Keheningan Desa Empang, Kesultanan Sumbawa di Jum’at pagi 18 November
1932 itu, pecah oleh tangis seorang bayi laki-laki. Oleh ayahanda dan ibundanya Lalu Abdul Wahab dan Lala Masujirale, bayi mungil keponakan H. Abdullah Lalu Tunruang (Dea Dipati Kesultanan Sumbawa) itu, kemudian diberi nama Lalu Mala Sjarifuddin. Dalam perjalanan waktu, bayi kecil yang kemudian tumbuh menjadi seorang pemuda dewasa yang tekun, ulet dan taat beribadah serta sangat patuh kepada kedua orangtuanya ini, kelak tercatat sebagai doktor pertama di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dr. H. Lalu Mala Sjarifuddin, SH. DESS., merupakan putra kedua dari 3 (tiga) bersaudara kandung. Mala yang diapit dua saudara perempuan, sulung Lala Batari dan bungsu Lala Bidawan itu, dilahirkan setelah satu tahun Dewa Masmawa Sultan Muhammad Kaharuddin III dinobatkan sebagai Sultan Sumbawa ke-16 (1931-1975). Masa kecilnya, hingga menempuh pendidikan dasar, banyak dihabiskan di Ibukota Kesultanan Sumbawa, di Kota Samawa Rea, Sumbawa Besar. Mala menyelesaikan pendidikan dasarnya pada masa pelalihan dari era penjajahan Belanda ke pendudukan Jepang, di Hollandsch Inlandsche School (HIS) yang kemudian beralih menjadi Kokumin Gakkoo atau Volkschool (Sekolah Rakyat) selama 7 (tujuh) tahun, pada 1939-1945 di Sumbawa Besar. Walau terlahir dari turunan keluarga bangsawan Sumbawa, pada masa-masa sulit itu, Mala menjalaninya dengan penuh kesabaran dan keuletan. Sejak masa kanak-kanak, Mala sudah terbiasa hidup mandiri, prihatin dan bersahaja. Saat menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat, menurut penuturan putra sulungnya, Ratiza Sjarifuddin, oleh ayahandanya, Lalu Abdul Wahab, Mala dititipkan dan tinggal pada sahabatnya, sesama pengusaha hasil bumi, Liong Ting NTC, seorang warga keturunan Tionghoa, yang juga pemilik toko kelontong di Labuhan Sumbawa. Di tempat tinggal keluarga Liong Ting, yang bagian depannya dijadikan toko inilah, sepulang sekolah, Mala kerap ikut membantu menjadi pelayan toko atau pekerjaan-pekerjaan lainnya yang menjadi aktifitas sehari-hari keluarga tersebut. Oleh keluarga Liong Ting dan orang-orang yang mengenalnya kala itu, Mala dikenal sebagai anak yang baik, cerdas, rajin, bertanggungjawab, jujur dan amanah. Karena kepribadiannya yang baik disertai kecerdasannya yang menonjol itu pula, banyak pihak yang sayang dan bersimpati kepadanya. Sehingga setelah lulus dengan nilai terbaik dari Sekolah Rakyat di akhir 1945, Mala kecil dimotivasi untuk melanjutkan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), yang oleh pendudukan Jepang diubah menjadi Shoto Chu Gakko. Kemudian setelah kemerdekaan, sejak 13 Maret 1946, beralih menjadi Sekolah Menengah Pertama (SMP), di Makassar. Dengan menumpang perahu tradisional, pengangkut rempah dan kayu sepang yang banyak mengunjungi Sumbawa kala itu. Mala kecil, yang saat itu masih berusia sekitar 14 tahun, dilepas oleh kedua orangtua dan keluarga Liong Ting, melalui Pelabuhan Muara Kali di Labuhan Sumbawa (sekarang dikenal dengan sebutan Pelabuhan Jempol “Jembatan Polak”, Karang Padak), untuk menjemput takdirnya, melanjutkan pendidikan ke negeri rantau, di Tanah Makassar. Setelah berlayar selama lebih kurang 2 (dua) minggu dari Pelabuhan Muara Kali Sumbawa, dengan berbagai perjuangan dan romantika selama perjalanan yang serba tidak mudah, karena konon untuk bisa makan di atas perahu tersebut, Mala harus membantu jurumasak perahu, memasak dan mempersiapkan makanan bagi para kru dan penumpang lainnya, akhirnya perahu yang membawa Mala, merapat di dermaga Pelabuhan Poetere. Sebuah pelabuhan laut tradisional di Makassar, yang telah cukup berkembang sejak abad 14, dan ramai disinggahi kapal-kapal niaga berbagai negeri dan perahu tradisional dari berbagai kepulauan di nusantara. Ketika Kemerdekaan 17 Agustus 1945 diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta di Jakarta, Mala yang merupakan sepupu satu Laksamana Madya TNI. H. L. Manambai Abdulkadir (Mantan Deputy Kepala Staf TNI Angkatan Laut) ini, baru saja terdaftar sebagai siswa Klas 1 SMP di Makassar. Selama lebih dari 3 (tiga) tahun, pada rentang waktu 1945 hingga 1949, saat menempuh pendidikan di Kota Anging Mammiri’ ini, Mala menjalaninya dengan penuh perjuangan dan kegigihan. Dalam situasi yang serba minim dan sulit, disertai kondisi perpolitikan yang masih bergolak, pasca proklamasi kemerdekaan, Mala bertekad untuk dapat menyelesaikan pendidikannya tepat waktu. Berbagai ikhtiar dilakukan oleh seorang Mala yang masih sangat belia ini, untuk dapat tetap bertahan dalam situasi yang serba tidak menentu kala itu. Menurut salah seorang kerabat yang penulis temui, untuk dapat bertahan hidup dan memenuhi kebutuhannya sehari-hari, disela-sela waktu luangnya, sepulang sekolah, Mala membantu guru-guru di sekolah yang membutuhkan tenaganya. Memasak, mencuci, menyetrika, membersihkan rumah, hingga menyapu halaman dan berkebun. Bahkan tidak jarang pula, Mala ikut bantu-bantu para pedagang pasar atau menjadi kuli angkut di Pelabuhan Poetere. Mala yang beranjak remaja dan memiliki prestasi cemerlang di sekolah itu, tidak pernah merasa risih dan malu untuk kerja serabutan atau mengerjakan apa saja, demi kelangsungan hidup dan keberlanjutan pendidikannya di tanah rantau. Prinsip kemandirian dan tidak mau merepotkan pihak lain, sepanjang pekerjaan tersebut halal, benar-benar ia pegang teguh sejak usia belia. Nasehat kedua orangtuanya yang mewasiatkan, barangsiapa membantu orang lain dengan tulus, maka Allah akan membantunya dengan cara yang tak disangka-sangka, dan barangsiapa menolong orang lain dengan penuh keikhlasan, maka Allah pun akan menolongnya dengan sebaik-baik pertolongan. Nasehat mulia ini dicamkan secara sungguh-sungguh oleh Mala. Dilakoni dengan penuh ketulusan dan keikhlasan sejak belia, yang kemudian membentuk karakter dan kepribadian seorang Mala hingga dewasa. Setelah melalui berbagai perjuangan yang cukup berat, akhirnya Mala berhasil menyelesaikan pendidikan SMP-nya pada 1949 dengan prestasi yang sangat memuaskan guru-gurunya. Pahit getir kehidupan seorang diri, tanpa keluarga dan kerabat di negeri rantau berhasil dilalui dan berbuah manis. Selain mendapat ijazah kelulusan dengan nilai yang sangat memuaskan, Mala juga mendapat piagam rekomendasi untuk melanjutkan pendidikannya ke Hoegere Burgerschool Soerabaja (HBS), yang pada masa pendudukan Jepang berganti nama menjadi Koto Chu Gakko atau Sekolah Menengah Tinggi (SMT), dan setelah kemerdekaan, sejak 13 Maret 1946, beralih menjadi Sekolah Menengah Oemoem Atas (SMOA) di Surabaya. Pada masa Kolonial Belanda, setiap jenjang pendidikan dibagi menjadi 2 (dua) lembaga pendidikan. Khusus terhadap pendidikan setingkat SMA, terdapat sekolah Hoegere Burger School (HBS), dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda, yang dikhususkan bagi putra-putri orang Belanda, Eropa, Elite Pribumi dan orang- orang pilihan. Sementara sekolah Algemeene Middelbare School (AMS), dikhususkan bagi kalangan pribumi, dengan bahasa pengantar Bahasa Melayu. Seluruh jenjang pendidikan sekolah di Hindia Belanda (Indonesia) kala itu, mempergunakan kurikulum, mata pelajaran serta sistem pengajaran dan pembelajaran dengan standar Negeri Belanda. Sehingga siswa yang lulus dari sekolah di Hindia Belanja juga dapat diterima untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya di Negeri Belanda. Tak terasa waktu berlalu. Mala akan segera meninggalkan tempat pendidikannya selama 3 (tiga) tahun di Gedung MULO Makassar. Sebuah bangunan peninggalan Kolonial Belanda berarsitektur Eropa Klasik yang didirikan sejak 1920- 1927. Gedung MULO, yang pada zaman Kolonial Belanda terletak di Jalan Hospitalweg, jalan menuju ke arah Rumah Sakit Jiwa Krankzinning Gestricht, yang sekarang menjadi RSJ Lanto Daeng Pasewang, yang kini telah diubah menjadi Jalan Jenderal Sudirman No. 23 Makassar itu, kini telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya dengan Register Nomor 327. Gedung tua itu, menyimpan begitu banyak kenangan bagi seorang Mala. Di bangunan yang berseberangan dengan Gouverneur Woning atau Rumah Jabatan Gubernur Jenderal Hinda Belanda, yang kini difungsikan sebagai Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan itulah, Mala belia mengenyam pengalaman pertamanya menempuh pendidikan di tanah rantau. Beberapa nama tokoh nasional asal Sulawesi Selatan yang pernah menempuh pendidikan di tempat yang sama dengan Mala, di MULO Makassar, diantaranya Jenderal TNI. H. M. Jusuf (Mantan Menteri Pertahanan dan Panglima ABRI), Mayjen. TNI. H. Andi Mattalatta (Mantan Pangdam Sulawesi Selatan pertama dan ayah kandung aktris penyanyi Andi Meriem Mattalatta), H. Manai Sophiaan (Jurnalis, Politisi dan Mantan Diplomat, ayah kandung artis dan politisi Sophan Sophiaan), serta beberapa tokoh nasional lainnya. Setelah menerima ijazah kelulusan dan piagam rekomendasinya dari SMP di Makassar, Mala kembali ke kampung halamannya di Sumbawa. Menemui ayahanda dan ibunda tercintanya serta keluarga Liong Ting, tempat Mala pernah dititipkan saat masih di Sekolah Rakyat di Labuhan Sumbawa. Dengan penuh rasa bangga, Mala menunjukkan ijazah dan piagamnya kepada kedua orangtuanya. Berkat kegigihan perjuangan dan doa restu kedua orangtuanya, Mala kini telah memiliki ijazah SMP dan berhak melanjutkan ke pendidikan tingkat selanjutnya. Pada masa-masa awal kemerdekaan, selain karena masih terbatasnya lembaga pendidikan setingkat SMA, yang hanya terdapat di beberapa kota, seperti Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, Medan dan Makassar, juga sistem pendidikan kita masih sangat dipengaruhi oleh warisan Kolonial Belanda. Sehingga tidak semua lulusan Hollandsch Inlandsche School (HIS) atau Volkschool (Sekolah Rakyat), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP), maupun Hoegere Burger School (HBS) dan Algemeene Middelbare School (AMS), atau Sekolah Menengah Atas (SMA) otomatis dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Mereka yang berhak dan memiliki kesempatan untuk dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan tingkat selanjutnya, hanya diberikan kepada orang-orang tertentu dan terpilih. Yang proses seleksinya ditentukan bersamaan dengan penentuan kelulusan murid yang bersangkutan, di masing-masing tingkatan pendidikan. Dan, seorang Mala Sjarifuddin mendapatkan kesempatan langka itu, berupa piagam rekomendasi untuk melanjutkan pendidikan ke SMA di Surabaya. Berbekal semangat yang tinggi disertai keteguhan hati yang kuat bulat, Mala berangkat ke Kota Surabaya. Dengan menumpang kapal barang, pengangakut hasil bumi dan ternak, Mala dilepas oleh ayah-bundanya beserta keluarga sahabat ayahnya, Liong Ting, melalui Pelabuhan Muara Kali, Labuhan Sumbawa. Setelah berlayar selama lebih kurang 1 (satu) minggu, kapal barang yang ditumpangi Mala, akhirnya merapat ke Pelabuhan Kalimas Surabaya. Setibanya di Kota Pahlawan ini, dengan berjalan kaki, Mala langsung mencari alamat sekolah yang hendak ia masuki. Setelah berupaya dan bertanya dibeberapa tempat, akhirnya Mala dapat menemukan alamat sekolah tersebut. Pada saat pendaftaran, Mala menyodorkan ijazah dan rekomendasi yang diperolehnya dari SMP di Makassar. Tanpa perlu proses yang terlalu lama, akhirnya Mala terdaftar sebagai siswa SMA di Surabaya. SMA yang berlokasi di Jalan Bubutan dan kemudian pindah ke Jalan Wijaya Kusuma 48 Surabaya (lokasi dan bangunan tersebut, sekarang dikenal dengan sebutan SMA Komplek, dibangun pada 1923) ini, merupakan kelanjutan dari sekolah peninggalan Kolonial Belanda Hoegere Burger School (HBS) Soerabaja , yang telah didirikan di Surabaya sejak 1 November 1875, yang pada masa pendudukan Jepang berganti nama menjadi Koto Chu Gakko atau Sekolah Menengah Tinggi (SMT). Sepeninggal Belanda dan Jepang, setelah proklamasi kemerdekaan, HBS, AMS dan SMT, per 13 Maret 1946, oleh Pemerintah Republik Indonesia dialihkan menjadi Sekolah Menengah Oemoem Atas (SMOA). Sejalan dengan perubahan tersebut di atas, untuk menampung para Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) yang putus sekolah karena turut berjuang merintis, merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, para tokoh pendidikan Surabaya, yang tergabung dalam Yayasan Dr. Soetomo, yang diketuai oleh Ds. Iskandar, pada 1 April 1949, mendirikan Sekolah Menengah Atas (SMA) Dr. Soetomo, dan menjadi cikal-bakal SMA Negeri 1, di kota perjuangan heroik Tentara Pelajar itu. Mala terdaftar dan menempuh pendidikan di Jurusan Sosial Budaya atau dikenal dengan sebutan Bagian C, SMA Surabaya, antara 1949 hingga 1952. Sebagaimana halnya saat menempuh pendidikan SMP di Makassar, di Surabaya pun, perjuangan Mala tak kalah berat dan gigihnya. Segala aral rintangan, kesulitan dan kegetiran sebagai anak rantau dijalani dan dilaluinya seorang diri dengan sabar dan tabah. Dengan perjuangan yang keras, Mala bertekad untuk dapat menyelesaikan pendidikannya dengan hasil yang maksimal. Di sela-sela waktu pendidikan dan belajarnya, Mala berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bekerja apa saja, yang penting halal. Tidak jarang, Mala menukar tenaganya dengan membantu para pedagang, mengangkut barang dagangan yang banyak berjualan di sekitar Jalan Bubutan dan Jalan Embong Malang, tak jauh dari sekolahnya, dengan upah sepiring nasi atau sedikit uang untuk membeli kebutuhannya sehari-hari. Bahkan, bila Mala membutuhkan uang lebih, ia tak segan-segan untuk datang ke Pelabuhan Kalimas, di Jalan Heeresenstraat, yang sekarang menjadi Jalan Kembang Jepun dan Roode Brug atau Jembatan Merah, menjadi kuli angkut bagi barang bongkar-muat di pelabuhan tradisional yang sangat ramai disinggahi kapal barang dan perahu dagang dari berbagai penjuru dunia sejak abad 12 tersebut. Setelah menempuh pendidikan selama 3 (tiga) tahun di kota terbesar kedua setelah Batavia tersebut, Mala kembali mencatat pretasi yang membanggakan. Mala lulus dengan nilai terbaik dan mendapat piagam rekomendasi untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Mala yang terdaftar masuk ke SMA Surabaya pada 1949 dan lulus pada 1952 ini, merupakan lulusan angkatan pertama sejak SMA Surabaya resmi didirikan pada 1 April 1949. Ijazah dan piagam rekomendasinya diserahkan langsung oleh Kepala SMA Surabaya kala itu, Raden Suhardi Notodipuro, dalam sebuah acara tasyakkuran milad ke-3 SMA Surabaya. Raden Suhardi Notodipuro, yang menjabat sejak 1950 hingga 1965 tersebut, tercatat sebagai Kepala Sekolah pertama SMA Surabaya, sejak beralih dari sistem pendidikan Belanda, Hoegere Burger School (HBS) dan Algemeene Middelbare School (AMS). Beberapa alumni HBS Surabaya, diantaranya Ir. Soekarno (Proklamator dan Presiden RI Pertama), Prof. Dr. H. Roeslan Abdulgani (Diplomat dan mantan Menteri Penerangan dan Menteri Luar Negeri RI), Prof. Dr. Soedjatmoko (Diplomat dan akademisi, mantan Duta Besar RI untuk Amerika Serikat dan PBB, serta mantan Rektor Universitas PBB di Tokyo), Prof. Dr. Widjojo Nitisastro (Mantan Menteri Koordinator Ekuin dan Kepala Bappenas RI). Tanpa membuang-buang waktu terlalu lama, setelah seluruh dokumen administrasi kelulusannya diterima, Mala berupaya keras untuk bisa segera berangkat ke Jakarta. Mala ingin masuk Fakultas Hukum dan Pengetahuan Kemasyarakatan, yang baru saja dibentuk dari penggabungan Faculteit der Rechtsgeleerdheid en Sociale Wetenschappen (penggabungan dari Rechthogeschool, yang didirikan pada 1909 dan Faculteit der Rechtsgeleerdheid, yang didirikan Kolonial Belanda sejak 24 Oktober 1924), dengan Fakulteit Hukum Balai Perguruan Tinggi Repoeblik Indonesia (FH- BPTRI) yang dibentuk pada 19 Agustus 1945, menjadi Fakulteit Hukum dan Pengetahuan Kemasyarakatan (FH & PK), Universitas Indonesia. Yang pada saat bersamaan, juga dilakukan penggabungan antara Universiteit van Indonesie, perguruan tinggi warisan Kolonial Belanda, yang telah berdiri sejak 1909, dengan Balai Perguruan Tinggi Repoeblik Indonesia, bentukan Pemerintah Republik Indonesia, menjadi Universitas Indonesia, pada 2 Februari 1950 itu. Dengan menumpang kereta api dan membayar seadanya, Mala ditempatkan di gerbong barang. Berangkat dari Stasiun Pasar Turi Surabaya, menuju Stasiun Gambir Jakarta. Prinsip Mala kala itu, yang penting bisa sampai ke Jakarta. Tekadnya hanya satu, mendaftar dan menjadi mahasiswa di fakultas yang dipimpin oleh Dekan, Prof. Mr. Djokosoetono dengan Panitera Fakultas, Prof. Dr. Mr. Hazairin itu. Mala bercita-cita menjadi seorang Meester in de Rechten atau Sarjana Hukum. Sesampainya di Stasiun Gambir Jakarta, Mala turun dari gerbong barang yang pengap itu sambil mendekap ijazah dan piagam rekomendasinya. Mala yang baru pertama kali menjejakkan kaki di Kota Jakarta itu, bertanya ke petugas stasiun, dimana alamat Sekretariat Fakultas Hukum dan Pengetahuan Kemasyarakatan, Universitas Indonesia. Oleh petugas stasiun tersebut, Mala ditunjukkan arah dengan membuat coretan-coretan di atas kertas, sambil menjelaskan, setelah keluar dari stasiun ini, langsung belok kanan menuju Lapangan Taman Kwitang (sekarang Tugu Tani) di Jalan Kwitang Raya, terus lurus ke arah Pasar Senen. Sesampai di perempatan Senen, kemudian belok kanan mengikuti Jalan Kramat Raya, terus lurus ke Jalan Salemba Raya. Sebelum sampai ke Jalan Matraman Raya, di sudut pertigaan Jalan Diponegoro dan Jalan Salemba Raya nanti, di sebelah kanan, ada bangunan besar dengan halaman luas, itulah Kampus Universitas Indonesia. Jelas petugas stasiun tersebut, sambil menyerahkan kertas yang telah dicoret-coretnya kepada Mala. Berbekal petunjuk arah seadanya itu, Mala melangkahkan kaki, meninggalkan Stasiun Gambir, mengikuti penjelasan petugas stasiun tersebut. Hingga tak terasa Mala telah berdiri di depan Kampus Universitas Indonesia, di Salemba. Tanpa rasa ragu sedikit pun, dengan mantap Mala melangkahkan kakinya memasuki halaman Kampus Jaket Kuning itu. Mala segera mencari sekretariat tempat pendaftaran. Setelah mengucapkan salam, Mala memasuki ruangan sekretariat dan menyampaikan maksudnya kepada petugas yang berada dalam ruangan tersebut. Mala menyodorkan ijazah kelulusan beserta piagam yang diperolehnya dari SMA Surabaya. Tanpa banyak bertanya, petugas tersebut mencatat pendaftaran tersebut, dan resmilah Mala terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum dan Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Indonesia. Di fakultas yang masih belum sepenuhnya lepas dari sistem pendidikan tinggi Negeri Belanda tersebut, waktu perkuliahan kala itu, minimal ditempuh selama 5 (lima) tahun, yang dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama, dapat diselesaikan dalam 2 (dua) tahun, dengan menempuh ujian kandidat (Candidaatse Examen), dengan gelar Sarjana Muda Hukum (SmHk). Setelah lulus tahap pertama, dapat dilanjutkan ke tahap kedua selama 3 (tiga) tahun, dengan menempuh ujian doctoral (Doctoraal Examen) dengan gelar Sarjana Hukum (SH), yang pada era Kolonial Belanda bergelar Meester in de Rechten yang disingkat MR. Mala yang masih sangat belia, Mala yang hidup seorang diri di negeri rantau, Mala yang hari-harinya harus cermat membagi waktu antara belajar dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Mampu menyelesaikan masa pendidikannya di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Indonesia tepat waktu. Mala berhasil memenuhi impian dan cita-citanya untuk menjadi seorang Sarjana Hukum atau Meester in de Rechten pada 1957. Sejak saat itulah Mala Sjarifuddin terbiasa dan populer dipanggil dengan sebutan Mister (Meester) Mala. Beberapa teman seangkatan dan kakak tingkat Mala Sjarifuddin di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Kemasyarakatan, Universitas Indonesia, diantaranya Prof. Dr. H. Mochtar Kusumaatmaja, SH. LLM. dan Dr. H. Ali Alatas, SH. (Keduanya adalah diplomat dan mantan Menteri Luar Negeri RI), Dr. H. Adnan Buyung Nasution, SH. (Advokat), Dr. H. Djaelani Naro, SH. (Politisi), Prof. Dr. Bismar Siregar, SH. (Mantan Hakim Agung), serta banyak lagi figur dan tokoh nasional lainnya. Setelah menyelesaikan masa perkuliahannya dan berhak menyandang gelar Sarjana Hukum, Mala Sjarifuddin mendapat panggilan untuk mengabdikan ilmunya di Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia di Jakarta, di era Menteri Dalam Negeri, Ipik Gandamana (1959-1964). Untuk beberapa tahun lamanya, Mala Sjarifuddin tinggal di Jakarta. Saat itulah Mala bertemu dengan kekasih hatinya Ojoh Husnul Cosidah. Dara manis asal Ciamis tersebut dinikahi Mala pada 1960-an. Dari buah cinta mereka melahirkan 4 (empat) permata hati, pertama Ratiza Sjarifuddin (Lahir di, pada 196 ), kedua Yusda Sjarifuddin, ketiga Arthur Yap Sjarifuddin, dan bungsu Elya Wibawa Sjarifuddin. Anak-anak Mala, seluruhnya tidak menggunakan gelar kebangsawanan Sumbawa (Lalu dan Lala) sebagaimana ayahnya dan juga kakek dan neneknya, Lalu Abdul Wahab dan Lala Masujirale. Menurut putra sulungnya, Ratiza Sjarifuddin, hal tersebut sesuai dengan pesan ayahnya kepada anak-anaknya, agar gelar kebangsawanan tersebut cukup sampai dibeliau saja. Tidak usah diteruskan, apalagi diwariskan turun-temurun. Setelah beberapa tahun bertugas di Jakarta, pertengahan 1960-an, saat Mayjen. TNI. (Purn). Basuki Rachmat menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri RI, Kabinet Ampera (1966-1969), lahir kebijakan yang memperbolehkan pegawai Pemerintah Pusat untuk diperbantukan di daerah Tingkat I (Provinsi) maupun Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota). Kebijakan tersebut dimanfaatkan oleh Mala untuk membuat surat permohonan untuk pulang mengabdikan diri di tanah kelahirannya Nusa Tenggara Barat. Dua kali surat permohonan Mala ditolak oleh Menteri Dalam Negeri, dengan alasan tenaga dan fikirannya masih sangat dibutuhkan oleh Pemerintah Pusat. Bahkan bila ingin ke Pemerintah Provinsi, Menteri Dalam Negeri menyarankan untuk memilih ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saja. Agar bila sewaktu-waktu tenaga dan fikirannya dibutuhkan, tidak terlalu jauh untuk dihubungi. Namun didorong oleh rasa rindu dan kecintaan serta keinginan kuatnya untuk mengabdikan ilmu pengetahuan dan tenaganya pada daerah kelahirannya, Mala bersikeras memilih untuk tetap kembali ke Nusa Tenggara Barat. Atas dasar surat permohonan ketiga yang diantar langsung oleh Mala ke Menteri Dalam Negeri itulah, akhirnya Mala mendapat persetujuan untuk diperbantukan di Pemerintah Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat. Selama di Nusa Tenggara Barat, beberapa jabatan pernah dijabat oleh Mala Sjarifuddin. Diantaranya Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat, Direktur Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Mataram, Kepala Inspektorat Pemerintah Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat, serta beberapa jabatan strategis lainnya. Sebagai ilmuan dan akademisi, Mala juga menyumbangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dengan mengajar di beberapa perguruan tinggi. Diantaranya sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Mataram, APDN Mataram dan IKIP Mataram, serta berbagai perguruan tinggi lainnya. Mala dikenal sebagai figur birokrat sekaligus pendidik yang memiliki karakter kepemimpinan yang jujur, lurus, sederhana, apa adanya dan menjauhi sifat aji mumpung. Mala selalu menempatkan tiap urusan pada proporsinya masing- masing, dan tidak mencampur-adukkan antara urusan bidang pekerjaan yang satu dengan urusan pekerjaan lainnya. Sebagai ilustrasi, dari penuturan anak-anaknya dikisahkan, sewaktu Mala menjabat sebagai Direktur APDN Mataram atau pejabat di lingkup Pemerintah Provinsi NTB, beliau mendapat fasilitas mobil dinas berupa kendaraan roda empat Toyota Hardtop, yang hanya beliau pergunakan, semata-mata bagi kepentingan yang terkait langsung dengan urusan di pemerintahan atau di APDN. Sehingga bila ada jadwal mengajar di IKIP atau ke tempat lain, beliau memilih naik sepeda atau berjalan kaki. Apalagi untuk urusan yang bersifat pribadi dan keluarga, Mala benar-benar menekankan kepada isteri dan anak-anaknya, agar jangan sekali-kali menggunakan fasilitas dinas dan jabatan. Untuk menghadiri undangan-undangan keluarga, sahabat dan kerabatnya, atau urusan pribadi lainnya, Mala kerap terlihat berjalan kaki atau menggunakan sepeda bersama isteri dan anak-anaknya. Berkat didikan tersebut, kami jadi terbiasa dan telah menjadi pola kehidupan kami sekeluarga hingga saat ini. Jelas anak sulungnya Ratiza Sjarifuddin. Di dunia pendidikan di NTB, khususnya pendidikan tinggi, komitmen dan sumbangsih Mala Sjarifuddin dalam memajukan sumberdaya manusia NTB, diwujudnyatakan dalam bentuk yang sangat konkrit. Dimana Mala terlibat langsung dalam perjuangan mendirikan lembaga perguruan tinggi hingga menjadi tenaga pengajar di perguruan tinggi tersebut. Mala Sjarifuddin tercatat sebagai salah satu penggagas dan pendiri lahirnya Fakultas Hukum Universitas Mataram. Bersama tokoh-tokoh Nusa Tenggara Barat, seperti Lalu Anggrat, BA. I Gusti Bagus Ngurah, BA. H. A. Malada, Drs. Lalu Srigede, Lalu Lukman, Lalu Muslihin, Lalu Thohir Burdasari, Drs. Lalu Syukri, dan Drs. Lalu Azhar. Mereka memperjuangkan agar di Provinsi Nusa Tenggara Barat juga terdapat Fakultas Hukum Negeri sebagaimana di daerah-daerah lainnya. Perjuangan panjang sejak awal tahun 1960-an tersebut, baru dapat terealisasi dengan diresmikannya Sekolah Tinggi Hukum dan Pengetahuan Masyarakat menjadi Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Negeri Mataram, (sekarang menjadi Fakultas Hukum Universitas Mataram), melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nomor I Tahun 1967, pada 25 Januari 1967. Selain itu, Mala Sjarifuddin juga tercatat sebagai salah satu inisiator dan memperjuangkan berdirinya Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) di Mataram. Bersama Drs. H. Indun, juga menggagas dan memperjuangkan lahirnya Institut Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Mataram, dan dengan H. Abdurrahim, SH. menginisiasi berdirinya Universitas Islam Al-Azhar (Unizar) Mataram, serta beberapa perguruan tinggi lainnya di Nusa Tenggara Barat. Kecintaan Mala Sjarifuddin pada pengembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan sumberdaya manusia, adalah api semangat yang terus berkobar nan tak kunjung padam. Sehingga ketika Pemerintah Pusat membuka peluang beasiswa ke Prancis bagi aparatur Pegawai Negeri Sipil, atas rekomendasi Gubernur NTB, yang kala itu dijabat oleh H. R Wasita Kusumah (1968-1978), Mala Sjarifuddin terdaftar sebagai salah satu pesertanya. Beasiswa atas kerjasama Pemerintah Indonesia-Prancis, yang seleksinya dilaksanakan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) bersama Kedutaan Besar Prancis di Jakarta tersebut, kemudian mengumumkan bahwa Mala Sjarifuddin terpilih sebagai salah satu peserta yang mendapatkan kesempatan beasiswa untuk mengikuti tugas belajar di L’Institut International D’Administration Publique (IIAP) Paris, Prancis. Lembaga yang didirikan oleh Presiden Prancis (1958-1969), Charles de Gaulle pada 1966 ini, semula dihajatkan untuk menggodok calon-calon pejabat tinggi Prancis itu, kemudian dibuka untuk menerima kerjasama pendidikan dengan seluruh negara di dunia. Salah satu syarat utama untuk dapat mengikuti program ini, adalah memiliki kemampuan dan kecakapan berbahasa Prancis. Mala Sjarifuddin tidak saja fasih berbahasa Prancis, namun juga menguasai logat dan mendalami dialek-dialek lokal masing-masing wilayah di Prancis. Sehingga bila Mala mengetahui bahwa lawan bicaranya adalah orang dari Marseille, Cannes atau Taulouse, maka Mala pun akan berkomunikasi menggunakan bahasa Prancis dengan dialek khas dari masing- masing kota tersebut. Mala yang dikenal gemar belajar bahasa ini, selain Prancis, Mala juga fasih dalam 6 (enam) bahasa asing lainnya, yaitu Inggris, Jerman, Belanda, Rusia, Arab dan Cina. Hal inilah yang membuat Mala dikenal memiliki kolega dan jaringan persahabatan yang sangat luas dari berbagai negara, serta memudahkan Mala selama mengikuti pendidikan di Prancis. Mala Sjarifuddin tiba di Paris, Prancis, sebagai mahasiswa beasiswa ikatan dinas, kerjasama Pemerintah Indonesia-Prancis pada 1975, beberapa bulan menjelang berakhirnya masa jabatan Letjen. TNI. (Purn). Achmad Tahir, sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Pemerintah Republik Indonesia untuk Prancis, yang telah dijabat sejak 1973-1976, yang kemudian digantikan oleh mantan Gubernur Jawa Timur (1967-1976), H. Raden Panji Mohammad Noer, yang menjabat Duta Besar pada 1976-1980. Hampir seluruh sahabat Mala, sesama alumni IIAP Paris kala itu, kemudian menjadi pejabat publik dengan posisi strategis diberbagai negara. Salah satu alumni L’Institut International D’Administration Publique (IIAP) Paris, Prancis, di Indonesia saat ini adalah Dr. Sapta Nirwandar (Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI dan Chairman Indonesia Halal Lifestyle). Mala Sjarifuddin tercatat sebagai salah satu alumni IIAP Paris, yang ditempuh selama 18 bulan, pada 1975-1976. Bagi lulusan terbaik institut ini, oleh Pemerintah Prancis disediakan beasiswa penuh, Boursier du Gouvernement Francais, untuk mengikuti program S2 hingga S3 di perguruan tinggi yang diminati di Prancis. Namun Mala Sjarifuddin tidak menunggu selesai dari program IIAP. Mala mengusulkan ke Pemerintah Prancis untuk dapat diizinkan mengambil studi paralel, selain mengikuti program IIAP, pada waktu yang hampir bersamaan (1975-1976), Mala juga mengikuti program S2 di Fakultas Hukum Ekonomi dan Ilmu Sosial atau De Droit D’Economie et de Sciences Sociales (DESS), Universite Paris II, yang juga dikenal dengan sebutan Universitas Sorbonne Pantheon-Assas, Paris II, Prancis. Usulan Mala tersebut diterima oleh Pemerintah Prancis, dengan syarat waktu tempuh studi tidak boleh lebih dari 2 (dua) tahun. Apabila lebih, maka haknya untuk mendapatkan beasiswa akan dibatalkan. Di program S2 ini, Mala dapat menyelesaikannya dengan waktu studi yang lebih cepat. Dalam tempo kurang dari 2 (dua) tahun, Mala berhasil merampungkan S2 nya dengan predikat kelulusan Summa Cum Laude. Berdasarkan prestasi cemerlang di program S2 inilah, ditambah dengan penguasaan bahasa Prancis yang sangat fasih, dengan mudah Mala mendapatkan rekomendasi beasiswa untuk dapat terus melanjutkan ke Program S3 di fakultas dan perguruan tinggi yang sama. Yaitu di Fakultas Hukum Ekonomi dan Ilmu Sosial, Universitas Paris II, Prancis. Selama menempuh studi doktoral ini, dengan melihat bakat mengajar Mala, dan penguasaan materi yang sangat baik, disertai dukungan penguasaan bahasa yang dinilai menyamai orang Prancis, beberapa guru besarnya tertarik untuk menjadikan Mala sebagai Asisten Dosen. Salah satunya adalah Prof. Michel Durupty. Mala pun akhirnya bersedia, dan selama 3 (tiga) tahun tersebut, selain mengejar agar program doktornya cepat selesai, Mala pun harus cermat berbagi waktu sebagai asisten dosen Prof. Michel Durupty, yang mengajarkan mata kuliah Kebijakan Publik di program S2 di almamaternya, yang mahasiswanya berasal dari berbagai negara. Mala bahkan sempat ditawari untuk menjadi dosen tetap di Universitas Paris II dan tinggal di Prancis dengan penghasilan yang lumayan besar, disertai berbagai tambahan fasilitas yang cukup menarik. Namun Mala menolaknya dengan sangat halus, bahwa kehadirannya di Prancis atas beasiswa negara, dan harus pulang untuk membayar “hutang” beasiswa tersebut dengan mempersembahkan kembali ilmu yang diperolehnya kepada negaranya. Tak terasa, waktu 3 (tiga) tahun pun berlalu dengan cepat. Mala akhirnya sampai pada penyelesaian tugas akhir, menyusun disertasi. Mala memilih melakukan penelitian selama 3 (tiga) bulan di Provinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat dan di 2 (dua) kabupaten sample. Yaitu Kabupaten Daerah Tingkat II Sumbawa dan Kabupaten Daerah Tingkat II Lombok Barat. Disertasinya yang berjudul L’Administration Locale En Indonesie, atau Pemerintah Daerah di Indonesia, berhasil dipertahankan dihadapan para Penguji dan Dewan Juri, yang terdiri dari para Guru Besar senior Universitas Paris II, yang terdiri dari Prof. Roland Drago (Le President), Prof. Michel Durupty (Les Suffragants) dan Prof. Georges L. Lescuyer (Less Suffragants), dengan nilai kelulusan A Plus. Disertasi yang merupakan hasil penelitiannya dalam pelaksanaan pemerintahan, pelayanan publik dan kebijakan pemanfaatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Provinsi Nusa Tenggara Barat tersebut, mengantarkan Mala Sjarifuddin sebagai doktor pertama di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Setelah merampungkan pendidikannya, dengan tabungan yang beliau sisihkan dari beasiswanya setiap bulan selama 5 (lima) tahun, sejak 1975 hingga 1979, yang telah diniatkan sejak awal, sebelum pulang ke Tanah Air, Mala Sjarifuddin berangkat menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah, dari Paris, Prancis, pada musim haji Oktober-November 1979. Sepulang dari menunaikan ibadah haji, pada akhir 1979, Mala pulang ke Tanah Air untuk melanjutkan pengabdiannya di tanah kelahirannya, Nusa Tenggara Barat. Jabatan terakhir yang diamanahkan kepada Dr. H. Lalu Mala Sjarifuddin, SH. DESS., adalah sebagai Kepala Inspektorat Pemerintah Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat, terhitung sejak 1978 hingga 1982. Semasa hidupnya, Mala Sjarifuddin selain aktifitasnya di pemerintahan, bersama rekan-rekannya, beliau juga konsen membangun dunia pendidikan, agar dapat diakses dengan mudah dan murah oleh generasi muda NTB. Dengan terlibat langsung menggagas dan mendirikan beberapa lembaga perguruan tinggi. Kepada anak-anak dan para mahasiswanya, beliau sering berpesan. Tidak ada harta yang paling baik selain ilmu, dan tidak akan ada ilmu yang baik tanpa pendidikan yang baik. Mala Sjarifuddin yang kala itu melihat begitu banyak pelajar dan mahasiswa yang kesulitan mendapatkan tempat tinggal, selain karena saat itu memang masih jarang dan belum dilirik sebagai lahan usaha, juga karena kala itu pelajar dan mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di luar daerahnya, biasanya tinggal menumpang atau dititipkan pada keluarga atau kerabat orantuanya yang ada di kota tersebut. Berdasarkan pengamatan dan juga pengalamannya selama menempuh pendidikan di beberapa kota sewaktu di Makassar, Surabaya dan Jakarta itulah, terlebih di rumahnya sendiri begitu banyak pelajar dan mahasiswa yang numpang tinggal, baik yang dititipkan langsung oleh orangtuanya, maupun yang datang sendiri karena mengikuti temannya yang memang tinggal di rumah tersebut. Mala kemudian menginsiasi untuk membangun Asrama Pelajar dan Mahasiswa Sumbawa, dengan mewakafkan sisa tanah di belakang rumahnya di Jalan Prasarana No. 10, Mataram. Dikisahkan oleh anak-anaknya, bahwa di rumah ayah mereka kala itu, begitu banyak pelajar dan mahasiswa. Baik yang memang tinggal di rumah itu, maupun yang hanya sekedar datang menginap untuk beberapa hari. Ibu saya dulu kalau masak nasi paling sedikit 50 (lima puluh) kilogram setiap hari, bahkan terkadang masih kurang. Berdasarkan kondisi tersebut, Mala Sjarifuddin kemudian mengajak anak- anaknya untuk mengumpulkan dan mengangkut batu kali, batu bata, pasir, kapur dan semen untuk material awal pembangunan asrama tersebut. Bahkan ayah mereka menggali sendiri pondasi bangunan asrama hingga menyusun batu bata dalam penembokan awal di beberapa bagian bangunan tersebut. Bangunan yang kemudian dikenal sebagai Asrama Pelajar dan Mahasiswa Sumbawa Mataram, yang dihajatkan pembangunannya untuk meringankan beban orangtua dan membantu para pelajar dan mahasiswa yang berasal dari Kabupaten Sumbawa di Kota Mataram, yang tidak mampu secara ekonomi, namun memiliki nilai akademik yang baik, untuk mendapatkan tempat pemondokan yang ideal tersebut, kemudian menjadi inspirasi lahirnya beberapa asrama sejenis, yang kini tersebar di beberapa kota di Indonesia. Perjalanan pengabdian Mala memang cukup singkat, namun sangat padat dengan berbagai semangat perjuangan, tauladan, inspirasi dan hikmah yang bernilai edukasi tinggi, luhur dan agung. Beberapa diantaranya, keteladanan seorang Mala yang berdisiplin tinggi, bersih, jujur, sederhana dan amanah tersebut, justru sangat dirindukan di tengah iklim kebangsaan yang gersang dan miskin panutan saat ini. Dr. H. Lalu Mala Sjarifuddin, SH. DESS., meninggalkan kita semua, saat menghembuskan nafas terakhirnya di Mataram, dalam usia yang masih relatif muda, 50 tahun lebih 35 hari. Pada hari Sabtu 25 Desember 1982, dan dimakamkan di samping makam ibunda tercintanya, Lala Masujirale, tak jauh dari makam sepupunya H. L. Madilaoe ADT (Mantan Bupati Sumbawa), persis di bawah kerindangan dan kesejukan sebuah pohon besar, di tengah Taman Pemakaman Umum Muslim, Karang Medain, Kota Mataram. Jasa pengabdian, perjuangan dan ketauladanan yang baik, yang telah beliau torehkan dalam catatan perjalanan sepanjang hidupnya, akan selalu menjadi kenangan yang melegenda sepanjang masa dan menginspirasi kita semua. Kiranya Allah SWT berkenan menjadikan seluruh amalan baik tersebut sebagai pembuka pintu ampunan dan jembatan titian menuju surga-Nya. Aamiin.-
*)Disarikan dari berbagai sumber, oleh : Nurdin Ranggabarani.