Anda di halaman 1dari 19

Legenda Umbul Nogo

Berawal kisah hidup seorang sakti


bernama Begawan Sidik Wacana.
Begawan Sidik Wacana memiliki
anak laki-laki bernama Joko
Lelono. Setelah beranjak dewasa,
Begawan Sidik Wacana meminta
anaknya Joko lelono untuk
segera mencari seorang wanita
untuk dijadikan istri.

“Anakku Joko Lelono, kamu


sudah saatnya mencari seorang
pedamping hidup. Agar hidupmu
lengkap dan ada yang mengurus
segala kebutuhanmu” pinta
Begawan Sidik Wacana.
“Ayahanda, memang benar
adanya, saya ingin sekali segera
memiliki seorang pedamping”
jawab Joko Lelono.
Kemudian Begawan Sidik Wacana bertanya lagi tentang gambaran seorang
wanita yang ingin dijadikan pedamping. “Aku menginginkan seorang wanita cantik,
lemah lembut, setia dan baik hati sama seperti ibunda” Joko Lelono menjelaskan.
“Apa! Anakku apakah kamu menginginkan Ibundamu untuk menjadi istrimu?”
teriak Begawan Sidik Wacana ternyata salah paham apa yang diucapkan Joko
Lelono. “Bukan begitu ayahanda, bukan maksud saya seperti yang ayahanda
tuduhkan” bela Joko Lelono.
“Oooh anakkku, apa kamu buta ingin memperistri ibundamu?” tegas Begawan
Sidik Wacana sekali lagi. Joko Lelono terdiam dan menunduk. Matanya terpejam
erat dan meneteskan air mata, menyesal ia mengeluarkan kata yang menyakiti
hati Sang ayahanda.

Setelah hening sesaat, Joko Lelono mencoba membuka matanya. Alangkah kaget
dan bingung karena setelah membuka mata yang terlihat hanya gelap gulita.
Kemudian ia mengusap matanya sekali lagi, dan justru semakin gelap. Karena
melihat anaknya panik dengan terus mengusap mata, Begawan Sidik Wacana
segera menghampiri anaknya. “Apa yang terjadi anakku” tanya Begawan.
“Ampun ayahanda, apa yang menjadi kata ayahanda tentang mata saya yang
buta menjadi kenyataan.” Jawab Joko Lelono.
Seketika itu, perasaan Begawan Sidik Wacana sangat sedih. Akibat mengeluarkan
kata-kata yang akhirnya menjadi kutukan bagi anaknya.
“Anakku, kejadian sudah terlanjur. Kutukan ini akan kau jalani. Untuk
menyembuhkan matamu yang buta, kau harus menjalani ‘laku tirakat’. Pergilah ke
pertapaan di Dlepih Kahyangan Tirtomoyo, temuilah seorang pertapa Begawan
Sidik Wasesa. Lakukan apapun perintahnya.” kata Begawan Sidik Wacana.

“Kamu akan ditemani 2 abdi dalem Ki Merkak dan Ki Jebres yang akan membantu
kamu selama perjalanan.” terang Begawan.

Dengan mengendarai seekor gajah dan membawa sebuah payung, berangkatlah


Joko Lelono dan kedua abdi dalem pergi ke Pertapaan Dlepih Kahyangan
Tirtomoyo. Selama beberapa waktu melakukan perjalanan akhirnya sampai juga
ke tempat tujuan.

Dengan hati senang, Joko Lelono mengetuk pintu Padepokan. Setelah sekian lama
menunggu, akhirnya keluar juga sang pemilik Padepokan Begawan Sidik Waseso.
Setelah bertemu, Joko Lelono menceritakan kisah nya dan tujuannya menemui
sang Begawan.
Dengan senyum dan keramahannya, Begawan Sidik Waseso beranjak dari tempat
duduk dan menghampiri Joko Lelono. Ia menempelkan kedua tangannya di
kelopak mata Joko Lelono. Mulutnya komat-kamit membaca sebuah mantra.
Sejurus kemudian, diusapkan berkali-kali tangan ke kelopak mata yang buta.

“Ananda sekarang berdoalah kepada Sang Pemilik Alam Jagad Raya, mohon
ampunan dosa yang telah diperbuat, serta doakan dan mohon ampun kepada
sang ayahanda agar penglihatanmu dibuka kembali.”perintah Begawan Sidik
Waseso.

Sungguh ajaib, setelah proses pengobatan selesai, dibukalah kedua kelopak mata
Joko Lelono. Perlahan-lahan ia mampu melihat seberkas cahaya, semakin lama
semakin terang. “Terima kasih duh Gusti, hamba sudah mampu melihat kembali”
ucap haru Joko Lelono.

Segera ia bersimpuh dihadapan Begawan Sidik Waseso, karena atas pertolongan


darinya ia bisa melihat kembali. “Saya mengaturkan beribu terima kasih Sang
Begawan. Sungguh merupakan berkah hamba dapat lepas dari kutukan
ayahanda.” ungkap Joko Lelono.
“Sama-sama kisanak, sudah menjadi kewajiban kita harus tolong – menolong.
Sekarang apa rencana kisanak selanjutnya.” Jawab Sang Begawan.
Setelah sekian waktu, akhirnya Joko Lelono berpamitan kepada Begawan Sidik
Waseso. Ia hendak melanjutkan perjalanan. Dengan ditemani kedua abdi
dalemnya, Joko Lelono melanjutkan perjalanan.

Dengan mengendarai gajah dan membawa sebuah payung, akhirnya Joko Lelono
sampai di sebuah tempat. Tempat ini berupa bukit kecil mirip sebuah gunung yang
lebih tinggi dari wilayah sekitarnya. Kepada kedua abdi dalemnya, ia
memerintahkan untuk berhenti dan beristirahat.

Setelah itu, Joko Lelono bersemadi sambil memulihkan tenaganya. Terjaga dari
semadi, Joko Lelono memanggil kedua abdi Ki Merkak dan Ki Jebres. “Paman
berdua, saya telah bersemadi dan mendapat petunjuk untuk melanjutkan
perjalanan. Saya tidak akan kembali ke
Mataram. Saya akan terus melanjutkan
perjalanan untuk menemukan calon
pedamping hidup sesuai titah ayahanda.”
Kata Joko Lelono.

“Baiklah tuanku. Kami akan terus setia


mengikuti kemanapun tuanku pergi” jawab
kedua abdi dalemnya.
“Untuk mengingat kejadian ini, tempat kita
beristirahat saya beri nama Gunungan.” Joko
Lelono berujar dengan lantang. Setelah
berujar, ia memerintahkan kedua
pembantunya beristirahat sebelum
melanjutkan perjalanan.
Sekian waktu beristirahat, Joko Lelono berniat
melanjutkan perjalanan. Ia hendak memanggil kedua abdi dalem, akan tetapi
dilihatnya kedua orang itu masih tertidur dengan pulas.Tidak ingin menggangu
istirahat mereka, Joko Lelono melanjutkan perjalanan dengan mengendarai gajah
hingga akhirnya pada sebuah tempat.
Ki Merkak dan Ki Jebres tak lama pun terbangun dan beranjak menyusul tuannya
yang telah pergi. Dengan mengikuti jejak kaki gajah akhirnya segera menyusul Joko
Lelono.
Mereka melihat Joko Lelono tampak bingung dan akhirnya memutuskan turun dari
punggung (geger) gajah.
Dengan segera dihampiri tuannya. “Kenapa Tuanku turun dari punggung gajah?”
tanya kedua pembantu setia itu. “Paman, saya bingung hendak kemana saya
hendak melanjutkan perjalanan.” Keluh Joko Lelono.
“Sabar Tuanku. Sebaiknya kita beristirahat barang sebentar.” Saran Ki Merkak.
“Baiklah. Kita beristirahat. Untuk mengenang kejadian ini, saya namakan tempat ini
Nggeger (punggung)” ujar Joko Lelono.
Sambil beristirahat, Joko Lelono teringat payung yang selalu ia bawa. “Paman,
dimana payung yang selalu kita bawa?” tanya Joko Lelono. “Ampun Tuanku,
hamba lupa membawa. Payung itu tertinggal dalam perjalanan.” Jawab Ki Jebres.

“Tolong paman, itu adalah pemberian ayahanda, segera ambil kembali.” Perintah
Joko Lelono. “Baiklah. Segera kita ambil payung untuk Tuanku” jawab Ki Merkak.
Pergilah kedua abdi ini mencari dimana payung tertinggal. Sekian lama melakukan
pencarian, akhirnya sampi juga pada tempat dimana payung tertinggal. Alangkah
terkejutnya melihat payung yang dicari telah menjadi sebuah batu. “Astaga,
payung telah menjadi batu.” Teriak Ki Jebres.
Kedua abdi terkejut dan duduk disamping batu jelmaan payung milik Joko Lelono.
Untuk mengingat kejadian ini, mereka sepakat menamai tempat ini dengan nama
Watu Payung.
Sementara itu, sambil menunggu kedua abdi kembali, Joko Lelono mengamati
tempat ia berada. Tiba-tiba ia melihat seberkas cahaya terang sebesar lidi
bergerak menuju suatu tempat.

Penasaran dengan apa dilihatnya, Joko Lelono kemudian mengikuti kemana arah
cahaya itu bergerak. Hingga akhirnya cahaya itu berhenti pada sebuah tempat
yang merupakan kekuasaan Dyah Ayu Putri Serang Sang penguasa kerajaan roh
halus (Alaming Lelembut).

Setelah sampai di wilayah kerajaan ini, Joko Lelono tahu ini bukan tempat
sembarangan.

Dalam pandangan mata batinnya dilihatnya sebuah Gerbang yang megah.


Dijaga oleh para prajurit yang gagah berani. Begitu sampai di gerbang ini, Raden
Joko Lelono dijemput oleh sang prajurit. Seakan tahu bahwa Joko Lelono memang
sedang ditunggu. “Selamat datang Tuan. Mari hamba antarkan menuju istana,
Ratu sudah menunggu kedatangan Tuanku”
sapa sang prajurit. Untuk menandai pintu
gerbang ini, kemudian diberi nama Lawang
Gapit.

Joko Lelono kemudian dikawal menuju ke


dalam istana yang megah. Joko Lelono
sangat kagum dengan besarnya istana
dihadapannya. Hatinya pun bergumam,
siapakah pemilik istana ini.

Setelah dipersilahkan duduk di singgasana


untuk tamu kerajaan, Joko Lelono berdiam
sambil menunggu kedatangan Sang Ratu.
Akhirnya Sang Ratu pun muncul dibalik tirai sutera di pintu utama istana. Raden
Joko Lelono terkesima dengan kecantikan sang Ratu Lelembut. Begitu juga, Dyah
Ayu Putri Serang menunjukkan tingkah mengagumi sosok pemuda didepannya.
“Salam sang Ratu. Ampunkan keberanian hamba
datang ke kerajaan Sang Ratu” sapa Joko Lelono
seraya merapatkan kedua tangan didepan
dada.

“Tuan yang gagah perkasa. Memang sengaja


aku mengundang Tuan. Perkenalkan nama
hamba Ratu Dyah Putri Serang. Penguasa
kerajaan ini.” jawab Sang Ratu sambil
melemparkan senyum manis.

“Perkenalkan nama saya Joko Lelono dari


kerajaan Mataram.” tegas Joko Lelono.

Setelah perkenalan itu, pembicaraan kedua


insan ini semakin akrab, sekali-kali diselingi tawa riang keduanya.

“Tuan Joko Lelono, maukah tinggal disini untuk menemani kesepianku selama ini.”
pinta sang Ratu. Setelah terdiam beberapa saat, Joko Lelono pun menjawab
“Sungguh suatu takdir, saya juga sedang mencari pedamping hidup. Dan telah
lama dan jauh perjalanan untuk menemukannya.”

“Sanggupkah apabila bersedia memenuhi permintaanku?” Tanya Sang Ratu.


“Syarat apakah kiranya?” kata Joko Lelono. “Apabila Tuan bersedia, maka Tuanku
tidak akan bisa kembali ke alam sebelumnya.” Terang Sang Ratu.

“Ah Sang Ratu, demi mendampingi Sang Ratu saya sanggup memenuhi syarat
tersebut.” Jelas Joko Lelono. Mulai saat itulah, Joko Lelono tidak bisa lagi kembali
ke dunia dan terkunci kedalam kerajaan Sang Ratu Dyah Putri Serang penguasa
alaming lelembut.

Ditempat lain, Ki Merkak dan Ki Jebres telah kembali dari pencarian payung.
Mereka terkejut, karena Joko Lelono dan gajah tunggangannya sudah tidak
berada ditempat. Mereka pun mencari dengan mengikuti jejak kaki gajah. Setelah
sekian lama. Akhirnya tiba disuatu tempat yang memiliki aura mistis dan
menyeramkan. Hawa dingin seakan menusuk tulang, suara binatang yang
melolong diiringi harum aroma bunga yang membuat bulu kuduk merinding.
“Ki Merkak, mata batin saya mengatakan disinilah tuan kita Joko Lelono berada.
Akan tetapi saya belum melihat yang sebenarnya.” kata Ki Jebres kepada
temannya.

“Lihatlah, itu gajah tunggangan Tuan Joko Lelono” teriak Ki Merkak sambil menunjuk
sebuah pohon tempat terikatnya gajah.

“Tempat ini sangat angker. Kita tidak bisa meneruskan masuk ke dalam wilayah ini”
tutur Ki Jebres. “Baiklah. Saya akan menemui Joko Lelono melalui kekuatan gaib.”
Kata Ki Merkak.

Ia kemudian duduk bersila pada sebuah batu. Mengatupkan mata dan mulai
bersemadi, melakukan telepati untuk berbicara dengan Joko Lelono.

Dalam telepati ia berhasil menemui Joko Lelono. Dengan kekuatan gaib pula
mereka bisa berkomunikasi. “Tuan, apakah yang sebenarnya terjadi. Dimanakah
Tuan berada?” tanya Ki Merkak. “Maafkanlah saya paman berdua. Saya telah
terikat janji dengan penguasa kerajaan lelembut. Sudah menjadi niat saya tinggal
disini. Saya tidak mungkin kembali ke alam dunia.” Jawab Joko Lelono. “Baiklah
Tuan, kami berdua akan meneruskan perjalanan. Untuk menandai peristiwa ini,
saya beri nama tempat ini Tompak.” Ujar Ki Merkak dan Ki Jebres.

“Tolong paman, rawatlah gajah tungganganku. Jaga baik-baik hewan


kesayangan itu.” Pinta Joko Lelono. “Tolong paman pergilah ke arah utara,
temuilah pasangan tua sakti Ki Makarang dan sang istri. Mintalah petunjuk
kepadanya.” Perintah Joko Lelono. Kedua paman itu menyanggupi dan segera
memohon pamit melanjutkan perjalanan.

Kedua paman setia itupun berjalan ke arah utara. Setelah beberapa waktu
melakukan perjalanan hingga sampai di tempat Ki Makarang berada. Segera
mereka menemui Ki Makarang dan mohon petunjuk apa yang harus dilakukan.

Sungguh ajaib, Ki Makarang hanya tersenyum dan mengatakan bahwa sudah tahu
semua yang dialami Ki Merkak dan Ki Jebres. “Terimalah kelapa muda dan tape
ketan sebagai bekal di perjalanan ki sanak.” kata Ki Makarang kepada kedua abdi
dalem Joko Lelono.
“Kembalilah segera jemput gajah tunggangan Tuan kalian karena jika terlambat
akan membahayakan kesemalatannya.” lanjut Ki Makarang. Dengan bergegas
kedua paman pergi mencari sang Gajah.

Sementara itu, di pohon tempat gajah sudah tercabut hingga akarnya. Gajah
tunggangan Joko Lelono terlihat mengamuk dan menimbulkan suara gaduh yang
luar biasa. Pohon-pohon ditumbangkan, bebatuan beterbangan di tendang gajah
itu. Karena suara bising dan gaduh inilah membuat peliharaan Sang Ratu Dyah Ayu
Putri Serang yaitu seekor ular Naga besar terbangun.

Mata ular Naga nanar seakan menahan amarah karena terbangun oleh suara
gaduh sang Gajah.

Segera ia merayap mendekati sumber suara dan didapatinya Gajah tunggangan


Joko Lelono masih mengamuk. Tanpa banyak bertingkah, Ular Naga mendekati
Gajah dan segera bersiap menyerang. Melihat kedatangan Ular Naga, Gajah
terdiam dan menghentikan sejenak amukannya.
Gajah tahu bahwa Ular
Naga dihadapannya
sedang menyiapkan jurus
mematikan. Ular Naga
pun berdesis keras,
lidahnya menjulur dan
siap menyerang dengan
menyemburkan api.
Gajah bergeming,
dengan gading yang
besar segera menyerang
perut Ular Naga.

Keduanya pun terlibat pertarungan yang luar biasa. Saling menyerang dengan
senjata masing-masing hingga tempat pertarungan berantakan.

Ki Merkak dan Ki Jebres akhirnya sampai di tempat pertarungan. Mereka terkejut,


apa yang dikatakan Ki Makarang benar adanya. Ternyata Gajah dan seekor Ular
Naga sedang bertarung yang bisa membahayakan keselamatan. Ki Merkak dan Ki
Jebres tidak berani mendekat karena kekuatan kedua binatang begitu dahsyat.
Setelah kedua binatang bertarung dengan hebatnya, tidak ada yang menang
dan kalah. Baik Gajah dan Ular Naga tubuhnya sama-sama hancur, meledak
hingga tercerai berai. Seraya mengumpulkan potongan Gajah dan Ular, Ki Merkak
memendam buah kelapa pemberian Ki Makarang.

Mereka berjalan ke arah selatan di tempat potongan perut Ular Naga berada.
Potongan perut ular ini yang ada pusarnya memancarkan sumber air jernih
kemudian hari diberi nama Umbul Ngudal. Sedangkan potongan badan gajah
jatuh diutara tempat itu dan menjadi sebuah gunung yaitu Gunung Gajah Mungkur.

Setelah merasa capek, kedua abdi dalem teringat bekal yang diberikan Ki
Makarang yaitu buah kelapa muda yang telah dipendam di suatu tempat. Mereka
pun mencari dengan menggunakan batang bambu dengan menusuk ke tanah
sambil mencari buah kelapa. Tidak disangka, tusukan batang bambu mengenai
buah kelapa dan air kelapa keluar dan menjadi sumber air yang besar. Untuk
menandai sumber air ini kemudian hari dikenal dengan Umbul Nogo karena tempat
pertarungan Ular Naga.

Semakin lama air menggenangi wilayah itu hingga mencapai rumah Ki Makarang.
Ki Merkak dan Ki Jebres bersemadi mohon petunjuk bagaimana menghentikan
aliran air. Setelah mendapat petunjuk, mereka segera menyediakan syarat agar air
bisa berhenti atau mengecil, yaitu seekor kambing kendit, ijuk atau sapu duk, dan
dandang. Setelah menyediakan syarat ini, sumber air kemudian bisa mengecil.
Untuk mengenang kejadian ini, Ki Merkak dan Ki Jebres menamakan wilayah ini
Karanglor karena dekat dengan rumah Ki Makarang.

Setelah semua kejadian ini selesai Ki Merkak dan Ki Jebres menemui Ki Makarang.
“Dan pesan saya Ki Makarang, sumber air akan menjadi sumber kehidupan bagi
anak cucu. Dan kelak jika anak cucu kita menanam padi disekitar sini hendaklah
saat panen harus menyediakan kelapa muda, tebu dan badeg (badeg = tape
ketan), kami akan membantu anak cucu untuk memperoleh kemakmuran." ujar Ki
Jebres panjang lebar.

"Baiklah, akan kuingat pesan Kyai." jawab Ki Makarang. "Ya Ki. Ingatlah terus pesan
kami maka kami akan membantu anak cucu kami di Karanglor ini secara sesingidan
(secara gaib)." ujar Ki Jebres.
Setelah berpamitan dengan Ki Makarang, mereka segera melanjutkan perjalanan.

https://bukupintarkabupatenwonogiri.blogspot.com/2017/06/seri-cerita-rakyat-
wonogiri-legenda_49.html
Monday, June 12, 2017
kang utis
SERI CERITA RAKYAT WONOGIRI: Legenda Umbul Nogo Cerita Rakyat Kecamatan
Manyaran Kabupaten Wonogiri (Bagian I & II - Habis)

Anda mungkin juga menyukai