengalaman berinteraksi dengan orang lain.
Menurut (Townsend, 2009) dan (NANDA, 2015) secara afektif klien dengan isolasi
sosial merasa bosan dan lambat dalam menghabiskan waktu, sedih, afek tumpul, dan
kurang motivasi.
c. Respon Fisiologis
Respon fisiologis merefleksinkan interaksi beberapa neuroendokrin seperti
hormon pertumbuhan, prolaktin, ACTH, luteinizing dan folliclestimulating hormone,
TSH, vasopresin, oksitosin, insulin, epineprin, norepineprin, 57 dan beberapa
neurotransmiter dalam otak. Respon fisiologis fight-or-flight menstimulasi sistem
saraf otonom yaitu saraf simpatis dan meningkatkan aktivitas adrenal pituitari.
Respon fisiologis yang terjadi pada klien isolasi sosial berupa lemah,
penurunan/peningkatan nafsu makan, malas beraktivitas, lemah, kurang energi
(NANDA, 2015).
d. Respon Perilaku
Perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri
dan mempunyai bentangan yang luas meliputi berjalan, berbicara dan bereaksi,
dimana semua itu dapat diamati, bahkan dipelajari. (Stuart, W. Gail. 2016)
merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap
stimulus (rangsangan dari luar).
Menurut (Stuart, W. Gail. 2016) perilaku yang ditunjukkan klien isolasi sosial
meliputi menarik diri, menjauh dari orang lain, tidak atau jarang melakukan
komunikasi, tidak ada kontak mata, kehilangan gerak dan minat, malas melakukan
kegiatan sehari-hari, berdiam diri di kamar, menolak hubungan dengan orang lain,
dan sikap bermusuhan.
e. Respon Sosial
Respon sosial individu dalam menghadapi stressor terdiri dari tiga kegiatan, yaitu :
(1) Mencari makna, individu mencari informasi tentang masalah yang dihadapi.
Dalam hal ini perlu memikirkan strategi koping yang akan digunakan untuk
merespon masalah yang dihadapi secara rasional.
(2) Atribut sosial, individu mencoba mengidentifikasi faktor- faktor yang
berkontribusi terhadap masalah yang ada. Individu yang memandang 58
masalahnya sebagai akibat dari kelalaiannya mungkin tidak dapat melakukan
suatu respon koping. Dalam hal ini individu akan lebih menyalahkan diri sendiri,
bersikap pasif, dan menarik diri.
(3) Perbandingan sosial, individu akan membandingkan ketrampilan dan
kemampuan yang dimiliki dengan orang lain yang memiliki masalah yang sama.
Hasil perbandingan sosial ini tergantung pada siapa yang dibandingkan dengan
tujuan akhir untuk menentukan kebutuhan support system, sedangkan support
system yang dibutuhkan tergantung usia, tahap perkembangan, latar belakang
sosial budaya.

4. Mekanisme Koping
Mekanisme koping merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mengatasi stres
(Stuart, W. Gail. 2016). Terdapat 3 (tiga) tipe utama mekanisme koping, yaitu :
a) Mekanisme koping berfokus pada masalah (problem- focused), merupakan
mekanisme koping yang meliputi tugas dan usaha langsung dalam mengatasi
masalah yang mengancam individu, seperti negosiasi, konfrontasi, dan meminta
nasihat.
b) Mekanisme koping berfokus pada kognitif (cognitively- focused), mekanisme
koping dimana seseorang berusaha untuk mengontrol arti permasalahan dan
berusaha menetralkannya, seperti membuat perbandingan positif, pemberian hadiah,
mengabaikan, dan evaluasi terhadap keinginan
c) Mekanisme koping yang berpusat pada emosi (emotion- focused), mekanisme
koping dimana individu diorientasikan untuk menenangkan emosi yang mengancam,
seperti penggunaan mekanisme pertahanan ego misalnya denial, supresi, atau
proyeksi.
Mekanisme koping yang digunakan untuk menyelesaikan masalah dapat bersifat
konstruktif dan destruktif. Mekanisme koping bersifat konstruktif jika individu
menganggap stressor sebagai tanda peringatan dan menerimanya sebagai tantangan
untuk mengatasi masalahnya, sebaliknya bersifat destruktif jika stressor yang dihadapi
tidak diatasi/diselesaikan atau lari dari masalah.

Pada klien isolasi sosial ketika menghadapi stresor tidak mampu menggunakan
mekanisme koping yang efektif. Mekanisme koping yang digunakan yaitu denial,
regresi,proyeksi, identifikasi, dan religiosity yang berakhir dengan koping maladaptif
berupa terjadi episode awal psikosis atau serangan ulang skizofrenia dengan munculnya
gejala-gejala skizofrenia termasuk isolasi soial (Stuart, W. Gail. 2016).

5. Sumber Koping
Sumber koping merupakan pilihan atau strategi yang dapat membantu
menentukan apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi suatu masalah. Sumber
koping meliputi assetekonomi, kemampuan dan ketrampilan, teknik pertahanan diri,
dukungan sosial, dan motivasi (Stuart, W. Gail. 2016). Sumber koping dapat bersifat
internal maupun eksternal. Hubungan antara individu, keluarga, kelompok, dan
masyarakat merupakan sesuatu yang penting sebagai sumber koping seseorang. Sumber
koping individu yang lain dalam menghadapi stresor adalah kesehatan dan energy
keyakinan/spiritual, keyakinan positif, ketrampilan sosial dan pemecahan masalah,
sumber-sumber sosial dan material, dan kesejahahteraan secara fisik.

