Setelah hening sesaat, Joko Lelono mencoba membuka matanya. Alangkah kaget
dan bingung karena setelah membuka mata yang terlihat hanya gelap gulita.
Kemudian ia mengusap matanya sekali lagi, dan justru semakin gelap. Karena
melihat anaknya panik dengan terus mengusap mata, Begawan Sidik Wacana
segera menghampiri anaknya. “Apa yang terjadi anakku” tanya Begawan.
“Ampun ayahanda, apa yang menjadi kata ayahanda tentang mata saya yang
buta menjadi kenyataan.” Jawab Joko Lelono.
Seketika itu, perasaan Begawan Sidik Wacana sangat sedih. Akibat mengeluarkan
kata-kata yang akhirnya menjadi kutukan bagi anaknya.
“Anakku, kejadian sudah terlanjur. Kutukan ini akan kau jalani. Untuk
menyembuhkan matamu yang buta, kau harus menjalani ‘laku tirakat’. Pergilah ke
pertapaan di Dlepih Kahyangan Tirtomoyo, temuilah seorang pertapa Begawan
Sidik Wasesa. Lakukan apapun perintahnya.” kata Begawan Sidik Wacana.
“Kamu akan ditemani 2 abdi dalem Ki Merkak dan Ki Jebres yang akan membantu
kamu selama perjalanan.” terang Begawan.
Dengan hati senang, Joko Lelono mengetuk pintu Padepokan. Setelah sekian lama
menunggu, akhirnya keluar juga sang pemilik Padepokan Begawan Sidik Waseso.
Setelah bertemu, Joko Lelono menceritakan kisah nya dan tujuannya menemui
sang Begawan.
Dengan senyum dan keramahannya, Begawan Sidik Waseso beranjak dari tempat
duduk dan menghampiri Joko Lelono. Ia menempelkan kedua tangannya di
kelopak mata Joko Lelono. Mulutnya komat-kamit membaca sebuah mantra.
Sejurus kemudian, diusapkan berkali-kali tangan ke kelopak mata yang buta.
“Ananda sekarang berdoalah kepada Sang Pemilik Alam Jagad Raya, mohon
ampunan dosa yang telah diperbuat, serta doakan dan mohon ampun kepada
sang ayahanda agar penglihatanmu dibuka kembali.”perintah Begawan Sidik
Waseso.
Sungguh ajaib, setelah proses pengobatan selesai, dibukalah kedua kelopak mata
Joko Lelono. Perlahan-lahan ia mampu melihat seberkas cahaya, semakin lama
semakin terang. “Terima kasih duh Gusti, hamba sudah mampu melihat kembali”
ucap haru Joko Lelono.
Dengan mengendarai gajah dan membawa sebuah payung, akhirnya Joko Lelono
sampai di sebuah tempat. Tempat ini berupa bukit kecil mirip sebuah gunung yang
lebih tinggi dari wilayah sekitarnya. Kepada kedua abdi dalemnya, ia
memerintahkan untuk berhenti dan beristirahat.
Setelah itu, Joko Lelono bersemadi sambil memulihkan tenaganya. Terjaga dari
semadi, Joko Lelono memanggil kedua abdi Ki Merkak dan Ki Jebres. “Paman
berdua, saya telah bersemadi dan mendapat petunjuk untuk melanjutkan
perjalanan. Saya tidak akan kembali ke
Mataram. Saya akan terus melanjutkan
perjalanan untuk menemukan calon
pedamping hidup sesuai titah ayahanda.”
Kata Joko Lelono.
“Tolong paman, itu adalah pemberian ayahanda, segera ambil kembali.” Perintah
Joko Lelono. “Baiklah. Segera kita ambil payung untuk Tuanku” jawab Ki Merkak.
Pergilah kedua abdi ini mencari dimana payung tertinggal. Sekian lama melakukan
pencarian, akhirnya sampi juga pada tempat dimana payung tertinggal. Alangkah
terkejutnya melihat payung yang dicari telah menjadi sebuah batu. “Astaga,
payung telah menjadi batu.” Teriak Ki Jebres.
Kedua abdi terkejut dan duduk disamping batu jelmaan payung milik Joko Lelono.
Untuk mengingat kejadian ini, mereka sepakat menamai tempat ini dengan nama
Watu Payung.
Sementara itu, sambil menunggu kedua abdi kembali, Joko Lelono mengamati
tempat ia berada. Tiba-tiba ia melihat seberkas cahaya terang sebesar lidi
bergerak menuju suatu tempat.
Penasaran dengan apa dilihatnya, Joko Lelono kemudian mengikuti kemana arah
cahaya itu bergerak. Hingga akhirnya cahaya itu berhenti pada sebuah tempat
yang merupakan kekuasaan Dyah Ayu Putri Serang Sang penguasa kerajaan roh
halus (Alaming Lelembut).
Setelah sampai di wilayah kerajaan ini, Joko Lelono tahu ini bukan tempat
sembarangan.
“Tuan Joko Lelono, maukah tinggal disini untuk menemani kesepianku selama ini.”
pinta sang Ratu. Setelah terdiam beberapa saat, Joko Lelono pun menjawab
“Sungguh suatu takdir, saya juga sedang mencari pedamping hidup. Dan telah
lama dan jauh perjalanan untuk menemukannya.”
“Ah Sang Ratu, demi mendampingi Sang Ratu saya sanggup memenuhi syarat
tersebut.” Jelas Joko Lelono. Mulai saat itulah, Joko Lelono tidak bisa lagi kembali
ke dunia dan terkunci kedalam kerajaan Sang Ratu Dyah Putri Serang penguasa
alaming lelembut.
Ditempat lain, Ki Merkak dan Ki Jebres telah kembali dari pencarian payung.
Mereka terkejut, karena Joko Lelono dan gajah tunggangannya sudah tidak
berada ditempat. Mereka pun mencari dengan mengikuti jejak kaki gajah. Setelah
sekian lama. Akhirnya tiba disuatu tempat yang memiliki aura mistis dan
menyeramkan. Hawa dingin seakan menusuk tulang, suara binatang yang
melolong diiringi harum aroma bunga yang membuat bulu kuduk merinding.
“Ki Merkak, mata batin saya mengatakan disinilah tuan kita Joko Lelono berada.
Akan tetapi saya belum melihat yang sebenarnya.” kata Ki Jebres kepada
temannya.
“Lihatlah, itu gajah tunggangan Tuan Joko Lelono” teriak Ki Merkak sambil menunjuk
sebuah pohon tempat terikatnya gajah.
“Tempat ini sangat angker. Kita tidak bisa meneruskan masuk ke dalam wilayah ini”
tutur Ki Jebres. “Baiklah. Saya akan menemui Joko Lelono melalui kekuatan gaib.”
Kata Ki Merkak.
Ia kemudian duduk bersila pada sebuah batu. Mengatupkan mata dan mulai
bersemadi, melakukan telepati untuk berbicara dengan Joko Lelono.
Dalam telepati ia berhasil menemui Joko Lelono. Dengan kekuatan gaib pula
mereka bisa berkomunikasi. “Tuan, apakah yang sebenarnya terjadi. Dimanakah
Tuan berada?” tanya Ki Merkak. “Maafkanlah saya paman berdua. Saya telah
terikat janji dengan penguasa kerajaan lelembut. Sudah menjadi niat saya tinggal
disini. Saya tidak mungkin kembali ke alam dunia.” Jawab Joko Lelono. “Baiklah
Tuan, kami berdua akan meneruskan perjalanan. Untuk menandai peristiwa ini,
saya beri nama tempat ini Tompak.” Ujar Ki Merkak dan Ki Jebres.
Kedua paman setia itupun berjalan ke arah utara. Setelah beberapa waktu
melakukan perjalanan hingga sampai di tempat Ki Makarang berada. Segera
mereka menemui Ki Makarang dan mohon petunjuk apa yang harus dilakukan.
Sungguh ajaib, Ki Makarang hanya tersenyum dan mengatakan bahwa sudah tahu
semua yang dialami Ki Merkak dan Ki Jebres. “Terimalah kelapa muda dan tape
ketan sebagai bekal di perjalanan ki sanak.” kata Ki Makarang kepada kedua abdi
dalem Joko Lelono.
“Kembalilah segera jemput gajah tunggangan Tuan kalian karena jika terlambat
akan membahayakan kesemalatannya.” lanjut Ki Makarang. Dengan bergegas
kedua paman pergi mencari sang Gajah.
Sementara itu, di pohon tempat gajah sudah tercabut hingga akarnya. Gajah
tunggangan Joko Lelono terlihat mengamuk dan menimbulkan suara gaduh yang
luar biasa. Pohon-pohon ditumbangkan, bebatuan beterbangan di tendang gajah
itu. Karena suara bising dan gaduh inilah membuat peliharaan Sang Ratu Dyah Ayu
Putri Serang yaitu seekor ular Naga besar terbangun.
Mata ular Naga nanar seakan menahan amarah karena terbangun oleh suara
gaduh sang Gajah.
Keduanya pun terlibat pertarungan yang luar biasa. Saling menyerang dengan
senjata masing-masing hingga tempat pertarungan berantakan.
Mereka berjalan ke arah selatan di tempat potongan perut Ular Naga berada.
Potongan perut ular ini yang ada pusarnya memancarkan sumber air jernih
kemudian hari diberi nama Umbul Ngudal. Sedangkan potongan badan gajah
jatuh diutara tempat itu dan menjadi sebuah gunung yaitu Gunung Gajah Mungkur.
Setelah merasa capek, kedua abdi dalem teringat bekal yang diberikan Ki
Makarang yaitu buah kelapa muda yang telah dipendam di suatu tempat. Mereka
pun mencari dengan menggunakan batang bambu dengan menusuk ke tanah
sambil mencari buah kelapa. Tidak disangka, tusukan batang bambu mengenai
buah kelapa dan air kelapa keluar dan menjadi sumber air yang besar. Untuk
menandai sumber air ini kemudian hari dikenal dengan Umbul Nogo karena tempat
pertarungan Ular Naga.
Semakin lama air menggenangi wilayah itu hingga mencapai rumah Ki Makarang.
Ki Merkak dan Ki Jebres bersemadi mohon petunjuk bagaimana menghentikan
aliran air. Setelah mendapat petunjuk, mereka segera menyediakan syarat agar air
bisa berhenti atau mengecil, yaitu seekor kambing kendit, ijuk atau sapu duk, dan
dandang. Setelah menyediakan syarat ini, sumber air kemudian bisa mengecil.
Untuk mengenang kejadian ini, Ki Merkak dan Ki Jebres menamakan wilayah ini
Karanglor karena dekat dengan rumah Ki Makarang.
Setelah semua kejadian ini selesai Ki Merkak dan Ki Jebres menemui Ki Makarang.
“Dan pesan saya Ki Makarang, sumber air akan menjadi sumber kehidupan bagi
anak cucu. Dan kelak jika anak cucu kita menanam padi disekitar sini hendaklah
saat panen harus menyediakan kelapa muda, tebu dan badeg (badeg = tape
ketan), kami akan membantu anak cucu untuk memperoleh kemakmuran." ujar Ki
Jebres panjang lebar.
"Baiklah, akan kuingat pesan Kyai." jawab Ki Makarang. "Ya Ki. Ingatlah terus pesan
kami maka kami akan membantu anak cucu kami di Karanglor ini secara sesingidan
(secara gaib)." ujar Ki Jebres.
Setelah berpamitan dengan Ki Makarang, mereka segera melanjutkan perjalanan.
https://bukupintarkabupatenwonogiri.blogspot.com/2017/06/seri-cerita-rakyat-
wonogiri-legenda_49.html
Monday, June 12, 2017
kang utis
SERI CERITA RAKYAT WONOGIRI: Legenda Umbul Nogo Cerita Rakyat Kecamatan
Manyaran Kabupaten Wonogiri (Bagian I & II - Habis)