C. POHON MASALAH

Risiko Mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan

Effect Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi

Isolasi Sosial : Menarik


Core Problem Diri

Causa Harga Diri Rendah

Koping individu tidak efektif


(Fitri, 2015)

 DAFTAR MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


1) Masalah Keperawatan
a. Resiko perubahan persepsi sensori : Halusinasi
b. Isolasi Sosial : Menarik diri
c. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
2) Data yang perlu di kaji
a. Resiko perubahan persepsi sensori : Halusinasi
Data Subjektif :
 Klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak berhubungan dengan
stimulus nyata
 Klien mengatakan melihat gambaran tanpa ada stimulus yang nyata
 Klien mengatkan mencium bau tanpa stimulus
 Klien merasa makan sesuatu
 Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya
 Klien takut pada suara/bunyi/gambar yang dilhat dan didengar
 Klien ingin memukul/melempar barang-barang

Data Objektif :

 Klien berbicara dan tertawa sendiri


 Klien bersikap seperti mendengar/melihat sesuatu
 Klien berhenti bicara dutengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu
b. Isolasi Sosial : Menarik Diri
Data Subjektif :
 Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa,
bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu
terhadap diri sendiri.
Data Objektif :
 Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih
alternatif Tindakan, ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup.
c. Gangguan Konsep diri : Harga diri rendah
Data Subjektif :
 Klien mengatakan : saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa,
bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu
terhadap diri sendiri.

Data Objektif :

 Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih


alternatif Tindakan, ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup

D. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Masalah keperawatan klien yang muncul pada klien dengan isolasi sosial:
menarik diri ( Fitria, 2015).
a. Isolasi sosial : menarik diri
b. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
c. Perubahan persepsi sensori : halusinasi

E. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


a. Isolasi Sosial : Menarik Diri
Tujuan :
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya
2) Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
3) Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
4) Klien dapat melaksanakan hubungan sosial secara bertahap
5) Klien dapat mengungkapkan perasannya setelah berhubungan dengan orang
lain
6) Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga mampu
mengembangkan kemmapuan klien untuk berhubungan dengan orang lain.

Intervensi :
1) Bina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan prinsip komunikasi
terapeutik.
2) Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya.
3) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab
menarik diri atau tidak mau bergaul.
4) Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri tanda-tanda serta
penyebab yang muncul.
5) Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan
dengan orang lain.
6) Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan kerugian tidak berhubungan
dengan orang lain.
7) Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang
lain.
8) Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain.
9) Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan.
10) Dorong klien untuk mengungkapkan perasannya bila berhubungan dengan
orang lain.

b. Gangguan Konsep Diri : Harga Diri rendah


Tujuan :
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya
2) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
3) Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
4) Klien dapat (menetapkan) kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
5) Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit.
6) Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
Intervensi :
1) Bina hubungan saling percaya dengan mengungkapakn prinsip kounikasi
terapeutik.
2) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
3) Setiap bertemu klien hindarkan dari memberi nilai negatif.
4) Utamakan memberi pujian yang realistik.
5) Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan selama
sakit.
6) Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaan.
7) Rencanakan bersama klien aktifitas yang dapat dilakukan setiap hari.
8) Tingkatkan kegiatan yang sesuai dengan toleransi kondisi klien.
9) Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan.
10) Beri kesempatan kepada klien untuk mencoba kegiatan yang telah
direncanakan.
c. Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi
Tujuan :
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya .
2) Klien dapat mengenali halusinasinya.
3) Klien dapat mengontrol halusinasinya.
4) Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasi.
5) Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik.
Intervensi :
1) Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik.
2) Adakah kontak sering dan singkat secara bertahap.
3) Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya; bicara dan
tertawa tanpa stimulus, memandang kekiri atau ke kanan atau kedepan
seolaholah ada teman bicara.
4) Bantu klien mengenali halusinasinya.
5) Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi (marah
atau takut, sedih, senang) beri kesempatan mengungkapkan perasaannya.
6) Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi
halusinasi (tidur, marah, menyibukkan diri, dll).
7) Diskusikan cara baru untuk memutus atau mengontrol halusinasi.
8) Bantu klien memilih dan melatih cara memutus halusinasi secara bertahap.
9) Anjurkan klien untuk memberi tahu keluarga jika mengalami halusinasi.
10) Diskusikan dengan keluarga (pada saat berkunjung/pada saat kunjungan
rumah)
F. DAFTAR PUSTAKA

Fitria, Nita. 2015. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan

Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan.Jakarta: Salemba Medika.

Stuart, W. Gail. 2016. Keperawatan Kesehatan Jiwa. Singapore: Elsevier

Yusuf, Fitryasari, dan Nihayati. 2015. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika

Direja, Ade Herman Surya. 2015. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:

Nuha Medika.

Keliat, Budi Anna. 2015. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN (Basic

Course). Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai